3 Meneguhkan Diri
Menjadi Insan Migas
31
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
S
aya menempuh studi di Jerman hampir empat tahun lamanya. Berangkat tahun 1987 dan sudah kembali lagi tahun 1991. Sebenarnya saya lulus lima bulan lebih awal dari jadwal normal, tetapi waktu lima bulan tersebut saya gunakan untuk menikmati hidup sebagai ibu di Jerman. Sesekali menikmati waktu luang rasanya tidak masalah, toh saya tidak melanggar jadwal normal studi. Begitu bertugas lagi di Lemigas, rekan-rekan dan atasan saya di Lemigas menyarankan agar saya lebih fokus pada masalah-masalah upstream. Sebab, di Jerman saya juga mendalami perihal upstream. Jadi, agar ilmu saya bisa diterapkan saya diarahkan ke upstream. Namun, saat itu saya memilih tetap di downstream saja karena sudah sebelas tahun lamanya saya akrab dengan “dunia” downstream di Lemigas. Meski begitu, saya juga beberapa kali membantu teman-teman di upstream. Salah satu contohnya, ketika itu di Chevron sedang ada percobaan water shut-off menggunakan polimer. Saya ikut terlibat dalam tim tersebut. Pada saat itu Chevron ingin meningkatkan produksi, tetapi kandungan air yang ikut terpompa banyak sekali, yaitu 98 persen. Bayangkan, minyak yang terangkat hanya 2 persen saja. Nah, prinsip dari water shut-off tersebut adalah air yang ada dicampurkan dengan chemicals tertentu sehingga air yang keluar berubah menjadi polimer. Dengan demikian minyak yang hanya 2 persen tersebut bisa dipisahkan dengan mudah. Karena banyak membantu proyek-proyek upstream saya seolah berpijak di dua dunia. Tetapi itu membawa keuntungan tersendiri karena wawasan saya menjadi lebih luas lagi. Masih berkaitan dengan keterlibatan di upstream, saya masih ingat saat itu sedang ada proyek dari Pertamina, yaitu proyek Microbial Enhanced Oil Recovery (MEOR). Meskipun secara strukutral peran saya di analitik, tetapi karena di Jerman penelitian saya lebih ke arah upstream, maka saya banyak terlibat di kegiatan bersifat upstream.
32
Meneguhkan Diri Menjadi Insan Migas
Bergabung dalam Proyek Technogas Sebelum menjadi kepala bidang, saya mendapat penugasan khusus yang tantangannya khusus pula. Kepala Pusat Lemigas ketika itu, Ir. Subijanto, memanggil saya karena akan ada proyek yang terkait dengan tecnogas. Sebuah proyek yang terselenggara karena pada saat itu Indonesia mendapat bantuan dari Bank Dunia. Beliau meminta saya menjadi kepala proyek tersebut. Nah, yang menjadi masalah adalah sering terjadi misskomunikasi dengan pihak luar (bule) yang ikut serta dalam proyek ini. Ketika diminta ikut serta, awalnya saya menolak karena technogas bukan bidang yang biasa saya tangani. Dengan begitu saya menolak permintaan beliau karena masih banyak yang lebih menguasai bidang proses. Bulan berikutnya saya dipanggil lagi oleh Kapus Lemigas. Beliau bertanya, “Kamu tadi ikut upacara kan?”. Dengan polos saya jawab, “Iya Pak.” “Berarti kamu ikut membaca janji Sapta Prasetya Korpri, Pak Sekjen sudah memerintahkan kamu harus ikut. Jadi tidak ada alasan lagi.” Saya benar-benar tidak dapat menolak dengan kalau ditodong dengan alasan begitu. Jadilah saya masuk ke dalam tim proyek yang “menyebalkan” karena harus menghadapi bule yang katanya terkenal menjengkelkan itu. Mau tidak mau saya akhirnya menerima penugasan ke proyek technogas. Ternyata memang benar, menghadapi orang yang selama ini banyak dikeluhkan teman-teman cukup menyusahkan juga. Setiap berkomunikasi selalu saja ujung-ujungnya ribut. Apalagi dia orangnya terkenal temparemen tinggi sehingga membuat suasana jadi tidak nyaman. Perbedaan waktu antara kita (Indonesia) dengan Amerika yang 12 jam menjadi tantangan lain. Pada saat kita akan istirahat, mereka baru mulai masuk kantor dan melakukan panggilan telpon di jam-jam ketika kita harusnya tidur. Jadi, waktu istirahat di rumah harus dikorbankan demi menjalankan tugas tecnogas ini. Tetapi alhamdulillah, saya akhirnya dapat menerima tugas ini dengan baik. Perlahan-lahan saya mulai menemukan celahnya. Saya menilai, pihak Bank
33
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Dunia memang terkesan memandang kita sebelah mata. Barangkali itu sebabnya mereka jadi sangat ketat terhadap proyek technogas ini. Ditambah lagi audit yang dilakukan tergolong ketat sehingga beban pekerjaan di proyek ini semakin berat. Kalau dilihat dari sisi repotnya, proyek ini hanya kegiatan yang menyita banyak energi dan emosi. Tetapi menurut saya proyek technogas hasilnya sangat bermanfaat bagi Indonesia. Penjelasannya begini. Ada empat perubahan paradigma migas di Indonesia. Pertama, from oil to gas, cadangan minyak kita memang kian menipis sehingga harus beralih ke gas yang cadangannya relatif masih banyak. Kedua, from onshore to offshore, dulu sumur minyak kita hampir semua di onshore dan sekarang bergerak ke offshore. Ketiga, from west to east, dulu pengembangan kebanyakan di Indonesia bagian barat namun sekarang hampir seluruh pengembangan di Indonesia bagian timur. Keempat, dulu migas menjadi sumber pendapatan negara tapi sekarang untuk kepentingan dalam negeri, baik sebagai energi maupun sebagai bahan baku. Nah…, proyek technogas yang saya ceritakan tadi sesungguhnya mengarah kepada empat perubahan tersebut.
