J. Tek. Ling
Edisi Khusus
Hal. 73 - 82
Jakarta, Juni 2009
ISSN 1441-318X
MEMPELAJARI KARAKTER FLOW DI ATAS SISTEM OROGRAFIK JAKARTA, BOGOR, PUNCAK UNTUK TRANSPORT BAHAN SEMAI DAN TRACER KE DALAM AWAN Untung Haryanto Peneliti di UPT Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Abstract Simulating transport seeding agent using AgI tracer from GBG-Tower at Citeko (Bogor area) is presented during period of 17 – 26 December 2008. Character flow over low mountain ranges from Jakarta (0-50 m) to Puncak (1000 – 1500m) has been analyses using Froude number. Increasing elevation from Jakarta to Puncak build orographic system and caused flow lifted by topographic contour and building some orographic cloud there. Result of analyses found that flow over system orographic Jakarta,Bogor,Puncak have character low kinetic energy and flow can not reach the highest barrier. With typical flow velocity ranges from 4.6 to 11.4 m/s, flows only reached 700m elevation of barrier. Flow can be reaches the highest elevation if have velocity 25 m/s, the uncommon velocity in this region. During day time (morning to afternoon), typical flow velocity is 6.1 to 11.4 m/s and its reduce during nght day with typical velocity 4.6 – 9.9 m/s. Cloud over Citeko have base with various heght, generally between 100 and 600 m. The Silver in rain water content is not unique disperse to high altitude after releasing from top of GBG-tower due to no different concentration in rainwater during its releasing day and background ie 0.09 mg/l. Flow character over sistem orographic Jakarta,Bogor,Puncak can not support as transport media for rising seeding agent to reach the higest barir due to low kinetic energy of flow. Key words: Froude number, system orographic,kinetic energy, barrier
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Awan Hujan pada sistem orografik tidak lepas dari karakter masa udara lembab yang melintasi perbukitan atau pegunungan pada sistem orografik itu sendiri. Karakter yang dominan menentukan intensitas hujan dan pola sebaran hujan pada sistem orografik dibawa oleh energi aliran masa udara-nya. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi adalah : 1. Bila aliran yang melintasi perbukitan atau pegunungan pada sistem orografik memiliki energi yang besar, maka hujan kebanyakan terjadi dengan intensitas tinggi mulai dari lereng hingga ke puncak barir (puncak gunung).
2.
Bila energinya tidak cukup untuk mengalir mencapai puncak barir, hujan hanya terjadi di lereng hingga kaki gunung dengan sebaran merata dan intensitas tidak besar.
Sistem orografik yang banyak menimbulkan hujan adalah Bukit Barisan di Sumatera. Beberapa tempat di Sistem orografi juga membentang sepanjang Jakarta, Bogor, Puncak di Jawa Barat. Sistem ini berperan besar pada aliran sungai Ciliwung yang mengalir di tengah Jakarta, dan seringkali meluap karena banyaknya air yang turun dari hulu Ciliwung yang berada di daerah Puncak. (Gambar 1).
Mempelajari Karakter Flow...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 73 - 82
73
