Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Kertas Posisi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen Kertas Posisi Terhadap Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah1 A. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) yang demokratis dan berkualitas adalah sarana untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat guna menghasilkan dan memilih wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga perwakilan, baik yang ada di tingkat Pusat (anggota DPR-RI dan DPD) maupun Daerah (DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Lembaga Perwakilan Rakyat baik di pusat maupun daerah idealnya diisi oleh mereka yang dapat mewakili rakyat dan dapat menyampaikan aspirasi rakyat, tak terkecuali aspirasi dari warga negara perempuan. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk pada tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia adalah sebesar 118.010.413 jiwa atau sekitar 49% dari total jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.326 jiwa.2 Artinya, kondisi ideal keterwakilan perempuan Indonesia dalam lembaga perwakilan seharusnya mencapai rasio yang sama dengan jumlah penduduk Indonesia berjenis kelamin perempuan. Kondisi ini tentu saja sangat ideal, walaupun belum tentu mustahil diwujudkan. Berkaca dari hasil Pemilu selama ini, untuk mencapai angka kritis 30% sebagaimana ditetapkan sebagai kebijakan khusus sementara bukanlah pekerjaan yang mudah dan sangat membutuhkan dukungan dari banyak pihak, tak terkecuali gerakan perempuan. Berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa, jumlah minimum 30% (tiga puluh per seratus) merupakan suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Penetapan jumlah 30% ditujukan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik. Perlakuan khusus berlaku bagi warga negara yang telah mengalami ketidaksetaraan (diskriminasi), baik dalam peluang, akses dan dampak. Dalam dunia politik, perempuan adalah bagian dari warga negara yang selama ini mengalami diskriminasi sehingga untuk mempercepat kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan dibutuhkan perlakuan khusus atau kebijakan affirmasi. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi Negara melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) mengamanatkan Negara untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan, di antaranya dengan tindakan khusus sementara (temporary special measures) atau tindakan affirmasi (affirmative action). Amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 ini bukanlah pengistimewaan bagi perempuan, melainkan bentuk koreksi dan kompensasi pelaksanaan kewajiban negara agar perempuan dapat mengejar ketertinggalannya.3
Naskah ini disiapkan pada bulan Februari 2012 Lihat http://www.bps.go.id/booklet/Boklet%20November_2011.pdf. 3 MaJEMUK Edisi 37 Januari–Februari tahun 2009, Artikel Stara: Bukan Sekedar Ketuk Palu, Majalah dwibulanan diterbitkan oleh ICRP. 1 2
Kebijakan affirmasi 30% adalah minimum atau sekurang-kurangnya atau paling sedikit, bukan “jatah” yang dimaknai tidak boleh melebihi dari jumlah yang ditentukan. Ketentuan keterwakilan perempuan minimal 30% di parlemen sama sekali tidak ditujukan untuk membatasi partisipasi perempuan dalam politik. Ketentuan ini justru merupakan tindakan khusus sementara (temporary special measure) agar hak-hak perempuan yang selama ini didiskriminasi oleh nilai-nilai budaya yang dikonstruksi dalam masyarakat dapat ditegakkan.4 Pentingnya keterwakilan perempuan secara proporsional tidak semata-mata untuk merepresentasikan proporsionalitas jumlah penduduk perempuan Indonesia. Hal ini justru sekaligus sebagai bentuk pengakuan dan kesempatan yang sama atas harkat dan martabat perempuan sebagai warga negara yang diperlakukan sama dengan warga negara laki-laki oleh Bangsa Indonesia. Berdasarkan pemikiran di atas, Komnas Perempuan telah melaksanakan serangkaian diskusi bersama pemerintah, DPR RI, lembaga swadaya masyarakat dan media dalam rangka mendorong dan menyampaikan pokok-pokok pikiran usulan perubahan terhadap RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan DPRD. B. Landasan Filosofis Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan kedaulatan rakyat sebagai dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedaulatan tersebut dalam pelaksanaannya didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonsia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip kedaulatan rakyat tersebut terwujud melalui keterlibatan rakyat dalam struktur ketatanegaraan legislatif sebagai penyeimbang dan pengawas dari pemerintah khususnya eksekutif. Perempuan dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah bagian dari rakyat yang seharusnya diperhatikan keterlibatannya untuk berpartisipasi dalam urusan publik dan pemerintahan yang mengatur hajat hidup orang banyak.
C. Landasan Yuridis Keterlibatan perempuan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan lembaga penentu kebijakan berkesesuaian dengan sejumlah peraturan perundang-undangan. Artinya, upaya untuk mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen hingga mencapai angka kritis 30% telah diterima sebagai norma hukum yang menjadi dasar pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun demikian, berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang telah ada masih perlu dikuatkan dan dipertegas agar peningkatan keterwakilan perempuan tidak menjadi retorika belaka. Berikut ini peraturan perundang-undangan yang dapat menguatkan kebijakan affirmasi 30% dan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2): 4
Titi Sumbung,“Caleg Partai Peserta Pemilu Minimum 30% Perempuan, Siapa Takut?!”, Rilis Jaringan Perempuan dan Politik, 2003.
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 28D (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 22E ayat (1): Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 22E ayat (2): Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 28H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal 28I ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Pasal 28I ayat (5): Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 2. Peraturan Perundang-Undangan a. Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita; Melalui Undang-Undang ini, Indonesia meratifikasi Konvensi mengenai Hak-hak Politik Kaum Perempuan pada tahun 1952 yang mengatur bahwa perempuan mempunyai hak untuk memilih, berhak untuk mencalonkan diri serta dipilih dalam pemilihan umum, dan berhak memegang jabatan publik, semuanya dengan syaratsyarat yang sama dengan kaum laki-laki. b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) dalam lampiran: Pasal 2 huruf f:
Melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah, menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita. Pasal 3: Negara-negara peserta wajib melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk membuat peraturan perundang-undangan di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin bahwa mereka melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan pokok dasar persamaan dengan pria. Pasal 4 ayat (1): Pembentukan peraturan peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara pria dan wanita, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar-standar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai. Pasal 7: Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin bagi wanita atas dasar persamaan dengan pria, hak: a. untuk memilih dalam semua pemilihan dan agenda publik dan berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih masyarakat; b. untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan; c. untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara; Pasal 15: 1. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum. 2. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada wanita, dalam hal-hal sipil, kecakapan hukum yang sama dengan pria dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapannya tersebut. Secara khusus, Negara harus memberikan kepada wanita persamaan hak untuk untuk mengikat kontrak dan untuk mengelola kepemilikan dan wajib memberi perlakuan yang sama kepada pria dan wanita di semua tingkat prosedur di muka hakim dan peradilan. 3. Negara-negara pihak bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen pribadi lainnya yang mempunyai kekuatan hukum dan ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum bagi wanita, wajib dianggap batal demi hukum. 4. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada pria dan wanita hak sama menurut hukum yang berkaitan dengan kebebasan bergerak perorangan kebebasan untuk memilih tempat tingal dan domisili.
