Satu
Yan Hong semakin lama semakin jarang menjaga toko. Tak lama lagi Yan Hong akan menikah. Yanti agak kelabakan mengurus toko seandainya adiknya menikah. Pekerjaannya pasti bertambah banyak. Acu merasa bukan hanya pekerjaan Yanti semakin banyak, tapi juga tertekan karena adiknya akan menikah sementara Yantinya belum, bahkan pacar pun belum punya. Dengan alasan akan semakin sibuk, Yanti membeli Honda Supercub yang baru. Sore-sore, dengan alasan belajar naik motor, Yanti keluar, meninggalkan Acu sendirian menjaga toko. Acu tahu Yanti sedang tertekan. Ia berusaha bekerja sebaik mungkin. Kadang-kadang ia harus melayani lima pembeli sekaligus. Namun, Acu mendapat balasan yang setimpal. Pulang kerja Yanti membonceng Acu pulang dengan motor, bahkan mengajari Acu cara mengendarai motor. Setelah beberapa kali belajar, Acu sudah bisa mengendarai motor. Ia memberanikan diri meminjam motor bosnya. 1
“Pasti pengin ke Selatbaru mengenang kebersamaan dengan Ping An,” tuduh Yanti. “Yeee, nggak zaman ke Selatbaru sendirian tanpa Ping An,” Acu meleletkan lidah. “Kalau bukan, mau untuk apa?” “Adik-adikku belum pernah naik motor, aku pengin membawa mereka jalan-jalan. Jangan takut, aku membawa satu orang demi satu orang. Nggak akan kubawa semuanya sekaligus.” “Ck… ck… ck... kamu sangat sayang terhadap adik-adikmu,” Yanti menunjukkan wajah tertekan lagi. Mungkin berpikir ia telah disalip oleh adiknya. “Okelah. Hari Minggu kamu boleh membawa motorku.” Acu mengucapkan terima kasih berkali-kali. *** Minggu pagi Acu benar-benar dipinjami motor oleh Yanti. Acu disuruh menjemput ke rumah Yanti jam 7 pagi. Dengan senang hati Acu membawa adik-adiknya satu per satu jalan-jalan keliling kota. Yang pertama dibawanya Ali. Acu membawa Ali satu keliling, setelah itu baru Atan, terakhir Aming. “Kapan kita bisa punya motor seperti ini, Ce?” tanya Aming. “Kalau rajin berhemat pasti bisa.” “Kalau begitu, aku berhenti sekolah saja dan langsung bekerja. Dengan begitu pasti kita cepat punya motor.” “Jangan! Sekolah itu penting, Aming. Jangan pernah berpikir ingin berhenti sekolah. Paling tidak kamu harus 2
menamatkan SMA.” “Kasihan Cece nyari duit untuk membayari sekolah kami, sedangkan Cece sendiri tidak sekolah hingga tamat.” “Sudah kewajibanku menyekolahkan kalian hingga tamat. Itu amanat Papa sebelum meninggal.” “Setahuku Papa saja tidak dekat dengan Cece, kapan pula ngasi amanat?” Acu menceritakan pertemuannya dengan papanya sebelum papanya meninggal, termasuk tentang ketiga belas buku yang diambil Aming dari lemari papa mereka. Aming bertanya lagi tentang isi ketiga belas buku itu. Acu mengatakan setelah tahun baru ia akan menjelaskannya. “Kudoakan Cece jadian dengan Tuan Muda Wu, agar aku bisa meminjam motornya.” “Huh, dasar lu! Berharap dong bisa membeli sendiri, jangan berharap meminjam motor orang,” sembur Acu. “Tenang aja Kak. Setelah Aming tamat sekolah, Aming pasti bekerja dengan keras untuk membalas jasa Cece.” “Tidak perlu dibalas, yang penting kamu jadi orang berguna di kemudian hari, dan jangan lupa berbakti terhadap orang tua.” Aming mengiyakan. Mereka kembali ke rumah. Saat Acu menghentikan motornya, ibunya ingin keluar. Ibunya menuntun sepeda. “Ma, Mama mau ke mana? Kalau mau ke rumah Guama, biar Acu yang antar.” “Tak usah. Aku bisa pergi sendiri.” “Naik motor lebih cepat, Ma!” rayu Acu, padahal ia ingin tahu ibunya ke mana. 3
“Tak usah! Hari ini tidak kerja?” “Kalau tidak kerja Acu boleh mengantar Mama?” tanya Acu penuh harap. “Tidak! Kalau tidak kerja, kalian bersihkan halaman. Potong rumputnya!” Nyali Acu langsung ciut mendengar bentakan mamanya. Mamanya langsung naik ke sepeda. Acu mengintip saku baju mamanya. Ternyata mamanya membawa notes, persis kayak yang ditemukan di dalam lemari baju ibunya. Berapa banyak sih calon jodohku yang ingin dicatat Mama? gumam Acu dalam hati. Tiba-tiba sebuah jambu mampir ke kepala Acu. Acu langsung tahu pelemparnya. Siapa lagi kalau bukan Akai Bangkai. “Kai, kamu belum pernah naik motor, kan? Sini, menyeberanglah ke sini, kubonceng kamu keliling kota memamerkan seekor monyet yang pintar ngomong dan menimpuk kepala orang dengan biji jambu!” ejek Acu. Akai mengeluarkan suara kentut lewat mulutnya. Acu teringat makian Jenni yang ditujukan pada papanya. “Pengecut! Kalau kamu lelaki sejati, ayo menyeberang ke sini!” Acu sebetulnya membaca surat Jenni yang ditujukan pada papanya. “Jangan harap deh!” “Kai, tahu enggak kamu, Ayi Jenni punya rumah yang cakep sekali. Katanya kalau kamu baik terhadapnya, rumah itu akan diberikan padamu.” “Di mana?” “Tuh, di belakang rumahmu, kandang ayam!”
