Membedah Hubungan antara Agama dan Kebudayaan dalam Teologi Joseph Ratzinger dalam Terang Teologi FABC 1 John Mansford Prior
Pendahuluan Ketika Joseph Ratzinger, selaku Ketua Departmen Ajaran Iman, diminta membedah ajaran Yohanes Paulus II dalam surat-surat edarannya, Ratzinger mengatakan bahwa penugasan yang mesti ia lakukan dalam kurun waktu 40 menit itu adalah pekerjaan “orang sinting”. Apa lagi assignment membedah relasi antara agama dan kebudayaan dalam teologi Ratzinger sendiri dalam kurun waktu kurang-lebih sama! Untuk menjalankan pekerjaan “sintingan” ini, dan sesuai tema seminar, saya akan beranjak dari esai Ratzinger “Apa yang Mempertahankan Keutuhan Dunia. Dasar-dasar Moral Prapolitis sebuah Negara Liberal” dari diskusinya dengan Jürgen Habermas. Untuk memahami (jika bisa) hubungan antara agama dan kebudayaan dalam teologi Ratzinger, kita juga perlu menelusuri tulisan-tulisannya yang lain, termasuk tanggapannya terhadap peristiwa Konsili Vatikan II (1966), dan secara lebih spesifik lagi amanatnya di hadapan para Ketua Konferensi-konferensi Waligereja se Asia di Hongkong (1993) dan kuliahnya yang menggemparkan di Universitas Regensburg (2006). Sejauh saya memahami peraliran pemikiran Ratzinger dalam karya-karyanya, tema iman Kristen dan kebudayaan-kebudayaan baru bermunculan ke permukaan semenjak dia menjadi Ketua Departmen Ajaran Iman di Vatikan (1981-2005) dan merasa perlu menjejaki trend-trend dalam teologi dan pedoman pastoral Gereja-Gereja Afrika dan Asia. 2 Namun demikian bingkai dasar teologinya sudah jelas sejak tahun 1950an. Bukan hanya itu. Menyisir garis pemikiran teologis Joseph Ratzinger sejak tahun 1950an hingga kini, menjadi amat jelas bahwa walau Ratzinger adalah seorang pemikir yang fasik dalam bahasa Yunani dan Latin serta bahasa-bahasa modern Eropa, seorang teolog kawakan yang amat konsisten dalam pandangan Agustiniannya, dan seorang teolog dari Eropa Tengah, juga sama jelas bahwa kita tidak menemukan satu ilham pun dalam karyanya yang ia peroleh dari seorang teolog Afrika atau Asia 1
Makalah ini disampaikan dalam seminar “Dialektika Sekularisasi: Hubungan antara Akal Budi dan Iman”, STFK Ledalero, 8 Januari 2011. 2 Misalnya dalam bukunya Theological Highlights of Vatican II (New York: Paulist Press, 1966), Ratzinger mengomentari Konstitusi Gaudium et spes (GS) tanpa memberi tanggapan khusus tentang bagian II, bab 2 “Pengembangan Kebudayaan” (GS No.53-59). Ratzinger membatasi catatannya pada tema “Iman dalam Dunia Teknologi” dan “Perkawinan dan Hidup Berkeluarga” (hlm. 147-171). Aidan Nichols meringkaskan tanggapan Ratzinger dalam, The Theology of Joseph Ratzinger: An Introductory Study (Edinburgh: T & T Clark, 1988). Lih. Bab 5 “The Event of the Council”, (76-103); untuk GS. hlm. 99-103. Tanggapan Nichols tentang Theological Highlights bersifat lebih muram dari naskah Ratzinger sendiri; waktu itu (1966) Ratzinger masih bersikap amat positif tentang terobosan-terobosan konsili di bidang liturgi, kolegialitas (de-sentralisasi Gereja, Sinode para Uskup), ekumenisme dan relasi dengan orang Yahudi. Lih. John Wilkins, “Ratzinger at Vatican II: a Pope who can & cannot change”, Commonweal, 4 Juni 2010.
(selain Agustinus dari Hippo, seandainya Agustinus boleh dianggap sebagai seorang “teolog Afrika”). 3 Di kemudian hari ketika Ratzinger bertugas di Vatikan dan menapati karya para teolog Afrika dan Asia, teologi mereka dinilainya melulu melalui prisma gagasan Eropa. Pandangannya tentang hubungan antara agama dan kebudayaan diuraikan dari sudut monokultural-Barat. Pendapat saya, kekuatan dan kelemahan argumentasinya terletak di situ. Saya coba membedah hubungan antara agama dan kebudayaan dalam teologi Joseph Ratzinger dalam terang dokumen-dokumen Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja se Asia (FABC). 4 Pertanyaan di balik uraian ini ialah: apakah perbedaan antara gagasan Ratzinger dan alur pikiran FABC lebih berakar pada perbedaan dalam relasi aktual di Eropa dan di Asia atau lebih pada persepsi serta tanggapan teologisnya? Dialektika Sekularisasi Agama: Pemberi Landasan Etika Universal David Jonassen pernah mengatakan, “Dosa intelektual terbesar yang dilakukan kami para guru ialah terlalu menyederhanakan kebanyakan gagasan membuatnya lebih mudah dapat diteruskan kepada para murid”. 5 Jika benar demikian, izinkanlah saya “berdosa” dan coba merangkum argumentasi Ratzinger dalam percakapan ilmiahnya dengan Habermas dalam satu-dua kalimat sebagai berikut: Menurut Ratzinger perjumpaan antar pelbagai aliran kebudayaan dewasa ini mencampur-adukkan rupa-rupa nilai budaya yang saling mempertanyakan kebenarannya masing-masing. Akibatnya, nilainilai budaya, termasuk nilai-nilai etis-moral tidak lagi mengikat. Konsensus dasar dalam masyarakat menghilang dan yang tinggal hanya konsensus politik yang cuma berdasarkan suara (kepentingan) mayoritas sesaat. Alhasil, masyarakat tenggelam dalam “kediktatoran relativisme”. 6 Ratzinger menggarisbawahi kebutuhan akan suatu landasan etis-moral (etos budaya) dalam masyarakat majemuk dan mondial untuk memberi motivasi dan arah dasar. Landasan etis-moral tidak ditemukan dalam ilmu pengetahuan atau kemajuan teknologi, tetapi dalam filsafat dan agama. Menurut Ratzinger, soal yang dihadapi oleh masyarakat pasca-pencerahan ialah pemisahan antara akal budi dan agama. Jika akal budi dan agama bekerja sendiri-sendiri keduanya menderita semacam “patologi”. Ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa landasan etis mengancam keberadaan manusia sendiri (misalnya, penemuan bom nuklir dan pemusnah-pemusnah massal lainnya serta pengrusakan 3
Dalam kepustakaan pada akhir karya Yesus dari Nazaret Jilid I (2007), selain tulisan Patristik dalam bahasa Yunani dan Latin, hampir seluruhnya berasal dari tulisan dalam bahasa Jerman, dengan hanya sembilan tulisan yang aslinya dalam bahasa Inggris, lima dalam bahasa Perancis dan satu dalam bahasa Italia. Hemat saya, selama 40 tahun terakhir kemajuan dalam tafsiran Alkitab paling kentara dalam karya yang berbahasa Inggris, dan semakin banyak terobosan dalam teologi biblis dibuat di Afrika dan Asia. 4 Sebagian besar dokumen-dokumen FABC diterbitkan dalam Seri FABC Papers (yang pada akhir 2010 sudah sampai 131 nomor), juga dihimpun dalam seri For All the Peoples of Asia. Quezon City: Claretian Publications. Jilid I (1970-1991) (ed. Gaudencio Rosales & C.G. Arévalo); Jilid II (1992-1996), Jilid III (1997-2001) & Jilid IV (2002-2006) (ed. Franz-Josef Eilers). Sebagiannya sudah dialihkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh DokPen-KWI, Jakarta. Pada akhir 2010 kajian akademis seputar teologi FABC sudah berjumlah 32 tesis doctoral (S3) dan empat tesis masteral (S2). Daftar 27 tesis (1985-2008) dilampirkan pada FABC Papers No.125, Hongkong 2008, hlm. 45-48. 5 D.H. Jonassen, “Welcome to the Design of Constructivist Learning Environments”. Dikutip oleh Nico Botha, dalam Georg Kirchberger & John Mansford Prior (ed.), Bersaing atau Bersahabat? Dakwah Islam - Misi Kristen. Maumere: Penerbit Ledalero, 2008, hlm. 121. 6 Ekspresi ini sering dipakai oleh Ratzinger, seperti dalam kotbah waktu Ekaristi Pembukaan Konklaf pada tahun 2005 yang dua hari kemudian memilih dia sebagai Uskup Roma.
2
lingkungan hidup) sedangkan agama tanpa akal budi cenderung membenarkan kekerasan dan menutup manusia dalam fanatisme. Karena itu, akal budi dan agama mesti dipertemukan kembali. Mereka saling membutuhkan karena saling menjernihkan. Agama bisa memberi pendasaran dan pengawasan etis, sedangkan akal budi dapat meluputkan agama dari kecenderungan irasionalnya. Karena keragaman kebudayaan meragukan kemungkinan adanya landasan etis-moral yang bersifat universal, Ratzinger berpendapat bahwa kita mesti kembali pada landasan hukum alam, hukum kodrat, di balik semua ilmu dan kebudayaan. 7 Dalam percakapan antara Habermas dan Ratzinger, keprihatinan kedua tokoh pemikir ini terpusat pada kebudayaan-kebudayaan (post)-sekular Eropa. 8 mencapai suatu “quasi kesepakatan”. 9 Namun, jika kita hendak menelusuri tema “hubungan antara agama dan kebudayaan” dalam alur pemikiran Ratzinger yang tersirat dalam percakapan di antara tokoh agnostik dan tokoh Katolik ini, kita mesti membaca wejangan Ratzinger di hadapan para uksup Asia. Untuk mengkontekstualisasikan pemikiran Ratzinger itu, saya akan membacanya di samping dokumen-dokumen FABC. Kristus, Iman dan Tantangan Kebudayaan-Kebudayaan
Paham Kebudayaan Dalam amanatnya kepada para Ketua Konferensi-Konferensi Waligereja 10 se Asia di Hongkong pada tahun 1993, Joseph Ratzinger mengupas masalah kebenaran, toleransi, agama dan kebudayaan di bumi Asia yang majemuk. 11 Ratzinger mengartikan kebudayaan sebagai, “… bentuk umum dari pengungkapan pengertian dan nilai-nilai yang telah berkembang secara historis, yang merupakan ciri kehidupan suatu kesatuan masyarakat ...”
