MEMBANGUN SISTEM PERKOPERASIAN BERDASARKAN “MODEL SEGITIGA KEKUATAN BISNIS” (Johnny W. Situmorang)
MEMBANGUN SISTEM PERKOPERASIAN BERDASARKAN “MODEL SEGITIGA KEKUATAN BISNIS” Johnny W. Situmorang Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian Koperasi dan UKM Jalan MT. Haryono Kav. 52-53, Jakarta Selatan E-mail:
[email protected] Diterima: 5 Maret 2013; direvisi: 14 Juni 2013; disetujui: 24 Juni 2013
Abstrak Kesinambungan bisnis sangat tergantung pada “segitiga kekuatan bisnis”. Melemahnya peran koperasi disebabkan orientasi pembangunan koperasi terpaku pada bidang produksi, sementara bidang pembiayaan dan penjaminan tertinggal. Setelah reformasi, koperasi jasa keuangan muncul sebagai lembaga yang mampu menggerakkan dunia usaha skala UMKM dan moneterisasi perdesaan. Kementerian KUKM harus mampu menciptakan iklim kondusif dengan memberikan ruang lebih luas agar integrasi segitiga kekuatan bisnis koperasi bisa terwujud dan menjadikan koperasi sebagai salah satu pilar utama perekonomian berbasis kerakyatan. Amandemen UU 17/2012 perlu dilakukan oleh Pemerintah agar memasukkan koperasi dalam jasa penjaminan. Kata kunci: segitiga kekuatan bisnis, koperasi jasa keuangan, revitalisasi, intermediasi, moneterisasi, amandemen. Abstract Business sustainability is dependent on the integration of “business power triangle”. The weakening of the cooperative role is caused by focusing of development cooperative on the field of production, while the neglecting areas of finance and insurance. After the reform era, financial cooperatives emerge that are able to move the business of SMEs and rural monetarization. The Ministry of CSME’s should be able to create a conducive climate for providing more space for the integration of cooperative within the frame of “business power triangle” can be realized and to perform cooperative as one of the main pillar of people-based economy. Amendment of Law 17/2012 should be made by the Government to incorporate cooperative in assurance services. Keywords: power triangle business, financial cooperatives, revitalization, intermediation, monetarization, amendment.
Pendahuluan Era reformasi memaksa setiap pelaku bisnis masuk dalam sistem ekonomi liberal dan persaingan. Pembangunan koperasi menjadi bukan sesuatu yang utama dalam kerangka pembangunan ekonomi karena berkurangnya intervensi pemerintah. Model pembangunan koperasi yang menitikberatkan pada sisi produksi dengan berbagai dukungan pemerintah kurang relevan dan memosisikan koperasi semakin 1
Peneliti Kementerian KUKM, Jakarta, dan juga dosen luar biasa ABFII Perbanas, Jakarta
41
INFOKOP VOLUME 22 No. 1 - Juni 2013 : 41-56
kurang nyata dalam mencapai tujuan pembangunan. Itu terlihat jelas, ketika koperasi dinyatakan sebagai solusi kesejahteraan rakyat, jumlah orang miskin masih tinggi walaupun jumlah koperasi dan anggotanya semakin besar. Sementara itu, penguasaan sumberdaya ekonomi masih didominansi oleh swasta usaha skala besar dengan ketimpangan ekonomi yang terjadi selama ini. Disparitas perekonomian yang masih terjadi selama ini adalah indikasi awal belum kuatnya posisi koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat. Tampaknya ada yang perlu dibenahi secara serius atas keberadaan koperasi sebagai lembaga yang mampu mengatasi masalah perekonomian rakyat dan kemiskinan. Oleh karena koperasi itu, revitalisasi koperasi merupakan upaya yang patut menjadi titik perhatian pemerintah. Revitalisasi koperasi ini yang telah dicanangkan oleh pemerintah adalah untuk menjadikan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat yang kuat di masa depan. Bagaimana strategi revitalisasi tersebut menjadi persoalan tersendiri ketika fokus pembangunan koperasi selama ini masih pada sektor riil. Sangatlah sulit mengembangkan koperasi manakala sektor jasa, khususnya finansial bukan merupakan bagian integral dari sistem perkoperasian nasional. Dalam kaitan ini, tulisan ini menyoroti bagaimana peran strategis koperasi yang bergerak dalam usaha jasa keuangan. Berbagai kalangan, termasuk perbankan, sepakat bahwa koperasi jasa keuangan berperan penting dalam mobilisasi dana masyarakat dan pembiayaan usaha rakyat.
Segitiga Kekuatan Bisnis Ekspansi bisnis adalah cita-cita setiap pelaku usaha. Dari dunia usaha yang paling sederhana yang dikenal sebagai entitas bisnis “proprietorship” ke “partnership” sampai ke “corporation” akan selalu mengakumulasi kapital untuk ekspansi menjadi “transnational corporation (TNC)” dan “multinational corporation (MNC)”. Keberlanjutan ekspansi bisnis harus terjamin sehingga kepemilikan suatu bisnis tidak lagi persoalan pribadi melainkan menjadi urusan publik. Misalnya, Bill Gates, sebagai pemilik “Microsoft Corporation” tidak mempersoalkan lagi siapa yang masuk dalam manajemen Microsoft. Bahkan dia menjadi professional di bidang riset microsoft. Kekuatan bisnisnya adalah fokus pada piranti lunak yang susah ditandingi oleh kompetitor atau pemain baru. Microsoft Corporation mampu sebagai “natural monopoly”, monopoli karena mampu mengubah teknologi produksi terus menerus yang menurunkan biaya produksi rata-rata. Namun, karena ada UU Anti- monopoli, microsoft tidak boleh memonopoli pasar (Salvatore, 2005; Situmorang, 2011). Demikian juga korporasi di bidang minyak dan gas serta perdagangan yang menjadi MNC, seperti Chevron, Exxon Mobile, BP, Sogo, dan Wal Mart. Mengapa suatu bisnis mampu menjadi TNC atau MNC? Hal itu dapat dijelaskan oleh konsep pengelolaan bisnis yang komprehensif, yaitu “business power triangle model” atau “model segitiga kekuatan bisnis” (Model SKB). Model SKB dapat menjelaskan kekuatan bisnis sebagaimana fenomena kekuatan bisnis global dewasa ini yang mampu mengantar beberapa korporasi menjadi kekuatan bisnis global. Integrasi tiga kekuatan bisnis dapat menjamin ekspnasi bisnis dan keberlanjutan bisnis dalam sistem pasar persaingan global. Pada Gambar 1 terlihat Model SKB dimana
42
MEMBANGUN SISTEM PERKOPERASIAN BERDASARKAN “MODEL SEGITIGA KEKUATAN BISNIS” (Johnny W. Situmorang)
tiga pilar bidang usaha yang selalu berkaitan satu dengan lainnya. Pertama, sudut produksi barang dan jasa merupakan bidang bisnis yang menghasilkan barang modal, konsumsi, dan jasa non-finansial. Sudut kedua adalah bidang usaha pembiayaan atau jasa keuangan perbankan dan non-perbankan. Sektor ini dikenal sebagai sektor non-riil yang inti bisnisnya memobilisasi dana dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat. Lembaga pembiayaan sudah menjadi lahan bisnis yang sangat menggiurkan sejak dulu. Bahkan siapa yang menguasai bisnis pembiayaan akan menguasai ekonomi. Bisnis lembaga pembiayaan tidak semata perbankan melainkan juga derivasinya melalui rekayasa finansial yang sangat berkembang berkat kemajuan teknologi informasi. Sudut ketiga adalah bisnis di bidang penjaminan yang dikenal dengan asuransi, baik penjaminan untuk kredit maupun usaha produksi. Bidang usaha penjaminan termasuk juga kategori bisnis sektor non-riil. Bidang penjaminan juga sangat atraktif dan semakin berkembang, termasuk dalam hal penjaminan simpanan publik di bank, penjaminan kredit, dan penjaminan umum (jiwa dan benda), serta reasuransi. Ketiga bisnis tersebut saling terkait menjadi suatu integrasi bisnis