MEMBACA DIIKAT KARYA ANUSAPATI BERSAMA ROLAND BARTHES
Sumarwahyudi Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Abstrak: This research, applying connotative semiotic approach of Roland Barthes, explores the denotative and the connotative meanings of the work of Anusapati. Anusapati has been widely recognized as a sculptor who is determined and strongly inclined to focus his interest on wooden materials. He very much appreciates the natural potential of such materials. The source of the idea lies in the artifacts of the rural environment, most of which are still in their simple and rough forms. Traditional tools, such as lesung (mortars), boats, kentongan (wooden drum struck to sound an alarm), fishery as well as other agricultural devices have become idioms often used to generate new meanings with the purpose of communicating the real problems faced by the society. Interpretation as a method of analysis is focused on the expression of discourse and messages found in the respective work. Key words: Contemporary sculpture, interpretation, conotative meaning.
Anusapati merupakan pematung yang reputasinya sudah diakui di kalangan perupa internasional. Di samping sebagai pematung, ia juga sebagai dosen Jurusan Seni Murni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Anusapati dikenal secara luas karena sikapnya yang konsisten dalam berkarya. Ia selalu memusatkan perhatian pada material kayu serta menghargai seluruh potensi alamiah yang ada pada material tersebut. Dalam berkarya, ia tidak lagi terikat oleh teknik mematung yang selama ini dikenal. Sumber gagasan untuk karya-karyanya adalah artefak dari lingkungan budaya bawah yang kebanyakan berbentuk sederhana, seperti: lesung, antan (alu), kentongan, bubu, alat-alat pertanian, dan alatalat tradisional yang lainnya. Peralatan
tersebut sejak dahulu sangat umum dipergunakan di pedesaan yang karena berbagai faktor, perlahan tapi pasti, mulai tergeser oleh peralatan modern. Ia tidak bermaksud menciptakan kembali peraratanperalatan yang telah hilang tersebut, tetapi alat-alat tersebut dijadikan sebagai idiom untuk mengung-kapkan sesuatu yang ada dibalik karya itu. Bentuk karya-karyanya tidak lagi formalistik seperti karya para pematung di Yogyakarta pada umumnya. Dedikasi dan konsistensinya terhadap pemikirannya itu-lah yang menjadikannya sebagai seniman yang dianggap penting. Anusapati bahkan disebut-sebut sebagai perintis atau pelopor dalam kecenderungan baru tersebut (baca Wiyanto dalam Genesis, 2001:17; Ma-rianto, 2000b:220; juga Irianto, 2000a:99).
200
Sumarwahyudi, Membaca Diikat Karya Anusapati 201
Tahun 1988, Anusapati berangkat ke New York untuk studi di School for Art and Design, Pratt Institute, Brooklyn, New York. Sejak studi di Amerika itulah Anusapati mempunyai kesempatan lebih luas dan lebih bebas dalam mencari identitas baru dalam karyanya. Mengenai hal itu ia menjelaskan, kalau kita berada di suatu tempat seperti di New York, di mana everyone is a stranger , maka persoalan identitas menjadi sangat krusial, untuk bisa menjadi seseorang , maka persoalan who am I menjadi penting. Nah, mulailah saya membongkar apa saja yang saya miliki, dan apa yang pernah kita miliki (Wawancara dengan Anusapati 16 Maret 2006, juga Wiyanto dalam Genesis, 2001:7). Lebih lanjut, Anusapati mengatakan, Saat itu saya baru mengerti bagaimana seni rupa Barat terbentuk, perwujudan karya seninya seperti itu. Saya kemudian berpikir kalau identitas lokal, dicari-cari di sini tentu tidak bisa, karena identitas itu sudah melekat dalam diri saya, telah terbentuk oleh tradisi dan dipengaruhi aspek sosial masyarakat saya. Karena hal itulah, kemudian, saya mengubah paradigma saya dalam berkarya, bukan lagi memunculkan ciri-ciri lokal, tapi mencari persoalan-persoalan lokal, kembali ke-mindset saya (wawancara, 16 Maret 2006). Setelah kembali ke Yogyakarta tahun 1990, landasan berpikir itulah yang kemudian terus dikembangkannya. Sepulang dari Amerika, Anusapati kemudian mulai memantapkan diri untuk berkarya dengan bentuk dan pengolahan bahan yang menurutnya tidak biasa dan masih berbau eksperimental . Berkaitan dengan bentuk dan tema dalam berkarya, Anusapati berpendapat bahwa bentuk patung tidak harus figuratif, ia tidak setuju dengan anggapan bahwa karya patung seolah-olah harus menggambarkan sesuatu secara jelas dan naratif. Anusapati juga tidak senang dengan usaha-usaha para pematung di Yogyakarta pada saat itu, yang senang membuat manipulasi material untuk
