Menakar Makna Teologi Pendidikan: Kajian Reflektif-Paradigmatik Oleh: Rudi Ahmad Suryadi ABSTRACT Islamic education is a study that has epistemologic aspect. It can be connected in philosophic statement of God in the apocalyptic perspective. Theology on Islamic education has an important position in the development of the idea in the theory of Islamic education. Its paradigmatic conception is important for building a theory developed to strengthen existing Islamic education. It is not based by an understanding of the theology of the deity. To build an educational paradigm that theological conception of human construction also influence the education paradigm. Kata kunci: Pendidikan Islam, Paradigma, Teologi Pendidikan
A. Pendahuluan Kegelisahan umat manusia sekarang ini salah satunya disebabkan oleh paradigma pendidikan yang salah. Umat manusia seolah merasa resah dalam menghadapi kenyataan hidup yang kian berubah secara cepat. Apalagi dalam lingkungan buana yang tanpa batas (the borderless world). Para pakar pendidikan merasa ikut andil dalam memikirkan hal ini karena akan mengancam keberlangsungan manusia dan kemanusiaannya. Kemegahan akal, kognisi, dan rasionalismenya mempersempit manusia dan menempatkan manusia dalam “ruang sempit “ akal. Segalanya dipandang dalam kacamata akal. Akal yang menjadi pusat. Karena memperkuat posisi akal seperti ini akhirnya manusia dengan dalih akalnya ingin hidup bebas; bahkan bebas tak terbatas. Akhirnya, kebebasannya itu menjadi tujuan utamanya. Segala macam hal ia lakukan untuk mengejar apa yang dicita-citakan. Kebebasannya ini yang akan mengakibatkan manusia terjerumus pada jurang kehancuran. Dalam paradigma pendidikan semacam ini manusia “dikotak-kotakan”, terparsialkan, dan cenderung mengalienasikan manusia pada kesadarannya. Manusia dalam pandangan seperti ini hanya dihargai lewat akalnya, tanpa melihat aspek-aspek berharga yang lain yang berada dalam diri manusia. Padahal bukankah aspek lain pun turut mempengaruhi keberhasilan manusia dalam mengarungi kehidupannya.1 1 Tak dapat disangkal memang, dalam teori-teori pendidikan dan psikologi Barat muncullah konsep kecerdasankecerdasan lain (quotience) yang sekarang sedang berkembang dan digandrungi. Daniel Goleman dalam Emotional Quotience mencoba memaparkan kecerdasan-kecerdasan emosi manusia. Begitu pula Danah Zohar yang mencoba memfokuskan kajiannya pada aspek spiritual manusia atau yang dikenal dengan Spiritual Quotience. Hal ini menunjukan
1
Berlainan dengan wacana di atas, pendidikan Islam memberikan warna lain. Di luar problematika teori yang parsial ini, wacana pendidikan Islam memberikan kontribusi yang cukup bagus dalam pengembangan pendidikan. Pendidikan Islam menjadi “alternatif” bagi pengembangan teori pendidikan dan sisi praksisnya. Pendidikan Islam akhirnya menjadi digandrungi. Pendidikan Islam baik dalam tataran normatif maupun historis sudah memberikan landasan bagi pengembangan manusia dalam konstelasi pendidikan. Pendidikan Islam tidak hanya memfokuskan kajiannya pada aspek rasio. Aspek emosi dan spiritual sudah dikaji oleh pendidikan Islam, melampaui perkembangan pendidikan konvensional. Namun sayangnya, pendidikan Islam pada waktu berkembangnya tidak sepopuler pendidikan konvensional kala itu. Padahal, kalau dilihat dari segi historis, wacananya sudah ada sejak zaman Nabi SAW -walaupun konsepnya belum dikodifikasikan secara baku seperti sekarang- hingga sekarang ini. Wacana di atas setidaknya memberikan gambaran historis pemahaman teori pendidikan baik dari Barat ataupun Islam. Selain itu, ada perbedaan prinsip di antara kedua corak pendidikan tersebut. Singkatnya, Barat bercorak rasionalis, sedangkan Islam selain mementingkan rasio, ia pun mementingkan aspek emosi dan spiritual berdasarkan petunjuk-petunjuk agama. Salah satu bingkai pendidikan yang cukup menarik untuk dikaji adalah teologi pendidikan.2 Pada kebanyakan ahli pendidikan yang berlatarbelakang pendidikan Barat atau orang yang terjun pada paradigma pendidikan Barat, tentu hal ini merupakan sebuah kajian yang unik, disamping kajian mereka yang cenderung pure humanistic dan bertitik tolak pada hasil pemikiran mereka yang mengandalkan rasionalitas dan kelogisan semata, juga ditopangi oleh kajian-kajian empirik. Kajian mengenai teologi pendidikan dipandang penting karena sebagaimana yang diungkapkan di atas, paradigma pendidikan sudah mengalami kesalahan dalam arah. Kajian mengenai teologi ini diharapkan dapat membuahkan (to be derived ) sebuah konsepsi pendidikan yang berparadigma teosentris dan humanis.3 Tulisan singkat ini akan berusaha untuk mengungkapkan substansi teologi pendidikan dalam jalinan paradigma filsafat dan ilmu pendidikan Islam.
