Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Membangun Karakter dengan Nilai-Nilai Profetik Akh. Muzakki Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
Sejak ditetapkannya Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 1959 melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959, sudah lebih dari lima puluh tahun perkembangan pendidikan nasional bergerak dengan segala plus dan minusnya. Salah satu plusnya adalah semakin menguatnya kesadaran publik di negeri ini atas pentingnya pendidikan bagi pembangunan manusia beserta karakternya sebagai bangsa Indonesia. Butkinya adalah semakin nainya angka partisipasi kasar (APK) di semua jenjang pendidikan. Namun, ironisnya, kesadaran itu masih belum diikuti dengan pemahaman yang sempurna tentang esensi dari penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Pendidikan selama ini lebih dimaknai sebagai transmisi materi, dan bukan pembangunan karakter. Padahal, pendidikan karakter telah menjadi keinginan dan konsensus pendidikan nasional. Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi bukti konkret atas konsensus dimaksud. Dalam Pasal 3 dari UU dimaksud, seperti dikutip di awal tulisan ini, pendidikan karakter tersebut direpresentasikan oleh esensi kebajikan personal-individual dan kewargaan. Esensi kebajikan personal-individualdimaksud diwakili oleh sejumlah frase dan atau kalimat dalam pasal dimaksud, seperti “mengembangkan kemampuan” serta “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri.” Adapun kebajikan kewargaan bisa dibaca melalui
37
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
sejumlah frase dan atau kalimat dalam pasal dimaksud seperti “membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” serta “menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Tulisan ini akan mendiskusikan problem yang dihadapi oleh pendidikan karakter dalam pentas sosial-politik pendidikan nasional serta sekaligus kaitannya dengan penguatan profesi yang berkarakter pula. Perhatian khusus akan diberikan kepada praktik pendidikan agama dalam memberikan kontribusi nyata kepada pengembangan dan penguatan pendidikan karakter. Bagian terpenting dari perhatian khusus ini adalah tantangan dan sekaligus problem riil dari penyelenggaraan pendidikan agama selama ini di Indonesia dalam konteks (meminjam istilah pasal 3 UU Sisdiknas di atas) “pembentukan watak” menuju pengembangan karakter peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia serta bagian dari penganut Islam sebagai komunitas terbesar di negeri ini. Tulisan ini akan diawali dengan diskusi mengenai kecenderungan menguatnya reduksi makna pendidikan ke dalam transmisi materi daripada pengembangan karakter. Terkait dengan diskusi mengenai indikasi reduksi makna ini, contoh praktis dari lapangan pendidikan didiskusikan untuk menjadi pelajaran bagi penguatan pendidikan karakter oleh para pengambil kebijakan pendidikan nasional. Selanjutnya, pembahasan diarahkan kepada praktik penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia dalam kaitannya dengan penguatan pendidikan karakter. Dalam kaitan ini, pembahasan secara khusus ditujukan kepada tantangan yang diberikan oleh upaya penguatan pendidikan karakter bagi pendidikan agama di Indonesia. Di ujung pembahasan, tulisan ini akan mengaitkan pendidikan dengan kepentingan penciptaan profesi yang berkarakter. Reduksi Makna Pendidikan Meskipun harus diakui bahwa perkembangan ke arah yang lebih baik semakin bisa dirasakan, pemahaman dan praktik penyelenggaraan pendidikan di negeri ini masih lebih dimaknai sebagai transmisi materi daripada pengembangan karakter. Kondisi seperti ini memang kontradiktif dengan amanat perundangan-undangan yang sudah menjadi komitmen bersama. Namun, fakta di lapangan tidak bisa menutupi kecenderungan dari kesenjangan ini. Indikasi dari kecenderungan ini jelas terlihat dari beberapa fakta yang
38
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
menyembul ke permukaan. Setiap kali muncul sebuah kasus, setiap kali itu pula muncul keinginan dari sejumlah pihak untuk “memaksakan” masuknya daftar keinginan yang dimiliki ke dalam kurikulum pendidikan untuk memerangi kasus dimaksud. Saat korupsi semakin terasa mengharibiru negeri ini, sebagai misal, muncul keinginan agar pendidikan antikorupsi masuk ke dalam kurikulum nasional. Kehendak itupun menjadi diskursus publik yang mengemuka. Saat kehendak memasukkan pendidikan antikorupsi tersebut berkembang, muncul pula kasus terorisme dan kekerasan di pentas nasional. Seakan tidak mau kalah dengan korupsi, terorisme bergerak kencang untuk menjadi perhatian publik menyusul dampak negatif sosial-politik dan ekonominya yang hebat. Maka, muncul pula keinginan di sejumlah kalangan untuk memasukkan pendidikan antiterorisme ke dalam kurikulum nasional. Begitu pula dengan kasus narkoba. Menyusul efek negatif yang ditimbulkan narkoba pada anak, muncul desakan agar pendidikan anti-narkoba masuk ke dalam kurikulum mulai sekolah dasar. Bahkan, pada persoalan sangat teknis seperti tindak berlalu lintas, muncul keinginan agar ada kurikulum pendidikan lalu lintas menyusul mulai efektinya pada Januari 2010 UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 yang menggantikan UU Nomor 14 Tahun 1992. Sebagai realisasi atas kepentingan itu, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh bersama Kapolri Bambang Hendarso Danuri pada awal tahun 2010 meneken nota kesepahaman bersama tentang pendidikan lalu lintas yang akan diajarkan mulai SD hingga SMA, bahkan perguruan tinggi.1 Bila setiap ada kasus sosial politik lalu dimunculkan kehendak untuk menciptakan kurikulum pendidikan sebagai solusi antitesisnya, maka pendidikan nasional akan terjebak pada problem padat isi namun miskin makna. Pada pendidikan yang padat isi namun miskin makna ini, desain dan sekaligus proses penyelenggaraannya cenderung tidak lebih dari sekadar menyampaian informasi melalui pembelajaran materi. Semua informasi dan atau materi yang kebetulan menjadi perhatian publik dianggap penting untuk dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pembelajaran tanpa adanya proses seleksi esensial yang menunjuk kepada pemahaman dasar atas persoalan. Dalam proses seleksi esensial ini, yang menjadi perhatian bukan kasus perkasus, melainkan persoalan dasar yang menjadi pemicu atas munculnya kasus perkasus itu. 1
Lihat “Tertib Lalu Lintas Masuk Kurikulum,” Jawa Pos, 09/03/2010.
