4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bangsa-bangsa Sapi Potong Sapi Limousin merupakan sapi tipe potong yang berasal dari prancis. Ciri-ciri dari sapi limousin adalah warna bulu merah coklat, tetapi pada sekeliling mata kaki mulai dari lutut kebawah agak terang. Ukuran tubuh besar, tubuh berbentuk kotak dan panjang, pertumbuhan bagus. Tanduk pada jantan tumbuh keluar dan agak melengkung. Sapi Simmental merupakan sapi yang berasal dari Inggris. Tipe sapi ini merupakan tipe potong. Ciri-ciri sapi simental adalah tubuh berukuran besar, tubuh berbentuk kotak pertumbuhan otot bagus, penimbunan lemak dibawah kulit rendah. Warna bulu pada umumnya krem agak coklat atau sedikit merah, sedangkan muka keempat kaki mulai dari lutut, dan ujung ekor berwarna putih. Ukuran tanduk kecil. Berat sapi betina mencapai 800 kg dan sapi jantan 1150 kg. Sapi Brangus merupakan hasil persilangan antara Brahman dan Aberdeen Angus. Sapi ini merupakan tipe potong, dengan ciri-ciri bulu halus dan pada umumnya berwarna hitam atau merah. Sapi ini juga tidak bertanduk, bergelambir, bertelinga kecil (Sudarmono dan Sugeng, 2008). Sapi Ongole merupakan sapi keturunan Bos Indicus yang berhasil dijinakkan di India. Sapi ongole masuk di Indonesia mulai abad ke 19, dan dikembangkan cukup baik di pulau Sumba, sehingga lebih populer dikenal sebagai sapi Sumba Ongole. Persilangan sapi ongole jantan murni dengan sapi betina Jawa, menghasilkan keturunan yang disebut Sapi peranakan Ongole (PO). Karakteristik Sapi Ongole yaitu punuk yang besar dan kulit longgar dengan banyak lipatan di bawah leher dan perut, telinga panjang serta menggantung, temperamen tenang dengan mata besar, tanduk pendek dan hampir tak terlihat, tanduk sapi betina ongole lebih panjang daripada tanduk pejantannya dan warna bulu putih kusam agak kehitam-hitaman dan warna kulit kuning (Murtidjo, 1990).
4
5
Sapi Brahman semula berkembang di Amerika Serikat (1854-1926). Sapi Brahman mempunyai punuk yang besar diatas bahu depan dan mempunyai kulit longgar serta berlebih pada bagian leher dan gelambir serta berlipat-lipat. Telinga besar dan menggantung. Mempunyai suara yang besar. Warna bulu putih sedang pada yang jantan terdapat warna gelap pada punuk, leher, kepala dan kadang kala pantat serta paha belakang terdapat yang berwarna putih, abu-abu merah (Sugeng, 1998). B. Manajemen Penggemukan Sapi Potong Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam usaha penggemukan sapi potong ada 3, yaitu langkah awal usaha penggemukan, sistem penggemukan, dan lama penggemukan. Syarat yang perlu diperhatikan dalam langkah awal usaha penggemukan sapi potong adalah (1) keseragaman sapi, dalam hal ini menyangkut keseragaman tipe, umur dan besar tubuh; (2) jumlah sapi sesuai dengan jumlah modal, dimana modal ini digunakan untuk menyediakan fasilitas penunjang seperti kemudahan dalam memperoleh pakan, kandang, serta kemampuan peternak dalam pengelolaan dan manajemen; (3) penggunaan bangsa sapi, yang dipilih sebaiknya adalah bangsa sapi yang sudah beradaptasi baik dengan lingkungannya (Reksohadiprodjo, 199). 1. Pemilihan Bibit Sapi Potong Pemilihan ternak sapi disesuaikan dengan tujuan usaha peternakan yang dilaksanakan. Tipe ternak yang akan dipelihara untuk tujuan menghasilkan daging, misalnya dipilih ternak sapi tipe pedaging atau sapi potong. Ciri-ciri sapi tipe pedaging adalah (a) tubuh dalam, besar, berbentuk persegi empat atau balok; (b) kualitas dagingnya maksimum dan mudah dipasarkan; (c) laju pertumbuhannya cepat; (d) cepat mencapai dewasa; (e) efisiensi pakannya tinggi (Santosa, 2003). Keberhasilan penggemukan sapi potong sangat tergantung pada pemilihan bibit yang baik dan kecermatan selama pemeliharaan. Bakalan yang akan digemukkan dengan pemberian pakan tambahan dapat berasal dari sapi lokal yang dipasarkan di pasar hewan atau sapi impor yang belum maksimal pertumbuhannya. Sebaiknya bakalan dipilih dari sapi yang
6
