SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015 PM - 89
Membangun Sikap Konstruktif Peserta Didik Dalam Pembelajaran Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Tika Ratna Mayestika, Shofia Annisa Ratnasari Program Studi Magister Pendidikan Matematika SPs, Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Abstrak— Pembelajaran matematika di sekolah saat ini masih banyak didominasi oleh guru yang cenderung berpikir imitatif dan prosedural-administratif. Proses pembelajaran seperti ini setidaknya berdampak pada pasifnya peserta didik selama kegiatan pembelajaran dan tidak kreatif dikarenakan budaya meniru (imitatif). Untuk membangun pemahaman matematika peserta didik haruslah dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Aktif yang dimaksudkan di sini bukanlah aktif secara fisik, namun aktif berpikir matematis sehingga peserta menemukan cara sendiri dalam memahami suatu konsep matematika. Salah satu alternatif permasalahan ini yaitu menggunakan pembelajaran berbasis masalah. Dengan pembelajaran berbasis masalah diharapkan dapat mencipatakan pembelajaran aktif dan membangun sikap konstruktif peserta didik dalam pembelajaran matematika.
Kata kunci: pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran matematika, sikap konstruktif. I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia adalah merasa lemahnya proses pembelajaran. Referensi [1], “Pembelajaran pada hakekatnya adalah kegiatan guru dalam membelajarkan siswa. Ini berarti bahwa proses pembelajaran adalah membuat atau menjadikan siswa dalam kondisi belajar”. Siswa dalam kondisi belajar dapat dicermati dan diamati melalui indikator aktivitas yang dilakukan, yaitu perhatian fokus, antusias, bertanya, menjawab, berkomentar, presentasi, diskusi, mencoba, menduga, atau menemukan. Namun dalam proses pembelajaran yang terjadi adalah peserta didik kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir sehingga tidak menjadikannya dalam kondisi belajar. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan peserta didik untuk menghafal informasi; otak peserta didik dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini berlaku untuk semua mata pelajaran, tak terkecuali matematika. Pada pembelajaran matematika, peserta didik tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan sistematis, karena strategi pembelajaran berpikir tidak digunakan secara baik dalam setiap proses pembelajaran dalam kelas. Pembelajaran matematika di sekolah saat ini masih banyak didominasi oleh guru yang cenderung berpikir bahwa peserta didik harus meniru apa yang guru lakukan. Dengan kata lain, proses pembelajaran selama ini tidak diarahkan membentuk manusia yang cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup, serta pembelajaran semacam ini berdampak pada pasifnya peserta didik selama kegiatan pembelajaran dan menjadikan peserta didik tidak kreatif dan inovatif dikarenakan budaya meniru (imitatif). Hal-hal di atas sangat berpengaruh pada hasil pendidikan di Indonesia karena pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Padahal referensi [2] mengemukakan bahwa, “Pembelajaran matematika harus berprinsip pada mindson, hands-on, dan constructivism”. Menurut Peter Sheal, hal ini berarti dalam pelaksanaan pembelajaran matematika pikiran siswa fokus pada materi belajar dan tidak memikirkan hal di luar itu, pengembangan pikiran tentang materi bahan ajar dilakukan dengan melakukan dan mengkomunikasikannya agar menjadi bermakna [2]. Belajar matematika lebih bermakna melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Hal ini sejalan dengan pendapat Hazzan dan Zazkis [4] yang mengemukakan bahwa matematika dapat dipandang sebagai aktivitas konstruktif, yang mana aktivitas peserta didik:
617
ISBN. 978-602-73403-0-5
