MEMPELAJARI LAJU PENYERAPAN UAP AIR OLEH LARUTAN Lithium Bromide ( LiBr) SEBAGAI ABSORBAN PADA SISTEM PENDINGIN ABSORPSI
SKRIPSI
TETTY ELISABETH NABABAN F14070065
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
STUDYING RATE OF ABSORPTION STEAM BY SOLUTIONS Lithium Bromide (LiBr) AS ABSORBANT IN ABSORPTION REFRIGERATION SYSTEM Tetty Elisabeth Nababan* and Armansyah H Tambunan** Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 62 81263 444 39, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT
Absorption is the process of absorbing a fluid by another fluid to form a fluid solution. In absorption refrigeration system, LiBr as absorbent filters on components of the absorber will absorb water vapor with lower pressure than the evaporator pressure. The rate of absorption of water vapor is a function of concentration, temperature, humidity and pressure of water vapor. The goal of this research is to see the effect of concentration, temperature and vapor pressure of water at the rate of absorption of water vapor by aqueous absorbent filters (LiBr-H2O) in relation to the cooling system, to determine the equilibrium concentration absorption solution of LiBr-H2O, and to determine the sorption isotherm model. Equilibrium concentration is a function of temperature and humidity. Ce at 40oC and RH 60% was found 37%; at 40oC and RH 70% was 34%; at 40o and RH 80% was 29%; at 45oC and RH 60% was 37.5%; at 45oC and RH 70% was 36%; and at 45oC and RH 80% was 34.5%. The calculation results of Qe using Qe sorption isotherm model on temperature 40oC and 45oC were not too different. The calculation results of the percentage errors between Qe data and model from each of the humidity, obtained the lowest percentage of errors in model Freundlich was 0.4% in RH 60% and 70%; 0.3% in RH 80%.
Keywords: absorption; water-lithium bromide; equilibrium concentration; sorpsi isotermis model
TETTY ELISABETH NABABAN. F14070065. Mempelajari Laju Penyerapan Uap Air oleh Larutan Lithium Bromide (LiBr-H2O) Sebagai Absorban pada Sistem Pendingin Absorpsi. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Armansyah H Tambunan, M. Agr. 2011
RINGKASAN Proses absorpsi merupakan proses terjeratnya fluida oleh fluida lain dengan membentuk suatu larutan. Dalam sistem pendingin absorpsi, LiBr sebagai absorban pada komponen absorber akan menyerap uap air bertekanan rendah dari evaporator. Selama proses ini berlangsung terjadi peningkatan suhu pada larutan absorban, dimana semakin lama hal ini akan menyebabkan terhentinya proses absorpsi uap air. Dan pada suatu waktu proses absorpsi akan terhenti apabila pada larutan absorban tidak mampu lagi menyerap uap air dengan kata lain mencapai kondisi yang setimbang. Laju penyerapan uap air merupakan fungsi dari variabel konsentrasi, suhu, kelembaban dan tekanan uap air. Tingginya konsentrasi akan memperkecil tekanan larutan absorban, sehingga proses perpindahan uap air yang memiliki tekanan lebih tinggi dibandingkan larutan akan semakin cepat, dengan kata lain proses absorpsi akan lebih cepat pada konsentrasi yang tinggi. Suhu akan mempengaruhi tekanan larutan absorban maupun tekanan uap air. Semakin tinggi suhu maka tekanan uap air dan tekanan larutan absorban juga akan semakin tinggi, peningkatan suhu tersebut akan memperlambat laju penyerapan uap air. Demikian juga dengan kondisi kelembaban, semakin tinggi kelembaban maka kandungan uap air di udara juga akan semakin tinggi. Pada kondisi kelembaban yang tinggi, laju penyerapan uap air juga akan semakin cepat. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk melihat pengaruh konsentrasi, suhu dan tekanan uap air pada laju penyerapan uap air oleh larutan absorban (LiBr-H2O) dalam kaitannya dengan sistem pendingin absorpsi, menentukan konsentrasi kesetimbangan larutan LiBr-H2O serta menentukan model sorpsi isotermis. Pengamatan laju absorpsi uap air dilakukan pada konsentrasi LiBr 45%, 50%, 55%, dan 60% dengan variasi suhu dan kelembaban. Konsentrasi kesetimbangan merupakan fungsi dari variabel suhu dan kelembaban. Penentuan konsentasi kesetimbangan pada kondisi suhu dan kelembaban yang sama menggunakan diagram P-T-X diperoleh Ce sebesar 34 % pada suhu 40oC dan kelembaban 70%, sedangkan pada suhu 45oC dan kelembaban 70% diperoleh Ce sebesar 36%. Perhitungan Ce berdasarkan pendekatan grafik penurunan konsentrasi diperoleh nilai Ce pada suhu 40oC dan kelembaban 70% sebesar 42.07%. Pada 45oC dan kelembaban 70% diperoleh nilai Ce sebesar 43.90%. Perbedaan berdasarkan hasil perhitungan grafik dengan diagram P-T-X, kemungkinan besar disebabkan data yang diperoleh pada saat perlakuan tidak konsisten dan teliti disebabkan faktor alat yang sering mengalami gangguan saat pengambilan data. Untuk keperluan perhitungan Qe digunakan data konsentrasi kesetimbangan pada suhu dan konsentrasi yang sama namun kelembaban yang berbed, untuk melihat perbedaan Qe yang dipeorleh pada masing-masing kondisi kelembaban yang berbeda. Dimana Ce pada suhu 40oC dan RH 60% sebesar 37%, suhu 40oC dan RH 70% sebesar 34%, suhu 40oC dan RH 80% sebesar 29%, suhu 45oC dan RH 60% sebesar 37.5%, suhu 45oC dan RH 70% sebesar 36%, suhu 45oC dan RH 80% sebesar 34.5%. Hasil perhitungan yang paling mendekati Qe data ialah model Freundlich diikuti dengan model Langmuir dan model BET. Berdasarkan perhitungan persentase kesalahan antara Qe data hitung dengan Qe model sorpsi isotermis pada masing-masing kelembaban, diperoleh persentase kesalahan yang paling rendah pada model Freundlich sebesar 0.4% pada kelembaban 60% dan 70%, dan 0.3% pada kelembaban 80%.
MEMPELAJARI LAJU PENYERAPAN UAP AIR OLEH LARUTAN Lithium Bromide ( LiBr) SEBAGAI ABSORBAN PADA SISTEM PENDINGIN ABSORPSI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh TETTY ELISABETH NABABAN F14070065
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi Nama NIM
: Mempelajari Laju Penyerapan Uap Air oleh Larutan Lithium Bromide (LiBrH2O) Sebagai Absorban pada Sistem Pendingin Absorpsi : Tetty Elisabeth Nababan : F14070065
Menyetujui:
Pembimbing Skripsi,
Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, M. Agr NIP. 19620918 198703 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,
Dr. Ir. Desrial, M.Eng NIP. 19661201 199103 1 004
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bawa skripsi dengan judl “Mempelajari Laju Penyerapan Uap Air oleh Larutan Lithium Bromide (LiBr-H2O) Sebagai Absorban pada Sistem Pendingin Absorpsi” adalah karya say dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Tetty Elisabet Nababan F14070065
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
RIWAYAT PENULIS
Penulis bernama lengkap Tetty Elisabeth Nababan, dilahirkan di Lubuk Pakam, 03 Oktober 1988 dari ayah Joksan Wahidin Nababan dan ibu Emi Malau, sebagai anak ke-empat dari lima bersaudara. Pada tahun 2001, penulis menamatkan pendidikan dasar di SD RK Serdang Murni II Lubuk Pakam, kemudian pada tahun yang sama masuk ke sekolah menengah pertama, dan lulus pada tahun 2004 dari SMP Negeri I Lubuk Pakam. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 1 Lubuk Pakam, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara dan pada tahun yang sama pula diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknolgi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk mengikuti kegiatan bidang kerohani dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan masuk kedalam pengurus Komisi Pelayanan Anak selama periode 2008-2009. Selain itu Penulis juga mengikuti kepanitian Natal Civitas Akademika IPB tahun 2008, kepanitian Kebaktian Awal Tahun Mahasiswa Baru tahun 2008, kepanitian Komunikasi Bisnis pada tahun 2009 dalam matakuliah Komunikasi Bisnis, dan kepanitian Masa Perkenalan Departemen tahun 2009. Penulis juga pernah menjadi salah satu anggota program IPB Go Field tahun 2009 yang ditempatkan di desa Ranca Sari, Indramayu selama satu bulan. Penulis melaksanakan Praktek Lapang pada tahun 2010 di PTPN IV Perkebunan Sawit Unit Adolina, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan rasa puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penelitian dengan judul Mempelajari Laju Penyerapan Uap Air oleh Larutan Lithium Bromide (LiBr-H2O) Sebagai Absorban pada Sistem Pendingin Absorpsi dilaksanakan di Laboratorium Surya dan Labortorium Pindah Panas dan Massa sejak bulan April sampai Juni 2011. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Agr sebagai dosen pembimbing skripsi yang banyak memberi ilmu, pengarahan, nasehat dan bimbingannya selama ini. 2. Kedua orangtua Penulis J. W. Nababan dan E. Malau, dan keempat saudara laki-laki Penulis (Sintong H Nababan, Dion BP Nababan, Cornelis A Nababan, dan Porman A Nababan) serta kakak sepupu Penulis Yetti Nababan dan Deriana Nababan yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan moril selama Penulis melakukan studi di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, IPB. 3. Seluruh dosen dan staf karyawan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem yang mendidik dan membantu Penulis selama kuliah di Departemen TMB. 4. Pak Bayu Rudiyanto selaku rekan kerja Penulis selama penelitian yang telah banyak memberi masukkan dan bantuan selama menjalankan penelitian imi. 5. Rekan-rekan satu bimbingan (Daniel Pramudita, Sulastri, Furqon, Pak Kiman, Pak James, Pak Lamhot) yang telah membantu Penulis dalam memberikan ide serta dukungan selama penulisan skripsi. 6. Pak Harto selaku teknisi Laboratorium Energi dan Elektrifikasi yang juga ikut membantu dalam menyiapkan peralatan selama penelitian berlangsung 7. Seluruh mahasiswa Teknik Mesin dan Biosistem angkatan 44 atas kerjasama dan kebersamaannya selama menuntut ilmu di IPB selama kurang lebih 3 tahun, semoga tali persahabatan tetap terjalin indah dan dapat terus dipertahankan. 8. Abang Ronal Manullang yang selalu memberikan Penulis semangat dan dukungan selama satu tahun terkahir ini, terima kasih untuk setiap kebersamaanya. 9. Rekan-rekan Penulis yang senantiasa ikut membantu dan menemanin setiap kali penelitian (Devi NS, R Afni Shafwati, Noni, Fitri, Yusenda, Mila, Mifta, Tri Yulni, Drupadi). 10. Rekan-rekan kostan Ananda Putri I yang ikut memberi penghiburan, bantuan dan semangat dalam penulisan skripsi ini (Eleven, Devina, Ira, dan Daniar) dan juga kepada Lenni Lingga, Sri Mei dan Ribka Sinaga. Akhirnya Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Teknik Mesin dan Biosistem.
Bogor,
Agustus 2011
Tetty Elisabeth Nababan
ix
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ix DAFTAR ISI .......................................................................................................................... x DAFTAR TABEL .................................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR.............................................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................... xiii BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 1.2 Tujuan Peneleitian ............................................................................................... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pendinginan ............................................................................................. 3 2.2 Refrigeran .......................................................................................................... 4 2.3 Siklus Pendingin Absorpsi .................................................................................. 5 2.4 Model Sorpsi Isotermis 2.4.1 Model Sorpsi Isotermis Freundlich ............................................................. 7 2.4.2 Model Sorpsi Isotermis Langmuir............................................................... 7 2.4.3 Model Sorpsi Isotermis BET ...................................................................... 8 2.5 Kesetimbangan Kandungan Uap Air .................................................................... 9 BAB III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu ............................................................................................... 11 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................... 11 3.3 Prosedur Penelitian ............................................................................................. 12 BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Penyerapan Uap Air pada Parameter Konsentrasi LiBr ................................ 17 4.2 Laju Penyerapan Uap Air pada Kelembaban dan Tekanan .................................... 19 4.3 Penentuan Konsentrasi Kesetimbangan Larutan Absorban LiBr-H2O 4.3.1 Konsentrasi Kesetimbangan pada Suhu 40oC dan Kelembaban 70% ........... 22 4.3.2 Konsentrasi Kesetimbangan pada Suhu 45oC dan Kelembaban 70% ........... 23 4.4 Penentuan Konsentrasi Kesetimbangan Larutan Absorban LiBr-H2O pada RH yang berbeda .............................................................................................................. 25 4.5 Model Sorpsi Isotermis 4.5.1 Sorpsi Isotermis Model BET ...................................................................... 27 4.5.2 Sorpsi Isotermis Model Langmuir .............................................................. 28 4.5.3 Sorpsi Isotermis Model Freundlich ............................................................ 29 BAB V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 32 5.2 Saran .................................................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 33 LAMPIRAN ........................................................................................................................... 35
x
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Perlakuan penelitian pada masing-masing suhu yaitu 40 C dan 45 C......................... 12 Tabel 2. Pembuatan konsentrasi larutan absorban .................................................................. 12 Tabel 3. Pengaruh konsentrasi larutan LiBr terhadap laju penyerapan uap air ......................... 17 Tabel 4. Pengaruh kelembaban relatif terhadap laju penyerapan uap air.................................. 19 Tabel 5. Pengaruh tekanan uap air terhadap laju penyerpan pada suhu 40oC ........................... 20 o Tabel 6. Pengaruh tekanan uap air terhadap laju penyerpan pada suhu 45 C ........................... 20 Tabel 7. Persamaan garis linear konsentrasi LiBr pada T=40oC dan RH=70% ........................ 21 o Tabel 8. Persamaan garis linear konsentrasi LiBr pada T=45 C dan RH=70% ........................ 23 o Tabel 9. Data suhu larutan dan tekanan uap air pada settingan T=40 C dan RH=70% ............. 24 Tabel 10. Data suhu larutan dan tekanan uap air pada settingan T=45oC dan RH=70% .............. 24 Tabel 11. Konsentrasi Kesetimbangan pada suhu 40 dan kelembaban 60%, 70%, 80%.............. 26 Tabel 12. Konsentrasi Kesetimbangan pada suhu 45 dan kelembaban 60%, 70%, 80%.............. 26 o Tabel 13. Hasil perhitungan Qe model BET pada suhu 40 C .................................................... 27 o Tabel 14. Hasil perhitungan Qe model BET pada suhu 45 C .................................................... 27 Tabel 15. Hasil perhitungan Qe model Langmuir pada suhu 40 oC ............................................ 28 o Tabel 16. Hasil perhitungan Qe model Langmuir pada suhu 45 C ............................................ 28 Tabel 17. Hasil perhitungan Qe model Freundlich pada suhu 40oC........................................... 29 o Tabel 18. Hasil perhitungan Qe model Freundlich pada suhu 45 C........................................... 29 Tabel 19. Hasil Perhitungan Persentase kesalahan pada suhu 40oC............................................ 30 o Tabel 20. Hasil Perhitungan Persentase kesalahan pada suhu 45 C............................................ 30 o
o
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22.
