YUHENI HASARIAH SIREGAR 1
MEKANISME PENGGUNAAN SEBAGIAN HAK PENGELOLAAN (HPL) BANDARA KUALA NAMU OLEH PIHAK KETIGA YUHENI HASARIAH SIREGAR ABSTRACT Right of Management is the Right of Use given by a nation which the implementation authority is delegated partially to the rights holder. The authority includes the right to use the land for the sake of a business and the authority of handover parts of the land to a third party. The need of land in order to increase a business activity is getting higher. Therefore, a right is needed to give high authority to the right holder to plan the allocation and use of land in question of his business growth. Legal guarantee is covering status, subject and object of right of management. The guarantee of legal protection covers the security of rights holders to use the land without geting any interference or claim from other parties. This research aimed to know the implementation of the release of right of use space which was Kuala Namu International Airport’s right of management to the third party by PT. ANGKASA PURA II. This research used descriptive analytical method with juridical approach by collecting the data related to the problems in PT. ANGKASA PURA II.
Keywords: Right of Management, Mechanism, Third Party I. Pendahuluan Hukum Agraria atau Hukum Pertanahan yang berlaku sekarang ini konsepsi asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokoknya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan “Undang-Undang Pokok Agraria”, disingkat “UUPA”, Hukum Tanah Nasional kita terdiri atas suatu rangkaian peraturan-peraturan perundang-undangan, yang dibuat oleh Penguasa dilengkapi dengan ketentuanketentuan Hukum adat setempat, mengenai hal-hal yang belum mendapat pengaturan dalam hukum yang tertulis. Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan “Hukum Tanah”, dibatasi pada hukum yang tertulis, yaitu yang tertuang dalam peraturan-peraturan perundang-undangan.1 1
Brahmana adhie dan Hasan Basri Nata Menggala, Reformasi Pertanahan, (Bandung: Mandar Maju, 2002).
YUHENI HASARIAH SIREGAR 2
Hukum agraria adalah hukum yang mempelajari seluk-beluk pertanahan, mulai dari kepemilikan, jenis hak atas tanah serta orang ataupun badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah tersebut. Hak-hak atas tanah diatur di dalam pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria, dimana salah satu hak atas tanah tersebut terdapat suatu hak atas tanah yang dinamakan hak pengelolaan, mengenai hak pengelolaan banyak pengertian serta kontroversial atas jenis hak ini. Sekalipun para ahli banyak yang menyangsikan bahwa Hak Pengelolaan bukanlah hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 UUPA (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Guna Usaha, dan lain-lain) atau hakhak Keperdataan atas tanah. Namum Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah telah mengkontruksikan HPL adalah administrasi tanah. HPL merupakan salah satu wujud nyata bahwa hukum pertanahan adalah bagian hukum administratif. 2 Pengertian Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya dan bagian-bagian dari Hak Pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak ketiga dengan hak-hak tertentu, Jadi dalam konteks Agraria Hak pengelolaan ini termasuk hak atas tanah, yakni Hak Menguasai Negara yang dikonkritkan. Konkrit subjeknya dalam arti jelas siapa yang dapat diberikan oleh hukum sebagai pemegangnya, baik objektifnya, artinya kewenangan untuk menggunakan HPL ini telah ditentukan. Maka dengan demikian HPL sebagai gampilan HMN ini jelas sebagai hak atas tanah yang sudah konkrit diberikan kepada subjeknya untuk keperluan subjek dengan segala kewajiban dan kewenangannya.3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria di Indonesia tidak mengatur mengenai hak Pengelolaan. Meskipun demikian, UUPA 2
Utrecht mengatakan, Hukum Agraria (Hukum Tanah) adalah menjadi bagian Hukum Administrasi Negara, yang mengkaji hubungan hukum, terutama yang memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal agrarian, penting sekali hak-hak yang bersifat agraris diurus secara baik. Dikutip dari Ali Achamd Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 1, (Jakarta: Pustakarya, 2003), hlm. 1. 3 Muhammad Yamin Lubis, Kepemilikan Properti Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2013), hlm. 23.
