Bagian Empat
Mendidik Tenaga Pendidik bagi Siswa yang Berkebutuhan Khusus Siri Wormnæs
Penelitian mengenai pendidikan guru reguler maupun guru pendidikan kebutuhan khusus telah mengidentifikasi banyak masalah dan faktor yang mempengaruhi perkembangan dan hasil dari program-program yang bertujuan untuk mendidik para pendidik33 bagi siswa yang berkebutuhan khusus. Program pendidikan guru yang efektif dan tepat harus mempertimbangkan berbagai permasalahan dengan cakupan yang luas. Tidak cukup dengan hanya membuat daftar bidang pengetahuan yang diharapkan dikuasai oleh para calon pendidik. Beberapa isu berkaitan dengan hubungan antara sistem pendidikan masyarakat dan kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru pendidikan kebutuhan khusus. Program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus yang berkembang di satu masyarakat pada periode tertentu dalam sejarah terkait dengan konteks tertentu dan mungkin tidak cocok untuk masyarakat lain atau waktu lain dalam sejarah. Perspektif tentang pengetahuan, belajar dan mengajar merupakan isu-isu lainnya yang sangat penting untuk perancangan dan implementasi program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus. Isu-isu dan faktor-faktor yang relevan dengan program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus serta beberapa analisis tentang dampak komponen-komponen tertentu dalam program pendidikan guru akan disajikan di bawah ini, bersama dengan sekilas pandang tentang tren-tren program pendidikan guru di dunia barat.
Faktor-faktor sosial budaya Faktor-faktor sosial budaya dalam suatu masyarakat mempengaruhi bagaimana layanan bagi para penyandang kecacatan (disability)34 berkembang. Contoh faktor-faktor tersebut adalah peran anak dalam keluarga, bagaimana orang memahami dan memandang kecacatan, bagaimana masyarakat menghargai pendidikan, peranan pendidikan dalam menentukan masa depan seorang warga, hubungan antara tanggung jawab swasta dan pemerintah dalam arena pendidikan dan sosial, prioritas politik, serta sumber daya ekonomi dan material (Froestad 1996; Ingstad & Whyte 1995). Fakta bahwa terdapat
33 Seorang pendidik di kebanyakan negara akan menjadi guru. Namun, seorang pendidik dapat juga menjadi seorang profesional yang terlibat dalam program pengembangan atau program pembelajaran dengan bidang cakupan yang lebih luas daripada yang biasanya dipahami sebagai pengajaran. Makalah ini akan menggunakan kedua istilah tersebut dengan arti yang sama dalam pengertian yang luas. 34 WHO sedang dalam proses finalisasi Klasifikasi Internasional tentang impairment, disability dan Handicap yang direvisi dari tahun 1980. Menurut manual tahun 1980, impairment adalah suatu abnormalitas struktur dan penampilan tubuh, atau gangguan organ atau fungsi sistem. Disability merupakan konsekuensi dari impairment dalam hal kinerja fungsional dan aktivitas. Handicap mencakup kerugian yang dialami individu sebagai akibat dari impairment dan disability.
saling ketergantungan antara layanan untuk penyandang cacat dan perkembangan profesi pendidikan kebutuhan khusus tidak diragukan lagi. Sebagian orang mengatakan bahwa layanan untuk penyandang cacat menentukan perkembangan profesi ini, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa kualifikasi dan pelatihan untuk para profesional mempengaruhi perkembangan layanan tersebut. Ravneberg (1999) memberikan contoh tentang saling ketergantungan tersebut dalam analisisnya tentang perkembangan pendidikan kebutuhan khusus sebagai profesi di Norwegia pada akhir tahun 1800 hingga 1991. Dia menggambarkan bagaimana pendidik khusus pada mulanya dipandang sebagai guru saja. Secara berangsur-angsur mereka menduduki posisi yang cenderung lebih Mengarah pada perawatan atau terapi. Peranan tersebut terkait dengan proses segregasi; proses yang ditandai dengan upaya untuk mendiagnosis siswa-siswa yang dianggap tidak layak untuk belajar di sekolah reguler. Kebijakan integrasi, yang telah diimplementasikan secara bertahap sejak tahun 1970-an, menuntut bahwa guru reguler bertanggung jawab atas kegiatan pendidikan untuk siswa penyandang cacat juga. Pendidik khusus menjadi aktif dalam bidang lain dan mengambil posisi yang menekankan pada konseling, konsultasi dan inovasi. Akhirnya, fokusnya berpaling ke pencegahan masalah-masalah individu dan ke sistem persekolahan dalam sistem inklusif. Wacana tentang normalitas dan penyimpangan, dan bagaimana penyimpangan didefinisikan dan ditempatkan dalam sistem sekolah telah berpengaruh pada perkembangan profesi ini. Wacana kedua, tentang diferensiasi dan segregasi, juga telah mempengaruhi perkembangan tersebut. Wacana ketiga yang berpengaruh adalah tentang partisipasi dan inklusi.
