Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
MEMBUKA BELANTARA MENJADI KOTA: PEMBENTUKAN PALANGKARAYA SEBAGAI IBU KOTA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH 1957—1965 Johan Candra Sasmita, Ita Syamtasiyah Ahyat Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Jawa Barat, Indonesia E-Mail:
[email protected]
Abstrak Ketika pemerintah membentuk Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, Pahandut yang dipilih sebagai ibu kota belum siap melaksanakan fungsinya tersebut karena belum dibangunnya sarana dan prasarana yang representatif. Sambil menunggu pembangunan di Pahandut, untuk sementara waktu, ibu kota berkedudukan di Banjarmasin. Pada 1959, kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari Banjarmasin pindah ke Palangkaraya, yaitu nama baru Pahandut. Sesuai dengan kedudukannya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, maka pemerintah daerah segera melakukan pembenahan Palangkaraya, dimulai dari pemekaran wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, dan penataan kampung-kampung. Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Palangkaraya merupakan kotapraja administratif, yaitu kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan wilayah atau daerah tertentu. Oleh karena keinginan untuk mengatur rumah tangganya sendiri secara mandiri, pemerintah daerah Kotapraja Administratif Palangkaraya berusaha meningkatkan statusnya menjadi kotapraja otonom. Usaha ini terwujud pada 1965 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1965.
City of the Forest: The Founding of Palangkaraya as the Capital of Province of Central Borneo 1957—1965 Abstract When the government of Republic of Indonesia established the Province of Central Borneo by Emergency Law No. 10 Year 1957, Pahandut chosen as the capital is not ready to perform its function as the construction of facilities and infrastructure has not representative. While waiting for construction in Pahandut, for a time, the capital located in Banjarmasin. In 1959, the seat of the local government of Central Borneo moved to Palangkaraya, the new name for Pahandut. In keeping with its position as the capital of Province of Central Borneo, the local government immediately make city reform of Palangkaraya, starting from the expansion of administrative region, the formation of the district, and the arrangement of the villages. As enumurated under Law No. 1 Year 1957, Palangkaraya is administrative municipality, i.e. the city who serves as the administrative center of the region. Because of the people aspiration to set up their own household independently, Administrative Municipality of Palangkaraya try to improve the status to a autonomous municipality. This effort was realized in 1965 under Law No. 5 Year 1965. Keywords: forest, city, capital, the founding of city, province, Palangkaraya, Central Borneo.
Pendahuluan Konsep perencanaan kota dapat disinergikan dengan ilmu sejarah, khususnya sejarah kota. Menurut
Kuntowijoyo, permasalahan yang menjadi bidang kajian sejarah kota sesungguhnya sangat luas sekali,
1 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
seluas sejarah sosial sendiri, sehingga kadang orang menjadi heran apa saja yang tidak termasuk sejarah kota (Kuntowijoyo, 2003: 63). Oleh karena keluasan itu, kota hanya berfungsi sebagai lokasi bagi kajian sejarah yang bermacam-macam, seperti sejarah lokal, politik, ekonomi, demografi, dan sebagainya. Hal ini dapat menimbulkan kekacauan dan tumpang tindih antara sejarah kota dan bidang sejarah lainnya. Sebagai solusinya, perlu dibuat pembatasan dalam bidang garapan sejarah kota.
Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan DaerahDaerah Swatantra Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. UU Darurat yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah ini bertanggal 23 Mei 1957 sehingga setiap tanggal 23 Mei diperingati sebagai hari jadi Provinsi Kalimantan Tengah. Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah adalah Pahandut. Sebelum Pahandut ditetapkan sebagai ibu kota provinsi, terdapat perselisihan pendapat mengenai wilayah yang tepat untuk menjadi ibu kota provinsi. Seluruh kabupaten yang nantinya akan membentuk satu Provinsi Kalimantan Tengah mengusulkan daerahnya masing-masing sebagai ibu kota provinsi. Seluruhnya ada tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Barito menghendaki lokasi ibu kota di Muarateweh atau Buntok; Kabupaten Kapuas menghendaki lokasi ibu kota di Kapuas atau Pulang Pisau; dan Kabupaten Kotawaringin menghendaki lokasi ibu kota di Sampit atau Pangkalanbun.
Kuntowijoyo membagi bidang garapan sejarah kota menjadi lima, yaitu perkembangan ekologi kota, transformasi sosial ekonomis, sistem sosial, problem sosial, dan mobilitas sosial. Kelima bidang tersebut hanya dapat diteliti secara lebih mendalam pada suatu kota yang struktur sosialnya sudah terbentuk. Pada penulisan ini, kota yang dikaji adalah kota baru yang sengaja dibangun dari awal sehingga lebih berfokus pada proses pembentukannya, yaitu Palangkaraya. Sebelum dibentuk Palangkaraya, sudah terdapat embrio kota yang memiliki struktur sosial, yakni Kampung Pahandut yang masyarakatnya beretnis Dayak. Meskipun demikian, pembangunan pusat kota dilakukan di lokasi baru yang masih berupa hutan, berjarak sekitar satu kilometer dari Kampung Pahandut.
Melihat kondisi demikian, Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah yang dijabat Gubernur Kalimantan, R.T.A. Milono, mengambil kebijakan membentuk satu panitia untuk merumuskan dan mencari di mana daerah atau tempat yang pantas dan wajar untuk dijadikan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Sungai Kahayan dijadikan sasaran penelitian dan survei lapangan. Panitia juga mengadakan rapatrapat dengan para tokoh Kalimantan Tengah dan pejabat tingkat Kalimantan, baik sipil maupun militer, di Banjarmasin. Panitia memperoleh kesimpulan sementara bahwa sekitar desa Pahandut, di kampung Bukit Jekan dan sekitar Bukit Tangkiling ditetapkan untuk calon ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah atas dasar alasan politis, strategis, dan ekonomis (Depdikbud, 1992: 58—59).
Sebagai daerah pemekaran dari Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah belum membangun ibu kota di lokasi yang telah ditetapkan Undang-Undang, yakni Pahandut, sehingga untuk sementara, ibu kota berkedudukan di ibu kota provinsi induknya, yaitu Banjarmasin. Sebelum Pahandut— yang kemudian berganti nama menjadi Palangkaraya— ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, tiga kabupaten (Kotawaringin, Barito, dan Kapuas) pembentuk provinsi tersebut mengusulkan daerahnya masing-masing sebagai lokasi calon ibu kota. Dari hal tersebut, masalah yang hendak dikaji adalah bagaimana kesukaran dan kemudahan dalam pembentukan Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah 1957—1965. Beberapa pertanyaan penelitian seputar permasalahan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana tata pemerintahan sebelum pembentukan Palangkaraya? 2. Bagaimana cikal bakal dan perkembangan embrio Palangkaraya? 3. Bagaimana pembangunan fisik dan struktur pemerintahan Palangkaraya?
Awal rancangan kota tersebut dilaksanakan dengan peletakan tiang pancang pembangunan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah oleh Presiden Sukarno pada 17 Juli 1957. Dengan dipancangnya tiang tersebut, daerah yang tadinya hutan belantara kini menjadi Kota Palangka Raya. Kedudukan tiang pancang tersebut cenderung berada di tengah-tengah wilayah Republik Indonesia. Beberapa buku sangat membantu dalam penulisan ini. Urban Planning (1988) yang dieditori Anthony J. Catanese dan James C. Snyder (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wahyudi dan Tim Editor Penerbit Erlangga menjadi Perencanaan Kota [Jakarta: Penerbit Erlangga, 1989]) merupakan buku yang secara komprehensif membahas segi teknis perencanaan kota. Buku Sejarah Sosial Palangka Raya (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional
Pembentukan Palangkaraya tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang
2 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1992) memuat uraian tentang sejarah Kota Palangka Raya berikut mobilitas penduduknya. Buku Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan Pembangunan Kota Palangka Raja (Palangka Raja: Percetakan Pemda Kalteng, 1962) disusun oleh Tjilik Riwut secara singkat mengenai kondisi ekologi, geografi, demografi, infrastruktur, dan kebudayaan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah pada umumnya dan Palangkaraya pada khusunya.
Tata Pemerintahan Palangkaraya
Sebelum
dibagi atas lima afdeeling, yaitu Banjarmasin (4 onderafdeeling), Hulu Sungai (5 onderafdeeling), Kapuas Barito (6 onderafdeeling), Samarinda (5 onderafdeeling), dan Bulungan Berau (5 onderafdeeling). Ketika kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, wilayah Republik Indonesia yang disepakati oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) meliputi bekas wilayah kolonial Hindia-Belanda sebelum Perang Dunia II. Wilayah itu pada 19 Agustus 1945 ditetapkan secara administratif dibagi atas delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, Sunda Kecil, Kalimantan, dan Maluku (Setneg RI, 1995: 510).
