MENCERMATIPROBLEMA HUKUM DALAM PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG JAMINAN FIDUSIA
(UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999) Oleh: Munawar Kholil
I.
Pendahuluan
Seiring meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat puia kebutuhan terhadap pendanaan. Da
na yang tersedia baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri lazimnya disalurkan melalui perbankan/lembaga keuangan. Dana ini perlu dilindungi, karena merupakan milik masyarakat. Jika dana itu tidak dapat dikembalikan atau macet, maka akan menimbulkan stagnasil gangguan dalam pembangu nan dan keresahan dalam masyarakat. Salah satu cara untuk menjaga kelancaran pengembalian dana itu
ialah dengan mengikat penerima dana dengan perjanjian penjaminan. Di sinilah hukum jaminan menempati kedudukan yang semakin penting. Fungsi jaminan secara yuridis adalah kepastian hukum pelunasan utang di dalam perjanjian kredit atau dalam utang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian. Kepastian hu kum ini adalah dengan mengikat perjanjian jaminan melalui lembaga-lembaga jaminan yang dikenal da lam hukum Indonesia. Lembaga jaminan kebendaan dapat berupa lembaga Hipotik, Hak Tanggungan, Creditverbcmd, Gadai, Fiducia, sedangkan lembaga jaminan perorangan dapat berupa lembaga penanggungan (borgtocht), garansi bank, dan sebagainya. Salah satu hak jaminan yang banyak digunakan dewasa ini adalah Jaminan Fidusia (Iihat Djuhaendah Hasan, 1998 : 68; dan Purwahid Patrik & Kashadi, 1999:32). Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak jaman-penjajahan Belanda sebagai bentuk ja
minan yang lahir dari Yurisprudensi. Lembaga ini timbul berkenaan dengan adanya ketentuan Pasal 1152 Ayat 2 KUH Perdata tentang Gadai yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yangdigadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut mengakibatkan bahwa pemberi gadai tidak dapat mempergunakan benda yang digadaikan untuk keperluan usahanya. Hambatan tersebut diata-
si dengan mempergunakan lembaga FEO (Fiduciare
Eigendoms Overdracht), yakni pengalihan hak milik secara kepercayaan, yang kemudian diakui oleh Yu risprudensi Belanda dalam Arrest Hoge Raad tanggal 25 Januari 1929 yang dikenal dengan "Bierbronwerij-ArresF. Di Indonesia lembaga FEO tersebut diakui oleh Yurisprudensi berdasarkan Arrest Hooggerechtsshqf tanggal 18 Agustus 1932 dalam perkara BPM vs Cligent (lihat Fred B.G. Tumbuan, 1999 : 14; dan Erman Rajagukguk, 1998 : 45-46). Bentuk jaminan diberikan secara luas dalam transaksi pinjam meminjam karena proses pembebanannyadianggap sederhana, mudah dan cepat, tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Keberadaan lembaga jaminan fidusia yang berdasar yurispru densi kurang memberi rasa aman dan kepastian hu kum bagi penerima fidusia, karena hanya memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya khususnya bagi Pemberi Fidusia. Namun sebaliknya bagi penerima fidusia, karena jaminan fidusia tidak didaftarkan, maka kurang menjamin kepentingan pihak yang menerima Fidusia. Pemberi Fidusia bisa saja menjaminkan benda yang telah dibebani dengan fidusia kepada pihak lain tanpa sepengetahuan Penerima Fidusia. Di samping itu Penerima Fidu sia sebagai kreditur kurang terlindungi hak-haknya ketika debitur wanprestasi, yakni kesulitan dalam melakukan eksekusi jaminan yang prosesnya bisa "bertele-tele" (lihat Badrulzaman, 1998 : 1). Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dan untuk mem beri kepastian, kejelasan hukum yang lebih lengkap dan komprehensif, maka pemerintah mengeluarkan/ menerbitkan Undang-undang No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disingkat de ngan UUJF), sebagai bentuk pemberian perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan (debi tur dan kreditur) dalam transaksi pinjam meminjam dengan jaminan fidusia. Karena selama ini lembaga jaminan fidusia tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi hidup dan dipraktikkan dalam masyarakat melalui lembaga yurisprudensi.
28
ISSN : 0852-0941 Nomor 51 Tahun XIII Maret 2000 - Mei 2000