Halaman Bagan Alir Proses Pendinginan Absorpsi ............................................................ 6 Kurva absorpsi isoterm Langmuir ....................................................................... 8 Klasifikasi Isoterm Sorpsi Uap Air dan Berbagai Bentuknya ............................... 10 Skema Histeresis antara Absorpsi dan Desorpsi Uap Air ..................................... 10 Ruang Climate Chamber .................................................................................... 13 Diagram Tekanan-Suhu-Konsentrasi Larutan LiBr Jenuh .................................... 14 Diagram Alir Penelitian ...................................................................................... 16 Grafik pengaruh konsentrsi larutan LiBr terhadap laju penyerapan uap air ........... 17 Grafik pengaruh kelembaban terhadap laju penyerapan uap air ............................ 19 Diagram Psychrometric Chart ............................................................................ 20 Grafik pengaruh tekanan terhadap laju penyerapan uap air pada suhu 40oC dan 45oC.................................................................................... 21 Grafik penurunan konsentrasi larutan LiBr-H2O terhadap waktu pada T=40 dan RH=70% ............................................................................................................ 21 o Grafik hubungan antara kemiringan garis dan konsentrasi pada suhu 40 C .......... 22 Grafik penurunan konsentrasi larutan LiBr-H2O terhadap waktu pada T=45 dan RH=70% ............................................................................................................ 23 Grafik hubungan antara kemiringan garis dan konsentrasi pada suhu 45oC .......... 23 Diagram P-T-X .................................................................................................. 25 Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model BET 40oC .............................. 27 o Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model BET 45 C .............................. 27 o Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Langmuir pada 40 C .............. 28 Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Langmuir pada 45oC .............. 28 o Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Freundlich pada suhu 40 C .... 29 Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Freundlich pada suhu 45oC .... 29
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data Percobaan suhu 40 C dan RH 70% ............................................................. 36 Lampiran 2. Data Percobaan suhu 40oC dan RH 60%, 70% dan 80% ...................................... 38 o Lampiran 3. Data Percobaan suhu 45 C dan RH 70% ............................................................. 40 Lampiran 4. Data Percobaan suhu 45oC dan RH 60%, 70% dan 80% ...................................... 42 Lampiran 5. Contoh Perhitungan Tekanan Uap Air (Pu) ......................................................... 44 Lampiran 6. Penentuan Qe Model BET .................................................................................. 45 Lampiran 7. Penentuan Qe Model Langmuir .......................................................................... 47 Lampiran 8. Penentuan Qe Model Freundlich ......................................................................... 49 Lampiran 9. Contoh perhitungan persentase kesalahan ............................................................ 51 Lampiran 10. Dokumentasi bahan dan alat yang digunakan ...................................................... 53 o
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kebutuhan akan sistem pendingin untuk pengawetan, penyimpanan bahan makanan, hasil panen, penyegaran udara, hasil perikanan atau vaksin imunisasi masal dan keperluan lainnya dirasakan semakin meningkat. Sistem pendinginan yang ada saat ini kebanyakan bekerja dengan sistim kompresi uap menggunakan energi listrik dan refrigeran sintetik seperti : R-11 (AC dengan kapasitas besar), R-12 (AC dan freezer dalam rumah tangga), R-22 (heat pump dan AC bangunan komersial dan industri besar), R-502 (chiller supermarket) dll, sedangkan jenis Freon yang bukan ODS adalah R-134a. Masalah utama yang timbul pada sistem pendingin kompresi uap ialah refrigeran sintetik yang digunakan mempunyai dampak negatif pada lingkungan seperti merusak lapisan ozon sehingga menimbulkan pemanasan global. Sistem pendingin absorpsi dikembangkan pada tahun 1850-an oleh Ferdinand Care dan menjadi sistem pendinginan utama saat itu sebelum kemunculan mesin pendingin kompresi uap pada tahun 1880-an dan memperoleh hak paten Amerika Serikat pada tahun 1860 yang berkembang sampai sekarang. Sistem pendingin absorpsi mempunyai karakteristik tersendiri untuk menghasilkan siklus pendinginan, yaitu tidak menggunakan kompresor mekanik tetapi digantikan dengan memanfaatkan sumber energi panas (heat-operated cycle) (Stoecker, 1989). Energi panas yang digunakan dapat berasal dari pembakaraan kayu, bahan bakar minyak dan gas bumi, buangan proses industri, biomassa, biogas atau dari energi alam seperti panas bumi dan energi surya. Komponen utama dari mesin pendingin absorpsi adalah generator, kondensor, evaporator dan absorber. Selama proses regenerasi, panas diberikan ke generator untuk memisahkan refrigeran dari zat penyerap, selanjutnya uap air masuk ke dalam kondensor untuk berkondensasi menjadi refrigeran cair. Sedangkan pada proses refrigerasi, refrigeran air di dalam evaporator mengalami proses evaporasi dengan mengambil panas dari lingkungan sehingga menghasilkan efek pendinginan dan uap air yang dihasilkan kemudian diabsorpsi oleh larutan LiBr konsentrasi tinggi di dalam komponen absorber. Perkembangan jenis pendingin absorpsi di Indonesia masih dalam tahap penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian, antara lain seperti yang dilakukan di Institut Pertanian Bogor dan Institut Teknologi Bandung. Penelitian yang telah dilakukan di Institut Pertanian Bogor menggunakan limbah biomassa oleh Wahyu (1983) dan Panggabean (1992) didalam Hayadin (1999) sebagai sumber panasnya. Penggunaan LiBr-H2O sebagai fluida kerja belum banyak dikembangkan di Indonesia. Prinsip kerja LiBr-H2O sama seperti menggunakan H2O-NH3, hanya saja pada sistem pendingin yang menggunakan LiBr-H2O sebagai fluidanya dapat dilakukan pada tekanan dibawah tekanan atmosfer, sehingga relatif lebih aman dari bahaya ledakan. Larutan LiBr dengan konsentrasi tinggi pada absorber akan menyerap uap air, sehingga proses pendinginan pada komponen evaporator dapat berlangsung dengan baik. Semakin tinggi kecepatan laju penyerapan absorban, maka semakin baik pula proses pendinginan yang berlangsung. Tinggi rendahnya laju penyerapan dari absorban, dipengaruhi oleh beberapa parameter selama proses pendinginan berlangsung, diantaranya konsentrasi absorban, suhu uap air yang keluar dari evaporator dan suhu larutan absorban, serta tekanan uap air yang masuk kedalam absorber. Pengaruh konsentrasi, suhu dan tekanan pada pendinginan dapat dijelaskan sebagai berikut: apabila pada konsentrasi tertentu suatu larutan dapat menyerap uap air lebih cepat maka pendinginan
1
dapat berlangsung dengan baik pula. Namun hal ini juga harus didukung dengan kondisi suhu uap air dari evaporator yang rendah dan kelembaban yang tinggi. Dengan kombinasi suhu yang rendah dan kelembaban yang tinggi, tekanan uap air yang masuk kedalam absorber menjadi rendah. Selama proses penyerapan uap air berlangsung, terjadi peningkatan suhu pada larutan penyerap. Peningkatan suhu larutan terjadi jika proses penyerapan tersebut terjadi secara adiabatik yang akhirnya akan menyebabkan proses penyerapan uap terhenti (Stoecker, W.F. dan Jerold W. Jones. 1989). Agar proses penyerapan uap air dapat berlangsung secara terus-menerus, maka absorber didinginkan dengan air, yang berfungsi untuk mengambil dan melepaskan panas tersebut ke lingkungan. Untuk itu laju penyerapan uap air dalam absorber sangat penting diketahui, mengingat hal ini berperan langsung dalam peningkatan kinerja mesin pendingin. Dan dalam penelitian ini, akan dilihat seberapa besar pengaruh konsentrasi, suhu dan tekanan uap air dalam mempengaruhi laju penyerapan dari larutan absorban yang akan diuji.
1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk melihat pengaruh konsentrasi, suhu dan tekanan uap air pada laju penyerapan uap air oleh larutan absorban (LiBr-H2O) dalam kaitanya dengan sistem pendingin absorpsi, menentukan konsentrasi kesetimbangan larutan LiBr-H2O serta menentukan model sorpsi isotermis.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Proses Pendinginan
Proses pendinginan merupakan proses pengambilan kalor/panas dari suatu ruang atau benda untuk menurunkan suhunya dengan jalan memindahkan kalor yang terkandung dalam ruangan atau benda tersebut (Kamaruddin, 1998). Proses pendinginan merupakan rangkaian proses pindah panas. Proses pindah panas dapat terjadi secara konveksi, konduksi maupun radiasi. Konveksi adalah pindah panas yang terjadi karena adanya gaya gerak dari luar yang dinamakan dengan konveksi paksa, sedangkan jika pergerakan fluida terjadi karena perbedaan massa jenis yang disebabkan perbedaan temperatur dinamakan dengan konveksi bebas. Konduksi adalah pertukaran melalui kontak langsung antara molekul yang berbeda temperatur. Radiasi merupakan perpindahan panas melalui gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh getaran atom dan sub atom pada permukaan suatu benda. Dalam bidang pertanian, pendinginan dan pembekuan digunakan sebagai salah satu cara untuk menjaga agar produk pertanian yang mudah rusak, dapat tetap terjaga kualitasnya dengan baik selama waktu tertentu sebelum produk tersebut dikonsumsi maupun diperdagangkan. Tujuan lain pendinginan pada bidang pertanian adalah untuk memperlambat aktivitas bakteri, sedangkan pada proses pembekuan bertujuan untuk menghentikan sepenuhnya aktivitas bakteri pada produk yang diinginkan. Perkembangan teknologi pendinginan sangat dipengaruhi oleh dua permasalahan besar, yaitu pemakaian refrigeran dan penggunaan energi. Pemakaian refrigeran dalam sistem pendingin mengakibatkan semakin menipisnya lapisan ozon sehingga berdampak pada pemanasan global. Namun dalam pendinginan itu sendiri refrigeran merupakan komponen terpenting dalam siklus refrigerasi karena refrigeran inilah yang menimbulkan efek pendinginan dan pemanasan pada mesin refrigerasi. Misalnya refrigeran seperti, CFCs (Chloro Fluoro Carbons), HCFCs (Hydro Chloro Fluoro Carbons), HFCs (Hydro Fluoro Carbons) merupakan jenis refrigeran yang pada tahun 2030 harus dihapuskan sesuai kesepakatan Protokol Montreal tahun 1987 dan Protokol Kyoto tahun 1997. Pemakaian refrigeran yang tidak ramah lingkungan ini mendorong peneliti untuk mencari beberapa refrigeran alternatif yaitu melakukan penelitian untuk menggantikan refrigeran amonia dan hidrokarbon. Beberapa kendala didalam pemakaian refrigeran ini yaitu, amonia yang bersifat racun (toxic) dan cukup mudah terbakar. Sedangkan hidrokarbon termasuk dalam zat yang mudah terbakar. Untuk refrigeran hidrokarbon beberapa penelitian dilakukan untuk menekan tingkat keterbakaran yaitu dengan cara mencampurkannya dengan refrigeran lain yang tidak mudah terbakar. Perkembangan lain dari sistem pendingin selain permasalahan pemakaian refrigeran adalah penggunaan energi. Sehingga para peneliti berusaha memunculkan sistem pendingin alternatif yang tidak mengandung permasalahan serupa diatas. Teknologi pendingin alternatif diantaranya adalah refrigerasi sistem absorpsi, adsorpsi padatan (solid adsorption) dan efek magnetokalorik. Keunggulan dari sistem absorpsi dan adsorpsi padatan adalah tidak menggunakan refrigeran yang merusak lapisan ozon dan menimbulkan pemanasan global. Untuk meningkatkan tekanan refrigerannya dapat menggunakan panas buangan, sinar matahari dan juga bisa menggunakan biomassa. Sedangkan refrigerasi sistem efek magnetokalorik sama sekali tidak menggunakan refrigeran primer. Refrigerasi magnetik dipandang sebagai teknologi hijau (green technology) yang memiliki potensi untuk menggantikan siklus konvensional kompresi uap.
3
Pada penelitian pendahulu oleh Setyawan, Y. (1997) mengenai penggunaan garam NaCl, CaCl2, dan LiCl sebagai kondensor pada pendinginan vakum dilakukan pengukuran laju penyerapan uap. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh besarnya nilai laju penyerapan NaCl sebesar 0.0184 g/menit, CaCl2 sebesar 0.1434 g/menit, dan LiCl sebesar 0.4467 g/menit. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa garam LiCl memiliki laju penyerapan yang lebih tinggi dibandingkan nilai penyerapan bahan yang lainnya, ini menunjukkan bahwa garam LiCl memiliki kemampuan yang lebih lebih baik dalam penyerapan uap air pada sistem pendinginan.
