Memori by Windry Ramadhina
Saya adalah penggemar Windry sejak sama-sama menulis di komunitas Kemudian. Bagi saya, tulisan Windry lugas dan no-nonsense, tanpa basa-basi dan apa adanya. Hampir tidak ada bagian yang bertele-tele, penjelasan berlebihan, dan dialog yang tidak masuk akal. Saya mengagumi itu dari Windry. Setelah sekian lama vakum, Memori terbit. Saya sempat membaca sedikit petikan babnya di blog Windry, namun belum benar-benar menyukai dan mengenal Mahoni, sang karakter utama. Kemudian saya pun mulai membaca dari awal, yakin bahwa buku ini pasti akan saya sukai. Dan saya tidak salah. Kelebihan buku ini terletak pada tokoh-tokohnya, dan dialognya. Konfliknya tidak cukup kuat untuk menjatuhkan buku ini pada kategori romance, tapi dengan mudah, bagi saya, untuk melabelinya sebagai general fiction, ala fiksi Barat yang menitikberatkan plot pada self discovery dan keluarga. Membacanya pun sama seperti membaca terjemahan fiksi Barat, dan saya menyukai penggunaan bahasa baku dalam narasi juga dalam dialog Mahoni, tanpa penggunaan percakapan berbahasa Inggris sama-sekali kendati kebanyakan karakternya pernah tinggal di luar negeri. Saya juga menghargai bagaimana karakter Sigi yang remaja menggunakan lo-gue sebagaimana layaknya remaja pada umumnya, dan tidak menyamakannya dengan cara bicara Mahoni. Windry pernah menyinggung bahwa menulis dengan POV orang pertama adalah sebuah tantangan tersendiri. Dalam buku ini, sama-sekali tidak terlihat demikian. Dengan luwes, Windry menguasai karakter Mahoni, yang awalnya terasa menyebalkan dan egois bagi saya, tapi kemudian dengan indah menjelmakan karakter yang flawed ini agar berkembang menjadi seseorang yang dapat menerima masa lalunya sendiri dan menjadi orang yang lebih baik. Dari segi plot, begitu membaca beberapa bab awal, saya langsung penasaran dengan ceritanya dan tak sabar ingin terus membaca. Dari segi setting, dengan jelas terlihat bagaimana Windry menguasai bidangnya. Ini adalah salah satu novel berlatar arsitektur yang terbaik, dari apa yang pernah saya baca. Windry mendeskripsikan segala sesuatu seperti seorang pro, membuat para pembaca yang walaupun bukan arsitek atau desainer interior dapat dengan mudah membayangkannya. Dan ketika Windry (dalam suara Mahoni) memberitahu saya bahwa Romance
sesuatu seperti seorang pro, membuat para pembaca yang walaupun bukan arsitek atau desainer interior dapat dengan mudah membayangkannya. Dan ketika Windry (dalam suara Mahoni) memberitahu saya bahwa Romance Home atau Folkloric sangat cantik, saya begitu saja mempercayainya. That's the power of this book. Dari segi karakter, Windry berhasil menciptakan satu sosok yang tidak sempurna, namun dapat menarik empati pembaca. Kita mengenal Mahoni dan mengetahui ada sisi-sisi dalam dirinya yang ada dalam diri kita sendiri- rasa kesepian itu, ketakutannya, impiannya, keraguannya. Karakter favorit saya adalah Sigi, yang dewasa dalam caranya sendiri. Juga Mae, dan Sofia, yang bukan merupakan karakter stereotipe novel yang mulai repetitif digunakan. Wind, you inspire me to write again :) congratulations for this beautiful comeback.