Pembentukan
Dalam sejarahnya, masyarakat Dayak sudah memiliki daerah pemerintahan sendiri sejak masa kolonialisme. Kemudian, pada masa pasca-kemerdekaan, mereka tetap menginginkan status pemerintahan tersebut setelah pemerintah memutuskan hanya membentuk satu provinsi di Pulau Kalimantan, yaitu Provinsi Kalimantan. Keinginan ini semakin menguat ketika Provinsi Kalimantan dimekarkan menjadi tiga, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Dua etnis terbesar di Kalimantan Selatan adalah etnis Banjar dan Dayak. Timbul kesadaran etnis Dayak untuk membuat daerah pemerintahan sendiri yang terpisah dari Kalimantan Selatan yang sebagian besar pejabat pemerintahnya berasal dari etnis Banjar. Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah dan Palangkaraya sebagai ibu kotanya adalah simbol usaha masyarakat Dayak dalam memperjuangkan aspirasi politik mereka.
Pada 1953 keluar Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Kalimantan dan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan (Resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Kalimantan. Pada 1956, Provinsi Kalimantan dimekarkan menjadi tiga provinsi berdasarkan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Selain bentuk pemerintahan formal, masyarakat Dayak menerapkan sistem Pemerintahan tradisional masyarakat Dayak yang disebut ―kedamangan‖ (Tabat, 2008: 7). Kedamangan ini sudah ada sejak sebelum masa kolonialisme dan merupakan warisan budaya asli suku Dayak di Kalimantan Tengah. Pada umumnya suatu kedamangan dipimpin oleh perangkat kepala adat yang disebut ―damang‖, yaitu pejabat yang mengurusi soal-soal adat. Kedamangan merupakan lembaga adat tradisional yang bercorak sosial religius dan mempunyai pemerintahan yang bersifat otonom berdasarkan hak asal usul. Dalam melaksanakan tugasnya seorang damang didampingi oleh let adat (pembantu damang) dan dibantu jurutulis (sekretaris).
Pada 1787, Sultan Banjarmasin Tahmidullah II menyerahkan kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan kepada VOC yang ditandai dengan ―akta penyerahan‖ (acte van afstand) tertanggal Kayutangi, 17-8-1787. Akta penyerahan tersebut ditandatangani oleh Sultan Tahmidullah II di depan Residen Walbeck. Hal ini terjadi setelah Sultan Tahmidullah II berhasil menguasai takhta kerajaan dengan bantuan VOC. Sebagai imbalannya, Kerajaan Banjarmasin menjadi daerah taklukan VOC (Depdikbud, 1978: 27). Berdasarkan akte penyerahan tersebut, Sultan juga menyerahkan status wilayah kekuasaannya termasuk Daerah Dayak (Dajaksche Provintien), yang kini menjadi wilayah Provinsi Kalimantan Tengah ke bawah kekuasaan VOC.
Kampung Pahandut Kampung Pahandut merupakan salah satu kampung tertua di daerah aliran sungai Kahayan bagian hilir, seperti halnya kampung Maliku, Pulang Pisau, Buntoi, Penda Alai, dan Gohong. Oleh karena keadaan tanah lahan bertani dan berkebun di Lewu Rawi tidak cocok, pasangan suami istri Bayuh dan Kambang memutuskan untuk mencari kawasan lain. Mereka kemudian milir (mendayung perahu ke arah hilir) menyusuri Sungai Kahayan hingga akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk kegiatan pertanian. Kabar tentang tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian serta perbaikan
Berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1938 No. 68, dibentuk Gubernemen Borneo yang terdiri dari dua keresidenan, yaitu Westerafdeling van Borneo (Kalimantan Barat) yang beribu kota di Pontianak dan Zuider en Oosterafdeling van Borneo (Kalimantan Selatan dan Timur) yang beribu kota di Banjarmasin. Khusus untuk Zuider en Oosterafdeling van Borneo
3 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
kehidupan suami istri tersebut terdengar oleh warga masyarakat Lewu Rawi yang lain sehingga banyak sanak keluarga yang berasal dari kampung tersebut bahkan bahkan warga dari kampung lain mengikuti jejak Bayuh dan Kambang pindah ke daerah baru itu (Depdikbud, 1992: 59).
Keinginan masyarakat Dayak untuk mempunyai daerah otonom sendiri sudah muncul sejak lama, jauh sebelum Indonesia Merdeka. Sejalan dengan tingkat perjuangan pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia yang sangat bergelora menjelang abad ke-20 (mendekati Perang Dunia II) dan secara nasional ditandai dengan tuntutan ―Indonesia Berparlemen’’. Suku Dayak Kalimantan Tengah melalui organisasi Pakat Dayak (PD) mengeluarkan resolusi mendukung tuntutan Gabungan Partai-partai Politik Indonesia (GAPKI) demi terlaksananya Indonesia Berparlemen itu (Pemprop Dati I Kalteng, 1997: 27).
Dalam perkembangannya, tempat tersebut berubah menjadi kawasan memetik hasil hutan (bahasa Dayak Ngaju: eka satiar, sekaligus membuka lahan untuk bertani, yang disebut eka malan) kemudian berkembang menjadi tempat berusaha bertani dan berkebun lalu menjadi tempat permukiman. Dalam bahasa Dayak Ngaju, hal yang demikian dinamakan eka badukuh. Warga menyebutnya Dukuh ain Bayuh, singkatnya permukiman itu disebut Dukuh Bayuh. Dengan semakin ramainya Dukuh Bayuh, maka namanya kemudian berubah menjadi Lewu (kampung/desa) Bayuh dengan Bayuh sebagai kepala kampung (pembakal).
Resolusi itu disampaikan langsung kepada anggota Volksraad/Tim Komisi Visman pimpinan R.A.A. Soejoeno ketika datang di Banjarmasin pada akhir tahun 1940. Resolusi Pakat Dayak yang disampaikan oleh Ketua Pengurus Besar PD, Mahir Mahar, didampingi oleh Sekretaris E.S. Honduran juga berisi tuntutan terbentuknya daerah otonom bagi Tanah Dayak. Namun, tidak ada tanggapan konkret atas resolusi tersebut. Hanya diberikan janji akan dibentuk Kantoor Adviseur Voor Dajakse Zaken di Banjarmasin yang dikatakan sebagai langkah pertama untuk persiapan menuju terbentuknya suatu provinsi otonom Dayak di Kalimantan. Namun, janji tersebut tidak terlaksana sampai Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942).
Terdapat seorang tokoh yang disegani oleh seluruh warga masyarakat Lewu Bayuh karena mempunyai kelebihan yang sangat menonjol. Sang tokoh dianggap memiliki ―kesaktian‖ dan ―ilmu‖ serta oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai ―orang pintar‖. Masyarakat Lewu Bayuh bahkan masyarakat dari daerah lain sering minta pertolongan pada sang tokoh tentang berbagai hal. Sang tokoh tersebut mempunyai anak sulung lakilaki yang bernama Handut. Sesuai adat orang Dayak Ngaju yang menganut teknonimi, yakni sepasang suami istri yang sudah berumah tangga dan sudah mempunyai anak, biasa disapa (dipanggil) secara akrab memakai nama anak sulung, maka tokoh Lewu Bayuh itu sering disapa ―Bapak Handut‖. Ketika usianya sudah lanjut, Bapak Handut sering sakit-sakitan. Warga Lewu Bayuh merasa cemas dan prihatin atas penderitaan sang tokoh yang mereka hormati. Akhirnya, wafatlah Bapak Handut diiringi kesedihan warga. Guna mengenang dan menghormati sang tokoh yang sangat berpengaruh tersebut, semua warga masyarakat menyetujui Lewu Bayuh diubah namanya menjadi Lewu Pahandut (yang berasal dari kata Bapak Handut, panggilan akrab sang tokoh). Siapa nama asli Bapak Handut itu belum diketahui.
Pada masa kemerdekaan, yakni sesudah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 yang menetapkan pembagian wilayah RIS atas sepuluh provinsi yang salah satunya adalah Provinsi Kalimantan. Provinsi Kalimantan terdiri dari tiga keresidenan, yaitu Keresidenan Kalimantan Barat, Keresidenan Kalimantan Selatan, dan Keresidenan Kalimantan Timur (Kementerian Penerangan, 1953: 88). Eks Daerah Otonom Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin dibentuk menjadi tiga kabupaten, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito, dan Kabupaten Kotawaringin yang bersama dengan Daerah Otonom Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara digabungkan ke dalam Keresidenan Kalimantan Selatan. Setelah dibentuk Provinsi Kalimantan itu, maka sejak tahun 1952 telah muncul tuntutan dari rakyat di tiga kabupaten, yaitu Kapuas, Barito, dan Kotawaringin, agar tiga kabupaten tersebut dibentuk menjadi satu provinsi otonom dengan nama Propinsi Kalimantan Tengah. Tuntutan yang demikian terus disampaikan baik kepada pemerintah daerah Kalimantan maupun kepada pemerintah pusat (Riwut, 1958: 100—120).