menciptakan (meniru) karakter material yang diinginkan, salah satu contohnya adalah, dari bahan fiberglass, bisa diciptakan karya patung yang seolah-olah terbuat dari perunggu, kuningan, batu, kayu dan masih banyak lagi kemungkinan yang lainnya. Menurut Anusapati, setiap material memiliki karakternya sendiri yang unik, dan ia sangat menghargai hal itu. Seperti telah dijeleskan, material untuk karyanya adalah pengolahan bahan alam, terutama kayu, yang dikerjakan dengan teknik sederhana. Kayu tersebut dipergunakan untuk mengekspresikan atau merevitalisasi bentuk-bentuk alat-alat tradisional yang biasa dipergunakan oleh masyarakat di pedesaan masa lampau dan masa kini. Karyakaryanya sebagian besar mengambil tema kehidupan dengan nuansa tradisional. Tahun 1992, di Purna Budaya Yogyakarta, diselenggarakan Pameran Besar Seni Patung Indonesia dari tanggal 15 sampai dengan 22 Februari. Pameran itu diikuti pematung-pematung dari seluruh Indonesia (Soedarso Sp, ed., 1992). Seni patung pada saat itu masih menunjukkan kecenderungan forma-listik. Pandangan tersebut menekankan bahwa bentuk (form) adalah kriteria satu-satunya dalam menilai karya seni. Kaum formalis berpendapat bahwa nilai estetis bersifat otonom dan tidak terikat dengan nilai-nilai lain, seperti agama, ekonomi, sosial, budaya dan politik (Marianto, 2002:54). Gagasan pematung yang paling menonjol dalam pameran tersebut adalah masalah bentuk . Hampir semua pematung yang mengikuti pameran itu menampilkan pengolahan bentuk , khususnya figur manusia dalam berbagai pose serta bentuk-bentuk seperti: hewan, alam, bentuk geometris, dan organis/ biomorfis. Pameran di Purna Budaya Yogyakarta tahun 1992 tersebut di atas, merupakan salah satu pameran yang diikuti Anusapati, sepulang dari Amerika. Dalam pameran itu, Anusapati mengikutsertakan karya yang
202 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007
berjudul The Journey. Bentuk dan konsep The Journey sangat menyimpang dari bentuk (formalistik) dan konsep (naratif) seni patung modern yang ada di Yogyakarta pada umumnya, akibatnya memancing berbagai tanggapan dari para penikmat dan pangamat seni rupa. Anusapati mengatakan Pada waktu itu, reaksinya signifikan; pada umumnya, menilai sebagai hal yang tidak biasa, terlebih pada saat itu karya patung adalah karya yang serius, yang jelek, yang kasar menjadi aneh dan harus dihindari . Sedangkan, tanggapan dari teman-teman sejawatnya pun tidak jauh berbeda, Anusapati mengatakan, Teman-teman dosen di Jurusan Seni Patung (ISI Yogyakarta) juga belum bisa menerima karya saya itu, pada saat itu, hanya Pak Budiharjo yang memberi tanggapan positif (wawancara, 16 Maret 2006). Di balik penolakan-penolakan tersebut, Mella
Jaarsma salah satu penonton pameran memberikan tanggapan positif bahkan kemudian mengundangnya untuk berpameran. Mella Jaarsma bersama Nindityo Adipurnomo, suaminya, adalah pemilik sekaligus pengelola Rumah Seni Cemeti (Cemeti Contemporary Art Hause) Yogyakarta. Atas undangan itu, Anusapati menyampaikan kesannya, Kenyataan bahwa ketika itu Galeri Cemeti mengundang saya untuk berpameran, bagi saya hal ini menunjukkan sikapnya yang memposisikan diri sebagai galeri alternatif. Tidak terbayangkan sebuah galeri mainstream mau memamerkan karya-karya yang lebih bersifat eksperimental dari seniman yang belum dikenal, yang pasti tidak mudah dinikmati oleh kebanyakan orang apalagi karya-karya itu diharapkan bisa terjual (Anusapati, 2000:31).
Patung: The Journey, 1992 Material Kayu Waru dan Akasia, 90 x 45 x 25 cm Sumber: Buku Seni Patung Indonesia, 1992:26 (direproduksi oleh penulis) Melalui The Journey, Anusapati hadir dengan wacana seni kontemporer yang belum akrab dengan masyarakat seni pada umumnya. Wacana tersebut membuat pengunjung pameran menjadi gagap dalam memahami-nya. Asmujo Jono Irianto mengatakan (2000b:21) bahwa persepsi masyarakat awam terhadap seni kontemporer masih sempit dan kehadirannya masih
sering dianggap sebagai hal aneh yang sulit dipahami. Paradoksnya adalah sebuah karya yang bermuatan sosial politik dan amat meng-harapkan datangnya apresiasi yang luas dari masyarakat, malah sulit untuk dipahami apa maknanya. Pendapat Asmujo tersebut merupakan hal yang wajar karena setiap wacana memang memiliki aturanaturan, konteks-konteks, dan pengetahuan
Sumarwahyudi, Membaca Diikat Karya Anusapati 203
yang khas. Jika orang tidak memahami bahasa dari wacana bidang tertentu dan tidak memiliki pengetahuan tentangnya, ia menjadi terasing dari wacana tersebut. Menyadari adanya kesenjangan pemahaman masyarakat tentang wacana seni rupa kontemporer di satu sisi dan kesulitan masyarakat dalam mengapresiasi karyakarya seni rupa kontemporer tersebut di sisi lain, melalui penelitian ini, disodorkan satu kemungkinan cara pemaknaan terhadap patung kontemporer karya Anusapati. Tujuan penelitian ini diarahkan untuk mencari makna konotatif karya Anusapati yang berjudul Diikat. Pembacaan karya tersebut dilakukan dengan pendekatan semiotika konotatif Roland Barthes.