4
Akai meradang, kali ini bukan jambu yang dilemparnya, tapi dahan jambu. Acu buru-buru ngumpet ke dalam rumah. Menggoda Akai ternyata mengasyikkan. Lupa segala masalah di dunia. Beginikah yang terjadi saat Jenni menggoda papanya? Kenapa sesuatu yang dilarang selalu mengundang keinginan untuk dilanggar? Akhir Agustus merupakan pertengahan bulan ketujuh penanggalan Cina. Sebentar lagi ada cara sembahyang untuk roh gentayangan. Menurut omongan orang, manusia yang mati penasaran selalu menjadi roh penasaran. Jika papanya meninggal karena menerima tantangan Jenni, itu artinya papanya termasuk orang yang mati penasaran. Akankah di bulan ketujuh tanggal 15 nanti roh papanya menggentayangi orang-orang yang tidak disukainya? Acu sangat berharap arwah papanya menggentayangi Akai, kalau bisa menakut-nakuti Akai hingga terkencingkencing di celana. Ia pasti ketawa ngakak andai melihat Akai terkencing-kencing di celana gara-gara diganggu roh papanya. *** Perayaan Hantu Gentayangan berjalan dengan mulus. Tidak terjadi apa-apa pertanda semua roh disembahyangi dengan benar oleh anak cucu mereka. Kecuali tempat angker tetap angker. September mulai musim pancaroba. Setelah pancaroba akan muncul musim hujan yang merupakan bulan-bulan berbahaya bagi pelayaran. Acu sudah selesai menotal pembukuan papanya. Saldo uang papanya di tangan Tuan Wu sekitar 28 juta. Ini jumlah yang 5
besar sekali. Akankah Tuan Wu membayar uang sebesar ini kepada ahli waris keluarga Bai? Acu tahu ia bukan termasuk ahli waris. Orang Cina hanya mewariskan hartanya kepada anak lelaki. Anak perempuan hanya mendapat hadiah perhiasan saat menikah. Acu sekarang diliputi keraguan. Dua puluh delapan juta bisa untuk membeli 28 motor Supercub. Juga setara dengan harga sebuah ruko yang terletak agak ke darat. Sanggupkah Tuan Wu membayar sekaligus uang sebesar ini kepada dua anak kecil yang belum genap berusia 18 tahun? Pasti sanggup! Tapi, bersediakah Tuan Wu membayar? Ini yang Acu ragukan. Bulan 8 dianggap bulan baik. Yan Hong akan menikah dengan Bin San. Tanggalnya sudah ditetapkan bulan 8 tanggal 8. Yanti mengatakan tokonya tutup 3 hari. Yanti meminta Acu membantu di rumahnya, tapi Acu tahu diri. Ia menolak halus dengan alasan ia sedang memakai ‘pangkat duka’, papanya meninggal belum setahun, ada sebagian orang yang mengatakan orang yang sedang memakai ‘pangkat duka’ sebaiknya tidak menghadiri acara ‘bahagia’. Yanti mengatakan ia tak mempermasalahkan itu. Acu tetap menolak dengan dalih di rumah Yanti masih ada golongan tua yang akan mempermasalahkannya. Yanti akhirnya bersedia memaafkan ketidakbersediaan Acu dengan syarat Acu bersedia menolongnya andai dibutuhkan. Acu menyanggupi permintaan bosnya. Libur tiga hari membuat Acu bingung. Apa yang ingin dilakukan selama tiga hari? Pembukuan papanya sudah selesai dihitung. Dua buku yang ditemukan Aming 6
di dalam baju papanya ternyata berisi catatan pinjaman saudara papanya. Ternyata uang papanya sangat banyak. Kenapa Papa hanya memberi Mama uang belanja sedikit sekali sehingga terpaksa makan bubur dengan lauk seadanya? Apakah sifat papanya memang pelit, atau mamanya yang menggelapkan uang pemberian papanya? Papa tidak pelit. Buktinya jika sedang di rumah, Papa sering membelikan jajan anak-anaknya es lilin, baju Lebaran selalu Papa yang beli, rumah rusak selalu Papa perbaiki, bahkan papanya sering membawa daging pulang untuk dimasak, dua sepeda di rumah Papa yang beli. Mama punya penghasilan dari membuat kerupuk dan tak pernah membelikan