Kepala Pusat P3Tek yang Pertama Pada tahun 1999 Pak Maizar, yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Pusat, diminta menjadi anggota tim reorganisasi Kementerian ESDM. Namun, saat itu beliau tidak dapat memenuhi karena ketatnya jadwal di Lemigas. Oleh karena itu saya yang diminta mewakili Lemigas untuk bergabung di tim tersebut. Hikmah yang saya peroleh dengan bergabung di tim reorganisasi Kementerian ESDM adalah saya semakin banyak mengenal kolega-kolega di lingkungan Kementerian ESDM. Meskipun hanya satu tahun saja, saya jadi mengenal hampir seluruh pejabat eselon II dan eselon I.
34
Meneguhkan Diri Menjadi Insan Migas
Hanya beberapa bulan setelah penugasan khusus ke tim reorganisasi Kementerian ESDM, tepatnya Januari 2001 saya mendapat SK dan dilantik menjadi eselon dua dengan jabatan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Energi dan Ketenagalistrikan (P3TEK). Saat pertama kali diamanahi dengan jabatan ini saya tidak bisa tidur selama dua malam berturut-turut. Selama ini, hampir 27 tahun (1974-2001), saya hanya menggeluti dunia migas. Lantas diberi tugas menangani bidang yang sama sekali baru. Benak saya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan, apa itu energi? Bagaimana perkembangan terkini seputar energi dan kelistrikan? Sudah nyaman dengan dunia migas, sekarang malah harus belajar lagi. Beruntung, suami memberi dukungan penuh dan ikut membantu mengarahkan untuk mengenali bidang yang baru ini. Kebetulan saat itu rumah kami sudah dipasangi jaringan internet. Internetlah tempat kami menelusuri dan mendalami informasi mengenai energi dan kelistrikan. Perlahan-lahan saya melahap informasi tentang energi dan kelistrikan. Mulai dari perkembangan teknologi terkini maupun bagaimana kondisi energi dan listrik di Indonesia.
Memulai P3TEK dari Nol Memasuki babak baru sebagai Kapus P3Tek, saya berjuang lebih keras karena masih dalam tahap belajar kembali. Informasi dasar yang saya miliki di bidang energi dan listrik juga yang masih minim. Menjalani tugas baru ini tidaklah mudah karena saya tidak dibekali dengan supporting yang memadai. Saya hanya memperoleh SK dan dilantik resmi. Namun belum memiliki staf sendiri, tidak punya anggaran sama sekali, dan bahkan ruangan pun belum tersedia. Praktis, di awal saya bekerja sendirian. Oleh sebab itu langkah awal yang saya tempuh adalah mencoba membenahi organisasi P3TEK agar dapat operasional sebagaimana mestinya. Saya datang dan meminta bantuan
35
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
kepada Pak Maizar selaku Kepala Lemigas saat itu. Hanya Lemigas yang dapat saya andalkan karena disanalah saya “dibesarkan”. Saya katakan ke beliau, apakah saya dapat meminjam salah satu ruangannya. Alhamdulillah, beliau membolehkan salah satu ruangan untuk saya. Pak Fauzi, kepala logistik membantu saya untuk memilih ruangan yang akan ditempati. Saya memperoleh ruangan di bagian tengah, persis di belakang Balitbang. Ruangan itu terdiri dari ruang rapat besar dan ruang kecil. Kemudian ruang kecil dijadikan ruang Kepala Pusat dan ruang rapat dijadikan sebagai ruang staf. Di samping mendapatkan ruangan, saya juga ‘meminjam’ staf-nya Pak Maizar yang mau mengisi posisi tersebut. Ibu Endang Lestari, Pak Adi Muhanis, dan tiga staf dari Dirjen Migas membantu saya. Ditambah bantuan dari Dirjen Listrik yang dikepalai Pak Luluk. Bisa dibilang, P3TEK