Membuat HAM Bermakna (Draft versi 3 Desember 2008) Bernadinus Steni HuMa, Jakarta
Pembicaraan tentang atau berhubungan dengan Hak Asasia Manusia dewasa ini sangat luas dan dikaitkan dengan aspek sosial, ekonomi, politik, hukum hingga kebudayaan. Tanpa bermaksud mengurangi keluasan tersebut, tulisan ini tidak memeriksa semua sudut dan lorong HAM, juga tidak mendalami hingga menyelam dasar palung tetapi menguraikan hal-hal mendasar dari isu-isu tersebut secara umum, kalau tidak di permukaan saja. Dalam kaitan dengan itu, HAM disini, lebih banyak menguraikan perspektif yang mengemuka dalam tradisi liberal. Beberapa panduan pertanyaan untuk memulai disini adalah, apa itu HAM, dari mana sumbernya? Bagaimana dan sejauh mana HAM berkembang dan mempengaruhi pemikiran HAM masa kini ? Selanjutnya, perlu juga memeriksa hubungan antara hukum dan HAM, terutama karena sebagian besar HAM yang kita kenal saat ini tertuang dalam bentuk hukum Internasional, Nasional hingga Lokal. Karena itu, pertanyaan yang perlu diangkat adalah bagaimana dan sejauh mana HAM diterjemahkan ke dalam hukum Internasional? Apa saja instrument penting HAM Internasional? Sejauh mana HAM digunakan dalam hukum nasional Indonesia? A. Apa itu Hak Asasi Manusia?
HAM
berurusan dengan dua hal. Pertama, menyangkut hak dan kedua, mengenai manusia. Untuk menghubungkan keduanya maka dalam perdebatan filosofis, HAM pertama-tama merupakan bagian dari hak moral yang bersemayam dalam kemanusiaan seseorang. 1 Hak moral adalah hak yang didasarkan atas norma-norma dan nilai-nilai moral. Sehingga, sumber langsung HAM adalah martabat luhur yang merupakan nilai yang melekat dalam diri setiap manusia. Karena itu, secara harafiah, hak-hak asasi manusia berarti hak yang dimiliki seseorang semata-mata karena ia seorang manusia (Donnelly dalam Ceunfin, 2004: 6). Kesadaran akan pentingnya hak-hak semakin menguat seiring dengan kesadaran moral umat manusia yang juga makin berkembang. Penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak, berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai, khususnya moral. Dalam hubungannya dengan HAM, penghargaan tersebut merupakan suatu imperatif moral dan bukan soal belas kasih dan keputusan pribadi (Ceunfin, 2004: xxi). Imperatif tersebut hadir ke permukaan sebagai kebajikan manusia yang melahirkan keyakinan tentang adanya hak-hak dasar yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran atau pengurangan hak-hak
1
Hak diartikan sebagai tuntutan (claim) yang sah, yang dibenarkan (justified) yang dibuat seseorang, maupun sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain atas obyek tertentu sebagai miliknya. Atas dasar itu, orang yang mempunyai hak dibenarkan, dan bertindak sah dan wajar bila menuntut orang lain menghormati kepemilikannya atas suatu obyek. Lihat Frans Ceunfin (ed), 2004, Hak-Hak Asasi Manusia, jilid 1, Ledalero, Maumere, NTT
©
http://www.huma.or.id
tersebut akan mengurangi martabat manusia, sehingga untuk alasan apa pun hak-hak tersebut tidak boleh dikurangi, dilanggar maupun diabaikan. Meskipun seseorang melakukan perjanjian untuk menyerahkan atau mengurangi kebebasannya, kontrak tersebut tidak akan dianggap sah dan esensi HAMnya tidak akan dikurangi (Onaga & Manuel, 2004: 8). Menurut Amartya Sen, hak asasi manusia dipandang terbaik dan secara mendasar hadir sebagai komitmen dalam etika sosial yang dapat dibandingkan dengan – tapi sekaligus sangat berbeda dari – penerimaan logika utilitarian yang diusung oleh Jeremy Bentham dan pendukungnya. 2 Sebagaimana prinsip etik lainnya, HAM dapat dan tentu saja dipersengketakan, tapi disana tuntutannya adalah bahwa HAM akan tetap bertahan hidup dengan membuka diri dan terinformasikan secara cermat dan jeli (Sen, dalam Andreassen dan Marks, 2006: 3). HAM dalam pemikiran Sen berhubungan dengan dinamika dan perkembangan peradaban manusia yang memberi isi bagi HAM. Isi tersebut (HAM) selanjutnya diuji dalam ruang publik untuk mengukur, apakah klaim yang mengusung pembenarannya dapat dipertahankan secara etis. Karena itu, klaim hak disini pertama-tama bukan merupakan sesuatu yang imajiner tetapi nyata. Dworkin menyebutnya dengan istilah hak moral dalam artian yang tegas, sehingga ketika hak tersebut bersaing dengan hak lain, argumen yang disampaikan benar-benar berhubungan langsung dengan hak itu. Misalnya, ketika berhadapan dengan suatu undang-undang wajib militer, dengan mengacu pada hak moralnya yang tegas, seseorang bisa menolak melaksanakan kewajiban tersebut karena secara agama dia meyakini larangan untuk tidak membunuh. Meskipun, dia segera dihukum karena pelanggaran tersebut, hak moral itu tidak akan hilang, tetapi melekat dalam diri orang yang bersangkutan. Demikian halnya dengan larangan undang-undang atas suatu keyakinan beragama tertentu, seseorang yang menganut keyakinan tersebut berdasarkan hak moralnya melawan peraturan tersebut. Meskipun bertentangan dengan undangundang, hak moral tersebut tidak bisa diambil atau dikurangi. Ketika hak moral tersebut tergerus oleh penilaian pemerintah maka itu sama artinya memberi preseden bagi penguasa untuk berdasarkan alasan hukum, bisa serta merta mencabut hak moral seseorang. Disitu, pengakuan hak telah kehilangan artinya secara keseluruhan (Dworkin, dalam Ceunfin, 2004: 214-249). B. Prinsip-Prinsip HAM
The Vienna Declaration and Programme of Action, sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang HAM tahun 1993, menegaskan bahwa semua HAM adalah universal dan tidak dapat diasingkan (inalienable), tidak dapat dibagi (indivisible), saling berhubungan dan tergantung satu sama lain (interdependent and interrelated).