Dengan penekanan pada peran kebudayaan sebagai pembawa tata nilai masyarakat, Ratzinger tegaskan: “Pertama-tama kebudayaan adalah suatu usaha untuk memahami dunia dan keberadaan manusia di dalam dunia.”
Paham Kebudayaan dalam FABC Pemahaman kebudayaan yang diuraikan oleh Ratzinger melanjutkan garis pemikiran Gaudium et spes (GS No.53). Semenjak Konsili Vatikan II (1962-1965) Gereja menjadi salah satu pelaku prinsipilprimer yang menyokong tata kemasyarakatan yang adil dan damai dan yang membela nilai-nilai 7
Ignas Kleden meringkaskan pemikiran Ratzinger dalam tujuh butir renungan teologis berdasarkan empat pengandaian sosiologis. Lih. “Masyarakat Post-Secular: Tuntutan Aktualisasi Relasi Akal dan Iman”, (Basis September-Oktober 2010, 4 – 11); ringkasan pada hlm. 6, pengandaian pada hlm. 8. 8 Cassian R. Agera adalah seorang “pakar teologi Ratzinger” dari India yang menghubungkan gagasan dasar Ratzinger ke situasi di Asia. Lih. “Christian Faith: Truth and Tolerance A Study in Ratzinger’s Phenomenology of Religion”, Mission Today, XII (2010) 3, 196-213, dan “Christianity and World Religions: Ratzinger’s Phenomenology of Religions”, Mission: Journal of Mission Studies (segera terbit). 9 Paul Budi Kleden, “Ratzinger tentang Tema Politik”, dalam Paul Budi Kleden & Adrianus Sunarko (ed.), Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermans – Ratzinger dan Tanggapan. Maumere: Penerbit Ledalero, hlm. 129, 251. 10 Ketua Konferensi Waligereja Indonesia diwakili oleh Uskup Darius Nggawa selaku Ketua Komisi Teologi KWI (1991-1997). 11 Joseph Ratzinger, “Christ, Faith and the Challenge of Cultures”, FABC Papers No. 78 (Maret 1997), hlm. 1-19. Diterbit ulang dalam bunga rampai, Truth and Tolerance: Christian Belief and World Religions. San Francisco: Ignatius Press, 2004. Kutipan-kutipan dalam paper ini dialihbahasakan oleh Paul Sabon Nama.
3
utama humanum. Jantung-hati setiap kebudayaan adalah tata nilainya, dan fungsinya yang paling pokok adalah memanusiakan manusia melalui tata moralnya. Walau FABC tidak pernah mendefinisikan paham kebudayaan, 12 namun dalam sekian banyak dokumennya, berawal dengan dokumen yang paling perdana (Manila, 1970), amat jelas bahwa Gereja (teologi, tatanan, ethos, spiritualitas, peribadatannya) mesti berdialog dengan “segenap realitas Asia”. Uskup Francisco F. Claver, seorang antropolog budaya yang sangat berpengaruh dalam FABC sejak awal, 13 menuturkan: “definisi (kebudayaan) paling umum, tapi yang paling tepat, adalah definisi kebudayaan sebagai cara hidup sebuah bangsa.” 14
Jadi, di kalangan FABC “kebudayaan” diartikan secara sangat holistik. Karena itu, dialog antara Gereja Lokal dengan kebudayaan-kebudayaan setempat selalu disimak bersamaan dengan dialog berwajah tiga dengan agama-agama dan kaum miskin. 15
Nilai Budaya Global: Caritas in veritate Satu dimensi penting yang digarisbawahi Gaudium et spes, dan juga ditekankan pada tahun-tahun awal berdirinya Dewan Kepausan untuk Kebudayaan (PCC), 16 tidak mendapat penekanan dalam amanat Ratzinger di Hongkong. Semenjak Konsili Vatikan II Gereja Katolik telah melibatkan diri dalam mengembangkan masyarakat laksana communitas communitatum, dengan memperjuangkan keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan, hak-hak asasi manusia, kebebasan, berbagi rasa bersama kaum miskin dan tertindas, menaruh penghargaan akan kehidupan, serta menampilkan kesetiakawanan internasional dan persaudaraan global. 17 Aspek keterlibatan Gereja dalam ranah kebudayaan ini tidak disinggung dalam amanat Ratzinger di Hongkong, tetapi satu setengah dasawarsa kemudian disusuri secara meyakinkan dalam surat edarannya sebagai Benediktus XVI. Dalam Caritas in veritate (2009) Benediktus XVI menekankan bahwa kebudayaan global kapitalis-konsumeristik tidak berlandaskan etika atau moralitas melainkan nafsu tamak, dan nilai rakus itu adalah penyebab utama krisis finansial dan perbankan pada tahun 2008. 18 Keprihatinan ini ditegaskan kembali dalam uraiannya tentang kebudayaan politik ketika Benediktus XVI menyatakan bahwa masyarakat miskin adalah isu yang “terlalu besar untuk dibiarkan gagal”. 19 Keadilan adalah isu kebudayaan, sama seperti kebudayaan adalah isu keadilan. 12
Deskripsi paling lengkap terdapat dalam “Tesis-Tesis seputar Gereja Lokal”, FABC Paper No.60 (1991), lih. “Penjelasan Istilah 2. Kebudayaan” dan “Tesis 5”. Untuk terjemahannya lih. Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia, hlm. 22-24, 35-42. 13 Francisco Claver (1929-2010) ditahbiskan sebagai uskup Malaybalay (1969-1984) di Mindanao setahun sebelum pertemuan para uskup Asia perdana di Manila (1970); kemudian dia diangkat sebagai uskup Bontoc-Lagawe (19952004). 14 Francisco Claver, The Making of a Local Church. Quezon City: Claretian Publications, 2009, hlm. 133. 15 Misalnya dalam dokumen perdana (Manila 1970) dan sejak itu dalam Pernyataan Akhir dari setiap Musyawarah Paripurna (FABC I Taipei 1974, FABC II Kolkata 1978, FABC III Bangkok 1982, FABC IV Tokyo 1986, FABC V Bandung 1990, FABC VI Manila 1995, FABC VII Samphran 2000, FABC VIII Daejeon 2004, FABC IX Manila 2009). 16 Untuk wawasan awal PCC lih. Joseph Gremillion (ed.), The Church and Culture since Vatican II. Indiana: University of Notre Dame Press, 1985. 17 Lih. Hervé Carrier, sekretaris pertama PCC, “The Church Meeting Cultures: Convergences and Perspectives”, dalam Joseph Gremillion , op.cit., hlm. 140-152. 18 Benediktus XVI, Caritas in veritate, 2009, alinea 34 - 42. 19 Amanat di hadapan parliamen Inggris di Aula Westminster, London, 17 September 2010. Lih. www.vatican.va/.../benedict_xvi/.../hf_ben-xvi_spe_20100917_societa-civile_en.html. Diakses 18 September 2010. Para politisi Barat menyatakan bahwa bank-bank merupakan wahana finansial dan penyokong tata ekonomi
4
Pilihan untuk mengutamakan kaum miskin juga adalah opsi bagi kebudayaan-kebudayaan tersisih, kultur-kultur popular. Jika kita menerima gagasan Caritas in veritate ini kita mesti bertanya: kebudayaan-kebudayaan manakah dan kebudayaan-kebudayaan siapa-siapakah yang menjadi mitra dialog utama dengan Gereja-Gereja Lokal? Bukan kebudayaan dalam arti klasik saja, apa lagi kebudayaan kaum penindas. Pintu masuk yang utama bagi dialog dengan Injil adalah kebudayaan-kebudayaan kaum kecil yang tersisihkan.
Paham Interkulturalitas Dengan pengartian kebudayaan di atas, Ratzinger mengangkat masalah inkulturasi, yaitu dwicakap berkelanjutan antara iman injili dan kebudayaan-kebudayaan. Ratzinger menawarkan nama baru untuk menggantikan istilah “inkulturasi”, yaitu term “interkulturalitas”. Alasannya, Ratzinger melihat proses yang sudah lazim dijuluki “inkulturasi” sebagai satu usaha “pencangkokan” yang lancung: “… inkulturasi mengandaikan bahwa suatu iman tanpa kebudayaan dialihkan kepada suatu kebudayaan yang acuh terhadap agama, di mana dua subjek, yang secara formal tidak saling mengenal, bertemu dan melebur menjadi satu ... tetapi pengertian yang demikian pertamatama adalah rekaan belaka dan tidak realistis, karena terkecuali peradaban teknologis modern, tidak ada suatu iman tanpa kebudayaan atau satu kebudayaan tanpa iman.”
Dengan pemahaman seperti itu Ratzinger membayangkan proses inkulturasi ini sebagai sesuatu yang sungguh mustahil: “Terlebih lagi sangatlah sulit membayangkan bagaimana dua organisme, yang asing satu terhadap yang lain, tiba-tiba harus menjadi suatu kesatuan yang utuh dalam sebuah pencangkokan yang merintangi keduanya. Hanya jika semua kebudayaan dapat universal dan terbuka satu terhadap yang lain, interkulturalitas dapat menghasilkan bentuk-bentuk baru yang bertumbuh subur ...”