saya bangun mulai dari nol. Mulai mencari ruangan, membuat program, mencari staf, dan yang terakhir menyiapkan anggaran. Sebagai organisasi baru yang belum memiliki anggaran, tentu berat menjalankan program untuk menginisiasi P3TEK. Untuk mengatasi ini saya harus mencairkan deposito dari kocek pribadi. Lima bulan setelah dilantik, saya mengumpulkan seluruh institusi yang mengerjakan penelitian energi baru terbarukan dan konservasi energi. Dari pertemuan itulah saya baru tahu, ternyata tidak ada koordinasi untuk penelitian di bidang ini. Jika begini keadaannya, Indonesia tidak akan bisa maju karena semuanya bergerak sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang jelas. Ada penelitian yang saling tumpang tindih dan ada pula wilayah penting lainnya tetapi tidak ada yang menggarap. Ibarat mengerjakan mobil, kita tidak pernah berhasil membuat mobil karena semuanya berlomba-lomba hanya mengerjakan bannya saja. Tidak terintegrasi dengan baik. Kemudian saya mengarahkan agar koordinasi penelitian energi baru terbarukan dan konservasi energi dipusatkan di Kementerian Ristek saja. Sebab, mereka yang paling berwenang untuk mengordinasikan penelitian. Saya membuat begitu banyak program yang kalau dibukukan akan menjadi buku yang sangat tebal. Padahal itu semua kami kerjakan hanya dalam
36
Meneguhkan Diri Menjadi Insan Migas
hitungan sebelas bulan saja. Inilah pengalaman pertama saya menggawangi sebuah organisasi yang masih baru sehingga harus dimulai dari dasar sekali. Setelah mendapatkan gambaran mengenai peta penelitian energi terbarukan serta memperhatikan kebutuhan di masa mendatang, kami menyusun rencana penelitian P3TEK untuk 10 tahun ke depan. Indonesia merupakan negara yang mendapat karunia energi berlimpah. Hampir seluruh jenis energi terbarukan kita punya potensinya. Mulai dari energi surya, angin, laut, hidro, bioenergi, geothermal, dan banyak lagi. Agar Indonesia menguasai penelitian energi terbarukan dengan baik, maka kita harus memiliki rencana penelitian yang bertahap dan berjenjang. Hanya saja memang harus diakui, program jangka panjang seringkali terbentur oleh kebijakan yang dipegang oleh pejabat yang notabene selalu berganti-ganti. Ini jadi pelajaran bagi kita semua bahwa idealisme harus dikomunikasikan dengan baik agar tidak mentah di tengah jalan hanya karena pejabat baru tidak berkenan melaksanakan program-program sebelumnya. Dalam waktu sembilan bulan saya menjabat sebagai Kepala P3TEK, Pak Simon Sembiring memanggil saya. Saat itu beliau sedang menjabat sebagai Kepala Balitbang ESDM. Menurut Pak Simon, beliau mendengar agresifnya P3TEK sehingga lembaga yang masih bayi itu sudah terdengar gaungnya di lingkungan ESDM. Masih menurut Pak Simon, saat itu Menteri ESDM menginginkan saya menyiapkan diri menjadi Kepala Lemigas. Berita itu bukan membuat senang, saya malah sedih karena saya tengah berjuang membangun P3TEK dan masih sangat dini kalau ditinggalkan. Hampir dua jam saya diskusi dengan Pak Simon tentang hal ini. Bagaimana ini? Katanya Indonesia membutuhkan energi baru terbarukan dan konservasi energi. Semua itu sedang saya upayakan agar di masa mendatang kita menjadi negara yang memiliki ketahanan energi yang jauh lebih baik. Apalagi saya sudah memperoleh izin dan persetujuan untuk merealisasikan banyak program. Tahun depannya saya juga sudah memiliki anggaran sendiri di P3TEK.
