MEMAHAMI METODE STUDI HUKUM ISLAM (Sebuah Pengantar) Achmad Sjafi’y Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang
Abstrak Metode (Ar:kaifiyyah) adalah cara yang teratur dan sistimatis untuk melaksanakan sesuatu. Mengingat objek hukum Islam itu adalah dalil-dalil syarak dan perilaku orang, subjek hukumnya adalah orang, maka cara yang digunakan adalah kombinasi dari berbagai metode penulisan, yaitu metode filosofis, idealistis, deduktif, dan historis sosiologis. Namun demikian karena dalam studi hukum Islam koherensinya tidak lepas dari ilmu-ilmu terkait dalam komparasinya dengan hukum-hukum lainnya, maka digunakan pendekatan multi disipliner. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan metode studi hukum Islam adalah cara dan prosedur berpikir yang digunakan dalam memahami seluk-beluk hukum Islam dari berbagai aspeknya dalam waktu tertentu. Jelasnya, metode studi hukum Islam yang digunakan secara sistemik adalah bagaimana cara memahami hukum Islam, cara mendalami, memformulasi, penegakaan (implementasi), dan cara mengadakan komparasi hukum Islam dengan hukum-hukum lainnya. Kata Kunci: Metode, Hukum Islam,
A. METODE MEMAHAMI HUKUM ISLAM Sama halnya dengan studi ilmu-ilmu yang lain. Mempelajari hukum Islam sebenarnya tidak terlalu sulit; hanya bergantung pada kesempatan yang digunakan dan kesungguhan. Metodenya dengan cara telaah (membaca), diskusi, dan istifta’ (minta fatwa hukum). 1. Metode Telaah Sungguh, untuk memahami hukum Islam saat ini tidak banyak kesulitan, banyak yang sudah berbahasa Indonesia. Hanya tinggal menelaah (mempelajari) ketetapan-ketetapan hukum (qararatul ahkam), peraturan-peraturan hukum (qawaninul ahkam), fatwa-fatwa hukum (fatawaal ahkam), buku-buku hukum Islam, majalah/tabloit,dll. Misal: a. Bila ingin memahami hukum-hukum tentang peribadatan, baca dan telaah buku-buku tuntunan shalat, puasa, zakat, haji, dikr, do’a dsb. b. Ketika ingin mengetahui hukumhukum Islam lebih lengkap, baca Fiqh Islam, misalnya Fiqh Islam oleh H. Sulaiman Rasyid, dll.
c. Apabila hendak memperoleh informasi dari hasil-hasil kajian hukum Islam kontemporer, baca Keputusan-keputusan Lajnah Bahtsul Masail NU, Lajnah Tarjih Muhammadiyah, Fatwa MUI, dll. d. Jika hendak mengenal hukum Islam dari perspektif hukum positif, baca UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dll. e. Kalau ingin memahami hukum Islam dari perspektif keilmuannya, baca Ilmu Fiqh (Prof.H.A.Djazuli), Hukum Islam (Prof.Dr.H.Zainudin Ali, MA), Asas-Asas Hukum Islam (Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH), dll. 2. Metode Diskusi Jika pasca telaah masih ada hal-ihwal hukum Islam yang belum difahami, baik mengenai istilah-istilah atau lainnya, tanyakan kepada teman sejawat yang lebih tahu, ustadz/guru agama, atau dosen terkait. Cara ini atas dasar firman Allah Swt: “Bertanyalah
34
kepada ahli (agama) nya, jika kamu tidak mengerti” (Q.S.16:43) Kalau dengan jawaban tersebut masih juga belum memuaskan, supaya diskusikan, tukar pikiran dengan para ahli (ulama) di sekitar. Diskusi inipun atas petunjuk Allah Swt.: “Musyawarahkanlah urusan tersebut (Q.S.3:159) dengan para ahli di sekitarnya (para ahli fiqh: ustadz, muballigh). 3. Metode Istifta’ Sekiranya ada kasus atau persoalan yang harus diketahuinya, supaya dimintakan fatwa hukum (istifta’) kepada para fuqaha’ (ulama fiqh) atau yang setingkat dengan mufti (penasihat hukum). Di zaman Rasul saw pernah ada kasus (waqi’iyah), urusan perempuan. Para sahabat memintakan fatwa hukumnya kepada Rasulullah saw (Q.S.4:127). Baginda Rasul saw lalu mengeluarkan fatwa hukumnya kepada mereka dalam urusan tersebut. Firman Allah Swt: …”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (Q.S.4:59) Agar terhindar dari fatwa hukum yang menyesatkan, jangan menanyakannya kepada orang yang tidak mengerti agama, akan tetapi hal tersebut supaya diajukan kepada ahlinya (mufti). Banyak pengalaman pendapat atau fatwa hukum orang-orang yang tidak mengerti agama (bukan ulama) telah banyak menyesatkan orang lain dan masyarakat, yang kemudian pikiran dan pendapat orang-orang bodoh itu menjelma menjadi aliran sesat (Q.S.1:7). Pada prinsipnya fatwa hukum tersebut bersifat spesifik (kasuistis), oleh karenanya harus diberikan dengan berdasar dalil-dalil syarak. Itu sebabnya fatwa hukum hanya bisa diberikan oleh ulama atau yang setingkat mufti yang ilmu dan haliyah (krdibelitasnya) memang kompeten untuk mengeluarkan pendapat hukum atau fatwa hukum Islam.