1. tidak hanya konstruktivisme yang sederhana, yang mana peserta didik dilihat sebagai penyusun pengertian (constructor of meaning); 2. tidak hanya konstruktivisme radikal, yang mana peserta didik dipandang hanya sebagai objek uji coba suatu eksperimen; 3. tidak hanya konstruktif sosial, yang mana peserta didik dipandang dari cara berbicara dan bertindak; 4. akan tetapi juga konstruksi matematika mencakup bagaimana mempelajari cara menyusun/membangun penyelesaian untuk permasalahan tertentu. Dari uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika selama ini mengindikasikan peran guru yang aktif mendominasi kegiatan pembelajaran. Guru menyampaikan informasi berupa konsep, prinsip, atau keterampilan matematika, sementara peserta didik tidak kreatif dan pasif menerima informasi tersebut. Akibatnya sikap konstruktif peserta didik tidak terstimulasi karena dalam mengikuti pembelajaran, peserta didik enggan atau malas bertanya, meskipun belum mengerti materi yang diberikan. Permasalahan Salah satu dampak dari pembelajaran yang didominasi oleh guru yaitu pasifnya peserta didik selama kegiatan pembelajaran, maka hal ini menjadi masalah penting yang perlu diperhatikan dan dicari solusinya agar tercapainya tujuan pembelajaran. Masalah mengenai sikap konstruktif dalam pembelajaran matematika sangat penting untuk ditemukan alternatif solusinya. Sikap konstruktif sangat penting untuk dimiliki peserta didik dalam mempelajari matematika. Hal tersebut didukung hasil penelitian Labib [5] yang berkesimpulan salah satunya adalah terdapat pengaruh positif sikap konstruktif terhadap hasil belajar matematika. Dalam pembelajaran matematika peserta didik perlu dilibatkan secara aktif. Dengan begitu, peserta didik akan berinteraksi matematika dengan menggunakan mental dan proses belajar yang bermakna dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran sesuai kurikulum pembelajaran matematika.
Tujuan Berdasarkan latar belakang di atas, guru dituntut dapat memilih model pembelajaran yang dapat memacu semangat setiap peserta didik untuk secara aktif ikut terlibat dalam pengalaman belajarnya. Salah satu alternatif model pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya sikap konstruktif siswa adalah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Dalam penerapan model pembelajaran ini, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menetapkan topik masalah, walaupun sebenarnya guru sudah mempersiapkan apa yang harus dibahas. Proses pembelajaran diarahkan agar peserta didik mampu menyelesaikan masalah secara sistematis. Menurut Tan, Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam PBM kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan [6].
II.
PEMBAHASAN
Sikap Konstruktif Sikap konstruktif terdiri dari kata “sikap” dan “konstruktif”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia sikap adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan. Kemudian konstruktif berarti bersifat membina, memperbaiki, membangun dan sebagainya [7]. Jadi, sikap konstruktif dapat diartikan sebagai sikap membangun atau menjadikan sesuatu lebih baik dari sebelumnya. Sikap konstruktif ini akan menstimulasi peserta didik untuk berfikir kritis dan kreatif karena peserta didik akan termotivasi untuk selalu menjadi lebih baik atau bahkan menjadi yang terbaik dengan menggunakan cara-cara yang baik pula. Pada umumnya orang yang bersikap konstruktif biasanya mencintai kemajuan. Hal ini disebabkan karena sikap konstruktif, ia berusaha menjadi orang maju. Kemajuan yang dimaksudkan di sini adalah kemajuan yang membawa kebaikan. Dalam proses pembelajaran, peserta didik harus dapat mengkonstruksikan pengetahuan yang diperoleh dan memberi makna melalui pengalaman nyata, salah satunya dengan keterlibatan secara aktif dalam proses belajar mengajar. Keterlibatan peserta didik secara
618
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015
