MELOK JEJAK WONG TUO: MENERUSKAN BISNIS KELUARGA KERAJINAN SONGKET PALEMBANG
Shabrina & Semiarto Aji Purwanto
Program Studi Antropologi Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
[email protected]
ABSTRAK
Skripsi ini membahas bisnis keluarga dalam industri kerajinan songket Palembang yang berhasil bertahan secara turun-temurun sampai empat generasi. Tidak seperti pandangan Hefner dkk bahwa bisnis keluarga dapat bertahan apabila generasi di atasnya merasa ada kewajiban untuk mewariskannya ke generasi selanjutnya. Kemudian Hefner mengacu pada bisnis orang-orang pribumi Asia Tenggara yang keberlangsungan bisnisnya cenderung tidak bisa bertahan dari generasi ke generasi karena ciri-ciri tersebut. Skripsi ini berusaha menjelaskan keberlangsungan bisnis keluarga kerajinan songket tersebut dengan beberapa konsep, yaitu resiprositas dan axiom of amitysebagai pisau analisis. Skripsi ini membuktikan bahwanilai-nilai kekerabatan memiliki keteraturan moral untuk menaklukkan kebuasan logika amoral nilai-nilai bisnis, dalam konteks bisnis keluarga.
Kata Kunci: Asia Tenggara; Axiom of Amity; Bisnis keluarga; Hefner; Nilai-nilai Kekerabatan; Resiprositas; Songket Palembang.
Melok Jejak Wong Tuo: Continuing Family Business of Palembang Songket Handicraft ABSTRACT
This undergraduate thesis examines the family business in Palembang songket craft industry that has successfully sustained to four generations. Unlike Hefner et al’s view, that family business can survive if the previous generation have an obligation to bequeath it to the next generations. Then, Hefner refers to the business
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
of indigenous people of Southeast Asia tend not to survive from generation to generation because of those charactersitics. This undergraduate thesisattempts to explain the sustainability of the family business in Palembang songket industry, with the concepts of reciprocity and axiom of amity. It proves that kinship values has moral order to conquer the amoral logic of business values, in the context of family business. Keywords: Axiom of Amity; Family Business; Hefner; Kinship Values, Palembang Songket, Reciprocity, Southeast Asia.
Pendahuluan
Bisnis keluarga pada masyarakat pribumi di Asia Tenggara seringkali tidak dapat bertahan secara turun-temurun, tidak seperti bisnis orang-orang keturunan dari Asia Timur yang dapat berlangsung sampai beberapa generasi (Hefner, 1999: 21). Bahkan menurut Mackie (1999), sebagian besar orang Cina Asia Tenggara lebih berwatak wirausaha dalam kegiatan bisnis mereka dibandingkan dengan penduduk pribumi Asia Tenggara. Akan tetapi ada suatu bisnis keluarga milik orang pribumi Asia Tenggara di Indonesia, tepatnya di propinsi Sumatra Selatan, yang telah berjalan selama berpuluh-puluh tahun dan bertahan secara turun-temurun sampai beberapa generasi. Bisnis keluarga tersebut adalah industri kerajinan kain songket Palembang. Industri kerajinan kain songket di Palembang telah berkembang sejak akhir abad kedua puluh sampai sekarang. Industri tersebut dikembangkan dan didominasi oleh kewirausahaan berbasis kekerabatan yang berawal dari bisnis keluarga. Bisnis keluarga ini memproduksi dan memperdagangkan kain songket yang merupakan warisan budaya Palembang, serta turut melestarikan warisan budaya tersebut dan memperkenalkannya ke seluruh dunia. Selain itu, usaha tersebut juga telah berhasil mengembangkan perekonomian daerah mulai dari tingkat kelurahan hingga tingkat propinsi. Industri yang awalnya menyediakan kain songket untuk kebutuhan tradisi masyarakat Palembang kini juga memberi kontribusi pendapatan bagi pariwisata daerah sebagai oleh-oleh kerajinan khas Palembang. Perkembangan perdagangan songket di Palembang berawal dari keluarga Cek Ipah dan suaminya yakni H. Kiagus Muhammad Husin Rahman. Berdagang dan berwirausaha telah mendarah daging dalam keluarga tersebut. Saat ini kebanyakan pengelola bisnis tersebut adalah orang-orang dari generasi kedua dan beberapa orang dari generasi ketiga. Sembilan orang anak Cek Ipah meneruskan tradisi songket dari orangtuanya dan masing-masing membuka usaha bisnis butik atau toko songket. Anak-anak Cek Ipah mengembangkan usaha
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
bisnis songket keluarga mereka dengan membuka butik-butik songket di daerah Suro yakni di Jalan Ki Gede Ing Suro dan Jalan Kirangga Wirasantika di kelurahan 30 Ilir di Palembang, Sumatra Selatan. Bisnis songket keluarga tersebut membuat daerah Suro menjadi Sentra Industri Pengrajin Songket di kota Palembang. Uniknya, sebagai bisnis orang Melayu Palembang, industri kerajinan songket Palembang tersebut merupakan sebuah bisnis keluarga turun-temurun. Menurut Hefner dkk (1999: 20-21) dan Li (1999: 223), jarang sekali bisnis keluarga orang Melayu pribumi dapat bertahan secara turun-temurun. Bisnis keluarga ini terbagi menjadi beberapa kelompok usaha kerajinan berdasarkan tiap-tiap rumah tangga darikeluarga batih yang ada di dalam keluarga luas mereka. Setiap rumah tangga keluarga batih memiliki butik songket masing-masing dengan merk dagang, model tenunan, ranah konsumen dan relasi bisnis yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan garis keturunan, sumber daya bisnis, dan keterampilan yang berakar dari orangtua mereka yakni Nyiayu Cek Ipah dan Kiagus Husin Rahman. Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai bisnis orang Melayu menyimpulkan bahwa bisnis orang Melayu, sebagai salah satu penduduk pribumi Asia Tenggara, cenderung tidak langgeng atau tidak dapat diteruskan secara turun-temurun. Ada keengganan berbisnis karena orang Melayu menjunjung tinggi nilai-nilai hubungan keluarga dan masyarakat yang mereka coba pertahankan agar tetap terbebas dari kalkulasi dan memisahkan mereka dari transaksi-transaksi dagang terang-terangan (McKinley, 1975: 35; Carsten, 1989: 117; Peletz, 1999). Menurut Li (1999: 163) sejumlah orang Melayu yang melakukan bisnis resmi di luar lingkungan rumah mereka mengalami ketegangan-ketegangan sosial, dimana persaingan dari pengusaha lain cenderung dianggap timbul dari iri hati dan dengki. Melihat bisnis keluarga dalam industri kerajinan songket Palembang, kelompokkelompok bisnis kerajinan songket yang ada di daerah Suro terbagi berdasarkan kelompokkelompok rumah tangga (household) di dalam keluarga besar anak-anak Cek Ipah. Butikbutik songket Palembang di daerah Suro di Palembang, yang para pemiliknya saling bersaudara, juga saling berdampingan dan berada di lokasi yang sama. Namun dengan berdampingan seperti itulah yang justru membawa keuntungan bagi bisnis songket mereka. Adanya nilai-nilai keluarga dalam kerjasama bisnis dan persaingan bisnis mereka menghasilkan keteraturan moral sekaligus keuntungan bisnis. Oleh karena itu, strategi-strategi bisnis dimainkan melalui nilai-nilai keluarga atau kekerabatan dan nilai-nilai ekonomi.