Orientasi ideologi Nilai-nilai dan keyakinan tentang pengajaran dapat diklasifikasikan menurut bermacammacam orientasi di dalam pendidikan guru. Orientasi-orientasi tersebut dapat ditandai dengan fokusnya pada keahlian dan pengetahuan guru tentang mata-mata pelajaran inti di sekolah (orientasi akademik), dengan penekanan pada keterampilan mengajar teknis (orientasi teknis), dengan fokus pada berpikir dan kognisi (orientasi praktisi reflektif), dengan fokus pada belajar mengajar sebagai proses pengembangan pribadi (orientasi pribadi) atau dengan menciptakan pemahaman tentang konteks sosial sekolah dan konsekuensi sosial dari tindakan mereka sebagai guru (orientasi inovator atau emansipasi). Tiap orientasi menawarkan suatu perspektif tertentu tentang penyiapan profesi guru. Pendidikan guru mengandung aspek-aspek dari kesemuanya itu, tetapi ada perbedaan dalam penekanan dan fokusnya (Calderhead & Shorrock 1997; Schwarz 1996). Suatu orientasi dapat dipandang sebagai didasari oleh faktor sosial budaya seperti situasi dan kebijakan pendidikan masyarakat dan situasi penyandang cacat di masyarakat yang bersangkutan. Sebuah orientasi dapat didasarkan atas pandangan tentang pengetahuan apa yang dipandang berharga atau baik, dan perilaku guru yang bagaimana yang dianggap pantas di masyarakat. Misalnya, guru mungkin diharapkan untuk berpikir kritis tentang pengajarannya atau mereka mungkin diharapkan terutama untuk menyampaikan pengetahuan dalam mata-mata pelajaran inti seperti yang disajikan dalam kurikulum pendidikan dan buku teks resmi. Suatu orientasi dapat juga didasarkan atas apa yang diyakini sebagai yang terbaik dalam mempersiapkan guru, seperti keyakinan yang kuat
akan belajar keterampilan-keterampilan teknis atau keyakinan yang kuat akan refleksi (berpikir dan kognisi).
Pendidikan guru umum atau spesialis Program pendidikan guru khusus pertama kali dikembangkan bagi guru yang bekerja dalam seting segregasi untuk siswa dengan kecacatan tertentu seperti tunanetra dan tunarungu. Negara-negara yang telah mengalami peningkatan inklusi siswa penyandang cacat dalam seting pendidikan reguler telah juga melihat semakin besarnya dukungan terhadap pemikiran bahwa pendidik umum dan pendidik khusus perlu keahlian dalam kedua bidang ini (Palmer & Hall 1999), dan bahwa program pendidikan guru reguler dan program pendidikan guru khusus sejauh tertentu dapat digabungkan, sekurang-kurangnya pada tahap awal (York & Reynolds 1996). Sebagai konsekuensi dari kebijakan inklusi di Norwegia, pendidikan guru reguler untuk semua siswa diharuskan mencakup unsur-unsur pendidikan kebutuhan khusus. Mahasiswa35 dapat memilih mata kuliah ttambahan dalam pendidikan kebutuhan khusus sebagai bagian dari pendidikan guru reguler. Setelah lulus, setiap guru dapat melanjutkan pendidikannya dalam pendidikan kebutuhan khusus. Beberapa universitas menawarkan pendidikan yang lebih akademis dalam pendidikan kebutuhan khusus profesional, dengan lebih menekankan pada konseling, inovasi dan penelitian. Perbedaan antara pendidikan yang diadaptasikan untuk populasi siswa yang beragam dalam sekolah inklusif dan pendidikan kebutuhan khusus untuk siswa-siswa yang membutuhkan kurikulum atau metode yang khusus merupakan isu kontroversial dalam perdebatan sekarang ini. Perspektif pengayaan, yang dirumuskan di Norwegia sebagai suatu pendekatan alternatif atau pelengkap terhadap model pendidikan khusus diagnostik-terapeutik, adalah suatu model yang didasarkan atas kekuatan dan kemampuan yang melibatkan asesmen tentang apa yang dapat dilakukan oleh anak serta apa yang dapat dilakukan oleh sekolah, dan menggunakan informasi ini sebagai titik tolak untuk menciptakan atau mengadaptasikan lingkungan belajar. Untuk mengaktualisasikan perspektif ini akan memerlukan perubahan dalam program pendidikan guru (Befring 1997). Terdapat juga diskusi di kalangan para pendidik guru yang terlibat dalam pendidikan guru khusus mengenai apakah program tersebut harus berdasarkan kategori kecacatan, harus lintas kategori atau tanpa kategori. Tren di Amerika Serikat adalah semakin cenderung ke program lintas kategori dan non-kategori, khususnya yang berhubungan dengan penyiapan guru-guru bagi siswa penyandang cacat ringan (York & Reynolds 1996). Di Norwegia kecenderungannya adalah ke arah yang sama, meskipun muncul juga argumen yang sebaliknya, khususnya dalam hal mendidik guru bagi siswa tunanetra dan tunarungu. Diskusi mengenai penyiapan guru pendidikan kebutuhan khusus berdasarkan usia kronologis juga telah muncul dalam literatur profesional terbaru. Untuk anak-anak usia prasekolah, fokusnya pada pencegahan gangguan perkembangan dan peningkatan interaksi anak dalam lingkungan. Untuk jenjang sekolah dasar, perhatian yang lebih besar dapat diberikan pada dukungan terhadap pertumbuhan akademik dan keterampilan fungsional. Pada jenjang sekolah menengah, perhatian dapat diberikan pada pelatihan kejuruan. Bagi orang dewasa, fokusnya lebih pada pekerjaan, partisipasi masyarakat dan pendidikan lanjut (York & Reynolds 1996). 35
Kata “mahasiswa” digunakan untuk orang yang belajar untuk menjadi guru.