39
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Korupsi, terorisme, narkoba, dan lalu lintas adalah kasus-kasus yang muncul di permukaan. Makna dasar-esensial
yang mengkerangkai kasus-kasus ini adalah
menyangkut prinsip kultural namun mendasari bangunan kehidupan individu dan masyarakat seperti kejujuran, kedisiplinan, dan hidup sehat. Sementara itu, esensi pendidikan adalah transmisi nilai kultural (cultural transmission), dan bukan sekadar penyampaian informasi berupa kasus materi pembelajaran.2
Pada
pemahaman
praktisnya,
pendidikan
yang
esensial
tidak
mempertaruhkan diri pada hilir persoalan, dan lalu menjadikannya sebagai titik perhatian besar. Sebaliknya, pendidikan yang sarat makna esensial seharusnya lebih sibuk mengurusi dan menyelesaikan hulu persoalan. Korupsi, terorisme, narkoba, dan lalu lintas mestinya dalam konteks pendidikan nasional tidak diperlakukan sebagai hulu, melainkan hanya hilir. Sebagai konsekuensi dari perhatian atas makna esensial di atas, pendidikan nasional seharusnya bukan berorientasi pada seberapa banyak informasi materi dan atau seberapa tinggi terakomodasinya kasus-kasus di atas ke dalam proses pembelajarannya. Atau dengan kata lain, keberhasilan pendidikan nasional tidak ditakar dari seberapa akomodatifnya terhadap pembelajaran antitesis atas kasus korupsi, terorisme, narkoba, dan lalu lintas, berdasarkan tingkat penguatan kasus-kasus dimaksud ke permukaan kehidupan individu dan publik. Alih-alih, yang seharusnya menjadi perhatian pendidikan nasional adalah penumbuhan nilai dasar kultural, di antaranya berupa kejujuran, kedisiplinan, dan hidup sehat, sebagaimana dijelaskan di atas. Artinya, pendidikan nasional seharusnya tidak tambal sulam dengan diderek oleh kepentingan “sesaat” dan kekinian, akan tetapi berorientasi kepada kepentingan besar ke depan yang melintasi dimensi kasus perkasus dan melayani kebutuhan universal-nontemporer. Justeru,
keberhasilan
pendidikan
nasional
kita
sangat
ditentukan
oleh
kesuksesannya sebagai medium penumbuh dan penguat nilai dasar kultural-kemanusiaan yang membentuk manusia Indonesia ini sebagai bangsa yang bermartabat. Kejujuran, kedisiplinan, dan hidup sehat merupakan contoh di antaranya. Otomatis, keberhasilan dalam melakukan penguatan atas nilai dasar kultural-kemanusiaan oleh pendidikan nasional tersebut dengan sendirinya akan penjadi pemicu dan pemantik bagi 2
Christopher Winch dan John Gingell, Philosophy of Education: The Key Concepts (London; New York: Routledge, 2008), 47 dan 114
40
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
terselesaikannya persoalan hilir yang justru kontraproduktif bagi kehidupan individu dan masyarakat, seperti tindak kekerasan berwajah terorisme, konsumsi narkoba hingga ketidakdisiplinan dalam berkendara atau berlalu lintas. Dengan cara berpikir seperti itu, pendidikan bisa dikembalilkan kepada makna dan fungsi dasarnya sebagai pembebas dari keterbelakangan dan keterpurukan perilaku hidup, serta sekaligus penumbuh nilai dasar kemanusiaan. Mengapa begitu? Karena, pendidikan tidak sekadar menyelesaikan kasus di hilir kehidupan individu dan publik, akan tetapi menghujam masuk ke hulu atau lapisan dasar kehidupan, di antaranya melalui prinsip kejujuran, kedisiplinan, dan hidup sehat di atas. Dengan penguatan nilai dasar di hulu kehidupan dimaksud, pendidikan baru bisa bergerak secara fungsional bagi pembangunan karakter bangsa ini. Dengan penyelenggaraan pendidikan yang kaya makna dan bukan padat isi, keberlangsungan semangat dan nilai dasar kultural-kemanusiaan yang menjadi landasan bagi pembangunan karakter bangsa bisa dipertahankan. Sebab, kasus boleh berganti, namun semangat dan nilai dasar kultural-kemanusiaan tetap harusnya tidak lekang oleh perubahan waktu. Namun, ironisnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional justeru cenderung miskin dalam menegaskan amanah mengenai pengembangan nilai karakter peserta didik secara lebih praktis. Semangat pendidikan karakter memang telah dituangkan secara baik pada tararan filosofis, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 UU Sisidknas di atas. Namun, dalam catatan penulis, kata “karakter”, secara lebih teknis-praktis, hanya dua kali disebut dalam Undang-Undang tersebut. Yakni, pada bagian Penjelasan atas Undang-Undang tersebut Pasal 37 (ayat 1). Penyebutan kata “karakter” dimaksud, itupun, dilakukan dalam konteks bahan kajian atau pembelajaran seni dan budaya serta pendidikan jasmani dan olahraga. Bunyi penjelasan pada pasal 37 (ayat 1) dimaksud berbunyi: “Bahan kajian seni dan budaya dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Bahan kajian seni mencakup menulis, menggambar/melukis, menyanyi, dan menari. Bahan kajian pendidikan jasmani dan olah raga dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, dan menumbuhkan rasa sportivitas.”