YUHENI HASARIAH SIREGAR 3
telah mengandung cikal bakal hak pengelolaan yang dapat kita temukan dalam penjelasan Umum angka II: “Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, Misalnya hak milik, hak guna usaha hak guna bangunan atau hak hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa
(Departemen
Jawatan
atau
Daerah
Swatantra)
untuk
dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing”. Peraturan Menteri Agraria Nomor: 9 Tahun 1965 mengatur mengenai konversi hak penguasaan atas tanah Negara sebagai berikut: 1. Hak Penguasaan atas tanah Negara yang diberikan kepada departemendepartemen, direktorat-direktorat dan daerah-daerah swantantra yang hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri dkonversi menjadi hak pakai. 2. Apabila tanah Negara yang diberikan kepada departemen-departemen, direktorat-direktorat dan daerah-daerah swatantra tersebut dipergunakan untuk kepentingan Instansi itu sendiri juga dimaksudkan untuk dapat diberikan kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut dikonversikan menjadi hak pengelolaan. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya, pengertian tersebut dipandang belum lengkap. Menurut pasal 67 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Nomor: 9 Tahun 1999 menyatakan hak pengelolaan dapat diberikan kepada: 1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah; 2. Badan Usaha Milik Negara; 3. Badan Usaha Milik Daerah; 4. PT Persero; 5. Badan Otorita; 6. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
YUHENI HASARIAH SIREGAR 4
Arie S. Hutagalung menyatakan bahwa “perusahaan yang berstatus badan hukum Indonesia dapat menguasai tanah sesuai dengan peruntukkannya dengan hak, antara lain Hak Pengelolaan khusus untuk Badan Usaha Milik Negara yang sahamnya 100 % dimilik Negara yang penguasaan tanahnya tidak terbatas pada penggunaan untuk keperluan sendiri, akan tetapi dimaksudkan untuk menyerahkan tanah kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang Hak Pengelolaan, meliputi segi-segi penggunaan jangka waktu dan keuangan “.4 Hak Pengelolaan sebagai jenis hak penguasaan atas tanah lahir tidak didasarkan pada undang-undang, melainkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor: 9 Tahun 1965. Hak Penguasaan lahir dari konversi hak penguasaan atas tanah Negara. Hak Pengelolaan dapat dikuasai oleh departemendepartemen, direktorat-direktorat, dan daerah-daerah swantantra, Meskipun hak pengelolaan diatur dengan Peraturan Menteri Agraria, namun hak pengelolaan mempunyai kekuatan mengikat, baik bagi pemegang hak pengelolaan maupun pihak lain yang menggunakan bagian-bagian tanah hak pengelolaan.5 Jaminan kepastian hukum meliputi kepastian status hak pengelolaan, subjek hak pengelolaan dan objek hak pengelolaan. Jaminan perlindungan hukum bagi pemegang hak pengelolaan yaitu pemegang hak pengelolaan mendapatkan rasa aman menguasai tanah hak pengelolaan, tidak mendapatkan gangguan atau gugatan dari pihak lain. Perlindungan hukum didapatkan pemegang hak pengelolaan sepanjang tidak ada cacat yuridis, yaitu cacat prosedur, cacat wewenang, atau cacat substansi dalam penerbitan hak pengelolaan. Penerbitan sertifikat hak pengelolaan mengakibatkan pemegangnya mempunyai wewenang yang bersifat eksternal, yaitu menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Menurut Yudhi S dan Boedi D.H. wewenang diartikan sebagai satu hak 4
Arie S Hutagalung, “Kebijakan Pertanahan Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke 38 No. 3, (2008). 5 Urip Santoso “Pengaturan Hak Pengelolaan”, Jurnal Media Hukum, Volume 15, No. 1, (2008).
