MENCARI AKAR MASALAH KRISIS FINANSIAL GLOBAL Zarah Puspitaningtyas, Universitas Jember,
[email protected]
Abstract The financial crisis that occurred in the U.S., preceded the discovery of the full mortgage scandal of collusion and manipulation, has dragged the world economy into a deep slump abyss. Therefore, the observer called this crisis as the global financial crisis. The financial crisis can be said to be the biggest crisis after the Great Depression in the 1930's. In analyzing the main cause of the global financial crisis, many economists berkonklusi that the fragility of the economic fundamentals at the root of the problem the emergence of the economic crisis. Moreover, the root problem is the onset of the global financial crisis of human greed. As in the case of subprime mortgage-induced credit dependent lifestyle that exceeds the ability to pay interest on the loan as well as the implementation of policies that are not realistic conflict with human values and justice; transactions based on speculation without any underlying assets artificially boost economic growth. This is evidenced by the more inflated the non real hundred-fold compared with the growth of the real sector. Keywords: global crisis, fundamentals, bubble economy
Pendahuluan Krisis finansial yang melanda Amerika Serikat (AS) telah menimbulkan keterpurukan ekonomi yang sangat dalam tak hanya bagi perekonomian AS tetapi juga bagi perekonomian dunia. Krisis finansial ini bisa dikatakan sebagai krisis terbesar setelah great depression pada era 1930-an. Krisis keuangan yang berawal dari kasus subprime mortgage yang terjadi sejak 2007, telah merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS. Beberapa pelaku bisnis raksasa pun tumbang. Seperti, Lehman Brothers, Washington Mutual Bank, perusahaan asuransi terbesar di dunia American International Group (AIG), juga beberapa perusahaan sekuritas raksasa, yaitu: Merrill Lynch, Morgan Stanley, dan Goldman Sachs. Pemerintah
AS
terpaksa
memutuskan
campur
tangan
dengan
menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan perusahaan-perusahaan raksasa dari ambang kebangkrutan. Mereka tak lagi percaya si „invisible hand‟ bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang tengah
melanda berdasar hukum „supply and demand‟. Akibatnya, para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga saham di bursa-bursa utama dunia pun merosot tajam, termasuk di Indonesia. Ada banyak analisis terkait kehancuran pasar finansial global, mulai dari kebijakan defisit anggaran keuangan AS –akibat dari inflasi, perang Irak, kebebasan regulasi market yang liar-, kasus subprime mortgage atau kredit macet sektor perumahan, gaya hidup bergantung kredit yang melebihi batas kesanggupan membayar –bahkan, tidak sedikit peminjam yang sebenarnya memiliki credit rating yang jauh di bawah standar, namun tetap diberikan pinjaman demi kelancaran utang dan perekonomian (sehingga menimbulkan bubble economy) (KSEP ITB, 2008). Paparan dalam tulisan ini mencoba untuk berbagi ide mengenai konsep akar masalah timbulnya krisis finansial global. Apa yang menyebabkan krisis ini demikian meluas hingga ke seluruh dunia? Mungkinkah analisis solvensi terabaikan dari credit analysis, kebijakan bunga pinjaman yang terlalu tinggi, ataukah terciptanya bubble economy hingga krisis finansial global harus terjadi? Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis finansial global tersebut, banyak pakar ekonomi berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) menjadi akar masalah munculnya krisis ekonomi. Fenomena ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkendali, defisit
neraca pembayaran
yang besar, pembatasan perdagangan
yang
berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak, pengurangan pajak bagi korporasi multinasional (kelompok kaya), menurunnya produktivitas ekonomi AS, dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya membawa ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi (Agustianto, 2008; Dahuri, 2008).