atau bahkan akan menjadi wacana apologi bagi Barat, bahwa Barat sekarang sudah melampaui kajian hingga sisi esotoris manusia. Tapi sayangnya, konsep tersebut tidak didasari pada agama. Akhirnya konsep ini –mungkin- akan runtuh. Lebih lanjut mengenai dua konsep ini bisa kita lihat Daniel Goleman, Emosional Quotience,( Bandung: KAIFA, 2002) dan Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Quotience, ( Bandung: KAIFA, 2003) 2
Istilah ini menjadi sebuh kata baku pada mata kuliah yang disajikan pada program doktor pendidikan Islam. Kajian ini menjadi khas dibanding dengan kajian pendidikan lainnya, apalagi pada program doktor nonpendidikan islam. Teologi pendidikan ini cukup menarik dan terus menjadi perdebatan hangat di antara para mahasiswa mengenai eksistensi dan epistemologis, terutama ketika diskusi pada beberapa point penting menggunakan hermeneutica approach (pendekatan ”tafsir’), menggunakan ayat-ayat al-Quran sebagai sebuah unit analisis, penafsiran ulama sebagai pendekatan memahami bahasa wahyu Tuhan. Hampir-hampir sebagian rekan penulis merasa kebingungan : ”ini tafsir pendidikan kaya nya, bukan teologi pendidikan”. Karena sebagian dari kami masih merasakan adanya ambiguitas dalam memahami contents dan pendekatan yang digunakan, terutama jika dikaitkan dengan pendekatan teologi an sich. 3 Pendidikan Barat dengan menggunggulkan rasio dan skill terjun pada jurang pendidikan yang humanis an sich. Sisi ketuhanan (ilahiyah ) mereka abaikan. Paradigma pendidikan mereka ”berawal” dan ”berakhir” pada manusia semata, tidak ada hubungannya dengan dimensi ilahiyah.
2
B. Makna Teologi Pendidikan Kajian-kajian mengenai pendidikan Islam sekurang-kurangnya ditopang oleh ilmu pendidikan Islam, filsafat pendidikan Islam, dan yang terakhir adalah teologi pendidikan. Pengalaman penulis, ilmu pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Islam sudah menjadi kajian yang populer bagi mahasiswa tingkat S1 dan S2. Sedangkan teologi pendidikan dijadikan salah satu mata kuliah khas di tingkat S3, khususnya pada program studi Pendidikan Islam dan tergantung pada kekhasan perguruan tinggi untuk mengembangkan kurikulumnya. Terkadang ambiguitas konsep yang dituturkan pada beberapa referensi mengenai Ilmu Pendidikan Islam (selanjutnya disebut : IPI) dan Filsafat Pendidikan Islam (selanjutnya disebut : FPI) terjadi dalam alur pemikiran referensi-referensi tersebut. Kajian IPI terkadang ditemukan dalam beberapa buku mengenai FPI. Juga kajian mengenai FPI sering ditemukan pula dalam content IPI. Imbasnya, terdapat sebuah kesan bahwa IPI dan FPI itu content-nya sama; itu-itu juga. Hal ini mengindikasikan adanya sebuah kesalahan, sekurang-kurangnya ambivalensi dan ambiguitas dalam pemetaan konsep yang lebih cermat. Untuk mengurangi ambiguitas paradigmatik IPI dan FPI ini, penegasan akan paradigma keduanya merupakan sesuatu yang penting. Mengenai hal ini, Ahmad Tafsir berupaya untuk melerai kerancuan pemahaman paradigma diantara keduanya. Ungkapan Ahmad Tafsir ini, dituangkan dalam bagan sebagai berikut :4
Ilmu Pendidikan Filsafat Pendidikan
Objek Empiris
Paradigma Sains
Metode Kriteria Metode ilmiah Logis-empiris
Asbtrak-logis
Filosofis
Logika
Logis
Jika sebuah konsepsi pendidikan menempati posisi item empiris, logis, berdasarkan metode ilmiah, maka itu adalah konsepsi pendidikan dalam konstelasi ilmu. Sedangkan jika konsepsi pendidikan itu berada pada ruang abtrak, logis, dan melalui jalur logika, maka konsepsi pendidikan itu berada pada ruang filsafat. Istilah teologi sering dijumpai dalam wacana-wacana keagamaan. Dulu istilah ini lebih identik mengarah pada ilmu keyakinan, ilmu tauhid, dan ilmu akidah. Karena, teologi ini pada sebuah pemahaman dan corak pemikiran tertentu berisi mengenai content ilmu-ilmu tersebut.5 Ada pula, sebagian kelompok yang mengarahkan pengertian teologi ini pada ilmu kalam.6 Pemaparan mengenai istilah 4