SEMIOTIKA KONOTATIF ROLAND BARTHES Seperti dijelaskan, pendekatan yang gunakan dalam penelitian ini adalah semiotika Roland Barthes. Semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes itu berangkat dari linguistik yang dibangun Ferdinand de Saussure. Dalam tradisi linguistik Saussurean, dikenal konsepkonsep dikotomis seperti langue/parole, penanda/petanda, dan sintagmatik/ paradigmatik. Pada mulanya adalah bahasa (language), kemudian oleh Saussure dibedakan menjadi dua kategori, yaitu langue dan parole. Selanjutnya, dipilah menurut sudut pandang sinkronik dan diakronik. Feno-mena langue yang sinkronik dibedakan lagi menjadi menjadi dua poros relasional, yakni sintagmatik dan paradigmatik. Linguistik sinkronik
Paradigmatik Sinkronik Langue Bahasa
Penanda Tanda
Sintagmatik
Petanda
Diakronik Parole
Berurusan dengan tanda-tanda yang bersisi ganda, yang terdiri atas penanda-penanda dan petanda-petanda. Skema keseluruhannya, dengan demikian, terlihat sebagai berikut (Budiman.2002:92) Berdasar skema tersebut terlihat bahwa, pada level bahasa, Saussure lebih menaruh perha-tian pada aspek langue, satuan kebahasaan yang dipelajari terutama adalah kata-kata, frasa-frasa, bukan satuan yang lebih besar seperti wacana (Budiman, 2002:83; Barker, 2000:90). Semiotika Saussurean dikenal dengan semiotika struktural. Saussure me-mandang parole sebagai objek yang mustahil untuk dikaji secara sistematis. Wacana dianggap sebagai
aspek yang tidak terjangkau, yang berada di luar jangkauan linguistik atau semiotika. Berdasar pan-dangan itulah kemudian, Roland Barthes mengembangkan semiotika alternatif yang bertumpu pada parole, tindak wicara (the act of speaking) yang lain pada umumnya, yaitu apa yang disebut sebagai wacana. Pada awalnya, semiotika konotatif tersebut dikembangkan oleh Louis Hjelmslev yang mengambil pijakan dari pemikiran Saussure. Jika Saussure dalam mengembangkan teorinya berpijak pada langue, Hjelmslev menekankan pentingnya konotasi yang berpijak pada parole. Teori semiotika Saussure dan konsep tanda
204 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007
Hjelmslev digunakan oleh Barthes sebagai tempat untuk berpijak dalam mengembangkan teori semiotika yang kemudian dikenal dengan nama semiotika konotasi. Untuk menjelaskan teorinya itu, Roland Barthes mengambil contoh seikat bunga mawar. Bunga mawar dipergunakan untuk menandai gairah (passion) maka seikat bunga itu menjadi penanda dan gairah adalah petanda (1983:113). Hubungan keduanya menghasilkan tiga istilah, yaitu: 1) penanda/signifie/signifier mengacu pada konsep bahasa tentang bunga; 2) petanda/signifiant/signified mengacu pada gambaran akustik dari
1. Signifier Language
mental, yakni bunga sebagai gambaran rasa cinta; 3) tanda/sign memberi arti (meaning) dari kedua hubungan antara konsep gambaran mental tersebut yakni, bunga dan cinta, yang memunculkan sebuah arti (meaning): lewat interpretasi dia mencintai saya . Sistem pemaknaan tataran kedua (seperti dalam contoh bunga mawar itu) dibangun atas dasar sistem tanda pada tataran pertama. Skema tentang bagaimana tanda bekerja secara lengkap sebagai berikut (Barthes, 1983:115; Barthes, 1981: 93)
2. Signified
3. Sign I. SIGNIFIER
II. SIGNIFIED
MYTH III. SIGN
Semiotika yang dikembangkan Roland Barthes kemudian berseberangan dengan kelompok strukturalis yang lebih berurusan dengan sistem (bahasa). Melalui pendekatan semiotika, Roland Barthes lebih tertarik pada tuturan (speech) dalam pengertian yang paling luas, yaitu sebagai wacana (discourse). Untuk memperjelas pengertian wacana dalam konteks semiotika, St. Sunardi (2002:236) menjelaskan sebagai berikut, sentralitas wacana dalam kajian bahasa dan budaya pada dasarnya mengikuti asumsi Saussurean yang menempatkan wicara (speech) lebih penting daripada bahasa. Karena wacana menyangkut aspek kebe-basan manusia, budaya sebagai aspek kebebasan harus dilihat pada wacana. Barthes pernah memberi prioritas pada wacana karena wacana merupakan ung-
kapan subjektivitas kita. Lewat wacana, orang menciptakan makna yang pada gilirannya untuk berkomunikasi (2002:236). Untuk memperjelas hal itu, Kris Budiman (2002:83; Budiman, 2004:23) mengatakan, konsep tentang wacana sering dipahami oleh sebagian kalangan sebagai sinonim bagi teks, dengan amanat-amanat verbalnya yang mungkin bersifat lisan maupun tertulis. Perbedaan antara wacana dan teks dapat dilihat dalam kesejajarannya dengan perbedaan antara langue dan parole. Wacana berada di sisi yang sama dengan parole, sebagaimana bisa dilihat pada homologi berikut. Langue : Parole : : Teks : Wacana
Sumarwahyudi, Membaca Diikat Karya Anusapati 205