41
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Penyebutan kata “karakter” dan pemberan kerangka atasnya, sebagaimana dimaksud di atas, jelas merupakan bentuk pendegradasian, pereduksian, dan sekaligus pendevaluasian atas esensi nilai pengembangan karakter. Pasalnya, pengemasan nilai malalui kata “karakter” hanya disandingkan dengan bahan kajian seni dan budaya serta pendidikan jasmani dan olah raga. Hal yang demikian ini justeru menunjukkan miskinnya strategi perencanaan, penguatan, dan pengarusutamaan nilai dan semangat pembentukan karakter bangsa. Maka, jangan heran jika penyelenggaraan pendidikan nasional masih menyisakan persoalan dari sisi ketercapaian dan ketuntasan pengembangan karakter bangsa ini.
Teoretisasi Pendidikan Karakter Munculnya pendidikan karakter sebagai isu besar, seperti yang saat ini mengemuka di Indonesia, mengindikasikan bahwa pendidikan kita selama ini hanya banyak mengurusi kebajikan pribadi (private virtues) daripada kebajikan umum (civic virtues). Pendidikan kita lebih banyak membuat peserta didik terdorong untuk berpikir atas kebajikan dirinya sendiri daripada penciptaan kebaikan bersama. Di sinilah lalu muncul praktik keserakahan, kecurangan, korupsi, dan egoisme personal untuk memuaskan kepentingan pribadi daripada kemaslahatan umum (maslahah„ammah). Bila tidak disadari segera, praktik kecurangan dalam pendidikan, semisal dalam penyelengaraan unas di atas, akan melenyapkan semangat dan ruh penciptaan civic virtues yang justeru dibutuhkan oleh perjalanan bangsa ini ke depan. Praktik-praktik kecurangan ini hanya akan menyuburkan pribadi-pribadi yang orientasinya ke dalam, yakni kepentingan diri sendiri, daripada ke luar untuk kepentingan bersama. Jauh sebelum Islam lahir sebagai agama yang selanjutnya dipeluk secara mayoritas di negeri ini, para filosof sudah mengingatkan pentingnya semangat dan ruh penciptaan civic virtues di atas dalam pendidikan. Socrates (470-399 SM) dari Yunani dan Confucius (551-479 SM) dari Cina sudah mengingatkan kita bersama melalui pengembangan semangat dan nilai civic virtues dimaksud dalam pendidikan. Keduanya menegaskan pentingnya pengembangan dan humanisasi karakter kepemimpinan melalui penciptaan figur-figur yang bijak dan bajik. Pendidikan dipandang oleh keduanya sebagai pencarian
42
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
seumur hidup terhadap pengetahuan dan praktik kebajikan (the knowledge and practice of virtue).3 Sebagai implikasi dari perspektif filsafat pendidikan oleh Socrates dan Confucius di atas, pendidik harus berorientasi untuk mengembangkan pada diri peserta didiknya kecintaan untuk belajar (a love for learning) dan gairah untuk hidup dalam kabajikan (a desire for the life of virtue). Untuk kepentingan ini, kurikulum harus mementingkan pengembangan tiga aspek utama pada diri peserta didik, yakni kemampuan mengambil keputusan secara rasional (rational autonomy), kebajikan (virtues), dan spiritualitas. Ketiga aspek ini diwujudkan melalui proses pembelajaran yang didasarkan pada prinsip pencarian mandiri (selfdiscovery), kemampuan untuk menyelesaikan persoalan secara mendalam (reflective inquiry) dan pembebasan diri (personal emancipation).4 Ajaran filosofis pendidikan karakter oleh Socrates dan Confucius di atas sangat layak untuk direfleksikan ke dalam kepentingan penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Kecurangan dalam praktik penyelenggaraan dan atau pelaksanaan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, hanya akan mengikis kecintaan peserta didik untuk belajar. Pasalnya, peserta didik segera berpikir bahwa kesuksesan tidak perlu dilalui melalui proses belajar, akan tetapi bisa dicapai lewat jalan lain meskipun harus melanggar aturan. Kecurangan dalam pendidikan juga akan menjauhkan peserta didik dari gairah untuk hidup dalam kebajikan. Penyebabnya, mulai tertanam pada jiwa mereka bahwa kelulusan dan kesuksesan harus diraih walapun harus berlaku curang, jahat, dan mencederai kepentingan banyak orang. Jika kecintaan untuk belajar dan gairah untuk hidup dalam kabajikan sudah lenyap dari diri peserta didik, maka tiga aspek utama yang justeru harus dikembangkan melalui pendidikan akan hilang serta. Pertama, alih-alih mampu untuk melakukan pencarian dan pengembangan mandiri yang dibutuhkan dalam kahidupan, peserta didik justeru mengandalkan subsidi orang lain. Hidupnya akhirnya menjadi beban bagi yang lain. Kedua, alih-alih mampu menyelesaikan persoalan secara mendalam, peserta didik justeru terjebak ke dalam cara hidup yang serba instan. Cara hidup serba instan ini mendorong gaya dan pola hidup yang malas, dan bukan pekerja keras. Ketiga, akhirnya, peserta didik 3
Charlene Tan dan Benjamin Wong, “Classical Traditions of Education: Socrates and Confucius,” dalam Charlene Tan dan Benjamin Wong (eds), Philosophical Reflections for Educators (Singapore: Cengage Learning Asia Pte Ltd, 2008), 3-12 4 Tan dan Wong, “Classical Traditions of Education,” 3-12.