|Saya tidak salah. Selama ini saya membaca karya penulis yang, meskipun memang amat rapi juga mengandung diksi yang cantik, ada saja sesuatu yang masih saya cari. Dan, di buku ini, saya menemukannya. Ada sesuatu yang mengalir, mentah, dan mengundang di Memori ini. Itu yang membuat saya betah membacanya. Selain kemasannya--desain sampul, judul, tagline dan blurb--jadi yang paling saya suka dari buku beliau yang lain, ia juga mematahkan asumsi saya, bahwa penulis senang melibatkan hal yang populer dalam novelnya. Jamie Oliver. Woody Allen. Charles Dickens. Di sini, saya langsung dikenalkan dengan O. Gehry dan Rem Koolhaas, setelah selama ini saya cuma tahu Frank Lloyd Wright dan Ridwan Kamil (meskipun nama yang terakhir memang disebut). Ini segar untuk saya. Untuk masalah detail emosi, saya yakin ini jagonya. Lalu, tema yang diambil betul-betul berpusat pada keluarga, bukan menjadi sampingan yang mendukung kisah cinta tokohnya. Tidak ada klimaks a la sudden clarity Clarence, bahasa yang penuh kebakuan bahkan pada dialog, tulang plot yang kuat, atau teknik mumpuni seperti di London, Montase, atau Walking After You. Tapi justru di situlah yang membuat nyaman. Serasa diajak mengunjungi rumah kayu di tengah kebun lavendel dan minum segelas teh bunga di sana. Hati, ya, itu. Saya menemukan hati di sini. Dan ia membuat pembacanya merasa hangat setelah menutup buku. Untuk yang berkata bahwa ini adalah buku terbaik penulis, saya setuju sekali. Tanpa mengurangi rasa kagum dan kualitas dari karyanya yang lain, saya menanti beliau menulis seperti ini lagi. This book is effortlessly beautiful.|Saya ingat sekali, pertama kali kenal dengan karya Windry Ramadhina ketika saya sedang liburan di Jogja dan seperti biasa, saya suka mengunjungi toko buku di sana, salah satunya Toga Mas, siapa tahu mendapatkan buku yang tidak ada di kota Solo yang seringnya tidak lengkap. Saya lupa tepatnya tahun berapa, yang jelas waktu itu saya iseng mencomot buku Orange, di mana mungkin sedikit buku terbitan Gagas yang masih bersisa di toko buku yang selalu diskon itu. Kadang saya memilih buku untuk dibawa pulang seperti itu, saya baca sinopsisnya dan kalau sepertinya menarik saya akan beli, tanpa melihat itu buku bestseller atau siapa penulisnya, apakah baru atau sudah menelurkan karya berpuluhan, hanya bermodalkan asal ambil. Dan tidak jarang, dengan metode asal ambil itu saya malah merasa berjodoh. Untuk buku keduanya Metropolis saya agak telat menyadari kalau sudah ada buku terbaru karya Windry. Seperti yang saya bilang tadi, toko buku di kota saya kurang update. Kali ini saya lupa kapan dan di mana mendapatkan buku Metropolis, yang saya ingat ketika melihat pertama kali tidak perlu ragu saya langsung membawanya ke kasir. Setelah itu, saya tidak menemui buku karya Windry Ramadhina lagi. Beberapa bulan yang lalu, saya iseng mengunjungi blognya, karena kangen akan tulisannya, dan seperti mendapat kejutan yang membahagiakan, akan ada DUA novel terbaru yang berjudul Home dan Sakura Haru, yang tidak
Beberapa bulan yang lalu, saya iseng mengunjungi blognya, karena kangen akan tulisannya, dan seperti mendapat kejutan yang membahagiakan, akan ada DUA novel terbaru yang berjudul Home dan Sakura Haru, yang tidak lama lagi akan terbit. Dan setelah mengulik habis blognya, banyak cerpen yang mengobati rasa kangen saya akan tulisan Windry, dan tahu alasan kenapa dia sempat vakum, ada Balerina yang mewarnai hidupnya dan menguras waktunya. Saya menunggu dengan sabar dan tibalah saatnya untuk menikmati karya Windry lagi. Novel terbarunya bukan berjudul Home tapi oleh pihak penerbit diganti dengan Memori. Tidak masalah, kedua judul tersebut terasa sama saja. Buku ini juga tidak langsung saya dapat. Waktu tahu kalau sudah beredar saya mendatangi toko buku terbesar di kota Solo dan hasilnya nihil, buku tersebut tidak ada di rak new realese, saya konfirmasi ke penerbitnya dan katanya baru dalam tahap distribusi, saya pulang dengan membawa buku lain :p. Minggu berikutnya saya titip saja ke kakak yang stay di Solo (saya sudah tidak lagi ada di