Gambar 1. Peta Jakarta,Bogor,Puncak dan elevasi potongan pada sistem orografik sepanjang Ancol (A) sampai Gn, Gede (GG). Elevasi A ~ 1m, PM ~ 32m , B ~ 500 m, P ~ 1000 - 1200m, GG 1500 – 2000m Dengan mengontrol curah hujan di Hulu Ciliwung melalui modifikasi awan, maka kontribusi hujan orografik pada aliran S. Ciliwung dapat d sesuaikan : ditambah atau dikurangi. Teknologi Penyemaian awan di daerah bergunung sudah banyak dilakukan di dunia, yaitu untuk penambahan salju yang turun ke permukaan tanah pada pegunungan bersalju (snowy mountain) Sasaran penyemaian merupakan masa udara atau awan yang sarat mengandung SLW (Supercooled Liquid Water), yaitu kumpulan tetes air yang tidak membeku walaupun suhu lingkungannya sudah mencapai suhu titik beku (0 oC). Bahan semai yang digunakan adalah AgI (perak yodida), yaitu bahan glaciogenic yang struktur kristalnya mirip kristal es. Dalam lingkungan SLW, dengan cepat terdeposit pada inti es ini, dan makin memperbesar inti es sehinga menjadi butiran es, atau dengan kata lain mengubah SLW menjadi salju. Bahan semai dilepaskan di daerah upwind dan terangkat naik ke lapisan lebih tinggi dengan adanya aliran permukaan yang bergerak dari arah lereng menuju level tertinggi pada sistem orografik seperti diperlihatkan pada Gambar 2 1) Sumatera Barat seringkali mengalami musibah baik longsor dan Banjir Bandang 74
Gambar 2. Konsep Penyemaian Awan Penambahan Salju di Daerah Bergunung yang Ditutupi Salju. (dari Arlen1)) karena hujan lebat yang ditimbulkan sistem orografik disini. Hanya saja sisi barat sistem orografik disini yang merupakan arah datangnya aliran (upstream) merupakan laut, sehingga data yang bisa digunakan untuk analisis sulit di dapat, kecuali peta sinoptik. Dengan pemikiran yang sama maka BPPT melalui UPT Hujan Buatan mencoba mengkaji penyemaian awan orografik yang ada pada sistem orografik Jakarta, Bogor, Puncak Jika pada kondisi defisit air di Jakarta, modifikasi awan orografik dapat membantu air baku bagi keperluan Jakarta. Sebaliknya
Untung Haryanto, dkk. 2009
bila di Jakarta sudah dalam kondisi banyak air seperti pada musim penghujan, maka modifikasi awan orografik dapat digunakan untuk mengurangi banyaknya hujan di hulu Ciliwung, sehingga banyaknya air permukaan yang mengalir ke Jakarta dapat dikurangi. Dengan sistem orografi ini, maka hujan yang turun di daerah Bogor Puncak dan sekitarnya memiliki kontribusi yang cukup besar pada aliran permukaan yang bergerak turun ke Jakarta. Jika pada kondisi defisit air di Jakarta, maka modifikasi awan orografik dapat membantu air baku bagi keperluan Jakarta. Sebaliknya bila di Jakarta sudah dalam kondisi banyak air seperti pada musim penghujan, maka modifikasi awan orografik dapat digunakan untuk mengurangi banyaknya hujan di hulu Ciliwung, sehingga banyaknya air permukaan yang mengalir ke Jakarta dapat dikurangi. Beberapa perbedaan yang mendasar antara penyemaian orografik yang dikaji UPT Hujan Buatan dengan penyemaian awan orografik di daerah pegunungan bersalju, dan fakta yang ada adalah : 1. Di Indonesia, bahan semai yang dugunakan merupakan bahan semai yang bersifat higroskopik, atau sangat cepat menyerap uap air dari lingkungannya, sehingga cepat bertambah besar (bertambah berat). Sebagai gambaran bahan glaciogenic yang digunakan untuk penambahan salju adalah 0.1 – 1 mikron, sedangkan untuk daerah Indonesia, digunakan bahan higroskopik yang ketika masuk ke dasar awan berukuran 20-30 mikron. Dengan demikian, diperlukan flow yang kuat untuk mengangkatnya ke awan setelah dilepaskan dari darat. Bila menggunakan pesawat, pilot mencari flow di bawah dasar awan dengan kekuatan 5 m/s. 2. Data defisit titik embun yang observasinya dilakukan di sekitar Citeko di mana terdapat menara menunjukkan bahwa tinggi dasar awan