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 1: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pasal 2: Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Pasal 3 ayat (2): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Pasal 5 ayat (1): Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan hukum. Pasal 8: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pasal 46 Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggotan badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Pasal 49 (1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat, dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. (2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. (3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin, dan dilindungi oleh hukum. Pasal 71: Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 72: Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), dalam lampiran: Pasal 3: Negara-negara pihak pada Kovenan ini berjanji menjamin hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam penikmatan semua hak ekonomi, sosial dan budaya yang ditentukan dalam Kovenan ini. e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), dalam lampiran: Pasal 3: Negara pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari lakilaki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini. 3. Kebijakan Terkait: a. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Lampiran di bagian Umum angka 4: Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. b. Tap MPR No.VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2002; Angka 10: Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak" huruf (b); Partisipasi dan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan baik di bidang eksekutif, legislatif, yudikatif masih sangat rendah. Padahal kebijakan dasar untuk meningkatkan keterwakilan perempuan telah ditetapkan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 mengenai Pengesahan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Tahun 1979 serta Deklarasi dan Rencana Aksi Beijing Tahun 1995. Rekomendasi: "Membuat kebijakan, peraturan, dan program khusus untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambil keputusan dengan jumlah minimum 30%". c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Periode 2004-2009
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2004-2009 menggariskan arah kebijakan dan tindakan keberpihakan yang jelas dan nyata guna mengurangi kesenjangan jender di berbagai bidang pembangunan. Prioritas dan arah kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan yang pertama ditujukan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik. 1. Instrumen HAM Internasional a. Rekomendasi Umum Komite CEDAW Nomor 23 tentang Kehidupan Politik dan Publik, Pasal 7 dan 8 CEDAW, sesi ke-16 Tahun 1997: ”... di bawah Pasal 4, konvensi mendorong digunakannya tindakan khusus sementara guna memberi efek penuh pada Pasal 7 dan Pasal 8, di mana negara-negara telah mengembangkan strategi sementara yang efektif dalam upayanya mencapai kesetaraan partisipasi, berbagai jenis tindakan telah diimplementasikan, termasuk merekrut, membantu secara finansial dan melatih kandidat perempuan, mengubah prosedur pemilihan, merancang kampanye yang ditujukan pada partisipasi yang setara, menetapkan target angka dan quota dan menargetkan perempuan untuk ditunjuk pada jabatan publik seperti hakim atau kelompok profesional lainnya yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari semua masyarakat”; b. Rekomendasi Umum Komite CEDAW Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 25 tentang Tindakan Khusus Sementara Pasal 4 ayat (1) CEDAW, sesi ke-30 Tahun 2004: ”Secara eksplisit menentukan sifat sementara dari tindakan khusus itu. Dengan demikian, tindakan-tindakan itu tidak diperlukan selama-lamanya, walaupun arti sementara dapat, dalam kenyataan, merupakan pelaksanaan tindakan itu dalam suatu jangka waktu yang lama. Jangka waktu tindakan khusus sementara harus ditentukan oleh hasilnya secara fungsional sebagai respon atas suatu masalah konkrit dan tidak boleh suatu jangka waktu yang ditentukan terlebih dahulu.... “; c. Concluding Comment Komite CEDAW 2007, atas Laporan Keempat dan Kelima Indonesia yang disampaikan dalam Sesi ke Tigapuluh Sembilan Sidang Umum CEDAW, tepatnya dalam sidangnya yang ke 799 dan ke 800 pada tanggal 27 Juli 2007 di New York, Amerika Serikat: Paragraf 26 dan 27: 26. Meskipun Komite menyambut diberlakukannya UU No 12 Tahun 2003 mengenai Pemilihan Umum, yang menetapkan kuota 30 persen bagi calon legislatif perempuan dari partai-partai politik, Komite prihatin karena undang-undang tersebut tidak menentukan sanksi atau mekanisme penegakan guna memastikan dipatuhinya kuota tersebut. Komite sangat prihatin bahwa tidak ada kemajuan dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam partai politik sejak diberlakukannya undang-undang tersebut. Komite menyatakan keprihatinan mengenai rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dalam kehidupan publik dan politik dan dalam jabatan-jabatan pengambilan keputusan di Indonesia termasuk dalam dinas luar negeri, peradilan, pemerintahan daerah, sektor pendidikan dan swasta.
27. Komite mendesak Negara Pihak untuk memperkuat sistem kuota 30 persen untuk calon legislatif perempuan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum dengan menjadikan kuota ini persyaratan wajib dan menjatuhkan sanksi apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, serta menegakkan mekanisme guna memastikan bahwa persyaratan wajib tersebut dilaksanakan. Komite juga mendorong Negara Pihak untuk melaksanakan dan memperkuat penerapan tindakan-khusus-sementara sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Konvensi dan Rekomendasi Umum Komite 23 dan 25, untuk mempercepat peningkatan partisipasi perempuan secara utuh dan setara dengan lakilaki di semua sektor dan di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan publik, politik dan ekonomi, termasuk dalam dinas luar negeri, peradilan, pemerintah daerah, sektor pendidikan dan swasta. d. Beijing Platform for Action (BPfA) dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tetnang Perempuan Ke-IV di Beijing Tahun 1995: "Tercapainya persamaan peluang dan akses partisipasi perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan negara, merupakan prasyarat berfungsinya demokrasi"; e. Millenium Development Goals – MDGs Tahun 2000: ”Salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai adalah mendorong tercapainya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dengan indikator meningkatnya proporsi perempuan yang duduk dalam lembaga parlemen nasional”; 2. Putusan Mahkamah Konstitusi a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amar Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008:5 Mengadili, - Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk sebagian; Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undangundang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;
5
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, hal. 108.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
b. Dissenting Opinion6 Hakim Maria Farida Indrati dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008: 7 “…..Mengapa diperlukan kuota perempuan? Pemenuhan kuota perempuan dilandasi pada argumen (Hanna Pitkin, The Concept of Representation, 1967) sebagai berikut: 1. Perempuan mewakilil setengah dari populasi dan punya hak untuk setengah dari kursi (”justice argument”); 2. Perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dari laki-laki (biologis maupun sosial) yang diwakili (”experience argument”). Sejalan dengan argumen ini perempuan dapat memasuki posisi kekuasaan karena mereka akan terikat dalam politik yang berbeda; 3. Perempuan dan laki-laki mempunyai pertentangan kepentingan sehingga laki-laki tidak dapat mewakili perempuan (”interest group argument”); 4. Politisi perempuan mewakili model peran penting mendorong perempuan lain untuk mengikuti. Inti ide di belakang kuota gender pemilihan adalah merekrut perempuan ke dalam institusi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik. …….. Pasal 214 undang-undang a quo merupakan juga tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang keterpilihan lebih besar bagi calon perempuan. Oleh karena itu, penetapan penggantian dengan “suara terbanyak” akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut. Tujuan tindakan afirmatif yang merupakan tindakan sementara ini adalah mendorong jumlah perempuan lebih banyak di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, sehingga menggantinya dengan “suara terbanyak” adalah identik dengan menafikan tindakan afirmatif tersebut. Tindakan afirmatif tersebut dirumuskan sebagai upaya agar penerapan kuota 30% perempuan sebagai calon di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, tidak hanya merupakan retorika saja, tetapi merupakan suatu tindakan nyata yang didukung dengan sistem yang baik dalam setiap partai politik;…..”