B. METODE MENDALAMI HUKUM ISLAM Pasca pendekatan istifta’, bagi yang ingin mendalami hukum Islam secara konprehenship supaya mempelajari sedikit banyak tentang ilmu-ilmu yang terkait dengan hukum Islam dan mengenal para ahlinya (ulama). 1. Mengenal Ilmu-ilmu Terkait Ilmu-ilmu yang sangat terkait dan membantu bagi pendalaman hukum Islam adalah Bahasa Arab, Ilmu Tauhid, Ushul Fiqh, dan Tarikh Tasyrik. a. Bahasa Arab Karena dalil-dalil syarak (al-Qur an, Hadits Nabi saw, Ijma’ dan Qiyas) aslinya berbahasa Arab (Q.S.42: 7), maka sedikit banyak tentang bahasa ini perlu difahami, guna memahami kandungan hukumnya. Sebagaimana dikemukakan oleh A.Hanafi (Ushul Fiqh, 1989:14): “Kita tidak akan bisa mengambil sesuatu hukum dari Qur an dan Hadits, kalau kita tidak mengetahui bahasa Arab”. Sebelumnya Imam Ghazali (132 H, 353) telah menyatakan bahwa orang yang memiliki kemampuan berbahasa Arab dapat membedakan antara berbagai bentuk susunan kata dan kalimat termasuk ungkapan yang digunakan baik yang sharih (tegas), zhahir (jelas), mujmal (ringkas), haqiqah (arti sebenarnya), majaz (kiasan), ‘aam (umum), khas (khusus), muhkamah (dengan pengertian solid), mutasyabih (meragukan, bermakna ganda), muthlaqah (mutlak), muqayyadah (bersyarat), nash (ketentuan teks), langgam bahasa atau lainnya (Rifyal Ka’bah: 1999, 42) Ilmu-ilmu bahasa Arab yang disebut ‘Uluumullughah ada banyak cabangnya, misalnya: 1). Ilmu Sharf , yaitu ilmu tentang asal-usul, bentuk dan perubahan kata 2). Ilmu Nahwu, yaitu ilmu tentang gramatika/tatabahasa 3). Ilmu Balaghah, yaitu ilmu tentang kefasihan berbahasa 4). Ilmu Bayan, yaitu ilmu tentang statemen/pernyataan akan sesuatu 5). Ilmu Badi’, yaitu ilmu tentang keindahan sastra Arab 6). Ilmu ‘Arudl, yaitu ilmu tentang hal-ihwal yang berkaitan dengan wazan syi’ir Arab
35
7). Dll b. Ilmu Tauhid Karena jiwa dan roh hukum Islam berpangkal dari Iman-Tauhid, maka dalam studi hukum ini tidak cukup hanya bersandar pada nalar sekuler saja, akan tetapi harus bersandar pada keimanan (kepercayaan) dan keyakinan. Ilmu yang membahas hal-ihwal keyakinan dan keimanan dalam Islam disebut Ilmu Tauhid, Ilmu ‘Aqaid, atau Ilmu Kalam. Pakar-pakar ilmu ini disebut: Ulama Muwahhidien, Ushuluddien, Mutakallimien. Diantara dalil Ilmu Tauhid adalah firman Allah (Q.S.2: 21): “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa”. “Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman” (Q.S.2:285). “Katakanlah: Dia Allah Tuhan Yang Maha Esa” (Q.S.112:1). Pokok-pokok keimanan dalam Islam disebut arkaanul iman (pilar-pilar keimanan). Arkanul Iman ada enam (6), yaitu: Iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir dan Iman akan adanya Qadla’ dan Qadar dari Allah Swt. Hukum-hukum lainnya selain hukum Islam tidak memiliki jiwa arkaanul iman ini, yang dimilikinya adalah rasionalitas dan adat kebiasaan. Jika orang muslim-muslimah beriman dia disebut mu’min (jama’:mu’minin)-mu’minah (jama’: mu’minat). Sebutan untuk yang tidak beriman adalah kaafir (jama’:kuffaar/kaafirun). Dikatakan demikian sebab akal pikiran/perasaan mereka memang tidak mau/mampu menakar akan adanya Allah Tuhan Yang Maha Esa, kerasulan Muhammad saw, pahala, dosa, akhirat, hari pembalasan (kiamat) surga dan neraka. c. Ushul Fiqh Agar dapat memahami benar-benar metode mencari dan membentuk hukum dalam Islam diperlukan ilmu bantu yang
disebut Ushul Fiqh. Ilmu ini membantu tentang tatacara berijtihad melalui istinbath hukmi (rechtsvinding), tasyri’ul hukmi (rechtsforming) dan iqaamatil hukmi (law inforcement) bagi orang mukallaf dengan dalil-dalil syara’ secara rinci. Dalam ilmu ini dibahas hal-ihwal tentang hukum dan ragam hukum, subjek hukum, objek hukum, kaidah-kaidah pengambilan hukum, dalil-dalil hukum, metode ijtihad, ittiba’, taqlid, ifta’, dll. d. Tarikh Tasyri’ Hukum Islam tumbuh dan berkembang seirama dengan zamannya membentuk perilaku, budaya dan peradaban manusia di masa silam. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam perlu ilmu bantu yang disebut Tarikh Tasyrik, yaitu ilmu yang mengungkap sejarah hukum Islam dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman Rasulullah saw, zaman KhulafaaurRasyidien, zaman Tadwienul Fiqh (Kodifikasi Fiqh) , zaman Jumud (kebekuan) dan kembangkitannya kembali. Dalam historisnya, hukum syariat dibentuk melalui 3 (tiga) cara (A.Aziz Masyhuri, dkk.:1984, Jilid 1, 47), yaitu dengan cara: 1). Me- naskh (penghapusan) hukum syariat sebelumnya 2). Men-tabdiil (mengganti) hukum syariat sebelumnya 3). Men-takmiil (menyempurnakan) hukum syariat sebelumnya 2. Mengenal Ilmu dan Ulama Islam Mengenal ilmu dan ulama dalam rangka studi hukum Islam secara konprehenship adalah sangat penting, karena ilmu-ilmu dan ulama-ulamanya adalah symbol-symbol kedudukan, komparasi, fungsi dan peran masing-masing dalam hukum Islam. a. Pengertian Ilmu Ilmu (Ar), artinya pengetahuan; kepandaian. Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan dan kepandaian manusia. Al-Qur an menyebutnya tidak kurang dari 101 kali, hal ini tentu punyai arti yang sangat dominan dan strategis bagi manusia, utamanya dalam studi ilmu agamanya.
36
Untuk itu Allah Swt mewajibkan kita studi agama (Q.S.9:122).Rasulullah saw mewajibkan ummatnya senantiasa hidup belajar sepanjang hidupnya (long life education) (H.R…………….). Sebab dengan ilmu itu strata orang yang memilikinya dijamin lebih baik dan meningkat (Q.S.58:11). Dalam perkembangannya Islam telah banyak melahirkan banyak ilmu dan ulamanya. Misalnya: 1) Ilmu Syariah, yaitu ilmu agama, ulama’nya disebut Ulama Ushuluddien, Ulama Syariah 2) Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Aqaid, atau Ilmu Kalam, yaitu ilmu yang membahas hal-ihwal pokokpokok agama, keimanan/ kepercayaan dalam Islam. Ulama’nya disebut Ulama’ Ushuluddin, Ulama Tauhid (Muwahhidien) atau Mutakallimun 3) Ulumul Qur an, yaitu ilmu yang membahasa hal-ihwal Al-Qur an, seperti: a) Ilmu Tafsir, yaitu ilmu yang mengupas bagaimana cara menafsirkan al-Qur an.Ulama’nya disebut Mufassirun (mufrad: Mufassir) b) Ilmu Qiraah, yaitu ilmu yang membahas tatacara membaca alQur an. Ulama’nya disebut Qaari’ (jama’:Qurraa’) c) Ilmu Tahfidz Quran, yaitu ilmu yang memberi bimbingan dan petunjuk tatacara mengahafal Qur an. Ulama’nya disebut Huffadz (mufrad: Hafidz) d) Ulumul Hadits/Mushthalahul Hadits, yaitu ilmu-ilmu yang membahas seluk beluk hadits Nabi saw.Ulama’nya disebut Muhadditsun (mufrad: Muhaddits). Ilmu-ilmu ini meliputi: (1) Ilmu Ushulu al-Hadits, ilmu tentang kedudukan hadits Nabi saw, matan sanat dan perbedaanya dengan lainnya (2) Ilmu Riwayah, ilmu tentang tatacara transfer, pemeiliharaan dan pembukuan hadits Nabi saw
(3)
e)
f)
g)
h)
i)
Ilmu Dirayah, ilmu tentang peraturan berkenaan dengan sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-rawi dll. Ilmu Fiqh, yaitu ilmu yang membahas hal ihwal hukum Fiqh/hukum Islam. Ulama’nya disebut Faqih (jama’:Fuqaha’) Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari tentang dalil-dalil syara’ dan bagaimana dalil-dalil tsb menjunjukkan hukum bagi perbuatan orang mukallaf. Ulama’nya disebut Fuqaha’ (mufrad: Faqih) Ilmu Tarikh Tasyri’, yaitu ilmu yang mempelajari sejarah hukum Islam baik dari pembentukan, pembinaan dan perkembangannya Ilmu Tashawwuf, yaitu ilmu yang mempelajari tentang tatacara beribadah dan berakhlaq yang baik dan indah.Ulama’nya disebut Mutashawwifun (ahli Tashawwuf/Shufi) Ilmu-ilmu Bahasa (Arab), yaitu ilmu yang mempelajari Bahara Arab.Ulama’nya disebut Nuhaah
b. Ulama dan Derajatnya 1). Ulama Ulama (jama’:’Aalim/’aalimun) ialah ahli-ahli agama; orang-orang pandai dalam agama. Kata ‘allaamah berarti orang yang sangat pandai dalam agama. Sekalipun kata ‘aalim, ulama atau ‘allamah hanya berlaku bagi seorang tertentu, dalam keadaan tertentu kata ‘aalim (lihat: Q.S.9:94, 105) juga berlaku bagi Tuhan, artinya (Allah) Yang Maha Mengetahui. Sedangkan kata ’Allaam (lihat:Q.S.:109, 116) hanya berlaku khusus bagi Tuhan, artinya: (Allah) Yang Maha Mengetahui. Sebenarnya kata ulama’ tidak hanya harus diklim untuk cendekiawan Muslim (Q.S.26:197) saja, sebab bisa juga untuk ahli agama yang lain. Misalnya: Ulama Bani Israil (Q.S.35:28) artinya ahli-ahli agama orangorang Bani Israil (Yahudi), Ulama Nasrani, Ulama Islam, dst.