43
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
tidak mampu menjadi individu yang berkarakter kuat dalam hidup dengan terbebas dari keterbelakangan moral. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan, baik di internal perguruan tinggi seperti manajemen, dosen, dan mahasiswa, maupun di luar perguruan tinggi seperti pemerintah dan anggota masyarakat, selayaknya berpikir dan berjuang keras untuk menyelamatkan anak bangsa ini dari praktik culas pendidikan. Siami telah mengajarkan kepada kita bahwa karena unas merupakan aktivitas ujung dari proses pembelajaran, maka kesempatan ini tidak selayaknya dikotori oleh praktik-praktik culas seperti pembocoran soal, nyontek dan perjokian. Dalam kepentingan yang lebih luas, Kasus Siami mengajarkan kepada kita semua bahwa karakter merupakan kata kunci penting bagi pembangunan bangsa, karena problem bangsa ini secara umum, dan problem pendidikan secara khusus, di antaranya dimulai dari lemahnya kapasitas penguatan pendidikan karakter.
Praktik Pendidikan Agama di Indonesia Dalam artikelnya berjudul “The State, the Soul, Virtue and Potential: Aristotle on Education,” Stephan Millett menyatakan: “The end (telos) of education is to produce good citizens, where “good” here is partly determined in light of the constitution of the state.”5 Arti Indonesianya, “Tujuan dari pendidikan adalah untuk menciptakan warga negara yang baik, di mana.kata “baik” di sini diantaranya dimaknai sesuai dengan konstitusi negara yang bersangkutan.” Makna dasar tujuan pendidikan, seperti yang disampaikan oleh Stephan Millet ini, tidak hanya berlaku untuk satu negara saja, melainkan berlaku untuk semua negara. Di belahan manapun di dunia ini, terlepas dari apapun ideologinya, negara memiliki kepentingan dengan berbagai bentuk pendidikan yang dijalankan dan dinikmati oleh warga negaranya. Kepentingannya, pada titik paling ekstrem, adalah agar pendidikan yang ada di tengah warganya tidak bertentangan dengan ideologi yang dianut oleh negaranya. Pada titik paling sederhana, kepentingannya adalah agar tercipta warga negara yang diharapkan. Tidak pernah terjadi sebuah pendidikan di sebuah negara manapun tanpa adanya campur tangan negara. Maka, kontrol negara pasti dilakukan terhadap semua 5
Stephan Millett, “The State, the Soul, Virtue and Potential: Aristotle on Education,” dalam Charlene Tan dan Benjamin Wong (eds), Philosophical Reflections for Educators (Singapore: Cengage Learning Asia Pte Ltd, 2008), 23
44
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
bentuk dan jenjang pendidikan yang ada di dalamnya. Dalam konteks inilah, politik pendidikan menjadi sebuah fakta yang tidak pernah sirna dari praktik pendidikan di negara manapun. Maka, dalam kaitan ini pula, argumen yang dibangun Stephan Millet bahwa the end of education is to produce good citizens berlaku pada dan dianut oleh semua negara, terlepas dari ideologi dan bentuk sistem pemerintahannya. Sebagai contoh, jika sebuah negara dibangun di atas ideologi Wahabi dan sistem pemerintahannya teokrasi, maka pendidikan yang dijalankan di dalamnya pasti diorientasikan untuk menciptakan warga negara yang baik sesuai dengan ideologi Wahabi dan sistem pemerintahan teokrasi. Begitu pula halnya dengan Indonesia yang berasas Pancasila dan dijalankan dengan sistem pemerintahan demokrasi, maka negara Indonesia memiliki kepentingan dengan seluruh ragam pendidikan yang di jalankan di dalamnya untuk bisa menciptakan good citizens (warga negara yang baik) sesuai dengan semangat Pancasila dan pemerintahan demokrasi. Maka, konsep good citizens yang menjadi tujuan pendidikan di Indonesia dimaksud adalah terciptanya peserta didik sebagai “manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri” pada satu sisi dan “warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” pada sisi lain. Gabungan antara karakter personal-individual dan karakter kewargaan menjadi penerjemahan konkret atas konsep good citizens yang menjadi tujuan pendidikan, sebagaimana diuraikan oleh Pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003 di atas. Negara memiliki kepentingan agar semua pendidikan yang beredar di tengah masyarakat Indonesia berorientasi pada penguatan karakter sebagai good citizens sesuai dengan ideologi dan nilai yang dianut oleh negeri ini. Di sinilah lalu timbul problem dan tantangan bagi pendidikan agama di Indonesia. Gabungan antara karakter personal-individual dan karakter kewargaan yang menjadi penerjemahan konkret atas konsep good citizens di atas tidak selalu berjalan simetris. Penerjemahan dari penciptaan good citizens dan good believers tidak sama antara satu kelompok penyelenggara pendidikan Islam di Indonesia dan yang lain. Maka, dalam kasus pendidikan bagi masyarakat Muslim sebagai misal, isu yang muncul adalah bagaimana menyejajarkan good citizens dan good Muslims dalam proses pendidikan Islam di Indonesia. Terdapat perbedaan pandangan di kalangan
45