masih cukup jauh dari permukaan tanah, sekitar 100 – 500m. 3. Karakter flow di atas sistem orografik menentukan apakah flow itu naik keatas, atau didefleksikan. Kondisi yang terahir ini tidak berguna untuk sarana transport bahan semai ke lapisan yang lebih tinggi (dasar awan) Berdasarkan perbedaan-perbedaan itu maka diperlukan pemahaman karakter flow yang mengalir di atas sistem orografik JBP. Sebagai respon dari radiasi matahari pada daerah dengan elevasi tinggi seperti perbukitan atau gunung, terjadi pemanasan permukaan tanah. Lokasi dengan elevasi lebih tinggi mengalami pemanasan lebih awal dibandingkan dengan lokasi dengan elevasi yang lebih rendah. Pada sistem orografik Jakarta-Bogor-Puncak (JBP), daerah puncak lebih cepat mengalami pemanasan dari daerah di bawahnya (Jakarta), sehingga pada daerah ini tekanan udara lebih rendah di bandingkan di bawahnya. Sebagai akibatnya mengalir masa udara lembab (moist flow) dari arah Jakarta menuju ke daerah Puncak (angin lembah), hal ini berlangsung sepanjang siang hingga menjelang sore. Fenomena ini maikin kuat bila terjadi angin baratan pada yaitu pada musim penghujan. Jadi pada sistem orografi, masa udara dipaksa naik (forced lifting) ke elevasi yang lebih tinggi. Bila udara banyak mengandung uap air maka terjadi pengembunan dengan laju yang besar dan membentuk awan yang disebut awan orografik. Lokasi kumpulan awan yang terbentuk dengan cara ini sangat tergantung karakter flow itu sendiri, yaitu pada tenaga kinetik atau daya gerak aliran udara yang datang dari lokasi dengan elevasi yang rendah. Bila tenaganya cukup kuat maka awan orografik yang tebal dan menghasilkan hujan lebat dapat terjadi di dekat elevasi tertinggi (puncak obstacle), atau di daerah down
Mempelajari Karakter Flow...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 73 - 82
75
wind di dekat puncak. Bila tenaganya tidak kuat maka masa udara ini dapat tertahan (blocked), didefleksikan ke kiri atau ke kanan dari gunung, atau dapat pula didefleksikan kembali ke arah datangnya, sehingga pada keadaan seperti ini, hujan terkonsentrasi pada lereng atau kaki gunung atau obstacle. Gambar 3. memperlihatkan kemungkinan yang terjadi pada aliran yang melintas di atas daerah berbukit atau bergunung2). Pada sore hari kekuatan radiasi sudah sangat berkurang, sehingga daerah dengan elevasi tinggi lebih cepat mengalami pendinginan, sementara itu daerah di bawahnya lebih hangat, hal ini terjadi sepanjang malam hingga keesokan harinya setelah permukaan memberi respon pada radiasi matahari, sebagai akibatnya, terjadi aliran udara dari elevasi yang tinggi ke daerah di bawahnya (angin gunung). Dengan demikian faktor penting dalam mempelajari fenomena orografik adalah mengamati kandungan uap air dan kecepatan pada masa udara yang datang, serta mengetahui ketinggian (elevasi) lokasi. Para peneliti banyak menggunakan suatu besaran
Gambar 3. Kemungkinan yang Terjadi oleh Adanya Interaksi Karakter Flow dengan karakter lokal (dari Roe2)). yang disebut sebagai Froude Number yaitu untuk mempelajari interaksi karakter flow yang melintas di atas permukaan dengan elevasi tinggi (obstacle), dengan karakter lokal (ketinggian). 76
Penelitian ini merupakan tahapan dari upaya melakukan modifikasi awan orografik, yaitu memahami interaksi karakter lokal dengan karakter udara pada daerah bergunung di daerah Bogor dan sekitarnya. Tahapan ini dituntut oleh WMO sebelum melakukan kegiatan modifikasi awan, baik itu penelitian ataupun operasional. 1.2.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah memahami aspek orografi dan menganalisis data pengamatan lapangan, berupa karakter flow (blocked / unblocked), serta melakukan analisis simulasi sebaran bahan seeding menggunakan bahan tracer yang dilepaskan dari atas menara GBG di daerah Citeko dan sekitarnya (Kabupaten Bogor). serta melakukan analisis sebaran curah hujan yang berkaitan dengan Froude number. 2.