yang akhirnya memosisikan pelaku bisnis sangat kuat. Bisnis sektor produksi tidak akan berkelanjutan bila tidak ditopang oleh lembaga pembiayaan dan penjaminan yang kokoh. Bisnis sektor pembiayaan juga tidak akan berkelanjutan bila tidak ditopang sektor produksi dan sektor penjaminan. Bisnis sektor penjaminan tidak akan berkelanjutan bila tidak ditopang oleh sektor produksi dan sektor pembiayaan. Kekuatan sektor produksi telah ditunjukkan oleh berbagai pelaku bisnis yang telah sukses dan berkelanjutan secara global, seperti pada bidang otomotif, antara lain Chevrolet, BMW, Toyota, Hyundai, LG, Nokia, dan Samsung, pada bidang produksi makanan, Indofood, produk konsumen, seperti Unilever, bidang perdagangan ritel, seperti Lottemart, Wal Mart Store, Giants, dan Hypermart. Wal Mart Store adalah perusahaan yang terbesar dalam perdagangan dunia dan Toyota Motor sebagai posisi kelima menurut majalah “Fortune” (Anonim, 2013). Microsoft Corporation yang didirikan oleh Bill Gates mampu menjadi korporasi raksasa karena ditopang oleh lembaga keuangan non-bank, yakni modal ventura. Beberapa koperasi yang telah mengglobal (the global co-operative) yang beromset ratusan triliun rupiah menekuni sektor produksi makanan dan pertanian, misalnya produsen susu. Zen Noh Cooperative di bidang usaha “food & agricultural” di Jepang beromset US $63.5 miliar. Menurut “Fortune 500 Global”, pada tahun 2010, lima besar perusahaan global ada di bidang produksi dengan penjualan total mencapai US $1,424.24 miliar atau Rp12,818.16 triliun atau tiga kali lipat PDB Indonesia. Kelima perusahaan tersebut adalah Wal Mart Store (USD 404.21 miliar), Royal Dutch Shell (USD 285.13), Exxon Mobile (USD 284.65), BP (USD 246.14), dan Toyota Motor (USD 204.11 miliar). Kelima perusahaan tersebut menciptakan laba total sebesar US $64.97 miliar atau Rp584.73 triliun (Situmorang, 2012a). Pada tahun 2012, Exxon Mobile menempati urutan pertama, menggeser Wal Mart Store menjadi posisi kedua, dan secara berurutan posisi 3, 4, dan 5 adalah Chevron, ConocoPhillips, dan General Motors dengan penjualan total kelimanya sebesar US $1,533.05 miliar dan aset US $1,031.76 miliar (Anonim, 2013a). Keberhasilan bisnis perusahaan global sudah pasti selalu terkait dengan lembaga pembiayaan dan penjaminan yang bekerja secara simultan untuk saling mendukung sektor riil, pembiayaan, dan penjaminan. Semakin kuat bisnis produksi semakin tinggi kepercayaan lembaga pembiayaan dan lembaga penjaminan terhadap bisnis tersebut. Sering, lembaga pembiayaan dan penjamian yang merayu perusahaan produksi barang dan jasa agar mau menjalin jejaring dengan mereka. Dalam bidang finansial, banyak contoh lembaga perbankan dan non-perbankan baik lokal, regional, nasional, maupun transnasional yang telah mampu menjadi entitas bisnis yang kokoh. Sebelum krisis di Amerika Serikat (AS), pada tahun 20072 , di AS ada lima besar koporasi dunia pencetak uang 2 Lihat majalah “Tempo”, edisi 18-24 Juni 2007, hal 109
43
INFOKOP VOLUME 22 No. 1 - Juni 2013 : 41-56
dari bisnis keuangan dengan nilai omset miliaran dollar, yaitu J.P Morgan Aset Management (US $33 miliar), Goldman Sachs (US $32.5 miliar), Bridgewater Associates (US $30.2 miliar), D.E. Shaw Group (US $27.3 miliar), dan Farralon Capital Management (US 26.2 miliar). Di Inggris terdapat Barclays Global Investor (US $19 miliar) dan Man Investment (US $18.8 miliar) yang sukses meraih dana internasional3 . Sebanyak 10 perusahaan “hedge fund” semacam itu mampu menciptakan omset sebesar US $251.6 miliar, setara Rp 2,264.4 triliun atau setara PDB Indonesia ketika itu. Para perusahaan finansial inilah yang bermain di pasar saham global dan proses M & A (merger & aquitition) yang sangat marak terjadi, termasuk di Indonesia. Bahkan perusahaan perbankan besar Indonesia, sering menggandeng perusahaan finansial global untuk transaksi skala besar. Farralon memiliki andil dalam pemulihan bisnis di Indonesia. Pada tahun 2002, Farallon membeli Bank Central Asia (BCA), lembaga keuangan terkenal di Indonesia, sebesar US $531.00 juta ketika banyak bank di Indonesia diambang kehancuran karena kredit macet yang terjadi pada masa Presiden Soeharto. Selama empat tahun, orangnya Farallon memimpin BCA dan membuat reformasi. Setelah untung, Farallon menjual sahamnya tahun 2006, banyak investor lain mulai melirik Indonesia untuk kembali. Pada tahun sebelum investasi Farallon di Indonesia, hanya sebesar US $286.00 juta foreign direct investment (FDI) yang mengalir Indonesia. Setelah Farallon keluar, FDI ke Indonesia tumbuh menjadi US $1.00 miliar pada tahun 2007 dan US $4.00 miliar pada tahun 2008. Menurut Sebastian Mallaby, US Council on Foreign Relations economics fellow, bahwa Farallon telah membawa berkah bagi Indonesia (Anonim, 2013b). Di Indonesia sendiri, persaingan industri perbankan sangat tinggi dalam rangka menguasai bisnis finansial, tidak hanya antar bank swasta, tetapi juga antara swasta dengan badan usaha milik pemerintah. Persaingan tinggi karena bisnis finansial adalah pasar bebas setelah Indonesia menganut liberalisasi perbankan sehingga bisnis finansial sangat menggiurkan tidak hanya terkait dengan masyarakat, tetapi juga bisnis derivasi keuangan dan penguasaan saham antar perusahaan. Misalnya, Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank BRI dan kalangan swasta, seperti Bank BCA, Bank CIMB Niaga, dan lainnya bertarung merebut pangsa pasar. Bisnis finansial semakin menarik dengan masuknya bank-bank besar dalam bisnis ritel yang sebelumnya kurang memperoleh tempat di kalangan bank skala besar. Persaingan semakin tinggi di sektor ritel karena di segmen pasar tersebut juga bermain koperasi dan pelepas uang lainnya yang dikenal sebagai lembaga keuangan mikro (LKM). Perkuatan di sektor ini menyebabkan berbagai perusahaan keuangan internasional mencoba mengambil alih kepemilikan perusahaan lain. CIMB Investment Bank mengakuisisi sebagian saham Royal Bank Of Scotland (RBS) sebesar 173,9 juta poundsterling atau Rp2.41 triliun yang menjadikannya sebagai bank investasi terbesar di di Asia Pasifik 4 . Sedangkan Bank Danamon beralih kepemilikan setelah DBS Group Holdings Ltd membeli 67.37% saham PT. Bank Danamon Indonesia Tbk sebesar S $6.2 miliar atau Rp45.2 triliun. Bank Danamon mengandalkan bisnis ritel yang telah menyalurkan kredit sebesar Rp16.4 triliun pada tahun 2011 dengan nasabah sebanyak 703,0005 . Suatu korporasi di sektor produksi yang telah berhasil biasanya didekati dan ditawarkan oleh pelaku bisnis sektor pembiayaan dan sektor penjaminan sebagai mitra dari lembaga keuangan. Bukan lagi pelaku produksi yang mencari sumber pembiayaan dan penjaminan. Daya tariknya semakin tinggi dengan semakin canggihnya teknologi informasi yang menghilangkan batas lingkungan global, regional, nasional, dan lokal. Transaksi perbankan melalui jaringan internet salah satu pilihan masyarakat yang mendukung bisnis perbankan dan penjaminan. Di Indonesia, otonomi daerah meningkatkan geliat bisnis keuangan sampai ke tingkat lokal . Menurut Mulyo (2008), bahwa perbankan Indonesia semakin 3
Farralon Capital Management adalah pemilik BCA dan Barclays adalah sponsor Liga Primer FA di Inggeris yang omzet bisnis bolanya miliaran poundsterling..