Peraturan perundang-undangan dan landasan kebijakan lainnya yang telah hadir sebagaimana disebutkan di atas dapat menjadi dasar bagi peraturan perundang-undangan yang sedang dibahas agar materi muatannya menegaskan penguatan dan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. D. Landasan Sosiologis Sstruktur ketatanegaraan Republik Indonesia menetapkan bahwa, Legislatif mempunyai kewenangan menyusun peraturan perundang-undangan, mengawasi pemerintahan, dan menyusun anggaran untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Mandat untuk penyusunan hukum dan kebijakan bagi Legislatif seiring dengan mandat serupa bagi Eksekutif sebagai mitra kerja Legislatif. Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, juga eksekutif, merupakan wujud konkret pengakuan terhadap perempuan untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan hukum dan kebijakan. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik tidak hanya sekedar jumlah tetapi bagaimana memastikan kualitas dan isu perempuan tersebut diperjuangkan dalam proses pembuatan kebijakan publik.8 Selama sepuluh kali Pemilu yang telah terselenggara di Indonesia, keterwakilan perempuan tidak pernah mencapai angka kritis 30% yang diharapkan. Prestasi tertinggi yang pernah diraih Indonesia untuk keterwakilan perempuan di DPR RI adalah berdasarkan hasil Pemilu 2009, sebanyak 18%
“Dissenting” dalam kamus bahasa Inggris adalah bentuk kata kerja yang berasal dari kata “dissent” yang berarti berselisih paham. “Opinion” berarti pendapat, pikiran, perasaan. Jika disatukan, maka akan menjadi kalimat “dissenting opinion” yang berarti “terjadinya perbedaan pendapat atas suatu persoalan hukum”. (Sumber: http://blogperadilan.blogspot.com/2011/05/dissenting-opinion.html). 7 Putusan MK Perkara Nomor 22-24/PUU-VI/2008, halaman 109-115. 8 Lihat Komnas Perempuan, Ringkasan DIskusi Tematik Perempuan dan Pemilukada, Juli 2010. 6
perempuan dari total 560 anggota. Berikut ini perbandingan keterwakilan perempuan dari Pemilu I sampai Pemilu terakhir: Tabel 1: Perempuan dalam DPR RI antara tahun 1955 – 20049 Periode 1955 – 1956 Konstituante 1956-1959 1971 – 1977 1977 – 1982 1982 – 1987 1987 – 1992 1992 – 1997 1997 – 1999 1999 – 2004 2004 – 2009 2009 – 2014
Perempuan 17 (6,3%) 25 (5,1%) 36 (7,8%) 29 (6,3%) 39 (8,5%) 65 (13%) 62 (12,5%) 54 (10,8%) 46 (9%) 61 (11,09%) 103 (18%)
Laki-laki 272 (93,7%) 488 (94,9%) 460 (92,2%) 460 (93,7%) 460 (91,5%) 500 (87%) 500 (87,5%) 500 (89,2%) 500 (91%) 489 (88,9%) 457 (82%)
Data dari: WRI, Puskapol UI dan berbagai sumber lainnya
Pasca reformasi keterwakilan perempuan di parlemen khususnya di DPR RI pada Pemilu tahun 2004 dan tahun 2009 memang menunjukkan peningkatan. Hal ini perlu dicatat sebagai sebuah kemajuan dibandingkan Pemilu tahun 1999 dimana jumlah perempuan terpilih di DPR RI hanya mencapai 9%. Padahal, dalam masa orde baru saja jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI mencapai 12% pada Pemilu tahun 1992 dan 10% pada Pemilu tahun 1997. Prestasi pada Pemilu tahun 2009 tersebut ternyata tidak terjadi secara merata di semua daerah pemilihan (dapil), termasuk di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. Penelitian Puskapol UI menemukan tren inkonsistensi misalnya pada Dapil yang tingkat keterpilihan perempuan anggota DPR RI tinggi, belum tentu hal serupa juga terjadi pada keterpilihan perempuan sebagai anggota DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota di Dapil yang sama. Bahkan terdapat sejumlah Dapil yang sama sekali tidak mendudukkan perempuan sebagai wakil terpilih. Sekalipun secara nasional keterwakilan perempuan di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota mengalami peningkatan, Puskapol UI justru melihat bahwa semakin ke tingkat lokal, keterpilihan anggota Legislatif masih banyak didominasi oleh laki-laki. Hal ini terlihat misalnya dari total anggota DPRD Provinsi sebanyak 2.005 orang, jumlah perempuan mencapai 321 orang (16%) dan laki-laki sebanyak 1.684 (84%). Sementara anggota DPRD Kabupaten/Kota di 461 daerah sebanyak 15.758 orang, 1.856 orang (12%) di antaranya perempuan dan sisanya 13.901 (88%) adalah laki-laki.10 Hal tersebut di atas sesungguhnya menunjukkan fenomena piramida terbalik. Keterwakilan perempuan justru makin menipis di tingkat lokal dibandingkan di tingkat nasional. Bahkan menurut catatan Puskapol UI, di tingkat kabupaten/kota masih terdapat DPRD yang tidak memiliki anggota perempuan. Dari 461 kabupaten/kota, terdapat 29 DPRD kabupaten/kota yang tidak ada anggota perempuan terpilih, yang tersebar di Aceh, NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara dan Papua.11 Jika dilihat dari total keseluruhan anggota legislatif di setiap tingkatan, keterwakilan perempuan masih
Anggota DPR RI dipilih melalui 10 kali Pemilu, kecuali Konstituante 1956-1959 yang tidak melalui proses Pemilu dalam penetapannya. Lihat Puskapol UI, Representasi Minus Akuntabilitas, diakses dari http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=92%3Arepresentasi-minus-akuntabilitas-analisa-sistem-pemilu2009&catid=46%3Ariset&Itemid=91&lang=id. 9
10
Puskapol UI, Representasi Minus Akuntabilitas, diakses dari http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=92%3Arepresentasi-minus-akuntabilitas-analisa-sistem-pemilu2009&catid=46%3Ariset&Itemid=91&lang=id. 11
menempati jumlah yang sungguh kecil dan amat jauh untuk menuju sistem keterwakilan yang memperhatikan komposisi gender berimbang.