2.2
Refrigeran
Unit-unit refrigerasi banyak dipergunakan untuk daerah-daerah dengan temperatur yang tinggi. Untuk unit refrigerasi tersebut diatas, hendaknya dapat dipilih jenis refrigeran yang paling sesuai dengan jenis kompresor yang dipakai, dan karekteristik termodinamikanya antara lain meliputi temperatur penguapan dan tekanan penguapan serta temperatur pengembunan dan tekanan pengembunan. (Arismundar dan Saito, 2005) Refrigeran merupakan zat yang diserap oleh absorban atau lebih dikenal dengan absorbat, sedangkan absorban merupakan zat penyerap uap air berupa larutan. Absorbat yang biasa digunakan untuk sistem pendingin adalah air, metanol dan ammonia. (Ambarita, N, 2008). Dalam sistem pendingin absorpsi LiBr-H2O, refrigeran yang digunakan air sedangkan absorbannya berupa larutan pekat LiBr. Air merupakan absorbat yang ideal karena memiliki panas laten spesfik terbesar, mudah didapat, murah dan tidak beracun. Tekanan penguapan air yang rendah merupakan keterbatasan air sebagai absorbat, sehingga sering menyebabkan: - Temperatur penguapan rendah (100oC), sehingga penggunaan air terbatas hanya untuk airconditioning dan chilling. - Tekanan sistem selalu dibawah tekanan normal (1 atm). Sistem harus memiliki instalasi yang tidak bocor agar udara tidak masuk. - Rendahnya tekanan penguapan air menyebabkan rendahnya tekanan proses absorpsi, sehingga proses perpindahan massa uap air kedalam absorban menjadi terbatas. Metanol memiliki peforma diantara air dan amonia, dimana metanol memiliki tekanan penguapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan air (meskipun pada tekanan 1 atm), sehingga sangat cocok untuk membuat es. Meskipun demikian, pada temperatur lebih dari 120oC tekanan menjadi tidak stabil. Sedangkan ammonia memiliki panas laten spesifik setengah lebih rendah dari panas laten spesifik air pada temperatur 0oC dan memiliki tekanan penguapan yang tinggi. Ammonia memiliki keuntungan yang ramah lingkungan dan dapat digunakan sebagai refrigeran sampai -40oC, dan dapat dipanaskan sampai 200oC. Kerugian dari ammonia yaitu, bersifat racun sehingga penggunaannya dibatasi dan tidak dapat ditampung pada instalasi yang terbuat dari tembaga atau campurannya. Persyaratan refrigeran menurut Arismundar dan Saito (2005) untuk unit refrigerasi adalah sebagai berikut: 1. Tekanan penguapannya harus cukup tinggi Sebaiknya refrigeran memiliki temperatur penguapan pada tekanan yang lebih tinggi, sehingga dapat dihindari kemungkinan terjadinya vakum pada evaporator, dan turunnya efisiensi volumetrik karena naiknya perbandingan kompresi. 2. Tekanan pengembunan yang tidak terlampau tinggi Apabila tekanan pengembunan rendah, maka perbandingan kompresinya menjadi lebih rendah sehingga penurunan prestasi kompresor dapat dihindarkan. Selain itu, dengan tekanan kerja yang
4
lebih rendah, mesin dapat bekerja lebih aman karena kemungkinan terjadinya kebocoran, kerusakan, ledakan menjadi lebih kecil. 3. Panas laten penguapan harus lebih tinggi Refrigeran yang memiliki panas laten penguapan yang tinggi lebih menguntungkan karena untuk kapasitas refrigerasi yang sama, jumlah refrigeran yang bersirkulasi menjadi lebih kecil. 4. Volume spesifik (terutama dalam fasa gas) yang cukup kecil Refrigeran dengan panas laten penguapan yang besar dan volume spesifik gas yang kecil (berat jenis yang besar) akan memungkinkan penggunaan kompresor dengan volume langkah torak yang lebih kecil. Dengan demikian untuk kapasitas refrigeran yang sama, ukuran unit refrigrasi yang bersangkutan menjadi lebih kecil. Namun untuk unit pendingin air sentrifugal yang kecil, lebih dikehendaki refrigeran dengan volume spesifik yang agak besar. Hal tersebut diperlukan untuk menaikkan jumlah gas yang bersirkulasi, sehingga dapat mencegah menurunnya efisiensi kompresor sentrifugal. 5. Konduktivitas termal yang tinggi Konduktivitas termal sangat penting untuk menentukan karakteristik perpindahan panas. 6. Viskositas yang rendah dalam fasa cair maupun fasa gas Dengan turunnya tahanan aliran refrigeran dalam pipa, kerugian tekanannya akan berkurang. 7. Refrigeran hendaknya stabil dan tidak bereaksi dengan material yang dipakai sehingga tidak menyebabkan korosi. 8. Refrigeran tidak boleh beracun dan berbau tajam. 9. Refrigeran tidak boleh mudah terbakar dan mudah meledak. 10. Refrigeran harus mudah dideteksi jika terjadi kebocoran.
2.3
Siklus Pendinginan Absorpsi
Absorpsi menyatakan adanya proses penyerapan suatu zat oleh absorban dalam fungsi waktu. Absorpsi terjadi pada permukaan zat cair karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat cair. Molekul-molekul pada kedua permukaan zat cair, mempunyai gaya tarik ke arah dalam, karena tidak ada gaya-gaya lain yang mengimbangi. Adanya gaya-gaya ini menyebabkan zat absorban dan zat absorbat, mempunyai gaya absorpsi. Absorpsi berbeda dengan adsorpsi. Pada absorpsi zat yang diserap masuk ke dalam absorban sedangkan pada adsorpsi zat yang diserap hanya terdapat pada permukaannya (Sukardjo, 1990). Dasar siklus pendingin absorpsi disajikan pada Gambar 1. Pada gambar ditunjukkan adanya dua tingkat tekanan yang bekerja pada sistem, yaitu tekanan rendah yang meliputi proses penguapan (di evaporator) dan penyerapan (di absorber), dan tekanan tinggi yang meliputi proses pembentukan uap (di generator) dan pengembunan (di kondensor). Siklus absorpsi juga menggunakan dua jenis zat yang umumnya berbeda, zat pertama disebut penyerap sedangkan yang kedua disebut refrigeran. Selanjutnya, efek pendinginan yang terjadi merupakan akibat dari kombinasi proses pengembunan dan penguapan kedua zat pada kedua tingkat tekanan tersebut. Proses yang terjadi di evaporator dan kondensor sama dengan pada siklus kompresi uap. Kerja siklus secara keseluruhan adalah sebagai berikut (Tambunan, A H. 2001) : Proses 1-2/1-3:
Larutan encer campuran zat penyerap dengan refrigeran (konsentrasi zat penyerap rendah) masuk ke generator pada tekanan tinggi. Di generator panas dari sumber bersuhu tinggi ditambahkan untuk menguapkan dan memisahkan refrigeran dari zat penyerap, sehingga terdapat uap refrigeran dan larutan pekat
5
zat penyerap. Larutan pekat campuran zat penyerap mengalir ke absorber sedangkan uap refrigeran mengalir ke kondensor. Proses 2-7:
Larutan pekat campuran zat penyerap dengan refrigeran (konsentrasi zat penyerap tinggi) kembali ke absorber melalui katup cekik. Pengunaan katup cekik bertujuan untuk mempertahankan perbedaan tekanan antara generator dan absorber.
Proses 3-4:
Di dalam kondensor, uap refrigeran bertekanan dan bersuhu tinggi diembunkan, panas dilepas ke lingkungan, dan terjadi perubahan fase refrigeran dari uap ke cair. Dari kondensor dihasilkan refrigeran cair bertekanan tinggi dan bersuhu rendah.
Proses 4-5:
Tekanan tinggi refrigeran cair diturunkan dengan menggunakan katup cekik dan dihasilkan refrigeran cair bertekanan dan bersuhu rendah yang selanjutnya dialirkan ke evaporator.
Proses 5-6:
Di evaporator, refrigeran cair mengambil panas dari lingkungan yang akan didinginkan dan menguap sehingga terjadi uap refrigeran bertekanan rendah.
Uap tekanan tinggi
3
Sumber Panas
P T
Lingkungan kalor
1
Kondensor
Generator
P T Larutan pekat
2
P T
4P
katup cekik
7P T
Larutan encer
5
P T
Evaporator
Absorber
P
T katup cekik
8 kalor
Air dingin
P
T
kalor
6
P T
Produk
Uap tekanan rendah
Gambar 1. Bagan Alir Proses Pendinginan Absorpsi Proses 6-8/7-8:
Uap refrigeran dari evaporator diserap oleh larutan pekat zat penyerap di absorber dan membentuk larutan encer zat penyerap. Jika proses penyerapan tersebut terjadi secara adiabatik, terjadi peningkatan suhu campuran larutan yang pada gilirannya akan menyebabkan proses penyerapan uap terhenti. Agar proses penyerapan berlangsung terus-menerus, absorber didinginkan dengan air yang mengambil dan melepaskan panas tersebut ke lingkungan.
6
Proses 8-1:
2.4
Pompa menerima larutan cair bertekanan rendah dari absorber, meningkatkan tekanannya, dan mengalirkannya ke generator sehingga proses berulang secara terus menerus.
Model Sorpsi Isothermis
Pada umumnya absorpsi dinyatakan dengan isoterm absorpsinya, yaitu yang menunjukkan hubungan konsentrasi-konsentrasi dari bahan terabsorpsi pada suatu suhu tetap. Empat tipe persamaan utama yang digunakan untuk menguraikan isoterm absorpsi adalah : (1) model Freundlich, (2) model Langmuir, (3) dan model BET (Brunauer, Emmet, Teller). Nilai dari suatu model sorpsi isotermis tergantung pada kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isotermis dan kemampuan tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis. Model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah kurva sorpsi isotermis. Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung pada tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982 dalam Fitria, 2007).
2.4.1 Model Sorpsi Isotermis Freundlich Model isoterm absorpsi Freundlich didasarkan atas terbentuknya lapisan monolayer dari molekulmolekul absorbat pada permukaan absorban. Namun pada absorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan absorban bersifat heterogen. Persamaan isoterm absorpsi Freundlich dapat dituliskan sebagai berikut : /
= =
1) +
y= a + bx
2) 3)
dimana : Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban dalam kondisi setimbang (g absorbat/g absorban) Ce : konsentrasi pada kesetimbangan (g absorbat/ml) K, n : konstanta Freundlich
2.4.2 Model Sorpsi Isotermis Langmuir Isoterm absorpsi Langmuir didasarkan atas beberapa asumsi, yaitu (a) absorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal (monolayer), (b) panas absorpsi tidak tergantung pada penutupan permukaan, dan (c) semua situs dan permukaannya bersifat homogen. Persamaan isoterm absorpsi Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara molekul-molekul zat yang diabsorpsi pada permukaan absorban dengan molekul-molekul zat yang tidak terabsorpsi. Persamaan isoterm absorpsi Langmuir dapat dituliskan sebagai berikut: =
4)
7
= =
5) +
6)
y= b x + a dimana: Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban dalam kondisi setimbang (g absorbat/g absorban) Ce : konsentrasi pada kesetimbangan (g absorbat/ml) KL : konstanta Langmuir Qo : kapasitas jerat maksimum absorban terhadap absorbat (g absorbat/g adsorban)
7)
Kurva absorpsi isoterm Langmuir dapat dilihat pada Gambar. berikut:
Gambar 2. Kurva absorpsi isoterm Langmuir
2.4.3 Model Sorpsi Isotermis BET (Brunauer, Emmett dan Teller) Brunauer, Emmett dan Teller (1938) mengembangkan pendekatan persamaan Langmuir pada absorpsi multilayer yang kemudian dikenal dengan BET. Asumsi dasarnya adalah setiap molekul pada lapisan absorpsi pertama dianggap melengkapi permukaan kedua dan berikutnya, molekul ini memungkinkan terjadinya kontak dengan molekul absorbat dibandingkan dengan permukaan adsorban dimana konstanta kesetimbangan untuk lapisan molekul pertama kontak dengan permukaan adsorban berbeda. Isoterm absorpsi BET diformulasikan sebagai berikut:
=
(
)
8)
= 1 + ( − 1)
9)
=
10)
+
y = a + b x 11) dimana: Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan adsorban dalam kondisi setimbang (g absorbat/g adsorban) Qo : kapasitas jerat maksimum absorban terhadap absorbat (g absorbat/g adsorban) K : konstanta kesetimbangan absorpsi Ce : konsentrasi absorbat dalam cairan pada kondisi kesetimbangan (g absorbat/ml)
8
2.5
Kesetimbangan Kandungan Uap Air
Hubungan antara kelembaban dan kandungan uap air pada temperatur yang sama (isoterm) dikenal sebagai kesetimbangan isoterm sorpsi uap air (Equilibrium Moisture Sorption Isotherm) seperti yang dikemukakan oleh Bell dan Labuza. Masing-masing produk mempunyai kesetimbangan kandungan uap air yang unik karena perbedaan interaksi (efek koligatif larutan, efek kapiler, dan interaksi permukaan) antara air dengan komponen padat pada kandungan uap air yang berbeda. Informasi mengenai mekanisme sorpsi uap air pada suatu bahan dapat diketahui dari bentuk kesetimbangan kandungan uap airnya, karena hal itu sangat tergantung pada interaksi antara molekul air dengan suatu bahan. Isoterm sorpsi fisis ini dapat digolongkan menjadi 6 tipe utama (I-VI), berdasarkan klasifikasi IUPAC. Isoterm tipe V dan VI tidak umum untuk dijumpai (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010). Tipe I adalah tipe Langmuir, yang ditandai oleh adanya absorpsi yang terbatas yang diasumsikan sebagai terbentuknya suatu lapisan tunggal yang sempurna. Tipe I memiliki absorban dengan mikropori yang luas permukaannya relatif kecil, yang dapat menyimpan banyak uap air pada RH yang rendah (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010). Isoterm tipe II, bentuk sigmoidal atau bentuk ‘S’ umumnya berhubungan dengan sorpsi lapisan tunggal-multi lapisan pada bahan dengan permukaan yang tidak berpori atau makropori. Isoterm tipe II dan IV menunjukkan pengikatan tertentu pada kelembaban rendah yang diikuti dengan absorpsi yang rendah pada kelembaban menengah, selanjutnya meningkat lagi pada kelembaban yang lebih tinggi. Adanya histeresis menunjukkan adanya mesopori dan umum terjadi pada isoterm tipe II dan IV (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010). Berbeda dengan isoterm tipe IV, isoterm tipe II tidak memiliki penyerapan yang stabil pada aw yang tinggi. Isoterm tipe IV terjadi karena tertutupnya mesopori yang diikuti dengan kondensasi kapiler atau pengisian pori (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010). Isoterm tipe III dan V menandakan adanya interaksi adsorban-absorbat yang lemah dan ditandai dengan penyerapan yang rendah pada kelembaban rendah dan terjadi peningkatan yang pesat pada kelembaban yang lebih tinggi. Isoterm tipe VI, isoterm bertingkat dimana terjadi sorpsi tingkat demi tingkat pada permukaan bahan tidak berpori yang seragam (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010).