aktif dalam proses belajar mengajar pada waktu pembelajaran di sekolah, merupakan aplikasi dari sikap konstruktif yang meliputi tiga aspek yaitu sikap senang, ingin mencoba soal-soal, dan membantu peserta didik lain [8]. Sikap senang peserta didik terhadap pelajaran Sikap pada umumnya memiliki segi emosi dan motivasi yang berpengaruh pada tingkah laku dan seluruh nilai kemanusiaan. Perasaan senang akan menimbulkan minat, sehingga menimbulkan sikap positif. Sikap senang terhadap suatu pelajaran akan menimbulkan suatu motivasi dalam belajar sehingga akan mendorong siswa untuk melakukan lebih baik. Sikap senang terhadap pelajaran matematika menimbulkan minat belajar dengan baik, menyelesaikan tugas dengan baik, berusaha menyelesaikan soal yang dihadapi, sehingga sikap senang terhadap pelajaran matematika merupakan awal yang baik dalam meraih hasil belajar yang lebih baik, karena sikap ini mempunyai jalinan yang erat dengan kecenderungan untuk bertindak kearah pencapaian tujuan yang diinginkan. Sikap ingin tahu peserta didik terhadap sesuatu yang ingin dipelajarinya Sikap akan memberi arah kepada perbuatan atau tindakan seseorang. Sikap positif terhadap suatu pelajaran akan mendorong peserta didik untuk berhasil pada pelajaran tersebut. Seorang peserta didik yang bersikap positif terhadap pelajaran, akan mengakibatkan dia selalu ingin tahu terhadap pelajaran tersebut dan menghargainya. Rasa ingin tahu tersebut mendorong peserta didik untuk mencoba setiap soal yang dihadapi yang mendorong peserta didik untuk selalu belajar agar mendapat hasil belajar yang lebih baik. Sikap ingin tahu peserta didik dalam belajar matematika dapat ditunjukkan dengan seringnya peserta didik mengajukan pertanyaan,merasa tertantang dan mencoba menjawab pertanyaan ataupun soal yang diberikan dan aktif menjajaki buku-buku yang mendukung pelajaran matematika. Sikap ingin membantu teman yang kesulitan dalam belajar matematika Kecenderungan untuk bertindak dari sikap meliputi seluruh kesediaan individu untuk bertindak terhadap obyek tertentu yang berasosiasi dengan sikap tersebut. Jika seorang anak peramah, simpatik, toleran, bersahabat, periang dan terbuka, ia akan memperhatikan teman-temannya. Hal ini akan menimbulkan suatu sikap sosial yang mendorong dia untuk membantu teman yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal pada pelajaran matematika. Dengan demikian sikap ingin membantu teman yang mengalami kesulitan belajar matematika, dapat menimbulkan motivasi tersendiri dalam belajar. Sikap konstruktif peserta didik terhadap matematika akan membantu memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam, karena matematika mengajarkan pola pikir yang sistematis dan bernalar tinggi. Sikap konstruktif akan mendorong dan membantu peserta didik menghadapi segala macam persoalan dalam era globalisasi, karena orang yang memiliki sikap konstruktif akan terus membangun dirinya sendiri, orang lain dan masyarakat dalam hal kebaikan. Selalu aktif dan dinamis untuk merangkul orang lain dan bekerja sama untuk menghasilkan hal-hal positif.
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Boud dan Feletti mengemukakan bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah inovasi yang paling signifikan dalam pendidikan [9]. Margetson juga mengemukakan bahwa PBM membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif [10]. PBM menurut Sanjaya diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah [11]. Terdapat 3 ciri utama dari PBM, yaitu: 1. PBM merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi PBM ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan peserta didik. PBM tidak mengharapkan peserta didik hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui PBM siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan. 2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. PBM menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran. 3. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Proses berpikir ini dilakukan secara empiris dan sistematis. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
619
ISBN. 978-602-73403-0-5
Hampir serupa dengan ciri-ciri di atas, Rusman juga mengemukakan karakteristik dari PBM sebagai berikut. 1. 2. 3. 4.