METODOLOGI
Tahap awal dari studi ini adalah mempelajari karakter flow pada sistem orografik JBP untuk kasus ekstrim banjir Jakarta yang terjadi tahun 2002, dan dibandingkan dengan tahun 2006. Karakter flow kemudian dipelajari lebih mendalam di daerah Citeko pada bulan Desember 2008. Pola umum aliran angin pada bulan musim penghujan, adalah dari arah baratan (variasi dari 270o ± 45o) maka bila aliran udara dari upstream (Jakarta dan sekitarnya) bergerak menuju puncak tertinggi maka terbentuk sistem orografik. Karakter atau sifat-sifat aliran masa udara yang datang dari upstream ini sangat menentukan apakah aliran ini dapat mencapai puncak (barir) tertinggi dari sistem orografik ini. Menurut Gunawan3) puncak tertinggi puncak tertinggi pada sistem orografik ini ditetapkan 2000 m dpl. Daerah upsteam adalah Jakarta dan sekitarnya, oleh karena itu data upper air hasil peluncuran balon di Bandara SukarnoHatta yang cukup dekat dengan Jakarta, digunakan untuk melakukan analisis karakter aliran, data di “unduh” (download). melalui home-page University Wyoming4) Jarak lurus antara stasiun sounding di bandara Sukarno-
Untung Haryanto, dkk. 2009
Hatta dengan barir tertinggi sekitar 70 km. (Gambar-1). Analisis peluang hujan di upstream dilakukan dengan menggunakan indeks hujan5) yang merupakan rasio antara suhu dasar awan (Tccl), dengan daya apung udara (PB), dengan bentuk IH = (Tccl-18.8)/PB. IH yang besar mengindikasikan peluang besar untuk terjadinya hujan karena Tccl menjadi besar, dan daya apung tidak boleh terlalu besar (bila PB besar maka hidrometeor terlempar keluar melalui puncak awan dan menguap) Dari analisis ini dapat diketahui peluang terjadinya hujan dan klasifikasinya dalam bentuk lebat, sedang, atau ringan yang terjadi di upstream (Jakarta). Dengan demikian apabila pada suatu tempat dengan elevasi tinggi di Bogor dan puncak ada hujan sementara itu IH tidak menunjukkan peluang hujan, maka hujan ini merupakan hujan yang berasal dari awan orografiik. Hujan ringan atau sedang berasosiasi dengan jenis awan yang tipis melebar atau disebut stratus. Froude number 6) merupakan tools analisis yang banyak digunakan oleh meteorologis untuk menganalisis karakter aliran masa udara yang bergerak melewati barir yang membentuk sistem orografik. Pada penilitian ini, Froude number digunakan untuk mengetahui karakter flow yang datang dari upwind (upsteram). Hasil sounding atmosfer dari Bandara Sukarno Hatta digunakan untuk mengetahui Froude Number. Froude Number dihitung dengan menggunakan relasi Fr = U/(NwH), dengan U adalah ratarata kecepatan angin level 1000 sampai 700 mb, diambil 4 level : 925, 850, 800 dan 700 mb. Brunt-Vaisala Frequency(7) Nw dihitung dengan relasi dengan H adalah ketinggian maksimum obstacle atau barir. Ketinggian maksimum pada sistem orografik JBP adalah sekitar 2000 m (Gambar 1). Sebagai simulasi bahan semai (seeding agent), bahan tracer AgI dilepaskan dari atas menara GBG yang pada sistem orografik JBP terletak di daerah antara Bogor dan Puncak) (Gambar 1). Sejalan dengan
pelepasan tracer, dilakukan pengamatan curah hujan dan pengambilan conto air hujan untuk analisis kandungan AgI dalam air hujan. Analisis quantitatif kandungan air