37
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Saya ungkapkan semua pertimbangan saya bahwa meninggalkan P3TEK yang dibangun penuh perjuangan itu sangat prematur. Penugasan saya di P3TEK juga pada dasarnya untuk menyiapkan P3TEK menjadi organisasi yang berdaya guna. Nah, sekarang masih belum apa-apa sudah diminta keluar lagi. Dengan sabar Pak Simon mendengarkan. Setelah puas mengoceh panjanglebar, Pak Simon mengatakan ia akan sampaikan keberatan saya yang saya ungkapkan tadi ke Pak Menteri. Beliau juga mengingatkan ke saya bahwa bukan dirinya, bukan pula saya, yang menentukan. Semua keputusan ada di tangan Pak Menteri. Selepas pertemuan itu pikiran saya kacau tak karuan. Sulit menyembunyikan perasaan gundah gulana dari raut wajah saya. Daripada menimbulkan pertanyaan dari staf P3TEK, saya putuskan hari itu pulang lebih awal. Dalam perjalanan ke rumah saya telpon suami dan saya ceritakan perihal pertemuan dengan Pak Simon Sembiring tadi. Suami saya malah merasa reaksi saya terlalu berlebihan. Ia mengingatkan P3TEK adalah milik negara, bukan institusi buatan saya seorang. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas saya mengikuti apa yang negara percayakan kepada saya. Menurutnya lagi, boleh saja saya bersemangat dan mencurahkan sepenuh hati di P3TEK. Akan tetapi harus siap ditempatkan dimanapun sesuai permintaan negara karena memang begitulah janji yang sejak awal saya ikrarkan. Akhirnya saya mengikuti pendapat suami bahwa saya tidak boleh bersikap egois yang terlalu mementingkan P3TEK padahal negara sedang membutuhkan peran saya di tempat lain. Tetapi sejujurnya hati kecil saya mengatakan bahwa membangun P3TEK dari nol adalah pengalaman yang sangat emosional. Selain menyisihkan sebagian deposito pribadi di masamasa awal P3TEK, bagi saya P3TEK bagaikan bayi yang saya besarkan. Sampaisampai, ketika sakitpun saya tetap mengurusi P3TEK. Saat itu rasanya belum tepat waktu untuk meninggalkan P3TEK. Tapi saya harus mengalah meskipun ikatan emosional saya masih begitu kuat di P3TEK. Akhirnya saya menerima arahan dari Pak Menteri yang disampaikan melalui Pak Simon Sembiring menjadi Kepala Pusat Lemigas.
38
Meneguhkan Diri Menjadi Insan Migas
Menjadi Kepala Lemigas Pada Maret 2002, saya resmi dilantik sebagai Kepala Lemigas. Kelak, jabatan itu saya emban selama empat tahun. Saat pertama kali dilantik menjadi Kepala Lemigas, saya diwawancara oleh Society of Petroleum Engineer, mereka bertanya bagaimana perasaan saya memimpin begitu banyak orang di Lemigas dalam kondisi saya adalah Kepala Lemigas perempuan pertama. Jujur saja, selama ini saya tidak pernah membeda-bedakan gender. Tetapi pertanyaan itu membuat saya berpikir juga bahwa saya harus memposisikan diri dengan tepat, bahwa saya adalah wanita yang mendapat tanggung jawab memimpin di tempat yang mostly adalah laki-laki. Sebagai Kepala Lemigas yang baru, yang menjadi concern saya ketika itu adalah meningkatkan rasa memiliki pegawai Lemigas terhadap institusi tempatnya bekerja ini. Hal ini penting karena hanya dengan rasa memiliki yang tinggi setiap orang dapat memandang Lemigas secara utuh. Tidak terkotak-kotak yang dapat menimbulkan ego sektoral. Untuk keperluan itu saya mulai mencari bentuk-bentuk kegiatan yang dapat menunjang kegiatan bersama. Akhirnya muncullah ide melakukan perayaan ulang tahun Lemigas yang akan diteruskan pada tahun-tahun berikutnya. Masalahnya, selama ini masih banyak yang belum mengetahui tanggal berapa ulang tahun Lemigas. Setelah melakukan penelusuran sejarah, maka kami temukan bahwa ulang tahun Lemigas jatuh pada tanggal 11 Juni. Saya mengajak seluruh jajaran puncak Lemigas untuk berpartisipasi aktif. Mereka menyambut positif dengan ide ini. Meskipun sempat muncul pertanyaan, dari mana anggaran melaksanakan perayaan ulang tahun Lemigas? Sebab tidak ada mata anggaran yang diperuntukkan untuk perayaan ulang tahun. Tetapi menurut saya anggaran bukanlah masalah utama. Hal itu masih bisa kita siasati melalui sumbangan internal. Kalau perlu kegiatannya dipilih yang murah meriah sehingga tidak terlalu memberatkan. Pada perayaan pertama ulang tahun Lemigas, kami semua sepakat untuk menyumbang, terutama jajaran manajemen di Lemigas. Kami berkomitmen masing-masing jajaran manajemen yang delapan orang menyumbangkan
39
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