YUHENI HASARIAH SIREGAR 5
untuk bertindak atau suatu kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.6 Bandara Kuala Namu yang dikelola oleh PT. Angkasa Pura II Medan adalah salah satu contoh hak pengelolaan yang diberikan negara kepada Badan Usaha milik Negara yaitu PT. Angkasa Pura II. Tanggung jawab Perseroan Negara tersebut selaku pemegang hak atas tanah berupa hak pengelolaan haruslah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Selaku pemegang hak pengelolaan yang diberikan negara, PT. Angkasa Pura mempunyai tanggung jawab besar atas hak pengelolaan tersebut, tanggung jawab tersebut meliputi penggunaan sebagaimana dasar diberikannya hak pengelolaan pada PT. Angkasa Pura II, selain tanggung jawab dasar tersebut, ada juga tanggung jawab dari PT. Angkasa Pura II atas tanah hak pengelolaan yang diberikan negara kepada perseroan tersebut. Tanggung jawab di luar tanggung jawab dasar yang dimiliki oleh PT. Angkasa Pura II tersebut berupa, menjalankan fungsi pengaturan pemberian hak atas tanah berupa hak sewa, hak pakai dan hak guna bangunan diatas tanah hak pengelolaan itu. Pemberian hak sewa, hak pakai, dan hak guna bangunan sebagaimana diatas diberikan kepada pihak ketiga (pihak swasta) yang berkeinginan untuk membuka usaha, adapun usaha-usaha tersebut seperti usaha penjualan sovenir, usaha penjualan makanan-makanan, dan usaha pelayanan lainnya yang dapat bermanfaat bagi para penumpang pengguna alat transportasi udara yang ada di Bandara Kuala Namu. Hak atas tanah yang diperoleh oleh pihak ketiga dari penyerahan bagianbagian tanah Hak pengelolaan adalah hak guna bangunan, hak pakai dan hak milik diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 1 Tuhan 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyerahan Pemberian Hak Atas Bagianbagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya, yang menetapkan bahwa bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang diberikan kepada pemegang haknya dapat diserahkan kepada pihak ketiga dan diusulkan kepada Menteri Dalam 6
Yudhi Setiawan dan Boedi Djatmiko, “Pembatalan sertipikat Hak Atas Tanah Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Dengan Alasan Cacat Yuridis Dalam Aspek Wewenang”, Jurnal Era Hukum, No.3 Tahun 15, Mei 2008, Jakarta.
YUHENI HASARIAH SIREGAR 6
Negeri atau Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1977 hanya mengatur bahwa hubungan hukum antara pemegang hak pengelolaan dengan pihak ketiga berkaitan dengan penyerahan penggunaan tanah hak Pengelolaan dibuat dengan perjanjian secara tertulis. Dari kajian teori serta keadaan nyata adanya pihak ketiga (pihak swasta) yang menggunakan tempat dagang diatas tanah pengelolaan yang dimiliki oleh Bandara Kuala Namu, yang mana tempat dagang yang dimiliki oleh pihak ketiga tersebut, merupakan hak atas tanah berupa hak pakai dan atau hak guna bangunan yang berdiri diatas tanah hak pengelolaan yang dimiliki oleh PT. Angkasa Pura II. Perlu untuk diketahui mekanisme atau prosesnya jangan sampai terdapat penyalah gunaan kewenangan di dalam pengalihan hak pengelolaan sebagaimana terjadi atas tanah hak pengelolaan milik pemerintah tebing tinggi yang diberikan kepada pengusaha Ramayana Depatemen Store, dimana Hak pengelolaan tersebut diberikan keseluruhan menjadi milik Ramayana Departemen Store, hal ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang berlaku, yang mengatur, bahwasanya hak pengelolaan tersebut dapat diberikan maksimum sepertiga dari total keseluruhan hak pengelolaan