2
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah pencetus pemikiran utilitarian yang dibahas secara meluas dalam filsafat moral dan menjadi ideology politik di Inggris pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad 19. Ada tiga hal utama yang menjadi basis argumen pemikiran ini. Pertama, manusia bertindak untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri atau menurut definisi Bentham, kebahagiaannya sendiri. Kedua, aturan-aturan moral harus didasarkan pada prinsip kemanfaatan umum atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Ketiga, prinsip kemanfaatan ini juga harus menjadi standar yang mengatur kekuasaan-kekuasaan legislatif dan kebijakan-kebijakan politik. Lihat, Michael, A. Riff (ed), 1995, Kamus Ideologi Politik Modern, Pustaka Pelajar, 302-305
©
http://www.huma.or.id
Prinsip-prinsip inilah yang umum dipakai dalam memandang HAM yang sifatnya kumulatif dan serentak. Berikut ini, merupakan uraian singkat keempat prinsip tersebut. 1
Pertama, HAM disebut universal. Diyakini bahwa semua orang dimana pun, dengan berbagai bahasa dan bentuk ungkapannya memiliki HAM. Namun, ada keraguan terhadap nilai universalitas tersebut karena landas pijak HAM yang berbeda-beda, misalnya, jika mengacu pada moral maka hak moral bisa jamak dan saling bersaing satu sama lain (Dworkin dalam Ceunfin, 2004: 230). Disitu, secara substantif sulit untuk menyebut HAM yang diklaim sekelompok orang sebagai sesuatu yang universal. Menurut Sen, universalitas yang dimiliki HAM memang tergantung pada kemampuan bertahan yang dia miliki dalam diskusi lintas batas pemegang hak. Validitas hak-hak tersebut dapat dipertanyakan hanya dengan menunjukan bahwa mereka tidak dapat bertahan dari kejelian publik (ketika menguji hak-hak tersebut – pen) tapi bukan dengan – berlawanan dengan keinginan umum – menunjukan fakta bahwa dalam banyak regim represif yang menghalangi diskusi publik dalam satu aspek atau beberapa aspek, hak-hak tersebut tidak perhatikan secara sungguh-sungguh. Dalam konteks itu, menurut Sen, berkembang hidupnya HAM berhubungan dengan apa yang dikatakan John Rawls sebagai “nalar publik (public reasoning)” (Sen, dalam Andreassen dan Marks, 2006: 3). Sen, dalam hal ini, menyerahkan universalitas HAM pada diskursus publik yang dalam dirinya sendiri bertindak sebagai “hakim” atas validitas HAM yang dipertaruhkan. Arena diskusi publik beragam tapi dalam satu Negara wujudnya antara lain kesepakatankesepakatan konstitusional. Misalnya, HAM yang tertuang dalam UUD 1945 dari amandemen pertama hingga amandemen keempat, merupakan wujud diskusi publik yang menjadi prinsip moral, politik dan hukum di Indonesia sebagai negara. 2 Kedua, HAM tidak dapat diasingkan (inalienable). Disini, hak yang dimiliki setiap orang tidak dapat dipindahkan atau diambilalih dari orang tersebut dalam berbagai situasi apa pun. Seseorang tidak akan kehilangan hak-hak tersebut sebagaimana dia tidak akan pernah berhenti sebagai manusia. 3 Konsep ini merupakan warisan pemikiran hak koderati yang melihat bahwa hak asasi manusia ada, terutama karena kodrat seseorang sebagai manusia, tidak tergantung pada afiliasi politik, ikatan kultural, agama, atau relasi sosial apapun, karena manusia adalah martabat yang terberi (given), sehingga unik dan tak tergantikan (Ceunfin, 2004: xxii). 4 John Locke dalam Two Treatises of Government (1688) menggunakan konsep hak kodrati untuk mendeskripsikan hak yang dimiliki secara individual, lepas dari pengakuan politik yang diberikan oleh Negara. Hak kodrat dimiliki Lihat http://www1.umn.edu/humanrts/edumat/hreduseries/hereandnow/Part1/whatare.htm, download September, 23, Netherlands
1
Berkaitan dengan perdebatan universalisme versus relativisme HAM, Sen memperlihatkan dengan telanjang di balik ketidaksetujuan beberapa Negara Asia atas pemberlakuan universalisme HAM terutama hak Sipil dan Politik pada Konferensi HAM se-Dunia di Vienna, 1993, terdapat dorongan kuat kepentingan ekonomi. Argumentasi delegasi Singarura misalnya mengatakan bahwa “universal recognition of the ideal of human rights can be harmful if universalist is used to deny or mask the reality of diversity.” Namun argumen itu sebetulnya sebuah upaya untuk memberi jaminan politik bagi kekuasaan Lee Kwan Yew. Secara jitu Sen menyatakan, “there is, in fact, little general evidence that authoritarian governance and the suppression of political and civil rights are really beneficial in encouraging economic development”. Lihat Amartya Sen, 1997, Human Rights and Asian Values, Carnegie Council on Ethics and International Affairs, New York.
2
3http://www1.umn.edu/humanrts/edumat/hreduseries/hereandnow/Part-
5/6_glossary.htm#Anchor-Inalienable-19510, September, 23, Netherlands
Lihat juga www.ihrc.org.uk/file/Origin%20and%20development%20of%20human%20right, download 20 November 2008 4
©
http://www.huma.or.id
lepas dari dan mendahului pembentukan komunitas politik manapun. Locke berargumen bahwa hak kodrat mengalir dari hukum alam. Dan hukum alam berasal dari Tuhan. 5 Locke memberi pandangan, dengan hak kodrati atau alamiah, setiap orang karena hukum alam, berhak atas kehidupan, kebebasan dan harta milik agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak (Shapiro, 2006: 85). Ketiga, HAM tidak dapat dibagi-bagi. Seseorang tidak bisa menyangkal HAM karena alasan prioritas berdasarkan hierarki, bahwa ada HAM yang lebih penting dari yang lain. Tidak ada level dalam HAM karena semuanya sama. 6 Sifat HAM adalah mutlak. Makna yang paling kuat dan menarik perihal sifat mutlak menurut Joel Feinberg adalah sifat sama sekali tidak terkecualikan, tidak saja dalam bingkai suatu cakupan yang terbatas, tetapi juga keseluruhan cakupan itu sendiri yang tidak terbatas. Misalnya, hak kebebasan bicara disebut mutlak dalam arti bila hak itu melindungi semua pembicara tanpa kecuali (Joel Feinberg, dalam Ceunfin, 2004: 139). Seandainya hak berbicara itu pun dipakai untuk menentang suatu regim pemerintahan yang sah, hak itu tidak akan kehilangan maknanya, meskipun pelakunya dihukum berdasarkan undang-undang (Dworkin, dalam Ceunfin, 2004: 244-245). Sifat mutlak dan tidak terkecualikan membuat HAM tidak dapat dibagi karena suatu alasan dan kondisi tertentu. Namun, dalam perkembangannya, HAM juga bersifat khusus (special rights), misalnya HAM untuk anak, perempuan, indigenous peoples yang tidak menyebut semua atau setiap orang. Pengaturan khusus seperti itu, sekilas memperlihatkan HAM seolah-olah terbagi antara yang umum dengan yang khusus, tertentu dan tidak tertentu, partikular dan universal. Sehingga, seolah-olah kita bisa memilah dan memilih dengan alat ukur prioritas atau kesesuaian dengan konteks sosial dimana kita berdiri. Apa benar demikian? Adalah normal, semua orang menginginkan hidup layak tanpa tekanan, diskriminasi dan berbagai bentuk opresi lainnya. Perempuan, anak-anak maupun indigenous peoples dalam sejarah mereka, seringkali mengalami tindakan opresif baik oleh Negara, kelas tertentu maupun masyarakat dominan. Dalam konteks itu, adanya hak khusus untuk mereka, bukan karena kemewahan identitas tetapi karena mereka adalah manusia yang juga menginginkan hidupnya normal, jauh dari diskriminasi dan tindakan opresif. Hak-hak tersebut menjadi HAM, bukan untuk menguatkan hak seorang perempuan terhadap perempuan lainnya (women qua women), seorang anak terhadap anak lainnya, suatu komunitas indigenous peoples terhadap indigenous peoples lainnya, tapi seorang manusia terhadap manusia lainnya (persons qua persons). 7 Karena mereka manusia, maka kita tidak bisa memilih HAM mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Pemilah-milahan justru melanggar hak-hak tersebut, karena akan makin lama mereka berada dalam kubangan diskriminasi dan opresi. Keempat, HAM saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. HAM merupakan bagian dari kerangka kerja yang sifatnya saling melengkapi satu sama lain. Pemenuhan atas satu hak, secara keseluruhan atau sebagian, seringkali tergantung pada pemenuhan yang lain. Sebagai contoh, kemampuan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung dipengaruhi oleh hak berekspresi, hak atas pendidikan dan bahkan hak untuk memperoleh hidup yang layak. Tiap hak berkontribusi terhadap perwujudan martabat kemanusiaan seseorang, lewat pemenuhan kebutuhan
5
http://www.iep.utm.edu/h/hum-rts.htm, download 20 Nov 2008
6
http://www1.umn.edu/humanrts, op cit.