Kekerasan dan Kebijakan Diskriminatif Terhadap Perempuan: Sebuah Fakta Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2011 mencatat data jumlah perempuan korban kekerasan sepanjang tahun 2010 sebanyak 105.103 orang. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan jumlah korban tahun sebelumnya (2009).12 Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan tidak terlepas dari hadirnya berbagai kebijakan berperspektif HAM dan Gender yang membuka akses bagi perempuan untuk dapat melaporkan kasusnya. Misalnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Tidaklah dapat dipungkiri berbagai kebijakan diskriminatif yang tidak berperspektif HAM dan Gender juga muncul, berupa kebijakan di tingkat nasional ataupun kebijakan lokal. Dalam kajian perempuan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengambil pendekatan proteksionis dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pornografi yang justru menghalangi perempuan untuk dapat menikmati hak asasinya secara utuh, khususnya hak atas kepastian hukum dan hak atas kebebasan berekspresi. Komnas Perempuan mencatat hingga bulan Agustus tahun 2011 terdapat 207 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas di tingkat provinsi dan kabupaten.13 Sebanyak 78 dari 207 kebijakan tersebut secara khusus menyasar pada perempuan, lewat pengaturan tentang busana (23 kebijakan) dan tentang prostitusi dan pornografi (55 kebijakan) yang justru mengkriminalisasi perempuan. Substansi hukum yang bias gender pada akhirnya menyulitkan perempuan terutama perempuan korban kekerasan untuk memperoleh hak-haknya atas keadilan, kebenaran dan pemulihan. Sejauh ini belum ada penelitian yang mencoba melihat korelasi antara kemunculan perda diskriminatif dengan keterwakilan perempuan di daerah setempat. Di sisi lain, pemantauan Komnas Perempuan melihat proses pembentukan suatu kebijakan yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel cenderung melatarbelakangi kehadiran sebuah kebijakan yang diskriminatif. Termasuk dalam kategori tidak partisipatif adalah proses penyusunan dan pembahasan suatu kebijakan yang tidak melibatkan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pengaturan. Pada kebijakan diskriminatif yang secara khusus menyasar pada perempuan, dapat dipastikan tidak ada keterlibatan perempuan dalam proses penyusunan dan pembahasannya. Kebijakan yang dikeluarkan Negara tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dan diperbaharui melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, ternyata masih tidak mampu mengubah mekanisme pembangunan demokrasi secara subtantif, sehingga kerapkali terjebak pada demokrasi prosedural. Menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan menghapuskan lahirnya kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasi perempuan melalui upaya mendorong keterlibatan perempuan dalam Namun demikian, turunnya angka kekerasan ini tidak dapat diartikan bahwa kekerasan terhadap perempuan berkurang. Sejumlah faktor ditengarai menjadi kendala, yaitu: keterbatasan SDM (dalam hal keterampilan pendataan dan pergantian – turnover yang cepat), keterbatasan fasilitas yang menunjang pendokumentasian, keterbatasan pemahaman mengisi format pendataan, pendanaan yang mendukung pendokumentasian kasus, dan keengganan korban dicatat kasusnya (karena kekhawatiran dan ketakutan akan adanya stigma atau tanggapan negatif dari masyarakat). Lihat Komnas Perempuan, Teror dan Kekerasan Terhadap Perempuan: Hilangnya Kendali Negara, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2010, Jakarta: Komnas Perempuan, 2011. 12
13
Pemantauan Komnas Perempuan sampai dengan Agustus 2012 mencatat terdapat peningkatan jumlah kebijakan diskriminatif menjadi 282 kebijakan.
lembaga perwakilan hendaknya dibaca sebagai upaya bersama untuk mengevaluasi segala hal yang mendiskriminasi perempuan, mulai dari multi-burden (beban berganda), stereotyping (pelabelan negatif), hingga budaya yang cenderung menghalangi atau bahkan membatasi perempuan untuk beraktivitas di ruang publik dan politik seperti larangan perempuan menjadi pemimpin dan larangan perempuan keluar malam. Beban berganda yang akan dialami perempuan yang memutuskan beraktivitas di ranah publik atau politik seharusnya dikurangi atau ditiadakan sama sekali dengan keterlibatan laki-laki atau pasangan dalam rumah tangganya untuk bekerja sama dalam penanganan urusan domestik dan keluarga. Pelabelan negatif tidak peduli keluarga atau keluarga akan tidak terurus jika perempuan beraktivitas di luar rumah tidak seharusnya muncul jika tanggung jawab pengurusan keluarga ditangani bersamasama laki-laki dan perempuan dalam keluarganya. Selain itu, pemunculan pendapat tertentu yang mencoba menegasikan kepemimpinan perempuan perlu direspon melalui pengungkapan kekayaan penafsiran yang mencoba melihat kembali relasi perempuan dan laki-laki dalam konteks yang setara dan ramah pada kemanusiaan. Larangan terhadap perempuan beraktivitas di malam hari dengan alasan untuk menghindarkan perempuan dari tindak kejahatan seharusnya direvisi oleh pemerintah daerah setempat melalui penyediaan tenaga keamanan yang berpatroli dan berjaga pada malam hari agar perempuan tetap mendapatkan jaminan atas hak keamanan selama beraktivitas. Faktor Pendukung Keterwakilan Perempuan Sejumlah kajian menunjukkan beberapa faktor yang perlu diperhatikan guna mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen, yaitu antara lain melalui penguatan tindakan affirmasi melalui perubahan atas UU Paket Politik; penempatan caleg perempuan pada nomor urut teratas; penambahan caleg perempuan dalam daftar calon di semua dapil; dan pemberian sanksi pada partai politik jika tidak memenuhi ketentuan penempatan caleg perempuan sebanyak 30%. 