Solo, hanya sebulan sekali atau kalau ada kepentingan saja, saya kerja di kota kecil yang tidak ada toko bukunya T.T) dan akhirnya dapat! yeay. Tidak membutuhkan waktu lama, dalam semalam saya membabat habis buku ini. Kenapa malah curhat? hehehe, karena judulnya Memori, saya jadi terkenang ketika pertama kali berkenalan dengan karya Windry, memorable sekali karena sejak buku pertama saya sudah sangat menyukai tulisannya. Ok, saya akan langsung ke cerita buku ini ya. Mahoni, seorang arsitek yang sukses di Virginia, seorang yang terobsesi dengan Frank O. Gehry, dia sangat berpegang teguh pada prinsipnya, tidak jarang dia menolak order kliennya karena selera meraka tidak sesuai harapan Mahoni, dia pekerja seni, dia tidak mendesain sesuai pesanan, dia juga sedikit keras kepala, terlebih kepada masa lalunya. Seumur hidup, aku tidak pernah dan tidak akan mau meniru, termasuk membuat rancangan berdasarkan contoh tertentu. Desain-desainku ini sangat spesifik. Aku berkreasi untuk jiwa, menciptakan sesuatu yang indah, yang mampu menggerakkan perasaan orang lain. Ada masa lalu yang ingin Mahoni simpan rapat-rapat, yang membuat dia tidak ingin kembali ke rumah. Tapi, ada kalanya kenangan yang terkubur itu akan bangkit, meminta penyelesaian. Telepon dari Om Ranu adalah jawabannya, mau tidak mau Mahoni harus pulang ke Jakarta. Mahoni tidak berencana lama tinggal di Jakarta, hanya dua hari, setelah mendatangi pemakaman Papanya (yang dia lewatkan) dia akan langsung pulang. Kemarahan, kebencian akan kedua orang tuanya muncul kembali. Rencana yang hanya dua hari tinggal di Jakarta berubah menjadi dua bulan, Mahoni harus menjadi wali Sigi, adik tirinya, anak dari Papa dan Grace yang masih dibawah umur dan masih sekolah, anak dari perempuan yang sudah mengambil Papa darinya dan dari Mae. Tapi Mahoni tidak bisa berkata-kata lagi ketika Om Rahu berkata, "Demi Papamu, Mahoni." Sambil memikirkan langkah apa yang akan dia ambil untuk kedepannya terhadap Sigi yang tidak dia pedulikan, Mahoni pergi ke mal untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinyanya yang sebelumnya tentu tidak direncanakannya. Di sana dia melihat sebuah restoran yang didesain sangat indah, khas art nouveau gaya desain warisan Prancis abad kesembilan belas yang banyak meniru bentuk-bentuk alam, karena sangat penasaran akan siapa pendisainnya tanpa malu Mahoni bertanya ke kasir dan dengan baiknya dia menunjukkan sketsa restoran. Gambar itu, sketsa pradesain restoran dalam guratan tanpa putus yang spontan, dibuat di atas selembar kertas putih kekuningan menggunakan pensil warna tanah liat. Itu konte sanguine, aku kenal betul. Warna coklatnya yang kemerahan teramat khas, tidak ada pensil lain yang memiliki warna serupa. Dan, gaya sketsa yang luar biasa intuitif itu menginggatk aku kepada seseorang, seseorang yang selalu menggambar dengan konte sanguine. Mahoni mendapati inisial sM di sudut kanan bawah, yang hampir tertutup pigura. Simon Marganda. Masa lalu Mahoni yang lain. Sukaaaaaa banget sama novel ini, kurang puas ah tulis ulang SUKA BANGET, PUAS BANGET. Salah satu buku yang nggak akan pernah bosan saya baca! Bayangkan, setelah menamatkan dalam semalam saya langsung ingin membaca ulang, lagi! Perasaan saya campur aduk, antara sebel dengan sifat Mahoni, gemes dengan Simon, dan sangat suka dengan karakter Sigi. Buku ini bener-bener lengkap, kangen akan masa lalu bersama Papa dan Simon, cemburunya dengan Sigi dan Sofia, kesedihannya akan kehilangan Papanya yang tidak ingin Mahoni tunjukkan, rasa sayang yang tidak akan pernah hilang untuk Simon, semua rasa ada di sini.