Morton Wilson, On the Indivisibility and Interdependence of Human Rights, lihat http://www.bu.edu/wcp/Papers/Huma/HumaWins.htm, September, 23, 2008. Netherlands
7
©
http://www.huma.or.id
pengembangan fisik, psikis dan spiritual. 8 Karena itu, tidak bisa diterima jika ada prioritas terhadap hak yang satu, sembari melecehkan hak yang lain. Dalam sejarah umat manusia, HAM sekaligus merupakan refleksi atas pengalaman sejarah kekerasan manusia, praktek dan tindakan opresif tertentu atau yang disebut teknik represi (techniques of repression) yang merupakan bagian dari sistem opresi (system of oppression), dan penggunaan teknik-teknik represi tersebut untuk membentuk sistem yang selanjutnya mempabrik hukum dan etika untuk mendukung bekerjanya opresi sistemik. 9 Pertalian historis ini berhubungan satu sama lain, sehingga HAM yang terbentuk dalam setiap generasi memiliki hubungan dengan generasi sebelumnya dan juga menggandeng generasi berikutnya. Mengkhususkan diri pada satu generasi HAM, berarti mengabaikan sejarah opresi yang lainnya. Disitu, secara implisit ada semacam upaya tidak langsung untuk melihat opresi yang lainnya sebagai sesuatu yang normal, dan karena itu HAM yang merupakan refleksi atas opresi tersebut tidak perlu dirujuk. Jika terjadi demikian, maka pengakuan atas sebagian HAM tersebut telah kehilangan maknanya. Karena itu, perlindungan dan pemenuhan HAM tertentu, berhubungan dan tergantung pada perlindungan dan pemenuhan HAM lainnya. Dengan demikian, saling tergantung dan berhubungan satu sama lain adalah watak dan prinisp HAM yang melekat dan serentak berjalan bersama tiga prinsip sebelumnya. C. Sumber HAM dan Kekuatan HAM
Tinjauan tentang sumber HAM sangat beragam. Namun pertanyaan dan perdebatannya lebih berkutat di sekitar filsafat daripada sains. Ada filsuf yang melihat sumber HAM berasal dari martabat manusia, namun filsuf yang lain menyangkal. Karena itu, menurut Rawls, sedikit gambaran tentang HAM, pertama-tama hak-hak ini tidak tergantung pada doktrin moral komprehensif tertentu atau konsepsi filsafat tentang kodrat manusia. Misalnya, manusia memiliki sekaligus moral dan nilai berharga yang sama atau mereka memiliki moral tertentu dan kekuatan intelektual yang mengikatkan mereka dengan hakhak tersebut. Pembicaraan tentang HAM menurut Rawls, membutuhkan teori filosofis yang dalam, dimana sebagian, bahkan sebagian besar masyarakat hirarkis mungkin menolak nilai-nilai liberal maupun demokratis atau dalam beberapa hal, ada anggapan bahwa karakter tradisi politik barat berbeda dan mengancam kebudayaan yang lain (Rawls dalam Freeman, 2001: 588). Namun, dari mana pun asal ide HAM, dia merupakan keseluruhan filsafat hidup dan pandangan dunia, dimana seseorang meneruskannya untuk menjadi sumber pandangannya tentang apa itu HAM. Seorang filsuf, Jerome Shestack (1998) menulis dalam “Human Rights Quarterly”, memberikan tinjauan dari berbagai perspektif populer dewasa ini mengenai sumber-sumber HAM, antara lain agama, hukum alam (natural law), positivism, marxism, sosiologi, utilitarian, hak kodrat, keadilan, martabat manusia dan persamaan. Tapi, kategori-kategori yang tersangkut di dalamnya tidak begitu tegas, sehingga Shestack juga mencatat, bahwa banyak penulis modern dan aktivis sekarang yang nampaknya menggunakan filsafat yang ekletis 10 untuk menggambarkan beragam ide dan tradisi yang berbeda ini. Tulisan pendek ini mengutip apa yang dipaparkan oleh Onaga dan Manuel (2004) yang hanya mengambil tiga tradisi pemikiran untuk mengupas dari http://www1.umn.edu/humanrts, op cit,lihat http://www.unfpa.org/rights/principles.htm, download 20 Nov 2008
8
9
juga
Morton Wilson, op cit.
Eklektis (eclectic) adalah sebuah pendekatan untuk menganalisis suatu fakta atau persoalan tidak dengan satu cara pandang tapi mengambil berbagai sudut. 10
©
http://www.huma.or.id
mana sumber HAM berasal. Ketiganya adalah pandangan yang melihat sumber HAM dari filsafat tentang martabat manusia (human dignity), keadilan sosial (social justice) dan positivisme (positivism) (Onaga dan Manuel, 2004: 8-9). Dalam gerakan HAM modern, martabat manusia merupakan salah satu pemikiran yang paling popular. Gagasan mengenai martabat manusia yang melekat dapat diperoleh dari sumber-sumber agama tapi juga bisa muncul dari keyakinan sekuler. Ketika orang meyakini bahwa semua orang memiliki martabat sebagai manusia maka tidak terlalu sulit untuk meyakini bahwa setiap orang harus menikmati hak tertentu yang esensial untuk menjaga martabat tersebut. Pemikiran atas hak-hak tersebut biasanya mencakup hak untuk bebas dari siksaan, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebebasan berekspresi. Di samping itu, bebas dari kerja paksa, hak untuk bebas dari eksploitasi dan hak ekonomi dan sosial seperti hak atas makanan, perumahan, kesehatan dan pekerjaan (Onaga dan Manuel, 2004: 9). Pemikiran lain mengatakan bahwa masyarakat harus diatur dalam cara yang menjamin keadilan sosial. Disitu, orang dikatakan memiliki HAM agar keadilan sosial yang dimaksud, bisa terwujud. HAM disini tidak hanya mencakup semua hak yang diperlukan untuk menjamin martabat manusia tapi juga hak-hak lainnya, seperti hak atas persamaan ekonomi dan keadilan sosial (Onaga dan Manuel, 2004: 10). Selain itu, diperlukan semacam prakondisi yang disebut Wilson sebagai social cooperation, kerja sama sosial. Kerja sama dibutuhkan terutama karena setiap orang, apalagi yang terbenam dalam ketertindasan dan ketidakadilan, umumnya kurang memiliki kemampuan atau kekuasaan untuk secara penuh melindungi dan mempertahankan kepentingan mereka. 11 Pemikiran lain yang sangat popular adalah pandangan positivis yang melihat HAM bersumber dari hukum. Positivisme, dalam hal ini, secara umum mengatakan bahwa hak hanya bisa disebut sebagai hak, hanya ketika diadopsi proses resmi ke dalam hukum. Pandangan ini populer sebelum perang dunia II, tapi segera kehilangan popularitasnya karena watak kekejaman Nazi yang digerakan dibawah hukum Nazi, dimana hukum tersebut dibentuk sesuai dengan prosedur hukum di Jerman, tapi secara mengerikan mendehumanisasi dan melegalisasi kekejaman dan genosida dengan menguliti hak-hak yang dimiliki oleh orang-orang yang menjadi target. Gerakan HAM pasca-Nazi dilancarkan sebagai reaksi terhadap positivisme, dimana dia melahirkan dorongan yang meyakini bahwa ada beberapa hak-hak fundamental manusia yang harus membungkam hukum Nazi dan membuatnya menjadi tidak berdaya (Onaga dan Manuel, ibid). Meskipun demikian, hubungan antara gerakan HAM dan hukum positif agak sedikit membingungkan. Walaupun banyak aktivis dan pemikir yang tidak ingin untuk hanyut dalam filsafat positivisme murni, mereka tampaknya masih bersandar pada hukum internasional yang ada, dalam rangka mengadvokasi HAM. 12 Dalam kenyataanya, banyak 11
Morton Wilson, op cit.