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Rosda Karya, 2006), h. 21, lihat pula Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung : Rosdakarya, 2006), h. 13. Matrik yang berada di atas tersebut dikenal dengan nama matrik pengetahuan. Matrik tersebut dalam kedu buku tersebut diambil dari penulis buku ini yaitu pada buku Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Hingga Capra, (Bandung : Rosdakarya, 2002), h. 22 5 Muhaimin dan Jusuf Muzakkir, Kawasan dan Wawasan Islam, (Jakarta : Prenada, 2005), h. 21 6 Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 121. Contoh sederhananya adalah judul buku mendiang Harun Nasution, Teologi Islam. Buku ini secara penuh mengemukakan pembahasan mengenai pemahaman mutakallimin dan pertikain pendapat mereka seputar masalah kalam (al-mujadalah wa al-tanaqud).
3
teologi atau kalam ini menurut penulis penting untuk diajukan untuk menegaskan apakah teologi pendidikan itu berhubungan dengan ilmu kalam yang mempunyai content pembahasan aliran-aliran kalam atau mutakallimin seperti yang dituangkan dalam referensi-referensi daras, atau teologi pendidikan itu mencoba melepaskan diri dari carut marut pertikaian aliran kalam tersebut ? Secara bahasa, kata kalam berarti pembicaraan, yakni pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Oleh karenanya, Supiana berpendapat bahwa ciri utama kalam adalah logika atau rasionalitas.7 Kata kalam sendiri mulanya dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata logos (bahasa Yunani) yang berarti pembicaraan. Turunan dari kata ini, muncullah istilah logika dan logis (dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah manthiq); ilmu logika, khususnya logika formal (sillogisme ), biasa disebut sebagai manthiq.8 Musthafa Abd al-Raziq menegaskan bahwa ilmu kalam terkadang disebut dengan istilah ilm ushul al-din, ilm tauhid, fiqh alakbar,9 dan teologi islam.10 Istilah teologi Islam diambil dari bahasa Inggris, theology. Reese mendefinisikannya dengan discourse of reason concerning God (wacana atau pemikiran tentang Tuhan).11 Dengan mengutip perkataan Ockham, Reese lebih jauh mengatakan : ”Theology to be discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science (teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan).12 Selain pendapat Reese, Gove berpendapat bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman keagamaan secara rasional.13 Teologi secara sederhana menurut Komaruddin Hidayat adalah ilmu atau penalaran kritis (logos) tentang Tuhan (teos).14 Teologi menurutnya muncul dari tradisi dan semangat beragama, sehingga didalamnya terkandung semangat iman dan pembenaran wahyu Tuhan. Teologi selalu dibedakan dari filsafat ketuhanan yang memberikan kebebasan pada nalar dalam membahas persoalan Tuhan tanpa harus terikat dengan wahyu.15 Namun, dalam tradisi Islam, sebebas apa pun nalar berpikir, tetap ada penghormatan pada wibawa wahyu. Oleh sebab itu, tradisi filsafat Islam masih berdekatan dengan tradisi teologi. Yang membedakannya adalah dari segi metodologi. Filsafat lebih mengandalkan metode burhani (demonstratif) sedangkan 7
Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung : Rosdakarya, 2001), h. 161 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) 9 Ilmu kalam disebut dengan istilah fiqh al-akbar dipopulerkan oleh Abu Hanifah. Menurut pendapatnya, hukum Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi pada dua bagian. Pertama, fiqh akbar yang membahas tentang keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Dan kedua, fiqh ashghar, membahas mengenai muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang pokok agama. 10 Musthafa Ali Abd al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, (Lajnah wa al-Ta’lif wa alTarjamah wa al-Nayr, 1959), h. 265. Lihat pula Sayyed Hossei Nasr dan Oliver Leaman (ed.), History of Islamic Philosophy, (New York: 1966), h. 74-75. Pendapat Musthafa Ali Abd al-Raziq ini disarikan pula oleh Abdul Rozak dan Muchtar Sholihin, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), h. 13 11 Reese, Dictionary of Philosophy and Religion, (USA: Humanities Press Ltd, 1980), h. 28 12 ibid 13 Gove, Webster’s Third New International Dictionary of The English Language, (G&C Merviam Company Publisher, 1966), h. 2371. 14 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Bandung : Teraju, 2004), h. 189 15 ibid 8
4
teologi lebih bersifat jadali (dialektis). Yang pertama berangkat mencari kebenaran dengan membangun premis dan analisis secara kritis-radikal setapak demi setapak. Adapun yang kedua berangkat dari berbagai statement ayat atau wahyu yang kemudian saling dihadapkan dalam kerangka analisis untuk menangkan pesan Tuhan.16 Pemahaman mengenai teologi pendidikan, pada sebuah buku menghendaki memasukkan konsepsi pendidikan dan atau menurunkan konsepi pendidikan pada dan dari aliran-aliran mutakallimin. Konsepi pendidikan yang diturunkan cenderung disesuaikan dengan pemahaman Mu’tazilah, qadariyyah, jabbariyyah, dan yang lainnya, misalnya. Pemahaman seperti ini akan mengabaikan sebuah frame besar teologi, atau hanya mengarah pada tema-tema kalam yang saling diperdebatkan lalu diderivasikan menjadi sebuah konsepsi pendidikan. Eksposisi Komaruddin Hidayat lebih mudah, lebih cocok, jika diterapkan untuk mengungkapkan pemahaman teologi pendidikan. Teologi pendidikan secara sederhana bukan berarti konsepsi pendidikan yang diturunkan dari konsepsi pemikiran kalam. Teologi pendidikan merupakan kajian konsepsi pendidikan yang di-derivasi-kan dari penalaran kritis mengenai Tuhan (teos) yang meliputi eksistensi dan ”atribut” ketuhanannya. Dan penalaran kritis mengenai Tuhan ini tidak dapat dipisahkan dari memahami pesan-pesan Tuhan, termasuk di dalamnya pernyataanpernyataan wahyu Tuhan. Konten pembahasan pada teologi pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kajian mengenai pesan wahyu atau ayat juga interpretasinya.17 Pendidikan merupakan sebuah upaya mengembangkan manusia ke arah kesempurnaan. Pendidikan merupakan upaya mengembangkan segala potensi manusia yang telah diberikan oleh-Nya menuju pada sesuatu yang diharapkan olehNya. Pendidikan merupakan sebuah proses transformasi fithrah manusia yang asalnya baik, suci, mengantarkannya menjadi suci kembali, sesuai dengan kehendak-Nya sehingga ia diterima di sisi-Nya (radhiyat mardhiyat). Maka, kajian teologi pendidikan tidak serta merta an sich berhubungan dengan Tuhan, akan tetapi mengkaji pula tentang manusia yang sudah diciptakan dan diberikan berbagai potensi oleh Allah. Oleh karenanya, kajiannya tidak apriori melepaskan diri dari pembahasan mengenai sisi kemanusiaan manusia.18 C. Paradigma Pendidikan Berbasis Teologi Pendidikan Islam kata Abudin Nata,19 merupakan salah satu kajian yang mendapat perhatian banyak dari para ilmuwan. Hal ini karena di samping peranannya yang strategis dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, pendidikan Islam pun mendapat berbagai macam sorotan terutama dalam berbagai masalah yang kompleks yang memerlukan penanganan segera. Salah satu masalah serius yang “hinggap” dalam konsep pendidikan adalah orientasi pendidikan yang 16