Inkulturasi menurut FABC
Amanat Joseph Ratzinger di Hongkong dialamatkan kepada para Ketua Konferensi-Konferensi Waligereja se Asia. Timbul pertanyaan: ada apa dalam dokumen-dokumen FABC seputar inkulturasi yang mungkin saja memicu keprihatinan Ratzinger ini? Entahlah, karena konsep inkulturasi yang ditolak oleh Ratzinger tidak dapat kita temukan dalam dokumen-dokumen FABC. Kalau Ratzinger berpendapat bahwa istilah “inkulturasi” membayangkan satu proses yang “terlalu kasar” dan “kurang akurat”, 20 pula pendapat serupa jelas dalam dokumen-dokumen FABC. Walau kata “inkulturasi” dipakai sejak pertemuan perdana para uskup Asia bersama Paulus VI di Manila pada tahun 1970, lebih sering dokumen-dokumen FABC menjejaki suatu proses yang amat kompleks menyangkut perjumpaan berkelanjutan antara Injil dan Gereja-Gereja lokal dalam seluruh realitas Asia. 21 Kebudayaan meliputi seluruh “realitas Asia” dan karena itu proses inkulturasi menyangkut dialog berwajah tiga antara Gereja Lokal dengan kebudayaan-kebudayaan, dengan agama-agama dan bersama kaum miskin. mondial yang “terlalu besar untuk dibiarkan gagal”; Benediktus XVI mengalamatkan pernilaian ini pada massa yang dimiskinkan oleh krisis finansial tersebut. 20 Kata-kata “terlalu kasar” dan “kurang akurat” diambil dari kuliah Benediktus XVI, “Iman, Akal Budi dan Universitas”, , Jurnal Ledalero 6/2 (2007), hlm. 158. 21 Lih. Ladislav Nemet, “Inculturation in the FABC Documents”, East Asian Pastoral Review, 31 (1994), 1/2, hlm.7794.
5
Empat Momen Inkulturasi
Uskup, teolog dan antropolog budaya Francisco Claver menerima gagasan interkulturalitas Ratzinger, namun hanya pada momen awal dalam proses inkulturasi. Claver mengamati bahwa proses inkulturasi melalui tiga momen. 22 Pada momen pertama pewarta luar memulai dialog dengan pendengar dari kebudayaan lain. Dalam pertemuan ini pewarta terhindar oleh tabir budayanya, sama seperti pendengar juga terhalangi oleh tabir budayanya. Momen ini, menurut Claver, tepat dijuluki “interkulturalitas”. Pada momen kedua, pendengar, di bawah pengaruh Roh Tuhan, menerima iman yang diberitakan oleh pewarta. Ketika menerima iman – bertobat, bermetanoia – satu pergeseran dalam dialog iman terjadi, pertama dalam mitra dialog, kedua pada tingkatan wacana. Pada momen ini dialog tidak lagi terjadi di antara pewarta (dari luar) dan pendengar, melainkan di antara pendengar dan sumber iman itu sendiri, yakni Roh Kudus, rahmat Allah yang dianugerahkan secara cuma-cuma. Seluruh pendalaman iman selanjutnya berasal dari Roh Kudus. Pendengar berwawancara dengan Roh Tuhan dalam dan melalui kebudayaannya. Pada momen ini cita-cita iman, yaitu anugerah Roh, berjumpaan dengan nilai-nilai kebudayaan aktual si pendengar. Pada momen ketiga si pendengar menjadi pewarta, dan pada momen keempat si pendengar baru berdialog dengan Roh Tuhan. Walau Claver menerima pemahaman Ratzinger tentang interkulturalitas untuk momen pertama – si pewarta memaklumkan injil sesuai bingkai budayanya kepada seorang pendengar yang menerimanya seturut bingkai budaya lainnya – Claver menegaskan bahwa momen inkulturasi yang sebenarnya adalah momen kedua. Momen ini, ketika terjadi perjumpaan antara iman dan kebudayaan, antara si pendengar dan Roh Tuhan, momen pertobatan dan saat iman ini tidak bersifat interkulturatif. 23 Namun demikian, momen awal yang bersifat interkulturatif itu tetap mutlak perlu. Sekedar contoh: kiranya, tiga ratusan alumni STFK Ledalero yang sedang menjalankan panggilannya selaku pewarta lintas budaya di 40an negara, sadar akan “lokalitas” imannya, ke-NTT-an imannya, dan paling gilirannya menghargai hak masyarakat pendengar setempat untuk mengembangkan Gereja Lokal sendiri. Kalau itu yang terjadi, maka perjumpaan antara pewarta lintas budaya dan masyarakat pendengar bersifat inter-kulturatif. Perjumpaan antar Gereja Lokal pewarta (NTT) dan Gereja Lokal pendengar saling memberi dan saling menerima, dan tentu saling memperkaya seraya saling mematangkan dalam kesaksian imannya masing-masing.
Paham Inkulturasi FABC Berkembang
Dari tokoh Francisco Claver yang mendampingi FABC sejak 1970 hingga 2010, 24 kita kembali ke dokumen-dokumen FABC itu sendiri. Tampak jelas, pemahaman FABC mengenai interkulturasi berkembang seirama dengan keterlibatan Gereja-Gereja Asia dalam upaya membangun GerejaGereja Lokal. Pada awal 1970an FABC memahami inkulturasi sebagai “gerakan dua arah”. Kekristenan mesti “mengangkat ke dalam kehidupan Kristen sepenuhnya apa yang baik, luhur dan hidup dalam 22
Claver, ibid. hlm. 138-140. Sebetulnya, “dialog” antara Gereja-Gereja Asia dengan Gereja Roma bersifat interkulturatif, dan karena itu kadang-kala berupa dua monolog yang sulit bersentuhan. 24 Francisco Claver meninggal pada tgl. 01 Juli 2010. 23
6
kebudayaan-kebudayaan dan tradisi-tradisi Asia dan sekaligus membawa kepenuhan benih-benih Injil yang ditanam oleh Tuhan dalam kebudayaan-kebudayaan Asia pada masa sebelum evangelisasi”. 25 Pada masa awal itu FABC memandang tujuan proses inkulturasi sebagai upaya membangun GerejaGereja Lokal yang sungguh “Katolik” karena berakar dalam situasi setempat. 26 Sejak pertengahan 1970an corak “gereja-sentrik” itu tergeser ke pola “Kerajaan Allah-sentrik”, yaitu pembangunan masyarakat Asia yang terjiwai oleh nilai-nilai Kerajaan Allah. Dalam Kongres Misi Internasional (Manila, 1979) inkulturasi dilihat sebagai bukan “cuma adaptasi ke dalam situasi tertentu dari Kekristenan yang sudah jadi, melainkan pewujudan kreatif Sabda Allah dalam Gereja Lokal.” 27
Bagi Kongres Misi 1979 inkulturasi bukan satu taktik atau teknik untuk penginjilan, melainkan satu cara untuk memahami Kekristenan secara lebih mendalam. Proses inkulturasi akan memurnikan, memulihkan dan mentransformasi bukan hanya kebudayaan-kebudayaan Asia, ruang hidup GerejaGereja Asia, tapi juga Gereja itu sendiri. Ilham ini ditemukan dalam praktek-pastoral Gereja-Gereja Asia. Jadi, para Waligereja dan teolog Asia melihat dialog antara Injil dan realitas hidup sebagai proses yang juga memperkaya Gereja – teologinya, spiritualitasnya serta perayaan liturgisnya. 28 Lebih jauh, dalam “Tesis-Tesis seputar Gereja Lokal” (1991), inkulturasi dilihat sebagai “proses berkelanjutan korelasi saling mengeritik antara Injil dan kebudayaan”. 29 Inkulturasi yang otentik terjadi ketika “orang-orang Kristen menghayati warisan iman dan warisan bangsanya.” Pelaku inkulturasi adalah komunitas Kristiani; fungsi para teolog ialah mendampingi proses ini. Kebudayaan religius Asia mesti memurnikan cara Injil disampaikan dan dapat membuka aspek-aspek warta Injil yang sampai kini belum diperhatikan karena inkulturasi adalah “perjumpaan Roh dengan Roh”. Roh Tuhan hadir dan aktif di antara bangsa-bangsa Asia melampaui batas-batas komunitas-komunitas Kristiani. Walau term “inkulturasi” dipertahankan, juga dipakai istilah “interkulturasi” dan “kontekstualisasi”. Sejalan dengan gagasan Ratzinger dua tahun kemudian, Biro Keprihatinan Teologi FABC menandaskan: “Injil selalu ditemukan dalam bentuk yang sudah diinkulturasi. Injil bukan suatu bentuk abstrak. Injil berada secara konkret sebagai iman dari satu bangsa, disesuaikan dan diungkapkan dalam konteks kebudayaan mereka. Karena itu pertemuan satu bangsa dengan 25
Lih. “Statement” No. 11, Musywarah Paripurna FABC II (Kolkata 1978), For All the Peoples of Asia I, hlm. 31. Lih. C. Putranta, “The Idea of the Church in the Documents of the Federation of Asian Bishops’ Confernces (FABC): 1970-1982”. Rome: Universitas Gregoriana, 1985. Stephen Bevans, “Twenty-Five Years of Inculturation in Asia: The Federation of Asian Bishops’ Conferences, 1970-1995”, FABC Papers No.78, hlm.20-36. J. Thoppil, Towards an Asian Ecclesiology: Understanding of the Church in the Documents of the Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC) 1970-1995 and the Asian Ecclesiological Trends. Roma: Universitas Urbaniana, 1998. A. Kadaliyil, Toward a Relational Spirit Ecclesiology in Asia: A Study on the Documents of the Federation of Asian Bishops’ Conferences. Berkeley: Graduate Theological Union, 2006. 27 Lokakarya II, “Proses inkulturasi” No.6. For All the Peoples of Asia, Jilid I, hlm. 138. 28 Dua belas tahun kemudian di Thailand (1991), sekali lagi inkulturasi dilihat sebagai “proses dua arah” yang dijalankan dengan respek yang tinggi bagi “yang lain”, proses yang dicirikan keterbukaan dan kerelaan untuk ditransformasikan oleh kedua belah pihak. Lih. BIRA IV/I, “Brief Report on the Assembly”, Thailand 1984, No.12a14c. 29 “Theses on the Local Church”, FABC Paper No.60, Hongkong, 1991. Deskripsi “kebudayaan” diberikan dalam Tesis 5. Dokumen ini juga dimuat dalam himpunan dokumen-dokumen Biro Keprihatinan Teologis FABC, Being the Church in Asia, hlm. 50-76. Edisi bahasa Indonesia dalam Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia, hlm. 1487. 26
7
Injil secara praktis berarti juga satu pertemuan dengan kebudayaan lain yang sudah dijiwai iman …” 30
Karena itu, FABC berbicara tentang relasi “Injil dan kebudayaan” dalam segala kompleksitas interkulturalnya. Yohanes Paulus II menggarisbawahi pandangan para uskup Asia bahwa seluruh umat harus terlibat: “proses (inkulturasi) harus melibatkan seluruh Umat Allah … para Bapa Sinode menunjukkan bidang-bidang tertentu supaya mendapat perhatian khusus, yakni refleksi teologis, 31 liturgi, 32 pembinaan para imam dan religius, 33 katekese 34 dan spiritualitas.” 35
Historisitas dan Universalitas Ratzinger mengangkat sifat historisitas suatu kebudayaan, yaitu keterbukaannya terhadap perubahan dan potensinya akan universalitas: “Historisitas sebuah kebudayaan mengartikan kemampuannya untuk berkembang maju, dan hal ini tergantung dari kemampuannya untuk terbuka dan memungkinkan transformasi melalui pertemuan ... “Oleh sebab itu, sejauh terbuka atau tertutup, luas atau sempitnya secara internal, kebudayaan mampu memperdalam dan memperhalus pemahaman-pemahaman dan nilainilainya sendiri. Hal ini dapat mengakibatkan sebuah evolusi yang mendalam dari konfigurasi kulturalnya yang awal, dan transformasi yang demikian sama sekali tidak perlu berupa suatu masalah keterasingan atau pelanggaran ... “Sebuah transformasi yang berhasil dijelaskan oleh universalitas potensial semua kebudayaan ...”