4
Harian Kompas, Selasa 3 April 2012, hal 18, “CIMB Investement Bank Akuisis RBS”
5
Harian Kompas, Selasa 3 April 2012, hal 20, “DBS Membeli Danamon” dan DBS-Danamon, Piyush Gupta: Tak Ada Yang Berubah”. DBS Group Holdings Ltd membeli saham PT. Bank Danamon Indonesia dari Asia Financial Indonesia (AFI) Maret 2012
44
MEMBANGUN SISTEM PERKOPERASIAN BERDASARKAN “MODEL SEGITIGA KEKUATAN BISNIS” (Johnny W. Situmorang)
berperan ketika terjadi pergeseran aliran dana dari Jawa ke luar Jawa melalui dana perimbangan dan investasi swasta dan mobilisasi dana. Lembaga perbankan Indonesia semakin kuat manakala mereka mampu membangun Model SKB. Dari segitiga kekuatan bisnis tersebut, pembiayaan dan penjaminan termasuk dalam bisnis sektor non-riil, artinya pilar kekuatan bisnis lebih besar bobotnya pada penguasaan sektor keuangan. Dalam bisnis global, perusahaan asuransi termasuk dalam kategori perusahaan skala besar. Menurut Situmorang (2012a), dari 17 perusahaan asuransi global, nilai penjualannya adalah sebesar US $18.41 miliar sampai US $175.26 miliar. Menurut Fortune 500 Global, pada tahun 2010, dengan omset US $175,26 miliar, AXA Insurance berada pada posisi kedelapan dari 500 perusahaan skala besar global. Nilai penjualan AXA sebesar Rp1,577.54 triliun tersebut adalah sangat besar, melebihi APBN Indonesia tahun 2010. Secara global, bisnis penjaminan berkembang cepat namun di Indonesia bisnis pembiayaan jauh lebih cepat perkembangannya daripada bisnis penjaminan. Barangkali ini kaitannya dengan kondisi kesejahteraan rakyat yang masih rendah. Dengan pendapatan per kapita rakyat Indonesia sekitar US $3,500, Indonesia masih termasuk negara berkembang dan kondisi pendapatannya termasuk kategori “increasing marginal utility of income”. Kondisi rakyat Indonesia ini secara teoritis merupakan ukuran kemampuan berasuransi rakyat yang rendah. Teori ini menjelaskan seseorang sebagai “risk lover” sehingga asuransi bukanlah sebagai sesuatu yang terpenting dalam hidup. Itu sebabnya tingkat asuransi Indonesia masih jauh di bawah Singapura yang telah mencapai lebih dari 300%. Bagi lembaga perbankan, misalnya, tidak cukup hanya mengelola lembaga perbankan, juga derivasi bisnis jasa keuangan lainnya. Itu sebabnya, Bank Mandiri, Bank BCA, Bank Danamon harus juga mengembangkan bisnis di bidang non-bank, seperti Mandiri Tunas Finance, BCA Finance, dan Adira Finance sebagai anak perusahaannya. Perusahaan subsidiari tersebut sangat sukses membiayai kredit konsumsi berskala mikro-kecil, tidak hanya di perkotaan juga di perdesaan. Bahkan Bank Danamon menjadikan Adira Finance sebagai unggulannya, selain Danamon Simpan-Pinjam (DSP), dalam bisnis finansial. Lembaga keuangan tersebut sangat kreatif dan inovatif mengembangkan bisnis yang saling mendukung satu dengan lainnya. Seluruh produk lembaga keuangan tersebut ditopang sepenuhnya oleh lembaga asuransi afiliasi dari perusahaan tersebut. Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia, berkolaborasi dengan lembaga keuangan asuransi “top biggest” global, AXA Insurance, dengan membentuk perusahaan AXA Mandiri Insurance. Pola bisnis tersebut merupakan integrasi bidang usaha yang menjamin kekuatan dan kesuksesan bisnis pada era ekonomi kompetitif dewasa ini. Perluasan pilar bisnis tersebut sejalan dengan liberalisasi keuangan Indonesia sebagai tuntutan dari reformasi dan globalisasi. Menurut International Co-operative Alliance (ICA), pada tahun 2010, sedikitnya sebanyak 300 koperasi telah mampu menjadi pebisnis global dewasa ini. Selain bidang usaha industri, khususnya agroindustri, bidang usaha jasa keuangan sangat menonjol sebagai usaha yang menghantar bisnis koperasi (Anonim, 2013c). Sebanyak 29 koperasi global bergerak dalam bisnis jasa keuangan (bank dan non-bank) dan sebanyak 40 koperasi bergerak dalam bisnis asuransi. Pada tahun 2010, nilai penjualan lima besar koperasi global dalam bisnis jasa perbankan mencapai US $45.32 miliar dengan total aset sebesar US $2,384.67 miliar. Sementara nilai omset lima besar koperasi global dalam bisnis asuransi mencapai US $85.60 miliar dengan aset total sebesar US $2,574.06 miliar. Koperasi yang bergerak dalam jasa finansial ini telah mampu membuktikan diri sebagai kekuatan riil koperasi dalam bisnis global (Situmorang, 2012c). Di Jerman, koperasi jasa keuangan mewarnai pembiayaan UKM dimana sebanyak 1100 bank koperasi mampu bersaing dengan bank besar Jerman, seperti Deutsche Bank dan Commerszbank6 . 6
Harian Kompas, Jumat, 15 Februari 2013, Kilasan Kawat Dunia, hal 11.