Menurut KMA Usop, pada 1894 ketika diadakan rapat Tumbang Anoi, di kampung Pahandut telah berdiri sebanyak delapan buah rumah panjang (betang, rumah adat suku Dayak) yang seluruhnya menghadap Sungai Kahayan. Jika satu rumah betang berisi lima keluarga, maka paling sedikit Kampung Pahandut pada waktu itu telah dihuni oleh 40 keluarga (Usop, 1996: 21). Ini menandakan bahwa kampung itu sudah cukup ramai
Awal Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah 4 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
Tuntutan pembentukan provinsi otonom Kalimantan Tengah yang meliputi tiga kabupaten itu menjadi semakin kuat dan jelas karena keinginan rakyat yang sangat kuat. Pada awal tahun 1954, para warga asal tiga kabupaten itu membentuk Panitia Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah (PPHRKT) yang berkedudukan di Banjarmasin. PPHRKT dipimpin oleh C.C. Brahim sebagai ketua umum dan J.M. Nahan sebagai sekretaris umum. Langkah ini kemudian diikuti dengan pembentukan PPHRKT daerah pada setiap kabupaten yang bersangkutan. Selanjutnya, PPHRKT menjadi pusat penyaluran aspirasi partai politik, organisasi massa, dan berbagai golongan yang menghendaki pembentukan provinsi otonom Kalimantan Tengah.
yang mewakili segenap rakyat dari seluruh Kalimantan Tengah. Kongres berhasil melahirkan resolusi yang dikeluarkan pada 5 Desember 1956. Resolusi itu berbunyi, ―Mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dengan pengertian sebelum terlaksananya Pemilihan Umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat, Kalimantan Tengah sudah dijadikan suatu Propinsi Otonom‖ (Riwut, 1993: 61). Untuk menindaklanjuti keputusan kongres terutama tentang resolusi mendesak segera terbentuknya provinsi otonom Kalimantan Tengah, dibentuk Dewan Rakyat Kalimantan Tengah. Dewan Rakyat Kalimantan Tengah mengirim utusannya menghadap Gubernur Kalimantan Raden Tumenggung Aria (RTA) Milono. Selanjutnya, utusan Dewan Rakyat Kalimantan Tengah bersama dengan Gubernur Kalimantan RTA Milono menghadap pemerintah pusat untuk menyampaikan keputusan tuntutan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah. Bersama Gubernur, Dewan Rakyat Kalimantan Tengah memberikan penjelasan-penjelasan guna memperoleh pengertian dan persesuaian pendapat dengan pihak pemerintah pusat c.q. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Perlu disampaikan di sini, bahwa UU No. 25 Tahun 1956 belum berlaku sehingga pada waktu itu hanya ada satu gubernur untuk seluruh Kalimantan, yaitu R.T.A. Milono.
Ternyata aspirasi rakyat Kalimantan Tengah belum dapat dipenuhi oleh pemerintah pusat maupun oleh parlemen. Ini diketahui saat berlangsungnya pembahasan RUU tentang pembentukan tiga provinsi di Kalimantan. Alasan yang dikemukakan atas penolakan tersebut di antaranya adalah potensi ekonomi wilayah di tiga kabupaten yang diusulkan untuk dijadikan Propinsi Kalimatan Tengah itu masih belum mampu untuk membiayai urusan rumah tangga daerah sebagai daerah otonom; keadaan keuangan negara saat itu belum mengizinkan untuk membentuk propinsi baru; dan masih kekurangan sumber daya manusia di daerah itu terutama yang terampil dan terdidik untuk tugas penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah (Riwut, 1993: 58). Dengan disahkannya UU No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur itu, rakyat Kalimantan Tengah merasa kurang puas dan tetap mendesak pemerintah pusat agar pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah segera direalisasikan. Aspirasi rakyat Kalimantan Tengah yang tidak memperoleh perhatian dari pemerintah pusat akhirnya berlarut-larut tanpa ada kepastian. Akhirnya, timbullah pergolakan dan tindakan kekerasan yang menjurus pada perlawanan fisik berupa gerakan bersenjata yang menimbulkan gangguan keamanan. Gerakan perlawanan yang paling kuat adalah Gerakan Mandau Telawang Pantjasila Sakti (GMTPS ) yang dipimpin oleh Christian Simbar.
Pada 10 Desember 1956, Ketua Koordinasi Keamanan Daerah Kalimantan/Gubernur Kalimantan, R.T.A. Milono, menyampaikan pengumuman tentang terbentuknya Propinsi Kalimantan Tengah yang meliputi daerah-daerah Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Kotawaringin. Dengan demikian, tuntutan rakyat Kalimantan Tengah dianggap telah tercapai (Riwut, 1993: 61). Dalam pada itu, sebagai tindak lanjut atas adanya saling pengertian dan persesuaian pendapat antara utusan Dewan Rakyat Kalimantan Tengah dengan pemerintah pusat, maka pada 28 Desember 1956, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Nomor U.P.34/41/24, yang antara lain menyatakan terbentuknya Kantor Persiapan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah yang berkedudukan langsung di bawah Kementerian Dalam Negeri. Kantor persiapan tersebut untuk sementara ditempatkan di Banjarmasin serta ditunjuk 21 orang personel sebagai pelaksana dan sementara berkantor di Kantor Gubernur Kalimantan.
Sementara itu, di samping gerakan bersenjata, perjuangan secara politis juga ditempuh oleh tokoh pejuang saat itu dari berbagai golongan masyarakat dari berbagai aliran yang hidup di dalam masyarakat untuk mencapai status provinsi sendiri. Puncaknya adalah pelaksanaan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah yang dilangsungkan di Banjarmasin dari 2—5 Desember 1956. Kongres tersebut dipimpin oleh Ketua Presidium M. Mahar dan tokoh masyarakat Kalimantan Tengah lainnya serta dihadiri oleh 600 orang utusan
Gubernur RTA Milono ditunjuk sebagai Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah. Pelaksanaan tugas-tugas yang menyangkut urusan pemerintah pusat bertanggung jawab langsung kepada Menteri Dalam
5 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
Negeri, sedangkan urusan daerah otonom bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Selatan. Selanjutnya Tjilik Riwut (pada waktu itu menjabat sebagai residen pada Kementerian Dalam Negeri) dan G. Obus, Bupati Kepala Daerah Kapuas, ditugaskan membantu Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah di Banjarmasin, sekaligus Bupati G. Obus diangkat sebagai Kepala Kantor Persiapan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah. Drs. F.A.D. Patianom ditunjuk sebagai sekretaris Kantor Persiapan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah. Residen Tjilik Riwut dan Bupati G. Obus membantu Gubernur RTA Milono agar pembentukan Propinsi Otonom Kalimantan Tengah dapat terlaksana dalam waktu secepatnya.
e.
E. Kamis (pensiunan Korps Pamong Praja), sebagai anggota. Sebagai penasihat ahli, ditetapkan: a. R. Moenasier, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Persiapan Propinsi Kalimantan Tengah; b. Ir. D.A.W. van Der Pijl, Kepala Bagian Gedunggedung, Dinas Pekerjaan Umum Persiapan Propinsi Kalimantan Tengah (Riwut, 1979: 98). Survei lapangan, antara lain dilakukan dengan menggunakan helikopter. Sungai Kahayan dijadikan sasaran penelitian. Panitia juga mengadakan rapat-rapat dengan para tokoh Kalimantan Tengah dan pejabat tingkat Kalimantan, baik sipil maupun militer, di Banjarmasin. Panitia memperoleh kesimpulan sementara bahwa sekitar desa Pahandut, di kampung Bukit Jekan dan sekitar Bukit Tangkiling ditetapkan untuk calon ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Masyarakat Pahandut sendiri tidak mengusulkan daerahnya untuk dijadikan lokasi calon ibu kota provinsi. Mahir Mahar-lah yang mengusulkan Pahandut kepada panitia sebagai jalan tengah.
Pencarian Lokasi Ibu Kota Provinsi Gubernur R.T.A. Milono selaku Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah beserta para pembantunya serta tokoh-tokoh masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya mempunyai keinginan untuk selekas mungkin berada di tengah-tengah rakyat Kalimantan Tengah sendiri. Namun, ibu kota provinsi yang baru dibentuk itu belun ditetapkan. Seluruh kabupaten yang nantinya akan membentuk satu Provinsi Kalimantan Tengah mengusulkan daerahnya masing-masing sebagai ibu kota provinsi. Seluruhnya ada tiga kabupaten, yaitu a. Kabupaten Barito menghendaki lokasi ibu kota di Muarateweh atau Buntok; b. Kabupaten Kapuas menghendaki lokasi ibu kota di Kuala Kapuas atau Pulang Pisau; dan c. Kabupaten Kotawaringin menghendaki lokasi ibu kota di Sampit atau Pangkalanbun.