Bidang-bidang sasaran untuk kompetensi yang dipersyaratkan Daftar kompetensi, seperti yang dipublikasikan oleh The American Concil of Exceptional Children, dan disajikan di bawah ini, adalah daftar yang umum ditemukan dalam literatur mengenai bidang pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan dimiliki oleh guru pendidikan kebutuhan khusus. Setiap bidang sasaran itu menuntut kompetensi yang cenderung ditandai oleh aspek-aspek pengetahuan profesional yang akan dibahas berikut ini (pengetahuan faktual, praktis dan familiaritas). 1. Landasan filosofis, historis dan legal pendidikan khusus 2. Karakteristik siswa 3. Asesmen, diagnosis dan evaluasi 4. Isi materi dan praktek mengajar 5. Perencanaan dan pengelolaan lingkungan belajar dan mengajar 6. Pengelolaan perilaku dan keterampilan interaksi sosial siswa 7. Komunikasi dan kemitraan kolaboratif 8. Profesionalisme dan praktek etis (Swan & Sirvis 1992) (York & Reynolds 1996:824). Kategori-kategori lain yang telah ditambahkan oleh ahli-ahli lain meliputi keterampilan baca tulis dasar, interaksi antara siswa penyandang cacat dengan sebayanya yang noncacat, kerjasama dengan orang tua, dan pengajaran interaktif untuk pengembangan kognitif. Disarankan agar daftar di atas diperpanjang bila mempertimbangkan kebutuhan khusus yang unik siswa yang tunanetra atau tunarungu, atau yang menyandang kecacatan lainnya yang berinsiden rendah. Pengetahuan dan keterampilan dalam bidang medis dan masalah kesehatan, pengajaran berbasis masyarakat, dan kerja tim lintas sektoral dapat ditambahkan untuk menangani siswa penyandang cacat ganda dan kecacatan yang parah (York & Reynolds 1996). Satu bidang tambahan yang muncul dalam literatur pendidikan guru adalah yang terkait dengan pembuatan keputusan yang didasarkan atas nilai-nilai mengenai isu-isu tentang kesetaraan dalam masyarakat, pemberian penghargaan akademis di sekolah, dilema antara memberikan kenyamanan kepada anak yang mengganggu melalui kegiatan bermain versus disiplin yang lebih ketat (York & Reynolds 1996). Menurut Calderhead & Shorrock (1997) etika kepedulian, sebagai satu faset pengajaran, telah sering dihargai oleh guru, orang tua dan anak-anak, tetapi belum diakui dalam diskusi tentang pengembangan profesional. (lihat bab yang ditulis oleh Johnsen & Rye dalam buku ini.) Bagian dari pengembangan profesionalisme guru adalah mempertanyakan nilai-nilai yang dianutnya sendiri dan meningkatkan tingkat kesesuaian antara nilai-nilai itu dengan prakteknya. Dilema moral merupakan aspek pengajaran dan memerlukan perhatian dalam pendidikan guru.
Dari kejuruan menjadi profesi Dale (1993) merujuk pada Schaefer (1967) dan membedakan antara pelatihan untuk kejuruan36 dan pendidikan untuk profesional37 bagi guru. Melatih guru untuk kejuruan mengajar berarti memberi mahasiswa gambaran praktis tentang prinsip-prinsip belajar, melatih keterampilan, memberi calon guru berbagai teknik dan prosedur yang telah terbukti berguna. Di pihak lain, pendidikan profesional dimaksudkan untuk menciptakan suatu dasar bagi guru yang mau bereksplorasi, reflektif dan berpengetahuan, seorang guru yang memiliki bermacam-macam strategi untuk membangun pengetahuan baru, untuk mengobservasi, mendeskripsikan dan mengevaluasi proses-proses belajar. Perkembangan sejarah pendidikan guru di banyak negara barat dapat digambarkan sebagai semakin meningkatnya penekanan pada orientasi profesional dan berkurangnya orientasi kejuruan yang lebih terbatas. Upaya-upaya untuk mengembangkan kompetensi di kalangan mahasiswa pada tahun 1960-an dan 1970-an didasarkan atas definisi keterampilan berdasarkan perilaku guru di dalam kelas dan merancang program pelatihan yang difokuskan pada keterampilan-keterampilan yang spesifik (Calderhead & Shorrock 1997). Sejak tahun 1970-an, diakui bahwa mahasiswa perlu mengembangkan suatu pemahaman praktek dan memperoleh sejumlah keterampilan berdasarkan pemahaman tersebut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa kompetensi ini menuntut pemahaman tentang mata pelajaran yang diajarkan, pemahaman tentang anak, kemampuan dan minatnya dan bagaimana mereka cenderung merespon terhadap bermacam-macam situasi, apresiasinya terhadap berbagai strategi mengajar dan bagaimana berbagai jenis aktivitas di kelas dapat dikelola (Calderhead & Shorrock 1997). Kebutuhan masyarakat dan sumber-sumber yang tersedia di dalamnya serta ekspektasi dan tuntutan publik serta pihak otoritas terhadap sekolah dan peran guru akan mempengaruhi perkembangan pendidikan guru, apakah harus memberi penekanan pada pelatihan untuk kejuruan atau profesi. Jika terdapat kekurangan guru, mungkin akan lebih bermanfaat jika melatih lebih banyak guru untuk menguasai keterampilan-keterampilan tertentu yang dapat dipelajari dalam waktu yang lebih singkat daripada mendidik guru sebagai profesional menurut kriteria yang dikemukakan oleh Dale. Suatu masyarakat tertentu mungkin akan berkeberatan untuk mendidik guru yang kritis dan reflektif.