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
Bisnis keluarga industri songket ini tidak berupa sebuah perusahaan induk yang besar, melainkan berupa kelompok-kelompok bisnis sendiri-sendiri setiap butik songket yang pemiliknya saling bersaudara. Semua jenis sumber daya dikelolaoleh masing-masing rumah tangga (household) dan dimiliki oleh masing-masing kepalakeluarga batih (nuclear family) di dalam keluarga besar (extended family)pewaris industri songket tersebut tanpa ada pembagian-pembagian peran usaha kongsi. Selain itu, berbeda dengan bisnis keluarga Cina, cara pewarisan bisnis songket Palembang ini tidak dipaksakan oleh para orang tua pemilik butik-butik tersebut kepada anakanaknya. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan dapat meneruskan bisnis tersebut. Pada bisnis yang dimiliki oleh orang Palembang pribumi ini memang setiap orang tua tidak memaksakan anak-anaknya untuk meneruskan bisnis keluarganya, sesuai dengan pernyataan Hefner (1999: 20-21) mengenai perilaku bisnis orang Melayu pribumi. Akan tetapi bisnis keluarga ini dapat terus bertahan dan diteruskan secara turun-temurun ke anak-cucu mereka seolah kesadaran nilai untuk meneruskan bisnis keluarga timbul di dalam diri mereka. Ada kerjasama dan persaingan di antara kelompok-kelompok bisnis keluarga industri kerajinan songketdalam menjalankan nilai-nilai bisnis sekaligus nilai-nilai keluarga. Sesuai dengan Stewart (2003: 386), sebagai bagian dari keluarga besar, mereka saling menolong namun juga saling memanfaatkan dan bersaing dalam bisnis. Hubungan antara kekerabatan dan bisnis antara keluarga tersebut menjadi saling mempengaruhi, yang fungsinya dalam bisnis keluarga bertujuan untuk mencapai kepentingan ekonomi dan kepentingan keluarga.
Tinjauan Teoritis
Kajian yang berbicara mengenai bisnis keluarga di Asia Tenggara selalu dikaitkan dengan kelompok keturunan Asia Timur (Cina, Jepang, Korea), bukan oleh kelompok pribumi. Hefner dkk (1999) berpendapat bahwa kelompok pribumi Asia Tenggara seringkali tidak dapat mempertahankan keberlangsungan bisnis keluarga secara turun-temurun. Akan tetapi, bisnis keluarga dalam industri kerajinan songket Palembang yang notabene dimiliki orang pribumi justru dapat diwariskan secara turun-temurun. Tidak seperti kebanyakan bisnis keluarga Melayu yang digambarkan oleh Hefner, Li, dan Alexander (1999), bisnis songket
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
yang dimiliki oleh keluarga Palembang yang merupakan salah satu etnis Melayu di Asia Tenggara ini tetap bertahan sampai ke dari generasi ke generasi. Sebelum berbicara mengenai ekonomi kekerabatan dan bisnis keluarga atau bisnis berbasis kekerabatan, penting untuk membahas konsep kekerabatan dan keluarga terlebih dahulu. Teori-teori antropologis mengenai kekerabatan ditelusuri untuk kontribusi potensialnya terhadap teori tentang bisnis (Stewart, 2003: 383).
a.
Kekerabatan, Keluarga dan Rumah Tangga
Kekerabatan adalah jaringan hubungan-hubungan yang diciptakan oleh koneksi silsilah geneologis dan oleh ikatan sosial (misalnya yang didasarkan pada adopsi) yang dimodelkan berdasarkan pada hubungan “alami” dari orangtua geneologis (Keesing, 1975: 13). Sebagaimana hubungan kekerabatan itu dibagi menjadi tiga jenis yakni berdasarkan hubungan darah dan keturunan, hubungan pernikahan, dan kekerabatan fiktif (melalui adopsi). Freeman (1973: 115) berpendapat dengan tegas bahwa perilaku kekerabatan pada manusia didasarkan pada pola biologis yang berakar secara evolusioner dari ikatan antara ibu dan bayi, kemudian bahwa kekuatan psikologis yang luar biasa dari ikatan kekerabatan berasal dari akar-akar psikobiologis tersebut. Hubungan alami dari kekerabatan menciptakan sebuah kewajiban moral bagi anggota sebuah kekerabatan. Sesuai pendapat Fortes (1969: 231-232) bahwa kekerabatan adalah sebuah ranah di mana kewajiban moral saling berlaku, di mana axiom of amity (aksioma persahabatan) memegang kekuasaan; tetapi juga merupakan sebuah ranah di mana ambivalensi dan konflik universal dijalankan terhadap ajaran-ajaran moral tersebut.Oleh karena itu, jaringan yang terjalin dalam hubungan kekerabatan menjadi penting dalam hubungan sosial manusia. Jaringan yang menghubungkan individu sebagai kerabat rupanya diakui secara universal dan diberikan kepentingan sosial secara universal. Perhatikan bahwa setiap individu, selain saudara sekandung, memiliki susunan kekerabatan yang unik, baik pada pihak ibu maupun pada pihak ayah. Ikatan kekerabatan berfungsi untuk menentukan posisi yang unik dari setiap individu dalam dirinya atau dunia sosialnya - untuk membentuk hubungan timbal-balik persahabatan dan kewajiban dalam kelompok individu itu sendiri dan dalam kelompok-kelompok lainnya (Fortes, 1969: 231-232). Dengan demikian, kekerabatan
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
itu mengikat, dimana kekerabatan menciptakan klaim moral dan kewajiban moral yang tidak terelakkan (Fortes, 1969: 242). Sementara itu, keluarga merupakan sekelompok orang yang berafiliasi melalui hubungan darah atau kekerabatan, perkawinan, atau berbagi tempat tinggal bersama. Keluarga berbeda dengan rumah tangga. Keluarga dilihat berdasarkan unit kekerabatannya, sedangkan rumah tangga dilihat berdasarkan unit ekonominya. Para anggota dalam suatu rumah tangga hidup bersama, mengerjakan seluruh urusan dalam rumah tangga secara bersama di bawah pimpinan seseorang yang ditetapkan menurut tradisi. Bender menyatakan bahwa keluarga, sebagai unit kekerabatan, harus dapat dimaknai secara ketat di dalam ranah hubungan kekerabatan dan bukan dalam ranah kesamaan tempat tinggal (1967: 493). Bagi Bender, perbedaan empiris antara keluarga dengan rumah tangga adalah bahwa dalam sejumlah masyarakat, keluarga belum tentu membentuk suatu rumah tangga, dan sebuah rumah tangga juga belum tentu terdiri dari keluarga.