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Muslim di Indonesia dalam memahami konsep “Islam” dan “Indonesia”. 6 Perbedaan pandangan ini menyebabkan perbedaan penerjemahan atas tujuan pendidikan di titik simpul masyarakat. Secara sederhana, terdapat tiga kelompok besar di masyarakat dalam memandang “Islam” dan “Indonesia”. Kelompok pertama menyatakan bahwa Indonesia tidak saja bukan negara Islam, melainkan lebih dari itu, yakni tidak Islami. Karena itu, pendidikan yang dijalankan kelompok ini lebih diorientasikan kepada penciptaan Muslim yang baik dengan Islam Timur Tengah sebagai rujukan utama. Alasannya, mengingat posisinya yang dianggap tidak Islami, Indonesia dipandang tidak layak dijadikan sebagai referensi dari karakter Muslim yang baik. Dari kelompok inilah, kemungkinan lahirnya individuindividu radikal sangat besar. Pasalnya, penghargaan terhadap Indonesia hampir nihil dibanding terhadap Islam Timur Tengah. Kelompok kedua memandang bahwa Islam harus diterjemahkan ke dalam konteks lokal Indonesia. Oleh karena itu, Islam tidak harus dirujukkan kepada konteks Timur Tengah. Maka, menjadi Muslim yang baik harus diawali dan diakhiri dengan menjadi warga negara Indonesia yang baik, sesuai dengan semangat Pancasila dan demokrasi. Bahkan. Pada titik ekstrem, kelompok ini mengandaiklan Indonesia sebagai rujukan utama, dan Islam diyakini harus mengikuti semangat dan konteks lokal Indonesia. Dalam konteks penyelengaraan pendidikan, maka praktik pendidikan yang dijalankan diorientasikan terutama (kalau tidak semata-mata) kepada kepentingan sebagai warga negara yang Pancasilais dan demokratis. Islam hanya dimaknai sebagai ajaran ritual semata. Kelompok ketiga memandang bahwa tidak ada kontradiksi antara Islam dan Indonesia. Kedua konsep ini, bahkan, diyakini telah menyatu ke dalam konsep baru, yakni Islam Indonesia (Indonesian Islam).7 Konsep terakhir ini, bahkan, disebut pula sebagai Islam Madzhab Indonesia.9 Bagi kelompok ini, menjadi Muslim yang baik harus pula menjadi warga negara Indonesia yang baik dengan merujuk kepada kekayaan kultural Indonesia semaksimal mungkin. Indonesia telah dianggap sebagai bentuk penerjemahan 6
7
Lebih detail soal konsep Indonesian Islam di masyarakat Indonesia, lihat M.B. Hooker, Indonesian Islam: Social Change through Contemporary Fatawa (Honolulu: University of Hawaii Press, 2003), 9. R. Michael Feener, “Developments of Muslim Jurisprudence in Twentieth Century Indonesia” (Disertasi Doktor, Graduate School of Arts and Sciences, Boston University, 1999).
46
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Islam yang khas di negeri ini. Oleh karena itu, pendidikan yang diselenggarakan oleh kelompok ketiga ini selalu menyandingkan kewajiban sebagai Muslim yang baik dan warga negara Indonesia yang baik. Maka, menjadi good Muslims harus diterjemahkan secara langsung dan konkret dengan menjadi good citizens. Pada titik filosofis inilah, pendidikan agama di Indonesia memiliki masalah tersendiri dalam kepentingannya untuk menciptakan karakter. Masalah ini semakin membesar karena dalam praktik pembelajarannya, pendidikan agama masih belum maksimal untuk menurunkan semangat dan ajaran agama itu menjadi ajaran yang bisa segera dipraktikkan. Selama ini, pembelajaran dalam pendidikan agama lebih banyak digerakkan dengan mentransfer pengetahuan tentang ajaran agama itu secara verbatim. Akibatnya, hafalan atas berbagai teks suci dan sejarah agama itu banyak dikuasai oleh peserta didik, namun praktik atas muatan dan makna dari teks suci dan sejarah agama itu cenderung masih lemah. Kondisi ini, di antaranya, dilatarbelakangi oleh fakta bahwa pembelajaran agama masih gagal melakukan instrumentasi dari ajaran agama itu sendiri. Dalam kasus pendidikan agama Islam sebagai contoh, kita masih gagal melakukan instrumentasi atas ajaran al-nadhafah min al-iman (kebersihan adalah sebagian dari iman). Akibatnya, kebersihan menjadi salah satu problem besar di lingkungan Muslim, karena instrumen seperti alat pembersih hingga tong sampah tidak menjadi perhatian untuk diciptakan secara baik pula. Dengan begitu, terdapat kesulitan tersendiri untuk menciptakan karakter mulia sebagaimana diamantakna oleh ajaran Islam itu sendiri. Tantangan dari pendidikan agama semakin besar dalam kaitannya dengan kontribusinya terhadap penguatan pendidikan karakter saat dikaitkan dengan lemahnya posisi dan kapasitas agency (pelaku), yang dalam konteks pendidikan tinggi adalah dosen. Menurut hemat penulis, pendidikan agama dihadapkan pada tantangan masih lemahnya pendidik untuk menjadi role model atau uswah hasanah (teladan) bagi peserta didik. Tidak satunya, atau minimal lemahnya kaitan antara, kata dan perbuatan di sejumlah individu pendidik membuat peserta didik kehilangan figur panutan. Oleh
karena
itu,
yang
dibutuhkan
oleh
pendidikan
agama
di
Indonesia saat ini tidak saja peningkatan kualitas sarana-prasarana, akan tetapi penguatan kapasitas tenaga pendidik agar bisa menjadi individu yang otentik. Makin terbukanya akses terhadap sumber informasi akibat kemajuan teknologi informasi membuat siapapun,
47
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