Terdapat beberapa alasan yang menjadi dasar pemilihan tempat tersebut menjadi lokasi ibu kota calon Provinsi Kalimantan Tengah. a. Alasan politis. Pahandut dipilih karena demi keadilan dan menjaga agar jangan sampai terjadi keributan di antara tokoh dan masyarakat yang telah mengusulkan daerahnya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah; b. Alasan geografis. Panitia berpendapat bahwa alangkah baiknya jika calon ibu kota berada di tengah-tengah masyarakat Kalimantan Tengah seluruhnya sehingga memberikan kemudahan dalam pelaksanaan pimpinan dan koordinasi pada masa yang akan datang. Masyarakat Kalimantan Tengah diharapkan memiliki satu kota baru yang dibangun di tengah-tengah hutan rimba dengan kekuatan bangsa sendiri di alam merdeka. Secara geografis, Pahandut yang berada di tengah-tengah Pulau Kalimantan relatif aman dari ancaman bencana alam seperti gempa. c. Alasan ekonomis. Oleh karena Pahandut terletak di tengah-tengah, maka biaya pengawasan, pengendalian, dan perjalanan ke daerah lainnya di Kalimantan Tengah menjadi tidak begitu tinggi, demikian pula bagi penghematan waktu dan tenaga. Lahan di sekitar Pahandut yang cukup luas, rata, dan keras—dibandingkan dengan kondisi tanah di Kalimantan yang umumnya berupa tanah gambut—memudahkan dilaksanakannya pembangunan fisik seperti pembuatan jalan raya dan perluasan kota. Tentunya hal ini akan berdampak ekonomi terhadap masyarakat (Depdikbud, 1992: 58—59).
Melihat kondisi demikian, RTA Milono mengambil kebijakan membentuk satu panitia untuk merumuskan dan mencari di mana daerah atau tempat yang pantas dan wajar untuk dijadikan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Panitia yang dibentuk pada 23 Januari 1957 itu terdiri dari a. Mahir Mahar (Ketua Kongres Rakyat Kalimantan Tengah), sebagai ketua panitia merangkap anggota; b. C. Mihing (pegawai/pejabat pada Jawatan Penerangan Propinsi Kalimantan Tengah di Banjarmasin), sebagai sekretaris merangkap anggota; c. Tjilik Riwut (residen pada Kementerian Dalam Negeri diperbantukan pada Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah), sebagai anggota; d. G. Obus (Bupati Kapuas dan Kepala Kantor Persiapan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah diperbantukan pada Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah), sebagai anggota; dan
6 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
Setelah Pahandut terpilih oleh panitia sebagai lokasi ibu kota calon Provinsi Kalimantan Tengah, pemerintah pada 23 Mei 1957 mengeluarkan UndangUndang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 53). Dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Kabupaten Barito, Kapuas, dan Kotawaringin dipisahkan dari lingkungan Provinsi Kalimantan Selatan untuk dibentuk menjadi daerah swatantra tingkat ke-1 dengan nama ―Propinsi Kalimantan Tengah‖.
(Riwut, 1979: 114). Panitia mengumpulkan berbagai pendapat dari bermacam-macam kalangan, antara lain para tokoh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah seperti Damang H.S. Tundjan, Damang Saililah, dan Tjilik Riwut, termasuk saran dan pandangan dari RTA Milono sebagai Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah. Akhirnya, nama ibu kota itu berhasil disepakati dan disetujui sepenuhnya oleh Gubernur RTA Milono. Kepastian tentang nama itu akan diumumkan sendiri olehnya. Dengan didahului upacara adat dari suku Dayak yang bertempat di lapangan Bukit Ngalangkang, Pahandut, pada 18 Mei 1957 diumumkan nama ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. RTA Milono dalam pidatonya, antara lain mengemukakan cita-cita beliau bahwa untuk memberi nama ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah harus disesuaikan dengan jiwa pembangunan dan tujuan suci. Nama yang dipilih adalah ―Palangka Raya‖. Menurut kepercayaan leluhur suku Dayak, nenek moyang suku Dayak diturunkan dengan memakai wahana Palangka Bulau. Palangka berarti tempat yang suci, Bulau berarti emas atau logam mulia, sedangkan Raya berarti besar. Dengan demikian, ―Palangka Raya‖ berarti tempat suci dan mulia yang besar. Nama Pahandut sendiri hingga kini tidak menghilang, dengan menjadi salah satu kecamatan di Kota Palangkaraya.
Mengenai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, diatur dalam pasal 2, yaitu ayat (1): Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah adalah Pahandut. Untuk sementara waktu pemerintah daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah berkedudukan di Banjarmasin; ayat (2): Jika perkembangan keadaan di daerah menghendakinya, maka atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dengan keputusan Presiden, ibukota tempat kedudukan pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Tengah dapat dipindahkan ke lain tempat dalam wilayahnya; ayat (3): Dalam keadaan darurat tempat kedudukan pemerintah daerah Propinsi untuk sementara waktu oleh Kepala Daerah yang bersangkutan dapat dipindahkan ke lain tempat.
Setelah R.T.A Milono resmi mengumumkan penggantian nama Pahandut menjadi Palangkaraya, pemerintah pun merespons dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerahdaerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 53) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 62). Dalam pasal 2 ayat (1) disebutkan, ―Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah adalah Palangkaraya. Untuk sementara waktu Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah berkedudukan di Banjarmasin‖.
Dalam bagian penjelasan Undang-Undang Darurat tersebut, disebutkan bahwa Pahandut dipilih sebagai ibu kota tempat kedudukan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah karena dipandang dari segi pemerintahan letaknya menguntungkan dibandingkan dengan tempat-tempat lain di daerah itu, dari Pahandut dapat dipelihara perhubungan dengan bagian-bagian lainnya dari provinsi dengan lebih cepat. Selain itu, Pahandut lebih menguntungkan dilihat dari sudut kepentingan pembangunan dan perluasan kota serta kesehatan rakyat. Namun, oleh karena pembangunan gedung-gedung untuk kantor-kantor dan perumahan pegawai di Pahandut dan lain-lain persiapan yang perlu untuk membuat tempat tersebut dapat dipakai sebagai ibu kota provinsi membutuhkan waktu yang agak lama, maka untuk sementara waktu tempat kedudukan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah ditetapkan di Banjarmasin, ibu kota provinsi induk Kalimantan Selatan.
Pelaksanaan Palangkaraya
Setelah Pahandut resmi ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, RTA Milono menugaskan panitia yang sama dengan panitia yang mencari dan merumuskan calon ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah untuk mencari nama bagi ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah agar sesuai dengan maksud dan tujuan dari pembangunan kota tersebut
Pembangunan
Kota
Provinsi Kalimantan Tengah sewaktu dibentuk (1957) adalah provinsi ke-17 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada tahap awal perguliran roda pemerintahan, pelayanan masyarakat maupun pembangunan daerah menghadapi keadaan yang serba kekurangan dan serba keterbatasan baik prasarana, sarana, tenaga, maupun dana. Salah satu keterbatasan
7 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
tersebut adalah belum terbangunnya ibu kota provinsi sebagai tempat berpijak pemerintah daerah. Di lain pihak, tuntutan untuk dapat mengatur urusan rumah tangga daerah secara mandiri sangat kuat, baik tuntutan dari para penyelenggara pemerintahan sendiri maupun dari seluruh masyarakat Provinsi Kalimantan Tengah. Hal ini berbeda dengan provinsi tetangganya, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat yang telah mempunyai ibu kota provinsi yang sudah terbangun dengan berbagai fasilitasnya.
Menurut informasi W.A. Gara, rencana kota Palangkaraya dibuat oleh seorang keturunan Tionghoa, Ir. The (tidak jelas nama lengkapnya). Sementara, Tjilik Riwut (1963) sendiri menyatakan ―pembangunan Palangka Raya adalah perpaduan rencana nasional, dari otak nasional, dari Presiden-nya dan Menterimenterinya serta pemikir-pemikir lainnya‖, tetapi juga dinyatakan, ―dengan memperhatikan pertimbanganpertimbangan juga dari kami‖. Rencana bangunanbangunan penting, rumah gubernur, kompleks perkampungan pelajar, penentuan blok-blok terpenting disetujui oleh Presiden, sedang pelaksanaan selanjutnya dilaksanakan oleh Menteri Pekerjaan Umum, gambarnya dibuat oleh Jawatan Tata Kota dan Tata Daerah, tetapi tetap mempertimbangkan aspirasi masyarakat melalui Residen Tjilik Riwut.
Di samping itu, Kalimantan Tengah juga tidak menerima pembagian warisan inventaris/barang milik Provinsi Kalimantan Selatan sebagai provinsi induknya karena kegiatan pemerintahan lebih terpusat di Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Dengan demikian, pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah, menjalankan kegiatan roda pemerintahan dan memberi pelayanan kepada masyarakat, baik dalam arti kiasan maupun dalam kenyataan yang sesungguhnya sering dinyatakan oleh Tjilik Riwut dengan ungkapan ―memulai dari yang tiada supaya menjadi ada‖. Ungkapan lain yang juga sering digunakan adalah ―ciptakan dari yang tiada menjadi ada‖ (Riwut, 1963: 7).