45
INFOKOP VOLUME 22 No. 1 - Juni 2013 : 41-56
Bisnis dan prospek bisnis bidang jasa finansial memang sangat rentan pada krisis atau bahkan menjadi sumber krisis ketika terjadi kesalahan manajemen atau penyimpangan akibat perbuatan kriminal dari pengelola jasa keuangan. Krisis ekonomi regional, khususnya di Asia, telah merontokkan lembaga keuangan Indonesia sampai titik nadir. Tidak hanya kerugian uang yang sangat tinggi, juga menumbangkan pemerintahan Orde Baru-nya Presiden Soeharto. Kerugian yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia turun temurun, mencapai lebih dari Rp600 triliun. Kepemilikan bank komersial beralih. Hampir semua bank swasta Indonesia akhirnya dimiliki oleh orang asing. Penyelesaian pembayaran kembali kepada negara, utang perbankan tersebut sampai saat ini masih belum tuntas. Hanya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang masih murni dimiliki oleh orang Indonesia yang bisnisnya masuk dalam struktur pasar sangat bersaing pada level “grassroot”. Padahal, sejarah perbankan di Indonesia diawali oleh BPR pada tahun 1909 dengan berdirinya BPR di Purwokerto sebagai cikal bakal BRI (Suharto, 1988)7. Krisis keuangan di AS pada tahun 2007 lebih dahsyat lagi. Berbagai media massa dan maya mengungkap bahwa nilai kerugian lembaga keuangan (bank dan non-bank) mencapai US $295.2 miliar dan 20 lembaga keuangan rugi sebesar US $245.2 miliar atau Rp2,206.8 triliun. Lima lembaga keuangan yang paling rugi, sebesar 47.93% dari total kerugian akibat krisis tersebut. Kelimanya adalah Citi Group (AS) US $39.1 miliar, UBS AG (Swiss) US $37.7 miliar, Merrill Lynch (AS) US $29.1 miliar, HSBC (UK) US $20.4 miliar, dan RBS (UK) US $15.2 miliar. Namun dalam tempo singkat, lima tahun kemudian, lembaga keuangan tersebut sudah pulih dari sakit. Ini menandakan profitabilitas yang tinggi dan sekaligus paralel dengan volatilitas bisnis keuangan yang sangat tinggi. Ketika profitabilitas tinggi, berarti bisnis prospektif dan menjadi peluang masuknya pemain baru. Namun, sedikit saja “guncangan”, apakah karena pasar atau salah urus, dampaknya sangat besar, bisa menimbulkan multi-krisis, ekonomi, dan politik. Ini sudah terbukti oleh adanya krisis finansial 1997 dan 2007. Bagaimanakah dengan gerakan koperasi Indonesia? Sampai era Orde Baru tumbang, orientasi pembangunan koperasi terfokus pada sektor produksi barang dan perdagangan. Ini sebagai konsekuensi dari sistem pemerintahan yang sentralistik yang menjadikan koperasi lebih sebagai instrumen pembangunan daripada lembaga bisnis dan ekonomi rakyat. Dalam pola pembangunan Orde Baru, Trilogi Pembangunan memaksa sistem pembangunan dalam format massa mengambang dimana KUD (Koperasi Unit Desa) menjadi lembaga yang sangat strategis menjalankan misi pemerintahan dalam kerangka massa mengambang tersebut. Dengan kebijakan setingkat Inpres (Instruksi Presiden), pembangunan koperasi sangat fokus dan terkoordinasi dengan baik dari tingkat pemerintahan pusat sampai kabupaten dan kota8. Koperasi (KUD) dikembangkan berdasarkan wilayah kecamatan yang menjadi wujud dari pendekatan stabilitas keamanan melalui territorial. Hanya ada satu koperasi di setiap kecamatan, yakni KUD. Rakyat tidak diberi ruang luas untuk mendirikan koperasi berdasarkan kepentingannya. Hal itu sebenarnya sudah melanggar salah satu prinsip koperasi dalam hal demokrasi dan keanggotaan, sebagaimana diatur dalam UU perkoperasian9. Untuk itu, semua kebijakan ekonomi yang sifatnya pengendalian, diimplementasikan melalui KUD. Kebijakan swasembada pangan diperankan oleh KUD sebagai pelaksana pengadaan gabah, penyaluran pupuk bersubsidi dan sarana produksi lainnya. Implementasi kebijakan KUT (kredit usaha tani) sepenuhnya melalui KUD. Pemerintah menyediakan sarana pendukung program pengadaan gabah dengan membangun GLK (gudang, lantai, kios) di seluruh
7
Pendiri BPR adalah R. Aria Wirjaatmadja dengan nama “Hulp En Spaarbank Vor Inlandsche Bestuurs Ambtenaren” (Bank Bantuan dan Tabungan Pegawai Pemerintahan Bangsa Indonesia).
8
Inpres 4/1984 adalah kebijakan Presiden RI, Soeharto, dalam pembangunan koperasi. Dikenal sebagai Inpres “sapujagat” untuk koperasi.
9
Pada tahun 1997, penulis pernah menyatakan kepada Menteri Koperasi & PPK bahwa format KUD tidak sejalan dengan UU perkoperasian. Namun, jawaban Menteri adalah “anda tak ngerti politik”.
46
MEMBANGUN SISTEM PERKOPERASIAN BERDASARKAN “MODEL SEGITIGA KEKUATAN BISNIS” (Johnny W. Situmorang)
sentra produksi padi. Dalam format demikian, kreasi dan inovasi hampir tenggelam dalam kesibukan mengurusi kebijakan ekonomi yang sentralistik. Para bupati, walikota, dan gubernur berlomba mendirikan KUD agar memperoleh alokasi pembiayaan pemerintah pusat dan sekedar memperoleh penghargaan setiap Hari Ulang Tahun Koperasi. Orientasi KUD adalah pada produksi yang berlabel swasembada yang nota bene adalah program pemerintah. Koperasi pada masa itu tidak perlu menguasai bisnis pembiayaan dan penjaminan. Akses non-KUD sangat terbatas terhadap program pemerintah dan pemberdayaan cenderung terabaikan. Ketika terjadi reformasi, liberalisasi terjadi, pasar bebas, inovasi dibutuhkan, KUT tidak ada dan pamor KUD turun. Hanya sedikit KUD yang bertahan hidup, sebagian besar lesu dan bangkrut, bahkan sampai saat ini banyak KUD tidak layak (proper) sebagai penerima kredit karena terlilit utang KUT10. GLK menjadi bangunan yang tak berfungsi, aset yang tak produktif, dan secara juridis masih dimiliki oleh pemerintah dan secara faktual dimiliki oleh KUD11. KUD semakin terpuruk ketika kebijakan pembangunan tidak memihak mereka sejalan dengan perubahan rezim dari otoriter ke demokrasi sejak tahun 1998. Sampai awal tahun 2000-an, peran koperasi dalam pemberdayaan ekonomi rakyat melemah dan menggeliat kembali sejak tahun 2005. Bidang usaha jasa keuangan, khususnya bidang pembiayaan, menjadi geliat bisnis koperasi yang berbadan-hukum. Lembaga pembiayaan Credit Union (CU) berubah status menjadi formal, berbentuk koperasi. Rakyat berlomba mendirikan lembaga simpan-pinjam berbentuk koperasi. Sementara koperasi multi-usaha, seperti Koperasi Serba Usaha (KSU), mengembangkan bisnis jasa keuangan, simpanan dan pembiayaan. Di sisi lain, KUD semakin terpuruk bahkan banyak KUD masuk dalam “daftar hitam” Bank Indonesia karena gagal bayar utang yang nota bene adalah utang dalam kerangka program pemerintah (KUT).