Tiga aspek pengetahuan profesional Melalui analisis teoritis terhadap hakikat pengetahuan dan penelitian tentang kehidupan kerja, tiga aspek pengetahuan profesional telah didefinisikan. Ketiga aspek itu disebut pengetahuan faktual (atau pengetahuan proposional atau pengetahuan formal),38 pengetahuan praktis (atau keterampilan)39 dan pengetahuan familiaritas (atau tacit knowing)40 (Göranzon & Josefson 1988). Pengetahuan faktual adalah pengetahuan yang dapat diekspresikan melalui teori, kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, konsep-konsep dan definisi. Ini adalah pengetahuan yang dapat dipelajari dari buku. Satu contoh aspek pengetahuan ini, yang dihasilkan dari studi kehidupan kerja Di sebuah lembaga psikiatri di Norwegia, adalah pengetahuan tentang autisme (Alsterdal 1999). Pengetahuan praktis 36
Bahasa Norwegia: yrkesutdanning. Bahasa Inggris: craft. Bahasa Norwegia: profesjonsrettet utdanning 38 Bahasa Norwegia: påstandskunnkap 39 Bahasa Norwegia: ferdighetskunnskap 40 Bahasa Norwegia: fortrolighetskunnskap 37
atau keterampilan adalah penguasaan teknik-teknik tertentu. Satu contoh jenis pengetahuan ini, yang juga dihasilkan dari studi yang disebutkan di atas, adalah teknik untuk menghentikan serangan fisik dari klien yang mempunyai masalah perilaku (Alsterdal 1999). Pengetahuan familiaritas adalah aspek pengetahuan yang sulit dijelaskan, seperti kemampuan untuk menangani suatu situasi yang unik atau kemampuan untuk mengenali wajah. Pengetahuan ini dibangun dari pengalaman, tetapi lebih dari sekedar pengalaman. Ada orang yang dapat belajar dari pengalaman, tetapi ada pula yang tidak. Satu contoh pengetahuan seperti ini dari studi Alsterdal (1999) adalah seorang pegawai yang mampu mencegah seorang klien yang memiliki masalah perilaku untuk tidak menjambak rambut orang lain. Pegawai tersebut telah mengenal pola perilaku klien itu, dan telah belajar cara menghentikan perilaku tersebut, tetapi dia tidak dapat menjelaskan secara pasti apa yang telah diamatinya sehingga dapat menentukan pilihan tentang apa yang harus dilakukannya itu. Dia belum tentu mampu membimbing klien yang sama dalam situasi yang lain atau mencegah klien lain menjambak rambut orang. Jadi, pengetahuan familiaritas ini hanya berlaku untuk tugas-tugas tertentu, tidak berlaku umum. Ketiga aspek tersebut berkembang dalam interaksi (Alsterdal 1999). Schön (1983;1987) berargumen bahwa pengetahuan faktual tidak dapat dipergunakan sebagai “resep” untuk praktek seorang guru. Seorang guru senantiasa dihadapkan pada situasi-situasi yang unik. Dia mendefinisikan atau mengkonseptualisasikan situasi, memilih apa yang akan diperlakukan sebagai masalah, menetapkan batas-batas perhatian dan menggunakan kumpulan contoh-contoh yang ada, serta menerapkan pemahaman dan tindakannya. Program pendidikan bagi guru pendidikan kebutuhan khusus seyogyanya dirancang sedemikian rupa Sehingga mencakup kesemua aspek pengetahuan profesional itu.
Memfasilitasi refleksi Refleksi telah memperoleh banyak perhatian dalam kaitannya dengan pengetahuan guru, pendidikan guru dan pertumbuhan profesional. Schön adalah salah seorang penulisnya yang berpengaruh. Refleksi dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengenali suatu masalah, untuk mengajukan hipotesis, untuk menyelidikinya, menganalisisnya, membuat keputusan dan mengevaluasi apakah prosesnya dapat diperbaiki atau tidak. Schön telah mengidentifikasi dua bentuk refleksi: refleksi dalam tindakan dan refleksi tentang tindakan. Refleksi dalam tindakan adalah proses memonitor dan mengadaptasikan perilaku seseorang terhadap suatu situasi. Bagi seorang guru, ini akan terjadi pada saat dia berinteraksi dengan siswa di kelas. Refleksi tentang aksi adalah evaluasi setelah kejadian di kelas, menganalisis di mana kesulitan muncul, mempertimbangkan bagaimana kesulitan tersebut dapat ditangani, dan merencanakan tindakan selanjutnya (Calderhead & Shorrock 1997). Schön menyarankan agar mentor41 mengkomunikasikan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan praktisnya dengan bekerja bersama dengan siswa dalam memecahkan masalah, dengan membicarakan kemajuan pekerjaannya dan dengan membicarakan cara alternatif bagi siswa untuk mempersepsi situasi tertentu (Calderhead & Shorrock 1997). Namun, implementasi pendidikan guru untuk mendidik guru yang reflektif ternyata tidak 41 Guru atau dosen yang mengawasi dan membimbing mahasiswa atau siswa dalam hal pengalaman sekolah/kuliahnya sehari-hari.