b.
Bisnis Keluarga dan Bisnis Berbasis Kekerabatan
Bisnis keluarga adalah bisnis di mana satu atau lebih anggota dari satu atau lebih keluarga memiliki kepemilikan signifikan dan komitmen signifikan terhadap bisnis tersebut secara keseluruhan.Perusahaan keluarga adalah jika suatu keluarga mempertahankan kendali atas bisnis tersebut dan beberapa generasi dari anggota keluarga pun terlibat dalam kegiatan operasional sehari-hari bisnis tersebut (Sharma, 2004: 4). Secara kultural, ranah bisnis dan ranah kekerabatan tampak sangat berbeda dalam esensinya (De Lima, 2000: 152). Namun dalam hal bisnis keluarga, kedua ranah tersebut dapat bertemu dan saling mempengaruhi. Stewart (2003: 397) juga berpendapat bahwa ia lebih memilih untuk menggunakan istilah “bisnis berbasis kekerabatan” daripada “bisnis keluarga”. Peredo (2003: 398) lalu mengomentari tulisan Stewart tersebut dengan menambahkan penjabaran untuk membagi jenis-jenis bisnis atau kewirausahaan berbasis kekerabatan menjadi tiga yakni bisnis berdasarkan hubungan darah dan pernikahan, bisnis berdasarkan hubungan spiritual (kekerabatan fiktif termasuk di dalamnya), dan bisnis berdasarkan komunitas. Tiap-tiap jenis bisnis kekerabatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
c.
Resiprositas dan Axiom of Amity
Perilaku ekonomi berhubungan erat dengan dimensi sosial lain seperti politik, agama, kekerabatan, dan sebagainya, hal ini dalam ranah antropologi ekonomi disebut dengan isilah embedded (keterkaitan), dimana perilaku ekonomi itu embedded dengan isu sosial. Bahwa semua tindakan ekonomi individu atau kelompok terkait dengan struktur-struktur hubungan sosial. Malinowski (1951: 39-40) mengutarakan bahwa pertukaran barang dan jasa dibawa bersama dalam kemitraan yang terus terjalin, atau terasosiasi dengan ikatan sosial tertetu atau berpasangan dengan mutualitas dalam hal-hal yang bersifat non-ekonomis, misalnya ritual masyarakat. Kebanyakan terjadi jika tidak semua tindakan ekonomi ditemukan dalam rantai pemberian yang saling timbal balik (resiprositas), yang pada keseimbangan jangka panjang, sama-sama menguntungkan kedua belah pihak (Malinowski, 1951: 39-40). Selanjutnya Polanyi (1957) mengemukakan adanya keteraturan moral dalam tindakan ekonomi masyarakat. Keteraturan moral tersebut berakar dalam resiprositas dan redistribusi yang disamaratakan (Polanyi, 1957: 46, 49, 52-54). Polanyi berpendapat bahwa ekonomi alami manusia terletak pada tiga prinsip yakni resiprositas, redistribusi, dan rumah tangga (yang berarti berproduksi untuk digunakan oleh keluarga). Pemikiran Polanyi mengenai keterkaitan antara hubungan sosial dan kegiatan ekonomi direfleksikan dalam kekerabatan sebagai keteraturan moral dari masyarakat secara keseluruhan, daripada dalam ranah khusus seperti pasar. Polanyi (1957: 46) berpendapat bahwa ekonomi manusia, sebagai suatu peraturan, tertanam dalam hubungan sosialnya. Manusia tidak bertindak untuk melindungi kepentingan individunya dalam kepemilikan barang-barang material; manusia bertindak untuk menjaga kedudukan sosialnya, klaim sosialnya, dan aset sosialnya. Baik proses produksi maupun distribusi yang terkait dengan kepentingan ekonomi tertentu melekat pada kepemilikan barang; tetapi setiap langkah dalam proses diarahkan untuk sejumlah kepentingan sosial. Konsep resiprositas pun digunakan dalam melihat adanya kesukarelaan dalam kerjasama dan adanyasaling ketergantungan di antara pelaku-pelaku bisnis kerajinan songket Palembang tersebut yang saling berkerabat. Terutama dalam melihat perilaku saling tolong menolong dan saling memanfaatkan di antara mereka dalam menjalankan bisnis. Terkait dengan resiprositas dalam hubungan sosial dan hubungan ekonomi, Sahlins (1972: 13) berpendapat bahwa kekerabatan adalah relasi sosial dari resiprositas, dari suatu sikap saling membantu (mutual aid); oleh sebab itu, kemurahan hati (generosity) adalah sebuah
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
manifestasi dari pengenaan utang, yang membuat penerimanya berada dalam sebuah hubungan yang hati-hati dan responsif dengan pemberinya selama periode pemberian (hadiah) tersebut tidak berbalas.Hal ini terkandung dalam hal keseimbangan, sebuah mutual helpfulness (saling tolong menolong), sebuah continual reciprocity (resiprositas yang berkelanjutan). Melihat adanya resiprositas dalam hubungan kekerabatan otomatis akan mengacu pada adanya kesukarelaan dan moralitas. Fortes (1969: 231-232) mengemukakan bahwakonsepkonsep kekerabatan, institusi kekerabatan, dan hubungan kekerabatan mengklasifikasikan, mengidentifikasikan, dan mengkategorisasikan orang-orang dan kelompok-kelompok, bahwa prinsip-prinsip umum moralitas kekerabatan berakar dalam ranah keluarga dan dianggap mengikat secara aksiomatis dimana saja. Hal ini merupakan principle of prescriptive altruism (prinsip altruisme yang bersifat menentukan) yang merujuk sebagai principle of kinship amity (prinsip persahabatan kekerabatan). Fortes juga menyatakan bahwa ikatan kekerabatan melayani, kemudian, untuk menentukan posisi yang unik dari setiap individu dalam dirinya atau dunia sosialnya - untuk membangun pendirian saling bersahabat dan kewajiban dalam kelompok individu itu sendiri dan