Permasalahan menjadi starting point dalam belajar. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur. Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective). Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki peserta didik, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar. 5. Belajar pengarahan diri menjadi hal utama. 6. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBM. 7. Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif. 8. Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan. 9. Keterbukaan proses dalam PBM meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar. 10. PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman peserta didik dan proses belajar [12]. Terlihat jelas dari uraian di atas bahwa masalah merupakan hal utama dalam PBM. Masalah dapat mendorong keseriusan, inquiry, dan berpikir dengan cara yang bermakna dan sangat kuat (powerful). Materi pelajaran yang atau topik yang digunakan tidak terbatas pada materi pelajaran yang bersumber dari buku pelajaran saja, akan tetapi juga dapat bersumber dari peristiwa-peristiwa tertentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Tujuan yang ingin dicapai oleh PBM adalah kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis, analitis, sistematis, dan logis untuk menentukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah. David Johnson & Johnson mengemukakan ada 5 langkah PBM melalui kegiatan kelompok. 1. Mendefinisikan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan dipecahkan. Dalam kegiatan ini guru bisa meminta pendapat dan penjelasan siswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan. 2. Mendiagnosis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil. 3. Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas atau langkah siswa mmerumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pada tahapan ini setiap siswa didorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan. 4. Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan. 5. Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan pembelajaran. Evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang diterapkan [13]. Sejalan dengan pemikiran David Johnson & Johnson di atas, Sanjaya juga menuliskan langkah-langkah proses PBM seperti berikut. 1. Menyadari masalah; pada tahapan ini guru membimbing peserta didik pada kesadaran adanya suatu masalah yang harus dipecahkan. 2. Merumuskan hipotesis; peserta didik dapat memanfaatkan pengetahuannya untuk mengkaji, memerinci, dan menganalisis masalah sehingga akhirnya muncul rumusan masalah yang jelas, spesifik, dan dapat dipecahkan. 3. Merumuskan hipotesis; kemampuan yang diharapkan dari peserta didik pada tahapan ini adalah peserta didik dapat menentukan sebab dan akibat dari masalah yang ingin diselesaikan. 4. Mengumpulkan data; kemampuan peserta didik yang diharapkan pada tahap ini adalah kecakapan peserta didik untuk mengumpulkan dan memilah data, kemudian memetakan dan menyajikannya dalam berbagai tampilan sehingga mudah dipahami. 5. Menguji hipotesis; kemampuan yang diharapkan dari peserta didik adalah kecakapan menelaah data dan sekaligus membahasnya untuk melihat hubungan dengan masalah yang dikaji. Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat mengambil keputusan dan menarik kesimpulan. 6. Menentukan pilihan penyelesaian; tahapan ini merupakan akhir dari sintaks PBM. Kemampuan yang diharapkan dari tahapan ini adalah kecakapan memilih alternatif penyelesaian yang memungkinkan [14].
620
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2015
Agar terwujudnya langkah-langkah PBM, peran guru berbeda dengan peran guru di dalam kelas. Guru dalam PBM, memusatkan perhatiannya pada: 1) memfasilitasi proses PBM; mengubah cara berpikir, mengembangkan keterampilan inquiry, menggunakan pembelajaran kooperatif; 2) melatih siswa tentang strategi pemecahan masalah; pemberian alasan yang mendalam, metakognisi, berpikir kritis, dan berpikir secara sistem; dan 3) menjadi perantara proses penguasaan informasi, meneliti lingkungan informasi, mengakses sumber informasi yang beragam, dan mengadakan koneksi. Dari uraian di atas mengenai PBM, diperoleh beberapa keunggulan PBM di antaranya dapat menantang kemampuan peserta didik serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi peserta didik, dapat meningkatkan aktivitas pembelajara peserta didik, dapat membantu peserta didik bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata, dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan, dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses pembelajarannya, dapat memperlihatkan bahwa matematika atau mata pelajaran lainnya pada dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang harus dimengerti oleh peserta didik (bukan hanya sekedar belajar dari buku), dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik [15]. Namun sebagai