mudah (Wood & Bennett 2000; Calderhead & Shorrock 1997). Diskusi dan partisipasi aktif tampaknya merupakan metode yang khas untuk ini. Aktivitas yang dimaksudkan untuk meningkatkan dorongan untuk menyelidiki dan menambah pengetahuan dan pemahaman, interaksi berbasis wacana dan berpusat pada mahasiswa telah diperkenalkan dalam program pendidikan di banyak negara barat. Di Jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo, tren selama tiga atau empat tahun terakhir ini adalah mengurangi jam perkuliahan dan meningkatkan waktu untuk kegiatan mahasiswa yang ditujukan untuk meningkatkan refleksi dan asesmen diri. Mahasiswa telah terlibat lebih banyak dalam pemecahan masalah secara aktif dan mengurangi mendengarkan perkuliahan secara pasif (Lauvås & Vea 2000). Melalui konseling yang cukup, pendidik guru dapat mendorong para mahasiswa mengembangkan “teori praktek profesionalnya” sendiri (Lauvås & Handal 2000). Pendidik guru perlu membangkitkan dan kemudian menggunakan ide-ide mahasiswa yang ada sebagai dasar untuk membantu mereka membangun pemahaman baru. Menurut beberapa penelitian, diskusi kelompok di kalangan mahasiswa dapat berfungsi sebagai pendukung penting (Hawkey 1995 dalam Calderhead 1997).
Perhatian selektif dan interpretasi bias “Memasuki Konsepsi” yang dimiliki calon guru itu mempengaruhi interpretasi tentang informasi dan pengalaman baru, dan oleh karenanya juga mempengaruhi apa yang dipelajari dari pendidikan guru. Misalnya, jika calon guru sangat berkomitmen untuk meningkatkan kompetensinya dalam satu aspek pengajaran, maka mereka akan memilih dan mengasimilasi ide-ide tentang aspek tersebut, mengabaikan atau menghindari kesankesan dan ide-ide lain (Anderson, Smith & Peasley 2000). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perhatian yang selektif terhadap satu aspek tertentu akan menghambat terintegrasinya berbagai konsepsi dalam dua cara. Perhatian selektif membatasi perbendaharaan pengetahuan tentang praktek-praktek yang sudah dikembangkan karena sebagian dari praktek-praktek tersebut tidak akan dipersepsi sebagai berharga dan tidak patut untuk dipelajari. Perhatian yang membatasi perhatian terhadap ide-ide yang umum akan mencegah dipertimbangkannya ide-ide yang tidak sesuai dan akibatnya mengabaikan kesempatan untuk belajar dengan mempertimbangkan ide-ide alternatif (Anderson, Smith & Peasley 2000).
Masalah Implementasi Asumsi mendasar dalam beberapa bidang, di antaranya bidang pendidikan, adalah bahwa guru-guru yang memahami teori, telah belajar konsep-konsep yang relevan, telah memahami kompleksitas situasi mengajar dan telah belajar mengenai praktek-praktek yang baik akan memanfaatkan pengetahuan tersebut. Akan tetapi, penelitian menunjukkan bahwa “mengetahui tidak berarti melakukan” (Schwartz 1996, hal 6). Guru tidak selalu melaksanakan apa yang diketahuinya. Ini disebut masalah implementasi. Di dalam literatur, ada tiga kemungkinan penjelasan tentang masalah implementasi ini. Ketiga penjelasan tersebut adalah sebagai berikut: 1) dipertahankannya keyakinan tentang pengajaran dan pekerjaan serta peran guru, 2) dipertahankannya penggunaan konsepkonsep sehari-hari, dan 3) adaptasi guru pemula terhadap budaya profesional dan kenyataan praktek yang mereka temukan sebagai guru.
Orang muda yang memasuki pendidikan guru telah lebih banyak melihat guru bekerja daripada melihat kelompok pekerjaan lain (Lortie 1975). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keyakinan yang dibawa mahasiswa ke dalam pelatihan prajabatan, yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya, sejauh tertentu tetap dipertahankan selama masa pelatihannya (Richardson 1996). Daya terima terhadap pendekatan-pendekatan mengajar yang berorientasi konstruktivisme, misalnya, menurun akibat keyakinan yang kuat dari mahasiswa bahwa peran guru adalah memberikan pengetahuan kepada siswa dengan cara pengajaran langsung (Richardson 1996). Alasan mengapa mahasiswa dan guru pemula cenderung menerapkan pengetahuan yang telah mereka dapatkan sebelum memasuki pendidikan guru, mungkin karena “orang memegang berbagai keyakinannya dalam rumpun-rumpun, dan tiap rumpun di dalam sistem keyakinan itu mungkin terlindung dari rumpun lain” (Richardson 1996:103 didasarkan atas Green 1971). Jadi, keyakinan yang tidak sesuai mungkin berada dalam rumpun yang berbeda. Keyakinankeyakinan yang bertentangan tentang obyek atau ide yang sama, yang diperoleh selama pengalaman hidup sebelumnya dan yang diperoleh dari pendidikan guru dapat digunakan secara bergantian, tergantung pada konteksnya. Penjelasan lain yang terkait erat untuk masalah implementasi tersebut, yang didasarkan atas pandangan Vygotsky tentang perkembangan konsep, menyatakan bahwa guru pemula mungkin menggunakan dua cara untuk membangun pengetahuan kependidikannya: konsep