Berikut, Ratzinger memadukan gagasannya tentang potensi universalitas semua kebudayaan dengan gagasan dasarnya menyangkut historisitas, yaitu sejarah yang bersasar pada penyatuan: “... Pertemuan dari banyak kebudayaan mungkin karena manusia, kendati segala perbedaan sejarah dan struktur sosial, tetaplah makhluk yang satu dan sama itu. Akan tetapi, makhluk 30
Ibid, Tesis 5.10. edisi bhs. Indonesia hlm. 40. Biro Keprihatinan Teologi FABC, “Methodology: Asian Christian Theology: Doing Theology in Asia Today”, FABC Papers No.96, Hongkong, 2000. Jonathan Tan Yun-ka, “Theologizing at the Service of Life: The Contextual Theological Methodology of the Federation of Asian Bishops Conferences (FABC)”, FABC Papers No.108, 2003. Michael Amaladoss, ‘From Experience to Theology: Methodological Explorations”, Vidyajyoti, 61 (1997) 6, 372-385. Dionisio M. Miranda, “Outlines of a Method of Inculturation”, East Asian Pastoral Review 30 (1993) 2, 145-167, dan “Fragments of a Method for Inculturation”, East Asian Pastoral Review 30 (1993) 2, 168-197. 32 Jonathan Tan Yun-ka, “Constructing an Asian Theology of Liturgical Inculturation from the Documents of the Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC), East Asian Pastoral Review 36 (1999) 4, 383-401. Anscar J. Chupungco, “Liturgical Inculturation”, East Asian Pastoral Review 30 (1993) 2, 108-119. 33 Lih. Dominc Tran Ngoc Dang, Inculturation in Missionary Formation according to the Federation of Asian Bishops’ Conferences Documents (1970-2006) with Special Reference to the Mission in Vietnam. Roma: Universitas Urbaniana, 2010. C. Boromeo, Priestly Formation n the Light of the Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC): Towards a Model in the Burmese Context. Roma: Collegio Teresianum, 2002. A. Stany, The Role of the Religious in the Life of the Church in Asia: A Study in the Light of FABC Documents. Roma: Univeritas Angelicum, 2003. 34 Ladislav Nemet, “Inculturation of Catechesis and Spirituality in the Documents of the Catholic Bishops’ Conference of the Philippines, East Asian Pastoral Review 32 (1995) 1/2, 48-80. 35 Yohanes Paulus II, Ecclesia in Asia, No.21 e. 31
8
yang satu ini, pribadi manusia, di kedalaman keberadaannya telah disentuh oleh kebenaran. Keterbukaan asasi dari setiap pribadi kepada pribadi yang lain hanya dapat dijelaskan oleh kenyataan yang tersembunyi, bahwa jiwa kita telah disentuh oleh kebenaran; dan hal ini menjelaskan kesesuaian yang mendasar, yang ada di antara kebudayaan-kebudyaan yang berada sangat jauh satu dari yang lain. “Di pihak lain, perbedaan yang menimbulkan isolasi dapat disebabkan oleh keterbatasan roh manusia. Tak seorang pun dapat memahami keseluruhan; beribu-ribu pemahaman dan bentuk membangun sebuah mosaik yang menunjukkan saling melengkapi dan saling ketergantungan. Agar dapat menjadi suatu keutuhan, setiap orang harus saling membutuhkan. Manusia mendekati persatuan dan keutuhan keadaan mereka sebagai makhluk hanya dalam saling tukar semua prestasi kultural yang besar ...”
Jadi, setiap kebudayaan dapat berjumpa, malah menyatu dengan kebudayaan lain karena mengandung kebenaran; dan keberadaan aneka kebudayaan disebabkan karena “tak seorang pun dapat memahami keseluruhan.” Jika beraneka-ragam kebudayaan berjumpaan maka tercipta “… mosaik yang menunjukkan saling melengkapi dan saling ketergantungan ...” Jika kebudayaan menyangkut tata nilai suatu masyarakat, dan semua kebudayaan secara potensial terbuka pada universalitas, maka, “pertemuan (kebudayaan-kebudayaan) itu menjadi kesempatan untuk saling memperkaya dan saling memurnikan ...”
dan, “sarana yang mengumpulkan mereka hanyalah kebenaran yang mereka miliki bersama mengenai makhluk manusia, yang harus serta menghadirkan juga kebenaran mengenai Allah dan realitas sebagai keseluruhan ...”
Pandangan FABC Penjelasan sekitar historisitas dan universalitas kebudayaan-kebudayaan dalam “Tesis-Tesis seputar Gereja Lokal” sehaluan dengan gagasan Ratzinger, malah kadang kala bahasa Biro Keprihatinan Teologi FABC mendekati bahasa Joseph Ratzinger. “Pertemuan berarti saling memperkaya dan saling mempengaruhi (No. 5.04)… tesis ini (No.6) memandang kebudayaan sebagai realitas yang selalu berkembang dalam hubungan dengan perkembangan-perkembangan dalam masyarakat … Apa yang menonjol tentang kebudayaan dewasa ini adalah kadar transformasinya yang luar biasa yang tidak pernah terjadi sebelumnya …” (No.6.01, 6.03)
Kebenaran dan Sentralitas Yesus Kristus Apa yang menyatukan semua kebudayaan adalah kebenaran. Timbul pertanyaan: di manakah kebenaran dapat ditemukan? Tandas Ratzinger: “Iman Kristen juga yakin, bahwa dalam intinya iman itu adalah pembukaan diri dari kebenaran itu sendiri dan oleh sebab itu adalah penebusan. Karena kemiskinan yang sesungguhnya dari seseorang adalah ketertutupan terhadap kebenaran ...”
Maka, pewartaan Kristen, penyampaian kebenaran ilahi yang menjelma dalam diri Yesus Kristus yang: “tidak melakukan kekerasan apa pun terhadap suatu kebudayaan, tetapi saling mengantar setiap kebudayaan kepada titik pusat masing-masing, karena setiap kebudayaan pada akhirnya merupakan pengharapan akan kebenaran ...” 9
Kristus, “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6), membawa setiap kebudayaan pada kepenuhannya, karena, “Semuanya ini terjadi jika Yesus dari Nazaret sesungguhnya adalah penjelmaan makna sejarah, Sang Logos, penyataan diri dari kebenaran ...”
Jika Kristus adalah kepenuhan setiap kebudayaan manusia, dan kebenaran ini berasal dari atas, maka wahyu itu bukan hasil penemuan manusia sendiri: “... Pengakuan Petrus di dalam Injil Markus sangat sederhana: ‘Engkau adalah Kristus (Almasih)’. Dalam Injil Matius dapat kita baca: ‘Engkau adalah Kristus (Almasih), Putra Allah yang hidup’ (Mrk 8:29; Mat 16:16). Secara tegas Yesus mengatakan kepada Petrus, bahwa pengakuan ini bukan berasal dari darah dan daging, ialah, bukan dari kebudayaannya atau dari warisan religius, tetapi bahwa ‘Bapa-Ku yang ada di dalam surga telah mewahyukannya’ kepadanya (Mat 16:17). “Maka pengakuan ini, pengakuan yang fundamental dari seluruh Gereja dalam segala masa dan di segala tempat, dengan jelas dilepaskan dari sekadar tradisi manusia dan ditegaskan sebagai wahyu dalam arti yang benar. Setiap tafsiran yang kurang dari ini tidak lain dari pada kembali kepada yang hanya manusiawi ...”