Ibid, h. 191 .Pendekatan tafsir, ilmu tafsir, semiotik, semantik, bahasa Arab, juga ilmu-ilmu mengenai al-Quran mutlak diperlukan. 18 Content-content pembahasan teologi pendidikan ini meliputi konsepsi masyiat allah, iradat allah (kehendak Allah), mardhat allah (keridhaan Allah), konsepsi ma’rifat, konsepsi qudrat allah, konsepsi ibadah, konsepsi pemeliharaan Allah, konsepsi takhallaqu bi akhlaq allah, sifat manusia, dan eskatologis Perlu pula ditambah item konsep lainnya seperti konsepsi kebenaran ( al-haqq) dan keabadian. 17
19
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 285
5
cenderung rasionalis. Barat memegang kunci peran pendidikan rasional ini. Akhirnya, konsep pendidikan semacam ini akan menyudutkan manusia pada satu aspek, yaitu aspek akal. Aspek emosi, aspek spiritual, bahkan aspek “agama” tidak tersentuh. Akhirnya akan menghasilkan manusia yang rapuh dan resah. Dalam kata lain, Ahmad Tafsir20 menyatakan bahwa proses pendidikan harus meliputi aspek jasmani, rohani, dan kalbu. Tafsir menegaskan bahwa masalah yang lebih besar dalam pendidikan bukan dalam pemenuhan akan tuntutan lapangan kerja (sebagai perpanjangan dari skill), melainkan belum bisa menciptakan manusia yang berakhlak mulia. Menurutnya, bangsa-bangsa yang dimusnahkan oleh Tuhan bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, tetapi karena akhlaknya buruk.21 Wacana diatas memberikan image pada kita akan kesalahan pendidikan yang terjadi sekarang ini. Kesalahan tersebut diakibatkan paradigma dalam memahami dan yang menjadi landasan pendidikan. Paradigma tersebut adalah paradigma manusia an sich; paradigma yang dibuat ukurannya oleh akal manusia yang relatif. Di sela-sela itu, pendidikan Islam menjadi paradigma alternatif. Paradigma pendidikan dalam Islam tidak hanya dilandaskan pada pandangan homocentris manusia yang rasionalis, melainkan ditopang pula oleh paradigma ilahiyah; paradigma yang didasari oleh agama dan penafsiran terhadap sumber-sumbernya. Perbedaan paradigma tersebut akan mempengaruhi pada pandangan tentang prinsip-prinsipnya. Kalau pendidikan Barat mengacu pada paradigma dan prinsipprinsip yang ditopang oleh akal, sehingga relatif kebenarannya. Sedangkan pendidikan Islam ditopang oleh sumber-sumber wahyu dari Tuhan ( al-Quran) dan turunannya yaitu Sunnah. Al-Quran itu absolute kebenarannya karena ia berasal dari Tuhan dan bukankah Tuhan akan tetap menjaga kebenarannya. Sebagaimana dijelaskan di muka, permasalahan pendidikan yang tak kunjung usia, carut marutnya pendidikan, dipengaruhi oleh paradigma yang tidak jelas. Jika dikaikan dengan pendidikan Islam, tak dipungkiri pada awalnya ada sebagian orang yang menyusun teori pendidikan islam itu menggunakan teori-teori pendidikan Barat lalu menyelipkan dasar-dasar ajaran (al-Quran dan Sunnah) pada teori-teori tersebut kemudian membuat untuk merelevankannya. Penyatuan teori semacam ini mengakibatkan adanya kesimpangsiuran konsepsi pendidikan. Namun setelah itu, upaya penggalian konsepsi-konsepsi pendidikan yang bersumber pada ajarannya dilakukan. Selain itu, yang menjadi penyebab carut marut dan kelemahan pendidikan Islam, Syed Naquib al-Attas mengemukakan : ”Yang menjadi penyebab mundurnya muslimin dan degenerasi adalah kelalaian dalam merumuskan dan mengembangkan rencana pendidikan yang sistemtis berdasarkan prinsip-prinsip Islam, dan melalaikan pelaksanaan suatu sistem pendidikan yang terpadu”.22 Berhubungan dengan teologi pendidikan sebagai fokus bahasan pada tulisan ini, posisinya cukup penting dalam kerangka pengembangan konsepsi pendidikan Islam dan secara hipotetik dijadikan sebagai sebuah paradigma pendidikan.