yang dimiliki oleh pemegang hak pengelolaan dalam hal ini badan atau instansi yang berkaitan dengan negara yang diberikan kewenangan untuk mengelolahnya. Oleh karena itu perlu sebuah riset untuk mengetahui ada atau tidak ada pelanggaran atas pengusaan hak pengelolaan tanah Bandara Kuala Namu Internasional dalam pemberian bagian atas tanah hak pengelolaan tersebut, atau dengan kata lain penelitian ini berusaha untuk membuka fakta mengenai telah sesuai tidak antara praktek peralihan yang terjadi berdasarkan fakta-fakta yang ada dilapangan dengan aturan-aturan hukum pertanahan serta teori-teori di dalam hukum agraria di Indonesia. Proses kajian ini dianggap perlu, karena didasari oleh keberadaan Bandara Kuala Namu yang baru beroperasi dan proses-proses
YUHENI HASARIAH SIREGAR 7
pemberian hak kepada pihak ketiga dari PT. Angkasa Pura II tersebut, juga baru terjadi dan akan terjadi sejalan dengan beroperasinya Bandara Kuala Namu tersebut. Apabila antara kenyataan atau realita pemberian hak atas Pengelolaan Bandara Kuala Namu yang diberikan kepada pihak ketiga menyalahi aturan, maka keadaan ini dapat dibatalkan menurut hukum. Perumusan Masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana bentuk hubungan hukum antara PT. ANGKASA PURA II dengan pihak ketiga yang menggunakan bagian atas ruang Bandara Kuala Namu serta lahan tanah yang dimiliki bandara tersebut yang merupakan hak pengelolaan bandara ? 2. Bagaimana pelaksanaan pemberian penggunaan atau pemanfaatan ruang yang merupakan hak pengelolaan (HPL) Bandara Kuala Namu kepada pihak ketiga oleh PT. ANGKASA PURA II ? 3. Bagaimana langkah hukum yang perlu dilakukan PT. ANGKASA PURA II di dalam pemberian bagian hak pengelolaan atas tanah Bandara Kuala Namu terhadap pihak ketiga, untuk menciptakan kepastian hukum, atas distribusi tanah diatas hak pengelolaan tersebut? Sesuai dengan perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini ialah: 1. Untuk mengetahui bentuk hubungan hukum antara PT. ANGKASA PURA II dengan pihak ketiga yang menggunakan bagian atas ruang Bandara Kuala Namu serta lahan tanah yang dimiliki bandara tersebut yang merupakan hak pengelolaan bandara. 2.Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian penggunaan atau pemanfaatan ruang yang merupakan hak pengelolaan (HPL) Bandara Kuala Namu kepada pihak ketiga oleh PT. ANGKASA PURA II. 3. Untuk mengetahui aturan hukum yang mengatur serta langkah hukum yang perlu dilakukan PT. ANGKASA PURA II di dalam pemberian bagian hak pengelolaan atas tanah Bandara Kuala Namu terhadap pihak
YUHENI HASARIAH SIREGAR 8
ketiga, untuk menciptakan kepastian hukum, atas distribusi tanah diatas hak pengelolaan tersebut II. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari: Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari: 1). PMDN No: 1 Tahun 1977 tentang Tata cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian -Bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya 2). PP No: 8 Tahun 1985 Pengusaan Tanah-tanah Negara 3). PMDN No: 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen dan buku-buku yang berkaitan dengan pertanahan secara umum dan buku-buku yang berkaitan dengan Hak Pengelolaan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan : metode penelitian kepustakaan (Library Research). Untuk lebih mengembangkan data penelitian ini, dilakukan Analisi secara langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman analisis yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.
III. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hubungan antara PT. Angkasa Pura II dengan pihak ketiga yang menggunakan bagian atas ruang Bandara Kuala Namu serta lahan tanah yang dimiliki Bandara dengan menggunakan hubungan kerjasama sewa-menyewa ruangan dan konsensi usaha, konsensi ini tertuang di dalam nota kesepakatan perjanjian usaha yang diistilahkan pihak PT. Angkasa Pura II dengan Head Of Agreement. Bahwa perjanjian yang dibuat antara PT. Angkasa Pura II yang dalam hal ini diwakili oleh General Manager PT. Angkasa Pura II Bandara Kuala Namu
YUHENI HASARIAH SIREGAR 9
yaitu Bapak Jaya Tahoma Sirait sedangkan pihak ketiga tersebut diwakili oleh pemilik atau owner dari usaha yang membuka usaha dengan memanfaatkan ruang dan lahan milik Bandara Kuala Namu.7 Head Of Agreement adalah bentuk perjanjian tertinggi dari perjanjian konsensi usaha antara PT. Angkasa Pura II dengan pihak ketiga selaku penyewa ruang bangunan bandara atau lahan tanah Bandara Kuala Namu yang dapat digunakan sebagai tempat usaha. Head Of Agreement selaku perjanjian tertinggi juga diikuti beberapa dokumen-dokumen pendukung dari perjanjian Head Of Agreement tersebut, sebagaimana disebutkan dalam format baku Head Of Agreement yang dituangkan dalam Pasal 6 Head Of Agreement yang berbunyi sebagai berikut: Ayat (1): Dokumen-dokumen berikut merupakan satu-kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian, oleh karenanya mempunyai kekuatan hukum yang sama dan mengikat dalam perjanjian ini: a. Head Of Agreement; b. Syarat-syarat umum kontrak; c. Surat Persetujuan/Izin Prinsip dari PT AP II; d. Berita acara (antara lain: Berita Acara kesepakatan, Berita Acara Operasional, Berita Acara Serah Terima Kunci). Ayat (2): Dokumen perjanjian sebagaimana tersebut pada ayat (1) dibuat untuk saling menjelaskan satu sama lain, dan jika terjadi pertentangan antara ketentuan dalam suatu dokumen dengan ketentuan dalam dokumen yang lain, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam dokumen yang lebih tinggi berdasarkan urutan hirakri diatas.
7
Sumber dari format baku Head Of Agreement
YUHENI HASARIAH SIREGAR 10
Masing-masing dari dokumen tersebut dapat diuraikan maksud dan keberadaan masing-masing dari dokumen penunjang dari Head Of Agreement yang merupakan perjanjian tertingi sekaligus pokok kesepakatan dari hubungan antara PT. Angkasa Pura II dengan pihak ketiga yang memanfaatkan ruang bangunan dan lahan tanah yang dimiliki Bandara Kuala Namu. Syarat-syarat
umum
Perjanjian
Kerjasama
Pemanfaatan
fasilitas
Komersial adalah dokumen ini, yang telah disetujui, disepakati dan ditandatangani di atas meterai oleh mitra usaha8, serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan Head Of Agreement.9dalam syarat-syarat umum kontrak ini mengatur secara detail ketentuan-ketentuan umum perjanjian hubungan pemanfaat ruang bangunan dan lahan tanah atau dengan kata lain fasilitas komersil Bandara Kuala Namu. Selain syarat-syarat umum kontrak, maka yang ketiga adalah surat persetujuan izin prinsip pada pihak ketiga (mitra usaha)10. Izin prinsip ini dikeluarkan pihak PT. Angkasa Pura II melalui permohonan mitra usahanya tersebut. Mekanisme persetujuan izin prinsip dilakukan berdasarkan aturan khusus yang dibuat sendiri oleh PT. Angkasa Pura II Bandara Kuala Namu. Izin prinsip ini sesuai dengan format baku yang terdapat di dalam isi perjanjian Head Of Agreement, selain ketiga bentuk dokumen yang telah disebutkan diatas, maka berita acara kesepakatan, berita acara operasional, dan berita acara serah terima kunci bagi sewa ruang bangunan usaha yang ada di Bandara Kuala Namu. Berita acara tersebut, juga memang secara hukum merupakan bukti-bukti yang dapat mendukung adanya kesepakatan konsensi usaha yang dimaksud dalam sewa-
8
Yang dimaksud dengan mitra usaha adalah perorangan, Badan Hukum Indonesia, Badan Usaha Asing, Intansi Pemerintah, atau pihak yang melakukan kegiatan usaha dengan memanfaatkan fasilitas komersial milik PT. AP II, baik yang berlokasi di dalam dan/atau luar kawasan Bandar udara yang dikelola oleh PT. AP II, dengan suatu ikatan kerjasama yang dituangkan dalam perjanjian. Sumber bagian pengertian 1.6 pada Syarat-syarat umum Perjanjian Kerjasama Pemanfaatan Fasilitas komersial di Lingkungan PT. Angkasa Pura II (Persero) 9 Terdapat dalam ketentuan umum (pengertian) 1.2 Syarat-Syarat Umum Kontrak. 10 Mitra usaha ini dapat perorangan ataupun badan hukum Indonesia, maupun Badan Hukum Asing.