37
Hanya saja, dalam masyarakat kita bila disebut Ulama, maksudnya adalah Ulama Islam.(Poerwadarminta, 1984:1120) 2). Strata Keilmuan Bidang Agama Strata keilmuan seseorang ahli agama berbeda dan bertingkat ketika telah menguasai lebih luas dan mendalam teoriteori keilmuan tertentu bidang agama, seperti: a) Allaamah, ialah ulama yang sangat ‘alim dan sangat luas ilmu keagamaannya. Misal: Syarqawi, Ibnu Hajar Al-Askalani, Sayyid Bakri. b) Imam (jama’: Al-Aimmah), yakni pemimpin dan panutan ummat sejagat dalam urusan agama (Islam). Dengan keilmuan dan keperibadiannya ulama ini mampu menggali, merumuskan prinsip-prinsip dasar, dalil-dalil agama dengan metode-metode ilmiah dan amaliahnya. Ulama ini ada tiga (3) golongan, yaitu: (1). Imam Madzhab (jama’: AlMadzahib), ialah pemimpin dan panutan umat urusan-urusan aqidah, akhlak/tasawwuf dan fiqh. Misal (misal menurut Ahlussunnah wal Jamaah): (a) Urusan Aqidah/teologi Islam ialah: Imam Asy’ari dan Maturidi (b) Urusan Tasawwuf/Akhlaq, ialah Imam Ibrahim bin Junaid al-Baghdadi (c) Urusan Fiqh, ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali (2) Aimmatul Mujtahidien, yakni Imam-Imamnya ahli Fiqh. Misal: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali (3) Aimmatul Arba’ah (empat (4) imam Madzhab Fiqh, maksudnya ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali c) Al-Haafidz (Ulama yang hafal Al-Qur an/Hadits)
c. Metode Istiqra’ Pendalaman studi hukum Islam selanjutnya dilakukan dengan metode istiqra’ (penelitian). Pendekatannya adalah halaqah (sarasehan), seminar atau mu’tamar yang mengkaji masaailud diniyyah (masalahmasalah keagamaan). Dalam tradisi Muhammadiyah kegitan ini dilakukan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah, yaitu semacam komite pencari pendapat terkuat dalam sebuah permusyawaratan dibawah Majlis Tarjih Pimpinan Muhammadiyah. Kodifikasi hukum Islam dari masa ke masa yang dihasilkan Majlis Tarjih Muhammadiyah dihimpun dalam Muqarrat Majlis Tajih (Himpunan Keputusan Tarjih) Muhammadiyah. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) kegiatan ini disebut bahtsul masaail, yaitu studi kasus. Sekaligus metode ini menjadi lembaga kajian keagamaan (Lajnah Diniyyah) NU dari tingkat cabang (PC NU) sampai ke tingkat pusat (PB NU) guna membahas kasuskasus keagamaan kontemporer (waqi’iyyah ‘ashriah). Pendekatan bahtsul masail ini dilakukan dengan sistem halaqah (sarasehan) di pondok-pondok pesantren, pengurus cabang, pengurus wilayah sampai di tingkat pusat dalam mu’tamar NU. Kodifikasi hukum Islam yang dihasilkan oleh Lajnah Bahtsul Masail NU dihimpun dalam sebuah buku yang disebut Ahkamul Fuqaha’ (Ketetapan-Ketetapan Hukum Fuqaha’) NU Kajian semacam ini tidak hanya berguna untuk memperdalam dan memperluas pemahaman tentang hukum Islam, bahkan lebih dari itu juga bermanfaat dalam rangka formulasi hukum-hukum Islam kontemporer yang diperlukan bagi solusi legislasi hukum nasional ke depan. C. BENTUK-BENTUK HUKUM ISLAM 1. Metode Formulasi Hukum Islam Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf (A.Wahhab Khallaf, terj.Imron, AM,1979: 62-63), semula tatacara tasyrik (law making) hukum Fiqh mengikuti metode para masyayikh (guru-guru) sebelumnnya, dari kalangan Tabi’in dan tokoh-tokoh Tabi’ittabi’in sesuai pedoman para masyayikh mereka dari kalangan sahabat Rasulillah saw. yaitu para imam-iman