termasuk peserta didik, untuk bisa menyerap informasi yang beragam, dan bahkan tanpa batas. Namun, teladan masih sangat penting diturunkan dari orang dewasa kepada anakanak. Dalam kaitan ini, posisi dosen sangat penting untuk bisa menjadi teladan. Maka, untuk memperkuat kontribusinya kepada pengembangan pendidikan karakter, pendidikan agama sangat perlu untuk mengembangkan praktik pembelajaran yang dikenal dengan istilah teaching through examples atau al-ta‟lim bi al-qudwah alhasanah (mengajar dengan contoh/teladan). Praktik pembelajaran ini memposisikan dosen tidak sekadar sebagai penyampai materi, akan tetapi sekaligus sebagai model. Dengan kapasitas dan posisi dosen yang demikian, peserta didik dengan segera bisa menyerap, mengembangkan dan sekaligus mempraktikkan karakter sebagai good citizens dan sekaligus good believers, sebagaimana yang dapat mereka contoh dari dosen yang mengajari mereka.
Pendidikan Menuju Profesi yang Berkarakter Pada upacara wisuda kelulusan peserta didik pada The New Anglo-American College di Praha, 20 Juni 2008, Gubernur Bank Nasional Ceko, Zdeněk Tůma, memberikan pidato kehormatan berjudul “Pendidikan sebagai investasi modal manusia” (education as investment in human capital). Dia membuka pidatonya dengan pernyataan begini: “Ini adalah sebuah kahormatan bagi saya untuk berada di sini hari ini, dan untuk berbagi dengan Anda sekalian beberapa pemikiran yang menyangkut peran pendidikan sebagai investasi modal manusia dalam pembangunan jangka panjang ekonomi kita dan masyarakat pada umumnya.”8 Dia pun melanjutkan: “Anda tidak perlu ragu...Anda telah menjatuhkan pilihan yang baik jika Anda telah berinvestasi dalam pendidikan Anda lebih jauh.”9 Inti pidato di atas adalah bahwa pendidikan sama dengan investasi masa depan. Menurut saya, argumen itu tidak sepenuhnya salah, dan tidak sepenuhnya pula betul. Tidak sepenuhnya salah karena memang pada faktanya pendidikan merupakan sebuah 8
Kutipan dalam Bahasa Inggris berbunyi: “It is my pleasure to be here today and to share with you some thoughts that concern the role of education as an investment in human capital in the long-term development of our economy and society in general,” (Naskah ceramah tidak terbitkan, “Zdeněk Tůma: Education as Investment in Human Capital,” 20 June 2008). 9
Kutipan dalam Bahasa Inggris berbunyi: “I would only like to reinforce the conclusion you have no doubt arrived at – that you made a good choice when you invested in your further education,” (Naskah ceramah tidak terbitkan, “Zdeněk Tůma: Education as Investment in Human Capital,” 20 June 2008).
48
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
penanaman modal manusia untuk kepentingan perbaikan masa depan. Penyebabnya, urusan masa depan sangat ditentukan oleh masa kini. Masa kini adalah masa pendadaran yang dilakukan oleh sebuah bangsa. Dan, pendidikan merupakan instrumen pelembagaan paling efektif dalam proses pendadaran dimaksud. Argumen pidato di atas juga tidak sepenuhnya betul, karena pendidikan tidak semata-mata merupakan urusan yang berkaitan dengan ekonomi. Pendidikan tidak bisa direduksi ke persoalan ekonomi semata. Karena, masa depan sebuah bangsa tidak saja ditentukan oleh kemapananan ekonomi. Banyak hal dalam kehidupan, terutama persoalan nilai dan tradisi, yang tidak selamanya hanya bisa didekati dengan perspektif ekonomi.10 Dengan mengatakan bahwa education is an investment in human capital, kita telah mereduksi nilai dan arti penting pendidikan hanya dari perspektif ekonomi. Lebih dari itu, jika pendidikan dikatakan sebagai sebuah investasi, maka pendidikan akan segera dihadapkan pada persoalan untung-rugi (profit-loss). Padahal, pendidikan sejatinya tidak membuat dan menimbulkan kerugian apapun. Pendidikan justeru membukakan akses lebar-lebar peserta didik pada jenjang tertentu untuk mendapatkan jenis pekerjaan dengan standar gaji yang lebih tinggi dibanding jenjang di bawahnya. Gaji sarjana, sebagai misal, lebih besar dari lulusan SMA. Oleh karena itu, tidak bersekolah sama dengan menutup seseorang dari akses diri terhadap peluang pekerjaan dan standar gaji yang lebih. Sebagai gantinya, pendidikan lebih baik dipandang sebagai ibadah. Islam sendiri, sebagai sebagai contoh, sangat kuat menempatkan anggitan pendidikan sebagai ibadah. Konsep pendidikan sebagai sebuah kewajiban sepanjang hayat (min al-mahdi ila al-lahdi), seperti ditubuhkan ke dalam sebuah teks Hadits, menjadi salah satu buktinya. Sebagai ibadah, maka pendidikan sama sekali tidak menimbulkan kerugian apapun. Tidak ada Sebagai Orang merugi karena beribadah. Kalau ada Hadits yang menjelaskan seseorang yang di akherat kelak akhirnya merugi, maka itu konteksnya adalah dalam kaitannya dengan kualitas ibadah itu. Karena ibadahnya masih tidak berkualitas dengan dibuktikan oleh seringnya dia juga menyakiti orang lain atau merampas hak orang lain yang mengakibatkan pahala dari ibadahnya diberikan kepada orang yang dirugikan, maka ia
10
Bandingkan (eds),
dengan
Dennis
Bates,
Gloria
Durka,
dan
Friedrich
Schweitzer
Education, Religion and Society: Essays in honour of John M. Hull (London & New York: Routledge, 2006).