20 21
22
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2006) ibid
Syed Naquib al-Attas, Islam and Secularism, terj. Karsidjo, (Bandung : Pustaka, 1991), h. 178
6
Istilah penting yang harus dipahami adalah paradigma. Paradigma, secara bahasa berasal dari bahasa Inggris, paradigm berarti type of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model, pola).23 Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari kata para (di samping, di sebelah) dan kata deknay (memperlihatkan; model, contoh, arketipe, ideal).24 Plato, menggunakan kata paradeigma dalam Republic-nya dengan arti a basic form encompassing your entire destiny”.25 Plato pun pernah mengemukakan bahwa paradigma merupakan segala sesuatu yang diciptakan untuk sebuah sebab. Dan mungkin sesuatu yang menjadi sebab itulah yang dimaksudkan Plato sebagai paradeigma. Secara terminologis,26 paradigma merupakan a total view of a problem; a total outlook, not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang atau cara berpikir tentang sesuatu. Dalam Kamus Filsafat, terdapat beberapa pengertian paradigma, diantaranya sebagai berikut : a. Cara memandang sesuatu ; b. Dapat diartikan sebagai model, pola, ideal. Dari model-model ini berbagai fenomena dipandang dan dijelaskan ; c. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkrit. Hal ini melekat pada praktek ilmiah pada tahap tertentu ; dan d. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.27 Paradigma, hemat Priatna dapat juga diilustrasikan sebagai kacamata. Paradigma dalah bingkai (frame) sebuah kacamata, sementara sikap adalah lensa kacamata tersebut. Kita meliht dunia di sekitar kita menggunakan keduanya. Dengan demikian, paradigma bukanlah sikap. Atau sebaliknya, sikap adalah lensa kacamata. Sikap ini terkurung dalam sebuah bingkai, yaitu paradigma. Berdasarkan paradigma itu yang membingkai sikap itulah kita bertindak dan berperilaku. Perilaku kita tidak bisa keluar dari kedua hal itu, karena kita melihat sesuatu dengan menggunakan paradigma dan sikap. Kita adalah bagaimana kita melihat diri kita.28 Secara sederhana, paradigma pendidikan dapat dipahami sebagai cara pandang dan totalitas premis mengenai pendidikan. Sebuah paradigma pendidikan berkembang sejalan dengan proses perjalanan pemikiran manusia mengenai pendidikan. Pemikiran manusia inheren dengan bagaimanakan ia memandang pendidikan. Pendidikan Islam sebagai sebuah paradigma tidak bisa dilepaskan dari fondasi-fondasi yang menopang ajegnya paradigma tersebut. Hasan Langgulung, memandang bahwa fondasi pendidikan itu adalah pesan Ilahiah (al-quran dan sunnah) dan landasan pemikiran yang
23
Ismail, Paradigma Pendidikan Islam, (Semarang : Pustaka Pelajar, 2001), h.vii Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia, 1996), h. 779 25 Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajara-on Becoming Learner-Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, (Jakarta : Kompas, 2000), h. 83 26 Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam : Ikhtiar Mewujudkan Pendidikan Bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 4 27 Loren Bagus, loc.cit 28 Tedi Priatna, op.cit, h. 6 24
7