YUHENI HASARIAH SIREGAR 11
menyewa bagian komersial baik ruang dari gedung bandara dan lahan tanah yang dimiliki oleh Bandara Kuala Namu. “PT Angkasa Pura II merupakan Badan Usaha Milik Negara yang diberi wewenang untuk melaksanakan penyelenggaraan, pengelolaan, pengusahaan dan pengembangan sebagian Bandara udara di Indonesia”. Head Of Agreement yang merupakan perjanjian atau pengikat antara Manajemen PT. Angkasa Pura II dengan Pihak Ketiga atau pihak yang memanfaatkan serta menggunakan sebagian bangunan serta tanah yang Bandara Internasional Kuala Namu, adalah bentuk perjanjian yang formatnya sudah baku yang ditentukan dan ditetapkan atau dibuat oleh Manejemen PT. Angkasa Pura II Bandara Internasional Kuala Namu, bahwa format tersebut tidak berubah dan bila dilihat cendrung ketentuan sepihak dari pihak PT. Angkasa Pura II Bandara Internasional Kuala Namu. Apabila merupakan ketentuan sepihak dan tanpa mempertimbangkan masukan pihak ketiga selaku pihak yang mengikat diri dalam perjanjian tersebut sebagai wujud asas kebebasan berkontrak yang merupakan asas yang terdapat di dalam perjanjian, sudah pasti perjanjian tersebut adalah perjanjian baku atau standar kontrak. Sebagaimana pengertian perjanjian baku, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah konsep janji-janji tertulis. Disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu. Perjanjian baku juga merupakan perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.11 Pasal 1313 KUH Perdata: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
11
Komisi Nasional Lembaga Konsumen Dan Pengusaha Indonesia, Memahami Perjanjian Baku dan Menghindari Jerat Klausula Baku, http://komnaslkpipusat.blogspot.com/2013/06/memahami-perjanjian-baku.html, diakses pada tanggal 04 Agustus 2015 Pukul 23. 20.
YUHENI HASARIAH SIREGAR 12
Perjanjian baku mengandung sifat yang banyak menimbulkan kerugian terhadap konsumen. Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:12 1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. 2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah. 3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat. Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract model. Walaupun belum dilakukan penelitian secara pasti, saat ini sebagian besar perjanjian dalam dunia bisnis berbentuk perjanjian baku/perjanjian standar. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang isinya telah diformulasikan oleh suatu pihak dalam bentuk-bentuk formulir. Perjanjian baku di dalam penggunaannya sering menimbulkan kecendrung merugikan salah satu pihak yang tidak bebas menuangkan kehendaknya atau dalam biasanya dikatakan konsumen. Sebab terdapat klausula pengurangan atau penghapusan tanggungjawab terhadap akibat hukum. Kemudian pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri. Kemudian penciptaan kewajiban yang kemudian dibebankan kepada konsumen. Berorientasi dengan uraian teori diatas, maka Head Of Agreement yang dikeluarkan oleh manejemen PT. Angkasa Pura II terhadap Pihak ketiga yang terikat perjanjian dengannya sebagai perwujudan perjanjian penggunaan, 12
Ibid
YUHENI HASARIAH SIREGAR 13
pemanfaatan bangunan dan lahan tanah Bandara Internasional Kuala Namu, adalah perjanjian klausula baku, yang mengabaikan asas kebebasan berkontak dan cendrung dapat atau memungkinkan kerugian bagi pihak ketiga yang terikat perjanjian dengan manejemen PT. Angkasa Pura II dalam penggunaan dan pemanfaatan bangunan dan lahan tanah Bandara Internasional Kuala Namu. Klasula baku dalam perjanjian pemanfatan bangunan dan lahan tanah Bandara Internasional Kuala Namu
seharusnya dihindari, karena senyatanya
klausula baku tersebut bertentangan dengan hukum dan asas kebebasan berkontrak, dikarenakan sebuah kontrak haruslah dibuat dengan sebuah keseimbangan kehendak antara para pihak yang terikat perjanjian serta adanya kesepakatan antara para pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut.