memiliki potensi dapat tumbuh optimal setelah digemukkan. Prioritas utama bakalan sapi yang dipilih yaitu kurus, berusia remaja, dan sepasang gigi serinya telah tanggal (Sarwono dan Arianto, 2006). Sapi yang digemukkan umumnya adalah sapi jantan. Laju pertumbuhan dan penimbunan daging sapi jantan lebih cepat dari sapi betina, terlebih jika sapi jantan tersebut dikebiri. Sapi yang dikebiri proses penimbunan dagingnya cepat, mutu dagingnya lebih baik, empuk, dan lezat. Oleh karena itu, para pengusaha sapi-sapi penggemukan memilih jenis kelamin jantan yang dikebiri sebagai sapi bakalan untuk digemukkan(Sugeng, 1998). 2. Metode Penggemukan Sapi Potong Sistem penggemukan sapi di Indonesia dikenal dengan sistem kereman. Penggemukan sapi sistem kereman ini, sapi yang dipelihara di dalam kandang secara terus menerus dalam periode tertentu. Sapi tersebut diberi makan dan minum di dalam kandang, tidak digembalakan ataupun dipekerjakan (Ngadiyono, 2007). Mengenai lamanya penggemukan, setiap sapi yang dikelola memiliki waktu berbeda-beda dalam proses penggemukannya. Perbedaan waktu penggemukan sapi yang satu dengan yang lain ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : umur, kondisi dan berat badan sapi pada awal penggemukan, jenis kelamin, kualitas bibit, dan kualitas mutu pakan (Sugeng, 1998). Sistem penggemukan terdiri dari tiga macam penggemukan 1) Dry Lot Fattening yaitu pemberian ransum dengan pemberian biji-bijian atau kacang-kacangan, 2) Pasture Fattening yaitu sapi yang diternakan digembalakan dipadang pengembalaan, 3) Kombinasi anatara Dry Lot Fattening dan Pasture Fattening yaitu sistem ini dilakukan dengan pertimbangan musim dan ketersedian pakan. Penggemukan di daerah tropis, pada saat musim produksi hijauan tinggi penggemukan dilakukan dengan Pasture Fattening sedangkan pada saat hijauan berkurang penggemukan dilakukan dengan cara Dry Lot Fattening (Siregar, 2003).
7
C. Manajemen Perkandangan Lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari pemukiman penduduk agar bau dan limbah peternakan tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak kandang dari tempat pemukiman minimal 50 meter. Untuk membangun kandang ternak sapi sebaiknya dipilih lokasi berupa lahan terbuka dan tidak tertutup bangunan atau pepohonan. Lokasi kandang dipilih dengan kemiringan relatif landai. Bentuk kandang di dataran rendah dan dataran tinggi dibuat berbeda karena tinggi suhunya pun berbeda. Bangunan kandang di dataran rendah sebaiknya memiliki dinding yang lebih terbuka untuk ventilasi serta karena suhunya lebih panas dibandingkan di dataran tinggi (Abidin, 2002). Sarwono dan Arianto (2006) membedakan tipe kandang menjadi kandang koloni dan kandang tunggal. Kandang koloni adalah kandang yang hanya terdiri dari satu bangunan atau ruangan, tetapi digunakan untuk ternak dalam jumlah banyak. Sebuah kandang koloni berukuran 7 x 9 m dapat menampung 20 - 24 ekor sapi. Kandang tunggal adalah kandang yang hanya terdiri dari satu ruangan atau bangunan dan hanya digunakan untuk memelihara satu ekor ternak saja. Untuk penggemukan sapi jenis PO, Brahman Cross, Bali, dan bangsa sapi eropa, setiap satu ekor sapinya membutuhkan kandang seluas 3,75 m2 dengan ukuran panjang 2,25 m, lebar 1 m, dan tinggi 2 - 2,5 m. Beberapa
hal
yang
harus
diperhatikan
mengenai
kandang
diantaranya adalah desain layout, kapasitas dan materi bangunan kandang terutama lantai dan atap kandang. Semuanya itu harus diperhatikan dalam rangka mempermudahkan alur kegiatan pemeliharaan mulai dari kedatangan bakalan, kemudahan proses pemberian pakan ternak dan minum, sekaligus menyangkut kemudahan membersihkan kandang baik dari sisa kotoran, makanan dan genangan air serta persiapan pngangkutan sapi yang siap dijual (Rahmat, 2005). Secara umum kontruksi kandang harus kuat, mudah dibersihkan, bersirkulasi udara baik. Selain itu ternak terlindungi dari pengaruh
8