sebanyak 200 porsi makanan. Jumlah pegawai Lemigas kan hanya 1.000 orang. Jadi urunan makanan tersebut akan mencukupi, bahkan lebih dari cukup. Ini sekaligus membuktikan bahwa kekeluargaan di Lemigas sudah terbangun dengan baik. Saya pribadi merasakan bahwa Lemigas adalah tempat pernah bernaung dengan budaya kekeluargaannya yang sangat tinggi. Sulit menemukan lingkungan penuh kekeluargaan seperti Lemigas. Kelak setelah berkarir di luar Lemigas, saya tetap merindukan tempat yang sejak tahun 1974 sudah akrab itu. Sehingga setiap datang ke Lemigas, rasanya seperti pulang ke rumah sendiri. Ada semacam kesamaan emosi di Lemigas, “sekali kita menjadi insan Lemigas, maka selamanya adalah keluarga Lemigas”. Oleh karena itulah, kegiatan perayaan ulang tahun ini juga sekaligus cara untuk mempertahankan budaya kekeluargaan di Lemigas agar tidak luntur. Sejak saat itu setiap tahunnya, ulang tahun Lemigas rutin diselenggarakan. Saat itu, perayaan ulang tahun kami awali dengan senam bersama kemudian dilanjutkan dengan makan-makan. Demi suksesnya perhelatan perdana ini, saya ikut menyumbang makanan dengan memasaknya sendiri karena saya memang hobi memasak. Saya masih ingat, itulah kali pertama saya memasak spageti sebanyak 200 porsi. Kemudian, rekan-rekan yang lain juga menambah dengan memesan makanan lain, seperti sate ayam, bakso, dan siomay. Delapan orang rekan dari manajemen kompak turun tangan membuat acara ini berhasil. Selain itu, saya juga menggagas berbagai program-program yang dapat meningkatkan rasa kebersamaan di Lemigas. Misalnya mengadakan kegiatankegiatan olah raga yang diikuti oleh pegawai Lemigas. Kemudian, Salah satu tugas utama Kepala Pusat Lemigas adalah bagaimana agar seluruh pegawai Lemigas mendapatkan penghasilan tambahan dari kegiatan jasa teknologi Lemigas. Ini menjadi semacam tanggung jawab moral kepada seluruh pegawai. Saya tetap melanjutkan apa yang telah dibangun oleh pendahulu saya di Lemigas. Kita adalah lembaga pemerintah yang unik karena diperkenankan melakukan kegiatan jasa. Oleh karena itu saya memperkuat agar Lemigas tetap menjadi lembaga penelitian yang
40
Meneguhkan Diri Menjadi Insan Migas
Foto bersama peserta turnamen golf Lemigas
kredibel di industri migas tanah air. Tetapi core business Lemigas untuk tetap menghasilkan paten dan karya ilmiah yang bermutu juga tidak luput dari concern saya ketika itu. Salah satu cara lain yang saya tempuh dalam kerangka meningkatkan pelayanan dan kredibilitas Lemigas adalah dengan melakukan akreditasi ISO. Harapannya, jika Lemigas dapat memperoleh akreditasi ISO maka kemungkinan Lemigas tetap menjadi rujukan utama jasa penelitian tetap terjaga. Apalagi bisa dibilang saya dalam posisi “terancam” saat itu karena oil industry hanya mau bekerja sama dengan institusi penelitian yang sudah terakreditasi. Saat itu Lemigas baru pertama kali menjalani proses akreditasi ISO. Jadi tantangan yang paling berat berasal dari internal karena akreditasi ISO menuntut adanya perubahan budaya. Nah, justru ini yang tidak mudah. Tetapi kami terus berupaya tak kenal lelah memperjuangkan agar Lemigas memperoleh ISO.
41
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Apalagi saat itu banyak pegawai Lemigas yang sudah senior dan ISO masih hal yang baru. Ada yang tidak yakin dengan sistem baru tersebut, ada pula yang menganggap remeh. Kesimpulan saya, perbedaan seperti itu akan membuat proses akreditasi ISO Lemigas akan menemui jalan buntu. Untuk mengatasinya kami mendorong pegawai Lemigas mengikuti kursus-kursus terkait dengan ISO. Ternyata strategi tersebut berjalan baik. Awareness pegawai Lemigas terhadap ISO semakin tinggi sehingga partisipasinya juga meningkat. Inilah yang menjadi kunci keberhasilan akreditasi ISO Lemigas. Kita memperoleh ISO 9001 (ISO Manajemen) kemudian menyusul ISO 17025 (ISO Laboratorium) yang ditempuh dengan proses bertahap.
Diminta Menjadi Staf Ahli Menteri Pada Juli 2006, saya dilantik jadi Staf Ahli Menteri (SAM). Peran ini bagi saya merupakan perubahan yang cukup drastis. Di Lemigas saya memiliki kurang lebih 1.000 “pasukan” yang siap sedia membantu. Namun, saat menjadi Staf Ahli Menteri berarti saya harus siap bekerja seorang diri. Paling banter saya hanya memperoleh seorang sekretaris. Sementara itu, intensitas kerja saat menjadi Staf Ahli Menteri ternyata lebih berat karena kita harus mengawal data dan masukan kepada Menteri setiap saat. Jujur saja, selama tiga bulan pertama saya sampai sempat stress karena bertubi-tubinya tekanan pekerjaan yang dihadapi saban hari. Saat menjadi Staf Ahli Menteri, bisa dibilang tugas saya seperti pedagang kaki lima. Dimana saja harus siap menggelar komputer dan printer untuk mendukung kegiatan Menteri. Jam kerjanya terbilang ajaib, mulai pagi sampai larut malam harus tetap siap sedia. Oleh karena itu, kepada Kepala Lemigas yang baru, Pak Hadi Purnomo, saya “meminjam” dua pegawai agar dapat membantu saya. Saya sendiri yang menyeleksi mereka. Prinsipnya saya utamakan pegawai dengan Bahasa Inggris yang mumpuni.