Selanjutnya, Kris Budiman menjelaskan, dengan homologi tersebut, bisa dikatakan teks merupakan struktur abstrak yang berada di belakang wacana sementara wacana merupakan ujaran verbal (verbal utterance) yang empiris. Analisis wacana tidak bisa dilepaskan dari praktik-praktik sosial. Wacana merupakan peng-gunaan bahasa sebagaimana digunakan atau diaktualisasikan, a particular area of language use, entah secara lisan maupun tertulis (Nört, 1990:331-332; Macdonell, 2005:xvii; Budiman, 2002:84). Pendekatan semiotika Roland Barthes (1983:109-131; Nöth, 1990:310-313; Budiman, Manneke, 2001:28) terhadap wacana terarah secara khusus kepada apa yang disebut dengan mitos (myth). Pengertian mitos di sini, bukanlah sebagai cerita-cerita tentang kehidupan dewa-dewi atau ceritacerita rakyat yang dikeramatkan, melainkan sebagai tipe tuturan (a type of speech). Mitos secara etimologis berarti suatu jenis tuturan, merupakan suatu sistem komunikasi atau sesuatu yang memberikan pesan (message). Penuturan, pesan tersebut bukan sebagai objek pesan, tetapi bentuk wacana. Sebagai sistem semiologi. Mitos menghadirkan tanda (sign) untuk menghubungkan secara asosiatif antara petanda (signified) dan penanda (signifier). Selain itu, untuk memperoleh arti (meaning), Barthes melaku-kan pemisahan terhadap ketiga unsur tersebut (tanda, petanda, dan penanda). Selanjutnya, Barthes mengatakan (1981:15), bahwa apa yang disebutnya dengan wacana adalah parole dalam pengertian yang seluas-luasnya. Dengan kata lain, mitos hanyalah sebuah tipe wacana, yakni a social usage of language (Barthes, 1983:109). Barthes menegaskan bahwa cara penuturan mitos tidak hanya berbentuk penuturan oral, tetapi bisa berbentuk segala sesuatu yang mempunyai modus representasi, antara lain: tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olahraga, seni pertunjukan, iklan,
dan berbagai bentuk karya seni rupa lainnya. Setiap tuturan mitos tentunya mempunyai arti (meaning) bagi penerima pesan. Akan tetapi, arti (meaning) tersebut belum tentu dapat ditangkap secara langsung.Agar tuturan tersebut dapat dipahami dan mudah diterima akal, diperlukan interpretasi melalui proses signifikasi. Selanjutnya, dalam menafsirkan mitos, Roland Barthes lebih cenderung mengacu pada konsep-konsep yang diterima secara luas dalam kebudayaan atau berdasar konsepsi yang dibuat anggota masyarakat dari pengalaman sosial dalam suatu kebudayaan. Di Indonesia, mitos tentang bunga melati misalnya terdiri atas rangkaian konsep tentang keindahan, kesucian, dan pemujaan. Mitos-mitos itu biasanya dikaitkan dengan suatu referensi tertentu dan budaya Jawa sehingga dalam proses pemaknaannya bisa dilakukan secara bertahap; pertama unsur penanda dalam tahapan pertama dapat menjadi suatu penanda dalam sistem tanda tahapan kedua, kedua penanda itu dapat mempunyai penanda lainnya lagi. Jika dikaitkan dengan mitos-mitos citrawi (visual image) seperti dalam karya seni rupa misalnya, di dalamnya, senantiasa terkandung dua buah tipe amanat (pesan). Pertama, pesan ikonik (iconic message), yaitu citra itu sendiri, dan yang kedua, pesan kebahasaan (linguistic message). Pesan ikonik disebut juga dengan analogon, dalam citra visual berupa gambar atau rangkaian citra visual. Sedangkan pesan kebahasaan, berupa teks yang mendampingi elemen-elemen visual, berupa judul, caption, artikel berita pendamping, dialog dalam film, balon kata-kata dalam komik, dan sebagainya (Budiman, 2004:72). Citra kebahasaan da-lam karya seni rupa berwujud tanda tangan seniman yang ditorehkan ke dalam karya-nya dan judul karya. Mengutip pendapat Barthes, Kris Budiman (2004:70) mengatakan bahwa pesan ikonik dan pesan kebahasaan itu
206 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007
tersusun dari dua tataran, yaitu, pertama, non-coded iconic message (pesan ikonik tidak ber-kode). Non-coded iconic message dikate-gorikan dalam tataran denotasi karena hanya sekadar peniruan (mimetic) dari realita maka disebut juga pesan harafiah (letteral message). Kedua, tataran coded iconic message (pesan ikonik berkode), termasuk dalam tataran konotasi atau mitos (myth), atau disebut juga pesan simbolik (symbolic message). Dalam tataran konotasi terdapat kodekode kultural yang akan mengarahkan pembaca menuju pada maknanya (makna terkode). Sebagai contoh, Pak Kris Budiman mengenakan batik ketika mengajar, makna konotasi yang segera tertangkap oleh mahasiswanya adalah: Pak Kris dosen berpenampilan formal, juga mencintai produk dalam negeri. Kode kultural tentang batik muncul menyertai makna konotatif tersebut. Pesan kebahasaan (linguistic message) dalam hubungannya dengan pesan ikonik (iconic message) tersebut mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi pemancar (relay) dan fungsi penambat (anchorage). Pesan visual selalu mempunyai banyak makna (polisemik) yang mengimplikasikan suatu rangkaian petanda-petanda yang mengapung ( floating chain of signifieds). Karena bersifat polisemik, dikembangkan suatu teknik untuk mengunci atau menambatkan dari berbagai kemungkinan makna yang ada pada objek itu. Penambat (anchorage) setidaknya mempunyai dua fungsi, pertama, membantu pembaca untuk mengindentifikasi makna denotasi citra; kedua, membatasi penyebaran potensi konotasi citra.Teks yang hadir bersama citra visual berfungsi untuk memandu interpretasi mengarahkan pembaca pada petanda-petanda tertentu, pada maknamakna tertentu. Fungsi penambat itu dirancang untuk mengonotasikan citra, mengikatnya pada petanda-petanda tataran kedua (second order signifieds) atau tataran