spontan dan konsep keilmuan. Konsep spontan atau konsep keseharian muncul dalam konteks penggunaannya. Pemikiran individu berkembang dari fenomena yang dialaminya berulang kali dalam konteks yang spesifik, ke kategori yang dapat digeneralisasikan. Di pihak lain, konsep keilmuan diperoleh dari pengajaran formal, yang diawali dengan pemahaman analitik. Ide-ide dipandang dalam kaitannya dengan konsep-konsep lain, tidak dikaitkan dengan pengalaman konkret. Bila kedua cara yang bertentangan untuk mengkonstruksi pengetahuan ini digabungkan, maka terbentuklah apa yang disebut sebagai konsep yang benar, dan konsep tersebut dapat digunakan dalam pemikiran praktis. Dalam sebuah penelitian tentang perolehan pengetahuan dalam pengajaran membaca, mahasiswa memperluas penggunaan istilah-istilah kependidikannya yang relevan, tetapi ini tampaknya tidak menghasilkan pemahaman yang lebih dalam (Roskos & Walker 1993:425). Roskos dan Walker berpendapat bahwa ini mungkin mencerminkan apa yang oleh Vygotsky diistilahkan sebagai konsep “semu” atau konsep peralihan, “bayangan” konsep yang digunakan terutama untuk berkomunikasi dengan orang lain, tidak berfungsi sebagai cerminan pemikiran pedagogis mahasiswa itu sendiri”. Pola budaya lembaga pendidikan (misalnya yang terkait dengan sistem nilai, pandangan dunia, organisasi sosial, keterampilan teknis, sistem perekonomian, sistem politik, bahasa yang dipergunakan, sistem estetika, proses sosialisasi dan pendidikan yang menentukan transmisi pengetahuan dan tradisi) mempengaruhi pemanfaatan pengetahuan kependidikan yang diperoleh dalam program pendidikan guru. Guru pemula mendapati bahwa dia harus menyesuaikan diri dengan norma-norma perilaku atau ekspektasi yang ditentukan oleh universitas atau lembaga pendidikan guru atau sistem sekolah (Schwartz 1996). Kenyataan praktis lingkungan sekolah, keyakinan yang dianut oleh teman sejawat, ekspektasi atau tuntutan dari senior atau atasan dapat mempengaruhi pilihan tindakan dan bahkan pemikiran guru pemula. Sosialisasi profesional merupakan proses yang kompleks dan sejauh tertentu tidak disadari oleh guru tersebut. Program pendidikan guru tidak dapat menghapus dampak pengaruh ini tetapi dapat berupaya untuk mempersiapkan mahasiswa untuk kenyataan di masa datang.
Menantang keyakinan, konsep dan konsepsi di kalangan mahasiswa Jika tujuan mendidik guru adalah untuk memberikan pendidikan profesional, bukan untuk pelatihan kejuruan (lihat di atas), maka program pendidikan guru perlu diatur sedemikian rupa sehingga memberi para calon guru kesempatan untuk mengeksplorasi, mempertanyakan dan menantang keyakinan dan konsep yang mereka miliki ketika memasuki program tersebut. Pendidikan berbasis kasus atau berbasis masalah, yang menggunakan contoh-contoh dari situasi kehidupan nyata sebagai titik fokus dalam proses belajar mahasiswa, telah memperoleh semakin banyak dukungan dari para pendidik guru. Meskipun demikian, Powell (2000) telah mengambil kesimpulan dari salah satu penelitiannya bahwa pendidikan berbasis kasus itu kompleks dan peka budaya dan dapat dibatasi oleh pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki oleh peserta didik sebelumnya. Ini harus disertai dengan upaya untuk membangun suatu dasar pengetahuan umum melalui teknik-teknik pendidikan yang lebih tradisional. Universitas atau lembaga pendidikan keguruan memiliki fungsi yang penting dalam memberikan pengetahuan (pengetahuan faktual) serta merancang kesempatan yang disajikan dalam bentuk dilema kontekstual berdasarkan kenyataan praktek, dan dengan menguji pengetahuan praktis calon guru. Dalam menggambarkan proses perkembangan calon guru, Anderson et al. (2000) menggunakan lintasan metafor (yaitu orbit, jalur) dan daya. Pendidikan guru di masa lalu dapat dipersepsi sebagai suatu modifikasi terhadap alur individual, bukan menggantikan satu konsepsi dengan konsepsi lain. “Setiap calon guru yang memasuki program tersebut sudah mulai bergerak melalui alur tertentu, mencari-cari untuk belajar tentang aspek pengajaran tertentu yang kongruen dengan setiap konsepsi belajar dan mengajar yang baik yang dimilikinya saat ini.… Hasilnya adalah interaksi antara setiap mahasiswa yang memasuki lintasan itu dengan kekuatan yang didesakkan oleh program tersebut. Interaksi yang dihasilkan adalah sinambungnya reorientasi lintasan yang dilalui masing-masing mahasiswa itu, biasanya lebih mendekati tujuan program tetapi orientasinya tidak sempurna.” (Anderson et al 2000:567). Kekuatan yang didesakkan oleh program pendidikan guru terhadap keyakinan dan ideologi serta pandangan dapat diciptakan oleh kesempatan belajar yang diberikan melalui perkuliahan, pengalaman lapangan, serta pelatihan dan umpan balik individual. Mahasiswa harus mengenali pengaruh konteks dan sistem yang telah membentuk dirinya.