kelompok-kelompok lainnya (1969: 231-232). Kekerabatan mempredikatkan axiom of amity, dimana altruisme preskriptif ditampilkan dalam etika kedermawanan (Fortes, 1969: 237). Amity (persahabatan) dalam hal ini merujuk pada perilaku mutual support (saling mendukung), sebagaimana diungkapkan oleh Freeman (1973:109) bahwa para kerabat biasanya saling menawarkan bantuan satu sama lain, yang menjadi ekspresi dari “aturan altruisme preskritif”. Perilaku seperti ini, menurut Fortes, secara intrinsik terjadi pada hubungan di antara kerabat dekat. Kekerabatan memiliki keteraturan moral dalam nilai-nilainya, yang memperkuat hubungan sosial para anggotanya. Axiom of amity memiliki nilai normatif dalam mewujudkan etika kedermawanan. Bloch (1973: 76) menguraikan nilai normatif tersebut sebagai salah satu perilaku “berbagi tanpa memperhitungkan” (sharing without reckoning). Sementara nilai-nilai bisnis dan pasar yang cenderung mementingkan keuntungan sebesar-sebesarnya semata cenderung mengabaikan kepentingan sosial di masyarakat. Menurut Stewart (2003: 386), keteraturan moral dari kekerabatan berbanding terbalk dengan logika amoral dari pasar. Norma-norma kehangatan rumah, kekerabatan, dan keluarga berputar pada satu kutub pertukaran, yakni generalisasi resiprositas jangka-panjang. Sementara norma-norma pasar berputar pada kutub satunya lagi, yaitu keseimbangan resiprositas jangka-pendek (Sahlins,
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
1972: 194-196) dan “aspek kepemilikan satu arah” (Fortes, 1969: 237). Akan tetapi bisnis keluarga memiliki baik nilai-nilai kekerabatan maupun nilai-nilai bisnis. Oleh karena itu, keteraturan moral dari kekerabatan (kinship) dapat menjinakkan “kebuasan” logika amoral dari pasar (market) dalam bisnis keluarga atau bisnis berbasis kekerbatan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang saya gunakan adalah metode pendekatan kualitatif. Saya memilih metode kualitatif sebab metode kualitatif merupakan metode yang paling efektif dalam meneliti suatu kelompok dalam masyarakat yang menjalankan bisnis keluarga kerajinan songket Palembang. Creswell (1994: 181) mengatakan bahwa metode kualitatif adalah pendekatan yang mencoba mendeskripsikan suatu keadaan tertentu, dengan cara antara lain melakukan pengamatan terhadap suatu fenomena tertentu. Karena metode penelitian kualitatif berusaha mengonstruksi realita dan memahami maknanya dengan memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas serta melihat pola-pola interaksi dan gejala-gejala dalam kehidupan manusia.Oleh karena itu, metode penelitian kualitatif merupakan metode yang menurut saya paling tepat digunakan dalam penelitian antropologis terkait industri kerajinan songket Palembang untuk melihat bagaimana keluarga dan hubungan kekerabatan berperan dalam sebuah bisnis suatu warisan budaya, kemudian melihat pola-pola interaksi di antara kerabat dan non-kerabat, serta memahami nilai-nilai keluarga dan nilai-nilai bisnis yang dimainkan dalam bisnis keluarga tersebut. Pengamatan terlibat (participant observation)menjadi elemen pentingdalam sebuah pendekatan kualitatif. Melalui pengamatan terlibat, peneliti dan subjek penelitian akan menjadi sedekat mungkin sehingga data yang didapatkan di lapangan merupakan data yang sebenar-benarnya. Peneliti harus memperlihatkan sebuah fenomena dari sudut pandang subjek penelitian. Peneliti dan subjek penelitiannya harus membina kedekatan seperti yang dikatakan oleh Emerson (1995) bahwa melalui immersion, peneliti lapangan melihat dari dalam bagaimana orang menjalani kehidupan mereka, bagaimana mereka melaksanakan putaran kegiatan sehari-hari, apa yang mereka temukan bermakna, dan bagaimana mereka begitu. Peneliti tidak hanya mengamati masyarakat yang ditelitinya dalam pengamatan
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
terlibat (participant observation), tetapi juga berpartisipasi dalam setiap kegiatan masyarakat yang ditelitinya, dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri dengan informan dan mendapatkan pemahaman maupun pengalaman dari kegiatan tersebut (Borofsky, 1994:15). Pada penelitian ini posisi saya adalah sebagai peneliti sekaligus sebagai anggota kerabat dari keluarga besar yang saya teliti. Namun dalam hal bisnis keluarga, saya dan orang tua saya bukan merupakan pelaku bisnis songket Palembang. Posisi saya hanya sebagai anggota kerabat sepupu dari pelaku bisnis songket Palembang tersebut. Posisi saya sebagai anggota kerabat pun memudahkan saya dalam membangun rapport, mengumpulkan data terutama informasi-informasi rahasia yang dianggap tidak boleh diceritakan kepada orang lain selain keluarga, mendapatkan akses untuk mencari data yang bersifat personal, serta melihat perilaku mereka sehari-hari yang jarang diperlihatkan pada orang lain. Dengan kata lain, saya melakukan immerse dengan cara meretas dari dalam (dari dalam keluarga). Informan kunci saya adalah anak-anak Cek Ipah yang secara turun-temurun mewarisi bisnis kerajinan songket Palembangdan mengembangkan daerah tempat tinggal mereka di Jalan Ki Gede Ing Suro dan Jalan Kirangga Wirasantika sebagai pusat kerajinan songket di kota Palembang. Informan saya yang lainnya adalah cucu-cucu