Revitalisasi Dengan Koperasi Jasa Keuangan Pasca reformasi, terjadi perubahan pola perkembangan koperasi. Masyarakat bebas mendirikan koperasi sesuai dengan kepentingan dan perundang-undangan Republik Indonesia. Perubahan itu mewujudkan kesadaran akan makna perkoperasian dan posisi koperasi sebagai badan hukum Indonesia yang sah dan setara dengan badan hukum PT (PerseroanTerbatas)12. Dalam menghadapi perubahan lingkungan, pembangunan koperasi juga harus berubah untuk menangkap manfaat perubahan. Soetrisno (2009) menyatakan bahwa reorientasi strategi pengembangan usaha perlu untuk mengoreksi arah yang tidak benar antara lain karena perekonomian Indonesia secara struktural mengarah pada rekonsentrasi, reformasi politik, dan pengembangan sistem keuangan untuk UMKM. Beragam bentuk koperasi muncul yang mencerminkan kebutuhan riil anggotanya dengan berbagai jenis koperasi, seperti koperasi konsumsi, koperasi produksi, koperasi pemasaran, dan koperasi jasa keuangan. Salah satu yang menonjol adalah berkembangnya koperasi jasa keuangan (KJK) yang dikenal dengan KSP (Koperasi Simpan Pinjam), Kopdit (Koperasi Kredit), dan KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah). Disamping itu, setiap koperasi non-jasa keuangan juga memiliki unit usaha atau divisi Usaha Simpan Pinjam (USP) yang merupakan divisi usaha koperasi yang otonom. KSP adalah bentuk khusus koperasi yang bergerak secara langsung sebagai lembaga intermediasi. Kopdit terbentuk dari perubahan lembaga “Credit Union (CU)” yang sangat berkembang di masyarakat. Karena CU tidak berbadan-hukum sementara peraturan perundang-undangan mengatur seluruh lembaga intermediasi harus berbadan-hukum maka CU memilih 10 KUD masuk dalam daftar “hitam” Bank Indonesia sampai sekarang karena kredit macet KUT yang tidak tahu kapan harus terhapus, walaupun sudah dinyatakan oleh Pemerintah dihapus. 11 Utang bangunan GLK dibayar secara tanggung-renteng oleh semua koperasi yang ikut dalam program pengadaan pangan . Sampai saat ini, sebagian besar Pemda menanyakan bagaimana status kepemilikan GLK. 12 Sebagai badan usaha, badan hukum (BH) koperasi harus diaktekan oleh Notaris sebagaimana PT, lalu BH tersebut disahkan oleh Pemerintah. Untuk tingkat nasional, setidaknya 42 orang Notaris yang bersertifikat untuk akta koperasi sudah ada
47
INFOKOP VOLUME 22 No. 1 - Juni 2013 : 41-56
badan hukum koperasi. Kopdit “CU” menguatkan diri secara kelembagaan dan usaha dengan integrasi vertikal melalui pembentukan koperasi sekunder bernama Puskopdit “CU” (Pusat Koperasi Kredit CU). Langkah integrasi vertikal ini sangat strategis karena dengan sendirinya Kopdit CU mampu membangun jaring pengaman simpanan anggota pada koperasi primer. KJKS adalah transformasi lembaga keuangan yang berbasis pada prinsip syariah yang sistemnya adalah bagi hasil. Sama dengan CU, semua lembaga keuangan syariah (LKS) harus berbadan-hukum. Sehingga sebagian besar LKS memilih badan hukum KJKS atau USP-Kop. Dengan terbitnya UU 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian sebagai pengganti UU 25/1992, semua USP harus keluar dari koperasi dan wajib berbentuk badan hukum lain. Sejalan dengan semangat gerakan koperasi, USP yang keluar dari koperasi sebaiknya berbadan hukum koperasi. Tabel 1. Peran KJK (USP&KSP) Terhadap Koperasi Nasional, Tahun 2009-2011
Sumber: Diolah dari data Kementerian KUKM, 2012 Pada Tabel 1 terlihat posisi KJK dalam perkoperasian nasional, belum termasuk Kopdit dan KJKS. Selama tahun 2009-2011, perkembangan koperasi adalah positif. Pada tahun 2011, jumlah koperasi aktif di Indonesia mencapai 133,666 unit. Dengan jumlah anggota 30.84 juta orang, nilai omsetnya sebesar Rp95.06 triliun dan aset Rp75.48 triliun. Pada tahun yang sama, jumlah KJK sebanyak 69,746 ribu unit dengan anggota sebanyak 6.58 juta orang. Nilai omset dan aset KJK pada waktu yang sama adalah masing-masing sebesar Rp63.07 triliun dan Rp23.05 triliun. Posisi KJK dari menjadi sangat penting dalam perkoperasian nasional dengan peran intermediasinya. Dari sisi rata-rata per tahun selama tahun 2009 – 2011, posisi KJK terlihat dari rasio KJK dan koperasi nasional dilihat dari lembaga dan usaha. Dari segi jumlah lembaga, porsi KJK mencapai 56.98% dari seluruh koperasi aktif di Indonesia. Keberadaan KJK ini memberikan sumbangan anggota sebanyak 34.01% terhadap seluruh anggota koperasi yang mencapai lebih dari 30 juta orang. Dari segi usaha, kontribusi KJK terhadap koperasi nasional dilihat dari omset dan aset masing-masing 42.49% dan 14.93%. Menurut Dipta (2013) bahwa pada tahun 2012, simpanan yang diterima oleh KJK adalah sebesar Rp14.15 triliun dan pinjaman modal sebesar Rp22.86 triliun yang menciptakan nilai pinjaman koperasi sebesar Rp49.78 triliun. Nilai ini mencakup sebanyak 17.95 juta anggota atau nilai simpanan sebesar Rp788.30 ribu per anggota dan pinjaman per anggota Rp2.77 juta per anggota.
48
MEMBANGUN SISTEM PERKOPERASIAN BERDASARKAN “MODEL SEGITIGA KEKUATAN BISNIS” (Johnny W. Situmorang)
Sumber: Kem KUKM, 2012,
Efek kooperatifnya adalah alokasi pembiayaan untuk anggota koperasi. Nilai pembiayaan untuk setiap anggota koperasi rata-rata Rp3.55 juta setahun selama tahun 2009-2011. Secara nominal angka ini masih rendah, termasuk dalam kategori pembiayaan mikro, namun secara kualitatif pembiayaan ini mampu menggerakkan bisnis UMKM yang menjadi anggota koperasi, mencakup 10.34 juta pengusaha yang pada umumnya skala mikro. Dengan ciri UMKM yang belum bankabel, sangat mustahil lembaga perbankan mampu sebagai sumber pembiayaan di perkotaan dan perdesaan Indonesia. Artinya, KJK telah mampu memainkan peran sebagai lembaga pembiayaan UMKM tetapi belum terlihat sinerji antarkoperasi dalam pembiayaan dan penjaminan. Sumber pembiayaan KJK pada umumnya berasal dari anggota dan pemerintah. Sumber anggota sebagai fungsi mobilisasi dana murah dari anggota koperasi. Sumber pembiayaan pemerintah adalah hibah dan pinjaman lunak dari program pemberdayaan pemerintah. Di Jerman, Bank Koperasi Raiffeisen Gammesfeld (RG) beroperasi di Desa Gammesfeld, di Selatan Jerman yang berpenduduk 500 orang. RG adalah salah satu cerita sukses KJK dalam pembiayaan skala mikro di Jerman. Sebagai lembaga keuangan mikro, koperasi RG merupakan salah satu dari 10 bank dengan deposit paling sedikit dengan hanya satu orang anggota staf yang bekerja tetapi dipimpin oleh Peter Breiter, 41 tahun. Peter Breiter adalah seorang eksekutif bank besar yang sukses dengan pendapatan tinggi namun beralih menjadi manajer koperasi RG dengan pendapatan rendah. Menurutnya ada sesuatu yang sangat menarik ketika bekerja pada koperasi . Peran strategis KJK terlihat dari perkembangannya yang sangat cepat. Menurut Siagian (2009) bahwa akses finansial rakyat terhadap lembaga keuangan masih rendah karena kurangnya informasi dan sukubunga yang tinggi. Padahal, permintaan finansial dari ekonomi rakyat sangat tinggi. Selama tahun 2009 – 2011, pertumbuhan KJK melebihi dari dari pertumbuhan koperasi secara keseluruhan. Pada Grafik 1 terlihat perkembangan KJK berdasarkan beberapa indikator lembaga dan usahanya. Selama tahun 2009 – 2011, dari empat indikator, hanya satu indikator KJK yang lambat perkembangannya, yakni pertumbuhan lembaga yang hanya 1.08%. Sementara tiga indikator lainnya, yaitu anggota, omset, dan aset, KJK melaju lebih kencang daripada koperasi secara nasional. Perkembangan yang pesat dari KJK tergambar pada ketiga indikator itu. Pertumbuhan anggota dan omset KJK sangat tinggi, masing-masing mencapai 60.51% dan 67.20%, jauh melebihi pertumbuhan anggota dan omset koperasi nasional, sebesar 2.73% dan 8.66%. Sedangkan pertumbuhan aset KJK lebih tinggi sedikit dari koperasi nasional, masing-masing 14.99% dan 12.38%. Ke depan kuantitas KJK akan semakin besar karena minat masyarakat berkoperasi di bidang jasa keuangan sangat tinggi. Gambaran kuantitatif
49
INFOKOP VOLUME 22 No. 1 - Juni 2013 : 41-56