38
mujtahid itu ittifaq (sejalan) saja atas ushuluttasyri’ (pokok-pokok pembentukan hukum) dan pedoman-pedomannya, sekalipun dalam urusan furu’iyah (cabang) fatwa dan keputusan-keputusan hukumnya berbeda. Setelah memasuki era abad ke-2, para mujtahidin menghadapi ikhtilaf yang semakin meluas tentang cara membentuk hukum sampai pada sumber-sumber tasyri’, karena pengaruh sosial budaya (komunitas), pengaruh bahasa (lughawi) dalam memahami nash-nash. a. Latar Belakang Ikhtilaf Membentuk Hukum Di era ini para mujtahidin beda pendapat dalam menentukan sebagian sumber-sumber tasyri’ pada tiga hal, sbb.: 1) Karena tingkat kepercayaan terhadap Sunnah dan perawiperawinya a) Di Irak Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berhujjah (berpodaman) pada haditshadits mutawatir, masyhur dan hadits-hadits ahli Fiqh kepercayaan mereka. b) Di Madinah Imam Malik dan sahabat-sahabatnya berhujjah dengan pedoman penduduk Madinah yang disepakati. 2) Karena Kedudukan Fatwa Sahabat dan Penentuannya a) Abu Hanifah dan sahabatsahabatnya berhujjah dengan fatwa Sahabat, mengikuti fatwa-fatwa tsb secara keseluruhan sekalipun tidak terikat kepada salah sat yang tertentu. b) Imam Syafi’y dan sahabatsahabatnya bebas berhujjah dengan fatwa Sahabat mana saja, atau tidak sama sekali b. Metode Tasyrik (Formulasi) Islami Karena tuntutan, perkembangan zaman dan tujuan syarak, metode formulasi hukum Islam yang digunakan oleh para mujtahidin adalah metode ijtihad dan/atau qiyas (analogi), sesuai syarat-
syaratnya yang akan dikemukakan dalam bab tersendiri. Ijtihad adalah upaya kritis guna menemukan hukum Islam dengan cara istinbath (rehtsvinding) dari ayat-ayat Quran dan Hadits yang dhanniyat. Subjek ijtihad dalam ilmu fiqh disebut mujtahid (jama’: mujtahidein). Qiyas adalah menetapkan hukum baru terhadap perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya berdasar sesuatu yang telah ada garis hukumnya. Formulasi hukum itu dilakukan dengan pendekatan dalil yang ada, dengan yurisprodensi, atau dengan pendekatan sosio kultural, yang dinamakan, madzhab sahabat, dalalah iqtiran, istishab, istihsan,maslahah murasalah, ‘urf, sadduddzara’i, syariat sebelum Islam yang akan diutarakan dalam bab tersendiri. 2. Bentuk-bentuk hukum Islam Bentuk-bentuk hukum itu bertingkat mulai dari bentuk pendapat hukum (Qaul Ulama), Fatwa Fuqaha’ , ketetapan hukum (Qaratul hukm) sampai berbentuk Qanun Islami. Temuan yang berbentuk pendapat hukum dalam ilmu fiqh disebut ra’yu atau qaul. Qaul itu bisa hadir karena istifta’, atau karena semangat mujtahid itu senidiri. Ketika qaul dijadikan keputusan resmi secara institusional oelh suatu lembaga/organesasi (jam’iyyah) atau negara (daulah) maka bentuknya bergeser menjadi ketetapan. Dilihat dari formulasinya ada 4 (empat) bentuk hukum Islam, yaitu qaul (pendapat hukm), fatwa (nasihat hukm), qararat (ketetapan hukum) dan qawanin (peraturan hukum). a. Qaul Ulama Yang dimaksud dengan Qaul Ulama, ialah pendapat hukum (qaul hukm) di kalangan ulama Fiqh, kadang hanya disingkat Qaul. Tentu saja Qaul hukm tidak asal pendapat orang, akan tetapi harus lahir dari hasil penalaran atau jerih payah pemikiran al-faqih yang dilakukan secara kritis untuk suatu permasalahan berdasar dalil-dalil syarak. Itu sebabnya qaul juga disebut Ra’yu.