Lebih lanjut, justru kebenaran Sang Sabda yang mentransformasikan kebudayaan-kebudayaan: “... Iman akan Yesus Kristus menjadi sebuah prinsip hidup yang baru dan membuka sebuah ruang yang baru untuk kehidupan. Yang lama tidak binasa, melainkan menemukan bentuknya yang definitif dan pengertiannya yang penuh ... ”
FABC dan Ecclesia in Asia Sekeyakinan dengan Ratzinger FABC juga memandang Yesus sebagai “kepenuhan” hasrat terdalam orang Asia serta nilai tertinggi dalam kebudayaan-kebudayaan Asia. Yohanes Paulus II merangkumkan masukan-masukan dari para uskup Asia yang hendak mengakarkan imannya dalam kebudayaan dan seluruh realitas Asia sehingga orang Asia jangan terhalangi oleh seorang “Yesus berwajah asing” atau sebuah “Gereja berwajah Barat”: ”… masalah makin dipersukar oleh kenyataan, bahwa Yesus sering dianggap seolah-olah asing bagi Asia. Nampak paradoks, bahwa kebanyakan orang Asia cenderung menganggap Yesus – padahal lahir di daerah Asia – seorang Barat lebih dari pada seorang tokoh Asia … oleh karena itu tugas mewartakan Yesus secara yang memungkinkan bangsa-bangsa Asia untuk beridentifikasi dengan Dia, sementara tetap setia baik terhadap ajaran teologis Gereja mau pun terhadap asal-usul Asia mereka, merupakan tantangan yang sungguh relevan ... Gereja hendaklah terbuka bagi cara-cara yang baru dan mengejutkan, dan itulah cara-cara wajah Yesus kiranya dapat disajikan di Asia.” 36
Dan jika Yesus, tokoh Asia, ditampilkan: “Tiada seorang pun, tiada bangsa dan tiada kebudayaan pun tidak dapat disentuh oleh seruan Yesus yang berbicara dari jantung kondisi manusiawi sendiri … Sementara dalam kontemplasi memandang Yesus dalam hakekat kemanusiaan-Nya, bangsa-bangsa Asia menemukan bahwa masalah-persoalan mereka yang terdalam beroleh pemecahan, harapanharapan mereka dipenuhi, martabat mereka diangkat, dan keputusasaan mereka ditaklukkan ...” 37 36 37
Yohanes Paulus II, Ecclesia in Asia, No.20 d, e, f. Yohanes Paulus II, Ecclesia in Asia, 14c.
10
Kebudayaan Kekristenan Ratzinger mengakhiri amanatnya di Hongkong dengan pelbagai kesimpulan menyangkut relasi antara agama dan kebudayaan-kebudayaan. Pada tempat pertama, Ratzinger menandaskan bahwa iman itu sendiri menciptakan kebudayaan: “Tidak ada iman yang kosong atau agama hanya sekadar agama. Diungkapkan secara sederhana, sejauh iman menyatakan kepada manusia siapa mereka dan bagaimana mereka harus mulai menjadi manusia, iman menciptakan kebudayaan ...”
Kita teringat ungkapan tersohor Yohanes Paulus II: “Iman yang tidak membudaya adalah iman yang belum diterima sepenuhnya, belum dipikirkan secara mendalam, belum dihayati secara sungguh-sungguh.” 38
Selanjutnya, Ratzinger menegaskan bahwa: “Jika kebudayaan adalah lebih dari sekadar bentuk atau prinsip estetis, jika kebudayaan lebih berupa pengaturan nilai-nilai dalam sebuah bentuk historis yang hidup dan tidak dapat dipisahkan dari masalah Allah, maka kita tidak dapat mengelaki kenyataan, bahwa Gereja sendiri adalah subyek kultural untuk para beriman. Gereja, subyek kultural ini, umat Allah, tidak sama dengan satu dari subyek-subyek historis individual, juga dalam masa yang kelihatannya penuh dengan kristianisasi, seperti yang dikira sudah tercapai di Eropa. Gereja dapat secara signifikan mempertahankan bentuknya sendiri yang berpengaruh dan menyeluruh.”
Ratzinger tekankan kembali: “Ketika iman dan kebudayaannya bertemu dengan suatu kebudayaan yang lain, yang sampai pada ketika itu asing untuknya, maka masalahnya bukanlah melarutkan dualitas kebudayaankebudayaan itu demi keuntungan untuk yang satu atau yang lain. Mendapatkan suatu kekristenan yang telah kehilangan corak kemanusiaannya yang konkret dengan akibat bahwa seorang kehilangan warisan kulturalnya, akan sama salahnya seperti melepaskan penampakan kultural dari iman itu sendiri. Sesungguhnya ketegangan itu berguna; ia membarui iman dan memulihkan kebudayaan. Oleh sebab itu tidaklah berguna menawarkan semacam kekristenan yang pra-kultural atau yang terlepas dari kebudayaan, yang akan menghilangkan kekuatan historis sendiri dan merendahkan diri menjadi suatu koleksi gagasan-gagasan yang hampa.”
Iman membudaya, iman juga menyejarah dan kebudayaan Kekristenan (Barat), menurut Ratzinger, sudah bersifat normatif. Masalah ini diterangkan dalam kuliahnya di Universitas Regensburg (2006). Di situ ia mejelaskan bahwa, dalam penyelenggaraan ilahi, kebudayaan-filsofatis Yunani-Romawi dibutuhkan untuk menjamin pengungkapan otentik iman Kristiani. Karena itu, hasil konsili-konsili serta tulisan para teolog kondang pada abad ke-4 bersifat normatif bagi setiap upaya kemudian untuk mengungkapkan iman Kristiani dalam kebudayaan-kebudayaan lain. Antara lain beliau menegaskan: “Berkaitan dengan perjumpaan banyak kebudayaan … sintesis dengan kebudayaan Yunani dalam Gereja bahari itu kan inkulturasi awal iman kristiani: kita tidak boleh memancangkan kebudayaan lain di situ. Katanya kebudayaan lain itu berhak untuk masuk sampai ke pesan awal Perjanjian Baru untuk menginkulturasikan pesan itu secara baru. Tesis ini tidak begitu saja keliru, namun terlalu kasar dan kurang akurat.” 39
38 39
Dari amanat Yohanes Paulus II ketika mendirikan Dewan Kepausan untuk Kebudayaan, 16 Januari 1982. Lih. kuliah Benediktus XVI, “Iman, Akal Budi dan Universitas”, Jurnal Ledalero 6/2 (2007), hlm. 158.
11
Bagi Ratzinger, kekristenan berupa sintese antara iman biblis dan akal budi dari filsafat Yunani. Hal ini kentara dalam seluruh karyanya, antara lain, dalam bukunya Yesus dari Nazaret Jilid I. 40 Dalam karya ini Ratzinger menafsir warta Perjanjian Baru melalui prisma dogma-dogma kristologi abad ke4. Berpangkal pada rasionalitas Yunani, secara khusus filsafat Plato, Ratzinger seolah-olah menganggap bahwa tradisi biblis tidak memiliki rasionalitasnya sendiri. Tuturnya: “… warisan Yunani yang dimurnikan secara kritis itu merupakan bagian dari iman kristiani … keputusan-keputusan dasar, yang menyentuh hubungan antara iman dengan pencarian akal budi manusia, itu merupakan bagian dari iman sendiri dan perkembangannya yang serasi.” 41
Di Hongkong Ratzinger tidak menyatakan bahwa warisan Yunani merupakan “bagian dari iman sendiri”, tapi dia melihat penggabungan antara iman biblis dan filsafat Yunani pada abad ke-4 itu sebagai model bagi interkulturalitas masa kini: “. . . Iman akan Yesus Kristus menjadi sebuah prinsip hidup yang baru dan membuka sebuah ruang yang baru untuk kehidupan. Yang lama tidak binasa, melainkan menemukan bentuknya yang definitif dan pengertiannya yang penuh. Mempertahankan yang lama sambil mengubah bentuknya, seperti yang telah dijalankan dengan luar biasa oleh para bapa Gereja dalam pertemuan antara iman Alkitabiah dan kebudayaan-kebudayaannya adalah isi yang sesungguhnya dari ‘inkulturasi’, dari pertemuan dan penyerbukan silang antara kebudayaan dan agama-agama di bawah kekuatan iman yang menjadi perantara . . .”
Catatan Kritis Pemaduan iman Kristiani dan rumusan filsafat Yunani mengundang berbagai catatan kritis yang tajam. Pada tempat pertama, Ratzinger seolah-olah merelativisasikan paradigma-paradigma pewahyuan yang terungkap dalam Alkitab Ibrani (PL) dan Karya Apostolik (PB), seakan-akan kategori-kategori teologis Ibrani dan Apostolik tidak lagi menentukan. 42 Pada tempat kedua, penggabungan iman biblis dan filsafat Yunani pada abad ke-4 itu sendiri bukan tanpa masalah.