Reaksi terhadap Nazi beragam. Salah seorang pemikir besar dalam ilmu hukum, Hans Kelsen juga mencetuskan teori murni tentang hukum sebagai reaksi atas intervensi politik Nazi terhadap hukum Jerman. Menurut Kelsen, untuk menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada, maka pertama-tama hukum harus dipandang sebagai ilmu hukum, bukan politik hukum. Ia disebut teori hukum murni lantaran ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsure-unsur asing seperti psikologi, sosiologi, etika dan teori politik. Lihat Hans Kelsen, 1978, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusamedia & Nuansa, Bandung, hal 1-2. Pemikiran Kelsen, sayangnya mengkoreksi positivisme dalam ilmu hukum tidak hanya apolitis tapi menjadikan hukum semakin legistik, karena hukum semata-mata dipandang sebagai kerajaan bagi dirinya sendiri yang punya 12
©
http://www.huma.or.id
aktivis gerakan HAM yang merasa tidak menggigit, jika tidak menghubungkan kasus dengan pelanggaran atas hukum Internasional maupun Nasional tentang HAM. Selain itu, pandangan resmi suatu Negara lewat para pejabat pemerintah, parlemen hingga aparat penegak hukum memperlihatkan preferensi HAM selalu merujuk ke hukum Internasional (Onaga dan Manuel, 2004: 10-11). HAM yang melulu dipandang sebagai aturan hukum akan berisiko terjebak dalam formalisme; bahwa sesuatu hanya bisa dianggap HAM jika tercantum dalam aturan. Sehingga, kekerasan sistematis terhadap perempuan maupun minoritas tertentu, tidak akan dihukum karena belum ada aturan yang mengatur. Padahal, sekedar mengingatkan kembali prinsip dasar HAM, pengakuan, perlindungan dan pemenuhan atas HAM tertentu, harus juga merupakan pengakuan atas HAM yang lain. Pemikiran Rawls, sekali lagi, perlu dikutip disini. Menurut Rawls, ketimbang merujuk ke dasar filosofis HAM yang jamak, maka perlu diambil jalan lain untuk mengatakan bahwa HAM merupakan ekspresi standar minimum institusi politik yang terorganisir dengan baik untuk semua orang yang merupakan bagian dari masyarakat politik tersebut. Pelanggaran sistemik atas hak-hak ini merupakan sesuatu yang serius dan mendatangkan masalah bagi masyarakat manusia secara keseluruhan, baik dalam masyarakat liberal maupun hirarkis. Ketika mereka mengekspresikan standar minimum, prasyarat-prasyarat bagi hak-hak ini, seharusnya agak berkurang (Rawls dalam Freeman, 2001: 588-589). Kita kemudian mempertimbangkan dalil bahwa sistem hukum masyarakat harus, antara lain, memasukan kewajiban dan tuntutan moral dalam hukum, maka implikasinya mencakup dua hal: (1) konsepsi kebaikan bersama tentang keadilan; (2) keyakinan yang baik dalam diri pejabat resmi untuk menjelaskan dan menegaskan aturan hukum terhadap siapa pun yang terikat oleh hukum (Rawls, ibid). Untuk membuat kedua hal ini bekerja, tidak perlu membutuhkan gagasan liberal bahwa seseorang pertama-pertama merupakan warga Negara dan karena itu merupakan anggota masyarakat yang bebas dan sederajat yang memiliki hak-hak tersebut sebagai hak warga Negara. Kita, sebaliknya, hanya membutuhkan orang-orang yang bertanggung jawab dan anggota masyarakat yang bekerja sama, dapat mengakui dan bertindak sesuai dengan kewajiban dan tuntutan moral mereka. Akan sangat sulit untuk menolak persyaratan ini (konsepsi keadilan bersama dan keyakinan yang baik dari aparat untuk menegaskan hukum), karena tekanannya sangat kuat sebagai standar minimal suatu regim. Rawls, kemudian menegaskan bahwa HAM yang merupakan hasil dari persyaratan-persyaratan ini, tidak dapat ditolak, karena alasan bahwa HAM merupakan bagian dari pemikiran liberal atau semata-mata kekhususan tradisi Barat. Dalam konteks itu, HAM netral secara politis (Rawls dalam Freeman, 2001: 589). Disini, Rawls menegaskan perlunya menciptakan kondisi-kondisi yang memampukan pelaksanaan HAM (enabling condition). Kondisi-kondisi tersebut tidak lagi merujuk pada tradisi pemikiran tertentu tapi pada komitmen bersama masyarakat dan niat baik aparat pemerintah. Misalnya, hak atas kesehatan. Masyarakat harus menjaga lingkungannya sendiri agar menjamin terpenuhinya hak tersebut. Pemerintah juga membentuk kebijakan yang menyediakan perawatan kesehatan murah, bila perlu bebas biaya, terjangkau dan memenuhi standar pelayanan kesehatan layak. Kondisi-kondisi itulah yang disebut “kondisi yang memampukan” pemenuhan hak atas kesehatan.