mengitarinya.29 Landasan-landasan ini tidak bisa dipisahkan dari konsepsi teologis pendidikan yang berhubungan dengan Tuhan dan manusia.30 Konsepsi Tuhan dalam Islam memiliki peranan penting dalam merumuskan sebuah konsepsi pendidikan Islam. Pemahaman Tuhan dalam Islam yang disenyalir dalam pesan Tuhan juga atribut yang mengitarinya merupakan sebuah dasar bagi pengembangan konsepsi pendidikan Islam. Nuansa pemikiran teologis semacam ini menghendaki adanya sebuah pola pikir integral-reflektif, tidak sebatas memahami simbol-simbol ketuhanan dalam pesan-Nya. Lebih dari itu, pemahaman dialektis dan filosofis sangat menguatkan argumentasi konsepsi ketuhanan yang diderivasikan pada konsepsi pendidikan Islam. Paradigma pendidikan berbasis teologis ini tidak semata-mata dipancari oleh pemahaman mengenai teologi ketuhanan. Untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang teologis, konsepsi mengenai manusia turut mewarnai konstruksi paradigma pendidikan.31 Malah konstelasi yang lain; konsepsi pengaturan alam semesta (kosmologi) mendukung terciptanya bangunan paradigma yang kokoh.32 Hal ini didasarkan pada sebuah asumsi sederhana, Tuhan adalah eksistensi tertinggi, Sang Pencipta, Sang Penguasa, Yang Maha Benar, menciptakan manusia dalam keadaan fithrah, memberikan potensi pada manusia untuk menjadi pelaku sejarah di alam ini. Pendidikan dilakukan oleh manusia dan untuk manusia itu sendiri. Pendidikan mengupayakan sebuah proses perjalanan manusia dari yang asalnya suci kembali pada kesucian sejalan dengan perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya. Manusia sebagai pelaku sejarah dan wakil Tuhan di muka bumi bertugas memelihara alam ini sesuai dengan kehendak-Nya demi kebaikan manusia itu. D. Derivasi Paradigma Teologis pada Konstruksi Konsepsi Pendidikan Islam Tulisan ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa kajian teologi pendidikan secara hipotetik menjadi fondasi bagi pengembangan konsepsi pendidikan. Tegasnya, konsepsi pendidikan yang didasarkan pada pemikiran kritis mengenai Tuhan dengan segala atributnya, juga hubungannya dengan manusia dan alam, yang tidak dapat dilepaskan dari pesan-pesan yang disenyalir oleh Tuhan dalam ayat-ayat-Nya. Konsepsi-konsepsi kajian teologi pendidikan pendidikan tidak terlepas dari konstelasi pernyataan ketuhanan dalam paparan al-Quran, Sunnah, dan pemikiran filosofis-dialektis mengenai interpretasi wahyu dan pemahaman tentang Tuhan. Wilayah kajian teologi pendidikan ini sejatinya ”lebih atas” posisinya daripada filsafat pendidikan dan ilmu pendidikan. Filsafat pendidikan lebih mengandalkan pada premis dan analisis yang apriori logis. Ilmu pendidikan berlandaskan pada konsep empiris mengenai pendidikan yang ditopang oleh kelogisan. Derivasi konsepsi ini step by step mengarah pada proses pendidikan dan komponen-
29
Hassan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992),h. 14 Saifullah, Muhammad Quthb dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik, (Yogyakarta : Suluh Press, 2005), h. xi 31 Lihat Hassan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1994), h. 23 32 Lihat al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta : Bulan Bintang, 1989), h. 34 30
8
komponen pendidikan. Secara skematik, derivasi konsepsi pendidikan ini digambarkan sebagai berikut : Teologi Pendidikan
Al-Quran
Sunnah
PemikiranPemikiran Interpretatif
Filsafat Pendidikan Islam
Ilmu Pendidikan Islam
Proses Pendidikan
Komponen Pendidikan
Berdasarkan skema di atas dapat ditegaskan bahwa kajian mengenai teologi pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kajian mengenai pernyataan pesan Tuhan (wahyu). Pemahaman mengenai wahyu atau pesan Tuhan ini tidak dipahami secara serampangan. Untuk memahami pesan Tuhan ini diperlukan piranti-piranti atau ilmu bantu, seperti ulum al-quran wa al-tafsir, bahasa Arab, semantik, semiotik, dan interpretasi-interpretasi mengenai wahyu tersebut secara deeply dan komprehensif. Secara epistemologis, pemahaman teologi pendidikan yang tidak bisa dilepaskan dari sumber wahyu ilahiyah mengurutkan sebuah derivasi konsepsi pendidikan Islam. Mengenai hal ini, Ahmad Tafsir (ed)33 mendeskripsikannya pada skema sebagai berikut :