KJK Indonesia sesungguhnya menjelaskan signifikansi peran strategis koperasi dalam bidang usaha jasa keuangan dan dapat menjadi indikator peran penting KJK dalam revitalisasi koperasi sepanjang Model SKB (segitiga kekuatan bisnis) terpenuhi. Karena ketika koperasi hanya menjalankan dua sudut dari Model SKB dengan sumber pembiayaan tidak terintegrasi dalam sistem perkoperasian, KJK telah mampu memainkan peran sebagai lembaga pembiayaan. Manakala Model SKB mampu terbangun, sistem koperasi Indonesia akan mampu menjadi kekuatan riil rakyat dalam struktur perekonomian Indonesia, sebagaimana negara-negara maju. Tabel 2. Gambaran Beberapa KJK Sebagai Lembaga Pembiayaan, Tahun 2010
Sumber: Laporan RAT ketiga koperasi Tahun 2010 (Anonim, 2011a; 2011b; 2011c) Daya tarik yang kuat KJK adalah pada komoditas bisnisnya. Bisnis uang sebagaimana lembaga keuangan perbankan adalah pada jenis bisnisnya yang sangat menggiurkan dan sangat cepat berkembang. Volatilitas pasar uang dan dana yang sangat tinggi menyebabkan transaksi uang juga memberikan manfaat bisnis yang sangat besar dan cepat. Sebagai perusahaan yang bergerak dalam bisnis keuangan, koperasi melakukan mobilisasi dana dan menyalurkan kembali kepada masyarakat. Pada tahun 2011, nilai mobilisasi dana masyarakat yang menjadi anggota koperasi mencapai Rp21.52 triliun, yang meningkat dari tahun 2009, sebesar Rp7.4 triliun. Semua dana yang terhimpun dalam KJK merupakan dana murah dari masyarakat yang menjadi sumber pembiayaan masyarakat. Pada tahun 2011, nilai pinjaman koperasi mencapai Rp38.43 triliun yang meningkat dari Rp15.92 triliun pada tahun 2009. Transaksi bisnis KJK menarik untuk dicermati karena simpanan tidak terlindungi, sementara pinjaman pada skala kredit mikro dan kecil tidak disertai oleh jaminan fisik sebagaimana layaknya lembaga keuangan lainnya. Pada umumnya, loyalitas dan kepercayaan nasabah KJK sangat tinggi yang tercermin dari NPL (non-performance loan) sangat rendah di bawah 5%. Keunikan lainnya adalah proses transaksi yang sangat sederhana dan cepat karena setiap anggota koperasi adalah orang yang sudah dikenal karakternya. Kedudukan KJK di daerah, malah di kecamatan menunjukkan kemampuan moneterisasi koperasi sampai ke perdesaan. Beberapa KJK telah berperforma baik dimana jangkauan bisnisnya tidak hanya lintas lokal juga sudah lintas propinsi secara nasional. Kospin Jasa yang berpusat
50
MEMBANGUN SISTEM PERKOPERASIAN BERDASARKAN “MODEL SEGITIGA KEKUATAN BISNIS” (Johnny W. Situmorang)
di Pekalongan, Kodanua di Jakarta, KSP Arta Prima di Ambarawa, Kopdit Cinta Mulia di Pematang Siantar, dan Kopdit Kabari di Pangkal Pinang adalah contoh KJK yang telah sukses. Tabel 2 menampilkan performa tiga KJK yang patut dipandang sebagai kebangkitan gerakan ekonomi berbasis rakyat. Sebagai lembaga keuangan, Kopdit Cinta Mulia, Kopdit Kabari, dan KSP Arta Prima memiliki omset dan aset mencapai miliaran rupiah. KSP Arta Prima mampu menciptakan transaksi bisnis dengan anggota sebesar Rp118.17 miliar sehingga mampu mengatasi pembiayaan bisnis petani agrobisnis di perdesaan Jawa Tengah. Mobilisasi dana masyarakat oleh koperasi termasuk prestasi koperasi dengan imbalan jasa sedikitnya 1% per bulan, lebih menarik dari jasa perbankan. Ini menjadikan koperasi sebagai pilihan masyarakat dalam tabungan, dan menjadi lembaga andalan para petani untuk pembiayaan bisnis meskipun “lending rate” yang lebih tinggi daripada perbankan. Ciri lain pembiayaan koperasi yang menarik adalah letak kantor pusatnya di kota atau ibukota kabupaten. Bahkan KSP Arta Prima berkantor pusat bukan di ibukota provinsi atau kabupaten melainkan di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang (Boks 1). KJK telah menjalankan fungsi intermediasi keuangan, khususnya pembiayaan skala mikro, yang tidak terjamah oleh perbankan. Dalam terminologi G2013, KJK adalah salah satu bentuk lembaga keuangan inklusif yang menjadi solusi atas kondisi kemiskinan rakyat karena akses finansial yang rendah. Tidak hanya itu, koperasi telah mampu memoneterkan lingkungan perdesaan dan perkotaan yang tak terakses lembaga perbankan. KJK adalah instrumen “money creating” dalam hal “money supply”. Sebagaimana teori moneter yang menjelaskan keseimbangan pasar uang, koperasi berfungsi sebagai lembaga pencipta uang dalam konteks penawaran uang yang akhirnya sebagai “loanable fund” karena penempatan uang (deposit) dalam neraca koperasi merupakan penawaran uang yang dapat dihitung kuantitas peredarannya. Simpanan adalah penawaran uang melalui koperasi dan pinjaman adalah loanable fund koperasi. Baik simpanan maupun pinjaman merupakan bentuk transaksi antara “demander” dan “supplier” dana yang menimbulkan harga uang, yakni sukubunga, melalui mekanisme pasar uang. Ketika penempatan pertama deposit pada koperasi maka koperasi dapat tambahan giro yang akan dikreditkan kepada masyarakat berkali-kali. Perputaran ini merupakan kecepatan uang (money velocity) akibat transaksi. Sehingga, kemampuan koperasi mengembangkan deposit merupakan nilai total kuantitas penawaran uang pada waktu tertentu (Boediono, 1985; Goldfield and Chandler, 1988)14. Keberadaan KJK di bidang pembiayaan secara legal diatur oleh pemerintah di bawah rejim UU 25/1992 tentang Perkoperasian dan kemudian operasionalnya diatur dalam PP 9/1999 tentang usaha simpan pinjam koperasi. Peraturan perundang-undangan ini mengatur sepenuhnya sistem finansial KJK karena menyangkut dana masyarakat. Disamping memberikan kesempatan seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengembangkan koperasi di bidang pembiayaan, juga pada pemerintah untuk mengendalikan bisnis KJK dengan mengawasi seluruh sistem finansial sekaligus memberikan sanksi atas pelanggaran hukum oleh KJK. Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian KUKM, berwenang penuh mengendalikan bisnis koperasi pembiayaan, sebagaimana peran BI dalam pengendalian lembaga perbankan Namun, sampai saat ini peran besar Kementerian KUKM belum sepenuhnya terlaksana karena tidak terbitnya peraturan teknis dari PP 9/1999. Peran yang dimainkan oleh Kementerian KUKM masih sebatas peningkatan kapasitas, bantuan permodalan, dan penilaian kesehatan. Misalnya, peraturan menyangkut ketentuan rasio cadangan (Required Reserve Ratio) yang sangat penting sama sekali tidak ada. Ini berbahaya, manakala terjadi “rush”, koperasi sama sekali tak akan mampu menanggulanginya
13 G-20 merekomendasikan pengembangan “inclusive financial” sebagai solusi atas kemiskinan penduduk akibat akses yang rendah terhadap dana (loanable fund) 14 Sayangnya, Pemerintah RI belum mengeluarkan peraturan moneter dalam hal RRR (required reserve ratio) di KJK yang menentukan ekspansi deposit menjadi penawaran uang sebagaimana salah satu kewenangan BI yang sangat penting dalam moneter dan bisnis perbankan Indonesia
51
INFOKOP VOLUME 22 No. 1 - Juni 2013 : 41-56