IV. Kesimpulan Dan Saran A. Kesimpulan 1. Bentuk hubungan hukum antara PT. Angkasa Pura II dengan Pihak Ketiga dan Mitra Usaha adalah sewa menyewa ruangan dan konsesi usaha yang dibuat dengan menggunakan perjanjian baku, yang dibuat dibawah tangan, bermaterai cukup dan ditandatangani oleh para pihak. 2. Pelaksanaan pemberian atau pemanfaatan ruang bangunan dan lahan tanah milik Bandara Kuala Namu hanya diikat dengan mendatangani perjanjian baku yang dibuat antara PT. Angkasa Pura II dengan Pihak Ketiga atau yang disebut juga dengan Mitra Usaha sebagaimana terlampir, sehingga kedudukan yang tidak seimbang antara para pihak didalam perjanjian, memberikan peluang kepada PT.Angkasa Pura II yang kedudukannya lebih kuat untuk menentukan klasula-klasula tertentu dalam perjanjian. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban pada para pihak dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. 3. Langkah hukum yang perlu dilakukan PT.ANGKASA PURA II didalam pemberian bagian Hak Pengelolaan atas tanah bandara Kuala Namu terhadap pihak ketiga ialah apabila terjadi perselisihan pendapat (Persengketaan) dalam perjanjian sewa menyewa dan konsesi usaha tersebut diselesaikan secara
YUHENI HASARIAH SIREGAR 14
musyawarah dan mufakat antara kedua belah pihak dan apabila perselisihan pendapat (persengketaan) tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, kedua belah pihak menyelesaikan perselisihan di pengadilan Negeri tempat bandara berada.
B. Saran 1. Perjanjian baku meskipun banyak mengalihkan beban atau kewajibakewajiban tertentu dari pihak yang merancang perjanjian baku kepada pihak penyewa namun sangat dibutuhkan dalam dunia perdagangan sekarang ini untuk mempersingkat waktu negoisasi, maka disarankan melarang dan membatasi penggunaaan klasul-klasul tertentu didalam perjanjian baku. 2. Sebaiknya perjanjian sewa menyewa ruangan bandara udara tersebut dilakukan dalam bentuk akta otentik agar dapat lebih menjamin kepastian hukum jika timbul permasalahan di kemudian hari. Apabila perjanjian dilakukan dengan menggunakan perjanjian baku, klausul-klausul tertentu yang terdapat dalam perjanjian baku tersebut seharusnya dilarang atau dibatasi penggunaannya, agar kedudukan para pihak seimbang di dalam memenuhi hak dan kewajibannya. 3. Disarankan agar para pihak saling mematuhi isi dari perjanjian yang telah disepakati agar tidak bersentuhan dengan konflik akan tetapi apabila terjadi konflik lebih baik diselesaikan secara musyawarah dan mufakat antara kedua belah pihak untuk menghemat waktu dan biaya persidangan di Pengadilan.
V. DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Abdulkadir, Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. Cetakan-1. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004. Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk, 2002. Ansahri Siregar, Tampil. Undang-undang Pokok Agraria dalam Bagan, cetakan ketiga Medan: USU Press, 2004.