Cek Ipah, para pegawai butik songket, penenun songket dan para pembeli atau pengunjung di butik-butik pusat kerajinan songket di daerah Suro di Palembang. Saat melakukan pengamatan, saya pun melakukan wawancara dengan pemilik butik songket dan keluarganya, para pekerjanya, serta dengan para pembeli atau pengunjung butik songketdi daerah Suro di Palembang. Teknik pengumpulan data yang saya gunakan dengan metode kualitatif dalampenelitian ini adalah melalui pengamatan terlibat (participant observation), wawancara mendalam (indepth interview), mengumpulkan dokumen-dokumen terkait penelitian, dan melakukan dokumentasi foto. Kemudian saya melakukan wawancara dan interaksi dengan pemilik butik, pegawai-pegawai butik, dan para penenun songket. Kegiatan melakukan wawancara saya dibantu beberapa alat bantu seperti alatperekam suara,buku catatan kecil dan alat tulis agar informasi yang diberikan oleh informan tidak ada yang terlewatkan. Penting untuk selalu meminta izin informan terlebih dahulu sebelum merekam setiap percakapan saat wawancara. Selain itu, saya membuat catatan kecil saat wawancara untuk mencatat informasi penting agar tidak terlupakan. Setelah kegiatan wawancara dan penelitian lapangan selesai, saya menuliskan segala data dan informasi yang diperoleh di lapangan ke
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
dalam catatan lapangan. Selain itu, kelebihan yang saya miliki adalah saya mengerti bahasa Palembang. Kelebihan ini memberi saya kemudahan sehingga saya dapat mengerti saat mewawancarai informan yang menggunakan bahasa Palembang ketika berbicara. Sebelum melakukan penelitian ke pusat industri kerajinan songket di daerah Suro di kawasan 30 Ilir di Palembang, saya melakukan preliminary research (penelitian awal) di Jakarta. Pertama-tama saya mengunjungi salah satu wirausaha kerajinan songket Palembang yang sangat sukses saat ini yaitu butik Zainal Songket di Jalan Kebon Kacang 29 nomor 13A di kecamatan Tanah Abang di Jakarta Pusat. Setelah itu, baru saya melakukan penelitian selama satu bulan tinggal di pusat kerajinan songket terbesar di Palembang yang merupakan usaha milik anak-anak Cek Ipah dan saudara-saudaranya yaitu di Jalan Ki Gede Ing Suro dan Jalan Kirangga Wirasantika (daerah Suro) di kelurahan 30 Ilir, Palembang, Sumatra Selatan.
Hasil Penelitian
Berbicara mengenai Daerah Suro sebagai sentra industri kerajinan songket Palembang, terdapat sekitar 23 butik songket di daerah tersebut. Butik-butik songket tersebut kebanyakan dimiliki oleh keluarga anak-anak Cek Ipah. Sementara sisanya hanya beberapa yang bukan merupakan milik keluarga Cek Ipah. Berikut ini adalah daftar nama butik atau toko songket di Daerah Suro di kelurahan 30 Ilir, mulai dari jalan Kirangga Wirasantika sampai jalan Ki Gede Ing Suro: Tabel: Daftar Butik/Toko Songket di Daerah Suro, kelurahan 30 Ilir, kawasan Tangga Buntung, kota Palembang No. 1.
2.
Nama Toko Songket Mayang Koleksi
Songket Rumah Limas
Pemilik Toko Songket Kiagus Bahsen Fikri (anak ketujuh Cek Ipah)
H. Hamid (bukan kerabat keluarga Cek Ipah)
Skala Toko Songket Skala Besar (Cabang dari Fikri Koleksi) Skala Sedang
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
Letak Toko Songket Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang
3.
Mawar Songket
Nyimas Widyawati (bukan kerabat keluarga Cek Ipah)
Skala Besar
4.
Songket Tujuh Saudara
H. Dungtjik (kerabat jauh keluarga Cek Ipah)
Skala Besar
5.
Songket Benang Emas
Kiagus Hasan Basri (anak kedelapan Cek Ipah)
Skala Kecil
6.
Cantik Manis Songket
Umi Kalsum dan Nyiayu Nurhayati (menantu dan cucu Cek Ipah)
Skala Kecil
7.
Griya Songket Cek Nani, HR Cek Nani
Skala Sedang
8.
Songket Cek Ipah-Cek Ila; butik I
Kiagus Masri (anak keenam Cek Ipah)
Skala Besar (cabang I)
9.
Fikri Koleksi
Kiagus Bahsen Fikri (anak ketujuh Cek Ipah)
Skala Besar
10.
Songket Yusuf Effendy
Kiagus Yusuf Effendy (anak keempat Cek Ipah)
Skala Sedang
11.
Songket Ny. Hj. Romlah Fauzi
Kiagus H. Muhammad Fauzi (anak kedua Cek Ipah)
Skala Sedang
12.
Zainal Arifin (Zainal Songket); butik II
Kiagus H. Zainal Arifin (anak kelima Cek Ipah)
Skala Besar (cabang dari Zainal Songket)
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang
Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Kirangga Wirasantika (Talang Kerangga) Jalan Ki Gede Ing Suro
13.
Songket Kiagus H. Muslim H. Amancik
Kiagus H. Muslim H. Amancik (cucu dari kakak perempuan Cek Ipah)
Skala Sedang
14.
Songket Asmi Astari
Nyiayu Hj. Asmi Astari (kakak ipar Cek Ipah)
Skala Sedang
15.
Songket Cek Ipah-Cek Ila; butik II Songket Cek Ipah-Cek Ila; butik III “Makmur Jaya” Vicki Collection Songket Hj. Cek Ipah HS Dilla Songket
Kiagus Masri (anak keenam Cek Ipah)
Skala Besar (cabang II)
Kiagus Masri (anak keenam Cek Ipah)
Skala Besar
Jalan Ki Gede Ing Suro
Kiagus Ansori (anak ketiga Cek Ipah)
Skala Sedang
Jalan Ki Gede Ing Suro
Kiagus Hasan Basri (anak kedelapan Cek Ipah) Linda (anak kesembilan Cek Ipah) Kiagus H. Zainal Arifin (anak kelima Cek Ipah) Cek Onah (bukan kerabat keluarga Cek Ipah) Cek Una (bukan kerabat keluarga Cek Ipah) Hj. Laila H. Aguscik (bukan kerabat keluarga Cek Ipah)
Skala Kecil
Jalan Ki Gede Ing Suro Jalan Ki Gede Ing Suro
16. 17. 18. 19. 20. 21.