hujan dilakukan dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectra) pada Laboratoriom Lingkungan Departemen Perindustrian. Pada Laboratorium IPB, analisis dilakukan dengan metode SMEWW 21th (2005): 3111B. Tracer AgI diperoleh dari pembakaran AgI-Flare. Pemimpin kegiatan yang telah ditunjuk memberikan perintah pembakaran secara simultan dari 2 menara yang terletak di Citeko, dan Rawadulang (Tugu), atas dasar informasi keawanan yang diberikan oleh operator yang bertugas menyalakan flare. Sampel air hujan diambil pada lokasi Rawa Dulang, Citeko, Lemah Neundeut Pekancilan dan Sukakarya. Metode pengambilannya adalah dengan cara menampung air hujan dala ember yang telah dicuci bersih dengan aquades. Air hujan yang tertampung dalam ember dimasukkan dalam botol plastik, dan diberi label (ID) tanggal dan lokasi. Curah hujan dimonitorng pada 4 lokasi yaitu di Citeko, Pekancilan, Rawa Dulang, dan Lemah Neundeut. Lokasi Stasion pengamatan hujan relatif terhadap menara GBG diperlihatkan pada Gambar 4. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Posisi Jakarta serta Bogor, Puncak di Jawa Barat membujur arah BaratLaut ke Tenggara, sehingga perubahan topografi sepanjang Jakarta hingga Puncak membentuk sistem orografik Interaksi antara flow yang melintas di atas sistem orografik ini menimbulkan fenomena yang spesifik
Mempelajari Karakter Flow...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 73 - 82
77
Gambar 4. Lokasi Pengamatan Curah Hujan, dan Sampel Hujan relatif terhadap posisi Menara GBG (skala tidak disesuaikan) yang disebut awan dan hujan orografi. Hujan di daerah ini seringkali memberikan kontribusi pada aliran permukaan di hilir yaitu Jakarta. Pada banjir tahun 2002, air yang menggenangi Jakarta merupakan jumlahan dari air hujan yang turun di atas Jakarta itu sendiri, bersama air yang turun dari sistem orografik Jakarta,Bogor,Puncak (JBP) yang datang melalui sungai-sungai yang mengalir di Jakarta. Keadaan ini berbeda dengan tahun 2006, di mana peran sistem orografik JBP sangat kecil kontribusinya. Kontribusi limpasan air dari sistem orografik JBP sangat jelas terlihat pada tahun 2002. Froude number yang digunakan untuk mengukur kelabilan, sifat sebaran dan intensitas hujan, serta energi aliran menunjukkan bahwa hari-hari pada bulan Februari 2006 dicirikan dengan kluster nilai Froude number dominan bernilai sekitar nol (61%), sisanya tersebar untuk nilai Froude number bernilai -0.5 hingga +0.5. Bulan Februari 2002, sebaran nilai Froude number menunjukkan kluster yang lebih melebar, dengan nilai nol hanya 21 %, dan total nilai negatif dan positif sebanyak 78%. Nilai Froude number yang kecil pada bulan Februari 2006 mengindikasikan bahwa masa udara yang bergerak dari Jakarta menuju Puncak tidak memiliki tenaga yang cukup untuk mencapai barir tertinggi yaitu 78
puncak di sana, sedangkan pada bulan Februari 2002, banyak kejadian aliran udara lembab mencapai barir tertinggi. Aliran masa udara lembab yang mampu mencapai barir tertinggi pada sistem orografik dan menghasilkan hujan lebat di sepanjang lereng dan puncaknya. Hasil analisis ini sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi bahwa sepanjang bulan Februari 2006 tidak terjadi banjir di Jakarta, sedangkan pada bulan Februari 2002 di Jakarta terjadi banjir besar. Gambar 5. memperlihatkan kluster Froude number untuk bulan Februari 2002 dan bulan Februari 2006 Daerah berbukit di sekitar BogorPuncak, dengan topografi tertinggi sering dituding sebagai mesin hujan yang membawa petaka bagi Jakarta. Kejadian ekstrim yang sering terjadi pada musim angin baratan (musim hujan) adalah bahwa pada hari-hari tertentu di Jakarta tidak terjadi hujan atau hanya mengalami hujan dengan intensitas rendah, namun ada beberapa tempat
Gambar 5. Kluster nilai Froude number (Fr) untuk Jakarta. Kiri (bulan Februari 2006) : Fr kecil. Kanan (bulan Februari 2002) : Fr besar. di Jakarta yang mengalami kebanjiran. Orang awam menyebutnya banjir kiriman karena air kiriman dari kawasan Bogor dan Puncak. Hal itu terjadi karena pada musim baratan, Jakarta menjadi bagian dari sitem orografik. Sistem orografi memaksa flow udara lembab dari bawah (Jakarta dan sekitarnya) untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi menghasilkan awan orografi.