Berdasarkan informasi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa proses pembuatan rencana pembangunan kota Palangkaraya dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang dilakukan oleh Ir. The, seorang pegawai dari Jawatan Tata Kota dan Tata Daerah. Ir. Van der Pijl membantu Residen Tjilik Riwut dalam merumuskan aspirasi masyarakat Kalimantan Tengah untuk disampaikan kepada Menteri Pekerjaan Umum, Ir. P.M. Noor. Dalam hal ini, Presiden Sukarno sendiri juga ikut terlibat dalam memikirkan rencana pembangunan Kota Palangkaraya. Namun, berdasarkan susunan tata ruang yang mirip dengan kota-kota di Eropa, pengaruh Ir. Van der Pijl dalam rancangan tersebut sangat besar, apalagi Ir. Van der Pijl adalah perancang seluruh bangunan kantorkantor pemerintah yang akan dibangun dengan gaya art deco. Art deco merupakan gaya global yang populer pada dekade 1920-an dan 1930-an, terutama digunakan dalam desain bangunan, desain interior, furnitur, dan perhiasan. Art deco ditandai dengan karakteristiknya yang halus, berbentuk garis lurus, berpola geometris, dan bereksperimen dengan material industri seperti logam, plastik, dan kaca.
Sejak diterbitkannya UU Darurat No. 10 Tahun 1957 yang kemudian disahkan dengan UU No. 21 Tahun 1958, yang menyatakan berdirinya Propinsi Kalimantan Tengah dengan ibu kota Palangka Raya, maka pemerintah daerah dengan dipelopori Ir. P.M. Noor, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (mantan gubernur Kalimantan yang pertama) membuat perencanaan awal pembangunan kota Palangka Raya meliputi luas 10 km x 10 km. Pada area seluas itu direncanakan pembangunan gedung-gedung, toko-toko, rumah-rumah yang dibutuhkan untuk umum, perumahan pegawai, sekolah-sekolah, poliklinik, rumah sakit, sentral listrik dan lain-lain. Biaya yang disediakan untuk kegiatan tersebut sebesar Rp 25.000.000,00 (Nasional, 23 April 1957).
Rencana awal pembangunan Kota Palangkaraya mengacu pada konsep sarang laba-laba (spider concept) seperti kota-kota tua di Eropa. Namun, tidak seluruh konsep tersebut dapat direalisasikan, khususnya jaring-jaring melingkar yang berpusat pada bundaran besar. Dalam rencana pembangunan kota Palangkaraya telah dimuat rencana untuk membuka jaringan perhubungan jalan darat (jalan raya) Palangkaraya–Pulang Pisau/Mintin, Palangkaraya– Tangkiling–Kasongan–Sampit–Pangkalan Bun– Sukamara, Palangkaraya–Kuala Kurun–Tewah–Muara Teweh–Puruk Cahu–Ampah dan lain-lain. Sesudah rencana pembangunan disetujui, segera dilakukan langkah-langkah persiapan berupa inventarisasi segala peralatan yang diperlukan. Di bawah koordinasi Dinas Pekerjaan Umum, semua dinas/instansi terkait melakukan persiapan yang diperlukan untuk
Rencana awal pembangunan kota Palangkaraya menurut cerita yang berkembang di kalangan pemerintahan dan masyarakat, dibuat oleh Ir. D.A.W. Van der Pijl atas masukan-masukan yang diberikan Tjilik Riwut. Pembuatan rencana tersebut dilakukan di atas kapal yang membawa mereka berdua dari Banjarmasin ke Palangka Raya. Perjalanan Banjarmasin-Palangka Raya kedua pejabat tersebut dilakukan beberapa kali antara Jamuari 1957 sampai Juli 1957. Dalam beberapa kesempatan, R. Moenasir ikut dalam survei tersebut. Ini berarti, rencana tersebut disusun dengan cukup matang serta mempertimbangkan berbagai aspek geomorfologi calon ibu kota Propinsi Kalimantan Tengah.
8 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
mewujudkan rencana tersebut. Peresmian dimulainya pelaksanaan pembangunan kota Palangkaraya direncanakan akan dilakukan oleh Presiden Sukarno sewaktu berkunjung ke Kalimantan (Depdikbud, 1992: 64).
Kunjungan Presiden Palangkaraya
Sukarno
ke
Sebagai presiden Republik Indonesia, Sukarno melakukan kunjungan kerja ke Palangkaraya sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1957 dan 1959. Kunjungan kerja tahun 1957 berlangsung dari 14—20 Juli dengan menggunakan armada kapal laut, sedangkan kunjungan kerja tahun 1959 berlangsung dari 8—10 September dengan menggunakan armada pesawat capung (Wijanarka, 2006: 4). Dalam kunjungan tahun 1957, rombongan Sukarno bertolak dari Jakarta ke Banjarmasin dengan menggunakan pesawat. Ditambah dengan beberapa tentara pengawal dari Banjarmasin, rombongan ini berjumlah sekitar 40 orang yang terdiri dari menterimenteri dan pejabat lainnya, dua orang duta besar (Amerika Serikat dan Uni Soviet), pegawai istana kepresidenan Jakarta, dan beberapa wartawan. Sebelum berlayar ke Palangkaraya dari Banjarmasin, Sukarno menghadiri rapat umum di Kuala Kapuas pada 15 Juli. Pada 16 Juli pagi, Sukarno dan rombongan menuju Palangkaraya menggunakan kapal laut dan tiba di Kampung Pahandut pada jam 2 dini hari. Pada 17 Juli pagi, Sukarno disambut dengan upacara adat manetek pantan memakai mandau. Manetek pantan, manetek hompong, atau manetek batang jarau berarti memotong kayu penghalang yang disediakan khusus untuk menyambut kedatangan tamu yang dihormati dan disegani. Kayu tersebut dipasang pada pintu gerbang, diletakkan melintang menutupi arah jalan masuk. Kayu yang dipasang berjumlah ganjil, bisa satu, tiga, lima, dan seterusnya. Setelah sampai di depan pantan, hompong, atau batang jarau, tamu diminta memotong kayu penghalang tersebut dengan menggunakan mandau. Sebelumnya diawali komunikasi akrab antara tamu dan tuan rumah. Setelah kayu berhasil dipotong dengan iringan lahap, berarti penghalang telah tidak ada lagi dan tamu yang datang dipersilakan memasuki kampung tuan rumah. Sebelum para tamu melangkahkan kaki untuk memasuki kampung, para gadis remaja kampung menyambut kedatangan tamu dengan tari dan nyanyian yang diiringi musik.
Rancangan Skematik Kota Palangkaraya Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia: 1948–2000 (Jakarta, 2003), hlm. 446.
Setelah upacara adat, Sukarno dan rombongan menuju ke tempat upacara yang merupakan tempat pemancangan tiang pertama pembangunan kota yang berjarak sekitar tiga km. Sukarno menggunakan mobil jeep, sedangkan rombongan yang lain berjalan kaki, termasuk para menteri dan duta besar. Uniknya, mobil jeep ini tidak dihidupkan, tetapi mobil tersebut ditarik dan didorong oleh rakyat secara beramai-ramai atas keinginan rakyat sendiri.
Rencana Tata Ruang Kota Palangkaraya, dengan pusat kota berada di Bundaran Besar. Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia: 1948–2000 (Jakarta, 2003), hlm. 446.
9 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
Sesampai di lokasi pemancangan tiang pertama pembangunan kota Palangkaraya, dilaksanakan prosesi acara. Diawali dengan acara gunting pita yang diikatkan pada gapura sederhana sebagai simbolisasi gerbang kota. Kemudian, Gubernur Kalimantan R.T.A. Milono memberikan sambutan. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sambutan presiden. Inti dari sambutan Sukarno adalah menceritakan maksud kedatangannya untuk meresmikan Kota Palangkaraya.
pembangunan Palangkaraya akan berjalan lamban. Pada 10 September, Sukarno meninggalkan Palangkaraya dengan rute dan armada yang sama saat menuju Palangkaraya (Wijanarka, 2006: 12). Menarik untuk diteliti mengenai alasan Sukarno berkunjung ke Palangkaraya sampai dua kali, kunjungan pertama (1957) untuk meresmikan dan kunjungan kedua untuk meninjau pembangunan (1959). Dasar hukum yang kuat yang menyatakan Jakarta sebagai ibu kota negara RI adalah UU Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta. Rencana induk pembangunan Jakarta dibuat pada 1956 yang diilhami oleh ide-ide Sukarno dari hasil kunjungan kenegaraannya pada tahun yang sama ke berbagai negara seperti India, Amerika Serikat, Kanada, Rusia, Italia, Jerman, Swis, dan Tiongkok. Namun, karena struktur kota Jakarta telah terbentuk sejak masa kolonial, ide-ide Sukarno tersebut tidak dapat diimplementasikan secara maksimal dalam rencana induk itu.
Setelah sambutan presiden, acara dilanjutkan dengan prosesi pemancangan tiang pertama pembangunan kota. Dalam prosesi ini, Sukarno memotong rotan pada tiga tiang kayu yang disusun seperti kuda-kuda rumah sebagai formalitas peresmian kota. Prosesi upacara pemancangan tiang pertama tersebut adalah penancapan balok kayu ulin ke dalam tanah yang sebelumnya tergantung pada seutas rotan. Dan ujung rotan tersebut diikat pada tonggak yang didukung oleh tiga tiang, yang ditancapkan kurang lebih tiga meter dari tempat lubang penancapan. Antara tiang yang akan dipancang dengan ujung rotan pada tonggak diletakkan balok bundar yang dipasang vertikal tinggi setengah meter dari tanah, yang gunanya tempat bantalan waktu memotong rotan. Dan rotan tersebut dipotong oleh Bung Karno dengan mandau, maka jatuhlah balok ulin tersebut ke dalam lubang yang disediakan. Dan balok kayu ulin tersebut tertancap sampai sekarang di bawah tugu peringatan pendirian Kota Palangkaraya, yang ada sekarang (Wijanarka, 2006: 8—9).