Mahoni dengan Papanya. Rasa kecewa yang amat besar terhadap Papanya membuat Mahoni membenci Sigi, dia cemburu karena Sigi lebih banyak mendapatkan kasih sayang Papanya, Sigi lebih banyak meluangkan waktu bersama Papanya, cemburu karena Papanya memberi nama Sigi yang berarti kayu damar, kayu yang sangat kuat, tidak rusak, tidak lapuk karena perubahan cuaca. Aku langsung tahu. Damar adalah kayu kesukaan Papa- bukan jati, nyatoh, atau sungkai- bukan pula Mahoni. Sewaktu membacanya, kita bisa merasakan besarnya rasa benci Mahoni terhadap Papanya sekaligus besarnya rasa kangen yang enggan dia ungkapkan. Mahoni dengan Simon. Masa lalu mereka seperti selulit, menganggu dan tidak mau hilang. Kenangan-kenangan sewaktu kuliah yang manis dulu selalu membayangi kehidupan mereka. Selalu berdebat siapa yang lebih baik antara Frank O. Gehry atau Rem Koolhaas. Satu menyukai cokelat Godiva seharga 5 dollar, satunya lagi menyukai kopi Gayo. Sekarang Simon mempunyai Sofia, gadis cantik yang amat sangat memuja Simon. Mahoni takut untuk memulai lagi hubungan dengan Simon, dia tidak ingin seperti Grace, tidak ingin Sofia seperti Mae. "Menurutmu, apa yang kita lakukan ini benar?" Aku menatap mata Simon. Lelaki itu membalas seraya membelai rambutku. "Entahlah. yang kutahu, aku menginginkanmu," katanya. Simon, cowok jenius, tidak pernah masuk kuliah tapi selalu mendapatkan nilai A, selalu memakai kaos buluk dan celana jeans pudar, sinis dan tidak jarang berkomentar pedas jika melakukan kesalahan, tidak mudah puas dan luar biasa kritis terhadap karya baik orang lain ataupun miliknya. Oh, saya jatuh cinta pada Simon. Mahoni dengan Sigi. Bagian mereka benar-benar membuat mata saya berkaca-kaca. Bagian yang sangat emosional sekali. Awalnya Mahoni sangat cuek terhadap Sigi, tidak mau memanggil adik dan tidak peduli. Perlahan, hubungan mereka berubah, bermula dari keterpaksaan menjadi walinya Mahoni sedikit demi sedikit dapat menerima Sigi. Manis sekali hubungan mereka, setelah melihat Sigi pingsan karena beberapa hari tidak makan, Mahoni terpaksa memasak setiap hari, Sigi membalasnya dengan membuat teh pahit, nasi goreng yang keasinan, menunjukkan rute ke Indomaret. Dan bagian yang paling nyesek adalah ketika Sigi menjemput Mahoni di stasiun ketika sedang hujan deras, tapi Mahoni tidak tahu dan membiarkan Sigi menunggu kehujanan membawa dua payung. Mereka jarang berbicara, tapi saling memahami. Jika kuingat-ingat kembali, seperti itu pula di sepanjang jalan ke Indomaret tadi. Aku berjalan tiga meter di belakangnya dan mengatur kecepatan langkahku sedemikian rupa agar jarak diantara kami tetap terjaga. Jika dia mempercepat gerak, aku tidak bergegas mengejarnya. Jika dia melambat, aku melangkah lebih pelan. Ya. Demi Mae, jarak itu harus tetap ada. Sigi, dia memahami perasaan Mahoni, memahami kenapa dia tidak menyukainya. Dia jauh lebih dewasa daripada Mahoni. Mereka saling membutuhkan. Oh, saya juga jatuh cinta padanya. Drama keluarga yang benar-benar menguras emosi dan sangat berbau rumah. Jangan mengharapkan kata-kata romantis atau indah, saya tidak banyak menemukannya (kecuali waktu Simon merasakan sisa Godiva di mulut Mahoni :p). Yang saya temukan adalah diskripsi yang mengalir lancar, tidak basa basi, dan diaolg-dialognya