Untung Haryanto, dkk. 2009
Situasi sinoptik pada bulan Februari yang menghasilkan angin dari arah barat laut melewati Jakarta (0-50 m dpl), terus bergerak ke tenggara. Bila karakter flow saat itu memiliki energi yang cukup besar, maka aliran ini terus bergerak naik ke arah Bogor dan Puncak (1000 – 1500 m dpl). Pada beberapa kasus, masa udara lembab ini memiliki energi yang besar, sehingga mampu mencapai barir tertinggi pada sistem orografik ini. Bila kasus seperti ini cukup banyak dalam sebulan (dalam bulan Februari), maka air hujan yang dihasilkan sangat banyak, menimbulkan aliran permukaan yang besar yang turun kembali ke Jakarta melalui beberapa sungai yang melintasi Jakarta, terutama Sungai Ciliwung. Akumulasi aliran yang turun kembali ke Jakarta pada sistem orografik Jakarta_Bogor_Puncak, bersama dengan air dari hujan yang turun di atas kawasan Jakarta seringkali tidak mampu ditampung pada sistem aliran (sungai) yang ada sehingga melimpas dan menimbulkan genangan yang tinggi pada bagian-bagian rendak di Jakarta. Daerah Cawang, Kampung Melayu, Ciputat, dan beberapa tempat lain seperti daerah Paku Buwono sering mengalami hal ini. Hasil analisis menggunakan IH menunjukkan bahwa kebanyakan hujan di upwind memiliki kriteria sedang, ringan sampai tidak terjadi hujan. Ini menunjukkan bahwa hujan ini hanya dihasilkan dari awan tinggi jenis stratus. Meskipun demikian, kondis di daerah penelitian bisa saja berbeda karena efek orografi (Tabel 1). menampilkan rataan hujan di daerah penelitian serta hasil analisis IH yang ditampilkan bersama analisis upper air (Tabel 2) Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa flow dari upstream memang berasal dari arah barat hingga utara (baratan), dengan kebanyakan arah dari 245 – 300 derajat. Flow ini sesuai dengan pola angin yang umum terjadi pada bulan Desember. Dari analisis menggunakan indeks hujan didapatkan bahwa kebanyakan hujan yang berpeluang terjadi selama penelitian terjadi di upwind (Jakarta) dengan kriteria sedang
Tabel 1. Curah Hujan di Daerah Penelitian Tanggal
17
18
19
20
21
R (mm)
1
0
7
5
0
Tanggal
22
23
24
25
26
R (mm)
15
41
12.5
10
11
Tabel 2. Hasil Analisis IH dan Upper air Hari
Kriteria Hujan (*)
Kecep. knots
Arah (derajat)
17 12 08 00z
R
1-17
250-290
17 12 08 12z
R
4-14
150-270
18 12 08 00z
R
2-17
245-270
18 12 08 12z
R
3-14
275-310
19 12 08 00z
S
2-16
250-290
19 12 08 12z
R
4-14
240-300
20 12 08 00z
S
4-14
250-310
20 12 08 12z
S
4-16
280-330
21 12 08 00z
R
4-12
290-320
21 12 08 12z
R
4-10
275-350
22 12 08 00z
S
2-19
295-330
22 12 08 12z
R
2-19
290-330
23 12 08 00z
R/TH
7-25
275-305
23 12 08 12z
R
0-17
015-340
24 12 08 00z
R
0-19
260-305
24 12 08 12z
R/TH
5-17
265-280
25 12 08 00z
R/TH
4-21
240-285
25 12 08 12z
R
6-17
220-280
26 12 08 00z
R/TH
6-23
235-290
26 12 08 12z
R/TH
5-25
230-280
*) dianalisis menggunakan IH (IH = 0.0-0.6), ringan hingga tidak hujan (IH =< 0), yang berarti berasal dari awan tinggi (stratus). Namun demikian karena flow bergerak dari Jakarta, pada daerah penelitian masih berpeluang terjadi hujan orografik dengan mekanisme seeder-feeder (Gambar 3-g) yang terdistribuasi merata di daerah dengan topografi berbentuk cekung (”concave”), yaitu di daerah Bogor (B) dan Puncak (P).