Pada era yang sama, masyarakat Dayak di Provinsi Kalimantan Selatan menginginkan terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah. Rencana pembentukan ibu kota provinsi baru ini menjadi kesempatan emas bagi Sukarno dalam menuangkan ide-idenya tentang perencanaan tata ruang kota. Hal ini berdasarkan pengamatannya pada desain ibu kota dari berbagai negara yang telah dikunjunginya. Selain sebagai ibu kota provinsi, rancangan skematik Palangkaraya yang ia buat juga dipersiapkan sebagai rancangan skematik ibu kota RI. Dimulai dari tiang pertama pembangunan Palangkaraya yang ia pancang sendiri, Palangkaraya dibangun dengan membuka hutan belantara. Kegiatan ini berakibat ditinggalkannya pembangunan di Jakarta. Dengan demikian, pembangunan Palangkaraya lebih dulu dilaksanakan daripada Jakarta.
Dua tahun setelah kunjungan pertama, Sukarno berkeinginan meninjau pembangunan Kota Palangkaraya. Hal ini didasarkan pada laporan singkat pertemuan delegasi Kalimantan Tengah dengan pemerintah pusat di Jakarta saat penyerahan Piagam Palangkaraya tanggal 30 Desember 1958. Dalam kunjungan tahun 1959 ini, Sukarno sampai di Palangkaraya tanggal 8 September. Sukarno datang ke Palangkaraya bersama Menteri Pekerjaan Umum beserta pejabat tinggi lainnya yang berjumlah sekitar 20-an. Sukarno dan para ajudannya bersama Menteri PU datang ke Palangkaraya dengan menggunakan pesawat capung dari Banjarmasin. Rombongan lain datang lebih awal ke Palangkaraya dari Banjarmasin dengan transportasi air.
Pada 1959, Sukarno sekali lagi berkunjung ke Palangkaraya untuk meninjau kemajuan pembangunan. Dalam kunjungannya itu, ia melihat pembangunan kurang lancar karena sulitnya pengadaan bahan bangunan, terutama pasir. Sukarno yang memiliki ambisi mempromosikan RI ke luar negeri, antara lain melalui seni bangunan dan seni tata kota yang khas Indonesia, dan lebih khususnya lagi adalah melalui agenda internasional yang ia rencanakan, yaitu Ganefo dan Conefo, akhirnya mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang intinya mengarahkan Jakarta sebagai ibu kota RI. Dengan dikeluarkannya penpres ini, lambat laun pembangunan Palangkaraya mulai tertinggal dari Jakarta. Proyekproyek untuk menyukseskan penyelenggaraan Ganefo dan Conefo dibangun di Jakarta, antara lain Gelora Bung Karno, Jalan M.H. Thamrin-Jenderal Sudirman,
Sukarno melakukan inspeksi pada beberapa bangunan pemerintah yang sedang dibangun. Pada umumnya Sukarno puas akan kualitas bangunan. Namun, Sukarno juga kecewa akan pengadaan bahan bangunan, terutama pasir. Sukarno mengetahui dari laboratorium di Bogor bahwa pasir yang digunakan dalam pembangunan di Palangkaraya adalah jenis pasir kuarsa yang daya rekatnya kurang jika dicampur dengan semen. Untuk mendapatkan jenis pasir yang sesuai harus didatangkan dari Martapura, Kalimantan Selatan. Atas hal ini, Sukarno beranggapan bahwa
10 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
Jembatan Semanggi, Monumen Nasional, dan Gedung Conefo. Juga, dengan keluarnya penpres tersebut, keputusan Mendagri tentang pemindahan kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari Banjarmasin ke Palangkaraya dikeluarkan pada Desember 1959. Sejak inilah Palangkaraya berangsurangsur berfungsi sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.
dikoordinasikan dengan Kantor Persiapan Kotapraja Administratif Palangkaraya. Kotapraja Administratif Palangkaraya meliputi tiga kecamatan, yaitu (1) Kecamatan Palangka, dengan ibu kota Pahandut; (2) Kecamatan Petuk Katimpun, dengan ibu kota Marang Nganduruh Langit; dan (3) Kecamatan Bukit Batu, dengan ibu kota Tangkiling. Pada bulan Februari 1964, Kecamatan Palangka dimekarkan menjadi dua kecamatan, yaitu (1) Kecamatan Pahandut, berkedudukan di Pahandut; dan (2) Kecamatan Palangka, berkedudukan di Palangkaraya (Depdikbud, 1992: 65).
Dari Kotapraja Administratif Menjadi Kotapraja Otonom Sesuai dengan kedudukannya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, maka pemerintah daerah (gubernur dan DPRD) segera melakukan pembenahan Palangkaraya, dimulai dari pemekaran wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, dan penataan kampung-kampung. Perkembangan selanjutnya, Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Tengah melalui surat keputusan Nomor 3/Pem. 170-C-2-3 tanggal 24 April 1961 membentuk Kecamatan Palangka Khusus Persiapan Kotapraja Administratif Palangka Raya terhitung 1 Mei 1961. Kecamatan Palangka Khusus Persiapan Kotapraja Administratif Palangka Raya kemudian ditingkatkan menjadi Kotapraja Palangka Raya pada tanggal 19 Juni 1961 dengan Surat Keputusan Gubernur yang memperbaiki surat keputusan tanggal 24 April tersebut.
Upaya pemekaran wilayah tersebut dilakukan untuk memenuhi persyaratan menjadi kotapraja otonom. Dengan adanya pemekaran dan penataan wilayah administratif di lingkup Kotapraja Administratif Palangkaraya tersebut, maka pada tahun 1964, Kotapraja Administratif Palangkaraya terdiri atas 4 kecamatan dan 17 kampung. Ini berarti ketentuanketentuan dan persyaratan menuju terbentuknya Kotapraja Otonom telah dapat dipenuhi. DPRD-GR Tingkat I Kalimantan Tengah telah menyetujui Pembentukan Kotapraja Palangkaraya yang dituangkan dalam Surat Keputusan tanggal 8 April 1963 Nomor Perny. /005/DPRD-GR/KT/1963. Perkembangan selanjutnya, Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Republik Indonesia (DPR-GR RI) pada tanggal 12 Desember 1964 menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembentukan Kotapraja Palangkaraya kepada Pimpinan DPR-GR RI (Karim, 2004: 42). Setelah dilakukan pembahasan sesuai mekanisme dan ketentuan yang berlaku, maka RUU tentang Pembentukan Kotapraja Palangkaraya disetujui oleh DPR-GR RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Undang-Undang tersebut akhirnya ditandatangani Presiden RI pada 12 Juni 1965, yang secara lengkap berjudul, ―Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang Pembentukan Kotapraja Palangka Raya dengan Mengubah Undang-Undang No. 27 Tahun 1959 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan‖, Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 48 (TLN Nomor 2753) tanggal 12 Juni 1965.
Dalam sistem pemerintahan saat itu yang berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah, kotapraja administratif merupakan kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan wilayah atau daerah tertentu. Kotapraja administratif dikepalai oleh seorang walikota yang bertanggung jawab kepada wilayah kabupaten yang bersangkutan. Kotapraja administratif juga tidak memiliki DPRD sendiri. Dalam hal ini, wilayah Kotapraja Administratif Palangkaraya mengambil sebagian wilayah Kabupaten Kapuas. Akan tetapi, Palangkaraya bukanlah pusat pemerintahan atau ibu kota Kabupaten Kapuas (Kabupaten Kapuas sudah memiliki ibu kota sendiri, yaitu Kuala Kapuas), melainkan pusat pemerintahan dan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan peningkatan statusnya menjadi kotapraja, Palangkaraya dapat mengatur rumah tangganya sendiri secara mandiri dan otonom.