39
Jadi Qaul adalah pendapat hukum ulama fiqh tentang kedudukan hukum suatu persoalan (kasus) tertentu. Contoh: 1) Si A bertanya kepada si B (al-faqih) tentang hukum bayi tabung, lalu dijawabnya. Boleh, asal benihnya dari suaminya sendiri, karena sampai saat itu keduanya (suami-isteri) belum punya anak kandung. Jawaban boleh si B adalah pendapat hukumnya tentang kedudukan hukum bayi tabung tersebut. 2) Al-Sya’rani (Al-Mizanul Kubra II:161) mengemukakan: Menurut Qaul Imam Abu Hanifah : Nisab barang curian adalah seharga satu (1) dinar, atau 10 dirham” ; akan tetapi menurut Qaul Imam Syafi’y: Nisab barang curian adalah seperempat dinar dari beberapa dirham”. Qaul hukm bisa berubah karena pergeseran zaman dan perubahan tempat, asal sesuai dengan dalil-dalil dan tujuan syarak. Misal: a. Si C (ayah:fqih) berkata kepada si D (puterinya):“Kamu wajib mondok di pondok pesantren X”, dan haram kamu masuk sekolah Y”. Lima tahun kemudian pendapat hukumnya, berubah lalu mengatakan: “Mulai tahun ini kamu boleh pindah, masuk sekolah Y”. b. Imam Syafi’y pernah mengubah pendapat hukumnya ketika di Baghdad, setelah berdomisili di Mesir, sehingga Qaulnya yang di Baghdad terkenal dengan Qaul Qadim, dan yang di Mesir dikenal dengan Qaul Jadid. Jika dilihat secara kuantitatif Qaul (jama’: Aqwal) hukm bisa menjadi 4 (empat) kelompok,sebagai berikut: 1) Qaul Hukm seseorang; 2) Qaul Fuqaha’ berimbang; 3) Qaul Jumhur (mayoritas) Fuqaha’ 4) Qaul Ittifaq (sepakat) seluruh Fuqha’ b. Fatwa Hukum Fatwa hukm adalah advis, nasihat hukum seorang atau beberapa orang penasihat hukum (mufti) di kalangan fuqaha’ atau dari suatu institusi. Fatwa
hukm bisa dikeluarkan karena diminta untuk mendapatkan kedudukan hukum suatu masalah krusial atau kasus tertentu. Dalam historisnya Qaul hukm bisa diangkat dan dijadikan menjadi fatwa hukum, karena kebutuhan masyarakat (umat). Bahkan banyak Aqwal Ulama yang dikodifikasi menjadi Kitab Fatawaa Ahkaam, seperti: > Kitab al-Mudawanah al-Kubra, oleh Ibn Qosim dan Sahnun adalah kumpulan fatwafatwa hukum Imam Malik > Qaul Jadid dan Qaul Qadim adalah kumpulan fatwa-fatwa hukum Imam Syafi’y ketika di Baghdad dan di Mesir. > Bughyatul Musytarsyidin, oleh Sayyid Abdurrahman, Ba ‘Alawi adalah kumpulan fatwa-fatwa Ulama Mutaakhkkhirin > Majmuk Fataawaa, oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, adalah himpunan fatwa-fatwa Ibnu Taimiah; c. Qararul Ahkaam Qararul Ahkaam atau Muqarraraatul Ahkaam adalah ketetapan-ketetapan hukum. Qararul Ahkaam bisa lahir dari organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU, dan bisa lahir dari lembaga negara. Misal: > Muhammadiyah, menetapkan beberapa ketetapan hukum syarak, namanya Muqarraatu Majlis Tarjih; > NU, menetapkan beberapa ketetapan hukum syarak, namanya Ahkaamul Fuqha’; > MUI menetapkan beberapa ketetapan hukum syarak, namanya Fatwa-Fatwa MUI; > Pengadilan Agama, menetapkan hukum sesuai dengan duduk perkaranya, namanya Keputusan Pengadilan Agama d. Qanun Islami Qanun (jama’:Qawanin) Islami adalah peraturan-peraturan hukum syarak yang secara resmi ditetapkan dan disahkan oleh negara. Dahlan Abdul Aziz, dkk (Ensiklopedi Hukum Islam, 2006:143) merumuskan bahwa Qanun artinya kaidah, norma, undang-undang/kitab undang-undang, peraturan, atau hukum Secara struktural Qanun Islami tersusun ke dalam tiga (3) tingkatan, yaitu: 1). Qanun Asasi/Dustur (konstitusi)
40
Qanun Asasi adalah peraturan dasar yang tertinggi dalam sebuah negara, setingkat konstitusi/undang-undang dasar. Qanun Asasi (dustur) ini dirancang, ditetapkan dan disahkan oleh pemerintah pusat yang kedudukan dan fungsinya sebagai undang-undang dasar suatu negara 2). Qanun Tasyri’i Qonun Tasyri’i adalah undang-undang yang ditetapkan dan disahkan oleh pemerintah pusat berlaku secara nasional. Misal: Qanun Madani, semacam KUHPerdata, Qanun ‘Uqubat/-Jaza’i, semacam KUHPidana, Qanun Duali, peraturan hukum Internasional, Qanun Tijari, peraturan hukum Dagang, Qanun Murafa’at, semacam Kitab Undang-undang Hukum Acara Di Indoenisia Qanun Tasyri’i tersebar di berbagai peraturan perundangan, mulai dari tingkat undang-undang sampai kepada instruksi presiden.Misal: a). UU Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, b). UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, c). INPRES No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, d). Dll. 3). Qanun Minthaqi, Qanun Minthaqi adalah peraturan yang dibentuk memenuhi tuntutan daerah disahkan oleh pemerintahan daerah semacam peraturan derah (Perda). Misal: Perda tentang Larangan Munkarat, dll. D. AMALIAH HUKUM ISLAM Bagi umat Islam hukum Islam tidak hanya wajib dipelajari, akan tetapi juga untuk diamalkan dan ditegakkan sesuai hirarkinya (tata-urutannya). 1. Hirarki Amaliah Hukum Islam Taklif hukum terbentuk karena adanya perintah (amr) dan larangan (nahi).Taklif hukum atas dasar amr hirarkisnya adalah wajib didahulukan yang