logika sendiri, bebas dari intervensi bidang ilmu apa pun. Kritik terhadap teori ini bisa dibaca dalam Surya Prakash Sinha,1993, Jurisprudence Legal Philosophy, West Publishing, hal. 311-312
©
http://www.huma.or.id
D. Perkembangan HAM
Konsep hak asasi manusia yang kita kenal saat ini bersumber dari pemikiran Barat yang diletakan oleh beberapa nama berabad-abad yang lalu. Namun, permulaannya dalam bentuk tertulis dan menjadi hukum paling tidak dimulai oleh Raja John dari Inggris. Pada 1215, karena melanggar hukum-hukum tua dan kebiasaan yang sudah lama dipakai Inggris, Raja John dipaksa untuk menandatangani Magna Charta atau Piagam Agung yang menguraikan satu per satu sejumlah hal yang kemudian hari dikenal dalam pemikiran hak asasi manusia. Di antara hak-hak yang tertuang, antara lain disebutkan hak gereja untuk bebas dari intervensi pemerintahan, hak semua warga Negara bebas 13 untuk memiliki dan mewarisi properti yang bebas dari pajak yang eksesif atau berlebihan. Piagam tersebut juga memberi landasan bagi hak para janda yang memiliki properti untuk memilih tidak kawin lagi dan juga meletakan dasar bagi prinsip perlakuan yang adil dan setara depan hukum. Di samping itu juga berisi ketetapan yang melarang penyuapan dan perlakuan aparat yang buruk. 14 Era abad ke-18 dan 19 di Eropa, beberapa filsuf mengusulkan konsep hak alamiah atau koderati (natural rights) yakni sebuah hak yang dimiliki seseorang karena koderatnya dan juga keberadaannya sebagai manusia, bukan karena kebajikannya sebagai warga di suatu Negara atau anggota kelompok agama maupun suku tertentu. Konsep ini menjadi perdebatan hebat dan ditolak oleh beberapa filsuf lain karena tidak berdasar pada argumentasi yang memadai. Kelompok yang lain itu melihat bahwa hak merupakan rumusan dari prinsip penting dari mana semua ide tentang hak warga, termasuk kebebasan politik dan agama berasal. 15 Pada akhir era 1700-an, dua revolusi terjadi yang secara kuat menggerakan konsep hak. Tahun 1776, sebagian besar koloni Inggris di Amerika Utara memproklamasikan kemerdekaan mereka dari kontrol Inggris lewat sebuah dokumen yang menginspirasi dan memicu perdebatan, Deklarasi Kemerdekatan Amerika Serikat (U.S. Declaration of Independence).
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Kami memiliki kebenaran-kebenaran ini untuk membuktikan kepada diri sendiri; bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa mereka disediakan oleh pencipta-Nya dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut, di antara hak-hak ini adalah hak untuk hidup, kebebasan dan mengejar kebahagiaan. (We hold these truths to be self-evident; that all men are created equal that they are endowed by their creator with
Tahun 1789 rakyat Perancis menggulingkan monarki mereka dan membangun Republik Perancis yang pertama. Revolusi ini melahirkan “Deklarasi Hak-Hak Manusia” (Declaration of the Rights of Man). Disebut warga Negara bebas karena ada kategori warga Negara yang tidak bebas seperti tahanan dan juga ada budak yang tidak menjadi bagian dari warga Negara tapi merupakan properti dari pemiliknya. 13
14 Lihat A Short History of the Human Rights Movement, http://www.hrweb.org/history.html, Netherlands, 23 September 2008 15
Ibid
©
http://www.huma.or.id
Istilah hak-hak koderati pada akhirnya tidak disukai tetapi konsep hak-hak universal diterima secara luas. Filsuf seperti Thomas Paine, John Stuart Mill, dan Henry David Thoreau memperluas konsep tersebut. Thoreau merupakan filsuf pertama yang menggunakan istilah hak asasi manusia (human rights) yang dituangkan dalam tulisan yang panjang dan serius “Civil Disobedience”. Karya ini dengan kuat mempengaruhi secara individual orang-orang seperti Leo Tolstoy, Mahatma Gandhi, and Martin Luther King. Gandhi dan King, secara khusus mengembangkan gagasan-gagasan mereka tentang perlawanan tanpa kekerasan terhadap tindakan pemeintah yang tidak etis dalam menjalakan pekerjaannya. 16 Sementara, John Stuart Mill, filsuf asal Inggris mengeluarkan karya Essay on Liberty yang banyak berhubungan dengan hak asasi manusia. Demikian halnya dengan teoritikus politik Amerika, Thomas Paine mengeluarkan karya, The Rights of Man. Abad pertengahan dan akhir abad 19 memperlihatkan sejumlah isu penting yang pada akhir abad ke-20 diperhitungkan sebagai isu hak asasi manusia. Isu-isu tersebut mencakup perbudakan, kerja paksa, kondisi kerja yang kejam, upah yang sangat rendah, pekerja anak dan di Amerika ada masalah Indian yang muncul pada masa itu. Di Amerika, perang berdarah karena alasan perbudakan hampir meremukan Negara itu, hanya 8 tahun setelah mereka mengumumkan “semua manusia diciptakan sama” (1861–1865). Rusia membebaskan pekeja paksa dari kebun dan ladang-ladang tuan tanah pada tahun ketika perang saudara Amerika dimulai (1861). Tidak hanya emansipasi budak di Amerika tapi juga pelepasan pekerja paksa Rusia paling tidak memperlihatkan derajat gerakan emansipasi kebebasan yang nyata atau hak-hak dasar dalam banyak dekade sejarah manusia. 17 Meskipun upaya-upaya memperjuangkan hak semakin meluas, pada bagian akhir abad 19 dan pertengahan pertama abad 20, aktivitas hak asasi manusia menyisakan keterikatan yang dalam dengan group politik, agama dan keyakinan. Berbagai revolusi memperlihatkan kekejaman pemerintah sebagai bukti sekaligus alasan, bahwa ideologi (HAM) diperlukan untuk membawa perubahan dan mengakhiri pelanggaran dan kekejaman pemerintah. Banyak orang yang terlibat dalam revolusi berawal dari rasa terganggu oleh tindakan pemerintah yang menggunakan kekuasaannya. Pemerintah kemudian membungkam, menindak dengan keras dan pertumbuhan tingkat kejahatan dan ketidakpatuhan sosial menjadi alasan mengapa pendekatan yang keras perlu ditujukan kepada orang-orang yang berbeda pendapat. 18 Tidak hanya group yang memiliki kredibilitas moral yang terlibat tapi juga banyak yang tidak memiliki kredibilitas tertentu ikut dalam revolusi, karena perhatian mereka secara umum bersifat politis, bukan kemanusiaan. Protes partisan yang bersifat politis seringkali mendorong lebih banyak tindakan keras dan warga Negara yang tidak terlibat dan terperangkap dalam rentetan protes biasanya dihujat dari dua sisi. Alasan-alasan ketidakterlibatan mereka pun tidak akan didengar. 19 Meskipun demikian, dalam era itu, banyak gerakan sipil dan hak asasi manusia yang diatur untuk mempengaruhi perubahan sosial secara mendalam. Serika pekerja mengusung hukum yang memberikan pekeja hak untuk mogok, membangun kondisi kerja minimum, melarang atau mengatur pekerja anak, dan seterusnya. Sementara gerakan hak 16
Ibid
17
ibid
18
ibid
19
Ibid
©
http://www.huma.or.id