42
Meneguhkan Diri Menjadi Insan Migas
Ketika menjadi peserta terbaik kursus Lemhanas RI angkatan XXXVIII
Kecuali sumber daya mineral, hampir semua bahan bidang energi yang akan disampaikan Pak Menteri (Bapak Purnomo Yusgiantoro) draftnya berasal dari meja saya. Apalagi pola kerja Pak Purnomo sangat aktif sehingga kami harus siap sedia kapan saja untuk mensupport beliau. Kadang-kadang beliau tidak sempat membaca naskah pidato yang kami susun. Ketika menyampaikan pidato di forum resmi, saya deg-degan luar biasa karena khawatir ada kesalahan pada naskah yang disusun tersebut. Hikmah yang saya peroleh ketika menjadi Staf Ahli Menteri adalah meluasnya cakrawala mengenai energi dan sumber daya mineral. Di wilayah sebelumnya (Lemigas), lingkup yang kita tangani sangat spesifik. Begitu menjadi Staf Ahli Menteri cara pandang terhadap berbagai isu mulai berubah karena pertimbangannya dari berbagai sudut pandang dan kepentingan. Bisa dibilang saya mengetahui energi dari A sampai Z ketika menjadi Staf Ahli Menteri. Sebelum menjadi Staf Ahli Menteri, saya mendapat kesempatan mengikuti kursus Lemhanas yang semakin memperluas cakrawala pemahaman dan cara pandang. Dengan ikut kursus Lemhanas, saya lebih memahami isu nasional dan bagaimana hubungannya dari aspek ketahanan negara. Ini sangat
43
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
membantu dalam pengambilan keputusan, dimana kita tidak lagi sekedar mempertimbangkan dari sudut pandang energi saja tetapi juga kepentingan negara secara keseluruhan. Dalam sembilan bulan mengikuti kegiatan Lemhanas, saya akhirnya menyadari bahwa terdapat perbedaan yang mendasar mengenai cara berfikir masyarakat sipil dengan militer. Malah, di masa awal keikutsertaan di Lemhanas, saya sempat mandeg karena tidak mengerti tentang cara berfikir mereka (militer). Namun, hal itu berangsung-angsur dapat saya atasi dan bisa menyesuaikan diri. Malah, di akhir kegiatan sempat mendapat penghargaan sebagai peserta terbaik Lemhanas. Kesimpulan yang saya tarik setelah mengikuti Lemhanas adalah, seorang pemimpin nasional harus mengikuti Lemhanas karena dengan kegiatan inilah kita bisa menguasai bagaimana cara memahami cara berfikir orang lain. Kemudian, manfaat lainnya adalah kita memiliki networking yang luas pula. Manfaat ini pula yang betul-betul saya rasakan ketika menjadi Staf Ahli Menteri. Andaikan Pak Menteri meminta saya menjadi Staf Ahli Menteri tanpa mengikuti Lemhanas terlebih dahulu, mungkin akan sangat berbeda hasilnya. Di Lemigas saya sangat menguasai urusan minyak dan gas sampai ke detail-detail teknisnya. Tetapi belum memahami konteks keseluruhan bila dikaitkan dengan kepentingan nasional, ketahanan energi, anggaran negara, dan banyak lagi. Kurang lebih selama dua tahun saya menjalani peran sebagai Staf Ahli Menteri ESDM. Selama dua tahun itu pula saya memperoleh banyak sekali bekal pengetahuan yang sangat bermanfaat ketika kelak saya menjadi Dirjen Migas.
Ikut Serta dalam Timnas BBN Pada tahun 2006, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Susunan keanggotaan tim terdiri dari lintas Kementerian yang dikordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Timnas BBN ini dibentuk melalui Kepres No 10 Tahun 2006.