keren, apalagi bagian Simon, sinis dan to jleb point. Terlebih bagaimana penulis menggambarkan 'ruang' di buku ini, kelihatan kalau dia sangat menguasai profesinya. Typo masih ada sedikit. Jujur saya kurang suka sama covernya, berasa jadul sekali, hehehe. Mungkin kalau dilihat dari maknanya sesuai dengan buku ini, tapi kok saya jadi teringat pada foto pernikahan jaman dulu yang berlatar piring XDD. Membaca buku ini menambah pengetahuan saya akan dunia arsitek, tahu tentang kayu, pelitur, rumah bertipe romantic home, mediteran, posmo dan folkloric. Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja yang merindukan rumah. 5 sayap untuk konte sanguine. http://kubikelromance.blogspot.com/20... @peri_hutan|CAN'T PUT IT DOWN! *_* This novel is written by a very talented author to the core :'D. First line-nya saja sudah berhasil menghipnotis saya, dan setiap kali ada jeda, saya selalu menyempatkan untuk membacanya (saat perjalanan pulang, di ruang tunggu dokter, sebelum film dimulai di bioskop, sebelum tidur, dsb). Saya menyelesaikan novel ini dalam waktu kira-kira seminggu, berusaha fokus pada setiap kata dan kalimatnya, karena sayang sekali bila ada satu saja yang terlewat.
menyelesaikan novel ini dalam waktu kira-kira seminggu, berusaha fokus pada setiap kata dan kalimatnya, karena sayang sekali bila ada satu saja yang terlewat. Ok...mulai dari manakah? Feel, feel, feel, penguasaan materi, karakter, pilihan kata, kemampuan untuk membuat pembaca berempati...bagi saya elemen-elemen inilah yang paling penting dalam sebuah novel, dan dalam Memori, semuanya ditulis Windry dengan indah. Berkali-kali saya dibuat tercengang dan membatin, "Keren...keren..." Kecanggungan, ketertarikan, cinta, persaudaraan, digambarkan dengan porsi yang tepat, tanpa berlebih. Ibarat makanan atau minuman yang diracik dengan pas (ok, saya selalu membandingkan apapun dengan makanan... xD) What else? Karakternya sangat kuat- Mahoni yang tough tapi rapuh pada saat bersamaan, Simon yang bikin saya fall in love, Sofia yang cantik, Sigi yang manis...well, overall, sangat realistis. Lalu metafora-metafora yang tak banyak ditemukan di karya lain, yang mampu membuat panca indera saya bereaksi... Every description of architecture, homes, woods, chocolate (ok...food again xD), imaginary rabbit... Every single detail in this book makes me too... *speechless* Planting dan harvestingnya pun sangat rapi, setiap bab membahas hal-hal sederhana yang terkait dengan para tokoh, untuk kemudian disimpulkan di klimaksnya. Well, to put it simple, Windry berhasil menjabarkan setiap potongan puzzle cerita, dan menyatukannya dengan cara yang, sekali lagi, sangat alami. Saya sempat takut menemukan 'kelengahan' atau plot holes, tapi ternyata tidak saya temukan, which is very relieving :D Yah, pokoknya suka banget sama novel yang satu ini...! Thanks Mba Windry, a lovely treasure I've found (finally!) in the bookstore :D -------------------"Aku ingin percaya bahwa kami memang pernah memiliki sesuatu, bahwa perasaannya padaku sungguh-sungguh. Dengan begitu, yang akan tersisa nanti untukku adalah kenangan manis." -Sofia-|** spoiler alert ** I. Rumah, Detail, dan Dunia Arsitektur Berbeda dengan dua novel Windry sebelumnya, Orange dan Metropolis, di Memori, Windry