konotasi (Budiman, 2004:70; Storey, 1993: 116-122). METODE Cara pemaknaan (pembacaan) yang disodorkan, yaitu dengan pendekatan semio-tika konotatif Roland Barthes. Dengan pertimbangan, mengacu pada pendapat Sumartono (1989:35) bahwa, dengan pendekatan semiotika konotatif, makna karya yang tersembunyi bisa diangkat ke permukaan. Kedua wacana semiotika merupakan bidang yang populer di kalangan seni rupa di Indonesia, terlebih di lingkungan perguruan tinggi seni rupa. Tidak kalah pentingnya adalah selama ini belum pernah dilakukan penelitian tentang karya Anusapati ataupun penelitian tentang pribadi Anusapati sebagai kreator (seniman), terlebih penelitian yang difokuskan pada pembacaan karya dengan pendekatan semiotika. Dalam penelitian ini, karya Anusapati dilihat sebagai proses signifikasi yang siap dibaca untuk dicari maknanya dari sudut pandang pengamat atau pembaca. Dalam masyarakat terbuka (open society), seperti sekarang ini, siapa pun mempunyai hak untuk membaca karya seni dan memiliki interpretasi terhadap karya tersebut. Tiap pembaca mempunyai latar belakang budaya dan, pada saat melihat sebuah karya, pengamat itu memiliki rasa dan terjemahan. Seorang pengamat mempunyai otoritas penuh dalam pembacaan. Hal itu oleh Roman Jacobson (Scholes, 1982:9; Budiman, 2004:7 dan 9) dikategorikan sebagai pembacaan yang ber-orientasi pada pembaca (Reader Oriented Criticism). Berkaitan dengan langkah dalam pembacaan karya-karya Anusapati ini, penulis mengacu pada teori Roland Barthes tentang satuan-satuan pembacaan (units of reading) atau leksia-leksia. Roland Barthes (1990:13) memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian
Sumarwahyudi, Membaca Diikat Karya Anusapati 207
fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya leksia-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan, dengan panjang pendek yang bervariasi. Sepotong bagian teks, yang apabila diisolasi akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas apabila dibandingkan dengan potongan-potongan teks lain di sekitarnya. Pembacaan patung karya Anusapati, berpedoman pada unit terkecil (unsur terkecil) yang berposisi sebagai leksia, seperti judul karya, atau berdasarkan sekumpulan unit yang membangun bagian bentuk patung; dalam bidang bahasa bisa dikatakan setingkat dengan kalimat, ataupun dibaca berdasar sekelompok bentuk (setara sebuah paragraf dalam teks). Pemilihan satuan pembacaan tersebut tergantung pada ke gampang annya (convenience), cukuplah bila leksia itu sudah dapat menjadi sesuatu yang memungkinkan ditemukannya makna, sebab yang dibutuhkan hanyalah masingmasing leksia itu memiliki beberapa kemungkinan makna (Barthes,1990:13). Analisis wacana, yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan penyelidikan yang bertumpu pada dimensi paradigmatik, semantik, dengan berpedoman pada teori konotasi Roland Barthes, yakni konsep denotasi, konotasi atau mitos, serta mengacu pada interpretasi peneliti yang tentu akan dipengaruhi juga oleh latar
belakang budaya-praktik budaya, suku, dan estetika yang melekat dalam diri peneliti. Sebagai sebuah kajian semiotik, hasil penelitian ini tidak untuk digeneralisasikan, karena masing-masing karya patung memiliki ciri-ciri bentuk yang berbeda. Di samping itu, pembacaan beserta hasilnya sangat dipengaruhi oleh pendekatan semiotik yang digunakan serta dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, agama, suku, atau secara makro latar belakang budaya pembacanya. Dengan demikian, hasil pembacaan dalam penelitian ini, sangat dimungkinkan terjadinya berbeda dengan hasil pembacaan dari peneliti atau pengamat yang lain. HASIL PENELITIAN Anusapati dikenal luas sebagai pematung yang dalam berkarya menggunakan teknik dan alat sederhana, bahkan ada yang mengatakan Anusapati pematung dengan teknik yang sangat minim, tidak seperti layaknya seorang pematung ketika sedang berkarya. Salah satu karya yang mendapatkan komentar seperti itu adalah karya dengan judul Diikat. Karya Diikat dibuat langsung di ruang pameran beberapa hari menjelang pameran itu dibuka. Setelah pameran selesai, karya itu dibongkar dan kayunya diberikan orang untuk kayu bakar.