9
Gambar 3. Klasifikasi Isoterm Sorpsi Uap Air dan Berbagai Bentuknya (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010).
Kesetimbangan dari absorpsi uap air (dimulai dari keadaan kering) tidak sama persis dengan kesetimbangan yang dihasilkan dari desorpsi uap air (dimulai dari keadaan basah). Fenomena dari kandungan uap air yang berbeda dengan aw yang sama ini dikenal sebagai histeresis sorpsi uap air (moisture sorption hysteresis).
Gambar 4. Skema Histeresis antara Absorpsi dan Desorpsi Uap Air
10
BAB III METODOLOGI
1.1
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan April – Juni 2011 di laboratorium Pindah Panas dan Massa dan laboratorium Surya, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
1.2
Alat dan Bahan
3.2.1. Alat Alat Pengering Climate Chamber Alat pengering berakuisisi (Climate Chamber) memanfaatkan udara yang dipanaskan oleh elemen listrik berkapasitas 2000 W. Udara panas masuk ke dalam ruang pengering dengan suhu dan kelembaban tertentu yang dapat dikontrol sesuai yang diinginkan. Untuk mengontrol kelembaban digunakan humidifier. Udara panas yang basah dari ruang air heater akan didorong oleh blower ke dalam ruang pengering. Kecepatan udara yang masuk dalam ruang pengering dapat diatur dengan menarik atau mendorong tuas pada bagian flow controller. Apabila suhu dan kelembaban yang dicapai lebih tinggi daripada setpoint, maka dilakukan pembuangan kalor dan pembuangan uap air melalui dehumidifier yang memiliki efek pendinginan dan pengembunan. Untuk mencapai dan menjaga kondisi ruangan agar sesuai dengan setpoint, diimplementasikan dua buah subsistem kontrol yang independen yaitu kontrol suhu dan kelembaban. Alat-alat Ukur 1. Pengukur Suhu Digunakan termokopel type C-C untuk mengukur suhu larutan LiBr yang dihubungkan pada Chino Recorder Yokogawa tipe 3058 untuk membaca hasil pengukuran suhu selama proses penyerapan berlangsung. 2. Pengukur Massa Menggunakan timbangan digital model AandD seri GF-3000 dengan kapasitas maksimum 3000 gram (termasuk baki bahan), dengan ketelitian 0.01 gram. Cawan Merupakan wadah untuk menampung larutan garam yang akan diuji dengan ukuran tinggi 2.5 cm dan diameter 11 cm Gelas ukur dan pengaduk yang digunakan sebagai wadah untuk mencampurkan garam LiBr dan H2O Alat tulis dan hitung
3.2.2. Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu : Garam LiBr Aquades
11
1.3
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah laju penyerapan uap air larutan LiBr pada pendinginan absorpsi. Masing- masing larutan dengan konsentrasi yang berbeda-beda akan diuji pada ruang pengering berakuisisi (Climate Chamber) dengan mengatur terlebih dahulu suhu dan kelembaban udara sesuai dengan perlakuan yang dilakukan. Tabel 1. Perlakuan penelitian pada masing-masing suhu yaitu 40oC dan 45oC: C (%)
45
50
55
60
RH (%)
60 70 80
Perlakuan suhu 40 dan 45 diambil berdasarkan kondisi ruang absorber pada sistem pendingin absorpsi yaitu berkisar antra 30 – 45oC. Dari pengambilan data nantinya akan diperoleh 6 data dari perlakuan suhu 40oC dan 6 data dari suhu 45oC.
1.
2.
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini: Pembuatan wadah pengujian larutan LiBr-H2O Wadah larutan LiBr-H2O terbuat dari wadah berbahan plastik dengan ukuran tinggi 2.5 cm dan diameter 11 cm. Persiapan Bahan Pada tahapan persiapan bahan, terlebih dahulu pembuatan larutan absorban LiBr-H2O, dengan konsentrasi 45%, 50%, 55%, dan 60%. Perbandingan garam LiBr dan H2O untuk masingmasing konsentrasi berdasarkan perbandingan bobot per bobot, seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Pembuatan konsentrasi larutan absorban Konsentrasi (%) Massa garam LiBr (gram) 60 60 55 55 50 50 45 45
3.
Massa H2O (gram) 40 45 50 55
Pengambilan Data Percobaan 1. Pengukuran suhu larutan menggunakan termokopel tipe C-C. Suhu larutan akan berubah selama proses penyerapan berlangsung. Hal ini dikarenakan perubahan suhu pada ruang pengering yang terjadi serta pengaruh uap air yang terjerat. Apabila suhu larutan semakin tinggi maka absorpsi uap akan berhenti. 2. Pengambilan data suhu dan kelembaban ruang pengering serta massa larutan (LiBr) dilakukan tiap 10 menit sekali selama proses pengujian berlangsung. Hal ini disesuikan dengan standar pengambilan data yang maksimum pada alat pengering Climate Chamber. 3. Penimbangan larutan dilakukan secara otomatis oleh mesin pengering Climate Chamber, dan data hasil penimbangan, suhu, dan kelembaban akan langsung terekam (terakuisisi)
12
4.
Pengukuran Daya Serap Uap Air Oleh Larutan LiBr Pada tahap ini, masing-masing dari konsentrasi larutan akan di uji daya serapnya terhadap uap air disekitarnya. Larutan akan di masukkan ke alat pengering berakuisisi, kondisi di dalam ruang pengering dikondisikan sama dengan kondisi antara komponen evaporator dan absorber. Pengkondisiian uap air didalam ruangan dapat dilakukan dengan setting kelembaban dan suhu pada ruang pengering Climate Chamber. Pada larutan absorban juga akan dipasang sensor suhu menggunakan termokopel C-C yang dihubungkan dengan Chino Recorder, untuk mengukur perubahan suhu larutan selama proses penyerapan berlangsung. Dari percobaan yang dilakukan nantinya dapat dilihat apakah laju penyerapan larutan absorber berhubungan dengan perubahan suhu, konsentrasi, dan tekanan uap air.
uap air
LiBr-H2O
Gambar 5. Ruang Climate Chamber 5.
Menghitung laju penyerapan uap air Laju penyerapan uap air dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini: LP =
12)
dimana: LP : laju penyerapan uap air oleh larutan absorban (gram/menit) MGt: berat garam setelah penyerapan berlangsung (gram) MGa: berat garam sebelum penyerapan (gram) t : lama penyerapan berlangsung (menit) 6.
Perhitungan tekanan uap air/absorbat Tekanan uap air dalam ruang pengering dapat dihitung dari persamaan: =
.
×( )
13)
dimana: Pu : tekanan uap air (mmHg) x : perbandingan kelembaban (kg/kg udara kering) Pa : tekanan atmosfir (mmHg) nilai x dapat diperoleh dari diagram psychrometric chart untuk nilai suhu dan kelembaban relatif yang diketahui dari pengambilan data. 7.
Penentuan konsentrasi kesetimbangan larutan LiBr-H2O Dalam penelitian ini data kesetimbangan larutan LiBr-H2O tidak tercapai sampai batas waktu yang ditentukan, maka untuk konsentrasi kesetimbangan dapat dihitung menggunakan persamaan garis liner pada grafik penurunan konsentasi larutan. Dimana dari 4 garis penurunan konsentrasi yaitu 45%, 50%, 55%s dan 60% diperoleh nilai kemiringan garis (slope) pada
13
masing-masing konsentrasi. Nilai slope tersebut kemudian diplotkan ke dalam grafik dengan persamaan garis linear, untuk mendapatkan nilai variabel dari persamaan: m = a + bx
14)
Dimana m merupakan nilai slope (kemiringan garis), x merupakan konsentrasi kesetimbangan, a dan b merupakan variabel yang nilainya diperoleh dari persamaan garis linear pada grafik slope-konsentrasi. Selain itu, penentuan konsentrasi kesetimbangan juga dapat dilakukan dengan menggunakan diagram P-T-X (tekanan-suhu-konsentrasi). Dengan memplotkan nilai tekanan uap air dan suhu larutan, sehingga perpotongan dari kedua garis tersebut merupakan besarnya konsentrasi kesetimbangan (larutan LiBr jenuh). Berikut merupakan gambar diagram P-T-X:
Konsentrasi Kesetimbangan
Kristalisasi
Gambar 6. Diagram Tekanan-Suhu-Konsentrasi Larutan LiBr Jenuh Konsentrasi larutan LiBr-H2O yang digunakan pada penitian ini dibatasi sampai konsentrasi 60%, dengan kisaran suhu 40oC hingga 45oC. Hal ini dikarenakan, konsentrasi larutan diatas 60% dengan kondisi suhu yang sama, maka larutan tersebut akan lebih mudah mengalami kristalisasi. Kristalisasi merupakan perubahan fasa larutan garam menjadi padatan pada suhu tertentu.
14
8.
Menghitung jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan adsorban saat kondisi kesetimbangan (Qe) dari data dan membandingkannya dengan Qe Model BET, Langmuir, dan Freundlich
=
15)
dimana: Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban pada kondisi kesetimbangan (g absorbat/g absorban) Ce : konsentrasi setimbang (g/ml) Co : konsentrasi awal (g/ml) m : massa absorban (g) V : volume uji larutan (ml) Hasil perhitungan jumlah absorbat yang terjerat berdasarkan hasil perhitungan data akan dibandingkan dengan perhitungan menggunakan Model BET, Langmuir, dan Freundlich. Selain itu juga dilakukan perhitungan kesalahan dari Qe hitung dengan Qe mode l sorpsi isotermis, sehingga dapat ditentukan model sorpsi isotermis yang paling akurat dengan nilai persentase kesalahan yang lebih kecil. Untuk menghitung besarnya persantase kesalahan dapat dilakukan menggunakan persamaan berikut: %
ℎ
=
× 100%
16)
15
Prosedur penelitian dalam bentuk diagram alir disajikan pada gambar berikut :
Mulai
Pembuatan wadah larutan LiBr-H2O
Pembuatan larutan absorber (LiBr)
Setting RH dan T pengukuran pada Climate Chamber
Pengukuran dan pengambilan data
Dalam selang waktu 10 menit ukur Truang, RH, Tlarutan dan Massa larutan selama 10 jam
Selesai
Gambar 7. Diagram Alir Penelitian
16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Terjadinya proses absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tekanan absorbat, suhu absorbat, dan interaksi potensial antara absorbat dan absorban (Nishio Ambarita, 2008). Untuk itu dalam hal pengukuran laju penyerapan uap air oleh absorban harus memperhatikan beberapa faktor diatas, sehingga dalam prakteknya laju penyerapan uap air dalam sistem pendinginan dapat ditingkatkan. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran laju penyerapan uap air oleh larutan absorban Litium Bromida dengan beberapa perlakuan, yaitu dengan kombinasi menggunakan suhu 40oC, kelembaban 70% pada masing-masing konsentrasi 45%, 50%, 55%, dan 60%, menggunakan suhu 45oC kelembaban 70% pada masing-masing konsentrasi 45%, 50%, 55%, 60%, serta kombinasi kelembaban 60%, 70%, 80% pada suhu 40oC dan 45oC dengan konsentrasi 50%. Sehingga diperoleh total data sebanyak dua belas data.