menulis deskripsi dengan begitu detail. Di Orange dan Metropolis juga, tapi di Memori, jauh lebih detail lagi. Mengapa saya membahas Memori dengan membawa-bawa Orange dan Metropolis? Tidak ada alasan khusus sih, mungkin saya ingin menunjukkan kepada yang membaca tulisan ini bahwa, kalian juga harus membaca dua novel Windry yang lain. Oke, lanjut. Di Memori, Windry menggambarkan rumah beserta perangkat-perangkatnya mulai dari bagian paling luas hingga benda-benda kecil yang ada di dalamnya. Begitu rinci, seperti yang ia tulis pada paragraf awal novel ini (Bab ‘Sepatu Satir di Anak Tangga’) Beberapa arsitek menamainya Romantic Home. Ada perapian kecil di ruang duduk, juga jendela besar berlatar taman melati yang wangi. Di sebelah ruang makan yang simpel, dapur tampil apa adanya: memperlihatkan stoples pasta, sekeranjang tomat, dan cangkir-cangkir yang tidak seragam. Kamar tidur berisi benda-benda kesukaan yang diletakkan sesuka hati. Kamar mandi bernuansa masa lalu dengan bath-tub berpinggiran bulat dan vas model kuno. Ruangan-ruangan diberi warna es krim yang sejuk: vanila, rum. mint, madu- dilengkapi mebel sederhana, tirai tipis tembus cahaya, dua atau tiga tangkai krisan segar dalam gelas, sepatu satin di anak tangga, serta tentu saja corak bunga karena tidak ada yang lebih romantis dari kain bunga-bunga di kamar tidur. Atau paragraf ini (Bab ‘Ketukan Palu dan Aroma Pelitur’). Gaya interior Omah Sendok merupakan campuran Indis-Jawa dengan warna putih susu dan cokelat kopi mendominasi setiap ruangan. Dinding-dinding dilapis panel kayu yang dicat duco dan dihiasi sejumlah lukisan
Gaya interior Omah Sendok merupakan campuran Indis-Jawa dengan warna putih susu dan cokelat kopi mendominasi setiap ruangan. Dinding-dinding dilapis panel kayu yang dicat duco dan dihiasi sejumlah lukisan kanvas berpigura klasik. Lantai berselimut parquet dan karpet. Jendela-jendela diberi tirai brokat. Ruang makan diisi dengan mebel Jawa. Lalu, berbagai macam vas dan piring hias berbahan porselen mempercantik sudut-sudut ruangan. Ini bukan pekerjaan Simon, aku tahu persis. Brokat dan corak bunga-bunga terlalu manis untuk lelaki itu. Saya tahu, karena Windry hendak bercerita tentang rumah, secara kiasan maupun harfiah, mau tidak mau memang dia harus membuat gambaran rumah (dan bangunan-bangunan lain) dengan detail, eksterior dan interior (jika membahas rumah secara harfiah). Tapi tetap saja deskripsi Windry menjadi salah satu bagian yang asyik diikuti. Deskripsinya yang sangat detail membuat saya membayangkan bentuk bangunan tersebut, isinya, suasananya, auranya. Windry membawa dunia arsitektur ke dalam Memori, walau tidak dalam porsi yang sangat besar karena memang bukan inti cerita. Tapi cukup untuk membuat saya penasaran dan tertarik dengan dunia rancang-merancang bangunan tersebut. Sambil membaca Memori, saya sampai googling apa itu ‘Guggenheim’, siapa itu ‘Frank O. Gehry’, bagaimana itu bentuk rumah folkloric, posmo- dan lain-lain. Windry memasukkan unsur arsitektur itu dengan baik, tentu saja, karena ia sendiri adalah seorang arsitek. Bagi seorang penulis, saya rasa itu adalah salah satu keberhasilan, ketika pembaca bukunya tertarik dengan halhal yang ia tulis, dan mencari sendiri lebih jauh tentang hal tersebut.