Judul Karya: Diikat, karya tahun 2002 Material: kayu bakar, tali bambu, 140 x 60 x 140 cm Sumber: File elektronik dokumentasi Anusapati (direproduksi oleh penulis) Karya Diikat tersebut bersama karya Underground Sound I, dipamerkan dalam
208 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007
suatu pameran yang bertema Conversation di Galleri Cemeti (Cemeti Art Hause, 2000:30). Untuk mempermudah dalam membaca petanda-petanda yang ada terutama untuk masuk pada tataran konotatif, penulis menampilkan dua gambar dalam dua kondisi. Gambar kiri, adalah Anusapati ketika sedang melakukan percakapan (Conversation) dengan bilah-bilah kayu bakar itu. Sedangkan gambar kanan adalah hasil kerja Anusapati yaitu berupa seikat besar kayu bakar. Ketika karya itu dipamerkan, Anusapati telah beralih posisi menjadi salah satu dari penonton pameran. Bentuk karya itu sangat sederhana hanya berupa seikat besar kayu bakar. Bentuk ikatan kayu bakar seperti itu niscaya sudah sering dilihat oleh masyarakat. Karya itu oleh pengunjung pameran dilihat sebagai bentuk patung yang sangat tidak lazim, akibatnya mengundang berbagai tanggapan. Seorang pengunjung pameran yang sekaligus rekan penulis, dengan nada keheranan bertanya, Hanya seperti itu (bongkokan kayu bakar) kok dipamerkan? Apa ini juga termasuk karya seni? , tambahnya. Sementara itu, Pak Kris Budiman ketika berkesempatan berbicara dengan penulis di rumahnya dengan, mengatakan bahwa dibandingkan dengan karya-karya Anusapati yang pernah dilihatnya, karya Diikat itu dan karya In The Name of Prosperity (karya itu juga menggunakan bahan kayu bakar) sebagai karya yang sangat jelek (Minomartani, 15 Maret 2006, jam 19.30). Kayu bakar pada dasarnya hanyalah kayu yang dianggap sudah tidak lagi mempunyai fungsi ekonomis lain selain sebagai bahan bakar. Kayu bakar pada umumnya dari berbagai jenis dan kualitas kayu. Masyarakat tidak jarang dengan sengaja menebang pohon untuk memenuhi kebutuhannya akan kayu bakar itu. Dalam keadaan normal pohon yang ditebang adalah jenis pohon yang kayunya berkualitas rendah, tidak cukup baik untuk bahan bangunan atau untuk membuat mebel. Akan
tetapi, yang terjadi kemudian ketika masyarakat terdesak oleh berbagai kebutuhan, segala jenis pohon (bahkan termasuk pohon yang sebenarnya bukan haknya) dengan sengaja ditebang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya, apa pun jenis dan dari mana pun asal kayu bakar itu, serta sekecil apapun derajat kayu bakar itu hanya pantas untuk bakar, disadari atau tidak berperan besar dalam proses menyejahterakan seluruh anggota keluarga penggunanya. Anggota keluarga tidak lagi kelaparan hanya karena tidak mempunyai kayu bakar untuk memasak, sementara keluarga itu tidak mempunyai uang untuk membeli minyak tanah apalagi gas elpiji. PEMBAHASAN Dilihat dari tataran denotatif, yaitu apa yang tampak secara visual oleh mata (visual language), memang hanya seikat kayu bakar yang tertata rapi berbentuk mirip roda dengan diameter 160 cm. Kayu bakarnya pun tidak ada yang istimewa, yang nampak hanyalah kayu bakar yang biasa digunakan oleh masyarakat penggunanya. Perlakuan Anusapati terhadap kayu itupun hanya sebatas mengumpulkan, menata, dan menyatukandalam satu ikatan. Dalam gambar, terlihat usaha Anusapati untuk merapikan satu per satu bilah-bilah kayu yang masih menonjol keluar dengan cara dipukul-pukul hingga membentuk permukaan yang rata.Anusapati menggunakan palu kayu (ganden) serta beberapa batang kayu besar, seperti apa yang tampak tergeletak di lantai. Usaha untuk merapikan itu baru selesai ketika permukaan ikatan kayu tersebut sudah tertata rapi. Petanda-petanda yang hadir pada tataran denotatif adalah, pertama, Diikat sebagai judul karya, kedua aktivitas Anusapati yang sedang mengikat dengan tali dan merapikan bilah-bilah kayu bakar menjadi satu kesatuan utuh dan rapi,dan ketiga alat-alat pemukul yang digunakan
Sumarwahyudi, Membaca Diikat Karya Anusapati 209
untuk merapikan. Kata mengikat, diikat, terikat dalam aktivitas sehari-hari akrab dengan telinga kita, misalnya mengikat kayu bakar, mengikat sayur, mengikat rambut atau terikat perjanjian dan sebagainya. Sebagai pribadi, seseorang yang memutuskan untuk masuk menjadi anggota suatu organisasi apa pun bentuknya, pada dasarnya, tindakan yang sangat disadari untuk bersedia diikat dalam aturan, hukum, dan diikat oleh mekanisme yang diberlakukan dalam organisasi tersebut. Kata mengikat, terikat ataupun diikat juga sering digunakan masyarakat dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga kata-kata itu juga mempunyai makna sosiologis dan politis. Bangsa Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultur, terdiri atas sekitar 300 suku dengan lebih