Kajian Pustaka dan Pembahasan Kasus subprime mortgage Awal mula terjadinya krisis ekonomi AS adalah adanya investasi yang dilakukan institusi-institusi keuangan AS dalam subprime mortgage. Apa itu
subprime mortgage? Subprime, lawan kata dari prime (prima), yang secara ekonomi artinya adalah golongan tidak mampu (tidak prima). Mortgage, adalah fasilitas kredit perumahan melalui hipotik. Di Indonesia lebih familiar dengan istilah Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Jadi, subprime mortgage adalah fasilitas KPR untuk golongan tidak mampu (Wardhana, 2008). Kasus Subprime mortgage ini berawal dari kredit perumahan yang skema pinjamannya telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh orang miskin yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Singkatnya, masalah solvensi sengaja diabaikan. Analisis solvensi bermaksud membantu menilai kemampuan debitur untuk membayar hutang jangka panjang (Konig and Brohm, 2008; Bomhard, 2010; Coppola et al., 2011; Rossi, 2011). Dalam kasus ini, akad kredit disetujui tanpa melalui analisa kredit yang mendalam. Kredit begitu mudahnya dikucurkan hanya berdasarkan score credit yang dimiliki calon debitur. Oleh karenanya, pasar mengkarakteristikkan subprime mortgage ini sebagai high risk-high return. Selanjutnya, bank „menjual piutang-piutang nasabah‟ kepada institusi keuangan –sebagai pihak ketiga- dalam bentuk surat hutang yang bisa diperjualbelikan. Surat hutang inilah yang disebut sebagai subprime mortgage, dimana keuntungan dan pengembalian pokok investasinya sangat ditentukan dari kelancaran kredit perumahan dari nasabah-nasabah bank tersebut. Jadi, subprime mortgage mendapatkan sumber dana dari pihak ketiga dengan jangka waktu pengembalian pendek, yaitu kurang dari lima tahun. Sementara, subprime mortgage sendiri merupakan KPR jangka panjang, yakni hingga 20 tahun. Jelas, dari awal bisnis ini sudah terjadi financing missmatch. Bisnis yang penuh dengan kolusi dan manipulasi! Namun demikian, tingkat bunga the Fed, sepanjang tahun 2002-2004 yang hanya sekitar 1-1,75 persen, membuat bisnis subprime mortgage dan perumahan booming. Tingginya bunga pinjaman subprime mortgage (pada saat bunga deposito rendah) menarik investor kelas kakap dunia (bank, reksadana, dana pensiun, asuransi) membeli surat hutang yang diterbitkan perusahaan subprime mortgage (KSEP ITB, 2008; Wardhana, 2008). Seiring berjalannya roda perekonomian, harga komoditas dan suku bunga di AS naik secara bertahap. Ketika the Fed, mulai Juni 2004, secara bertahap
menaikkan bunga hingga mencapai 5,25 persen pada Agustus 2007, kredit perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya nasabah yang gagal bayar. Saat itulah efek subprime mortgage mulai terbongkar. Kredit macet sektor perumahan terus meningkat. Bahkan penyitaan aset properti mencapai 21 persen nilai kredit. Saat kredit perumahan menjadi macet sampai pada taraf yang mengkhawatirkan, otomatis institusi-institusi keuangan yang berinvestasi pada subprime mortgage mengalami kerugian besar. Kerugian yang besar berpotensi menggerus modal yang mengakibatkan timbulnya masalah solvensi (insolvensi). Inilah awal kejatuhan ekonomi AS, karena pada dasarnya risiko investasi perbankan ataupun institusi keuangan bersifat sistemik, dalam arti kerugian institusi keuangan akan berdampak pada terpukulnya perekonomian negara. Akibat dari jatuhnya institusi keuangan tersebut berdampak pada kinerja saham mereka di bursa saham. Nilai saham terjun bebas, sehingga dampaknya juga ke indeks bursa saham AS, karena institusi keuangan memiliki kapitalisasi pasar yang cukup signifikan. Akhirnya, para investor mulai menarik dananya dari bursa, sehingga kejatuhan indeks bursa semakin parah. Karena banyaknya pihak yang mau menjual saham itulah yang mengakibatkan “anjloknya” harga saham di bursa. Mereka berani menjual murah, menjual rugi, asal bisa segera mendapat uang cash. Penarikan dana juga dilakukan di bursa-bursa global, karena umumnya pihak asing juga memiliki banyak dana di bursa asing (termasuk di Indonesia). Inilah mengapa dampak kejatuhan bursa di AS juga mengimbas bursa-bursa di seluruh dunia, hingga menjadi krisis global (Anonymous, 2008). Sampai di sini, jelas bahwa akar masalah dari timbulnya kasus subprime mortgage –salah satu penyebab krisis global- adalah diabaikannya analisis solvensi dalam proses investasi (pemberian kredit). Terbukti bahwa sistem kredit atau sistem hutang sudah menjadi perangkap kerusakan ekonomi dunia. Apalagi mekanisme bunga (interest rate) juga menggurita bersama sistem hutang ini. Kerusakan ekonomi dunia –termasuk Indonesia- juga akibat ulah tangan manusia yang menerapkan kebijakan bunga pinjaman yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Pemberian kredit perumahan bagi orang miskin, seharusnya untuk membantu, bukan justru mencekik mereka. Bunga pinjaman (bunga bank) bagi banyak orang tak begitu terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi
ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Apakah tingginya bunga pinjaman menjadi gambaran keserakahan manusia?