Zainal Songket Songket Cek Onah
22.
Songket Cek Una
23.
Songket Hj. Laila H. Aguscik.
Skala Kecil Skala Besar Skala Sedang
Jalan Ki Gede Ing Suro Jalan Ki Gede Ing Suro
Skala Kecil
Jalan Ki Gede Ing Suro
Skala Kecil
Jalan Ki Gede Ing Suro
Tabel di atas memperlihatkan nama-nama 23 butik songket di daerah Suro. Empat belas butik merupakan butik milik anak-anak Cek Ipah serta milik cucu-cucunya.1 Keempat belas butik tersebut antara lain butik songket “Mayang Koleksi”, “Songket Benang Mas”, “Cantik Manis Songket”, 3 butik “Songket Cek Ipah-Cek Ila”, “Fikri Koleksi”, “Songket Yusuf Effendy”, “Songket Ny. Hj. Romlah Fauzi”, 2 butik “Zainal Songket”, “Makmur Jaya Vicki Collection”, “Songket Hj. Cek Ipah HS”, dan “Dilla Songket”.
1
Penjelasan mengenai butik-‐butik milik anak-‐anak Cek Ipah akan dijelaskan pada bab 3.
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
Selanjutnya ada dua butik yang merupakan milik kerabat Cek Ipah yakni butik songket “Kiagus H. Muslim H. Amancik” milik cucu dari kakak perempuan Cek Ipah, dan satu lagi butik songket “Asmi Astari” milik kakak ipar Cek Ipah. Ada juga butik songket “Tujuh Saudara” milik H. Dungtjik yang merupakan kerabat jauh keluarga Cek Ipah. Lalu ada enam butik yang dimiliki oleh orang-orang yang bukan merupakan keluarga atau kerabat dari Cek Ipah yaitu butik songket “Rumah Limas”, “Mawar Songket”, “Songket Cek Nani”, “Songket Cek Onah”, “Songket Cek Una”, dan butik “Songket Hj. Laila H. Aguscik”. Selain itu, ada sembilan butik songket yang termasuk dalam kategori toko songket skala besar, delapan toko songket skala sedang dan enam toko songket skala kecil. Kelompok-kelompok bisnis berdasarkan tiap-tiap rumah tangga dalam dalam industri kerajinan songket Palembang ini dapat dibagi berdasarkan hubungan darah dan pernikahan, hubungan spiritual dan komuniti. Selanjutnya kelompok-kelompok bisnis songket juga dapat dibagi berdasarkan skala kecil, menengah, dan besarnya butik songket. Selain itu, pelaku bisnis songket dapat dibagi berdasarkan kategori pengrajin, pengusaha, dan pekerja. Suatu rumah tangga pada tiap-tiap butik songket biasanya terdiri dari keluarga batih pemilik butik tersebut, pembantu rumah tangga, para pegawai toko, dan para penenun. Bisnis keluarga industri kerajinan songket Palembang di Suro telah berhasil bertahan dan diteruskan secara turun-temurun, bahkan bisnis ini kini telah berkembang pesat hingga ke tingkat nasional dan internasional. Daerah Suro telah menjadi ikon dari pusat kerajinan songket Palembang. Perkembangannya telah berjalan dalam kurun waktu kurang lebih lima puluhan tahun. Sebagai bisnis keluarga orang pribumi Asia Tenggara, hal ini sungguh berbeda dengan pandangan yang menganggap bahwa orang pribumi Asia Tenggara cenderung tidak bisa melanggengkan bisnisnya dan tidak bisa mewariskannya turun-temurun. Industri songket di daerah Suro pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an belum seramai sekarang. Kala itu setidaknya hanya ada satu atau dua butik songket, salah satunya butik milik Cek Ipah. Namun saat ini butik-butik songket di daerah Suro benar-benar menjamur hanya dalam waktu sekitar dua dekade. Jumlahnya semakin bertambah hingga 23 butik. Padahal sebelum era 1990-an, daerah Suro belum banyak dikenal sebagai sentra industri songket Palembang di Indonesia. Keluarga Cek Ipah memiliki peran penting dalam perkembangan industri kerajinan songket Palembang. Bisnis songket keluarga Cek Ipah termasuk perintis tumbuh-kembangnya industri songket di Suro. Bisnis songket keluarga Cek Ipah terus bertahan dari generasi ibunya Cek Ipah, yakni Wak Ibo, hingga ke anak-cucunya.
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
Kini terdapat 14 unit usaha butik songket yang berdiri sendiri yang merupakan bagian dari dinasti songket keluarga Cek Ipah. Menariknya, keberlangsungan bisnis keluarga Cek Ipah itu tumbuh atas inisiatif berbisnis songket dari generasi-generasi di bawahnya. Mulai dari anak-anak, keponakan, hingga cucu-cucu Cek Ipah meneruskan tradisi dan bisnis songket tersebut. Hal unik yang ditemui dalam bisnis mereka yakni tidak ada kewajiban bagi generasi atas untuk mewariskan bisnis songket kepada generasi di bawahnya. Cek Ipah tidak pernah menekankan kepada anak-anaknya agar meneruskan bisnis tersebut. Begitu juga anak-anaknya, tidak ada kewajiban untuk menyerahkan tongkat estafet bisnis songket tersebut kepada keturunannya lagi. Namun kesadaran meneruskan bisnis tersebut muncul tanpa paksaan pada generasi bawah. Anak-cucu Cek Ipah berinisiatif untuk membangun bisnis songket milik mereka sendiri. Jadi tradisi songketnya diteruskan, keberlangsungan bisnisnya pun dipertahankan. Ada beberapa faktor utama yang membuat anak-cucu Cek Ipah meneruskan bisnis songket tersebut, yakni: •
Nama Cek Ipah sudah sangat dikenal baik sebagai pebisnis songket di masyarakat terutama di Palembang, maka anak-anaknya ingin meneruskan reputasi baik ibunya tersebut. Bagi mereka hal tersebut merupakan cerminan dari rasa sayang dan sikap berbakti kepada orang tua mereka.
•
Fungsi sosial keluarga Cek Ipah di masyarakat luas, terutama di daerah Suro. Peran sosial itu diwujudkan dalam prinsip kedermawanan yaitu memberdayakan ekonomi masyarakat Suro. Semakin banyak mereka membuka lapangan pekerjaan maka semakin baik status sosial mereka di masyarakat.