dari 250 bahasa yang tersebar di sekitar 14.000 pulau yang membentuk wilayah Negara Republik Indonesia (Wamaen, S., 1991:25-27; Jackson, 1978:27). Sementara itu Nasikun (1984: 28) memberi penjelasan lebih lanjut bahwa setiap suku memiliki adat, kebiasaan, dan bahasa yang tidak dimengerti oleh golongan suku lain. Orang Indonesia dibesarkan dalam tradisi dan kebudayaan khas yang dimiliki oleh tiap suku. Jadi, pada dasarnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk dari ikatan unsur wilayah, penduduk beserta kebudayaan yang dimilikinya. Secara konotatif bilah-bilah kayu bakar itu bagaikan unsur pembentuk negara itu. Sebagai unsur pembentuk negara Indonesia, setiap warga tanpa kecuali diikat oleh Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, serta hukum-hukum dan peraturanperaturan yang berlaku. Semua perangkat tersebut dipergunakan oleh penguasa dan pemerintahan tingkat pusat sampai dengan daerah untuk mengikat dan memaksa tiap warga negara yang multietnik dan multikultur tersebut agar bisa menjalankan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan baik. G. Moedjanto dalam H. Antlov (2001:vi) mengatakan bahwa secara praktis penguasa sebagai pemimpin yang bersemangat Jawa mempunyai kecenderungan bergaya militer atau feodal. Para pengikut atau rakyatnya harus tunduk dan harus menunjukkan kesetiaan kepada pemimpinnya. Pelaksanaan kekuasaan dan kepemimpinannya bersifat sangat otoriter dan mengandung kepekaan yang luar biasa atas semua yang dianggap sebagai kritik atau oposisi. Kondisi yang digambarkan oleh G. Moedjanto tersebut selaras dengan kondisi kepemimpinan nasional masa Orde Baru. Saat itu, rakyat dikondisikan sedemikian rupa untuk selalu tunduk, patuh, dan setia kepada pemimpin bangsa. Rakyat dibuat tidak mempunyai ruang untuk berbeda pendapat terlebih untuk beroposisi. Sanksi untuk melakukannya sangat jelas dan tegas, yaitu ditangkap, dihukum bahkan tidak jarang dihilangkan . Pada masa Orde Baru, pemerintah sering memberi stigma negatif terhadap mereka yang tidak disukai atau yang dianggap bakal mengancam keamanan negara. Mereka diberi cap anti-pemerintah, subversif, pemberontak, ekstrim kiri, ekstrim kanan, gerakan pengacau keamanan (GPK), anti-Pancasila, PKI, ataupun diberi stigma negatif lain yang berkonotasi tidak menyenangkan (Mulyana, 1999:67). Dalam karya Diikat itu, bilah-bilah kayu berduri yang ada di antara ikatan kayu bakar itu menjadi petanda (signified) untuk gambaran kelompok masyarakat tersebut. Apa yang disampaikan tersebut menjadi salah satu makna konotasi karya Diikat, yaitu wacana tentang kekuasaan politik makro. Makna konotatif bisa juga dari sisi manusia sebagai pribadi ataupun manusia sebagai anggota masyarakat (wacana sosialpolitik mikro). Secara singkat bisa dikemukakan makna konotatif karya Diikat dari dimensi manusia sebagai individu. Bilah-
210 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007
bilah kayu bakar tersebut menjadi petanda untuk seluruh kompleksitas kondisi jasmani dan lahiriah manusia. Manusia dikodratkan mempunyai sifat baik dan sifat buruk. Dengan kemampuan akal dan budi, manusia berusaha memupuk sifat-sifat baik dan menekan sifat-sifat buruk yang ada dalam dirinya. Berkaitan dengan usaha manusia dalam menguasai sifat-sifatnya itu, Franz MagnisSuseno (1985:123) menjelaskan, untuk menguasai nafsu-nafsunya, manusia selalu berusaha untuk mengumpulkan dorongandorongan hati dan kecondongan-kecondongan naluriah. Manusia selalu berusaha untuk memperjuangkan dan mempertahankan keseimbangan batin dan menunjukkan diri selalu tenang, halus, terkontrol, rasional dan berkepala dingin untuk mencapai keadaan kestabilan batin yang permanen. Manifestasi usaha manusia itu diwujudkan dalam tindak tirakat, berpuasa, dan lelaku. Tindakannya itu untuk menguasai badan lahirnya dan menajamkan rasa , supaya bisa masuk ke dalam dunia batin yang bersih. Usaha yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah memeluk salah satu agama serta menjalankannya secara baik dan benar. Manusia sadar bahwa hidupnya tergantung pada Yang Illahi: Jangan melupakan asalmu (Ojo lali marang asal-mu) merupakan peringatan yang sering terdengar. Di samping itu, manusia sebagai anggota masyarakat senantiasa dituntut, dipaksa menjalankan norma-norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat (Suseno, 1985:53). Orang yang tidak bisa menguasai nafsu-nafsu dan dorongan naluriahnya oleh masyarakat akan diberi cap sebagai orang yang kasar atau tidak berbudaya, dengan meminjam istilah dalam bahasa Jawa mereka ini sering disebut durung Jowo. Mereka digolongkan sebagai orang yang kurang kontrol diri, tidak selaras, sikap kasar, mudah marah, mudah mengamuk, dan sebagainya.