perempuan sukses dalam memperolah hak perempuan untuk memilih. Gerakan kemerdekaan nasional di banyak Negara sukses mengeluarkan kekuasaan colonial. Misalnya, gerakan yang dibangun Mahatma Ghandi di India. Gerakan karena ketertindasan rasial dan agama minoritas yang berkepanjangan sukses di belahan dunia yang lain, termasuk gerakan hak sipil di Amerika. 20 Tahun 1919, sebagai salah satu reaksi atas Perang Dunia Pertama, Liga BangsaBangsa (League of Nations) terbentuk lewat perjanjian Versailles dengan tujuan mempromosikan kerja sama Internasional untuk mencapai perdamaian dan keamanan (to promote international cooperation and to achieve peace and security). Pada kesempatan yang sama juga dibentuk Organisasi Buruh Internasional (The International Labour Organization) yang langsung berada di bawah LBB. 21 Pada perkembagan berikutnya, kegagalan LBB mencegah Perang Dunia Kedua, melahirkan organisasi baru yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 1 Januari 1942, di bawah hiruk pikuk Perang Dunia II, diumumkan “Declaration by United Nations" oleh 26 perwakilan bangsa-bangsa yang mendesak komitmen pemerintah mereka untuk terus berjuang bersama menghadapi kekuatan Negara-negara Axis. Pada United Nations Conference on International Organization tahun 1945, di San Francisco, yang dihadiri oleh perwakilan 50 negara, piagam PBB ditandatangani. Organisasi ini kemudian resmi didirikan tanggal 24 Oktober 1945 ketika hampir semua Negara menandatangani, termasuk Uni Soviet, Prancis, China, Inggris dan Amerika Serikat. 22 Organisasi ini kemudian memainkan peranan penting dalam mengkerucutkan nilai-nilai kemanusiaan ke dalam kesepakatan-kesepakatan Internasional antarbangsa, baik yang bersifat ajakan maupun mengikat secara hukum. Salah satu dasar pertama yang diletakan adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration on Human Rights) 1948, sebagai refleksi bersama pasca kehancuran luar biasa akibat Perang Dunia II. Gerakan civil society juga tidak ketinggalan mendorong sejumlah usulan hingga pembentukan organisasi untuk mempromosikan dan memantau perkembangan HAM secara Internasional, maupun perwujudannya di berbagai Negara. Tahun 1961, grup pengacara, wartawan, penulis dan berbagai kelompok lain bingung dan frustrasi, karena hukuman 20 tahun penjara yang dijatuhkan atas dua orang mahasiswa portugis, hanya karena mengangkat gelas untuk toast di bar, sebagai salah satu bentuk kebebasan. Mereka membentuk “Appeal for Amnesty”, 1961 atau kemudian dikenal dengan nama Amnesty International. 23 Mereka mempromosikan hak sipil dan politik warga Negara dan memantau serta mempublikasikan pelanggaran hak-hak tersebut di berbagai Negara. Banyak publikasi mereka mendapat respons dari berbagai Negara maupun organisasiorganisasi Internasional, termasuk PBB. Dari perkembagan yang dipaparkan di atas, nampak jelas bahwa pengakuan terhadap hak asasi manusia, dipengaruhi oleh dua konteks. Pertama, tuntutan rakyat di Negara-negara tertentu untuk mendapatkan emansipasi terhadap penguasa-penguasa politik mereka. Misalnya, dokumen Magna Charta, Deklarasi Kemerdekaan Amerika, Deklarasi Hak-Hak Manusia, Universal Declaration of Human Rights. Kedua, pemikiranpemikiran tokoh-tokoh besar yang membuka perspektif baru tentang manusia dan hakhaknya yang sangat mempengaruhi banyak perjuangan dan pernyataan tentang hak-hak.
20
ibid
21
http://www.un.org/aboutun/history.htm
22
Ibid
23
A Short History of the Human Rights Movement, op cit.
©
http://www.huma.or.id
Misalnya, John Locke, Thomas Paine, John Stuart Mill, Martin Luther King, Mahatma Gandhi, dan pemikir serta pejuang HAM lainnya (Ceunfin, 2004: xx-xxi). E. Hukum Internasional tentang HAM
Ada begitu banyak piagam maupun perjanjian Internasional yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia, namun dalam tulisan ini, saya hanya mengambil tiga hukum Internasional yang bisa dikatakan sebagai peletak dasar HAM yang terus dikembangkan dalam turunan-turunan yang lain. Ketiganya adalah The Universal Declaration on Human Rights (1948) atau disingkat UDHR, The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966) disingkat ICESCR, dan The International Covenant on Civil and Political Rights (1966), disingkat ICCPR. 24 Dalam UDHR sekali lagi disebutkan, bahwa penghargaan terhadap martabat dan hak-hak dasar manusia merupakan sikap yang muncul karena keyakinan bahwa manusia dikaruniai akal budi dan suara hati yang seharusnya membuat mereka bergaul satu sama lain dalam persaudaraan (pasal 1). Karena itu, setiap orang berhak atas semua hak yang termaktub dalam deklarasi ini (pasal 2). Untuk mewujudkan hak-hak tersebut, ada tiga prinsip utama. Pertama, setiap orang memiliki kewajiban-kewajiban terhadap masyarakat karena hanya dalam masyarakat itulah dimungkinkan perkembangan kepribadiannya secara bebas dan utuh (29 ayat 1). Kedua, dalam menjalankan hak-haknya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syaratsyarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (29 ayat 2). Karena itu, Undang-undang yang dimaksud disini adalah Undang-undang yang melindungi dan mewujudkan HAM, bukan menghambat atau bahkan membungkam HAM. Ketiga, pelaksaan hak-hak dan kebebasan ini, dalam hal apa pun, tidak boleh dilaksanakan secara bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip PBB (pasal 29 ayat 3). Selanjutnya, UDHR sekali lagi mengunci interpretasi teks deklarasi ini dengan menegaskan bahwa tafsiran atas pasal-pasal dalam Deklarasi ini tidak boleh mengandung suatu maksud bahwa suatu Negara, setiap orang atau kelompok bisa menghapus hak-hak dan kebebasan yang ada dalam Deklarasi ini. Dalam ICESCR dan ICCPR juga sekali lagi ditegaskan mengenai pentingnya kewajiban Negara-negara untuk menghormati dan menjamin hak-hak individu, demikian halnya dengan individu juga memikul tanggung jawab untuk mewujudkan hak-hak individu yang lain yang tercantum dalam dua konvensi ini. Kedua konvensi ini juga, sebagaimana UDHR, mencantumkan dua syarat tafsir secara lebih tegas. Pertama, konvensi ini tidak boleh ditafsirkan sebagai mengandung maksud bahwa suatu Negara atau kelompok atau perorangan berhak untuk terlibat dalam satu kegiatan tertentu atau melakukan satu tindakan tertentu yang bertujuan menghapus salah satu hak atau kebebasan yang diakui kedua konvensi ini, atau yang bertujuan membatasi hak-hak dan 24 Pemisahan antara ICESCR dan ICCPR tidak terlepas dari konteks politik perang dingin, dimana kubu Barat menginginkan hak sipil dan politik yang didahulukan, sementara kubu Uni Soviet yang sosialis, menginginkan hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang menjadi prioritas. Karena sama-sama bersikukuh dengan pendapat masing-masing maka kelompok Negara-negara barat melihat bahwa jika keduanya digabungkan, tidak akan pragmatis karena memiliki mekanisme implementasi yang secara signifikan berbeda. Lihat South Asia Human Rights Documentation Center, 2006, Introducing Human Rights, an Overview Including Issues of Gender Justice, Environmental, and Consumer Law, Oxford University Press, New Delhi, hal. 16-17
©
http://www.huma.or.id