Lucien Legrand: Interkulturasi dalam Alkitab Teolog biblis kawakan dari Bangalore, Lucien Legrand 43 sependapat dengan Joseph Ratzinger bahwa term “in-kulturasi” mengandaikan bahwa iman murni berpenetrasi dari luar ke dalam suatu kebudayaan tertentu. Sepaham dengan Ratzinger, Legrand menegaskan bahwa tidak ada Firman
40
Joseph Ratzinger / Paus Benediktus XVI, Yesus dari Nazaret Jilid I. Jakarta: Gramedia, 2008 (Asli Roma 2007). Dalam karya ini ‘pola biblis’ tertelan oleh ‘pola filsafat Yunani’. Sebaliknya, Tom Jacobs dalam bukunya Imanuel: Perubahan dalam perumusan iman akan Yesus Kristus (Jogja: Kanisius 2000) menguraikan bagaimana setelah masuk ke dalam konteks kota-kota Kekaisaran Roma, pola pewartaan apostolik diganti dengan pola filsafat Yunani. Jadi, Jacobs tetap mengutamakan pola biblis sebagai paradigma asli, sedangkan Ratzinger melunturkannya ke dalam pola filsafat Yunani. 41 Ratzinger, “Iman, Akal Budi dan Universitas”, hlm. 156, 158-159. Huruf miring ditambah oleh penulis. 42 Sejalan dengan Philo, Ratzinger menafsir kata logos dalam prolog Injil Yohanes seturut kaidah filosofi Yunani daripada seturut kategori Ibrani seperti dalam Kitab-Kitab Kebijaksanaan. Lih. ibid., hlm. 153-155. 43 Lucien Legrand, The Bible on Culture: Belonging or Dissenting? Bangalore: Theological Publications in India, 2001. Ringkasan dari buku ini diterbitkan sebagai, “Inculturation in the Bible” dalam Mario Saturnino Dias (ed.), Rooting Faith in Asia: Source Book for Inculturation. Bangalore India & Quezon City Philippines: Claretian Publications, 2005, hlm. 209-222.
12
Allah “murni” di Alkitab, Firman yang bebas budaya, yang pernah terungkap di luar salah satu pola kebudayaan. Tidak ada warta ilahi tanpa pembatasan bingkai kebudayaan tertentu. Alkitab menampilkan rupa-rupa modus inkarnasi sesuai konteksnya. Iman alkitabiah membudaya dalam aneka cara dan ragam bentuk sesuai masing-masing zaman. Kadang kala proses itu bertumbuh dari dalam, tapi sesewaktu dicangkokkan dari luar; adakalanya prosesnya mengikuti modus akulturasi, lain kali terjadi prosedur kawin silang kultural. Firman Allah paling sering hadir dalam kompleksitas sub-sub kultur, juga dalam kebudayaan-kebudayaan tandingan. Alkitab memamerkan sisi profetisnya dan memilah-milah keterbatasan tiap-tiap kebudayaan, betapa megar keberhasilannya, serta sifat kemenduaan karya manusia. Pilihan tegas untuk mendahulukan kaum miskin menerima bentuk kultural dalam kecenderungan Alkitab untuk mengangkat sub-sub kultur orang-orang kecil dan kebudayaan-kebudayaan tandingan orang-orang tertindas. Preferensi alkitabiah ini luput dari perhatian Joseph Ratzinger. Dalam Alkitab, tandas Legrand, tidak ada kebudayaan yang terpencil. Kebudayaan-kebudayaan alkitabiah tampak terbuka pada penyerbukan silang. Koinonia – persekutuan umat yang berasal dari aneka kebudayaan – nyata jelas dalam keterbukaan kebudayaan terhadap interkulturalitas. Dalam bahasa Alkitab proses inkarnasi kultural ini dijiwai oleh Roh Tuhan yang memberi kebebasan kreatif pada daya dorong lintas budaya yang berkelanjutan sambil menyongsong kepenuhan eskatologis. 44 Menyimak aneka perjumpaan antara iman dan kebudayaan dalam Alkitab, serta ragam inkarnasi kultural dalam rupa-rupa kebudayaan, apakah kita boleh menyederhanakan seluruh proses kompleks ini dalam satu model tunggal, model abad ke-4?
Aloysius Pieris: Antara Penjelasan dan Penghayatan Dari Sri Lanka Aloysius Pieris juga memperhatikan lebih dari satu paradigma relasi iman dan kebudayaan dalam Karya Apostolik (PB). Dia menelusuri ‘loncatan’ dari kebudayaan dusun Galilea (pewartaan Yesus dalam bahasa dan kategori Aram) ke kultur kota-kota sepesisir Laut Tengah (pewartaan rasul Paulus dalam bahasa Yunani kerakyatan). Pieris menggambarkan pergeseran mendasar ini sebagai ‘loncatan dari dunia lokal ke dunia global’ yang dimungkinkan oleh iman Kebangkitan berkat pencurahan Roh Kudus. 45 Akan tetapi, menurut Pieris, loncatan kemudian dari dunia sepesisir Laut Tengah pada abad ke-1 ke dunia perkotaan Kekaisaran Romawi pada abad ke-4 merupakan proses menyempitkan dari kultur popular-kerakyatan jemaat Kristen bahari ke kultur kaum elit, yakni kaum intelektual di kota. Pola ajaran Farisi Paulus yang melintasi kebudayaan Galilea dan kebudayaan Yunani populer diganti dengan paham-paham filsafat kaum cendekiawan. Menurut Pieris, paradigma teologis abad ke-4 itu berupa “inkulturasi tanpa soteriologi” karena rumusan-rumusan dogmatik konsili-konsili abad ke-4 menjelaskan (ortodoksi) siapakah Yesus itu tanpa menuntut metanoia, yaitu transformasi mendasar (ortopraksis). Bukan ‘kristianisasi filsafat Yunani’, tandasnya, melainkan ‘helenisasi Kekristenan’ karena pernyataan iman terpisah dari penghayatan iman. 44
Lih. Legrand dalam Dias ibid, hlm. 222. Lih. Aloysius Pieris, “The New Quest for Asian Christian Identity: Guidelines from the Pioneers of the Past”, Third Millennium, XI (2009) 3, hlm. 09-28. Kutipan dari hlm. 15. Misiolog kenamaan Andrew Walls merincikan “lonjatan” dalam Injil dari budaya Aram-Ibrani pedesaan di Palestina ke budaya Yunani popular kota di pesisir Laut Tengah dalam Karya Apostolik (PB). Lih. “The Gospel as Prisoner and Liberator of Culture”, dalam The Missionary Movement in Christian History: Studies in Transmission of Faith. New York: Orbis Books, 1996, hlm. 3-15. 45
13
Walau kategori-kategori filsafat Yunani menguraikan ajaran Kristen dengan gamblang, kategorikategori Semitik-biblis - yang diabaikan Ratzinger - membawa metanoia: dalam Alkitab tak ada kata tanpa perbuatan (mis. Yes 55:11; Yak 2:14-26). Jadi, filsafat Yunani yang hanya menjelaskan ajaran biblis dengan memisahkannya dari soteriologi biblis: pengutusan para murid dalam misi pembaruan dunia ini agar lebih mendekati kehendak Allah dan menyerupai Kerajaan Allah. Mengikuti soteriologi Alkitabiah, bukan rumusan yang tepat-benar-ortodoks tentang Yesus dari Nazaret yang mesti diutamakan, melainkan penyaksian iman tentang siapakah Yesus itu dalam perjuangan hidup sehari-hari (ortopraksis). 46 Jadi, fokusnya lebih tertuju pada kehidupan dari pada pengetahuan saja. Pieris mengisbatkan: soteriologi biblis hendak, “membebaskan orang miskin dari kemiskinannya, meluputkan orang kaya dari kekayaannya dan melepaskan kedua-duanya dari dosa ketamakan”. 47 Jadi, teologi Asia melampaui “fides quaerens intellectum” – iman mencari pemahaman/pengungkapan – menjadi “iman memelihara kehidupan dan cinta, keadilan dan kebebasan”. Kaitan antara akal dan iman dalam teologi Asia merupakan sebuah proses dinamis yang memaknai serta memudahkan ziarah menuju kehidupan dalam segala kelimpahannya. 48 Teologi kontekstual FABC berakar dalam pengalaman kehidupan komunitas-komunitas lokal, dari pada terkurung dalam menara gading akademis. Pieris juga menggarisbawahi perbedaan lain yang fundamental. Sementara paham-paham filsafat Yunani berlagak meta-historis, paham-paham Alkitab, yaitu rasionalitas tradisi biblis, mengangkat sejarah sebagai satu unsur mendasar: Allah melibatkan diri-Nya dalam sejarah dan hanya dapat ditemukan, dikenal, dicintai dan diabdi di tengah pergolakan sejarah. Tambahan lagi, bukan seluruh perkembangan Kekristenan pada milenium pertama yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Seandainya sintesis antara ajaran biblis dan filsafat Yunani pada abad ke-4 dijadikan pegangan normatif, hal ini bukan hanya menyingkirkan paradigma-paradigma biblisapostolik yang lahir dalam kebudayaan Aram-Ibrani, juga ia menyampingkan sejarah perambatan Gereja dari Yerusalem ke arah timur: dari Yerusalem ke Antiokia, dan dari Antiokia ke Edessa (Irak). Selanjutnya, dari pusat biara misioner Edessa, dan semenjak abad ke-1 dan ke-2 (atau sekurangkurangnya sejak abad ke-4) Kekristenan dibawa oleh para rahib ke India dan sebelum abad ke-7 melalui jalur sutra ke Asia Tengah dan Cina. 49
46
Hal ini menjadi amat kentara dalam Sinode bagi para Uskup Asia (Roma, April-Mei 1998). Para kardinal dari Curia Roma berulang kali menandaskan pentingnya Yesus sebagai satu-satunya penyelamat dunia (prioritas pada ortodoksi), sedangkan tak ada satu uskup Asia yang menegaskan pernyataan iman ini – walau tidak ada juga yang pernah menyangkalnya. Para uskup Asia menyingkap keprihatinan lain, yakni bagaimana dapat mereka memberi kesaksian tentang Yesus yang meyakinkan dalam hidup sehari-hari (ortopraksis). Lih. "Kisah Dua Sinode: Pengamatan terhadap Sinode untuk Asia", Sawi XIII (1998), hlm. 33-47. Diterbit ulang dalam Penyalur XV (1998) 05, hlm. 400-415. 47 Pieris op.cit., hlm. 17. 48 Lih. Colloquium Teologi Internasional FABC ke-1 (Thailand, 1994), Pernyataan Akhir No.49 dalam Franz-Josef Eilers (ed.), For All the Peoples of Asia, Jilid II, Manila: Claretian Publications, 1997, hlm. 226. 49 “Sejarah terselubung” kekristenan di Asia selama milenium pertama semakin dikaji para sejarahwan. Lih. Samuel Hugh Moffett, A History of Christianity in Asia. Jilid I Beginnings to 1500. New York: Orbis Books 1998. John C. England, The Hidden History of Christianity: The Church of the East before the year 1500. Delhi: ISPCK, 2002. I. Gillman & H.J. Klimkeit, Christians in Asia before 1500. Ann Arbor: University of Michigan Press, 2002. Dale T. Irvin & Scott W. Sunquist, Kekristenan: Gerakan Universal. Jilid I: Kekristenan Bahari hingga 1453. Maumere: Penerbit Ledalero, 2004. Philip Jenkins, The Lost History of Christianity. The Thousand-year Golden Age of he Church in the Middle East, Africa and Asia – And How it Died. New York: Harper One, 2008.