Peresmian Palangkaraya
W. Coenraad ditunjuk sebagai Kepala Pemerintah Kotapraja Administratif Palangkaraya dengan sebutan wali kota dan sekretaris ditunjuk M.D. Pakiding, B.A., dengan tugas mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangga kotapraja. Semua dinas, jawatan, instansi tingkat Provinsi Kalimantan Tengah juga diperintahkan untuk membentuk unit satuan kerja ―Urusan Kotapraja Administratif Palangkaraya‖. Pelaksanaan pembentukan unit satuan kerja tersebut
Kotapraja
Otonom
Peresmian Palangka Raya menjadi Kotapraja Otonom dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri RI Mayjen TNI Dr. Soemarno Sosroatmodjo di lapangan Bukit Ngalangkang, halaman Balai Kota, pada tanggal 17 Juni 1965. Upacara tersebut juga dihadiri oleh Ketua Komisi B DPR-GR RI, I.S. Handokowidjojo (bersama
11 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
dengan 11 Anggota DPR-GR yang lain), para pejabat Departemen Dalam Negeri, sejumlah pejabat tinggi pemerintah pusat, Deputi Wilayah Komando Antar Daerah Kalimantan Brigjen TNI M. Panggabean, utusan-utusan pemerintah tingkat Kalimantan, Konsul RRC dan Konsul Uni Soviet, serta para pejabat sipil dan militer.
sambutan serta wejangannya, ia memuji dan sangat menghargai semangat dan keuletan para perintis pembangunan Kota Palangkaraya yang dipimpin oleh Gubernur Tjilik Riwut. Semangat itu pantas dijadikan teladan. Salah satu ucapannya adalah, ―Kita membangun Kota Palangkaraya sebagai ibu kota Kalimantan Tengah, dengan kiat kota Palangkaraya sebagai kota modal dan kota model, sangat dihargai‖. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa pembangunan harus terus dilanjutkan dengan tetap berdasarkan perencanaan tata kota yang baik ke arah terwujudnya Kota Palangkaraya yang modern. Dengan demikian, lahirlah visi pembangunan Palangkaraya sebagai ―Kota 3 M‖, yakni Palangkaraya sebagai kota modal, model, dan modern.
Sebelum upacara dilangsungkan, pada jam 08.00 diadakan demonstrasi penerjunan payung dengan membawa lambang Kotapraja Palangka Raya yang dipelopori oleh Wing Pendidikan II Pangkalan Udara RI Margahayu, Bandung, sebanyak 14 orang di bawah pimpinan Ketua Tim Letnan Udara M. Dachlan. Lambang Kotapraja Palangka Raya dibawa dengan parade jalan kaki oleh demonstran terjun payung menuju lapangan upacara. Pada hari itu, Menteri Dalam Negeri menyerahkan lambang kotapraja Palangka Raya kepada penguasa Kotapraja Palangka Raya yang juga Gubernur Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut. Dalam upacara peresmian tersebut, Tjilik Riwut menyerahkan anak kunci emas seberat 170 gram sebagai lambang kunci gerbang kota kepada Presiden Sukarno melalui Menteri Dalam Negeri.
Peresmian Kotapraja Administratif Palangkaraya menjadi kotapraja otonom disambut gembira dan meriah warga kota. Warga kota menghiasi jalan-jalan dalam kota dengan umbul-umbul, pengibaran bendera Merah Putih, dan spanduk-spanduk yang menyatakan kegembiraan mereka atas peresmian Kotapraja Palangkaraya. Secara spontan, warga masyarakat di setiap kampung menyelenggarakan berbagai pertunjukan kesenian dan hiburan serta pawai keliling kota. Selain itu, diadakan pasar malam selama lima hari berturut-turut dilapangan olahraga Sanaman Mantikei. Biaya bagi pelaksanaan kegiatan tersebut ditanggung oleh masyarakat sendiri secara gotong royong. Sumbangan-sumbangan dari berbagai kalangan masyarakat Kalimantan Tengah untuk upacara peresmian Kotapraja Palangkaraya juga disampaikan kepada Gubernur Kalimantan Tengah, baik dalam bentuk dana maupun material untuk menghiasi Kota Palangkaraya agar terlihat cantik, hidup, dan semarak.
Menteri Dalam Negeri Soemarno Sosroatmodjo mengikuti semua acara yang dilaksanakan pada pagi hingga petang hari, antara lain menerima laporan dari Gubernur Kalimantan Tengah, khususnya tentang perkembangan pembangunan Kota Palangkaraya mulai saat pemancangan tiang pertama sampai saat diresmikan sebagai kotapraja otonom. Hal ini meliputi penyusunan tata kota serta peruntukan kawasan untuk berbagai kepentingan seperti pasar, pemukiman, perkantoran, dan lain-lain. Menteri Dalam Negeri juga melakukan peninjauan ke lokasi yang akan dibangun kantor wali kota.
Pembentukan Struktur Pemerintahan
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Kalimantan Tengah juga menyampaikan harapan agar Palangka Raya menjadi ―kota modal‖ dan ―kota model‖. Kota modal, yaitu kota yang dibangun dengan perjuangan sekuat tenaga, dari tidak ada sampai menjadi ada. Kota Palangkaraya tidak dibangun di atas tempat atau kota yang sudah ada, melainkan dibangun dalam suasana pedalaman hutan Kalimantan, jauh dari pengaruh paham-paham dan aliran-aliran yang merusak serta bebas dari sisa-sisa peninggalan kolonial Belanda. Oleh karena keuletan dan kerja keras tersebut serta karena perencanaannya yang matang, Kota Palangkaraya ingin menjadi kota model, yaitu kota yang menjadi contoh dan teladan dari kota-kota lain di Indonesia.
Tjilik Riwut sebagai gubernur Kalimantan Tengah yang ditunjuk sebagai penguasa Kotapraja Palangkaraya melaksanakan tugas pemerintahan sampai dengan terbentuknya DPRD Kota, pemilihan Wali Kota Kepala Daerah Kotapraja Palangka Raya, serta pengangkatan Badan Pemerintah Harian (BPH) yang membantu tugas-tugas wali kota. Tahap pertama pembentukan pemerintahan Kotapraja Palangkaraya dilakukan dengan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRDGR) Kota Palangka Raya. Pada tanggal 23 Juli 1965, Pangdak (Panglima Daerah Kepolisian) Kalimantan Tengah Srimardji selaku Anggota Pantja Tunggal Kalimantan Tengah atas nama Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Tengah meresmikan dan melantik Keanggotaan DPRD-GR Kotapraja Palangkaraya di ruang DPRD-GR (masih dalam Lingkungan Kantor Walikota).
Pada malam hari (Kamis malam) Menteri Dalam Negeri menghadiri malam resepsi dalam rangka peresmian Kotapraja Palangka Raya pukul 20.30 WITA bertempat di Balai Tunjung Nyaho Jalan Sukarno-Hatta (sekarang Jalan Yos Sudarso). Dalam
12 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
Semula Keanggotaan Kotapraja Palangka Raya sebanyak 17 orang, kemudian sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemeritahan Daerah, maka Anggota DPRD-GR Kotapraja Palangkaraya ditambah menjadi 25 orang. Kedudukan Ketua DPRD-GR dipisahkan dari jabatan Kepala Daerah. Pimpinan DPRD-GR Kotapraja Palangkaraya sebanyak 3 orang, yaitu 1. Ketua: Mudji Adjam (dari partai politik IP-KI; 2. Wakil Ketua I: Fachrul Dirun ( partai politik NU); 3. Wakil Ketua II: Ny. Bertha A. Koetin (Golkar Wanita). DPRD-GR selanjutnya melaksanakan pemilihan Walikota Kepala Daerah dan terpilihlah Janti Saconk (mantan Sekretaris Kotapraja Administratif Palangka Raya) menjadi Walikota Kepala Daerah Kotamadya Palangka Raya. Pengangkatan tersebut selanjutnya diusulkan ke Departemen Dalam Negeri untuk mendapat persetujuan Presiden RI yang kemudian dituangkan dalam Surat Keputusan Presiden.
berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerahdaerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 53). Jika ditarik lebih jauh, pembentukan Palangkaraya pada khususnya dan pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah pada umumnya merupakan bentuk kesadaran etnis masyarakat Dayak untuk memiliki daerah pemerintahan sendiri yang otonom. Dalam sejarahnya, masyarakat Dayak memang sudah memiliki daerah pemerintahan sendiri sejak masa kolonialisme. Selain pemerintahan formal, mereka juga menerapkan sistem pemerintahan tradisional, yang dinamakan sebagai ―kedamangan‖. Awal terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah bermula dari berdirinya Serikat Dayak, disusul Pakat Dayak, dan lebih nyata lagi pada Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah. Klimaks dari kebulatan tekad rakyat Kalimantan Tengah dimanifestasikan dalam ―Ikrar Bersama‖ oleh peserta Kongres Rakyat Kalimantan Tengah, sampai terbentuknya Kantor Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah di Banjarmasin yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pada tanggal 18 September 1965, bertempat di Balai Tunjung Nyaho, Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Tengah Tjilik Riwut atas nama Menteri Dalam Negeri, melantik Janti Saconk sebagai Walikota Kepala Daerah Kotamadya Palangkaraya yang pertama. Kemudian, pada akhir bulan September 1965 itu pula, telah dapat ditunjuk/diangkat Anggota Badan Pelaksana Harian (BPH) Kotamadya sebanyak 3 orang. Dengan selesainya pembentukan DPRD-GR, pemilihan/pelantikan Walikotamadya serta Anggota BPH Kotamadya Palangkaraya itu, maka selesilah tugas Tjilik Riwut, Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Tengah selaku Penguasa Kotapraja Palangka Raya.
Dalam usaha untuk merealisasikan berdirinya Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat perbedaan pendapat mengenai lokasi yang akan dijadikan ibu kota. Kabupaten Barito menghendaki lokasi ibu kota di Muarateweh atau Buntok. Kabupaten Kapuas menghendaki lokasi ibu kota di Kuala Kapuas atau Pulang Pisau. Lalu, Kabupaten Kotawaringin menghendaki lokasi ibu kota di Sampit atau Pangkalanbun. Dapat dicatat bahwa Pahandut pada waktu itu belum disebut-sebut. Atas penilaian dari beberapa tokoh terkemuka Kalimantan Tengah, di antaranya Mahir Mahar, Pahandut diusulkan menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.