kebebasan tersebut lebih dari apa yang diperkenankan dua konvensi ini. Kedua, tidak melakukan pembatasan terhadap atau pengurangan salah satu hak dasar manusia yang diakui atau yang terdapat dalam suatu Negara yang menjadi pihak dalam dua Kovenan ini menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya sebagai hak yang lebih rendah sifatnya. 25 Dua syarat tegas ini merupakan bagian dari prinsip universalisme HAM, sekaligus menepis relativisme nilai kemanusiaan karena alasan-alasan tertentu. Namun dari segi pelaksanaan, kedua konvensi ini memiliki dua konsekuensi yang berbeda, terutama karena perbedaan rumusan mengenai kewajiban Negara atas konvensi ini. Dalam ICCPR disebutkan bahwa “Negara berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini.....” (pasal 2 ayat 1). Sementara, ICESCR menyebutkan “Negara berjanji mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hakhak yang diakui oleh Kovenan ini...” (pasal 2 ayat 1). Apa konsekuensinya ? Pertama, ICCPR lebih tegas memaksa Negara para pihak untuk tunduk dan mematuhi hak-hak dalam konvensi tersebut. Karena itu, kata “menghormati” dan “menjamin” tidak diikuti oleh syarat apa pun. Sementara, ICESCR memandatkan alokasi sumber daya untuk mewujudkan hak-hak dalam konvensi. Namun, dengan mempertimbangkan kemajuan ekonomi yang berbeda antarmasing-masing Negara pihak, maka tidak adil jika pelaksanaan itu disamakan untuk semua Negara. Artinya, konvensi ini masih membuka peluang secara terbatas atas perbedaan implementasi pelaksanaan konvensi. Dikatakan secara terbatas, karena alasan ekonomi tidak boleh menciptakan diskriminasi baru maupun segala bentuk aktivitas yang justru bertentangan dengan prinsip dasar konvensi. Karena itu, penjelasan umum atas konvensi ini menyebut istilah “kewajiban segera” (immediate obligations) untuk memastikan bahwa pemenuhan hakhak yang relevan tidak boleh diskriminatif dan bukan sesuatu yang dicapai secara bertahap, tapi sebaliknya dijalankan dengan segera (South Asia Human Rights Documentation Center, 2006: 18). Kedua, ICCPR memiliki komite hak asasi manusia (Human Rights Committee) sebagai badan yang memonitor pelaksanaan konvensi, melakukan pemeriksaan atas laporan terkait pelaksanaan konvensi (termasuk pelanggaran atas konvensi) dan memberikan rekomendasi maupun laporan atas perkembangan pelaksanaan konvensi di masing-masing Negara. Mekanisme ini menunjukan bahwa ICCPR mempromosikan HAM tuntas hingga ke bentuk kelembagaan. Tapi ICESCR menyerahkan promosi tersebut kepada mekanisme masing-masing Negara pihak. Perbedaan tersebut gagal memasukan prinsip “tidak dapat dibagi dan saling berhubungan antar nilai-nilai dan norma-norma HAM” yang sebelumnya diakui dalam UDHR. Disana, rupanya blok politik Negara-negara pihak jauh lebih keras, daripada komitmen utuh untuk mewujudkan HAM di masingmasing negara.
F. HAM di Indonesia
Perkembangan HAM di Indonesia, secara konseptual dipengaruhi oleh perkembangan di level Internasional. Perkembangan politik Indonesia, terutama ketika merancang UUD 1945, HAM tidak banyak mengalami perhatian seperti sekarang. Bahkan beberapa pemikir awal konstitusi menilai HAM sebagai budaya Barat yang tidak cocok dengan kultur 25
Pasal 5 ICCPR dan ICESCR
©
http://www.huma.or.id
Indonesia maupun regional Asia. Indonesia menurut pendapat itu, lebih dekat dengan nilai-nilai Jepang, yang kebetulan menjajah Indonesia, dimana nilai kolektif kekeluargaan diutamakan dan kekuasaan kepala keluarga menjadi keutamaan. 26 Soepomo, proponen utama pendapat tersebut, melihat hak individu tidak lain dari bagian organik Negara yang mempunyai kedudukan tersendiri untuk turut menyelenggarakan kemuliaan Negara, sangat gigih menolak mencantumkan pasal mengenai jaminan hak-hak dasar (Simandjuntak, 2003: 230). Karena itu, berdasarkan kompromi pasal-pasal HAM dicantumkan secara terbatas. Selama Orde Baru, dalam berbagai fakta dan riset ditemukan, HAM dibungkam untuk memberi ruang kontrol dan monopoli kekuasaan otoritarian atas individu. Sistem dan teknik-teknik pendukungnya dirancang sedemikian rupa dan dengan berbagai cara dipakai untuk mendukung dan menguatkan sistem kekuasaan yang dibangun. Dapat dikatakan disini, bahwa dengan mengacu pada prinsip-prinsip HAM, Orde Baru telah menolak HAM seluruhnya dan memanipulasi kontrol Negara untuk mengekang dan membungkam HAM. Pasca Orde Baru, HAM secara formal diakui. Setidaknya, kemajuannya dapat dilihat lewat beberapa konvenan yang diratifikasi antara lain: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Keanekaragaman Hayati) UU No 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No 105 Mengenai Penghapusan Kerja Paksa; UU No 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No 111 Mengenai Diskriminsi dalam Pekerjaan dan Jabatan UU No 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 UU No 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) atau ICESCR UU No 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) atau ICCPR Namun, sejauh pengakuan formal yang cukup masif, terdapat sesat pandang atas pemenuhan HAM, baik HAM Internasional yang diratifikasi maupun HAM yang dibentuk lewat proses politik dalam negeri, seperti UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Sesat pikir tersebut, dalam implementasi hak EKOSOB, misalnya, paling tidak menyangkut tiga hal 27 : 1. Kekurangan Budget Pemerintah kekurangan budget sehingga tidak semua HAM bisa dijalankan secara serentak. Alasan ini, dalam hal tertentu masuk akal, misalnya, untuk menjamin hak atas perumahan maka harus ada kebijakan perumahan murah yang bisa diakses. Lihat pendapat Soepomo mengenai Negara integralistik. Dikatakan bahwa “……prinsipprinsip yang dikandung dalam staatsidee kekeluargaan adalah prinsip persatuan antara pimpinan dan rakjat dan prinsip persatuan dalam Negara, dan hal ini seluruhnja sesuai dengan alian pemikiran ketimuran (termasuk Indonesia), Marsillam Simandjuntak, 2003, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Pustaka Grafiti Utama, Jakarta, hal. 53 26
Sesat pikir dalam melihat pelaksanaan hak EKOSOB dapat dilihat dalam tulisan A. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto, 2007, Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Konvenan EKOSOB, Jurnal HAM, Vol. 4, hal. 22-37 27
©
http://www.huma.or.id