4.1
Laju Penyerapan Uap Air pada Parameter Konsentrasi LiBr
Tabel 3 menunjukkan, semakin tinggi konsentrasi larutan LiBr-H2O maka akan semakin tinggi pula laju penyerapan absorbat oleh larutan absorban. Ini dikarenakan pada konsentrasi yang tinggi, jumlah molekul-molekul garam yang terkandung dalam volume larutan yang sama lebih banyak, sehingga kapasitas untuk menyerap absorbat lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Selain itu konsentrasi yang tinggi juga akan menimbulkan tekanan larutan yang lebih rendah, sehingga proses absorpsi dari uap air yang bertekanan tinggi terhadap larutan absorban yang bertekanan rendah akan lebih cepat. Tabel 3. Pengaruh konsentrasi larutan LiBr terhadap laju penyerapan uap air Perlakuan Konsentrasi LiBr-H2O (%)
Laju penyerapan (g/menit) T=400C, RH=70%
Laju penyerapan (g/menit) T=450C, RH=70%
60 55 50 45
0.030 0.020 0.016 0.009
0.024 0.017 0.012 0.008
Laju penyerapan (g/menit)
0,04
0,03 y = 1,39E-03x - 5,44E-02 R² = 9,79E-01
0,02
T=40, RH=70% T=45, RH=70%
0,01
y = 1,04E-03x - 3,91E-02 R² = 9,88E-01
0,00 30
40
50
60
70
Konsentrasi LiBr (%)
Gambar 8. Grafik pengaruh konsentrsi larutan LiBr terhadap laju penyerapan uap air
17
Dalam penelitian ini digunakan dua perlakuan suhu yaitu suhu 40oC dan suhu 45oC pada setiap pengujian larutan LiBr. Suhu merupakan salah faktor yang mempengaruhi berlangsungnya proses absorpsi. Semakin rendah suhu maka laju absorpsi akan meningkat. Pemilihan penggunaan suhu yang dilakukan pada penelitian ini berdasarkan kondisi suhu komponen absorber pada sistem pendingin absorpsi. Suhu didalam komponen absorber berada pada kisaran 30oC - 45oC, namun dalam penelitian ini dibatasi hanya menggunakan suhu 40oC dan 45oC. Gambar 8 menunjukkan pengaruh konsentrasi larutan LiBr terhadap laju penyerapan uap air. Dari grafik dapat dilihat bahwa perbedaan konsentrasi dari masing-masing larutan absorban akan mempengaruhi laju penyerapannya. Pada konsentrasi dan kelembaban yang sama namun suhu yang berbeda (40oC dan 45oC) akan terlihat jelas bahwa suhu yang lebih rendah akan meningkatkan laju absorpsi pada masing-masing konsentrasi larutan absorban, namun pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi peristiwa sebaliknya. Hal ini dikarenakan peningkatan suhu akan memanaskan uap air yang berada dalam ruang, sehingga terjadi pemuaian udara yang mengakibatkan semakin renggangnya volume udara. Sehingga jumlah absorbat/uap air yang dapat diserap oleh larutan absorban itu sendiri akan semakin kecil. Persamaan garis linear pada Gambar 8 untuk suhu 40oC dan 45oC, diperoleh besarnya koefisien relasi antara laju penyerapan LiBr dengan konsentrasi larutan LiBr sebesar 0.979 pada suhu 40oC dan 0.988 pada suhu 45oC. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh pada kedua suhu hampir mendekati satu. Hal ini menunjukkan bahwa variabel x (konsentrasi) akan mempengaruhi variabel y (laju penyerapan larutan LiBr), dimana kedua variabel tersebut saling berbanding. Dilihat dari besarnya nilai kemiringan garis dari grafik diatas menunjukkan bahwa, pada suhu 40oC diperoleh kemiringan yang lebih besar yaitu 0.00139 dibanding dengan suhu 45oC yaitu sebesar 0.00104. Besarnya nilai kemiringan garis pada suhu 40oC menunjukkan bahwa terjadi peningkatan laju penyerapan yang sangat cepat dengan adanya peningkatan konsentrasi. Selama terjadinya proses absorpsi, jumlah absorbat akan semakin meningkat pada larutan absorban, kondisi ini akan menurunkan konsentrasi larutan absorban, atau dengan kata lain terjadi proses pengenceran pada larutan absorban. Penurunan konsentrasi yang diakibatkan oleh penambahan absorbat selama proses absorpsi, akan menurunkan kemampuan absorpsi uap air hingga larutan mencapai kondisi setimbang. Konsentrasi kesetimbangan merupakan fungsi dari suhu dan kelembaban relatif dari pengukuran. Pada konsentrasi yang berbeda, namun suhu dan kelembabannya sama, maka besarnya konsentrasi kesetimbangan pada masing-masing konsentrasi yang tercapai akan sama besar. Pada saat absorbat terjerat dalam larutan absorban maka akan terjadi pembebasan sejumlah energi, dan hal ini disebut dengan peristiwa eksotermis. Peristiwa eksotermis merupakan peristiwa pelepasan panas ke lingkungannya. Terjadinya peningkatan suhu pada larutan absorban juga akan mengurangi laju absorpsi uap air. Hal ini dikarenakan, peningkatan suhu larutan juga akan meningkatkan tekanan larutan. Untuk itu dalam sistem pendingin absorpsi biasanya dilengkapi dengan air pendingin untuk mendinginkan komponen absorber, agar penyerapan uap air dari komponen evaporator tidak terhenti.
18
4.2
Laju Penyerapan Uap Air pada Parameter Kelembaban dan Tekanan
Hasil dari perlakuan dengan menggunakan kelembaban yang berbeda yaitu 60%, 70%, dan 80% pada masing-masing suhu 40oC dan 45oC menunjukkan pengaruh kelembaban yang tinggi akan meningkatkan laju penyerapan uap air. Kelembaban adalah suatu istilah yang berkenaan dengan kandungan air di dalam udara. Udara dikatakan mempunyai kelembaban yang tinggi apabila uap air yang dikandungnya tinggi, begitu juga sebaliknya. Secara matematis, kelembaban dihubungkan sebagai rasio berat uap air di dalam suatu volume udara dibandingkan dengan berat udara kering (udara tanpa uap air) di dalam volume yang sama. Pada Gambar 9, dapat dilihat pada pengaruh kelembaban bahwa semakin tinggi kelembabannya maka akan meningkatkan laju penyerapan uap air oleh absorban. Grafik pengaruh antara konsentrasi dan laju penyerapan pada suhu 40oC cenderung lebih baik, dimana dapat dilihat bahwa koefisien determinasi pada suhu 40oC lebih tinggi yaitu sebesar 0.996, sedangkan pada suhu 45oC nilai koefisien determinasiya lebih rendah yaitu sebesar 0.990. Besarnya nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa, faktor dari besarnya kelembaban akan mempengaruhi nilai yang akan dicapai oleh laju penyerapan. Sehingga dapat dikatakan bahwa laju penyerapan memiliki hubungan yang positif terhadap kelembaban relatif. Tabel 4. Pengaruh kelembaban relatif terhadap laju penyerapan uap air Perlakuan RH (%)
Laju penyerapan (g/menit) T=40, C=50%
Laju penyerapan (g/menit) T=45, C=50%
80 70 60
0.026 0.016 0.008
0.022 0.012 0.005
0,030
Laju penyerapan (g/menit)
0,025 y = 9,00E-04x - 4,63E-02 R² = 9,96E-01
0,020 0,015
Pada suhu 40 Pada suhu 45
0,010 y = 8,50E-04x - 4,65E-02 R² = 9,90E-01
0,005 0,000 30
40
50 60 70 Kelembaban relatif (%)
80
90
Gambar 9. Grafik pengaruh kelembaban terhadap laju penyerapan uap air Untuk menghitung tekanan uap air/absorbat yang ditimbulkan dari perlakuan kelembaban dapat dihitung menggunakan persamaan 13. Dari persamaan ini terlebih dahulu ditentukan nilai x atau perbandingan kelembaban (humidity ratio) masing-masing suhu dan kelembaban dalam setiap pengukuran dengan menggunakan diagram psychrometric chart seperti seperti pada Gambar 10, dengan memasukkan data suhu dan kelembaban hasil pengukuran pada selang waktu 10 menit selama 10 jam. Misalnya pada pengukuran dipengukuran diperoleh data kelembaban 70% dan suhu sebesar
19
45oC. Kemudian data tersebut diplotkan kedalam diagram psychrometric chart, dan titik perpotongan antara suhu dan kelembaban diperoleh nilai x (humidity ratio) sebesar 32 g/kg udara kering atau sama dengan 0.032 kg/kg udara kering. Nilai x (humidity ratio) digunakan dalam perhitungan tekanan uap air pada persamaan dibawah ini: =
0.6220 +
×(
)
.
Gambar 10. Diagram Psychrometric Chart Kelembaban, suhu dan tekanan saling berbanding lurus, dimana semakin tinggi kelembaban dan suhu maka besarnya tekanan uap air yang ditimbulkan pada suatu ruangan juga akan meningkat. Selama proses absorpsi, harus dikondisikan perbedaan antara tekanan uap air dan tekanan larutan absorban. Agar proses absorbsi berjalan dengan baik, maka tekanan larutan absorban harus lebih rendah dibandingkan tekanan uap air disekitar larutan. Berikut merupakan Tabel dan Grafik pengaruh tekanan terhadap laju penyerapan, pada perlakuan suhu 40oC dan 45oC dengan masing-masing kelembaban 60%, 70% dan 80%. Tabel 5 dan 6 menunjukkan bahwa, kelembaban yang tinggi akan meningkatkan tekanan uap airnya pada kondisi suhu yang sama, demikian pula sebaliknya. Selain kelembaban, kondisi suhu juga mempengaruhi tekanan uap airnya. Dimana pada suhu 45oC tekanan uap air yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan suhu 40oC. Tabel 5. Pengaruh tekanan uap air terhadap laju penyerapan pada suhu 40oC Kelembaban relatif (%) 60 70 80
Suhu 40oC Tekanan uap air (kPa) 4.35 5.07 5.79
Laju penyerapan (g/menit) 0.008 0.016 0.026
20
Tabel 6. Pengaruh tekanan terhadap laju penyerapan pada suhu 45oC Suhu 45oC Kelembaban relatif (%) 60 70 80
Tekanan uap air (kPa) 5.56 6.63 7.27
Laju penyerapan (g/menit) 0.005 0.012 0.022
Laju penyerapan (g/menit)
0,030 y = 1,25E-02x - 4,67E-02 R² = 9,96E-01
0,025
y = 9,59E-03x - 4,92E-02 R² = 9,41E-01
0,020 0,015
Pada suhu 40 Pada suhu 45
0,010 0,005 0,000 0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
Tekanan uap air (kPa)
Gambar 11. Grafik pengaruh tekanan terhadap laju penyerapan uap air pada suhu 40oC dan 45oC Pengaruh tekanan uap air terhadap laju penyerapan pada suhu 40oC dan 45oC dapat dilihat pada Gambar 11. Garis pada suhu 40oC memiliki nilai koefisien determinsai yang lebih tinggi dibandingkan pada suhu 45oC. Namun jika dilihat secara keseluruhan, koefisien determinasi pada kedua garis diatas hampir mendekati nilai satu. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan uap air sangat mempengaruhi laju penyerapan larutan LiBr terhadap uap air disekitarnya. Kemiringan garis pada suhu 40oC terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan kemiringan garis pada suhu 45oC, yaitu sebesar 0.0125 pada suhu 40oC dan 0.00959 pada suhu 45oC. Semakin besar kemiringannya maka garis dari persamaan diatas terlihat lebih curam, dan hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan laju penyerapan yang cepat pada suhu 40oC jika dibandingkan pada suhu 45oC.
21
4.3
Penentuan Konsentrasi Kesetimbangan Pada Suhu dan Kelembaban yang sama 4.3.1 Pada Suhu 40oC dan Kelembaban 70% 70
Konsentrasi LiBr (%)
60 50 Konsentrasi 60
40
Konsentrasi 55
30
Konsentrasi 50 20
Konsentrasi 45
10 0 0
500
1000 Waktu (menit)
1500
2000
Gambar 12. Grafik penurunan konsentrasi larutan LiBr-H2O terhadap waktu pada T=40 dan RH=70% Tabel 7. Persamaan garis linear konsentrasi LiBr pada T=40oC dan RH=70% Konsentrasi LiBr (%) 60 55 50 45
Persamaan garis linear y = -2.08E-02x + 6.04E+01 y = -1.07E-02x + 5.61E+01 y = -7.62E-03x + 5.44E+01 y = -3.57E-03x + 4.94E+01
R2 0.997 0.885 0.993 0.989
Kemiringan (m) -0.0208 -0.0107 -0.0076 -0.0036
Nilai slope (kemiringan garis) yang diperoleh dari masing-masing persamaan diatas kemudian diplotkan kedalam grafik dengan memasukkan nilai x sebagai slope dan y sebagai konsentrasi larutan LiBr. Persamaan garis linear dari grafik slope-konsentrasi akan digunakan untuk menghitung nilai Ce (konsentrasi kesetimbangan) pada kondisi suhu dan kelembaban yang sama, seperti pada Gambar 13 dibawah ini:
70 Konsentrasi LiBr (%)
60 50 y = -777,8x + 42,07 R² = 0,942
40 30 20 10 0
-0,025
-0,020
-0,015
-0,010
-0,005
0,000
Kemiringan
Gambar 13. Grafik hubungan antara kemiringan garis dan konsentrasi pada suhu 40oC
22
Dari Gambar 13, diperoleh persamaan garis linear, y= -777.8x + 42.07dengan R2= 0.942. Ini menunjukkan bahwa untuk slope (m) sama dengan nol, maka dihasilkan konsentrasi pada titik 42.07%. Nilai R2 dari persamaan garis linear tersebut mendekati satu, hal ini menunjukkan bahwa kemiringan garis bersifat linear seiring dengan penurunan konsentrasi. Persamaan kemiringan garis pada suhu 40oC untuk fungsi konsentrasi kesetimbangan yaitu, m = a + bx, dimana variabel x merupakan konsentrasi kesetimbangan, m merupakan slope yaitu sama dengan nol, sedangkan a dan b merupakan variabel yang nilainya dapat dilihat dari persamaan kemiringan garis (a= 42.07 dan b= - 777.8). Dengan memplotkan nilai-nilai variabel yang diketahui maka: Ce tercapai pada saat m = 0. Persamaan y= -777.8x + 42.07 merupakan fungsi dari konsentrasi. f(Ce)= -777.8m + 42.07 m= 0 f (Ce) = 42.07 – 777.8 (0) Ce = 42.07% (konsentrasi kesetimbangan pada T=40oC dan RH=70%) Hasil perhitungan konsentrasi kesetimbangan pada suhu 40oC dan RH 70% diperoleh sebesar 42.07%. Nilai ini menandakan bahwa pada konsentrasi tersebut maka penyerapan uap air akan terhenti.