44
Meneguhkan Diri Menjadi Insan Migas
Saya sendiri ikut terlibat dalam tim tersebut sebagai Sekretaris Timnas. Sedangkan ketuanya adalah Ir. Alhilal Hamdi, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 1999-2001. Tim ini dibentuk karena pada saat itu pemerintah sudah menyadari bahwa Indonesia sangat membutuhkan sumber energi baru. Selama ini Indonesia sangat bergantung pada sumber energi fosil yang keberadaannya semakin langka dan harganya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dengan demikian, di masa mendatang energi sangat berpeluang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, Indonesia memiliki keunggulan berupa alam yang luas dan iklim yang memungkinkan adanya sumber energi dari nabati (tumbuh-tumbuhan) sehingga Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Dengan demikian, peluang untuk mendapatkan bahan bakar dari tanaman terbuka luas. Apalagi pada saat itu, beberapa negara sudah berhasil mengembangkan sumber energi dari nabati. Salah satu contohnya Brazil yang hingga 2002 sudah menggunakan bahan bakar etanol sebanyak 20 persen dari total penggunaan bahan bakar di negara itu. Timnas yang beranggotakan dari 15 Kementerian ini memiliki masa kerja dua tahun dan mendapat tugas memberikan rekomendasi kepada presiden dalam bentuk roadmap pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia. Tim BNN juga harus merumuskan bagaimana pengembangan bahan bakar nabati yang tepat di Indonesia, termasuk mengenai kebijakan lahan, infrastruktur, pabrikasi, pasar, distribusi, dan pendanaan. Berdasarkan Kepres No 10 Tahun 2006, Timnas Pemanfaatan BBN memiliki tugas antara lain: 1. Menyusun cetak biru (blue print) pengembangan BBN 2. Menyusun roadmap pengembangan BBN 3. Menyiapkan rumusan langkah-langkah pengembangan BBN 4. Melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pengembangan BBN 5. Melaporkan kemajuan pengembangan BBN 6. Melakukan desain dan rekayasa pabrik biofuel (green energy) 7. Konstruksi pabrik di lokasi yang ditetapkan 8. Pengembangan mesin, peralatan, dan teknologi proses.
45
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Untuk menghasilkan roadmap dan rekomendasi hingga tataran teknis, tim membentuk 6 kelompok kerja, yaitu: 1. Kelompok Kerja Kebijakan dan Regulasi 2. Kelompok Kerja Penyediaan Lahan 3. Kelompok Kerja Budidaya dan Produksi 4. Kelompok Kerja Pasar dan Harga Produk 5. Kelompok Kerja Sarana dan Prasarana 6. Kelompok Kerja Pendanaan Pada perjalanannya, tim menghasilkan tiga rekomendasi untuk mempercepat pemanfaatan BBN yang akan diajukan kepada Presiden. Pertama, semua industri hilir BBM harus menjual BBN, artinya Pertamina dan perusahaan swasta ikut terlibat dan berpartisipasi. Kedua, semua sub sektor pengguna BBM seperti rumah tangga, transportasi, industri harus memakai BBN. Tetapi opsi ini cenderung radikal sehingga pelaksanaannya akan sulit. Ketiga, penerapan dilakukan secara regional dan bertahap. Setelah berhasil di satu kawasan, misalnya Jakarta dan Surabaya, baru diterapkan di regional lain secara bertahap. Dalam roadmap pengembangan biofuel yang dihasilkan Timnas BBN, pangsa pasar biofuel dalam bauran energi nasional 2005-2010 mencapai 2 persen atau setara dengan 5,29 juta kilo liter (KL). Selanjutnya berkembang lagi menjadi 3 persen atau setara 9,84 juta KL pada kurun 2011-2014. Kemudian, pada masa 2016-2025 ditargetkan biofuel menyumbang 5 persen terhadap bauran energi nasional atau setara dengan 22,26 juta KL.
Target Bauran Energi Nasional 2025
46
Meneguhkan Diri Menjadi Insan Migas
Timnas BBN mendorong penggunaan dua jenis BBN, yaitu biodiesel dan bioethanol. Biodiesel dihasilkan dari sawit yang memang terbukti tumbuh subur di Indonesia dan tumbuhan Jarak Pagar. Selain itu, tanaman kedelai dan kelapa juga berpeluang menghasilkan biodiesel. Bahan baku biodiesel lainnya adalah crude palm oil (CPO) yang saat ini jumlahnya cukup banyak. Bahkan Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia. Kapasitas terpasang biodiesel dari CPO adalah 4,2 juta kiloliter per tahun. Angka ini terbilang cukup besar untuk pembuatan biodiesel. Adapun bioethanol merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari fermentasi tetes tebu, singkong, jagung, atau sagu.