dalam jangka pendek. Atau, perlakuan apa terhadap koperasi yang masuk dalam kategori tidak sehat. Ini sangat berbeda dengan BI sebagai pengendali moneter yang mempunyai kewenangan penuh menanggulangi kegagalan suatu bank, misalnya instumen RRR, FPJP (fasilitas pembiayaan jangka pendek), dan menyehatkan bank yang sakit dengan intervensi langsung BI atas manajemen dan kepemilikan bank bermasalah. Di balik peran besar yang dimainkan KJK, dalam transaksi bisnisnya, KJK belum terintegrasi secara horizontal. KJK tidak atau belum melayani lembaga koperasi di sektor produksi dan jasa nonfinansial. Disamping itu, semua aktifitas KJK sepenuhnya belum dikaitkan dengan faktor risiko, khususnya penjaminan. Segitiga kekuatan bisnis koperasi belum tertata dengan baik. Sumber pembiayaan koperasi sektor produksi masih bersumber dari lembaga konvensional, dari bank, nonbank, atau pemerintah. Ini akan sulit mewujudkan koperasi Indonesia sebagai tulang punggung perekonomian yang mampu menghapus kemiskinan. Dalam konteks regional misalnya, terungkap bahwa probabilitas koperasi terkait dengan keanggotaan dan tingkat kemiskinan secara regional hanya 15.15%. Secara regional, bila tingkat keanggotaan tinggi maka peluang tingkat kemiskinan rendah hanya 15.15% (Situmorang, 2011). Sebagian koperasi telah memperkuat diri dengan melakukan integrasi vertikal dengan membentuk koperasi sekunder, misalnya Kopdit membentuk Pusat atau Induk Kopdit. Koperasi sekunder diharapkan mampu mengatasi apabila risiko gagal terjadi. Pada tataran agregat, kehadiran KJK merupakan faktor penting dalam memosisikan kembali koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat yang mengimplementasikan demokrasi ekonomi dan pilar sebagaimana harapan pada konstitusi RI. Disamping itu, KJK telah memainkan peran sebagai lembaga moneterisasi perdesaan dan perkotaan menyangkut pada keterlibatan pelaku bisnis skala UMKM dan rakyat. Bahkan KJK telah menjadi kompetitor lembaga perbankan dalam bisnis ritel jasa keuangan. Dengan menjalankan fungsi intermediasi, sesungguhnya KJK tidak berbeda dengan lembaga perbankan. Hanya saja, otoritas jasa keuangan belum menjadikan KJK sebagai lembaga penting dalam kerangka moneter dan pembiayaan. Ketika lembaga perbankan memperoleh perhatian besar dalam konteks moneterisasi di Indonesia, KJK belum dipandang sebagai instrumen moneter Indonesia. Kelemahan lain bisnis koperasi adalah sentuhan bisnis bidang asuransi yang hampir tak ada, meskipun peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada koperasi bergerak di bisnis asuransi. Sebenarnya, pada masa Orde Baru, koperasi telah masuk dalam bisnis asuransi. Namun, setelah reformasi, koperasi tersebut bangkrut sehingga tidak ada koperasi tidak masuk dalam bisnis ini15. Bahkan kalangan industri asuransi dan pemerintah berusaha tidak memasukkan badan usaha koperasi sebagai entitas bisnis asuransi dalam Rancangan UU tentang perasuransian dengan alasan bangkrutnya KAI. Pengembangan bisnis ini semestinya serempak dengan bisnis pembiayaan, sebagaimana dilakukan oleh perbankan skala besar di Indonesia. Keberanian masuk pada bisnis ritel skala kecil harus disertai oleh jaminan dalam bentuk asuransi. UMKM adalah skala bisnis yang menghadapi risiko tinggi dan langka jaminan fisik manakala mengajukan kredit. Oleh karena itu, kesinambungan bisnis KJK semestinya harus terintegrasi dengan asuransi. Koperasi akan mampu menjadi salah satu pelaku bisnis asuransi apabila integrasi horizontal dan vertikal dapat berlangsung. Dengan mengacu pada data pinjaman koperasi kepada anggota selama tahun 2009-2011 sebesar Rp33.96 triliun (Tabel 1), dengan premi 1% untuk penjaminan kredit koperasi maka akumulasi bisnis koperasi bidang jasa penjaminan bisa mencapai Rp339.60 miliar. Ini akan bertambah apabila bisnis asuransi koperasi semakin menggeliat.
15 KAI (Koperasi Asuransi Indonesia) sempat digembargemborkan oleh Pemerintah sebagi koperasi andal pada era Orde Baru. KAI kemudian bangkrut dan tidak diketahui sejauhmana akibat kebangkrutan tersebut. Akibat kegagalan koperasi, Pemerintah dalam RUU tentang perasuransian memuat klausul bahwa bentuk badan usaha asuransi harus PT. Hal ini tentu bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 dan azas keterbukaan dan internasional. Gerakan koperasi dan Kementerian KUKM harus menolak RUU tersebut.
52
MEMBANGUN SISTEM PERKOPERASIAN BERDASARKAN “MODEL SEGITIGA KEKUATAN BISNIS” (Johnny W. Situmorang)
Dengan jumlah lebih dari 71.71% koperasi aktif dari 194,295 unit koperasi pada tahun 2012 (Situmorang, 2013), koperasi sekunder di bidang asuransi dapat dibentuk oleh koperasi primer yang ada. Pemerintah telah memberikan peluang untuk mendirikan lembaga penjaminan kredit dimana salah satu badan usaha yang boleh menjadi perusahaan penjamin kredit daerah (PPKD) adalah koperasi16. Namun sampai saat ini, belum ada upaya konkrit dari gerakan koperasi dan pemerintah untuk menjadikan koperasi sebagai PPKD. Sayangnya, Kementerian KUKM lebih mendorong pembentukan BUMD sebagai PPKD yang notabene BUMD adalah kewenangan dari Pemerintah Daerah. Pilihan strategi untuk penguatan sistem perkoperasian dalam era globalisasi adalah pada pembentukan koperasi sekunder karena level koperasi primer sulit untuk menjadi suatu korporasi akibat kapasitas yang masih sangat terbatas. Koperasi sekunder adalah sinergitas koperasi-koperasi primer untuk mengubah tantangan menjadi peluang manakala secara individu koperasi primer tidak mampu beroperasi dalam pasar bersaing. Dengan membentuk koperasi sekunder di bidang pertanian dan agroindustri dan atau jasa keuangan maka koperasi akan mampu mencipatkan aktifitas bisnis yang lebih luas dengan kondisi industri yang “increasing return to scale”, terutama dalam bisnis keuangan yang bercirikan “high leverage” dan kapital intensif. Hal itu telah dibuktikan oleh keberadaan “the 300 Global Co-operatives” yang dilansir oleh ICA, pada umumnya adalah koperasi sekunder (Situmorang, 2012a). Sementara itu, keberadaan koperasi sekunder di Indonesia, meskipun didukung oleh UU, hampir tidak terlihat. Pada UU perkoperasian yang baru, UU nomor 17 tahun 2012, koperasi sekunder juga tercantum sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan koperasi. Sayangnya, sampai saat ini, kebijakan pembangunan koperasi juga belum menyentuh secara langsung pembangunan koperasi sekunder. Penguatan sistem perkoperasian dengan model SKB masih terhambat dalam jangka waktu lima tahun ke depan, terutama pilar penjaminan. Keluarnya UU nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian sama sekali tidak mengatur koperasi penjaminan, hanya memuat regulasi koperasi-koperasi konsumen, produsen, jasa, dan simpan-pinjam17. Lebih khusus lagi mengatur keberadaan koperasi simpan pinjam dengan rinci dalam satu bab. Hal ini diklaim oleh Pemerintah sebagai kemajuan besar karena memisahkan sektor produksi dan jasa keuangan. Karena bidang usaha penjaminan tidak diatur dalam UU 17/2012 tersebut maka penguatan sistem perkoperasian sangat sulit dilakukan. Ini salah satu kelemahan UU perkoperasian yang baru tersebut. Kelemahan itu semakin terlihat bila melihat substansi yang oleh beberapa pengamat dan praktisi perkoperasian yang menyatakan bahwa secara umum UU 17/2012 mengerdilkan gerakan perkoperasian. Sri Palupi, Ketua Institute for Ecosoc Rights, menyatakan bahwa UU 17/2012 adalah regulasi yang mematisurikan koperasi karena defenisi mengingkari prinsip koperasi, peluang koperasi diurus oleh yang non-anggota, pengawas diberi peran besar, peluang diintervensi eksternal, wadah tunggal koperasi (Palupi, 2012). Sementara Suroto (2012) menyebutkan bahwa UU perkoperasian tahun 2012 adalah warisan tradisi kolonial karena disusun tidak tidak melihat praktik terbaik dari anggaran dasar dengan campur tangan pemerintah dan kepentingan pemilik modal besar masih terlihat kental.