lingkungan yang merugikan. Oleh karena itu sehubungan dengan konstruksi ini perlu mendapat perhatian terutama mengenai kandang, ventilasi, atap, dinding dan lantai. Atap berfungsi untuk menghindarkan dari air hujan dan terik matahari, menjaga kehangatan ternak diwaktu malam. Lantai kandang harus kedap air dan memudahkan pembersihan, rata, tidak licin. Dinding mutlak harus ada, apalagi didaerah pegunungan dengan ketinggian lebih tinggi dari ternak yang dipelihara. Arah kandang membujur dari utara ke selatan memungkinkan sinar matahari pagi masuk ke dalam kandang. Sinar pagi membantu pembentukan vitamin D didalam tubuh dan mengandung unsur ultraviolet yang berfungsi sebagai disinfektan dan pembasmi bibit penyakit serta mempercepat proses pengeringan kandang (Sugeng, 1998). D. Manajemen Pakan Santosa (2003) menyatakan bahwa yang penting untuk diperhatikan dalam pemberian pakan di kandang adalah mengetahui berapa jumlah pakan dan bagaimana keadaan ransum yang diberikan kepada ternak pada berbagai tingkat kelas dan keadaan sapi yang bersangkutan. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ad libitum (pakan diberikan dalam jumlah yang selalu tersedia), dan restricted (pemberian pakan dibatasi). Cara pemberian ad libitum seringkali tidak efisien karena akan menyebabkan bahan pakan banyak terbuang dan pakan yang tersisa menjadi busuk sehingga ditumbuhi jamur dan sebagainya yang dapat membahayakan ternak apabila termakan. Secara teknis diketahui bahwa ternak ruminansia mempunyai potensi biologis untuk dapat menggunakan hijauan dengan baik sebagai bahan makanan utamanya. Hijauan terutama rumput relatif lebih mudah ditanam atau dipelihara sehingga harganya sebagai sumber energi relatif lebih murah dibandingkan dengan tanaman sumber karbohidrat lainnya. Di lain pihak, ternak dapat mengadaptasikan diri terhadap berbagai keadaan lingkungan (Parakkasi, 1995). Pakan hijauan adalah semua pakan yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting, dan
9
bunga. Berdasarkan bentuknya hijauan dibagi menjadi hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar adalah hijauan yang diberikan dalam keadaan masih segar atau berupa silase. Silase adalah produk hasil fermentasi dan penyimpanan hijauan segar dalam keadaan anaerob. Sedangkan hijauan kering berupa hay yaitu hijauan yang sengaja dikeringkan atau jerami kering. Umumnya pada ternak sapi potong bahan pakan hijauan diberikan dalam jumlah 10 persen dari bobot badan (Sugeng, 1998). Konsentrat adalah makanan utama bagi ternak sapi dengan pemeliharaan feedlot. Dalam feedlot, untuk memperoleh pertambahan bobot badan yang tinggi dengan waktu relatif singkat, diperlukan pakan yang berkualitas tinggi. Hal ini hanya dapat dicapai dengan tersedianya konsentrat yang cukup tinggi dan tidak mungkin tercapai bila pakannya hanya berupa rumput atau hijauan (Santosa, 2003). E. Kesehatan Ternak Pengendalian penyakit sangat diperlukan dalam suatu peternakan, karena akan menurunkan produktivitas ternak, terutama penyakit yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi. Penyakit yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, antara lain bakteri (Brucellosis, Vibriosis, Leptospirosis), virus (Bovine Viral Diarrhea atau BVD), infeksi Protozoa (Trichomoniasis) dan infeksi Jamur (Aspergillosis) (Hardjosubroto, 1995). Penyakit datang dengan adanya tanda-tanda khusus. Namun, tandatanda ini kadang tidak tampak nyata sehingga sulit dikenali. Sebelum penyakit datang menyerang, dilakukan pencegahan. Lebih utama dilakukan pencegahan penyakit daripada pengobatankarena penggunaan obat akan menambah biaya produksi dan tidak menjamin keberhasilan pengobatan yang dilakukan. Pencegahanharus dilakukan secara komprehensif dan saling terkait yaitu mulai dari bakalan, pakan dan minum, kandang dan perawatan kebersihan setiap harinya (Pallawaruka, 1999). Penanganan apabila terjadi luka pada anggota tubuh ternak, sebelum dibalut hendaknya luka dibersihkan dari kotoran yang melekat. Pencucian
10