14
Selama milenium pertama jemaat-jemaat kristen Asia lebih besar dalam jumlahnya dari pada Kekristenan Barat; dan ia tidak terikat pada paham-paham filsafat Yunani. Pandangan historisholistik-ekumenis masa kini mengajak kita untuk menerima sintesis Yunani abad ke-4 sebagai salah satu penemuan berharga dalam ziarah kelaidaskopik Gereja dan bukan satu-satunya. Walau jelas isi dogma-dogma hasil konsili-konsili umum Gereja tetap bersifat normatif, sekurangkurangnya dalam arti bahwa rumusan-rumusan lain tak boleh bertentangan dengannya, namun sama benar juga bahwa ungkapan iman yang bermakna dalam satu konteks (umpamanya dalam konteks abad k-4) belum tentu dengan sendirinya bermakna dalam konteks dan pada zaman berbeda. Sangat boleh jadi pertanyaan lain yang sudah timbul dalam situasi lain membutuhkan jawaban serta rumusan lain pula. Singkatnya, menurut Pieris, normativitas Injil tidak boleh diklaim oleh salah satu kultur atau sistem filsafat betapa penting perannya dalam kurun sejarah tertentu. Peralihan dari paradigma semitik ke paradigma filsafat Yunani berupa satu contoh kontekstualisasi, salah satu model untuk dipertimbangkan. Dogma-dogma kristologis konsilier tetap berperan laksana ‘tolok ukur’ bagi setiap penemuan serta pengungkapan iman baru sesuai masing-masing konteks dan zaman. Penutup Percakapan ilmiah antara Jürgen Habermas dan Joseph Ratzinger, kelihatannya, terfokus pada situasi yang sedang berkembang di dunia Barat yang kehilangan konsensus moralnya. Hemat saya, pada umumnya masalah kita di Asia agak berbeda, baik menyangkut sekularisme maupun pluralisme.
Sekularisasi, Sekularisme di Asia
Ratzinger berpendapat bahwa proses sekularisasi menjurus ke sekularisme yang mengusir iman dari ruang publik. Di Asia permisahan antara akal dan iman ditemukan dalam aliran-aliran fanatik, namun pada umumnya negara-negara sekular Asia dan proses sekularisasi menjamin kebebasan beragama serta nilai-nilai sipil, baik bagi minoritas Kristen, pun untuk mayoritas yang bersifat liberal-progresif. Rasanya jauh lebih manusiawi kita mendiami sebuah negara sekular dari pada mesti menderita di dalam sebuah teokrasi (sebuah “Hindustan”, “Kristianastan” atau “Islamastan”). Dalam negaranegara sekular Asia semua agama mendapat ruang gerak karena pemerintah tidak begitu saja mencampuri soal kepercayaan dan peribadatan, tetapi menerima sumbangan etis-moral (perilaku atau akhlaq) dan peradabannya. Indonesia mengisyaratkan bahwa walau agama-agama yang amat berbeda dalam kepercayaan serta sejarahnya seperti Hinduisme, Budhisme, Kekristenan dan Islam hidup berdampingi, mereka bisa menyepakati norma dan etika publik bagai landasan kehidupan bersama. Masyarakat sekular menyumbang nilai-nilai sipil seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia, sedangkan agama-agama menyumbang dasar etis dan komponen-komponen dari tradisi peradabannya masing-masing (seni ruang, seni suara, seni gerak, seni lukis, seni pahat, dan seterusnya). Agama memajukan humanum di ruang publik. 50 Kalau sekularisme menjadi masalah bagi Ratzinger di Eropa, masalahnya di Indonesia justru terbalik: negara-negara kita belum cukup sekular. Keyakinan bahwa Allah terus-menerus campurtangan secara 50
Sebetulnya soal sekularisasi dan sekularisme jarang disinggung oleh FABC, dan kalau disinggung biasanya bersamaan dengan masalah urbanisasi, migrasi dan globalisasi; tiga trend terakhir lebih dirincikan dari pada soal sekularisasi itu sendiri. Lih. “Pernyataan Akhir Musyawarah Paripurna FABC I “(Taipei 1974) no. 4, dalam For All the Peoples of Asia, Jilid I, hlm. 268. Juga esai “Asian Christian Perspectives on Harmony oleh Biro Keprihatinan Teologi FABC No. 1.1.1. (Hongkong 1995), dalam For All the Peoples of Asia Jilid II, hlm. 234.
15
langsung melalui bencana-bencana alam, mengisyaratkan bahwa kita masih harus memperluas ruang sekular. Pun pula soal campurtangan pemerintah dalam keyakinan dan peribadatan warganya. Tapi, bersama Ratzinger kita pula akui bahwa nilai-nilai etis dari agama-agama belum berpengaruh semestinya di ruang publik. Amat nyata bahwa nilai tamak yang memotori pasar global juga meliliti kaum elit politik dan bisnis di Indonesia dengan segala korupsi sistemiknya. Dan justru nir-moralitas pasar global, dengan segala perangkatnya, yang memicu fanastisme agama. Jika Habermas hidup dalam dunia post-sekular, rasanya di Indonesia kita hidup di dunia quasi-sekular. Tata negara sekular bersifat positif, sementara nir-moralitas pasar global merongrong nilai keagamaan, sekurangkurangnya dalam diri kelas menengah atas. Karena itu, FABC bersikap cukup positif terhadap proses sekularisasi. Tetapi, sejauh FABC bersikap negatif terhadap proses ini, sikap negatif itu disebabkan oleh nilai rakus yang melandasi kebudayaan global komersial-konsumeristik. Nilai rakus di balik pasar global sedang merongrong nilai-nilai luhur dalam kebudayaan-kebudayaan religius Asia. Dalam percakapannya dengan Jürgen Habermas, Joseph Ratzinger menilai bahwa pluralisme membongkar konsensus moral dasar. Warga Indonesia Kristen sudah terbiasa hidup dalam dunia majemuk sebagai minoritas, dan FABC mengamati masyarakat pluralistik di Asia secara positif. Kekristenan sebagai minoritas diberi ruang hidup untuk bergerak.
Pluralisme dan Kebebasan
Ratzinger kuatir akan gejala-gejala sinkretisme, sedangkan para Waligereja dan teolog Asia menyongsong perjumpaan berkelanjutan antarpenganut agama-agama Asia yang turut menjernihkan dan memperkaya iman kristiani. Kalau Ratzinger memutlakkan rumusan iman tertentu, GerejaGereja Asia merasa perlu mencari rumusan-rumusan baru agar Sang Sabda dilihat, diakui dan diimani sebagai “jalan, kebenaran dan kehidupan” oleh orang Asia masa kini tanpa perlu terasingkan dari sejarah, kebudayaan atau rasa keagamaannya sebagai orang Asia. Sentralitas Kristus yang ditekankan oleh Ratzinger sebagai jantung-nadi manusia serta kebudayaannya, mendorong FABC untuk menampilkan wajah Yesus Kristus sebagai orang Asia, dan mengembangkan teologi yang memajukan kehidupan dan cinta kasih, keadilan dan kebebasan. Akhir kata: jika pengamatan dan analisis Joseph Ratzinger berlaku untuk kebudayaan (post)-sekular Eropa, dan para waligereja Asia tidak keliru dalam tanggapan teologisnya tentang kebudayaankebudayaan Asia yang semakin sekular namun tetap terbuka pada peran agama-agama di ruang publik, menjadi jelas bahwa tidak ada satu model hubungan akal dan iman atau satu arah tunggal dalam proses sekularisasi di dunia majemuk ini. Sesungguhnya, keterjalinan hubungan akal dan iman yang kita alami di Indonesia merupakan sumbangan berharga dari bumi Asia ke dunia Barat, dari FABC bagi para teolog Eropa.