4.3.2 Pada Suhu 45oC dan kelembaban 70% Pada suhu 45oC, penentuan konsentrasi kesetimbangan dilakukan sama seperti pada suhu 40oC, sebagai berikut: 70
Konsentrasi LiBr (%)
60 50 Konsentrasi 60
40
Konsentrasi 55 30 Konsentrasi 50 20 Konsentrasi 45 10 0 0
500
1000
1500
2000
2500
Waktu (menit)
Gambar 14. Grafik penurunan konsentrasi larutan LiBr-H2O terhadap waktu pada T=45 dan RH=70% Tabel 8. Persamaan garis linear konsentrasi LiBr pada T=45oC dan RH=70% Konsentrasi LiBr (%) 60 55 50 45
Persamaan garis linear y = -1.55E-02x + 6.03E+01 y = -6.97E-03x + 5.56E+01 y = -5.49E-03x + 5.42E+01 y = -1.74E-03x + 4.73E+01
R2 0.995 0.836 0.999 0.334
Kemiringan (m) -0.0155 -0.0069 -0.0055 -0.0017
23
Dari Gambar 14, nilai slope (kemiringan garis) dari persamaan garis masing-masing konsentrasi diplotkan ke dalam suatu grafik slope dan konsentrasi seperti terlihat pada Gambar 15.
70 Konsentrasi LiBr (%)
60 50 y = -914,8x + 43,90 R² = 0,837
40 30 20 10 0
-0,020
-0,015
-0,010
-0,005
0,000
Kemiringan
Gambar 15. Grafik hubungan antara kemiringan garis dan konsentrasi pada suhu 45oC Dari grafik diatas diperoleh y= -914.8x + 43.90, diperoleh nilai m=0, a= 43.90, b= -914.8, dan x merupakan konsentrasi kesetimbangan. Maka dari nilai setiap variabel diatas diplotkan ke dalam persamaan konsentrasi kesetimbangan m = a + bx, seperti dibawah ini: Ce tercapai pada saat m = 0. Persamaan y= - 914.8x + 43.90 merupakan fungsi dari konsentrasi. f(Ce)= -914.8x + 43.90 m= 0 f (Ce) = 43.90 – 914.8(0) Ce = 43.90% (konsentrasi kesetimbangan pada T=45oC dan RH=70%) Salah satu metode lain dalam penentuan Ce (konsentrasi kesetimbangan) ialah menggunakan diagaram P-T-X (Tekanan-Suhu-Konsentrasi), dengan memplotkan nilai tekanan uap air dan suhu larutan (pada Gambar 6). Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh data suhu larutan sebagai berikut: Tabel 9. Data suhu larutan dan tekanan uap air pada settingan T=40oC dan RH=70% Konsentrasi awal (%)
Suhu larutan rata-rata (oC)
Kelembaban rata-rata (%)
Tekanan uap air (kPa)
60 55 50 45 Rata-rata
42.03 41.35 41.21 40.12 41.18
70.16 70.40 70.59 70.48 70.41
5.05 5.06 5.07 5.07 5.06
24
Tabel 10. Data suhu larutan dan tekanan uap air pada settingan T=45oC dan RH=70% Konsentrasi awal (%)
Suhu larutan rata-rata (oC)
Kelembaban rata-rata (%)
Tekanan uap air (kPa)
60 55 50 45 Rata-rata
47.54 45.92 45.90 44.87 46.06
69.83 69.72 71.14 65.25 68.99
6.52 6.64 6.63 6.07 6.47
4.4
Penentuan Konsentrasi Kesetimbangan Larutan Absorban LiBr-H2O pada suhu sama dan RH yang berbeda
Proses absorpsi merupakan proses terjeratnya fluida oleh fluida lain dengan membentuk suatu larutan. Selama terjadinya proses absorpsi, massa uap air yang terkandung di dalam absorban akan semakin meningkat, seiring dengan peningkatan tersebut mengakibatkan menurunnya konsentrasi larutan LiBr hingga mencapai setimbang. Konsentrasi kesetimbangan (Ce) merupakan kondisi dimana tidak terjadi lagi perubahan konsentrasi, dengan kata lain tercapainya keadaan yang konstan. Dalam penelitian ini juga akan dihitung besarnya konsentrasi kesetimbangan yang dicapai pada masing-masing perlakuan suhu dan kelembaban. Hal ini bertujuan untuk menghitung jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban saat larutan mencapai konsentrasi kesetimbangan (Qe). Penentuan konsentrasi kesetimbangan dilakukan karena pada saat pengukuran tidak tercapai konsentrasi kesetimbangannya. Konsentrasi kesetimbangan ditentukan dengan menggunakan diagram P-T-X (Tekanan Uap Air-Suhu Larutan-Konsentrasi Jenuh LiBr), dengan memplotkan nilai tekanan uap air dan suhu larutan pada diagram P-T-X maka dapat ditentukan berapa konsentrasi jenuh yang dicapai. Dilakukan penentuan besarnya konsentrasi kesetimbangan dengan menggunakan diagram P-T-X, pada: - T= 40°C, RH= 60% - T= 45°C, RH= 60% - T= 40°C, RH= 70% - T= 45°C, RH= 70% - T= 40°C, RH= 80% - T= 45°C, RH= 80%
25
37
Gambar 16. Diagram P-T-X Penentuan konsentrasi kesetimbangan menggunakan diagram P-T-X dilakukan dengan memplotkan data tekanan uap air dan suhu larutan. Dari titik perpotongan antara tekanan uap air dan suhu larutan akan diperoleh titik konsentrasi larutan jenuh LiBr. Misalnya data tekanan uap air sebesar 4.35 kPa dan data suhu larutan sebesar 40.13oC, maka titik perpotongannya akan dihasilkan konsentrasi LiBr jenuh sebesar 37% (dapat dilihat pda Gambar 16). Dari hasil penentuan konsentrasi kesetimbangan pada masing-masing perlakuan suhu dan kelembaban, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 11. Konsentrasi Kesetimbangan pada suhu 40 dan kelembaban 60%, 70%, 80% Setting pada suhu 40°C RH
Co
Tlarutan
Puap air
Ce
60
0,50
40.13
4.35
0.370
70 80
0,50 0,50
41.21 41.21
5.07 5.79
0.340 0.290
Tabel 12. Konsentrasi Kesetimbangan pada suhu 45 dan kelembaban 60%, 70%, 80% Setting pada suhu 45°C RH 60 70 80
Co 0,50 0,50 0,50
Tlarutan 44.40 45.90 46.61
Puap air 5.56 6.63 7.27
Ce 0.375 0.360 0.345
26
Konsentrasi kesetimbangan merupakan fungsi dari kondisi suhu dan kelembaban. Untuk itu, pada konsentrasi dan suhu yang sama namun kelembaban yang berbeda, maka besarnya konsentrasi kesetimbangan yang dicapai juga akan berbeda. Hal ini dikarenakan nilai dari kelembaban dan suhu akan mempengaruhi tekanan uap air yang dihasilkan. Dari Tabel 11 dan 12 menunujukkan, besarnya konsentrasi kesetimbangan yang dicapai pada suhu yang lebih rendah dan kelembaban tinggi akan lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa larutan absorban tersebut dapat menyerap uap air lebih banyak dibanding dengan kelembaban yang lebih rendah pada kondisi suhu yang sama. Nilai dari konsentrasi kesetimbangan yang dicapai pada masing-masing kondisi suhu dan kelembaban yang berbeda yang diperoleh dengan menggunakan diagram P-T-X, akan digunakan untuk menghitung jumlah uap air yang terjerat pada permukaan absorban saat larutan mencapai kondisi setimbang (Qe). Perhitungan jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban saat kondisi setimbang, dilakukan dengan menggunakan model sorpsi isotermis BET, Langmuir dan Freundlich.
4.5
Model Sorpsi Isotermis
Perhitungan menggunakan model sorpsi siotermis bertujuan untuk melihat kondisi seberapa besar jumlah absorbat yang dapat terjerat pada permukaan absorban dalam kondisi setimbang. Model sorpsi isotermis yang digunakan ada tiga yaitu, model BET, Langmuir dan Freundlich. Hasil perhitungan jumlah absorbat yang dapat terjerat pada permukaan absorban saat kondisi setimbang (Qe) dari masing-masing model akan dibandingkan dengan perhitungan Qe dengan perhitungan data. Contoh Perhitungan Qe sederhana Pada T= 40 dan RH= 60% − = = (0.50g/ml – 0.37g/ml)/50 g) x 100 ml = 0.260 g absorbat/g absorban
4.5.1 Sorpsi Isotermis Model BET Contoh perhitungan konstanta BET pada suhu 40oC dan RH 60% °
=
1 + ( − 1)
1−
1
= 1 + ( − 1) 1−
=
1
+
−1
1− y =
a +
b
x
Tabel 13 dan 14 merupakan hasil perhitungan Qe data dan Qe model BET pada masingmasing suhu 40 oC dan 45 oC. Tabel tersebut dibawah menunjukkan bahwa perbandingan antara nilai Qe data hitung dengan nilai Qe model BET pada suhu 45oC lebih mendekati dibandingkan pada suhu 40 oC. Hal ini berarti bahwa hubungan antara Qe data hitung dengan Qe model BET pada suhu 45o
27
memiliki korelasi yang lebih erat/dekat ditunjukkan dengan nilai determinasi yang lebih besar dibandingkan pada suhu 40 oC (dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18). Tabel 13. Hasil perhitungan Qe model BET pada suhu 40 oC RH
Co
Ce
Qe Hitung
X=Ce/Co
Y=(Ce/Co)/(Qe(1-Ce/Co)
KBET
Q°
Qe Model
60 70 80
0.50 0.50 0.50
0.37 0.34 0.29
0.260 0.320 0.420
0.74 0.68 0.58
10.95 6.64 3.29
-0.94 -0.94 -0.94
0.045 0.045 0.045
0.275 0.280 0.469
Tabel 14. Hasil perhitungan Qe model BET pada suhu 45 oC RH
Co
Ce
Qe Hitung
X=Ce/Co
Y=(Ce/Co)/(Qe(1-Ce/Co)
KBET
Q°
Qe Model
60 70 80
0.50 0.50 0.50
0.375 0.360 0.345
0.250 0.280 0.310
0.75 0.72 0.69
12.00 9.18 7.18
-0.66 -0.66 -0.66
0.031 0.031 0.031
0.253 0.272 0.316
0,35
0,5 y = 1,286x - 0,087 R² = 0,879
y = 1,050x - 0,014 R² = 0,950
0,30 Qe Model BET
Qe Model BET
0,4
0,3
0,2
0,25
0,20 0,1 0,15 0,0
0,15 0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,20
0,25
0,30
0,35
0,5 Qe Hitung
Qe Hitung
Gambar 17. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model BET 40oC
Gambar 18. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model BET 45oC
4.5.2 Sorpsi Isotermis Model Langmuir Contoh perhitung konstanta Langmuir pada suhu 40oC dan RH 60%
= 1 1
= =
1+ 1+ 1
1
+
1
y= b x + a
28
Hasil perhitungan Qe data hitung dan Qe model Langmuir pada masing-masing suhu 40 oC dan 45 C disajikan pada Tabel 15 dan 16. Tabel dibawah menunjukkan bahwa perbandingan antara nilai Qe data hitung dengan nilai Qe model Langmuir pada suhu 45oC lebih mendekati dibandingkan pada suhu 40 oC. Hal ini berarti bahwa hubungan antara Qe data hitung dengan Qe model Langmuir pada suhu 45o memiliki korelasi yang lebih erat/dekat ditunjukkan dengan nilai determinasi yang lebih besar dibandingkan pada suhu 40 oC (dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20). o
Tabel 15. Hasil perhitungan Qe model Langmuir pada suhu 40 oC RH 60 70 80
Co 0.50 0.50 0.50
Ce 0.37 0.34 0.29
Qe Hitung 0.260 0.320 0.420
X= l/Ce 2.70 2.94 3.45
Y= 1/Qe 3.85 3.13 2.38
KL -4.683 -4.683 -4.683
Q° 0.113 0.113 0.113
Qe Model 0.268 0.304 0.429
Tabel 16. Hasil perhitungan Qe model Langmuir pada suhu 45 oC RH 60 70 80
Co 0.50 0.50 0.50
Ce 0.375 0.360 0.345
Qe Hitung 0.250 0.280 0.310
X= l/Ce 2.67 2.78 2.90
Y= 1/Qe 4.00 3.57 3.23
0,5
Q° 0.078 0.078 0.078
Qe Model 0.251 0.277 0.312
0,35 y = 1,034x - 0,011 R² = 0,973 Qe Model Langmuir
0,4 Qe Model Langmuir
KL -3.861 -3.861 -3.861
0,3
0,2
y = 1,009x - 0,002 R² = 0,992
0,30
0,25
0,20
0,1 0,15
0,0 0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,15
0,20
Qe Hitung
Gambar 19. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Langmuir pada 40oC
0,25
0,30
0,35
Qe Hitung
Gambar 20. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Langmuir pada 45oC
4.5.3 Sorpsi Isotermis Model Freundlich Contoh perhitung konstanta Freundlich pada suhu 40oC dan RH 60% /
= =
+
1
y = a + bx
29
Model Freundlich juga memiliki perbandingan hasil Qe data hitung dengan Qe model paling mendekati pada suhu 45oC, sama halnya dengan model BET dan model Langmuir. Hal ini berarti bahwa hubungan antara Qe data hitung dengan Qe model Langmuir pada suhu 45o memiliki korelasi yang lebih erat/dekat ditunjukkan dengan nilai determinasi yang lebih besar dibandingkan pada suhu 40 oC. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22 dibawah ini: Tabel 17. Hasil perhitungan Qe model Freundlich pada suhu 40oC RH
Co
Ce
Qe Hitung
X=log Ce
Y=log Qe
KF
n
Qe Model
60 70 80
0.50 0.50 0.50
0.37 0.34 0.29
0.260 0.320 0.420
-0.432 -0.469 -0.538
-0.585 -0.495 -0.377
0.039 0.039 0.039
-0.517 -0.517 -0.517
0.265 0.312 0.424
Tabel 18. Hasil perhitungan Qe model Freundlich pada suhu 45oC RH 60 70 80
Co 0.50 0.50 0.50
Ce 0.375 0.360 0.345
Qe Hitung 0.250 0.280 0.310
X=log Ce -0.426 -0.444 -0.509
Y=log Qe -0.602 -0.553 -0.509
0,5
n -0.388 -0.388 -0.388
Qe Model 0.251 0.279 0.311
y = 1,008x - 0,002 R² = 0,992
0,3
0,2
Qe Model Freundlich
0,35
0,4 Qe Model Freundlich
KF 0.020 0.020 0.020
y = 1,002x - 0,000 R² = 0,998
0,30
0,25
0,20
0,1 0,15 0,0
0,15 0,0
0,1
0,2 0,3 Qe Hitung
0,4
0,20
0,25
0,30
0,35
0,5
Gambar 21. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Freundlich pada suhu 40oC
Qe Hitung
Gambar 22. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Freundlich pada suhu 45oC
Qe merupakan jumlah absorbat yang dapat terjerat pada permukaan absorban saat kondisi setimbang dengan satuan gram absorbat/gram absorban. Dari perbandingan ketiga model diatas (BET, Langmuir, dan Freundlich) dapat dilihat bahwa pada kondisi suhu 45oC memiliki nilai korelasi yang lebih dekat, ditunjukkan dengan nilai determinsai yang lebih besar, yaitu pada model BET suhu 45oC diproleh R2= 0.950, model Langmuir pada suhu 45oC diperoleh R2= 0.992 dan model Freundlich pada suhu 45oC diperoleh R2= 0.998. Koefisien determinasi yang tinggi menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara variabel x (Qe hitung) dengan variabel y (Qe model). Selain itu dari grafik perbandingan Qe data hitung dan Qe model (BET, Langmuir, dan Freundlich) pada suhu 45oC diperoleh nilai kemiringan garis hampir mendekati satu. Hal ini menunjukkan bahwa garis yang terbentuk pada setiap grafik perbandingan Qe data hitung dan Qe model (BET, Langmuir dan Freundlich) pada suhu 45oC, berupa garis lurus dengan nilai kemiringan satu.