fardlu ‘ain, fardlu kifayah, wajib ain, wajib kifayah, sunnat muakkadah dan sunnat ghairu muakkadah. Taklif hukum atas dasar nahi hirarkisnya adalah wajib didahuli menjauhkan diri dari perbuatan yang hukumnya haram, kemudian yang makruh tahrim, dan akhirnya maksruh tanzih. Untuk yang hukumnya mubah implementasinya bebas dipilih, antara dilakukan atau ditinggalkan. Implementasinya tergantung pada kondisi subjek hukumnya masing-masing, dengan ketentuan jika sesuatu perbuatan hukum itu dilakukan akan mengganggu kesehatan/keselamatan jiwanya maka hal itu harus dihindari (makruh). Misal: Makan makanan yang pedas bagi pengidap penyakit maag, sekalipun hukum azimahnya boleh, kalau dilakukan bisa menjadi makruh karena akan mengganggu kesehatannya, bahkan bisa menjadi haram, jika mengancam jiwanya. Terhadap empat (4) kelompok kuantitatif bentuk hukum, implementasi (amaliah) hukumnya bersifat hierarkhis, yaitu harus didahulukan yang ittifaq (d), jika tidak ada ittifaq, ikuti pendapat jumhur (c) dan jika pendapat jumhur tidak ada, boleh memilih diantara pendpat hukum yang berimbang (b), dalam madzhab Syafi’y kecenderungannya mengikuti yang di dalamnya terdapat pendapat Imamnya, dan bagi perorangan wajib mengikuti yang dapat dimengerti dari pendapat, fatwa mufti yang dimintai ketentuan hukumnya. E. SUBJEK HUKUM AMALIAH TALFIQ HUKUM Subjek hukum amaliah taklif hukum dalam hukum Islam beragam, ada yang subjek hukumnya individual, kelompok (jamaah), dan ada yang menjadi tanggung jawab negara. a. Subjek Hukum Pribadi Tanggungjawab individu itu ada yang disebut fardlu ‘ain, ada yang disebut wajib ‘ain. Shalat lima waktu, puasa, zakat, dan haji misalnya menjadi fardlu ‘ain bagi setiap muslim/muslimah secara individual. Meyediakan nafkah, maskan dan kiswah bagi suami/ayah menjadi wajib’ain bagi kepala rumah tangga, begitu pula menolong orang lain yang hanya dia sendiri yang dapat
41
menolongnya dari ancaman bahaya, hukumnya wajib’ain. Begitu juga menjahui perbuatan zina, membunuh orang, durhaka kepada kedua orang tua, mencuri adalah fardlu ‘ain bagi setiap muslim/muslimah, jika hukum tersebut dilanggar diancam dengan sanksi pidana (‘uqubat). b. Subjek Hukum Jamaah Ada perbuatan hukum yang subjek hukumnya adalah jamaah (kelompok). Jika salah seorang sudah memenuhi kewajiban itu, maka gugurlah tanggung jawab anggota lainnya. Jika tidak dilakukan semua anggota janaah itu memikul tanggung jawab. Taklif hukumnya disebut fardlu kifayah, misalnya shalat jenazah; atau wajib kifayah misalnya membentu korban bencana alam (tsunami, banjir, gempa), dsb. Mendidik peserta didik yang telah diterimanya sebagai siswa/mahasiswa menjadi wajib kifayah secara institusional bagi badan hukum dan pengelola pendidikan tersebut; dengan ketentuan bagi guru/dosen bidang studi/mata kuliah tertentu, tetap wajib ‘ain hukumnya bagi guru/dosen yang bersangkutan. Penyakit masyarakat, kemiskinan, pengangguran, keamanan, pendidikan, kesehatan, dan semacamnya adalah wajib kifayah bagi pemerintah (negara) secara kolektif. Jika ada salah seorang diantara anggotanya (lembaga negara) telah menanggulanginya maka gugurlah seluruh talfiq hukumnya. Sebaliknya, jika hal-hal tersebut tetap dibiarkan wabah penyakit tetap merajalela, pengangguran, miskin dan penderitaan masyarakat terus-menerus mengancam keselamatan/jiwanya, maka secara institusional seluruh anggota lembaga negara terkait yang menanggung taklif hukumnya. Demikian pula halnya dengan kejahatan (kemungkaran), baik perzinaan (pelacuran), perjudian, pembunuhan, pencurian, perampokan, pemerkosaan ataupun semacamnya adalah wajib kifayah bagi masing-masing isntitusi terkait (pemerintah) untuk mengatasinya. Jika tidak, maka seluruh anggota instansi terkait