YUHENI HASARIAH SIREGAR 15
, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence), Jakarta: Pernada Media Group, 2014. Dalimunte, Chadidjah. Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah, Medan: Penerbit Yayasan Pencerahan Mandailing, 2008. Brahmana Adhie, Hasan Basri Nata Menggala. Reformasi Pertanahan. Bandung: Mandar Maju. 2002. Chomzah. Ali Achmad, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia). Jilid 1. Jakarta: Pustakarya, 2004. E. Utrecht dan Mohammad Saleh Djindang, Pengatar Dalam Hukum Indonesia, cetakan kesebelas, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983. Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1999.2003. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, PT Djambatan, 1999. , Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasinal Edisi 2007, Jakarta: Djembatan, 2007. Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994. Harmanto, Gatot. 1700 Bank Soal Bimbingan Pemantapan Geografi. Bandung : Yrama Widya, 2007. HR.Otje Salman dan Anton F.Susanto, Teori Hukum, Refika aditama, Bandung, 2005. J.J.J. M. Wuisman dan M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, FEUI, Jakarta, 1996, hal 203. Junun, Sartohadi. Indah Sari Dewi, Nur, Jamulya. Pengantara Geografi Tanah. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Johan Nasution, Bahder. Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008.
YUHENI HASARIAH SIREGAR 16
Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan Raisul Muttaqien, Jakarta: Nusamedia dan Nuansa, 2007. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda, 2007. M. Solly . Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung: CV. Mandar Maju. 1994. Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2010. Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum, Cetakan-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004. Perangin, Effendi. Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Cetakan kedua Jakarta: Rajawali Press, 1991. Soekanto, Soerjono. Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif , Suatu Tinjauan Singkat. Edisi-I. Cetakan 7. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003. , Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986. Sugiono. Metode Penelitian administrasi, Alfa Beta, Bandung, 1983. Sumardjono, Maria S. W. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Kompas, Jakarta, 2007. , Hak Pengelolaan: Perkembangan, Regulasi, dan Implementasinya, Jurnal Mimbar Hukum, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2007. , Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008. Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) 2012. Suryabarata, Sumadi Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994 Yamin Lubis, Muhammad dan Abdul Rahim Lubis. Kepemilikan Properti Di Indonesia, Bandung: Mandar Maju. 2013.
YUHENI HASARIAH SIREGAR 17
Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung: CV. Mandar Maju, 2008. Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006. Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2011. Zainal Asikin, Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2004. Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengatar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2013. B. Makalah/Jurnal Hukum Arie S Hutagalung, “Kebijakan Pertanahan Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke 38 No.3, Juli-September 2008, Jakarta. Urip Santoso “Pengaturan Hak Pengelolaan”, Jurnal Media Hukum, Vol.15 No.1, Juni 2008, Yogyakarta. Yudhi Setiawan dan Boedi Djatmiko, “Pembatalan sertipikat Hak Atas Tanah Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Dengan Alasan Cacat Yuridis Dalam Aspek Wewenang”, Jurnal Era Hukum, No.3 Tahun 15, Mei 2008, Jakarta. C. Internet Pertanahan Indonesia, http://www.bukupertanahan.blogspot.com/, dipostkan pada tanggal 05 agustus 2012, dan diakses pada tanggal 17 Juni 2015 Pengertian Ruang, http://sporttobe.blogspot.com/2010/06/pengertian-ruang.html, diakses pada tanggal 17 Juni 2015. Hak-Hak atas tanah menurut UUPA dan PP. NO.40/1996, http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-danpp.htm, diakses pada tanggal 18 Juni 2015 (http://pengertian-definisi.blogspot.com/2011/11/definisi-dan-pengertiantanah.html) Bandara Kuala https://id.wikipedia.org/wiki/Bandar_Udara_Internasional_Kualanamu pada tanggal 17 Juni 2015.
Namu, diakes
YUHENI HASARIAH SIREGAR 18