30
Hasil perhitungan Qe dari ketiga model diatas yaitu model BET, Langmuir dan Freundlic dapat dilihat bahwa Qe data hasil perhitungan dengan model Freundlich lebih mendekati dengan Qe hasil perhitungan data. Untuk melihat tingkat keakuratan dari masing-masing model, dapat dilakukan perhitungan persentase kesalahan dengan menggunakan persamaan 16. Persentase kesalahan yang lebih rendah dari masing-masing model menunjukkan tingkat keakuratan hasil model dibanding dengan hasil perhitungan lebih baik. Hasil perhitungan persentase kesalahan dari masing-masing model pada kondisi suhu 40oC dan 45oC dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 19. Hasil Perhitungan Persentase kesalahan pada suhu 40oC
RH (%) 60 70 80
Persentase kesalahan model BET (%) 5.8 12.5 11.6
Suhu 40oC Persentase kesalahan model Langmuir (%) 3.1 5.0 2.1
Persentase kesalahan model Freundlich (%) 1.9 2.5 0.9
Tabel 20. Hasil Perhitungan Persentase kesalahan pada suhu 45oC
RH (%) 60 70 80
Persentase kesalahan model BET (%) 1.2 2.9 1.9
Suhu 45oC Persentase kesalahan model Langmuir (%) 0.4 1.1 0.6
Persentase kesalahan model Freundlich (%) 0.4 0.4 0.3
Berdasarkan Tabel 19 dan 20, dapat dilihat besarnya nilai persentase kesalahan dari perbandingan antara Qe data hitung dengan Qe model pada suhu 40oC dan 45oC. Pada suhu 40oC dan 45oC, persentase kesalahan untuk model BET memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan model Langmuir dan Freundlich. Dari ketiga model diatas, dapat ditentukan bahwa model Freundlich yang memiliki persentase kesalahan terendah, sehingga model ini merupakan model yang memiliki tingkat ketelitian yang paling baik.
31
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
1. Proses absorpsi merupakan proses terjeratnya fluida oleh fluida lain dengan membentuk suatu larutan. Dan dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa laju penyerapan absorbat oleh aborban dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, konsentrasi, suhu, kelembaban dan tekanan. 2. Laju penyerapan tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 40oC, RH= 70% dengann konsentrasi 60% sebesar 0.031 gram/menit. 3. Penentuan konsentasi kesetimbangan pada kondisi yang pertama dengan menggunakan diagram P-T-X diperoleh sebesar 34 % pada suhu 40oC dan kelembaban 70%, sedangkan pada suhu 45oC dan kelembaban 70% diperoleh Ce sebesar 36%. Perhitungan Ce berdasarkan pendekatan grafik penurunan konsentrasi diperoleh nilai Ce pada suhu 40oC dan kelembaban 70% sebesar 42.07%. Pada 45oC dan kelembaban 70% diperoleh nilai Ce sebesar 43.90%. Perbedaan berdasarkan hasil perhitungan grafik dengan diagram P-T-X, kemungkinan besar disebabkan data yang diperoleh pada saat perlakuan tidak konsisten dan teliti disebabkan faktor alat yang sering mengalami gangguan saat pengambilan data. 4. Untuk keperluan perhitungan Qe digunakan data Ce yang diperoleh pada kondisi suhu dan kelembaban yang berbeda. Dimana Ce pada suhu 40oC dan RH 60% sebesar 37%, suhu 40oC dan RH 70% sebesar 34%, suhu 40oC dan RH 80% sebesar 29%, suhu 45oC dan RH 60% sebesar 37.5%, suhu 45oC dan RH 70% sebesar 36%, suhu 45oC dan RH 80% sebesar 34.5%. 5. Hasil perhitungan Qe data hitung dengan Qe Model sorpsi isotermis pada suhu 40oC dan 45oC tidak terlalu berbeda. Namun Qe model yang paling mendekati Qe data hitung ialah model Freundlich diikuti dengan model Langmuir dan model BET. Berdasarkan perhitungan persentase kesalahan antara Qe data hitung dengan Qe model sorpsi isotermis pada masingmasing kelembaban, diperoleh persentase kesalahan yang paling rendah pada model Freundlich sebesar 0.4% pada kelembaban 60% dan 70%, dan 0.3% pada kelembaban 80%.
5.2
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang laju penyerapan uap air oleh larutan absorban litium bromida dengan metode yang berbeda agar dapat tercapai kondisi konsentrasi kesetimbangannya dalam jangka waktu yang lebih cepat. Sehingga perhitungan untuk menentukan jumlah absorbat yang terjerat pada kondisi setimbang lebih mudah.
32
DAFTAR PUSTAKA Ambarita, N. 2008. Modifikasi Mesin Pendingin. Skripsi. Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Jakarta. Arismunandar, W. dan Saito, H. 2005. Penyegaran Udara. Cetakan ke-7. PT. Pradnya Paramita (PERSERO). Jakarta Fitria, M. 2007. Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Bogor. Hayadin. 1999. Rancangan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi Intermitten Dengan Kombinasi Larutan LiBr-H2O. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Bogor. Kamaruddin, A. et. Al. 1998. Energi dan Listrik Pertanian. Diktat Kuliah. Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Bogor. Prasodjo, P. 2010. Studi Kapasitas Mesin Pendingin. Skripsi. Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Jakarta. Rohmat, T. A. 2000. Buku Ajar Termodinamika Lanjut. Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Yogjakarta. Sambada, F. A. R. dan Puja, K. G. I. 2010 Pengaruh Kadar Amonia Pada Unjuk Kerja Alat Pendingin Absorpsi Amonia-Air. Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke-9. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Sanata Dharma. Daerah Istimewa Yogyakarta. Indonesia. Setyawan, Y. 1997. Mempelajari Penggunaan Garam NaCl, CaCl2, dan LiCl Sebagai Kondensor Pada Pendinginan Vakum. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Bogor. Stoecker, W. F. dan Jerold W. Jones. 1989. Refrigerasi dan Pengkondisian Udara (terjemahan). Erlangga. Jakarta. (hal: 308-327). Sukardjo. 1990. Kimia Anorganik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Tambunan, A. H. 2001. Teknik Pendinginan. Diktat Kuliah. Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Bogor Trott, A. R. 1989. Refrigeration and Air-Conditioning. Second edition. Butterworth. Tulliza, I.S. 2010. Pengaruh Penyusutan Terhadap Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih (Curcuma zeodoaria (Berg) Roscoe). Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Bogor.
33
W, B. Ma and S, M. Deng. 1996. Theoretical Analysis of Low-Temperature Hot Source Driven TwoStage LiBr/H2O Absorption Refrigeration System. International Journal of Refrigeration. Volume 19. Issue 2. Page 141-146.
34
LAMPIRAN
35
Lampiran 1. Data Percobaan suhu 40oC dan RH 70% Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 40oC, RH= 70% dan C= 60%
Konsentrasi LiBr (%)
1.
61 60 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 49
Konsentrasi 60%
0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 1. Grafik penurunan konsentrasi 60% 2.
Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 40oC, RH= 70% dan C= 55%
Konsentrasi LiBr (%)
56 55 54 53 52 51
Konsentrasi 55%
50 49 48 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 2. Grafik penurunan konsentrasi 55% Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 40oC, RH= 70% dan C= 50%
51 Konsentrasi LiBr (%)
3.
50 49 48 47
Konsentrasi 50%
46 45 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 3. Grafik penurunan konsentrasi 50%
36
Lampiran 1. Data Percobaan suhu 40oC dan RH 70% (Lanjutan) 4.
Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 40oC, RH= 70% dan C= 45%
Konsentrasi LiBr (%)
46
45
44 Konsentrasi 45% 43
42 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 4. Grafik penurunan konsentrasi 45% Grafik gabungan penurunan konsentrasi pada suhu dan kelembaban yang sama
70 y = -0,015x + 59,72 R² = 0,982
60 Konsentrasi LiBr (%)
5.
y = -0,007x + 52,98 R² = 0,926
y = -0,007x + 50,07 R² = 0,991
50
40
Konsentrasi 60 Konsentrasi 55
y = -0,003x + 45,58 R² = 0,988
Konsentrasi 50 Konsentrasi 45
30
20 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 5. Grafik gabungan penurunan konsentrasi 60,55,50,45%
37
Lampiran 2. Data Percobaan suhu 40oC dan RH 60%, 70% dan 80% 1.
Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 40oC, RH= 60% dan C= 50%
51 Konsentrasi LiBr (%)
50 49 48 47 46 Kelembaban 60%
45 44 43 42 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 6. Grafik penurunan konsentrasi pada kelembaban 60% Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 40oC, RH= 70% dan C= 50%
Konsentrasi LiBr (%)
2.
51 50 49 48 47 46 45 44 43 42
Kelembaban 70%
0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 7. Grafik penurunan konsentrasi pada kelembaban 70% Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 40oC, RH= 80% dan C= 50%
Konsentrasi LiBr (%)
3.
51 50 49 48 47 46 45 44 43 42
Kelembaban 80%
0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 8. Grafik penurunan konsentrasi 80%
38
Lampiran 2. Data Percobaan suhu 40oC dan RH 60%, 70% dan 80% (Lanjutan) Grafik gabungan penurunan konsentrasi pada suhu yang sama dan kelembaban berbeda
51 50 y = -0,003x + 50,09 R² = 0,977
49 Konsentrasi LiBr (%)
4.
48 47 RH 60
46
y = -0,007x + 50,07 R² = 0,991
45
RH 70 RH 80
44 y = -0,010x + 49,02 R² = 0,975
43 42 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 9. Grafik penurunan konsentrasi pada kelembaban 60, 70, 80%
39
Lampiran 3. Data Percobaan suhu 45oC dan RH 70% 1.
Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 45oC, RH= 70% dan C= 60%
Konsentrasi LiBr (%)
62 60 58 56 54
Konsentrasi 60%
52 50 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 10. Grafik penurunan konsentrasi 60% 2.
Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 45oC, RH= 70% dan C= 55%
Konsentrasi LiBr (%)
56 55 54 53 52 Konsentrasi 55%
51 50 49 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 11. Grafik penurunan konsentrasi 55% Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 45oC, RH= 70% dan C= 50%
51 Konsentrasi LiBr (%)
3.
50 49 48 47
Konsentrasi 50%
46 45 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 12. Grafik penurunan konsentrasi 50%
40
Lampiran 3. Data Percobaan suhu 45oC dan RH 70% (Lanjutan) 4.
Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 45oC, RH= 70% dan C= 45%
Konsentrasi LiBr (%)
46 45 45 44
Konsentrasi 45%
44 43 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 13. Grafik penurunan konsentrasi 45% Grafik gabungan penurunan konsentrasi pada suhu dan kelembaban yang sama
70 y = -0,012x + 59,91 R² = 0,986 60 Konsentrasi LiBr (%)
5.
50
y = -0,005x + 53,05 R² = 0,824 Konsentrasi 60
y = -0,005x + 49,91 R² = 0,997
Konsentrasi 55
y = -0,001x + 44,62 R² = 0,364
40
Konsentrasi 50 Konsentrasi 45
30
20 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 14. Grafik gabungan penurunan konsentrasi 60,55,50,45%
41
Lampiran 4. Data Percobaan suhu 45oC dan RH 60%, 70% dan 80% Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 45oC, RH= 60% dan C= 50%
Konsentrasi LiBr (%)
1.
51 50 49 48 47 46 45 44 43 42
Kelembaban 60%
0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (%)
Gambar 15. Grafik penurunan konsentrasi pada kelembaban 60% Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 45oC, RH= 70% dan C= 50%
Konsentrasi LiBr (%)
2.
51 50 49 48 47 46 45 44 43 42
Kelembaban 70%
0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 16. Grafik penurunan konsentrasi pada kelembaban 70% Penurunan konsentrasi terhadap waktu T= 45oC, RH= 80% dan C= 50%
Konsentrasi LiBr (%)
3.