Mempelajari Karakter Flow...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 73 - 82
79
Dari hasil perhitungan Froude number untuk flow yang mengalir di atas Citeko dan sekitarnya ternyata tidak ada flow yang mampu melewati barir tertinggi dengan elevasi 2000m yang merupakan elevasi tertinggi pada sistem orografik JBP, Namun demikian untuk daerah dengan ketinggian sekitar 600-700m ( daerah Bogor, Citeko, dan daerah lain di atas Citeko, bilangan Froude ada yang mencapai nilai 0.9 – 1.2, yaitu tanggal 22 hingga tanggal 26 Desember 2008. Dengan melakukan stratifikasi curah hujan menjadi dua strata yaitu > 10 mm dan < 10 mm, maka terlihat bahwa kelompok hari dengan curah hujan > 10mm berasosiasi dengan Fr yang juga besar pula (0.70 – 0.92). Sebaliknya hari dengan curah hujan kecil berasosiasi dengan karakter Fr yang kecil (0.24 – 0.31), seperti ditampilkan pada Tabel 3. Hal ini menunjukkan bahwa karakter flow yang datang dari upwind (daerah Jakarta) selama kegiatan penelitian hanya mampu naik pada sistem orografi JPG hingga sampai pada elevasi 700 m saja, atau dengan kata lain karakter flow yang datang tidak memiliki tenaga yang cukup untuk naik ke level yang lebih tinggi dari 700 m, seolah ditahan (blocked) oleh sistem orografi JBP. Dengan karakter seperti ini curah hujan selama penelitian tersebar merata pada daerah blocking di atas daerah Bogor (B) hingga daerah-daerah yang memiliki elevasi sekitar 700m ke bawah. Dari rencana sampling air hujan pada hari dilepaskannya tracer yaitu tanggal 17 Desember 2008 s.d. tanggal 26 Desember 2008, terdapat dua hari di mana flare AgI tidak di bakar, yaitu tanggal 17 dan 24 Desember 2008, berarti pula dua hari tersebut menggambarkan keadaan latarbelakang (background) kandungan perak dalam air hujan. Menurut Rao(8), kandungan perak dalam precipitasi sangat kecil yaitu 2 ppt, sedangkan menurut Anonim(9) besarnya kandungan perak adalah 0.1 mg/l. Hasil analisis kandungan perak dalam air hujan yang turun pada tanggal 24 Desember 2008 menunjukkan bahwa air hujan mengandung konsentrasi perak < 0.09 mg/l. 80
Tabel 3. Relasi antara Curah Hujan dengan Fr Rataan Hujan
Rataan Fr (H = 2000m)
Rataan Fr (H = 700m)
0-10 mm
0.24
0.70
> 10 mm
0.31
0.92
Hasil analisis kandungan perak pada hari di mana tracer dilepas (tanggal 18, 19, 20, 21,22,23, 25 dan tanggal 26 Desember 2008 menunjukkan bahwa kandungan perak dalam air hujan juga < 0.09 mg/l. Jadi disini tidak terlihat adanya penambahan kandungan perak secara signifikan ketika tracer dilepas dibandingkan dengan keadaan ”background” ketika tracer tidak dilepas. Seharusnya kandungan perak dalam air hujan pada hari ketika dilepaskan tracer jauh lebih besar dibandingkan dengan kandungan perak pada ”background” yang menunjukkan targeting yang tepat10) . Hal ini terjadi karena karakter flow yang datang dari upwind tidak mampu membawa tracer ke lapisan lebih tinggi. Flow yang datang di block oleh barir pada sistem orografi, sehingga flow yang datang tidak mampu berfungsi sebagai sarana transport untuk membawa tracer ke lapisan lebih tinggi. Faktor penentu yang sangat penting adalah kecepatan aliran flow, sebagai mana tergambar pada relasi antara Froude number dengan kecepatan angin (U) yang berbanding terbalik dengan ketinggian tempat (H). Dari kedua parameter penentu ini, pada elevasi tertentu hanya kecepatan angin yang bisa berubah, menentukan apakah nilai Fr akan besar atau kecil. Karakter flow dengan kecepatan angin rendah hanya menghasilkan nilai Fr yang kecil. Melalui simulasi karakter flow, diketahui bahwa puncak tertinggi pada sistem orografi JBP yang memiliki elevasi 2000m, dapat dilalui tanpa blocking apabila kecepatan flow mencapai 25 m/detik atau sekitar 48 knot. Ini hampir tidak mungkin dicapai mengingat hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan kecepatan angin permukaan hingga 2000 m berada pada kisaran 2 – 25 knot saja (Tabel 1).