jajan anak-anaknya. Pernah Yanti mengatakan hal ini, “Ke mana perginya penghasilan mamamu jika tak untuk berbelanja?” Jangan-jangan separuh lemari pakaian Mama isinya uang! Jika penghasilan dari kerupuk tidak pernah dibelanjakan, sedangkan uang yang diterima Aming selalu dalam bentuk recehan, bisa jadi sekarang totalnya satu lemari! Rasa penasaran Acu membeludak. Jangan-jangan papa dan mamanya bertanding “siapa-paling-banyakmenyimpan-uang”. Acu masuk ke kamar ibunya. Ia berusaha menemukan kunci lemari. Seluruh kamar diperiksanya, tapi tak berhasil menemukan sebatang anak kunci apa pun. Rasa penasarannya membawanya ke gudang. Dibongkarnya seluruh gudang. Mumpung adik-adiknya sekolah dan ibunya tidak berada di rumah. Mumpung ia libur dan tak punya pekerjaan. Ia tak 7
berhasil menemukan kunci di gudang. Gantian dapur yang dibongkarnya. Lemari makan diperiksa. Ternyata ibunya bukan menyembunyikan kunci, kunci itu ditaruh di tempat bawang. Acu merasa ia terlalu berprasangka. Kunci segampang itu ditemukan, pasti ibunya tidak menyimpan rahasia di lemari pakaiannya. Kalau ada rahasia, pasti kunci disimpan dengan baik di tempat tersembunyi. Acu membawa kunci ke kamar ibunya. Dimasukkan kunci ke lubang dan diputarnya. Separuh lemari itu langsung terbuka. Acu terkesima! Kertas! Banyak sekali kertas! Apakah ibunya juga menyimpan rahasia cinta? Apakah ini surat cinta dari kekasih ibunya? Kenapa kertasnya kecil sekali? Kertas-kertas itu diikat dengan gelang karet, bertumpuk-tumpuk tersusun dengan rapi. Satu rak hampir penuh dengan kertas-kertas semacam itu. Acu mengambil segepok kertas itu. Ternyata itu bukan surat, tapi tulisan angka-angka disertai beberapa huruf Mandarin: 4125 satu besar, 5783 satu kecil, ada tanggalnya, ada coretan mirip tanda tangan, ada nomor seri sederhana dengan cetakan merah di sudut kertas. “Kertas-kertas apa ini? Kenapa Mama menyimpan kertas-kertas semacam ini sebanyak ini? Dibilang jimat, bukan. Dibilang catatan belanja, bukan. Dibilang perhitungan juga bukan. Kertas apa ini?” Acu membuka pengikat. Gelang karetnya langsung putus karena lapuk. Acu mengambil kertas itu selembar, setelah itu mengikat kembali dengan gelang karet yang baru, kemudian menutup lemari, mengunci dengan rapi dan kuncinya dikembalikan ke tempat bawang di lemari dapur. Ia duduk di meja 8
makan menatap kertas itu. Perasaannya mengatakan kertas semacam ini juga pernah dilihatnya dilaci uang Paman Huat. “Kertas apa ini? Angkanya tidak genap, artinya bukan uang, satu besar atau satu kecil ini artinya apa?” Acu membolak-balik kertas itu, tidak ditemukan keanehan pada kertas itu selain angka dan huruf yang membingungkan. “Asiu Pek pasti tahu makna tulisan ini. Jangan-jangan Chiamsi model baru. Nyari Asiu Pek aah....” Acu menutup pintu dan jendela, keluar melalui jendela Aming. Ia berjalan menuju pasar. Jam 11 siang berjalan di panas terik ternyata membuatnya berkeringat. 20 menit kemudian ia sudah tiba di kelenteng. Asiu Pek sedang membersihkan bekas lilin di lantai kelenteng saat Acu tiba. “Asiu Pek, Acu datang!” Asiu Pek sedang berjongkok, Acu tak berani menghentakkan kaki, takut dibilang tidak sopan. “Murid jail tukang mengagetkan orang.” “Kubantu deh.” Acu jongkok ikut membersihkan tumpahan lilin yang lengket di lantai. “Kamu tidak kerja?” tanya Asiu Pek. “Yan Hong besok menikah, Acu mendapat libur 3 hari.” “Kapan kamu menyusul?” “Tunggu kiamat deh!” “Tampangmu aja menunjukkan kamu orang yang kawin muda. Mana sempat menunggu kiamat,” cela Asiu Pek. 9