Artinya, ada budget yang harus disediakan untuk itu. Kekeliruannya disini adalah seolah-olah implementasi HAM semata-mata berjalan, jika ada dukungan uang. Padahal, HAM juga berhubungan dengan penciptaan kondisi yang memadai agar rakyat bisa mempunyai kemampuan untuk memenuhi haknya. Misalnya, hak atas perumahan tidak akan pernah terwujud, jika prioritas tata ruang hanya untuk bangunan investasi, mall, jalan tol, dan investasi lainnya. Hak atas penghidupan yang layak juga sulit terpenuhi, jika tanah dan kekayaan alam diprioritaskan bagi para pelaku ekonomi skala besar, sementara rakyat banyak hanya diberikan alokasi sangat kecil. Ketidakseimbangan, dengan sendirinya menciptakan ketimpangan hak. 2. Menunggu Makmur Argumentasi yang berdekatan satu sama lain, bahwa situasi ekonomi Negara tidak cukup memadai untuk pemenuhan HAM secara serentak dan merata. Argumen ini mirip dengan argumen kekurangan budget. Persoalan pemenuhan tidak semata-mata pada tingkat kemakmuran ekonomi tapi pada upaya untuk membuat masyarakat, individu dan kelompok memiliki kemampuan untuk membuat hak mereka bisa terpenuhi. Misalnya, tidak mungkin hak atas perumahan bisa terpenuhi jika penggusuran tidak disertai solusi pembukaan rumah pengganti. Tapi juga di depan mata banyak real estate dibangun dengan segala kemewahan mencolok meski secara jelas melanggar tata ruang. Kondisi-kondisi itu tidak membutuhkan tingkat kemakmuran tertentu tapi komitmen pemerintah untuk menegaskan kesepakatan tentang keseimbangan hak dan juga kontrol dari masyarakat sendiri agar haknya tidak diekspresikan sedemikian rupa, hingga secara langsung maupun tidak, justru melanggar hak orang lain. Pendekatan budget dan kemakmuran dalam upaya mewujudkan HAM, justru menyerahkan HAM semata-mata tergantung pada kondisi ekonomi. Padahal HAM tidak mensyaratkan apapun, karena sekecil apapun maupun seberapa besar apapun kemampuan ekonomi seseorang, tidak akan membuat martabatnya menjadi lebih rendah atau lebih tinggi di atas yang lain. 3. Dipenuhi secara bertahap Sudah diuraikan di muka bahwa HAM berhubungan satu sama lain. Dengan mengatakan HAM akan dipenuhi secara bertahap, artinya kita setuju dengan pemikiran menghentikan HAM tertentu untuk memberi tempat bagi HAM yang lain. Pendekatan ini sesungguhnya membuat pemenuhan sebagian HAM menjadi tidak ada artinya, karena HAM tidak lagi hadir karena kemanusiaan tapi karena syarat-syarat kondisional. Artinya, HAM dalam pendekatan seperti ini, secara esensial telah lenyap sejak dini dan diganti hanya oleh persyaratan-persyaratan. 4. Konteks dalam negeri Alasan yang seringkali berulang-ulang hingga basi adalah pemerintah menyesuaikan konteks HAM Internasional dengan situasi dalam negeri. Alasan ini agak berbahaya karena seperti sebuah “excuse” atau alasan pemaaf terhadap pelanggaran HAM, secara sengaja maupun tidak oleh berbagai pihak, termasuk agensi pemerintah. Situasi dalam negeri yang beragam, tanpa ukuran yang jelas dan bias ujaran pendukungnya, menjadi penjara pertama bagi HAM sebelum menghadapi konteks politik dan sosial yang sebenarnya. Ketiga alasan di atas selain bertentangan dengan hukum Internasional, juga mengabaikan prinsip “tidak dapat dibagi”, “tidak dapat diasingkan” maupun prinsip “saling berhubungan dan mempengaruhi” yang secara implisit tertuang dalam UU No 39 Tahun 1999. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa “setiap hak asasi tersebut menimbulkan kewajiban asasi untuk menghormati hak asasi orang lain”. Disitu, negara atau organisasi apapun di luar negara tidak berhak untuk menyatakan hak seseorang dilarang atau dibatasi. Secara tegas, prinsip itu tertuang dalam pasal 74, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lihat box
©
http://www.huma.or.id
Pasal 74 UU No 39 Tahun 1999 Tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak mana pun dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini. Jadi, pemerintah tidak bisa menggunakan alasan kekurangan budget atau menunggu kehidupan ekonomi lebih baik untuk mewujudkan pemenuhan atas HAM. Pemerintah juga tidak memiliki alasan hukum untuk secara bertahap memenuhi HAM sembari mencadangkan HAM tertentu. Pasal undang-undang ini pun, langsung berhubungan dengan ketentuan yang tercantum dalam berbagai hukum Internasional, termasuk UDHR, ICCPR dan ICESCR. Artinya, secara moral maupun hukum, mekanismemekanisme HAM Internasional juga bisa digunakan di Indonesia, karena Indonesia juga secara substantif maupun politik sudah tunduk pada hukum Internasional tentang HAM. Disitu, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk menghindar. Disitu juga alasan mengapa kita perlu merayakan HAM.
©
http://www.huma.or.id
Referensi: Ceunfin, Frans, (ed), 2004, Hak-Hak Asasi Manusia, jilid 1, Ledalero, Maumere, NTT Donnelly, Jack, “Konsep Mengenai Hak Asasi Manusia”, dalam, Ceunfin, Frans (ed), 2004, Hak-Hak Asasi Manusia, jilid 1, Ledalero, Maumere, NTT, hal. 1-27 Dworkin. Ronald, “Memperhatikan Hak secara Sungguh-Sungguh”, dalam Ceunfin, Frans (ed), 2004, Hak-Hak Asasi Manusia, jilid 1, Ledalero, Maumere, NTT, hal. 214249 Feinberg, Joel, “Hak-Hak Asasi Manusia”, dalam Ceunfin, Frans (ed), 2004, Hak-Hak Asasi Manusia, jilid 1, Ledalero, Maumere, NTT, hal. 188-213 Freeman, M.D.A (ed), 2001, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence (seventh Edition), London Sweet & Maxwell Ltd Hardiyanto, Andik, dan Zen, A. Patra M., 2007, Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Konvenan EKOSOB, Jurnal HAM, Vol. 4, hal. 2237 http://www.hrweb.org/history.html, download 23 September 2008, Netherlands, A Short History of the Human Rights Movement http://www1.umn.edu/humanrts/edumat/hreduseries/hereandnow/Part-1/whatare.htm http://www1.umn.edu/humanrts/edumat/hreduseries/hereandnow/Part5/6_glossary.htm#Anchor-Inalienable-19510, download, September, Netherlands
23,
http://www.ihrc.org.uk/file/Origin%20and%20development%20of%20human%20right, download 20 November 2008, Jakarta http://www.iep.utm.edu/h/hum-rts.htm, download 20 Nov 2008, Jakarta http://www.unfpa.org/rights/principles.htm, download 20 Nov 2008, Jakarta http://www.un.org/aboutun/history.htm, download 19 Nov, Jakarta Kelsen, Hans, 1978, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusamedia & Nuansa, Bandung Manuel, Emily L., dan Onaga, Naomi, 2004, Using the International Human Rights Framework to Empower Indigenous Communities in the Philippines, Legal Rights and Natural Resources Center, Quezon City, Philippines. Michael, A. Riff (ed), 1995, Kamus Ideologi Politik Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Sen, Amartya, 1997, Human Rights and Asian Values, Carnegie Council on Ethics and International Affairs, New York Sen Amartya, “Human Rights and Development”, in Andreassen, Bard A. and Marks, Stephen P., 2006, Development as A Human Right, Legal, Political and Economic Dimensions, The President and Fellows of Harvard Collage, pg. 1-8
©
http://www.huma.or.id
Shapiro, Ian, 1986, Evolusi Hak dalam Teori Liberal (terj dari The Evolution of Rights in Liberal Theory), Kedutaan Besar Amerika Serikat, Yayasan Obor, Freedom Institute, Jakarta, Indonesia Simandjuntak, Marsillam, 2003, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Pustaka Grafiti Utama, Jakarta Sinha, Surya Prakash, 1993, Jurisprudence Legal Philosophy, West Publishing South Asia Human Rights Documentation Center, 2006, Introducing Human Rights, an Overview Including Issues of Gender Justice, Environmental, and Consumer Law, Oxford University Press, New Delhi Wilson, Morton, On the Indivisibility and Interdependence of Human Rights, http://www.bu.edu/wcp/Papers/Huma/HumaWins.htm, download September, 23, 2008. Netherlands
©
http://www.huma.or.id