Untung Haryanto, dkk. 2009
Pengamatan defsisit titik embun menunjukkan bahwa nilai deficit bervariasi antara 0.9 – 4 oC. Dengan menggunakan relasi TLCL = 125 * (Defisit tititk embun) 11) maka dasar awan di lokasi adalah sekitar 100 – 500 m. Hal ini berarti bahwa bila bahan semai dilepaskan dari menara GBG, partikel ini masih menempuh perjalanan yang jauh ke atas sebelum masuk ke dasar awan orografik. Dasar awan konvektif secara umum jauh lebih tinggi dari dasar awan orografik, sehingga upaya memasukkan bahan semai ke dasar awan konvektif dari atas menara mengalami kesulitan yang lebih besar. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Flow pada daerah penelitian berasal dari Jakarta (0-50 m dpl), bergerak ke arah tenggara hingga selatan dengan arah 245 – 300 derajat menuju Bogor dan Puncak (500 – 2000m dpl). Karena melewati daerah yang makin tinggi elevasinya maka flow dipaksa mengikuti kontur topografi. Karakter flow dipelajari dengan Froude Number. Didapatkan bahwa flow di atas sistem orografik Jakarta_Bogor_Puncak memiliki karakter tipikal kecepatan 4.6 – 11.4 m/det. Pada pagi hingga menjelang sore, flow bergerak dengan kecepatan 6.1 – 11.4 m/det, sedangkan pada sore hingga dini hari 4.6 - 9.9 m/det. Dengan kecepatan sebesar ini, flow memiliki energi kinetik yang kecil, sehingga di bloking oleh barir di daerah yang memiliki ketinggian 700m, dan tidak bisa bergerak menuju lapisan lebih tinggi. Flow bisa mencapai barir tertinggi sistem orografik ini hanya bila datang dengan kecepatan 25 m/detik, suatu kecepatan angin yang tidak umum disini. Hasil estimasi tinggi dasar awan berdasarkan defisit titik embun menunjukkan bahwa dasar awan di daerah penelitian bervariasi 125 – 600m dari tanah. Konsentrasi sebaran tracer tidak menunjukkan keunikan, konsentrasi pada bacground, dan hari dimana tracer dilepaskan tidak menunjukkan nilai yang berbeda, yaitu < 0.09 mg/l.
Karakter flow di daerah penelitian di Citeko dan sekitarnya tidak dapat diandalkan sebagai transportasi bahan semai untuk naik lebih tinggi lagi, karena tenaga kinteik flow yang kecil. Sifat bahan semai yang higroskopik dan mudah bertambah besar pada lingkungan lembab menambah kesilitan naiknya bahan semai. 4.2.
Saran
Transportasi bahan semai tidak dapat mengandal kan flow yang bergerak sekitar daerah Citeko dan sekitarnya, sehingga diperlukan metode transportasi bahan semai yang lain, yang tidak mengandalkan flow, misalnya bahan semai yang dimasukkan dalam roket. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
http://cloudseeding.dri.edu/ Research/ snow-enhance ment _session1. ppt / 10 Februari 2009 / Concepts. Evidence of Effects and New Evaluation Techniques. Roe, G. H., 2005: Orographic precipitation. J. Annu. Rev. Earth Planet. Sci. (33): 645–671. Gunawan, B. 1988. Daya Dukung Sungai Ciliwung Terhadap Lingkungan. Simposium Sehari Gerakan Ciliwung Bersih., Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan UI. Jakarta. 1988. 86pp http://weather.uwyo.edu/upperair/ sounding.html/ University of Wyoming College of Engeenering Departement of Atmospheric Science / 5 – 10 Februari 2009 /Radiosonde Data U. Haryanto, 2008. Aktifitas Koalesensi di Atas Jakarta. Dikirimkan ke Jurnal Science dan Teknologi Modifikasi Cuaca Desember 2008. Shu, H.C. and Y.L. Lin. 2005. Effects of Moist Froude Number and CAPE on a Conditionally Unstable Flow over a Mesoscale Mountain Ridge. J. of Atm. Sci. (62):331-350
Mempelajari Karakter Flow...J. Tek. Ling.Edisi Khusus: 73 - 82
81
7.
8.
9.
82
Chang, M.C. and Y.L. Lin. 2000. Effects of Orography on The Generation and Propagation of Mesoscale Convective S y s t e m o a Tw o - D i m e n s i o n a l Conditionally Unstable Flow. J.of Atm. Sci. (57) :3817-3837 http://www.geocities.com/ prof_ shivajirao/cloudseedingeffective.html /20 Juni 2008 / Cloud Seeding By Farmers With Ground Generators http://www.penataanruan.net/taru/ nspm /22 /Bab3 .pdf /5 Februari 2009/Bab III./ 1 Februari 2009 / Permasalahan Degradasi Lingkungan Hidup Perkotaan.
1 0 . h t t p : / / w w w. n a i w m c . o r g / 4 d c g i / GetContentPDF/PB-896/ Research_ snowfall_augmentation_NAIWMC2. pdf/ 6 Nopember 2007 / Summary of Studies that Document the Effectiveness of Cloud Seeding for Snowfall Augmentation/ 11. Wiesner C.J. 1970. Hydrometeorology. The meteorological elements – Temperature. Chapmann and Hall LTD. 232pp.
Untung Haryanto, dkk. 2009