1. Penguatan tindakan affirmasi melalui revisi UU Paket Politik International Institute of Democracy and Electoral Assistance pada tahun 2003 merilis enam penyebab utama yang menyebabkan minimnya representasi keterwakilan perempuan, yaitu: Rendahnya tingkat pendidikan perempuan; Rendahnya dukungan partai politik; Kurang kerjasama perempuan dalam parlemen dengan luar parlemen; Norma sosial yang berorientasi pada laki-laki; Kurangnya dukungan media; Sistem pemilu; dan, kurangnya kuota perempuan. Dari keenam unsur tersebut, faktor yang akan diurai lebih lanjut adalah sistem pemilu yang mengarah pada kebijakan affirmasi untuk peningkatan keterwakilan perempuan minimal 30%. Upaya memperjuangkan tindakan affirmasi melalui perubahan atas UU Paket Politik dipastikan memberikan sumbangsih nyata untuk menaikkan keterwakilan perempuan di parlemen. Seperti terlihat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang yang lahir untuk menjadi acuan penyelenggaraan Pemilu Tahun 2004 ini untuk pertama kalinya menerapkan kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif. Ketentuan ini melanjutkan keberhasilan sebelumnya melalui Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik yang mengintroduksi perlunya keadilan gender dalam kepengurusan partai.14 Melalui kedua Undang-Undang tersebut, terbukti adanya relevansi antara norma hukum yang mendukung kebijakan affirmasi dengan peningkatan keterwakilan perempuan. Ketentuan dalam kedua Undang-Undang tersebut terbukti berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, walaupun kenaikannya hanya sekitar 2%. Jika jumlah anggota perempuan DPR hasil Pemilu 1999 adalah 45 orang atau 9% dari 500 anggota, maka hasil Pemilu 2004 jumlahnya meningkat menjadi 61 orang atau 11% dari 550 anggota DPR.15 Kenaikan yang sebenarnya masih kecil ini disebabkan oleh karena pada umumnya, jikapun partai politik memasukkan perempuan sebagai calon anggota legislatif, calon perempuan tidak banyak yang ditempatkan pada nomor urut jadi.16 Belajar dari pengalaman Pemilu 2004, menjelang Pemilu 2009 gerakan perempuan kembali berjuang untuk mengkonkritkan kebijakan afirmasi 30% perempuan dan menegaskan pengaturan pasal yang mengatur penempatan caleg perempuan dalam daftar calon pada nomor urut jadi. Hasilnya, Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 200817 tentang Partai Politik dengan tegas mengharuskan partai politik menempatkan sedikitnya 30% perempuan dalam kepengurusan partai. Sementara dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 200818 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat, ditegaskan ketentuan dalam setiap tiga calon sedikitnya terdapat satu calon perempuan, atau model zipper system. Kebijakan affirmasi ini diikuti dengan mekanisme penetapan calon terpilih yang diatur dalam Pasal 214, sebagai berikut: Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008: “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: c. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; e. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97%3Akebijakan-peningkatan-keterwakilan-perempuan-pemilu-2004-dan2009-&catid=1%3Alatest-news&lang=id 14
http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97%3Akebijakan-peningkatan-keterwakilan-perempuan-pemilu-2004-dan2009-&catid=1%3Alatest-news&lang=id 15
Pendapat Komnas Perempuan sebagai Pihak Terkait dalam Judicial Review UU Nomor 10 Tahun 2008 Perkara 22-24/PUU-VI/2008 Pasal 2 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2008: Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh per seratus) keterwakilan perempuan. 18 Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008: Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. 16 17
f.
dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta Pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; g. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.” Sayangnya, ketentuan dalam Pasal 55 ayat (2) tersebut pada akhirnya kehilangan maknanya ketika Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/208 membatalkan pasal 214 huruf a sampai e, sehingga mekanisme penetapan calon terpilih ditetapkan melalui suara terbanyak. Mahkamah Konstitusi memang tidak membatalkan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 yang mengatur zipper system19 dalam daftar calon. Sementara itu, penetapan calon terpilih melalui suara terbanyak sekalipun berpotensi mengurangi keterpilihan perempuan telah menjadi catatan bagi gerakan perempuan untuk mencermati pula berbagai variabel dalam sistem pemilu, tidak sekedar memperhatikan satu variabel tertentu saja. 2. Penempatan Caleg Perempuan Pada Nomor Urut Teratas Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, sistem Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional terbuka penuh (suara terbanyak) sebagai mekanisme penetapan calon terpilih. Walaupun putusan ini dinilai gerakan perempuan melemahkan kebijakan affirmasi yang diamanatkan dalam Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, pada prakteknya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak serta merta menafikan korelasi posisi nomor urut dengan keterpilihan calon legislatif. Caleg laki-laki dengan nomor urut teratas, terutama tiga urutan teratas, masih mendominasi keterpilihan, sehingga jika perempuan ditempatkan dalam urutan yang sama peluang keterpilihan juga besar.20 Tabel 2: Nomor Urut Perempuan Terpilih di Legislatif Hasil Pemilu 2009 Legislatif
No
No
No
No
Urut 2
Urut 3
Urut 4 dst
DPR RI
Urut 1 44%
29%
20%
7%
DPRD Provinsi
41%
20%
24%
14%
DPRD 41% Kabupaten/Kota
23%
18%
18%
Catatan
93% terpilih urutan 1-3 85% terpilih urutan 1-3 82% terpilih urutan 1-3
dari dari dari
Sumber: Puskapol UI, Representasi Minus Akuntabilitas, diakses dari http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=92%3Arepresentasi-minus-akuntabilitasanalisa-sistem-pemilu-2009&catid=46%3Ariset&Itemid=91&lang=id
Kebijakan affirmasi yang dikuatkan ke arah sistem zipper murni dalam daftar calon masih sangat relevan. Sistem ini mengharuskan dalam setiap nomor urut 1 dan 2 diisi oleh jenis kelamin berbeda sehingga peluang keterpilihan perempuan makin terbuka.