Bahan baku dan proses pembuatan BBN
Pemanfaatan BBN tidak sekedar memberikan sumbangan pada komposisi sumber energi, tetapi juga membawa dampak lanjutan (multiplier effect) pada berbagai sektor. Sebagai gambaran nilai tambah pemanfaatan BBN, berikut disajikan tabel proyeksi pengembangan BBN dari Kelapa Sawit. Tabel Proyeksi Pengembangan BBN dari Kelapa Sawit. Parameter Biodiesel Produksi Industri Lahan
Unit/Tahun Ton minyak Ton biji Unit Hektar
Jangka Menengah (2010-2015) 6.000.000 30.000.000 167 1.500.000
47
Jangka Panjang (2015-2025) 16.000.000 80.000.000 444 4.000.000
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Parameter
Jangka Menengah (2010-2015)
Unit/Tahun
Tenaga kerja langsung Tenaga kerja tak langsung
Orang Orang
Pendapatan/orang (@ 2 ha) Bibit Investasi on farm Investasi off farm
Rp/orang Ton batang Juta Juta
Jangka Panjang (2015-2025)
750.000 1.167
2. 000.000 3.111
20.000.000 202.500.000 45.000.000 10.000.000
20.000.000 540.000.000 120.000.000 26.666.667
Sumber: Timnas BBN (2006)
Agar rekomendasi yang dihasilkan dapat diterapkan dengan baik, Tim BBN juga menyiapkan lahan percontohan di Bali dengan segala kelengkapannya. Mulai dari bibit, lahan, hingga infrastruktur pengolahannya. Setelah dibangun, seluruhnya dihibahkan kepada masyarakat untuk dilanjutkan. Sebab, skenario yang dibangun untuk Bahan Bakar Nabati ini adalah semaksimal mungkin melibatkan masyarakat karena selain mengurangi ketergantungan pada BBM, tim ini juga dibentuk untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Kita juga melakukan kegiatan sosialisasi yang cukup intensif, baik dalam bentuk seminar, workshop, penyusunan buku, hingga mendatangi langsung ke petani-petani yang akan menggarap lahan. Salah satu yang masih terkenang, pada masa ini handphone (HP) saya seolah menjadi HP sejuta umat. Saya membagikan no telepon pribadi kepada seluruh pihak yang terkait, bahkan sampai petani kecil sekalipun. Tujuannya agar mereka benar-benar menyadari bahwa pemerintah juga sangat serius dengan upaya pemanfaatan Bahan Bakar Nabati ini. Berhubung posisi saya sebagai sekretaris tim, maka dengan memberikan no HP pribadi tersebut membuat saya mendapatkan respon yang sangat banyak pada saat itu. Setelah dua tahun bekerja dan menghasilkan roadmap serta dokumentasidokumentasi dalam bentuk buku dan paper, kebijakan terkait pengembangan BBN ini dikembalikan kepada instansi masing-masing sesuai dengan wilayah dan kewenangannya. Jadi, Timnas BBN ini hanya bertugas untuk mengawali saja. Pada pertengahan 2008, tugas Tim BBN berakhir dan di akhir 2008 sudah banyak bermunculan pabrik-pabrik pengolahan biodisel. Hikmah yang saya
48
Meneguhkan Diri Menjadi Insan Migas
peroleh, sebenarnya mudah merangsang tumbuhnya industri di Indonesia asal pemerintah memberikan dukungan yang komprehensif. Meskipun Timnas BBM baru dibentuk oleh presiden sejak tahun 2005, namun di tahun yang sama pemanfaatan BBN sudah dilakukan. Saat menjadi Dirjen Migas saya juga tetap melanjutkan diskusi dengan DPR untuk memberikan tambahan subsidi bagi biodiesel yang dicampur dengan BBN bersubsidi. Sejak 2009 hingga saat ini subsidi tambahan tersebut tetap berlangsung sehingga mampu menjaga iklim pemanfaatan BBN tetap menarik. Pertamina mendapat tugas memproduksi dan menyalurkan produk BBN. Sebelum tahun 2010, persentase kandungan Bio (FAME/Ethanol) berubahubah sesuai dengan penugasan pemerintah.
Tabel Realisasi (2006-2012) dan Estimasi (2013-2014) Bahan Bakar Nabati Fame Biosolar
Persentase (%)
2006
217.048
2007
Ethanol Biopremium
Persentase (%)
Volume (KL)
Biopertamax
1 – 5%
1.624
1 – 2%
16,24
16
555.609
1 – 5%
3.776
1 – 2%
37,76
9.958
2008
931.179
1 – 5%
44.016
1 – 2%
440,16
16.234
2009
2.398.234
1 – 5%
47.965
105.816
1 – 2%
2.116,32
20.232
2010
4.406.825
5%
223.041
-
-
-
-
2011
7.176.405
5%
358.820
-
-
-
-
2012
9.258.724
7,5%
694.404
-
-
-
-
2013
10.371.678
7,5%
777.876
-
-
-
-
2014
11.569.021
7,5 - 10%
1.156.902
-
-
-
-
Overall
35.369.702
2.102.106
155.232
2.610
46.440
Volume (KL)
Pemanfaatan biodiesel terhitung sukses karena pemerintah memberikan subsidi terhadap produk ini agar harga keekonomiannya tetap terjaga. Pada Februari 2012, Pertamina bahkan sudah meningkatkan pencampuran fame untuk biosolar dari sebelumnya 5% menjadi 7,5%. Dengan demikian persentase realisasi pemanfaatan BBN pada tahun 2012 meningkat menjadi 40,79% dari 27,66% pada tahun 2011.
49
Mengawal Kelanggengan Industri Migas Indonesia | Evita H. Legowo
Hanya saja realisasi pemanfaatan bioethanol masih belum dapat dilakukan. Masalahnya adalah belum disetujuinya revisi Harga Indeks Pasar BBN oleh Kementerian Keuangan. Selain itu, ada kendala karena kekurangan feed (umpan) dari molase dari limbah tebu yang bersaing ketat dengan industri farmasi yang telah ada sehingga dari sisi harga kalah bersaing dari industri tersebut. ***
50