dilakukan dengan air hangat yang dicampur dengan kapur atau disinfektan. Setelah luka menjadi bersih, baru kemudian dilumuri salep hewan atau sulfanilame untuk luka bernanah. Untuk luka baru bisa diberikan powder antibiotika atau yodium (Murtidjo, 1990). Bila suatu penyakit infeksi menyerang hewan, tubuh dapat mengembangkan kemampuan untuk bertahan. Daya kebal hewan terhadap penyakit sangat bervariasi Apabila hewan dapat menahan penyakit tanpa vaksin terhadap penayakit tersebut, kekebalanya disebut vaksin terhadap penyakit tersebut, kekebalannya disebut kekebalan alami. Tetapi apabila hewan telah diberikan vaksin terhadap penyakit tertentu maka kekebalannya disebut kekebalan buatan (Akoso, 1996). F. Manajemen Pemasaran Pemasaran merupakan suatu proses sosial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan dan mempertukarkan produk dan nilai dengan individu dan kelompok lainnya. Pemasaran juga didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang bersangkutan dengan berpindahnya barang dari produsen pertama ke konsumen terakhir. Pemasaran diartikan sebagai suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang digunakan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Manullang, 1988). Dalam bisnis sapi memang petani cenderung menjadi pihak yang mempunyai margin yang relatif kecil jika di bandingkan dari margin keuntungan yang di dapatkan oleh pedagang. Sehingga harus ada semacam asosiasi yang dapat memproteksi harga dan melindungi petani. Petani harus mau membuat kelompok/asosiasi agar harga dapat dikendalikan maupun bekerja sama baik dari segi pemasaran, pengadaan pakan dll, sehingga biaya produksi dapat effisien (Arianto, 2002). Sapi hasil penggemukan biasanya dijual setelah penggemukan selama 4-6 bulan dengan bobot jual 584 -600 kg. Sebelum memasarkan sapi perlu
11
dilakukan penimbangan sapi, penentuan harga jual, menentukan pasar tujuan, jalur pemasaran, alat angkut dan strategi pemasaran (Saragih, 2000). Riyanto (2002) menyatakan bahwa Return Cost Ratio (R/C Ratio) adalah
perbandingan
antara
penerimaan
dengan
pengeluaran
yang
menunjukan penerimaan setiap rupiah biaya. Break Event Point (BEP) adalah teknis analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel dan keuntungan dari volume kegiatan, BEP diartikan sebagai suatu keadaan perusahaan di dalam operasinya atau usahanya tidak memperoleh keuntungan dan tidak menderita kerugian. G. Penanganan Limbah Ternak Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemelihraan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak dan lain-lain. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, dan sisa pakan. Umumnya limbah feses dan urine ini banyak dimanfaatkan sebagai pupuk oleh sebagian banyak petani (Djuarnani, 2006). Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan, baik berupa limbah padat, ataupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam fase cair (air seni atau urine, air pencucian alat-alat kandang) (Soehadji, 1992). Limbah sapi dapat berupa feses dan urine. Saat ini, limbah sapi yang dijadikan kompos atau pupuk organik banyak diminati masyarakat. Hal ini disebabkan harga pupuk kimia relatif mahal dan dapat merusak zat hara tanah. Pengolahan limbah sapi menjadi kompos jika dilakukan dengan benar akan menjadi sumber penghasilan tambahan. Pengolahan limbah sapi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari bahan tambahan yang digunakan (Sudono et al., 2003).
12
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari spesies ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feses dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dan sebagian besar dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Djuarnani, 2006). Limbah merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dari zat yang tidak mempunyai manfaat lagi bagi masyarakat. Untuk mencegah pencemaran atau untuk memanfaatkan kembali diperlukan biaya dan teknologi. Dengan demikian diperlukan suatu penanganan yang serius terhadap limbah itu sendiri agar dapat dimanfaatkan (Mahida, 1992).