33
Ahmad Tafsir (ed), Teori-Teori Pendidikan Islam, (Bandung : Fakultas Tarbiyah IAIN SGD, 2001), h. vi. Lihat pula Tedi Priatna, op.cit, h. 74
9
Sumber-Sumber Wahyu Dasar-Dasar Teori
Keyakinan
Teori Pendidikan
Kebenaran
Praktik Pendidikan
Manfaat
Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan Sains
Manual Pendidikan
E. Penutup Teologi pendidikan dianggap penting bagi pengembangan konsepsi dan pengembangan teori pendidikan Islam. Teologi pendidikan ini memberikan landasan kokoh bagi konstruksi teoritik pendidikan Islam. Pemahaman mengenai teologi ini bukan didasarkan pada asosiasi teologi yang berhubungan dengan permasalahan ilmu kalam. Teologi pendidikan ini secara hipotetik berhubungan dengan penalaran kritis mengenai konsepsi Tuhan dengan segala ”atribut”-nya yang tidak terlepas dari bingkai wahyu dan pesan Tuhan. Sebagai sesuatu yang membumi, konsepsi teologi pendidikan tidak tercerabut dari dimensi insaniah manusia dan kosmologi, sebab pendidikan sebagai sebuah proses koheren dengan perjalanan sejarah manusia menuju dan kembali pada-Nya. Konsepsi paradigmatik ini penting untuk dikembangkan untuk menguatkan dan mengajegkan bangunan teori pendidikan Islam yang sudah ada.
10
Daftar Pustaka
Daniel Goleman 2002 Emosional Quotience, Bandung: KAIFA Danah Zohar dan Ian Marshall 2003 Spiritual Quotience, Bandung: KAIFA Ahmad Tafsir 2006 Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Rosda Karya ___________ 2006 Filsafat Ilmu, Bandung : Rosdakarya ___ ____________ 2002 Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Hingga Capra, Bandung : Rosdakarya ____________ (ed) 2001 Teori-Teori Pendidikan Islam, Bandung : Fakultas Tarbiyah IAIN SGD Muhaimin dan Jusuf Muzakkir 2005 Kawasan dan Wawasan Islam, Jakarta : Prenada Ismail Raji al-Faruqi 2001 Atlas Budaya Islam, Jakarta: Balai Pustaka Supiana dan Karman 2001 Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung : Rosdakarya Nurcholish Madjid 1992 Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina Musthafa Ali Abd al-Raziq 1959 Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Lajnah wa al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nayr Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.) 1966 History of Islamic Philosophy, New York: Routledge Abdul Rozak dan Muchtar Sholihin 2003 Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia Reese 1980 Dictionary of Philosophy and Religion, USA: Humanities Press Ltd Gove 1966 Webster’s Third New International Dictionary of The English Language, G&C Merviam Company Publisher Komaruddin Hidayat 2004 Menafsirkan Kehendak Tuhan, Bandung : Teraju Abudin Nata 2002 Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press Syed Naquib al-Attas 1991 Islam and Secularism, terj. Karsidjo, Bandung : Pustaka Ismail 2001 Paradigma Pendidikan Islam, Semarang : Pustaka Pelajar Loren Bagus 1996 Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia Andreas Harefa
11
2000 Menjadi Manusia Pembelajar-on Becoming Learner-Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, Jakarta : Kompas Tedi Priatna 2004 Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam : Ikhtiar Mewujudkan Pendidikan Bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia, Bandung : Pustaka Bani Quraisy Hasan Langgulung 1992 Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka al-Husna _______________ 1994 Manusia dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1994), h. 23 Saifullah 2005 Muhammad Quthb dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik, Yogyakarta : Suluh Press Al-Syaibany 1989 Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung Jakarta : Bulan Bintang
12