Bubble economy Tak dipungkiri bahwa krisis finansial global juga dipicu oleh kegiatan bisnis yang sangat sarat dengan motif spekulasi –baik spekulasi mata uang maupun spekulasi saham di pasar modal-, serta menggunakan bunga sebagai instrumen. Sistem ekonomi yang sedang berlangsung secara global adalah sistem yang penuh janji, harapan, dan eforia yang tidak riil. Hampir semua negara di dunia ini terjangkit bisnis spekulatif seperti perdagangan surat berharga (surat utang) di bursa saham (stock exchange) berupa saham, obligasi (bonds), commercial paper, promissory notes, dan sebagainya; perdagangan uang di pasar uang (money market); serta perdagangan derivatif di bursa berjangka. Pertumbuhan keuangan ala kapitalisme –yang bertumpu pada transaksi spekulatif di sektor non riil- memang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor non riil dengan sangat pesat. Didukung juga oleh sistem pengajaran ekonomi kapitalisme yang memisahkan sektor non riil (moneter atau keuangan) dan sektor riil. Akibat dari terpisahnya sektor moneter dan sektor riil secara diametrial, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang. Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem
ekonomi
kapitalisme
ini.
Dasar-dasar
sistem
keuangan
dan
perdagangannya lebih banyak dipenuhi oleh angan-angan dan khayalan. Suatu bentuk
pertumbuhan
ekonomi
semu.
Ini
terbukti
dengan
makin
menggelembungnya sektor non riil ratusan kali lipat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor riil. Jaringan keuangan dan perdagangan mereka bagaikan jaring laba-laba, sangat rapuh dan kehancurannya adalah sesuatu yang niscaya tinggal menunggu waktu (Firmansyah, 2008). Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/ jasa sebagai adanya
decoupling, yakni fenomena ketidakseimbangan antara maraknya arus uang (moneter) dan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi baik di pasar modal (stock market) maupun di pasar uang (money market), sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit berbahaya yang bernama „gelembung ekonomi‟ (bubble economy). Disebut gelembung ekonomi, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya (Prasetyantoko, 2005; Agustianto, 2008; Firmansyah, 2008; Scott, 2009). Fenomena bubble yang terjadi di pasar modal ditandai dengan harga-harga saham meningkat jauh di atas nilai-nilai rasionalnya, serta melebihi kapasitas dan kemampuannya berproduksi. Hal ini merupakan suatu kasus ekstrim dari volatilitas pasar yang berlebihan (Scott, 2009). Pada saat yang sama, para analis saham pun terus memberikan rekomendasi beli sehingga saham diburu dan harga terus menggelembung. Pada suatu saat, penggelembungan itu akan mencapai titik jenuh. Ibarat balon yang terus ditiup sampai besar, ia akhirnya meletus (Firmansyah, 2008). Shiller dalam Scott (2009) meneliti perilaku bubble ini dengan mengacu secara khusus pada melambungnya harga-harga saham perusahaan teknologi di AS pada tahun-tahun sebelum tahun 2000. Bubble tersebut, menurut Shiller, disebabkan oleh gabungan dari bias atribut diri dan momentum yang dihasilkannya, perdagangan umpan balik yang positif, sampai perilaku „kelompok‟ yang diperkuat oleh prediksi-prediksi media yang optimis yang dikemukakan oleh para „ahli‟ pasar. Shiller berpendapat bahwa perilaku bubble dapat berlanjut untuk beberapa waktu, dan sulit diprediksi kapan akan berakhir. Namun demikian, pada akhirnya bubble tersebut akan meletus karena semakin besarnya resesi yang menghambat atau inflasi yang semakin meningkat. Fenomena decoupling juga dapat diilustrasikan sebagai akibat dari maraknya bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif (derivative market) atau transaksi produk turunan. Transaksi derivatif diwarnai
dengan perilaku investor di pasar modal yang ingin meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau tanpa ada sektor riil yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih keuntungan (gain) melalui praktek margin trading. Ironisnya, transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil. Transaksi maya bisa mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riil berupa perdagangan barang dan jasa hanya sekitar lima persen saja. Bahwa dalam satu hari, dana yang “gentayangan” dalam transaksi maya di pasar modal dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Agustianto, 2008). Selain itu, fenomena decoupling disebabkan fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, akan tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS. Akibat fenomena tersebut ekonomi dunia rawan krisis. Pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang (modal) untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang. Sebab, dalam transaksi derivatif, tidak ada sektor
riil
(barang
dan
jasa)
yang
diperjualbelikan.
Mereka
hanya
memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riil.
Spekulasi mata uang Ulah para spekulan dalam bisnis spekulasi mata uang juga menjadi pengacau ekonomi dunia. Transaksi bisnis ini umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Agustianto (2008) menyebutkan bahwa ada enam pusat keuangan dunia yang menjadi penguasa pasar uang di dunia ini saat ini, yaitu: London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong, dan Singapura. Akibat penguasaan keenam negara tersebut, nilai mata uang negara lain bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya.