16 Peraturan Menteri Keuangan nomor 222 tahun 2010 telah memberikan kesempatan pada koperasi sebagai PPKD dengan modal awal Rp25.00 miliar. 17 UU nomor 17/2012 pasal 83
53
INFOKOP VOLUME 22 No. 1 - Juni 2013 : 41-56
Penutup Secara kuantitas, keberadaan koperasi semakin membesar namun secara kualitas koperasi belum mampu memenuhi harapan dalam mewujudkan sistem ekonomi Indonesia yang berbasis kerakyatan dan kesejahteraan. Hal itu terjadi karena orientasi pembangunan era Orde Baru sangat bertumpu pada sektor produksi. Kemudian pada era reformasi, orientasi berubah namun tidak mengarah pada sistem perkoperasian berbasis pada segitiga kekuatan bisnis. Melemahnya posisi koperasi setelah reformasi ekonomi telah menyadarkan seluruh pemangku kepentingan akan pentingnya program revitalisasi. Reformasi memberikan ruang luas atas kebebasan bisnis di segala bidang. Revitalisasi koperasi agar dapat menunjukkan identitas utuhnya dalam dunia bisnis sangat tergantung pada integrasi bisnis di bidang produksi, pembiayaan, dan penjaminan. Segitiga kekuatan bisnis tersebut belum terlihat pada koperasi yang sejarah pendiriannya telah mencapai 65 tahun. Oleh karena itu wajar bahwa koperasi belum sepenuhnya mampu menjadi pilar utama perekonomian Indonesia. Pasca reformasi, revitalisasi itu terwujud lebih nyata dengan kehadiran koperasi dalam bidang usaha jasa keuangan dimana koperasi mampu berperan sebagai lembaga intermediasi finansial. Untuk semakin memperkuat posisi koperasi, KJK di bidang pembiayaan dan penjaminan harus semakin dikembangkan sebagai bagian integral dari segitiga kekuatan bisnis. Untuk integrasi vertikal, pembentukan koperasi sekunder adalah fondasi menuju koperasi global. Dengan terbitnya UU perkoperasian18 yang baru yang memisahkan secara jelas koperasi dalam bidang jasa keuangan dan non-jasa keuangan seyogyanya memberikan peluang semakin besar bagi KJK untuk berperan memperkokoh segitiga kekuatan bisnis koperasi di masa depan. Hal itu ternyata masih sulit diwujudkan karena UU perkoperasian hanya mengatur koperasi pembiayaan, sedangkan koperasi jasa penjaminan sama sekali tidak diatur dan koperasi sekunder sangat sedikit diatur. Oleh karena itu, mengamandemen UU perkoperasian nomor 17 tahun 2012 penting dilakukan agar memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk membangun sistem perkoperasian yang kuat. Dalam rangka implementasi prinsip-prinsip perkoperasian dan bisnis koperasi dalam jasa keuangan maka lembaga pengawasan dan penjaminan simpanan harus yang dibentuk berdasarkan UU 17/2012 harus independen, mandiri, dan profesional. Oleh karena itu peraturan pemerintah (PP) yang harus terbit atas perintah UU 17/2012 harus mencerminkan azas-azas tersebut di atas sehingga menjamin kepercayaan publik atas KJK dan kesinambungannya.
Daftar Pustaka Anonim. 2011a. Laporan Rapat Anggota Tahunan Koperasi Kredit “Kabari”, Tahun Buku 2010, Pangkal Pingang, Bangka Belitung. _______. 2011b. Laporan Rapat Anggota Tahunan Koperasi Kredit “CU Cinta Mulia”, Tahun Buku 2010, Pematang Siantar, Sumatera Utara. _______. 2011c. Laporan Rapat Anggota Tahunan KSP “Arta Prima”, Tahun Buku 2010, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. ________.2012. Rekapitulasi Data Keragaan Koperasi per Desember, 2009 – 2011. http://www.depkop. go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=256:rekapitulasi-d. Kementerian 18 UU nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian hanya mencantumkan pengaturan KSP pada Bab X.
54
MEMBANGUN SISTEM PERKOPERASIAN BERDASARKAN “MODEL SEGITIGA KEKUATAN BISNIS” (Johnny W. Situmorang)
KUKM. Diunduh 15 Februari 2013, pukul 11.00 WIB. ________. 2013a. FORTUNE 500. Our annual ranking of America’s largest corporations, http:// money.cnn.com/magazines/fortune/fortune500/. Diunduh 15 Februari 2013, pukul 11.00. ________. 2013b. Farallon Capital From Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/ wiki/Farallon_Capital. Diunduh 15 Februari 2013, pukul 11.30 WIB. ________. 2013c. The Global 300 Report 2010. The World Major Co-operatives and Mutual Businesses. International Co-operative Alliance. http://www.thenews.coop/article/global-300-co-operativesgenerate-16-trillion-revenue. Diunduh 15 Feberuari 2013, pukul 12.50 Boediono, DR. 1985. Ekonomi Moneter. Seri Sinopsis, Pengantar Ilmu Ekonomi No 5. BPFE, Yogyakarta. Dipta, I Wayan. 2013. Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi “Memberikan Rasa Aman Kepada Anggota Koperasi”. Pengantar Seminar. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian KUKM, Jakarta. Mulyo, Sumedi Andono. 2008. Peran Perbankan Bagi Pembangunan Daerah. Diskusi Forum Dosen ABFI Institute Perbanas. Jakarta, 28 Agustus. Palupi, Sri. 2012. Proyek Mematisurikan Koperasi. Ketua Institute for Ecosoc Rights, Anggota Koperasi CU. Artikel Harian Kompas, Jumat, 02 November. Salvatore, Dominick. 2005. Managerial Economics in Global Economy. Siagian, Salim. 2009. Permasalahan Finansial UMKM Dalam Kondisi Pasar Global. Lokakarya Inventarisasi Masalah Koperasi dan UMKM, Kementerian KUKM RI. Jakarta, 16 Juni Situmorang, Johnny W. 2011. Menguak Iklim Investasi Indonesia Pascakrisis. Penerbit EssensiErlangga, Jakarta. Situmorang, Johnny W dan Saudin Sijabat. 2011. Koperasi dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Tinjauan Probabilitas Tingkat Anggota Koperasi dan Tingkat Kemiskinan Provinsi. “JURNAL“, Pengkajian Koperasi dan UKM, Vol 6-September 2011, hal 43-69. ISSN: 19782896. Situmorang, Johnny W. 2012a. The Global Cooperative (Koperasi Global). Sosialisasi Calon Koperasi Skala Besar Jawa Tengah. Deputi Bidang Pembiayaan, Kementerian KUKM. Semarang, 15 Maret. ___________________. 2012b. Prospek Pengembangan Asuransi Berbadan Hukum Koperasi. Deputi Bidang Pembiayaan KUKM, Jakarta, 4 April. ____________________. 2012c. Menilik Performa Koperasi Kelas Dunia. Pelajaran Pengembangan Koperasi Indonesia Menyambut Asean Economy Community. “INFOKOP”, Media Pengkajian KUKM (Akreditasi), volume 20, Juni , hal ISSN . Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian KUKM, Jakarta.
55
INFOKOP VOLUME 22 No. 1 - Juni 2013 : 41-56
____________________. 2013. “The Global Co-operative” (Koperasi Global). Sosialisasi Koperasi Skala Besar. Deputi Bidang Pembiayaan, Kementerian KUKM. Jakarta, Maret. Soetrisno, Noer. 2009. Reorientasi Strategi Pengembangan Usaha Masyarakat: Perlukah Bertumpu Usaha Menengah Baru? Catatan Pengantar Diskusi “Penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah Pembangunan UMKM. Jakarta. Suharto, Pandu Drs. 1988. Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat. Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. Jakarta. Suroto. 2012. UU Perkoperasian Warisan Kolonial. Blog Kritik Bagi Pemimpin. http://doa-bagira diunduh 4 Maret 2013. Goldfeld, Stephen M and Lester V. Chandler. 1988. Ekonomi Uang dan Bank. Edisi 9, penerbit Erlangga. Terjemahan Drs Danny Hutabarat, UKI, Jakarta.
56