inovasi pembelajaran, PBM juga tidak sepenuhnya berhasil, masih terdapat beberapa kekurangan yang harus diperbaiki, di antaranya keberhasilan PBM ini membutuhkan waktu untuk persiapan; manakala peserta didik tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan enggan untuk mencoba; serta tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Relevansi PBM terhadap Pembangunan Sikap Konstruktif Peserta Didik Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa sikap konstruktif merupakan suatu sikap yang harus dimiliki peserta didik agar menjadi lebih baik. Sikap peserta didik yang salah dalam menghadapi pembelajaran akan membuat peserta didik tidak peduli dengan belajar lagi. Akibatnya tidak akan ada lagi proses belajar yang kondusif dan menghambat proses pembelajaran. Oleh karena itu, keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran harus dikembangkan. Salah satu cara untuk membangun sikap konstruktif peserta didik adalah dengan menggunakan model kooperatif. Model pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) merupakan model kooperatif dimana peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok, dalam kelompok inilah peserta didik saling membantu. Hal ini sudah memenuhi salah satu aspek dari sikap konstruktif. Selain itu, sikap konstruktif dapat dilihat dari keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran, maka hal tersebut dapat dipenuhi dengan PBM yang salah satu manfaatnya yaitu membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. Bahkan pada sintaks PBM yang hampir seluruhnya berpusat pada aktivitas siswa, maka PBM sangat relevan untuk membangun sikap konstruktif peserta didik. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Romauli [16] yang mengatakan bahwa PBL dibangun atas empat prinsip pembelajaran modern yaitu pembelajaran yang konstruktif, mandiri, kolaboratif dan kontekstual.
Konstruktif adalah proses aktif dalam memahami, di mana seseorang secara aktif membangun dan mengatur pengetahuannya sendiri. Mandiri atau self directed learning merupakan proses di mana seseorang memainkan peran aktif dalam belajarnya sendiri dengan atau tanpa bantuan orang lain. Kolaboratif merupakan proses interaksi dari beberapa orang yang menghasilkan efek positif. Kontekstual berarti belajar sesuai dengan konteks kehidupan nyata sehingga sesuai dengan keperluan di masa mendatang.
Jadi, sudah terlihat dengan jelas bagaimana model pembelajaran PBM berkaitan dengan membangun sikap konstruktif siswa. III.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
621
ISBN. 978-602-73403-0-5
Model pembelajaran PBM memberi kesempatan lebih banyak kepada peserta didik untuk belajar secara aktif dan inovatif selama pembelajaran. Peran guru dalam pembelajaran ialah mengarahkan, membimbing, melatih, menjadi perantara, dan memfasilitasi peserta didik sehingga menstimulasi siswa untuk bersikap konstruktif. Jika skenario pembelajaran seperti ini terlaksana, maka dipandang dapat membangun sikap konstruktif peserta didik dalam pembelajaran matematika. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat perkembangan sikap konstruktif peserta didik di berbagai jenjang pendidikan. Untuk penelitian lanjutan, sebaiknya dicari model pembelajaran lain yang relevan terhadap pembangunan sikap konstruktif peserta didik. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16]
Suherman, E. (2008). Hands-out Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI. Suherman, E. (2008). Hands-out Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI. Suherman, E. (2008). Hands-out Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI. Watson, A. dan Mason, J. (2005). Mathematics as A Constructive Activity. Lawrence Erlbraum Associates Publisher: London. Labib, F. (2010). Pengaruh Sikap Konstruktif Peserta Didik pada Pembelajaran Matematika terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Pokok Logaritma Kelas X IPA. Skripsi IAIN Walisongo: Semarang. Rusman. (2012). Model-Model Pembelajaran. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Pusat Bahasa. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta. Wirawan, S. (1983). Teori Psikologi Sosial. Rajawali: Jakarta. Rusman. (2012). Model-Model Pembelajaran. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Rusman. (2012). Model-Model Pembelajaran. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Prenada Media Grup: Jakarta. Rusman. (2012). Model-Model Pembelajaran. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Prenada Media Grup: Jakarta. Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Prenada Media Grup: Jakarta. Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Prenada Media Grup: Jakarta. Yulita, M. (2013). Pengaruh Metode Problem Based Learning Terhadap Proses Pembelajaran dan Peningkatan Softskill Mahasiswa Akuntansi. Jurnal Akuntansi Universitas Maritim Raja Ali Haji (9), hlm. 1-16.
622