51 50 49 48 47 46 45 44 43 42
Kelembaban 80%
0
200
400
600
800
Waktu (menit)
Gambar 17. Grafik penurunan konsentrasi pada kelembaban 60%
42
Lampiran 4. Data Percobaan suhu 45oC dan RH 60%, 70% dan 80% (Lanjutan) Grafik gabungan penurunan konsentrasi pada suhu yang sama dan kelembaban berbeda
51 50 Konsentrasi LiBr (%)
4.
y = -0,001x + 49,83 R² = 0,963
49 48 47
RH 60
y = -0,005x + 49,91 R² = 0,997
46
RH 70 RH 80
45 44
y = -0,009x + 49,31 R² = 0,987
43 0
100
200
300
400
500
600
700
Waktu (menit)
Gambar 18. Grafik penurunan konsentrasi pada kelembaban 60, 70, 80%
43
Lampiran 5. Contoh Perhitungan Tekanan Uap Air (Pu) Untuk menghitung besarnya tekanan uap air pada masing-masing percobaan, digunakan persamaan 9, yaitu: =
0.6220 +
×(
)
dimana: Pu : tekanan uap air (mmHg) Pa : tekanan atmosfir (mmHg) x : perbandingan kelembaban (kg/kg udara kering) nilai x dapat diperoleh dari diagram psychrometric chart untuk nilai suhu dan kelembaban relatif yang diketahui dari pengambilan data. 1 mmHg = 0.13 kPa
Gambar 19. Diagram Psychrometric Chart Setelah nilai x (perbandingan kelembaban) (kg/kg udara kering) diperoleh maka tekanan uap air dapat dihitung. Misalnya: RH = 70.39% T = 39.88 oC Maka nilai x diperoleh : 0.0334 kg/kg udara kering Pa = 760 mmHg = 760 x 0.13 = 98.80 kPa =
=
0.6220 +
×(
)
0.0334 × (98.80 0.6220 + 0.0334
)
= 5.03 kPa
44
Lampiran 6. Penentuan Qe Model BET Contoh Perhitungan Qe data Pada T= 40 dan RH= 60% − = = ((0.50g/ml – 0.37g/ml)/50 g) x 100 ml = 0.260 g absorbat/g absorban
Contoh perhitungan konstanta BET pada suhu 40oC dan RH 60% °
=
1 + ( − 1)
1−
1
= 1 + ( − 1) 1− 1
=
−1
+
1− y = a +
b
x
Dibuat kurva hubungan x dan y, dimana x= Ce/Co dan y= (Ce/Co)/(Qe(1-Ce/Co), maka harga K= (slope/intercept) + 1 . Dari Gambar 14 diperoleh persamaan y= 46.40x – 23.97, nilai slope dari persamaan tersebut 46.60 dam intercept adalah – 23.97. Maka untuk menghitung konstantan BET dan Qo (kapasitas jerap maksimum absorban terhadap absorbat) sebagai berikut: =
+ 1
= -0.94
=
1 (
×
)
= 0.045 g absorbat/g absorban Tabel 1. Hasil perhitungan Qe model BET pada suhu 40 oC RH
Co
Ce
Qe Hitung
X=Ce/Co
Y=(Ce/Co)/(Qe(1-Ce/Co)
KBET
Q°
Qe Model
60 70 80
0.50 0.50 0.50
0.37 0.34 0.29
0.260 0.320 0.420
0.74 0.68 0.58
10.95 6.64 3.29
-0.94 -0.94 -0.94
0.045 0.045 0.045
0.275 0.280 0.469
45
Lampiran 6. Penentuan Qe Model BET (Lanjutan) Tabel 2. Hasil perhitungan Qe model BET pada suhu 45 oC RH
Co
Ce
Qe Hitung
X=Ce/Co
Y=(Ce/Co)/(Qe(1-Ce/Co)
KBET
Q°
Qe Model
60 70 80
0.50 0.50 0.50
0.375 0.360 0.345
0.250 0.280 0.310
0.75 0.72 0.69
12.00 9.18 7.18
-0.66 -0.66 -0.66
0.031 0.031 0.031
0.253 0.272 0.316
12,0 y = 46,40x - 23,97 R² = 0,954
10,0
(Ce/Co)/(Qe(1-Ce/Co))
(Ce/Co)/(Qe(1-Ce/Co))
12,0
8,0 6,0 4,0 2,0
10,0 y = 80,33x - 48,38 R² = 0,990
8,0 6,0 4,0 2,0 0,0
0,0 0
0,2
0,4
0,6
0
0,8
0,2
0,4
0,6
0,8
Ce/Co
Ce/Co o
Gambar 20. Grafik Isoterm BET pada suhu 40 C
Gambar 21. Grafik Isoterm BET pada suhu 45oC
Contoh perhitungan Qe Model BET pada T= 40oC dan RH=60%: °
=
1 + ( − 1)
1− =
0.045 × (−0.94) × 0.74 (1 − 0.74) × (1 + (−0.74 − 1) × (0.74)
= 0.275 g absorbat/g absorban 0,5
0,35 y = 1,286x - 0,087 R² = 0,879
y = 1,050x - 0,014 R² = 0,950
0,30 Qe Model BET
Qe Model BET
0,4 0,3 0,2
0,25
0,20
0,1 0,0
0,15 0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
Qe Hitung
Gambar 22. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model BET 40oC
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Qe Hitung
Gambar 23. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model BET 45oC
46
Lampiran 7. Penentuan Qe Model Langmuir Contoh perhitung konstanta Langmuir pada suhu 40oC dan RH 60%
=
1
1
=
1+ 1+
1
=
1
+
1
y= b x + a
Tabel 3. Hasil perhitungan Qe model Langmuir pada suhu 40 oC RH 60 70 80
Co 0.50 0.50 0.50
Ce 0.37 0.34 0.29
Qe Hitung 0.260 0.320 0.420
X= l/Ce 2.70 2.94 3.45
Y= 1/Qe 3.85 3.13 2.38
KL -4.683 -4.683 -4.683
Q° 0.113 0.113 0.113
Qe Model 0.268 0.304 0.429
Tabel 4 Hasil perhitungan Qe model Langmuir pada suhu 45 oC RH
Co
Ce
Qe Hitung
X= l/Ce
Y= 1/Qe
KL
Q°
Qe Model
60 70 80
0.50 0.50 0.50
0.375 0.360 0.345
0.250 0.280 0.310
2.67 2.78 2.90
4.00 3.57 3.23
-3.861 -3.861 -3.861
0.078 0.078 0.078
0.251 0.277 0.312
Dibuat kurva x dan y, dimana x= 1/Ce dan y= 1/Qe, seperti gambar dibawah ini:
4,0
4,0
3,5
3,5
3,0
3,0 y = -3,331x + 12,86 R² = 0,992
2,5 y = -1,887x + 8,837 R² = 0,962
2,0
1/Qe
1/Qe
2,5
2,0
1,5
1,5
1,0
1,0
0,5
0,5 0,0
0,0 2,5
2,7
2,9
3,1
3,3
3,5
1/Ce
Gambar 24. Grafik Isoterm Langmuir pada suhu 40oC
2,5
2,7
2,9
3,1
3,3
3,5
1/Ce
Gambar 25. Grafik Isoterm Langmuir pada suhu 45oC
47
Dari Gambar 18. diatas diperoleh nilai persamaan garis linear y= -1.887x + 8.837, dengan: Qo= 1/ intercept = 1/8.837 = 0.113 g absorbat/g absorban Lampiran 7. Penentuan Qe Model Langmuir (Lanjutan) KL= 1/(Qo × slope) = 1/(0.113 × (-1.887)) = -4.683 Contoh perhitungan Qe Model Langmuir pada T= 40oC dan RH=60%:
=
=
1+ 0.113 × (−4.683) × 0.37 1 + (−4.683 × 0.37)
= 0.268 g absorbat/g absorban 0,5
0,35 y = 1,034x - 0,011 R² = 0,973 Qe Model Langmuir
Qe Model Langmuir
0,4
0,3
0,2
y = 1,009x - 0,002 R² = 0,992
0,30
0,25
0,20
0,1 0,15
0,0 0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
Qe Hitung
Gambar 26. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Langmuir pada 40oC
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Qe Hitung
Gambar 27. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Langmuir pada 45oC
48
Lampiran 8. Penentuan Qe Model Freundlich Contoh perhitung konstanta Freundlich pada suhu 40oC dan RH 60% /
= =
+
1
y= a + bx Tabel 5. Hasil perhitungan Qe model Freundlich pada suhu 40oC RH
Co
Ce
Qe Hitung
X=log Ce
Y=log Qe
KF
n
Qe Model
60 70
0.50 0.50
0.37 0.34
0.260 0.320
-0.432 -0.469
-0.585 -0.495
0.039 0.039
-0.517 -0.517
0.265 0.312
80
0.50
0.29
0.420
-0.538
-0.377
0.039
-0.517
0.424
Tabel 6. Hasil perhitungan Qe model Freundlich pada suhu 45oC RH
Co
Ce
Qe Hitung
X=log Ce
Y=log Qe
KF
n
Qe Model
60 70 80
0.50 0.50 0.50
0.375 0.360 0.345
0.250 0.280 0.310
-0.426 -0.444 -0.509
-0.602 -0.553 -0.509
0.020 0.020 0.020
-0.388 -0.388 -0.388
0.251 0.279 0.311
Dibuat kurva x dan y, dimana x= log Ce dan y= log Qe, maka diperoleh persamaan garis lurus dengan slope 1/n dan intercept log K, seperti gambar dibawah ini. Dari grafik diperoleh persamaan garis lurus y= -1.935x – 1.413, sehingga: n= 1/slope = 1/(-1.935) = -0.517 KF= 101/n = 10(1/-0.517) = 0.039 0,0 -0,5
-0,4
-0,3
-0,2
-0,1 -0,2 0,0
Log Qe
-0,4 -0,6 -0,8 y = -1,935x - 1,413 R² = 0,990
-1,0 -1,2
0,0 -0,5
-0,4
-0,3
-0,2
-0,1
0,0 -0,5
Log Qe
-0,6
-1,0 y = -2,578x - 1,699 R² = 0,998
-1,5
-1,4 -1,6
Log Ce
-2,0
Log Ce
Gambar 28. Grafik Isoterm Freundlich pada suhu 40oC
Gambar 29. Grafik Isoterm Freundlich pada suhu 45oC
49
Lampiran 8. Penentuan Qe Model Freundlich (Lanjutan) Contoh perhitungan Qe Model Freundlich pada T= 40oC dan RH=60%: /
=
= 0.039 × 0.37
/
= 0.265 g absorbat/g absorban 0,5
Qe Model Freundlich
0,4
y = 1,008x - 0,002 R² = 0,992
0,3
0,2
Qe Model Freundlich
0,35 y = 1,002x - 0,000 R² = 0,998
0,30
0,25
0,20
0,1 0,15 0,0
0,15 0,0
0,1
0,2 0,3 Qe Hitung
0,4
0,20
0,25
0,30
0,35
0,5
Gambar 30. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Freundlich pada suhu 40oC
Qe Hitung
Gambar 31. Grafik perbandingan Qe hitung dengan Qe Model Freundlich pada suhu 45oC
50
Lampiran 9. Contoh perhitungan persentase kesalahan Untuk melihat tingkat keakuratan perhitungan Qe berdasarkan hitungan data dengan hitungan model sorpsi isotermis model (BET, Langmuir dan Freundlich). Perhitungan persentase kesalahan dari ketiga model tersebut dapat menggunakan persamaan dibawah ini:
%
ℎ
=
ℎ
− ℎ
× 100%
Sebagai contoh, perhitungan persentase kesalahan pada suhu 40oC dan kelembaban 60% seperti dibawah ini. Diketahui: Qe hitung : 0.260 g absorbat/g absorban Qe model BET: 0.275 g absorbat/g absorban
%
ℎ
=
%
ℎ
=
ℎ
− ℎ
× 100%
0.260 − 0.275 × 100% 0.260 = 5.8%
Demikian seterusnya pada masing-masing kelembaban (60%, 70%, dan 80%) pada setiap model sorpsi isotermis. Dan dari hasil perhitungan, maka diperoleh besarnya perhitungan persentase kesalahan pada setiap model seperti dibawah ini: Tabel 7. Persentase kesalahan model BET pada suhu 40oC Suhu 40oC RH Qe hitung Qe model BET 60 0.260 0.275 70 0.320 0.280 80 0.420 0.469
% Kesalahan 5.8 12.5 11.6
Tabel 8. Persentase kesalahan model BET pada suhu 45oC Suhu 45oC RH Qe hitung Qe model BET 60 0.250 0.253 70 0.280 0.272 80 0.310 0.316
% Kesalahan 1.2 2.9 1.9
Tabel 9. Persentase kesalahan model Langmuir pada suhu 40oC Suhu 40oC RH Qe hitung Qe model Langmuir 60 0.260 0.268 70 0.320 0.304 80 0.420 0.429
% Kesalahan 3.1 5.0 2.1
51
Tabel 10. Persentase kesalahan model Langmuir pada suhu 45oC Suhu 45oC Qe hitung Qe model Langmuir 0.250 0.251 0.280 0.277 0.310 0.312
% Kesalahan 0.4 1.1 0.6
Tabel 11. Persentase kesalahan model Freundlich pada suhu 40oC Suhu 40oC RH Qe hitung Qe model Freundlich 60 0.260 0.265 70 0.320 0.312 80 0.420 0.424
% Kesalahan 1.9 2.5 0.9
Tabel 12. Persentase kesalahan model Freundlich pada suhu 45oC Suhu 45oC RH Qe hitung Qe model Freundlich 60 0.250 0.251 70 0.280 0.279 80 0.310 0.311
% Kesalahan 0.4 0.4 0.3
RH 60 70 80
52
Lampiran 10. Dokumentasi bahan dan alat yang digunakan
Gambar 32. Pencampura larutan
Gambar 34. Wadah larutan pengujian
Gambar 33. Larutan LiBr dengan konsentrasi 50 dan 60%
Gambar 35. Mesin Climate Chamber
53