Selain membentuk struktur pemerintahan berupa walikota dan DPRD-GR, instansi pemerintah dan badan-badan lainnya yang bertempat di Palangkaraya dalam kedudukannya sebagai kotapraja otonom maupun ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, antara lain kantor gubernur Kalimantan Tengah, Kodam (Komando Daerah Militer) XI/Tambun Bungai, Pembentukan Polisi Komisariat (kini Polda) Kalimantan Tengah mulai Maret 1961, Dinas Pekerjaan Umum dan Tenaga Provinsi Kalimantan Tengah, Syahbandar Palangkaraya, Kantor pos Palangkaraya, Kantor telepon Palangkaraya, Kantor telegraf Palangkaraya, Perusahaan Daerah Air Minum Palangkaraya, dan Rumah Sakit Umum Daerah Palangkaraya (Riwut, 1962: 9—12).
Tjilik Riwut, gubernur pertama Kalimantan Tengah, mengatakan bahwa pembentukan provinsi tersebut tidak berjalan dengan lancar. Terjadi kesalahpahaman rakyat terhadap pemerintah. Sempat sebagian rakyat merasa kehilangan kepercayaannya kepada pemerintah, yang ditandai dengan serangan bersenjata ke beberapa pos pemerintah, seperti di Buntok dan Kuala Kayuan. Bahkan salah satu tokoh utama serangan ini adalah pejuang lokal pada masa kemerdekaan Indonesia, seperti Christian Simbar. Namun, sebagai pejuang yang mengerti hidup bermasyarakat dan bernegara, Christian Simbar yang merupakan pemimpin Gerakan Mandau Telawang Pancasila bersatu kembali dengan pemerintah dan mengembalikan kepercayaannya.
Kesimpulan Sejarah pembentukan Palangkaraya merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Pembentukan kota ini didahului dengan terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah
13 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
Pada 18 Mei 1957, RTA Milono, Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah, mengadakan suatu upacara di Pahandut. Dalam sambutannya, ia mengatakan bahwa Pahandut telah dipilih untuk menjadi ibu kota berdasarkan pilihan seluruh rakyat di Kalimantan Tengah. Pemerintah telah berusaha untuk membangun Kalimantan Tengah, berhasil tidaknya misi ini adalah bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga tanggung jawab rakyat Kalimantan Tengah. Selanjutnya, Milono mengumumkan nama baru bagi Pahandut, yaitu ―Palangka Raya‖, yang artinya tempat suci yang besar. Tepatlah Palangka Raya dipilih sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah sebagai satu usaha mempersatukan rakyat yang sedang mengisi kemerdekaan untuk membangun Kalimantan Tengah. Dengan demikian, konflik-konflik kepentingan dapat dihindari.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1947 No. 3, Bestuur, Borneo. Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1948 No. 14, Binnenlandsch Bestuur, Zuid Borneo, Daerah Bandjar. Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1948 No. 58, Commissie Generaal, Statut, West Borneo. Surat-surat Perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan Pemerintahanpemerintahan V.O.C., Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia-Belanda 1635—1860. 1965. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Kalimantan. Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 53). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 6). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang Pembentukan Kotapraja Palangka Raya dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UndangUndang Darurat Nomor 3 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 65).
Palangkaraya merupakan kota yang unik dalam hal tidak ada sisa-sisa peninggalan kolonial dan memang bukan kota warisan kolonial. Pembangunan kota itu dengan membuka hutan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Tata kota Palangkaraya dirancang dengan mempertimbangkan aspek filosofi masyarakat Dayak. Salah satu contoh dominan adalah kota ini mengakomodasi pola permukiman masyarakat Dayak yang berorientasi pada sungai. Masyarakat Dayak percaya bahwa air adalah sumber kehidupan. Produk rencana desain awal mula Kota Palangkaraya merupakan buah pikir putra bangsa pertama kalinya setelah Indonesia merdeka. Produk tersebut memiliki peranan penting bagi sejarah planologi atau perencanaan kota, terutama perencanaan kota pascakemerdekaan. Dengan demikian, bekas desain tersebut perlu dimaksimalkan kembali sesuai konsep awal mulanya ke dalam kondisi Kota Palangkaraya masa kini dan masa yang akan datang. Berdasarkan kajian terhadap ideologi desain Kota Palangkaraya diperoleh kesimpulan, (1) embrio Kota Palangkaraya didesain dengan prinsip sumbu; (2) secara bentuk, Kota Palangkaraya didesain dengan bentuk radial; (3) bangunan-bangunan yang diletakkan pada jalan yang menghubungkan embrio kota dan kampung Pahandut didesain dengan arah orientasi ke jalan penghubung tersebut, tanpa meninggalkan konsep kota yang berorientasi pada sungai.
Surat Kabar Kalteng Pos, 18 September 2013. Kompas, 19 Februari 2009. Nasional, 23 April 1957. Pemuda, 30 Juli 1957. Buku Ardhiati, Yuke. 2005. Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926–1965. Cetakan ke-1. Depok: Komunitas Bambu. Basry, Hasan. 2003. Kisah Gerilya Kalimantan. Banjarmasin: Yayasan Bhakti Banua. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003.
Daftar Acuan Dokumen Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1946 No. 17, Borneo, Groote Oost. Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1946 No. 134, Binnenlandsch Bestuur, Borneo, Groote Oost.
14 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014
Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia: 1948–2000. Jakarta. Gottschalk, Louis. 2008. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto, Understanding History: A Primer of Historical Method (1969). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Karim, Sarbinnor (Editor). 2004. 45 Tahun Kiprah dan Pengabdian DPRD Kalimantan Tengah. Jakarta: Indomedia. Kementerian Penerangan. 1953. Republik Indonesia: Kalimantan. Jakarta. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Laksono, P.M. et al. 2006. Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut. Cetakan ke-1. Yogyakarta: Galangpress. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. 1997. Panca Windu Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Palangkaraya. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum). 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Edisi Pemutakhiran. Jilid VI. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Pustaka Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Tengah. Jakarta Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Sejarah Sosial Palangka Raya. Jakarta. Riwut, Tjilik. 1953. Kalimantan Memanggil. Djakarta: Endang. -------. 1962. Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan Pembangunan Kota Palangka Raja. Palangka Raja: Percetakan Pemda Kalteng. -------. 1963. Amanat Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Tengah pada Peringatan Hari Palangka Raya ke-VI Tanggal 17 Juli 1963. Palangka Raya. -------. 1979. Kalimantan Membangun. Jakarta: Jayakarta Agung Offset. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta. Spiro, Kostof. 1991. The City Shaped, Urban Patterns and Meanings Through History. London: Thames and Hudson.
Suseno, Nila. 1996. Tjilik Riwut Berkisah: Sumpah Setia Masyarakat Dayak Pedalaman Kalimantan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi. Usop, K.M.A. 1996. Pakat Dayak: Sejarah Integrasi dan Jati Diri Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah. Palangkaraya: Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing. Wijanarka. 2006. Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya. Yogyakarta: Penerbit Ombak. -------. 2008. Desain Tepi Sungai: Belajar dari Kawasan Tepi Sungai Kahayan Palangka Raya. Yogyakarta: Ombak. Wawancara Abramsyah (51 tahun), camat Pahandut sejak 22 Januari 2014, pada 8 Februari 2014, via telepon. Nila Riwut (58 tahun), putri Tjilik Riwut yang aktif memajukan kebudayaan Dayak, pada 22 Maret 2014, via surat elektronik. S. Mutar (84 tahun), adik ipar Janti Saconk, Wali Kota Palangkaraya pertama, pada 5 Januari 2014, via telepon. Sabran Achmad (83 tahun), Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah, pada 4 Januari 2014 di Kota Palangkaraya. Stefanus Monong (68 tahun), damang Pahandut, pada 6 Januari 2014 di Kota Palangkaraya. Internet http://www.kalteng.go.id/ogi/viewarticle.asp?ARTICL E_id=215 (diakses pada 16 Januari 2014 pukul 20:23). http://www.kemendagri.go.id/pages/profildaerah/kabupaten/id/62/name/kalimantantengah/detail/6271/kota-palangka-raya (diakses pada 25 Januari pukul 14:37). http://www.kemendagri.go.id/pages/profildaerah/provinsi/detail/62/kalimantan-tengah (diakses pada 24 Januari pukul 19:28). http://www.palangkaraya.go.id/statis-5sejarahsingkatkotapalangkaraya.html (diakses pada 18 Januari pukul 08:52). CD dan DVD ROM Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite. 2010. Chicago: Encyclopædia Britannica. Lestari, Dian. Keliling Kalimantan Yuk! 2011. Seri Software Pendidikan. Jakarta: Elex Media Komputindo. Microsoft® Encarta® 2009. 2009. Redmond, Washington: Microsoft Corporation.
15 Membuka belantara..., Johan Candra Sasmita, FIB UI, 2014