Balok-balok kayu pemukul yang dipergunakan oleh Anusapati untuk menata dan merapikan kayu bakar tersebut merupakan petanda (signified) dari agama yang dianut, undang-undang, hukum, peraturanperaturan yang diberlakukan oleh pemerintah serta norma-norma yang berlaku di masyarakat yang dipergunakan untuk memaksa manusia sebagai individu ataupun manusia sebagai anggota masyarakat, agar bisa hidup bersih lahir batin dan bisa hidup bermasyarakat, berbangsa serta bernegara dengan baik dan tertib. SIMPULAN Karya seni patung kontemporer, termasuk di dalamnya karya Anusapati, cenderung sulit dipahami maknanya, terlebih jika pemaknaan karya-karya tersebut menggunakan pendekatan kebentukan (formalistik) seperti yang selama ini sering digunakan untuk memaknai seni patung modern.Penggunaan semiotika konotatif Roland Barthes untuk memaknai karya Anusapati setidaknya bisa memecahkan kesulitan yang selama ini dirasakan. Berdasarkan hasil pembacaan terhadap tujuh buah patung karya Anusapati tersebut, terbaca adanya wacana yang terkandung di dalam karya-karya tersebut, di antaranya wacana sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan yang berpijak dari permasalahan aktual yang terjadi dan dialami oleh masyarakat Indonesia saat ini. Makna karya yang diungkapkan dalam penelitian ini tentulah bukan satu-satunya makna atau makna yang paling benar. Setiap hasil interpretasi niscaya akan terus mengundang interpretasi yang baru, kesemuanya tentu akan memperkaya makna karya itu.
Sumarwahyudi, Membaca Diikat Karya Anusapati 211
DAFTAR RUJUKAN Anusapati. 2000. Galeri Alternatif untuk Karya-karya Alternatif , dalam 1988 2003, 15 Years Cemeti Art House Exploring Vacuum. Yogyakarta: Cemeti Art House. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang. Barthes, Roland. 1983. Mythologies. Granada, London: A Paladin Book. Barthes, Roland. 1981. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang. Barthes, Roland. 1990. S/Z. Oxford: Basil Blackwell. Budiman, Manneke. 2001. Semiotika dalam Tafsir Sastra: Antara Riffaterre dan Barthes dalam Bahan Pelatihan Semiotika. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya LP-UI. Budiman, Kris. 2002. Membaca Mitos Bersama Roland Barthes: Analisis Wacana dengan Pendekatan Semiotik , dalam Kris Budiman. Ed., Analisis Wacana: Dari Lingguistik Sampai Dekontruksi. Yogyakarta: Kanal. Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta. Buku Baik. Hawkes, Terence. 1977, Structuralism and Semiotics. USA. University of California Press. Irianto, Asmudjo Jono. 2000a. Konteks Tradisi dan Sosial-Politik dalam Seni Rupa KontemporerYogyakarta Era 90an , dalam Outlet, Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta. Yayasan Seni Cemeti. Irianto, Asmudjo Jono. 2000b. Selintas Mengenai Cemeti Art House dalam Medan Sosial Seni Indonesia , dalam 1988 2003, 15 Years Cemeti Art House Exploring Vacuum. Yogyakarta. Cemeti Art House. Jackson, Karl D. 1978. Political Power and Comunication in Indonesia. Berkeley dan Los Angeles: University California Press.
Mulyana, Deddy. 1999. Makar dan Teori Penjulukan , dalam Deddy Mulyana. Nuansa-nuansa Komunikasi, Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. Bandung: Remaja Rosdakarya. Macdonell, Diane. 1986. Theories of Discourses an Introduction, atau Teori-teori Diskursus, Terjemahan Eko Wija-yanto (2005). Jakarta: PT Mizan Publika. Marianto, M. Dwi. 2000. Gelagat Yogyakarta Menjelang Millenium Ketiga , dalam Outlet, Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. Moedjanto, G. 2001. Konsep Kepemimpinan dan Kekuasaan Jawa Tempo Dulu , dalam Budaya Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, dalam H. Antlov. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nöth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomingtonand Indianapolis: Indiana University Press. Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. Scholes, Robert. 1982. Semiotics and Interpretation. New Haven & London: Yale University Press. Soedarso Sp, ed, But Muchtar, Jim Supangkat, G. Sidharta Soegijo & Kasman KS .1992. Seni Patung Indonesia. Yogyakarta: BP ISI. Storey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture atau Teori Budaya Dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies, Terjemahan Elli El Fajri. 2004. Yogyakarta: Qalam. Suseno, Franz Magnis. 1985, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, PT Gramedia, Jakarta. Sumartono. 8-18 Februari1999, Merayakan Perbedaan Setelah Krisis Modernisme ,
212 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007
dalam Katalog Bienal Seni Rupa Yogyakarta 1999, Taman Budaya Propinsi DIY, Yogayakarta. Warmaen, S. 1991, Dilema Bineka Tunggal Ika , Makalah Disampaikan pada Seminar Polri, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 25-27 April 1991, Jakarta.
Wiyanto, Hendro.19 Juli 5 Agustus 2001, GENESIS , dalam Katalog Pameran Tunggal Karya Anusapati, Nadi Gallery, Jakarta. Wawancara dengan Anusapati di Rumahnya, Perum Munggur V/7, Godean, Sleman Yogyakarta.