49
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
akhirnya jatuh bangkrut (muflis). Semangat Hadits ini adalah agar selain tidak beribadah karena sesama, kita juga menjadi pribadi yang mulia kepada sesama11. Pada titik inilah, pendidikan agama berkontribusi tidak saja untuk membangun masyarakat pembelajar profesional (building a profesiional learning community) seperti dikonsepsikan oleh Cynthia A. Lassonde dan Susan E. Israel,12 melainkan juga untuk memperkuat pengembangan profesi yang berkarakter. Ada dua makna penting dari konsep pengembangan profesi yang berkarakter dimaksud. Pertama, penekanan nilai bahwa tidak ada dalam kamus perbendaharaan peradaban manusia, seseorang bangkrut karena pendidikan. Justeru sebaliknya, banyak orang bangkrut justeru karena mendapatkan dan mengalami pendidikan yang tidak mapan. Frase “tidak mapan” di sini baik dalam pengertian proses maupun produk. Kedua, sebagai sebuah ibadah, maka profesi apapun yang lahir dari proses pendidikan tinggi selalu dibangun dan digerakkan oleh nilai-karakter unggul. Sebuah fakta memang tidak bisa dinafikan bahwa kaitan antara pendidikan tinggi dan ekonomi sangat erat sekali. Dengan kata lain, manfaat proses penyelenggaraan pendidikan tinggi bisa dilihat dari perspektif ekonomi. Pasalnya, pada ujung dari proses pendidikan tinggi akan lahir sebuah profesi. Lebih jauh lagi, profesi itu akan berfungsi sebagai penderek keuntungan finansial (income generating). Dengan keterampilan dan keahlian yang dimiliki, pemegang profesi dimaksud akan segera bisa mendatangkan pendapatan. Namun demikian, jika pendidikan tinggi dipandang sebagai ibadah, maka profesi yang lahir dari pendidikan tinggi itu akan digerakkan dengan penuh tanggung jawab pribadi, sosial, maupun profesional. Bahkan lebih jauh, tanggung jawab itu selalu dikaitkan dengan nilai profetik dan keilahian. Semakin kuat karakter yang memandang pendidikan tinggi sebagai ibadah, maka semakin kuat pula pengembangan profesi yang berkarakter dengan disertai di dalamnya oleh prinsip penunaian tanggung jawab pribadi, sosial, profesional, hingga transendental. Pendidikan agama seharusnya mampu memberikan penguatan atas profesi, apapun jenisnya, melalui pengembangan nilai dan karakter. Hal ini, terutama, karena sejatinya pendidikan agama memiliki kapasitas untuk melakukan transendensi atas segala bentuk 11
analisis perbandingan, lihat Irwanto, Agustinus Hendriyati, dan Yohana Ratrin Hestyanti, Alternative Education for Disadvantaged Youth in Indonesia (Paris: International Institute for Educational Planning/UNESCO, 2001). 12 Cynthia A. Lassonde dan Susan E. Israel, Teacher Collaboration for Professional Learning: Facilitating Study, Research, and Inquiry Communities (San Francisco: Jossey-Bass, 2010), 27-66.
50
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
praktik individu. Maksudnya, dalam perspektif pendidikan agama, apa yang dikerjakan dalam kerangka kehidupan manusia di muka bumi, termasuk dalam kaitannya dengan penunaian profesi, memiliki kaitan dan konsekuensi panjang, tidak saja untuk kehidupan pribadi dan duniawi, melainkan juga sosial dan ukhrowi.