Pengalaman Praktek sebagai Bagian dari Pendidikan Guru Guru kelas biasanya berperan dalam pendidikan bagi para mahasiswa karena pengalaman di dalam kelas telah dipandang penting. Beberapa negara (misalnya Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Belanda) baru-baru ini telah mulai bergerak ke arah pendidikan guru yang lebih berbasis sekolah. Proporsi waktu yang lebih besar telah dialihkan ke
pengalaman di sekolah dengan mengurangi aktivitas di universitas atau lembaga pendidikan keguruan (Calderhead & Shorrock 1997). Sebagian orang memandang perkuliahan yang berbasis universitas sebagai terlalu akademis. Negara-negara lain (seperti Perancis dan Italia) telah mengikuti tren yang sebaliknya. Di Norwegia sebagian besar aktivitas yang terjadwal dilaksanakan di universitas atau lembaga pendidikan keguruan, tetapi dengan semakin memberi penekanan pada penggunaan contoh-contoh autentik dari sekolah dan tempat lainnya. Para mahasiswa di Jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus, Universitas Oslo, selama beberapa tahun terakhir ini telah terlibat dalam proyek-proyek kemitraan antara universitas dan institusi lain di luar universitas (Hagtvet, Horgen, Horn, Lassen, Lauvås & Lyster 2001). Guru reguler dan pendidik khusus di lapangan menjadi mentor bagi para mahasiswa di kelas atau dalam pekerjaan menangani klien, tetapi dosen universitas juga dilibatkan. Pengalaman di sekolah dipandang sebagai peluang untuk memberi mahasiswa kesempatan untuk berpraktek, berlatih dan menerapkan pengetahuan dan keterampilanya di bawah pengawasan (Schwartz 1996). Ini dapat juga menjadi kesempatan untuk terekspos pada nilai-nilai dan praktek-praktek, cara berpikir dan bertindak yang berlaku di dalam sistem persekolahan dan di sekolah tertentu, dan memberi kesempatan untuk berefleksi dalam praktek dan tentang praktek. Namun, ada juga yang mengklaim bahwa penulis telah gagal memahami makna belajar melalui praktek (Mc Intyre 1995). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, unsur belajar yang sangat penting untuk mengajar adalah mengenali, mempertanyakan dan jika perlu memodifikasi prakonsepsi, keyakinan dan konsep-konsep yang ada. Tindakan mentoring dapat berupa modeling, memberikan dukungan atau bantuan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, membimbing, menjelaskan, menunjukkan minat, berdiskusi, menunjukkan dilema-dilema, mengkonfrontasi prakonsepsi tentang pengajaran dll. Tidak banyak penelitian yang telah menganalisis interaksi antara mentor dan mahasiswa, dan bagaimana dan apa yang dipelajari mahasiswa dari pengalaman mentoring itu (Stanulis & Russell 2000). Pendidikan guru berbasis sekolah pada tahap awal dengan guru sekolah melakukan pekerjaan mentoring telah menunjukkan beberapa keterbatasan kualitatif yang serius. Hakikat keahlian guru sekolah itu sangat kompleks dan sulit untuk mengakses keahlian semacam ini. “Akan jauh lebih mudah bagi guru untuk berbicara dengan nada autoritatif dan dengan menggunakan istilah-istilah yang umum tentang praktek yang baik daripada mengemukakan pertimbangan-pertimbangan situasional yang kompleks yang menginformasikan praktek yang sesungguhnya, motivasi, kesabaran dan waktu yang diperlukan untuk mengungkapkan keahliannya yang sesungguhnya” (Mc Intyre 1995:38). Keahlian guru terdiri dari kecakapan dalam mempersiapkan pelajaran dan ketepatan dalam pengambilan keputusan di kelas, yang tergantung pada pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan selama bertahun-tahun. Sulit bagi guru untuk mengetahui aspek apa dari keahliannya yang relevan bagi para pemula yang pengetahuan dan keterampilannya masih terbatas (Mc Intyre 1995). Para dosen di universitas juga harus menyadari kekurangan-kekurangan dalam interaksi mentoring, seperti betapa sulitnya untuk tidak mengungkapkan interpretasi pribadi tentang mahasiswa, walaupun mentor tidak bermaksud demikian. Penting untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar mendukung dan menantang di mana guru, mahasiswa dan dosen saling belajar.
Universitas dapat mengatur agar guru dan mahasiswa memperoleh informasi tentang temuan-temuan penelitian dan berbagai pendekatan pendidikan. Peran mereka adalah untuk meraih ilmu, pemahaman, penyelidikan rasional, dan refleksi (Kirk 1996). Ini dipandang sebagai suatu kontribusi khusus yang dapat diberikan oleh universitas dalam pendidikan guru, mencegah agar pendidikan profesi tidak menjadi pelatihan kejuruan dan menghindari pelatihan yang dapat membuat guru menjadi konservatif dan tidak imajinatif.
Kata penutup Untuk mengembangkan kurikulum bagi pendidikan guru dibutuhkan keputusankeputusan mengenai tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan, bidang-bidang studi utama dalam kurikulum, isi pendidikan yang harus disampaikan dalam masing-masing bidang studi, jenis-jenis pengalaman belajar, sistem evaluasi, dan pola umum kurikulum (Taba 1962). Sebagaimana dijelaskan di atas, faktor ideologi dan sosial budaya merupakan prasyarat dan kondisi mendasar untuk kebijakan dan implementasi praktis pendidikan guru di masyarakat. Kualifikasi yang diinginkan dan dibutuhkan oleh guru pendidikan kebutuhan khusus tergantung pada berbagai faktor kontekstual. Hasil dari suatu program yang mendidik guru pendidikan kebutuhan khusus dipengaruhi oleh ideologi dan pengalaman mahasiswa yang telah mereka miliki sebelumnya serta jenis kesempatan belajar yang mereka dapatkan melalui program ini dan mata kuliah yang tercantum dalam kurikulum.