II. Hubungan Keluarga Isu keluarga yang diangkat Windry di dalam Memori tergambarkan dengan baik. Orang tua yang berpisah karena orang ke-tiga, ikatan anak-ayah dan anak-ibu yang menjadi renggang karena peristiwa tersebut, hingga hubungan tokoh utama, Mahoni, dengan Sigi, adik tirinya yang berasal dari hubungan ayahnya dengan Grace, ‘orang ke-tiga’ yang menghancurkan keluarga Mahoni. Windry menggambarkan dengan sangat baik hubungan ‘dingin’ Mahoni dengan Sigi. Bagaimana Mahoni begitu membenci Sigi hingga tidak menganggapnya sebagai adik sendiri. Dan bagaimana Sigi merespons sikap Mahoni dengan kelakuan dingin yang serupa. Tapi bagaimana pun, Sigi tetaplah adik Mahoni, dan perlahan Mahoni mulai menyadarinya. Hubungan yang dingin dan kaku antara Mahoni dan Sigi pelan-pelan mencair dan menghangat. Namun proses itu tidak berlangsung singkat, kedinginan dan kekakuan Mahoni dengan Sigi berlangsung hingga berbab-bab dalam Memori, dan inilah satu bagian yang membuat isu keluarga di Memori menjadi semakin terasa. Dan, Windry menuliskan perubahan emosi itu dengan sangat lancar dan halus, melalui adegan demi adegan, permasalahan demi permasalahan. Tidak terburu-buru, tidak juga berlama-lama. Saya sempat terlepas saat Mahoni mulai bertemu dengan Simon, kisah cinta mulai mendominasi cerita dan Windry seakan mengesampingkan isu ‘rumah’ dan keluarga yang ia bangun dari awal. Tapi tidak begitu menjadi masalah karena setelah adegan-adegan cinta Mahoni dengan Simon, Windry kembali membawa Mahoni ke rumah, dan ke Sigi. Karena sejujurnya, saya lebih tertarik melihat kisah antara Mahoni dan Sigi ketimbang konflik cinta Mahoni dan Simon (mengingat kembali isu utama yang diangkat di dalam novel Memori ini, yaitu rumah dan keluarga).
III. Tokoh-tokoh yang Menarik Ini tidak semata-mata tentang Memori, tapi juga dua novel Windry yang sebelumnya, Orange dan Metropolis. Setelah membaca tiga novel Windry, saya mengambil kesimpulan, bahwa kekuatan terbesar Windry dalam
Ini tidak semata-mata tentang Memori, tapi juga dua novel Windry yang sebelumnya, Orange dan Metropolis. Setelah membaca tiga novel Windry, saya mengambil kesimpulan, bahwa kekuatan terbesar Windry dalam menulis terletak pada tokoh-tokoh yang ia buat. Tokoh-tokoh Windry memiliki karakter yang sangat khas dan kuat. Simon Marganda, arsitek yang merebut hati Mahoni dalam Memori, memiliki perawakan yang khas: laki-laki jenius dan perfeksionis, namun dengan penampilan yang urakan (digambarkan Windry dengan jeans bolong, dan jenggot yang tidak terurus) dan sikap yang tidak menyenangkan- jutek dan sinis. Mahoni, tokoh utama dalam Memori, seorang arsitek perempuan yang tidak kalah juteknya dengan Simon. Karakter-karakter jutek ini membuat saya tertarik dan penasaran dengan interaksi di antara mereka. Juga tokoh-tokoh lain di dalam Memori, Orange, dan Metropolis. Akhirnya, saya membalik halaman terakhir Memori dengan senyum terkembang, seperti yang biasa saya lakukan setiap setelah membaca buku bagus dan menyenangkan. Dan untuk sejenak, saya teringat bahwa saya sedang merantau, jauh dari keluarga, jauh dari orang tua dan adik saya. Jauh dari rumah, tempat cinta yang hangat bermukim dan bermula. ***