Zipper system atau sistem selang seling seperti gigi resleting, adalah sebuah sistem didalam proses Pemilu yang caranya adalah menempatkan caleg perempuan setelah caleg laki-laki di dalam daftar caleg dan sebaliknya. (sumber: Tulisan dari Drs. Wahidin Zein Br. Siregar, MA., P.hD. – Dosen Fakultas Dakwah, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, tentang: Kampanye Calon Legislatif Perempuan DPRD Kabupaten Sidoarjo Pada Pemilu 2009). 20 Lihat Puskapol UI, Representasi Minus Akuntabilitas, diakses dari http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=92%3Arepresentasi-minus-akuntabilitas-analisa-sistem-pemilu2009&catid=46%3Ariset&Itemid=91&lang=id. 19
3. Pemenuhan Caleg Perempuan Sekurang-kurangnya 30% pada Daftar Calon di setiap Daerah Pemilihan (Dapil) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengatur Partai Politik berhak mengajukan 120% nama dalam daftar calon di sebuah dapil. Dengan menempatkan jumlah caleg perempuan minimal 30% pada daftar calon, diharapkan peluang keterpilihan perempuan dapat ditingkatkan. Jumlah ini tentu saja tidak semestinya dijadikan dalih untuk pembatasan, justru perlu didorong agar dapat meningkat secara perlahan. Kondisi terbaik yang diharapkan adalah daftar caleg perempuan yang diajukan mewakili rasio penduduk berjenis kelamin perempuan di daerah yang sama. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2009, jumlah keterwakilan perempuan secara nasional memang meningkat. Namun jika dilihat ke masing-masing dapil, peningkatan ini tidaklah terjadi di setiap dapil. Untuk DPR RI, dari 77 Dapil pada tahun 2009, tidak semua dapil terdapat perempuan yang terpilih. Selain itu, pada Pemilu 2009 masih ada Partai Politik yang tidak memenuhi pencalonan perempuan 30%21. Ketimpangan tersebut menunjukkan bahwa pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif masih rendah. Hal itu selayaknya diperbaiki dengan mewajibkan partai politik meningkatkan caleg perempuan dalam daftar calon. Peningkatan itu tidak semata dilihat secara nasional namun harus diterapkan pada setiap dapil agar keterwakilan perempuan minimal 30% merupakan bangunan capaian dari tingkat lokal.22 4. Pemberian Sanksi pada Partai Politik Jika Tidak Memenuhi Ketentuan Penempatan Caleg Perempuan Sebanyak 30% Menjelang Pemilu 2014, Undang-Undang Paket Politik kembali dibahas oleh anggota legislatif untuk direvisi. Salah satu masalah yang menjadi perhatian dalam Naskah Akademis Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 2008 adalah belum dipenuhinya pencalonan anggota legislatif khususnya syarat keterwakilan perempuan minimal 30% oleh Partai Politik Peserta Pemilu. Parpol sering beralasan sulit memenuhi karena keterbatasan dan kekurangsiapan kader perempuan. Hal ini perlu diperjelas mengenai sanksi jika Parpol tidak memenuhi kuota caleg perempuan, apakah sanksi adminstratif atau sanksi lainya.23 Kedepan, perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 2008 ini diharapkan dapat memberikan sanksi yang tegas kepada Partai Politik yang mencoba menghindar dari ketentuan tersebut. Sesungguhnya Partai Politik sudah diberikan waktu setelah dua kali perubahan UU Paket Politik atau selama dua kali pemilu untuk mempersiapkan dirinya agar layak menjadi Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi kebijakan afirmasi 30% tersebut.
E. ASAS-ASAS DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Selain yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, asas-asas yang diusulkan untuk menjadi landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
Antara lain Partai Amanat Nasional, Partai RepublikaNusantara, Partai Patriot. Lihat misalnya dokumentasi Komnas Perempuan, Rapat Dengar Pendapat tentang RUU Pemilu Bersama Pansus RUU Pemilu, 14 Desember 2011. 23 Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Atas UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, hal.55. 21 22
•
Penghormatan Hak Asasi Manusia: penghormatan terhadap seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
•
Persamaan dan Non Diskriminasi: merupakan Setiap Pribadi adalah sama sebagai manusia dan atas dasar kekuatan martabat yang melekat pada setiap manusia.Setiap manusia berhak atas Hak Asasi Manusia nya tanpa diskriminasi jenis apa pun, seperti ras, warna (kulit), jenis kelamin, suku, umur, bahasa, agama, politik atau opini lain asal usul kebangsaan atau sosial, ketidakmampuan, harta kekayaan, kelahiran atau status lain seperti dijelaskan dalam instrumen Hak Asasi Manusia.
•
Keadilan Gender: merupakan suatu kondisi yang adil bagi perempuan dan laki-laki melalui sutau proses kultural dam struktural yang menghentikan hambatan-hambatan aktualisasi bagi pihak-pihak yang oleh karena jenis kelaminnya mengalami hambatan, baik secara kultural maupun secara struktural (Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional)
•
Kesetaraan Gender: kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut (Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional).
Implikasi dari pengadopsian asas-asas penghormatan hak asasi manusia, persamaan dan nondiskriminasi, keadilan gender dan kesetaraan gender, Undang-Undang baru tentang pemilihan umum yang akan menjadi panduan dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2014 sudah selayaknya memperhatikan usulan gerakan perempuan untuk penguatan dan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.
F. MATERI MUATAN DAN USULAN PERUBAHAN Berdasarkan pemikiran di atas, usulan perubahan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 harus diarahkan untuk menguatkan kebijakan tindakan khusus sementara atau tindakan affirmasi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Gerakan perempuan telah memformulasikan usulan perubahan yang akan diperjuangkan, terutama terhadap perubahan Pasal 53 dan Pasal 55 UU Nomor 10 Tahun 2008. Usulan tersebut telah melalui berbagai proses diskusi dan pembahasan bersama jaringan gerakan perempuan –dimana Komnas Perempuan juga terlibat di dalamnya- serta penyampaian kepada pihak terkait, misalnya melalui Rapat Dengar Pendapat antara Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI) dengan Pansus RUU Pemilu. Komnas Perempuan mendukung materi muatan yang diusulkan oleh gerakan perempuan untuk diadopsi menjadi norma baru dalam perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 2008, yaitu sebagai berikut: 1. Pencalonan Perempuan Pencalonan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam daftar calon harus diterapkan di semua tingkatan dan di setiap daerah pemilihan, baik daerah pemilihan DPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