•
Kekhususan keluarga mereka dalam bisnis songket menjadi kebanggaan tersendiri dalam mewariskan tradisi songket sebagai warisan budaya Palembang. Songket dipandang sebagai suatu seni kerajinan yang tinggi.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, kesadaran untuk meneruskan bisnis songket muncul melalui internalisasi sejak masih kanak-kanak karena terbiasa membantu orang tua dalam bisnis songket. Sehingga anak memiliki inisiatif untuk mengikuti jejak orang tua mereka.
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
Pembahasan
Nilai-nilai yang dimainkan dalam relasi kekerabatan agar bersinergi dengan nilai-nilai dan strategi bisnis adalah nilai-nilai keluarga dalam bekerjasama,bersaing secara sehat, dan kesukarelaan untuk saling tolong-menolong. Kekerabatan sendiri memegang peranan penting dalam mempertahankan bisnis. Adanya nilai-nilai kekerabatan yang memiliki keteraturan moral dapat mencegah atau mengatasi kebuasan logika amoral dalam nilai-nilai bisnis. Selain itu, ada nilai-nilai keluarga yang menganggap bisnis dan tradisi budaya tersebut sebagai warisan “pusaka keluarga” yang harus dijaga kelestariannya secara turun-temurun. Nilai-nilai keluarga tersebut dipupuk melalui prinsip-prinsip kinship amity (keeratan kekerabatan)
yang
dikuatkan
melalui
kegiatan-kegiatan
ritual
keluarga
untuk
mempertahankan tali silaturahmi di dalam keluarga besar Cek Ipah. Rasa sukarela dalam meneruskan bisnis tersebut merupakan ekspresi dari aturan altruisme yang bersifat menentukan (rules of prescriptive altruism). Menurut Fortes (1969), perilaku seperti ini secara intrinsik terjadi pada hubungan di antara kerabat dekat. Oleh karena itu, kekerabatan memang menciptakan klaim moral dan kewajiban moral yang tidak terelakkan (Fortes, 1969: 242). Sesuai dengan pernyataan Bloch (1973: 77), bahwa kekerabatan merupakan tipe terbaik dari hubungan moral jangka panjang. Kerjasama dalam bisnis songket Palembang keluarga anak-anak Cek Ipah dimunculkan dalam sikap saling tolong menolong sesama saudara misalnya dalam hal berbagi keuntungan dagang, berbagi pelanggan, berbagi stok barang, berbagi hak istimewa terkait hak cipta motif songket, saling menolong ketika ada salah satu saudara yang kesulitan dalam bisnis, saling bekerjasama sesama saudara ketika sedang pameran, dan saudara yang bisnisnya telah sukses membantu membukakan kesempatan bagi saudara-saudaranya yang lain. Kenyataan tersebut sejalan dengan prinsip mutual helpfulness dalam kekerabatan. Bloch (1973: 76) menguraikan nilai normatif tersebut sebagai salah satu perilaku “berbagi tanpa memperhitungkan” (sharing without reckoning). Bahkan setelah sempat terjadi konflik akibat adanya persaingan yang tidak sehat dari salah satu saudara, akhirnya konflik tersebut teredam oleh adanya nilai-nilai keluarga. Ketika saudara yang lain berusaha mengingatkan saudaranya yang curang, menasehati agar tidak menjatuhkan saudara sendiri, pada akhirnya saudaranya tersebut meminta maaf dan tidak lagi
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
curang dalam bersaing bisnis dengan saudara-saudaranya. Nilai-nilai keluarga dan rasa persaudaraan tersebut menjadi kendali atas konlik. Adanya resiprositas yang berkelanjutan dari sikap saling tolong-menolong menciptakan saling ketergantungan di antara sesama saudara, sehingga dapat meredam konflik itu juga. Sehingga jelas bahwa keteraturan moral dari kekerabatan (kinship) dapat menjinakkan “kebuasan” logika amoral dari pasar (market), dalam kasus bisnis keluarga kerajinan songket di Palembang.
Kesimpulan
Dengan demikian, pendapat Hefner, Alexander, Hamilton, dan Li (1999) mengenai orang pribumi Asia Tenggara dalam hal keberlangsungan bisnis keluarga, berbeda kenyataan dengan kasus bisnis songket keluarga Cek Ipah. Bisnis keluarga orang-orang pribumi Asia Tenggara tampak disamaratakan oleh Hefner dkk (1999) dan selalu dibandingkan dengan bisnis keluarga kelompok keturunan Asia Timur. Menurutnya, keberlangsungan bisnis keluarga kelompok keturunan Asia Timur dapat bertahan melalui nilai-nilai konfusionisme dalam keluarga serta idealisme patriarki dan pewarisan ala patrilineal yang kental. Hefner dkk (1999) mengemukakan bahwa kendala dalam pewarisan bisnis orang Melayu Asia Tenggara adalah tidak adanya obligasi bagi orang tua untuk mewariskan bisnisnya kepada anakanaknya. Sehingga, masih menurutnya, bisnis tersebut cenderung tidak diteruskan oleh generasi berikutnya. Sedangkan dalam keluarga besar Cek Ipah, bisnis songket Palembang justru bertahan bahkan berkembang lebih pesat pada generasi-generasi selanjutnya. Padahal, sama seperti yang ditekankan oleh Hefner, tidak ada kewajiban bagi generasi sebelumnya untuk mewariskan bisnis tersebut ke keturunannya. Kenyataan di atas kemudian dikaitkan dengan nilai-nilai kekerabatan dalam bisnis keluarga. Ada nilai-nilai altruisme (prescriptive altruism) untuk meneruskan bisnis songket orang tua sebagai ekspresi dari sikap berbakti kepada orang tua. Adanya sikap mutual helpfulness (saling tolong menolong) di antara sesama kerabat, didasari oleh rasa sukarela (prescriptive altruism) sebagai keluarga sehingga menciptakan resiprositas yang bekelanjutan di antara mereka. Resiprositas yang berkelanjutan ini tampak pada hubungan saling ketergantungan di antara anak-cucu Cek Ipah dalam menjalankan bisnis songket mereka,
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
sehingga menguatkan kerjasama dalam bisnis mereka. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Fortes (1969) bahwa kekerabatan mempredikatkan axiom of amity (aksioma persahabatan) dimana altruisme preskriptif ditampilkan dalam etika kedermawanan. Kekerabatan mencerminkan moralitas masyarakat secara keseluruhan tampak pada keteraturan moral dalam kerjasama dan persaingan bisnis keluarga. Bahkan dalam hal persaingan, konflik dapat diredam melalui nilai-nilai kekeluargaan. Padahal menurut Hefner dkk (1999), bisnis keluarga pribumi Asia Tenggara cenderung berhenti karena adanya persaingan di antara sesama kerabat. Namun yang terjadi pada bisnis keluarga songket Palembang ini adalah persaingan semacam itu tetap tidak dapat mengalahkan nilai-nilai keluarga dan moralitas di dalamnya yang sedemikian kuat.