16
DAFTAR ACUAN Benediktus XVI, “Iman, Akal Budi dan Universitas”, Jurnal Ledalero 6/2 (2007), 151-160 . Benediktus XVI, Caritas in veritate, Roma, 2009. Benediktus XVI, Amanat di hadapan parliamen Inggris di Aula Westminster, London, 17 September 2010. www.vatican.va/.../benedict_xvi/.../hf_ben-xvi_spe_20100917_societa-civile_en.html. Diakses 18 September 2010. Ratzinger Joseph, Theological Highlights of Vatican II. New York: Paulist Press, 1966. Ratzinger, Joseph, “Christ, Faith and the Challenge of Cultures”, FABC Papers No. 78 (Maret 1997), 1-19. Ratzinger, Joseph, Truth and Tolerance: Christian Belief and World Religions. San Francisco: Ignatius Press, 2004. Ratiznger, Joseph, “Apa yang Mempertahankan Keutuhan Dunia. Dasar-dasar Moral Prapolitis sebuah Negara Liberal” dalam Paul Budi Kleden & Adrianus Sunarko (ed.), Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010, 31-56. Ratzinger, Joseph, Yesus dari Nazaret. Jakarta: Gramedia, Jilid I 2008 (asli bhs. Jerman 2007). Agera, Cassian R., “Christian Faith: Truth and Tolerance A Study in Ratzinger’s Phenomenology of Religion”, Mission Today, XII (2010) 3, 196-213. Amaladoss, Michael, ‘From Experience to Theology: Methodological Explorations”, Vidyajyoti, 61 (1997) 6, 372-385. Amaladoss, Michael, Beyond Inculturation: Can the Many be One? Delhi: ISPCK, 1998. Bevans, Stephen, “Twenty-Five Years of Inculturation in Asia: The Federation of Asian Bishops’ Conferences, 1970-1995”, FABC Papers No.78, hlm.20-36, Hongkong, 1997. Bevans, Stephen, Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Penerbit Ledalero,2002 (edisi asli 1992, edisi revisi 2002). Biro Keprihatinan Teologi FABC, “Pernyataan Akhir Colloquium Teologi Internasional FABC ke-1” (Thailand, 1994), Franz-Josef Eilers (ed.), For All the Peoples of Asia Jilid II, Manila: Claretian Publications, 1997, 217-228. Biro Keprihatianan Teologi FABC, “Theses on the Local Church”, FABC Paper No.60, Hongkong, 1991. (bhs. Indonesia Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia, Ende; Nusa Indah,1995, 14-87. Biro Keprihatinan Teologi FABC, “Methodology: Asian Christian Theology: Doing Theology in Asia Today”, FABC Paper No.96, Hongkong, 2000. Boromeo, C., Priestly Formation n the Light of the Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC): Towards a Model in the Burmese Context. Roma: Collegio Teresianum, 2002. Carrier, Hervé, “The Church Meeting Cultures: Convergences and Perspectives”, dalam Joseph Gremillion (ed.), The Church and Culutre since Vatican II. Notre Dame: University Press, 1985, 140-152. Chupungco, Anscar J., “Liturgical Inculturation”, East Asian Pastoral Review 30 (1993) 2, 108-119. Edmund Chia, “Thirty Years of FABC: History, Foundation, Context and Theology”, FABC Papers No.106, Hongkong, 2003. Claver, Francisco F., The Making of a Local Church. Quezon City: Claretian Publications, 2009. Dias, Mario Saturnino, Evangelisation and Inculturation. New Delhi: Pauline Publications, 2001. Dias, Mario Saturnino, Rooting Faith in Asia: Source Book for Inculturation. Bangalore / Quezon City: Claretian Publications, 2005. Eilers, Franz-Josef (ed.), For All the Peoples of Asia. Jilid II 1992-1996. Quezon City: Claretian Publications, 1997. Eilers, Franz-Josef (ed.), For All the Peoples of Asia. Jilid III 1997-2001. Quezon City: Claretian Publications, 2002. Eilers, Franz-Josef (ed.), For All the Peoples of Asia. Jilid IV 2002-2006 Quezon City: Claretian Publications, 2007. 17
England, John C., The Hidden History of Christianity: The Church of the East before the year 1500. Delhi: ISPCK, 2002. Gillman, I & H.J. Klimkeit, Christians in Asia before 1500. Ann Arbor: University of Michigan Press, 2002. Gremillion, Joseph (ed.), The Church and Culture since Vatican II. Indiana: University of Notre Dame Press, 1985. Irvin, Dale T. & Scott W. Sunquist, Kekristenan: Gerakan Universal. Jilid I: Kekristenan Bahari hingga 1453. Maumere: Penerbit Ledalero, 2004. Jacobs, Tom, Imanuel: Perubahan dalam perumusan iman akan Yesus Kristus. Jogjakarta: Kanisius, 2000. Jenkins, Philip, The Lost History of Christianity. The Thousand-year Golden Age of he Church in the Middle East, Africa and Asia – And How it Died. New York: Harper One, 2008. Kadaliyil, A., Toward a Relational Spirit Ecclesiology in Asia: A Study on the Documents of the Federation of Asian Bishops’ Conferences. Berkeley: Graduate Theological Union, 2006. Kirchberger, Georg & John Mansford Prior (ed.), Bersaing atau Bersahabat? Dakwah Islam - Misi Kristen. Maumere: Penerbit Ledalero, 2008. Kleden, Ignas, “Masyarakat Post-Secular: Tuntutan Aktualisasi Relasi Akal dan Iman”, Basis, SeptemberOktober 2010, 4 – 11. Kleden, Paul Budi, “Ratzinger tentang Tema Politik”, dalam Paul Budi Kleden & Adrianus Sunarko (ed.), Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermans – Ratzinger dan Tanggapan. Maumere: Penerbit Ledalero, hlm. 129-252. Legrand, Lucien, The Bible on Culture: Belonging or Dissenting? Bangalore: Theological Publications in India, 2001. Legrand, Lucien, “Inculturation in the Bible” dalam Mario Saturnino Dias (ed.), Rooting Faith in Asia: Source Book for Inculturation. Bangalore India & Quezon City Philippines: Claretian Publications, 2005, hlm. 209-222. Lonergan, Bernard, Insight: A study of human understanding. Toronto: University Press, 1992 (original 1957). Lonergan, Bernard, Method in Theology. Toronto: University Press, 1990 (original 1972). Miranda, Dionisio M., “Outlines of a Method of Inculturation”, East Asian Pastoral Review 30 (1993) 2, 145167. Miranda, Dionisio M., “Fragments of a Method for Inculturation”, East Asian Pastoral Review 30 (1993) 2, 168197. Moffett, Samuel Hugh, A History of Christianity in Asia. Jilid I Beginnings to 1500. New York: Orbis Books 1998. Nemet, Ladislav, “Inculturation in the FABC Documents”, East Asian Pastoral Review, 31 (1994), 1/2, 77-94. Ladislav Nemet, “Inculturation of Catechesis and Spirituality in the Documents of the Catholic Bishops’ Conference of the Philippines, East Asian Pastoral Review 32 (1995) 1/2, 48-80. Nichols, Aidan, The Theology of Joseph Ratzinger: An Introductory Study. Edinburgh: T & T Clark, 1988. Panikkar, Raimon, The Trinity and the Religious Experience of Man: Icon-person-mystery. New York: Orbis Books, 1973. Panikkar, Raimon, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness. New York: Orbis Books, 1993. Panikkar, Raimon, The Intrareligious Dialogue. New York: Paulist Press, edisi revisi 1999. Pieris, Aloysius, “Universality of Christianity?”, Vidyajyoti, 57 (1993) 10, 591-595. Pieris, Aloysius, “Inculturation: Some Critical Reflections”, Vidyajyoti, 57 (1993) 11, 641-651. Pieris, Aloysius, “Inculturation as a Missionary / Evangelical Presence in a Religiously Plural Society”, Vidyajyoti, 60 (1996) 3, 150-154. Pieris, Aloysius, “The New Quest for Asian Christian Identity: Guidelines from the Pioneers of the Past”, Third Millennium, XI (2009) 3, 09-28. Pontifical Council for Culture, Towards a Pastoral Approach to Culture, Roma 1999. Prior, John Mansford, "Kisah Dua Sinode: Pengamatan terhadap Sinode untuk Asia", Sawi XIII (1998), hlm. 33-47. Putranta, C., The Idea of the Church in the Documents of the Federation of Asian Bishops’ Confernces (FABC): 19701982. Roma: Universitas Gregoriana, 1985. Rosales, Gaudencio & C.G. Arévalo (ed.), For All the Peoples of Asia. Jilid I: 1970-1991. Quezon City: Claretian Publications, 1992. 18
Stany, A., The Role of the Religious in the Life of the Church in Asia: A Study in the Light of FABC Documents. Roma: Universitas Angelicum, 2003. Tan Yun-ka, Jonathan, “The Ancestor Veneration Rites of the Contemporary Malaysian Chinese Community and Inculturation”, East Asian Pastoral Review 35 (1998) 3/4, 320-355. Tan Yun-ka, Jonathan, “Constructing an Asian Theology of Liturgical Inculturation from the Documents of the Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC), East Asian Pastoral Review 36 (1999) 4, 383401. Tan Yun-ka, Jonathan, “Theologizing at the Service of Life: The Contextual Theological Methodology of the Federation of Asian Bishops Conferences (FABC), FABC Papers No.108, Hongkong, 2003. Tan Yun-ka, Jonathan, “Missio Inter Gentes: Towards a New Paradigm in the Mission Theology of the Federation of Asian Bishops/ Conferences”, FABC Papers No.109, Hongkong, 2004. Thoppil, J., Towards an Asian Ecclesiology: Understanding of the Church in the Documents of the Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC) 1970-1995 and the Asian Ecclesiological Trends. Roma: Universitas Urbaniana, 1998. Tran Ngoc Dang, Dominic, Inculturation in Missionary Formation according to the Federation of Asian Bishops’ Conferences Documents (1970-2006) with Special Reference to the Mission in Vietnam. Roma: Universitas Urbaniana, 2010. Walls, Andrew, “The Gospel as Prisoner and Liberator of Culture”, The Missionary Movement in Christian History: Studies in Transmission of Faith. New York: Orbis Books, 1996, 3-15. Wilkins, John, “Ratzinger at Vatican II: a Pope who can & cannot change”, Commonweal, 4 Juni 2010. Yohanes Paulus II, Wejangan kepada UNESCO, 2 Juni 1980. Yohanes Paulus II, Amanat mendirikan Dewan Kepausan untuk Kebudayaan, 16 Januari 1982. Yohanes Paulus II, Ecclesia in Asia, Roma, 1999.
19