a. Usulan Perubahan Pasal (Jika Kursi 3-10, Dapil 77): Pasal 53: 1) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 wajib memuat sekurangkurangnya 30% keterwakilan perempuan. 2) Keterwakilan perempuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku di setiap daerah pemilihan DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. 3) Dalam hal partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak dapat mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan. b. Usulan Perubahan Pasal (Jika Dapil 100-119, Kursi 3-6): Pasal 53: 1) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 wajib memuat 50% keterwakilan perempuan 2) Keterwakilan perempuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku di setiap daerah pemilihan DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. 3) Dalam hal partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak dapat mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan. 2. Penempatan Calon Perempuan di Daftar Calon Penempatan calon perempuan yang semula menganut sistem zipper 1 diantara 3 caleg dalam daftar calon adalah jenis kelamin berbeda, dikuatkan menjadi sistem zipper murni, dimana 1 di antara 2 caleg dalam daftar calon harus diisi oleh jenis kelamin berbeda. Pasal 55: (1) Tetap (2) Tetap (3) Di dalam daftar bakal calon pada nomor urut 1 dan 2 diisi oleh bakal calon dengan jenis kelamin berbeda. (4) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pas foto diri terbaru. (5) Dalam hal partai politik peserta pemilu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) maka KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengeluarkan surat peringatan kepada partai politik peserta pemilu. 3. Verifikasi oleh KPU Usulan Perubahan berupa penambahan ayat yaitu pada ayat (4), (5), (6) dan (7). Pasal 57: (1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapam dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD Provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (4) KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengembalikan daftar nomor urut calon kepada Partai Politik yang tidak mencantumkan 30% perempuan pada daftar calon tetap di setiap daerah pemilihan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53. (5) KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengembalikan daftar nomor urut calon kepada Partai Politik yang tidak mengurutkan daftar calon tetap di setiap daerah pemilihan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). (6) Pengembalian daftar caleg tetap kepada partai yang bersangkutan untuk diperbaiki paling lambat tujuh (7) hari. (7) Jika dalam waktu tujuh (7) hari partai tersebut tidak mengembalikan berkas perbaikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (6), maka daftar caleg untuk dapil itu dianggap tidak ada. G. Penutup Kertas posisi ini disusun guna mendukung upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui perubahan norma dalam RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai upaya menguatkan kebijakan affirmasi yang sebelumnya telah diadopsi dalam UU Paket Politik. Upaya ini diharapkan menjadi bagian dari langkah taktis dan sinergis antara masyarakat sipil dan institusi negara sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berkualitas dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.[]
Lampiran Rekomendasi Usulan Materi Muatan Dalam RUU Perubahan Atas UU 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan DPRD Isu Pencalonan Perempuan
UU Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 53 Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Usulan Perubahan a.1 Usulan Perubahan Pasal (Jika Kursi 3-10, Dapil 77): 1) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 wajib memuat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan. 2) Keterwakilan perempuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku di setiap daerah pemilihan DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. 3) Dalam hal partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak dapat mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan. a.2 Usulan Perubahan Pasal (Jika Dapil 100119, Kursi 3-6): Pasal 53: 1) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 wajib memuat 50% keterwakilan perempuan 2) Keterwakilan perempuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku di setiap daerah pemilihan DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. 3) Dalam hal partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak dapat mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan.
Penempatan Calon Perempuan
Pasal 55 (1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut. (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. (3)Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pas foto diri
Pasal 55 (1) Tetap (2) Tetap (3) Di dalam daftar bakal calon pada nomor urut 1 dan 2 diisi oleh bakal calon dengan jenis kelamin berbeda. (4) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pas foto diri terbaru. (5) Dalam hal partai politik peserta pemilu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) maka KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengeluarkan surat peringatan kepada partai politik peserta pemilu.
Argumentasi
Dalam pasal ini ketentuan affirmasi 30% dalam daftar calon di setiap dapil di semua tingkatan ditegaskan sebagai kewajiban yang berkonsekuensi pada sanksi kepada partai politik yang tidak memenuhi ketentuan tersebut.
Dalam pasal ini, jika Dapil menjadi 100-119 dan kursi 3-6, pencalonan 50% perempuan dalam daftar calon di setiap dapil di semua tingkatan ditegaskan sebagai kewajiban yang berkonsekuensi pada sanksi kepada partai politik yang tidak memenuhi ketentuan tersebut.
Tidak adanya kewajiban untuk menempatkan calon perempuan pada nomor urut jadi cenderung mengakibatkan potensi keterpilihan perempuan menjadi tidak konsisten dengan semangat affirmasi yang diangkat. Oleh karena itu, kebijakan affirmasi harus dipertegas dalam pasal ini dengan mewajibkan partai politik menempatkan calon perempuan pada nomor
Verifikasi KPU
terbaru. Pasal 57 (1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
urut 1 atau 2. Pasal 57: 1. Tetap 2. Tetap 3. Tetap 4. KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengembalikan daftar nomor urut calon kepada Partai Politik yang tidak mencantumkan 30% perempuan pada daftar calon tetap di setiap daerah pemilihan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53. 5. KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengembalikan daftar nomor urut calon kepada Partai Politik yang tidak mengurutkan daftar calon tetap di setiap daerah pemilihan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). 6. Pengembalian daftar caleg tetap kepada partai yang bersangkutan untuk diperbaiki paling lambat tujuh (7) hari. 7. Jika dalam waktu tujuh (7) hari partai tersebut tidak mengembalikan berkas perbaikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (6), maka daftar caleg untuk dapil itu dianggap tidak ada.
Kebijakan affirmasi seringkali termentahkan karena tidak tersedianya mekanisme bagi KPU untuk memberikan sanksi atau setidaknya mengembalikan daftar urut calon kepada parpol. Sehingga dalam RUU Perubahan UU Pemilu perlu ditambahkan ketentuan tentang kewenangan KPU untuk mengembalikan daftar urut calon kepada partai politik yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 53 dan 55.
Daftar Pustaka
Dokumentasi Komnas Perempuan, Rapat Dengar Pendapat tentang RUU Pemilu Bersama Pansus RUU Pemilu, 14 Desember 2011. Komnas Perempuan, Teror dan Kekerasan Terhadap Perempuan: Hilangnya Kendali Negara, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2010, Jakarta: Komnas Perempuan, 2011. Komnas Perempuan, Ringkasan Diskusi Tematik Perempuan dan Pemilukada, Juli 2010. MaJEMUK Edisi 37 Januari–Februari tahun 2009, Artikel Stara: Bukan Sekedar Ketuk Palu, Jakarta: ICRP, 2009 Marle Karl, Women and Empowerment: Partisipation and Decision Making, London & New Jersey: Zed Book Ltd, 1995, hl. 63-64, sebagaimana dikutip dalam Sidik Pramono (editor), Meningkatkan Keterwakilan Perempuan: Penguatan Kebijakan Afirmasi, Jakarta: Kemitraan, 2011. Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Atas UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD. Puskapol UI, Representasi Minus Akuntabilitas, diakses dari http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=92%3Arepre sentasi-minus-akuntabilitas-analisa-sistem-pemilu2009&catid=46%3Ariset&Itemid=91&lang=id. Putusan Mahkamah Konstitusi Judicial Review UU Nomor 10 Tahun 2008 Perkara 22-24/PUUVI/2008 Titi Sumbung, “Caleg Partai Peserta Pemilu Minimum 30% Perempuan, Siapa Takut?!”, Rilis Jaringan Perempuan dan Politik, 2003.