tersebut ikut menanggung taklif hukumnya. F. KESIMPULAN Bagi yang ingin mendalami hukum Islam secara konprehenship diperlukan mempelajari sedikit banyak tentang ilmu-ilmu yang terkait dengan hukum Islam dan mengenal para ahlinya (ulama). Ilmu-ilmu yang sangat terkait dan membantu bagi pendalaman hukum Islam adalah Bahasa Arab, Ilmu Tauhid, Ushul Fiqh, dan Tarikh Tasyrik. Sebagaimana fungsi sebagai berikut: 1. Mempempelajari bahasa Arab diperlukan karena dalil-dalil syarak (al-Qur’an, Hadits Nabi saw, Ijma’ dan Qiyas) aslinya berbahasa Arab, maka sedikit banyak tentang bahasa ini perlu difahami, guna memahami kandungan hukumnya. 2. Karena jiwa dan roh hukum Islam berpangkal dari Iman-Tauhid, maka dalam studi hukum Islam tidak cukup hanya bersandar pada nalar sekuler saja, akan tetapi harus bersandar pada keimanan (kepercayaan) dan keyakinan. 3. Agar dapat memahami benar-benar metode mencari dan membentuk hukum dalam Islam diperlukan ilmu bantu yang disebut Ushul Fiqh. Ilmu ini membantu tentang tatacara berijtihad melalui istinbath hukmi (rechtsvinding), tasyri’ul hukmi (rechtsforming) dan iqaamatil hukmi (law inforcement) bagi orang mukallaf dengan dalil-dalil syara’ secara rinci. 4. Hukum Islam tumbuh dan berkembang seirama dengan zamannya membentuk perilaku, budaya dan peradaban manusia di masa silam. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam perlu ilmu bantu yang disebut Tarikh Tasyrik, yaitu ilmu yang mengungkap sejarah hukum Islam dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman Rasulullah saw, zaman KhulafaaurRasyidien, zaman Tadwienul Fiqh (Kodifikasi Fiqh), zaman Jumud (kebekuan) dan kembangkitannya kembali.
42
DAFTAR PUSTAKA
A. Aziz Masyhuri, dkk., Tarikh Tasyri’, Depag RIDirjen Bimbaga Islam,Jakarta, 1983/1984. A. Hanafie, Ushul Fiqh, Wijaya, Jakarta, 1962. A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, jld 1, Wijaya jakarta, 1958. A.Mukti Ali,Asal Usul Agama, Yayasan NIDA, Yogyakarta, 1969. Abdul Qadir Hassan, Ushul Fiqh, Yayasan AlMuslimun, Bangil, 1992. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Al- Fiqh, Daaru al-Qalam, Quait, 1978 ---Alih Bahasa Moch.Tolchah Mansoer,Noer Iskandar Al-Barsany, Pen.risalah Bandung, 1983. Achmad Al-Ghandur, Pengantar Syari’at Islam, Alih Bahasa: Ma’mun Muhammad Murai, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1982. Ahmad Abdul Madjid, Mata kuliah Ushul Fiqh, PT.Garuda Buana Indah, Pasuruan, 1989. Ali Ali Mansoer, Al-Syari’atul Islamiyah, (terj.Muhammad Zein Hassan, Bulan Bintang, Jakarta, 1973. Chinur Arrsyid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Cet.Pertama, Jakarta, 2000. Dedy Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2007. Ensiklopedi Hukum Islam, PT Bachtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2006. Fatchur Rahman, Mushtaahul Hadits, PT AlMa’arif, Bandung, 1981. H.A.Djazuli, Ilmu Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. H.Abdul Mudjib, al-Qawa-idul Fiqhiyyah, CV. Nur Cahaya,Yogyakarta, 1980. Ibrahim Abbas Ad-Dzarwai, NadhariyyatilIjtihad Fis Syar’il Islamiyah (Terj. Said Agil Husen AlMunawwarah, Dina Utama, Semarang,1993. John L.Esposito, Ensiklopedi Oxfrd DUNIA ISLAM MODERN, Terj. Eva Y.N.,Cs, Pen.Mizan, Bandung, 2001. Karen Armstrong (terj.Ahmad Mustofa), Sejarah Islam Singkat, Elbanin Media, Yogyakarta, 2008. M.B.Ali dan T.Deli, Kamus bahasa Indonesia, Citra Umbara, Bandung,1997. M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Penganta Ilmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1965.
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, CV. Haji Masagung, Cet.I, Jakarta, 1986. Moh.Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, CV.Rajawali, Jakarta, 1991. Muhammad Khudlari, Tarikh Tasyr’ Al-Islami, Daarul Fikri,1981. Muhmmad Salam Madkur, Al-Qadla’ fil Islam (Terj.Imron, AM), Bina Ilmu,Surabaya, 1982. Samir Aliyah, Nidhamud Daulah wal Qadla wal ‘Urffi Al-Islam, (Terj.Asmuni Solihan Zamakhsyari), Khalifa, Jakarta Timur, 2004. Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004. Sayuti Thalib, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1981. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2003. W.J.S.Poerwadarminta, Kamus umum Bahasa Indonesia, BN Balai Pustaka, Jakarta, 1984. Wahbah Zuhaili, Al-Qur an Paradigma Hukum dan Peradaban, Risalah Gusti, Terj.AlQuranul Karim; Bunyatuhu At-Tasyri’yat wa Khalashaaisushu Al-Hadlariyat, Surabaya, 1996. Yusuf Qardlawi, Min Fiqhil Islam (Terj.Syafril Halim). Robbani Press,Jakarta, 1997. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.