Seperti nasib rupiah yang semakin hari semakin merosot dengan nilai yang tidak menentu. Peran spekulan di pasar uang cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata juga sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang. Tak heran jika Indonesia “babak belur” dibuatnya! Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai mata uang menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Bahkan, mereka bisa saja melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, misalnya gejolak sosial ekonomi yang menimbulkan ketidakpastian. Ulah para spekulan mata uang dapat diilustrasikan sebagai berikut, untuk tujuan suatu momentum tertentu, secara perlahan-lahan para spekulan membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Aksi beli ini akan mendorong nilai rupiah secara semu. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Sehingga pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan pun akan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Bisa dibayangkan bagaimana goncangnya ekonomi suatu negara (bahkan dunia) akibat ulah para spekulan! Fluktuasi mata uang didukung pula oleh sistem pertukaran nilai mata uang yang juga sangat rentan terhadap krisis. Pasalnya, nilai mata uang di suatu negara terkait dengan nilai mata uang negara lain. Bahkan nilai mata uang suatu negara sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi negara lain. Akibatnya, jika mata uang negara lain terkena krisis, krisis itu akan menjalar dengan sangat cepat ke negara lain (Anonymous, 2007). Sebagai contoh, ketika krisis moneter menyerang Thailand, maka dengan segera krisis ini menjalar hampir di seluruh negara Asia menjadi krisis multidimensional. Semua ini menunjukkan bahwa krisis moneter yang memukul dunia, lebih disebabkan oleh sistem moneternya yang sangat lemah.
Penutup Krisis finansial global memang sudah seharusnya terjadi, mengingat buruknya fundamental ekonomi global. Para analis menuding, bahwa akar masalah krisis finansial global yang terjadi saat ini disebabkan kerapuhan fundamental ekonomi. Fenomena ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkendali, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak, dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, semua itu mencerminkan kerapuhan fundamental ekonomi. Fenomena spekulasi –baik di pasar uang maupun pasar modal- semakin memperburuk kondisi ekonomi, ditambah lagi dengan maraknya transaksi derivatif tanpa adanya underlying asset atau tanpa ada sektor riil yang melandasinya. Ini mencerminkan sistem moneter dunia yang sangat lemah. Sistem ekonomi kapitalisme yang memisahkan sektor moneter dan sektor riil, dimana perkembangan sektor finansial berjalan sendiri tanpa terkait sektor riil, berakibat pada penciptaan bubble economy yang sangat rawan menimbulkan krisis. Lebih dari semua penyebab di atas, akar masalah timbulnya krisis finansial global adalah keserakahan manusia, seperti gaya hidup bergantung kredit yang melebihi batas kesanggupan membayar serta penerapan kebijakan bunga pinjaman yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Kedua hal tersebut dituding sebagai biang dari terjadinya kasus subprime mortgage. Daftar Pustaka Agustianto, 2008. Telaah Terhadap Akar Krisis Keuangan Global – Bubble Economy dan Fenomena Ribawi. http://www.pkesinteraktif.com/ Anonymous, 2007. Krisis Ekonomi Akar Masalah dan Solusinya. http://hizbuttahrir.or.id/2007/11/02/krisis-ekonomi-akar-masalah-dan-solusinya/ Anonymous, 2008. Kita Masih Bisa Tanam Jagung !. Worldservice, Indonesian Radio. http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=5 878/ Bomhard, N.V., The Advantages of a Global Solvency Standard. The Geneva Paper, 35 (79-91).
Coppola M., Lorenzo E.D., Orlando A., Sibillo M., 2011. Solvency Analysis and Demographic Risk Measures. The Journal of Risk Finance, vol. 12, no. 4, pp. 252-269. Dahuri, R., 2008. Ekonomi Alternatif untuk Mengatasi Krisis Ekonomi Global. Media Indonesia.com – News and Views. Firmansyah, 2008. Krisis Keuangan Global, Indikator Sudah Berakhirnya Kejayaan Kapitalisme – Bagian 2. http://www.syabab.com./ Konig A., Brohm A., 2008. The Relevance of Portfolio Management Achieve for Solvency Measurement. The Geneva Papers, 33 (440-463). KSEP ITB, 2008. Krisis Global dan Dampak ke Indonesia. Analysis Team of KSEP ITB 2008/ 2009. Prasetyantoko, 2005. Ekonomi Balon. Kompas, 12 September 2005. Rossi F.M., 2008. Analysis of Solvency in Italian Local Governments: The Impact of Basel II. The IUP Journal of Financial Risk Management, vol. 8, no. 3, pp. 17-42. Scott, W.R., 2009. Financial Accounting Theory. Pearson Education Canada Inc., Toronto, Ontario. Wardhana, R., 2008. Krisis Ekonomi Global & M-Stars. http://www.mobileelab.com/index.php?option=com_content&view=article&id=114:krisisekonomi-global-a-m-stars&catid=7