Daftar Pustaka Alsterdal, L; (1999), Det tredje øyet. Yrkesdyktighet og omsorgskunnskap. (The Third Eye. Professional Ability/Competence and Care-giving Knowledge) Oslo, kommuneforlaget. Anderson, L.M., Smith, D.C. & Peasley, K. 2000. Integrating learner and learning concerns: prospective elementary science teachers’ paths and progress. Teaching and Teacher Education, 16:547-574. Befring, E. 1997. the enrichment perspective. A special educational approach to an inclusive school. Remedial and Special Education, 18:182-187. Calderhead, J. & Shorrock, S.B. (1997). Understanding Teacher Education, Case Studies in the Professional Development of Beginning Teachers. London, The Falmer Press. Dale, E.L. (1993). Den profesjonelle skole. (The Professional School). Oslo, Ad Notam Gyldendal. Froestad, J. 1996. Den offentlige handikappolitikk, Et bidrag til de funksjonshemmdes frigjøring? (The public handicap policy . A contribution to the emancipation of the disabled.) Spesialdedagogikk, 7:3-13. Göranzon, B. & Josefson, I. 1988 (Eds.). Knowledge, Skill and Artificial Intelligence. Berlin, Springer – Verlag.
Hagtvet, B., Horgen, T., Horn, E., Lassen, L., Lauvås, K & Lyster, S. 2001. Profrsjonsutdanning i spenningsfeltet mellom teori og håndverk. (Professional Education in the Tension between Theory and Crafts) (Unpublished) Ingstad, B. & Whyte, S.R. 1995. Disability and Culture. Los Angeles, University of California Press. Kirk, G. 1996. Partnership: The Sharing of Culture?. In J. McCall & R.M.. Mackay (Eds). ATEE 21st Annual Conference, 35-48. Glasgow, Scotland, University of Strathclyde, Faculty of Education, Jordanhill Campus. Lauvås, K & Vea, G.D. (2000), Studenter utvikler sin rådgivingskompetanse. Jakten på den gode undervisning. (Students developing their counselling competence. Hunting for the good education.) Spesialpedagogikk, 10:3-10. Lauvås, P. & Handal, G (2000), Veiledning og praktisk yrkesteori. (Supervision and Practical Theory pf Profession). Oslo, Cappelen Akademisk. Lortie, D. C. 1975. School – Teacher. A Sociological Study. Chicago, The University of Chicago Press. McIntyre, D. 1995. Initial teacher education and the work of teachers, In J. Rudduck (Ed). An Education that Empowers. A Collection of Lectures in Memory of Lawrence Stenhouse. Clevedon, England, Multilingual Matters:29-43. Palmer, D. J. & Hall, R. (1999). Teacher training in special education. In C.R. Reynolds & E. Fletcher-Janzen (Eds). Encyclopedia of Special Education (2nd edition). A reference for the education of the handicapped and other exceptional children and adults, 1691-1693. New York: John Wiley and Sons. Powell, R. 2000. Case-based teaching in homogeneous teacher education contexts: A study of preservice teachers’ situative cognition. Teaching and Teacher Education, 16:389-410. Ravneberg, B. (1999). Normalitetsdiskurser og profesjonalseringsprosesser. En studie av den sepesialpedagogiske yrkesutvikling. 1880-1990. (Discourses and Normality and Professionalization Process. A Study of the Development of the Profession of Special Needs Education. 1889 – 1990.) Institutt for administrasjon og organisasjonsvitenskap. Universitetet i Bergen. Rapport nr 69. Richardson, V. 1996. The role of attitudes and beliefs in learning to teach. In J. Sikula, T.J. Buttery & E. Guyton (Eds). Handbook of Research on Teacher Education: a Project of the Association of Teacher Education (2nd edition). New York, Macmillan Library Reference, USA:102-119. Roskos, K. & Walker, B 1993. An analysis of preservice teachers’ pedagogical concept in the teaching of problem readers. Yearbook of the National Reading Conference:418-428. Schwartz, H. 1996. The Changing Nature of Teacher Education. In J. Sikula, T. J. Buttery & E. Guyton (Eds). Handbook of Research on Teacher Education: a Project of the Association of Teachers Educators (2nd edition). New York, Macmillan Library Reference, USA :3-13. Schön, D. (1983) The reflective practitioner: How professionals think in action, New York, Basic Books.
Schön, D. (1987). Educating the Reflective Practitioner: Toward a new Design for Teaching and Learning in the Professions. San Francisco, Jossey-Bass.
Steanulis, R.N. & Russell, D. (2000), “Jumping in”: Trust and communication in mentoring student teachers. Teaching and Teacher Education, 16:65-80 Taba, H. (1962). Curriculum Development. Theory and Practice. New York, Harcourt, Brace and World. Wood, E. & Bennet, N. (2000). Changing Theories, Changing Practice: Exploring Early Childhood Teachers’ Professional Learning. Teaching and Teacher Education, 16:635-647. York,J.L. & Reynolds. M.C. (1996). Special Education and Inclusion. In J. Sikula, T.J. Buttery & E. Guyton (Eds). Handbook of Research on Teacher Education: a Project of the Association of Teacher Educators. (2nd edition). New York, Macmillan Library Reference, USA:820-836.