Saran
Pendapat bahwa hanya orang-orang keturunan Asia Timur yang dapat berwatak wirausaha dibandingkan dengan penduduk pribumi Asia Tenggara, belum sepenuhnya benar. Serta pendapat bahwa bisnis keluarga pribumi Asia Tenggara tidak dapat bertahan secara turuntemurun seperti bisnis keluarga keturunan Asia Timur, juga tidak dapat disamaratakan. Melihat fakta di Indonesia, ada kelompok-kelompok pribumi yang berwatak wirausaha serta ada bisnis keluarga pribumi yang dapat terus berlangsung dan diwariskan secara turuntemurun. Selanjutnya pendapat bahwa kelompok pribumi Asia Tenggara jarang memiliki pemikiran mengenai nilai-nilai “warisan keluarga”, tidak seperti kelompok keturunan Asia Timur, juga memiliki pengecualian. Kenyataannya, bisnis keluarga kerajinan songket di Palembang justru memiliki nilai-nilai “warisan keluarga” yang membuat bisnis tersebut bertahan dari generasi ke generasi. Dapat disimpulkan bahwa bisnis keluarga pribumi Asia Tenggara yang memiliki kecenderungan untuk dapat bertahan dan diteruskan secara turuntemurun adalah bisnis yang berkaitan warisan budaya tradisi. Selama tradisi tersebut masih berfungsi dan dibutuhkan di masyarakat, maka bisnis tersebut akan tetap dapat bertahan. Menengarai hal ini, dapat kita lihat bahwa keberlangsungan sebuah bisnis keluarga pribumi di Asia Tenggara seringkali sejalan dengan adanya tradisi budaya yang bertahan pada
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
masyarakat tersebut. Bercermin pada kenyataan tersebut, Indonesia memiliki kompleksitas budaya masyarakatnya sendiri yang tidak bisa disamaratakan dengan masyarakat Asia Tenggara lainnya.
Referensi Alexander, Jennifer. (1999). “Wanita Pengusaha di Pasar-pasar Jawa: Etnisitas, Gender, dan Semangat Kewirausahaan”, dalam Robert Hefner, Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: LP3ES. Hlm. 285-314. Bender, Donald R. (1967). “A Refinement of the Concept of Household: Families, Co-Residence, and Domestic Functions”, dalam American Anthropologist, 69: 493-504. Bloch, Maurice. (1973). “The Long Term and The Short Term: The Economic and Political Significance of the Morality of Kinship”, dalam J. Goody (Ed.), The Character of Kinship. London: Cambridge University Press. Hlm. 75-87. Carsten, Janet. (1989). “Cooking Money: Gender and The Symbolic Transformation of Means of Exchange in a Malay Fishing Community”, dalam Jonathan Parry dan Maurice Bloch, eds., Money and the Morality of Exchange. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm. 117-141. Creswell, John W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. de Lima, Antonia Pedroso. (2000). “Is blood thicker than economic interest in familial enterprises?”, dalam P.P. Schweitzer (ed.), Dividens of Kinship: Meanings and Uses of Social Relatedness. London: Routledge. Hlm. 151176. Emerson, R. M., R. I. Fretz, dan L. L. Shaw. (1995). Writing Ethnographic Fieldnotes. Chicago: The University of Chicago Press. Fortes, Meyer. (1969). “Kinship and the Axiom of Amity”, dalam Meyer Fortes, Kinship and the Social Order. Chicago: Aldine. Hlm. 219-249 Freeman, Derek. (1973). “Kinship, Attachment, and the Primary Bond”, dalam J. Goody (Ed.), The Character of Kinship. London: Cambridge University Press. Hlm. 109-119. Hamilton, Gary H. (1999). “Budaya dan Organisasi dalam Ekonomi Pasar di Taiwan”, dalam Robert Hefner, Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: LP3ES. Hlm. 57-108. Hefner, Robert W. (1999). LP3ES.
Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta:
Keesing, Roger M. (1975). Kin Groups and Social Structure. New York: Holt, Rinehart and Winston. Li, Tania Murray. (1999). “Membangun Budaya Kapitalis: Problem Melayu Singapura: dan Mempertimbangkan Kembali Kewirausahaan”, dalam Robert Hefner, Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: LP3ES. Hlm. 204-241.
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.
Mackie, Jamie. (1999). “Keberhasilan Bisnis di Kalangan Orang Cina Asia Tenggara: Peranan Budaya, Nilainilai dan Struktur Sosial”, dalam Robert Hefner, Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: LP3ES. Hlm. 179-203. Malinowski, Bronislaw. (1951). Crime and Custom in Savage Society. London: Routledge and Kegan Paul. McKinley, Robert. (1975). “A Knife Cutting Water: Child Transfers and Siblingship Among Urban Malays”, disertasi Ph.D., Department of Anthropology, University of Michigan. Peletz, Michael G. (1999). “Transformasi Besar di Kalangan Orang Melayu: Negeri Sembilan, dengan Referensi Khusus pada Orang Cina dan Minangkabau”, dalam Robert Hefner, Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: LP3ES. Hlm. 242-282. Peredo, Ana Maria. (2003). “Nothing Thicker that Blood? Commentary on ‘Help One Another, Use One Another: Toward an Anthropology of Family Business’”, dalam Entrepreneurship Theory and Practice, Vol. 27, hal. 397-400, Juni 2003. Polanyi, Karl. (1957). The Great Transformation: The Political of Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press. Sahlins, Marshall. (1972). Stone Age Economics. Chicago: Aldine. Sharma, Pramodita. (2004). “An overview of the field of family business studies: Current status and directions for future”, dalam Family Business Review. SAGE Publishers. 17(1):1-36. Stewart, Alex. (2003). “Help One Another, Use One Another: Toward an Anthropology of Family Business”, dalam Entrepreneurship Theory and Practice 27(2003):383-396.
Melok jejak..., Shabrina, FISIP UI, 2013.