Dengan begitu, praktik kehidupan individu, termasuk dalam menjalankan profesi, selalu disertai keyakinan untuk dipertanggungjawabkan secara terpadu, antara pribadi dan sosial serta antara duniawi dan ukhrowi. Dengan kerangka seperti ini pula, maka pendidikan agama sesungguhnya berkontibusi pada penguatan profesi yang karakter. Melalui realisasi atas kapasitas transendensi pendidikan agama di atas, maka nilainilai atau prinsip-prinsip dari profesi yang berkarakter, mulai dari tata kelola yang baik dan bersih (good and clean governance), kinerja unggul, hingga disiplin tinggi akan bisa terealisasikan dengan maksimal. Jika karakter ini kuat tertanam, maka profesi apapun yang dijalankan dalam situasi dan kondisi apapun pula akan selalu, minimal, mempertahankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip itu. Bahkan, lebih jauh, pemegang profesi yang berkarakter itu akan menjadikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip itu sebagai “virus positif” yang mewabah dan menjangkiti lingkungan sekitarnya. Maka, profesi yang berkarakter yang lahir dari pendidikan tinggi tidak cenderung berorientasi semata untuk kepentingan dan kebajikan sendiri (selfish, atau meminjam istilah Tan dan Benjamin Wong private virtues, seperti diuraikan di atas), melainkan lebih jauh untuk kepentingan dan kebajikan bersama (civic virtues). Dalam sejarah peradaban Islam, sebagai contoh, nilai-nilai atau prinsip-prinsip dari profesi yang berkarakter di atas telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW melalui sifat-sifat wajibnya. Secara rinci, nilai-nilai atau prinsip-prinsip dari profesi yang berkarakter yang diformulasikan ke dalam sifat-sifat wajib dimaksud meliputi empat hal: ama>nah
(reliability
trustworthiness,
keterpercayaan),
fat}a>nah
(intelligence,
kecerdasan), s}idq (honesty, kejujuran), dan tabli>gh (communicativeness, kemampuan komunikatif). Keempat nilai dan prinsip tersebut menyatu dalam konsep dan praktik profesi yang berkarakter. Artinya, profesi yang berkarater tidak bisa hanya ditunjang dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Kemampuan intelektual tersebut tidak banyak berarti, dan bahkan dalam tataran tertentu justeru bisa menimbulkan masalah sosial, jika tidak didukung oleh nilai
51
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
keterpercayaan, kejujuran, dan kemampuan komunikatif yang menyatu dalam kepribadian dan perilaku pemegang profesi dimaksud. Di sinilah, pendidikan agama mestinya bisa berkontribusi dengan menjadi jangkar dan sekaligus penguat profesi yang berkarakter dimaksud. Terlepas dari peran pendidikan agama terhadap penguatan profesi berkarakter di atas, argumen Zdeněk Tůma di atas bisa dijadikan sebagai bahan baku terhadap upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan Islam pada umumnya, dan pendidikan tinggi Islam pada khususnya. Poinnya adalah agar pendidikan Islam juga layak memikirkan perannya dalam pengembangan kapasitas ekonomi lulusan. Poin ini terasa penting agar pendidikan yang dinikmati oleh masyarakat berkontribusi riil dalam mengatasai problem ekonomi. Alasannya, karakter dan nilai yang menjadi modal kultural pendidikan Islam tidak berada di ruang kosong, melainkan tumbuh seiring dengan perkembangan dan detak jantung kehidupan manusia. Kapasitas ekonomi yang kuat dan tinggi akan menjadi penguat langsung bagi berkembangnya nilai dan karakter dimaksud.
Penutup Pendidikan karakter tidak selayaknya direduksi dengan menjadikannya sebagai kurikulum yang baku. Alih-alih, pendidikan karakter harus mengalami pengarusutamaan agar bisa menjadi kesadaran dan kebiasaan dalam kehidupan praktis bersama, dan tentu saja proses pembelajaran menjadi medium utama untuk kepentingan ini. Penyediaan sarana-prasaran yang mapan memang penting bagi terlaksanakanya proses pembelajaran yang berkualitas. Namun demikian, sarana-prasarana yang mapan tidak banyak membantu penguatan pendidikan karakter jika tidak diperkuat oleh penyadaran dan pembiasaan, utamanya melalui proses pembelajaran. Dalam kaitan ini, pendidikan agama sudah selayaknya memainkan peranan penting dalam penguatan pendidikan karakter. Problem filosofis dalam kaitannya memaknai antara konsep agama dan Indonesia harus segera dipecahkan agar tantangan ini segera pula bisa bergerak menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan untuk penguatan pendidikan karakter. Terselesaikannya problem filosofis ini akan membantu mengatasi problem pendidikan agama dalam memperkuat perannya dalam penguatan pendidikan karakter. Pasalnya, selain pada tataran filosofis, praktik pendidikan agama juga dihadapkan pada tantangan praktis pada wilayah teknis pembelajaran. Agama hanya diajarkan pada tataran semangat
52
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
ajarannya. Komponen sentral dari pembelajaran semacam ini adalah saratnya muatan pembelajaran dengan disertai oleh miskinnya makna dari ajaran agama yang disampaikan. Kondisi ini terjadi karena ajaran agama yang disampaikan melalui proses pembelajaran hanya sebagai sebuah ajaran abstrak tanpa diciptakannya instrumentasi atas ajaran itu sehingga bisa lebih dimaknai dan dipraktikkan secara konkret oleh peserta didik. Absennya dosen sebagai model atau teladan dalam berpikir dan bertindak semakin memperparah kondisi ini. Sebagai konsekuensinya, terdapat kesenjangan antara pendidikan agama sebagai medium transmisi ajaran dan pendidikan karakter yang menjadi konsensus bersama. Dengan begitu, lemahnya penguatan pendidikan karakter dalam ranah pendidikan nasional tidak bisa segera ditutupi oleh kontribusi aktif pendidikan agama di negeri ini.
53