Website: http://www.bps.go.id/booklet/Boklet%20November_2011.pdf. http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97%3Akebijakanpeningkatan-keterwakilan-perempuan-pemilu-2004-dan-2009-&catid=1%3Alatestnews&lang=id
Addendum Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah24
Bulan April 2012, RUU Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Dengan judul yang tidak berbeda dari Undang-Undang sebelumnya, sejauh mana perubahan dalam UU ini memberikan dukungan terhadap upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen? Perbandingan antara usulan perubahan dengan UU yang telah disahkan adalah sebagai berikut: Isu Pencalonan Perempuan
UU Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 53
Usulan Perubahan a.1 Usulan Perubahan Pasal (Jika Kursi 3-10, Dapil 77):
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 8. memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. 9.
Penempatan Calon Perempuan
24
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 wajib memuat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku di setiap daerah pemilihan DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. 10. Dalam hal partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak dapat mengikuti pemilu di daerah pemilihan yang bersangkutan. Pasal 55 Pasal 55 (1) Nama-nama calon dalam (1) Tetap daftar bakal calon (2) Tetap sebagaimana dimaksud (3) Di dalam daftar bakal calon pada dalam Pasal 54 disusun nomor urut 1 dan 2 diisi oleh bakal berdasarkan nomor urut. calon dengan jenis kelamin (2) Di dalam daftar bakal calon berbeda. sebagaimana dimaksud pada (4) Daftar bakal calon sebagaimana ayat (1), setiap 3 (tiga) orang dimaksud pada ayat (1) disertai bakal calon terdapat dengan pas foto diri terbaru. sekurang-kurangnya 1 (satu) (5) Dalam hal partai politik peserta orang perempuan bakal pemilu tidak memenuhi ketentuan calon. sebagaimana dimaksud pada ayat (3)Daftar bakal calon (1), (2) dan (3) maka KPU, KPU sebagaimana dimaksud pada Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota ayat (1) disertai dengan pas mengeluarkan surat peringatan foto diri terbaru. kepada partai politik peserta pemilu.
Bagian ini ditulis pada bulan November 2012.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 55 (Tetap seperti Pasal dalam UU 10/2008) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.
Pasal 56 (Tetap seperti Pasal dalam UU 10/2008) (1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut. (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. (3) Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pas foto diri terbaru.
Verifikasi KPU
Pasal 57 (1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 57: (1) Tetap (2) Tetap (3) Tetap (4) KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengembalikan daftar nomor urut calon kepada Partai Politik yang tidak mencantumkan 30% perempuan pada daftar calon tetap di setiap daerah pemilihan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53. (5) KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengembalikan daftar nomor urut calon kepada Partai Politik yang tidak mengurutkan daftar calon tetap di setiap daerah pemilihan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). (6) Pengembalian daftar caleg tetap kepada partai yang bersangkutan untuk diperbaiki paling lambat tujuh (7) hari. (7) Jika dalam waktu tujuh (7) hari partai tersebut tidak mengembalikan berkas perbaikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (6), maka daftar caleg untuk dapil itu dianggap tidak ada.
Pasal 58 (Tetap seperti Pasal dalam UU 10/2008, kecuali ada penambahan kata “bakal calon” pada ayat (2) dan (3)”. (1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. (2) KPU Provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. (3) KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.
Hasil dari perbandingan di atas, dapat dipastikan tidak ada perubahan pada pasal-pasal krusial yang menjadi perhatian dari gerakan perempuan untuk mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2008 hanya berubah posisi menjadi Pasal 55 dalam UU 8 Tahun 2012. Adapun redaksi dan substansi pasal tidak berubah sama sekali. Demikian pula dengan 2 pasal lainnya. Kecuali pada Pasal 57, dimana terdapat penambahan istilah “bakal calon” pada ayat (2) dan (3) yang sifatnya juga hanya redaksional saja. Tidak adanya perubahan pada pasal-pasal tersebut mengkonfirmasi pemantauan proses pembahasan RUU ini, dimana pasal-pasal tentang keterwakilan perempuan sedari awal memang tidak diagendakan untuk diubah. Suara gerakan perempuan untuk mendorong perubahan pada pasal-pasal terkait menggema lalu tenggelam di tengah hiruk pikuk DPR RI membahas isu-isu krusial dalam Pemilu tentang Sistem Pemilihan Umum (Proporsional Terbuka atau Tertutup), Nilai ambang
batas parlemen (Parliamentary Treshold/PT), penentuan jumlah kursi dan daerah pemilihan, dan perhitungan sisa suara. Walaupun demikian, ada baiknya kita lihat Penjelasan Pasal 56, yang menyebutkan sebagai berikut: Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya. Ayat (3) Cukup jelas. Penjelasan Pasal 56 ayat (2) yang menyebutkan “tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya” mungkin merupakan pengakuan terhadap fakta penerapan Pasal 56 ayat (2) yang seringkali dimaknai sebagai penempatan bakal calon perempuan bukan pada nomor urut 1, bahkan lebih sering pada nomor urut yang paling bawah. Penjelasan ini sepertinya memberi harapan sekaligus penegasan bahwa penempatan bakal calon perempuan tidak seharusnya diletakkan pada nomor urut kelipatan 3, yaitu 3, 6 dan seterusnya. Ketentuan ini menyatakan nomor urut 1, 2 atau 3 juga dapat ditempati oleh bakal calon perempuan. Namun, penjelasan ini masih perlu dicermati kembali agar tidak membuka potensi baru yang menghambat upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Nomor urut memang merupakan salah satu variabel yang menentukan tingkat keterpilihan bakal calon dalam pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Redaksi dalam Penjelasan Pasal 56 ini karena menekankan pada variabel nomor urut, nampaknya luput memperhatikan proporsi bakal calon perempuan jika melebihi 30%, dengan membatasi pada setiap 3 bakal calon dimana sekurangkurangnya terdapat 1 orang perempuan bakal calon. Penempatan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan seterusnya, akan menimbulkan kebingungan manakala dalam setiap 3 bakal calon terdapat lebih dari 1 bakal calon perempuan. Mengacu pada penjelasan tersebut, seorang bakal calon perempuan dapat saja ditempatkan pada urutan 1, namun untuk bakal calon perempuan yang berikutnya dari dapil yang sama potensi ditempatkan pada urutan 2 atau 3 menjadi tertutup karena ia masuk dalam “setiap 3 bakal calon” berikutnya. Oleh karena itu, perlu dipastikan dalam penerapan Pasal 56 ini, pemaknaan terhadap Penjelasan Pasal 56 ayat (2) yang menyebutkan “dalam setiap 3 bakal calon” tidak membatasi bakal calon perempuan yang akan masuk dalam daftar bakal calon. Hal ini hanya akan dapat terwujud jika ada political will dari para pihak yang akan menjadi peserta Pemilu. Dengan demikian, UU ini diharapkan dapat mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen hingga mencapai angka kritis minimal 30% yang diharapkan.[]