BAB III
MEKANISME PEMERINTAHAN KHULAFA AR-RASYIDIN
A. Negara Madinah Pada Masa Pemerintahan Abu Bakar (11-13 H/632 634 M) Abu Bakar Siddiq adalah salah satu shahabat rasul yang paling setia mendampingi rasul. Seperti yang dikutip oleh Hasan Ibrahim Hasan dari Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah ia memiliki nama lengkap Abdullah bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Amru bin Sa'd bin Taim bin Murrah At-Taimy.1 Ia telah berbagi suka duka bersama rasul dalam merasakan derita pahitnya hidup termasuk dalam menikmati manisnya kemenangan dan keberuntungan.2 Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi wafat dan sebelum jenazah beliau dimakamkan. Itulah antara lain yang menyebabkan kemarahan keluarga Nabi, khususnya Fatimah, putri tunggal beliau. Mengapa mereka demikian terburu-buru mengambil keputusan tentang pengganti Nabi sebelum pemakaman dan tidak mengikutsertakan keluarga dekat Nabi seperti Ali bin Abu Thalib dan Utsman bin Affan (dua menantu Nabi). Tetapi
1 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh aI-Islam as Siyasi wa ats Tsaqafi wa al-Ijtima, terj. H.A Bahauddin, “Sejarah Kebudayaan Islam”, Jakarta: Kalam Mulia, 2001, hlm. 393. 2 Ibid, hlm. 395.
46
47 penyelenggaraan pertemuan tersebut tidak direncanakan terlebih dahulu, dan sebaliknya berlangsung karena terdorong keadaan.3 Pada pagi hari itu Umar bin Khattab mendengar berita bahwa kelompok Ansar sedang melangsungkan pertemuan di Tsaqifah atau balai pertemuan Bani Saidah, Madinah, untuk mengangkat Saad bin Ubadah, seorang tokoh Ansar dari suku Khazraj, sebagai khalifah. Dalam keadaan gusar Umar cepat-cepat pergi ke rumah ke diaman Nabi dan menyuruh seseorang untuk menghubungi Abu Bakar, yang berada dalam rumah, dan memintanya supaya keluar. Semula Abu Bakar menolak dengan alasan sedang sibuk. Tetapi akhirnya dia keluar setelah diberitahu bahwa telah terjadi satu peristiwa penting yang mengharuskan kehadiran Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar segera pergi ke balai pertemuan Bani Saidah. Di tengah jalan mereka bertemu dengan Abu Ubaidah bin Jarah, seorang sahabat senior juga dari kelompok Muhajirin, dan diajaknya ikut.4 Ketika tiga tokoh tersebut sampai di balai pertemuan ternyata sudah datang pula sejumlah orang Muhajirin, dan bahkan telah terjadi perdebatan sengit antara kelompok Ansar dan kelompok Muhajirin. Umar hampir tidak dapat menguasai diri, tetapi ketika beliau hendak mulai berbicara, dihentikan oleh Abu Bakar. Abu Bakar dengan nada tenang mulai berbicara. Kepada kelompok Ansar beliau mengingatkan, bukankah Nabi pernah bersabda bahwa kepemimpinan umat Islam itu seyogianya berada pada tangan suku Quraisy, dan bahwa hanya di bawah pimpinan suku itulah akan terjamin keutuhan, 3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993, hlm . 21-22 4 Ibid, hlm. 22
48 keselamatan dan kesejahteraan bangsa Arab. Dia juga mengingatkan orangorang Ansar tentang masalah mereka sebelum masuk Islam. Bukankah suku Khazraj dan suku Aus selalu bermusuhan, dan kalau seandainya nanti yang menjadi khalifah seorang Ansar, salah satu dari dua suku utama itu, maka besar kemungkinan suku yang lain tidak menerimanya, dengan akibat kambuhnya kembali permusuhan pada zaman Jahiliyah. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy untuk dipilih sebagai khalifah, Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarah. Orang-orang Ansar tampaknya sangat terkesan oleh ucapan Abu Bakar itu, dan Umar tidak menyia-nyiakan momentum yang sangat baik itu. Dia bangun dari tempat duduknya dan menuju ke tempat Abu Bakar untuk berbaiat dan menyatakan kesetiaannya kepada Abu Bakar sebagai khalifah, seraya menyatakan bahwa bukankah Abu Bakar yang selalu diminta oleh Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat bilamana Nabi sakit, dan bahwa Abu Bakar adalah sahabat yang paling disayangi oleh Nabi. Gerakan Umar itu diikuti oleh Abu Ubaidah bin Jarah.Tetapi sebelum dua tokoh Quraisy itu tiba di depan Abu Bakar dan mengucapkan baiat, Basyir bin Saad, seorang tokoh Ansar dari suku Khazraj, mendahului mengucapkan bai’atnya kepada Abu Bakar. Barulah kemudian Umar dan Abu Ubaidah serta para hadirin, baik dari kelompok Muhajirin maupun kelompok Ansar, termasuk Asid bin Khudair, seorang tokoh Ansar dari Aus. Baiat terbatas ini kemudian terkenal dalam sejarah Islam dengan
49 nama Bai'at Tsaqifah, atau baiat di balai pertemuan. Pada hari berikutnya Abu Bakar naik mimbar di Masjid Nabawi dan berlangsunglah baiat umum.5 Setelah dibai'at menjadi khalifah, menggantikan Rasulullah SAW, beliau sudah dihadapkan pada masalah-masalah yang sudah menggejala pada masa menjelang wafatnya rasul, diantaranya: Banyaknya orang atau kelompok yang menyatakan keluar dari Islam (murtad), kelompok pembangkang zakat, serta sukuisme yang dikhawatirkan akan mengancam keutuhan dan kedaulatan negara.6 Dengan adanya hal tersebut khalifah Abu Bakar segera mengambil langkah atau kebijakan dengan memperhatikan skala prioritas. Kebijakan yang diambil meliputi penanganan terhadap hal diatas serta kebijakan dalam bidang lain yang kesemuanya untuk kepentingan agama, negara, dan masyarakat. Berikut kebijakan-kebijakan yang diambil khalifah Abu Bakar dalam masa pemerintahannya: 1. Perang Terhadap Kelompok Murtad. Murtad berasal dari kata “ridda” yang berarti berbalik menjadi kafir.7 Sedangkan dalam istilah fikih, riddah adalah keluar dari agama Islam, baik pindah agama lain atau menjadi tak beragama.8 Orang-orang yang termasuk kelompok ini adalah kebanyakan mereka pada masa Rasulullah SAW. masih memeluk agama Islam tanpa didasari oleh keimanan serta dilatarbelakangi oleh niat dan dorongan yang berbedabeda, misalnya: Untuk menghindari peperangan dengan kaum muslimin, 5
Ibid, hlm. 23. Muhammad Husain Haekal, As-Siddiq Abu Bakar. Terj. Ali Audah ”Abu Bakar AsSiddiq”, Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 1995, hlm. 53. 7 Ibid., hlm. xxv 8 Sulaiman Rasyid, Figh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensundo, 1994, hlm. 444. 6
50 ingin memperoleh bagian dari barang rampasan perang, dan sebagainya. Wafatnya Rasulullah SAW. dijadikan kesempatan untuk menyatakan kemurtadan mereka.9 Menghadapi kelompok-kelompok ini, Abu Bakar melakukan upaya-upaya persuasif sebelum melakukan penumpasan terhadap mereka yang masih membangkang. Cara persuasif ini tiada lain melalui pengiriman 24 surat yang berisi nasihat dan peringatan-peringatan10. Langkah berikutnya, Abu Bakar melakukan tindakan kekerasan dengan melakukan penyerbuan terhadap kaum murtad tersebut. Dengan pengerahan tentara yang besar-besaran, akhirnya seluruh jazirah Arab, yang sebelumnya praktis hanya Madinah, Mekah, dan Hijaz, kembali patuh kepada pemerintahan Islam di Madinah.11 Langkah Abu Bakar dalam memerangi kelompok murtad bukan tanpa alasan. Selain berdasar pada Al’Qur’an seperti dalam Q.S AlAnfal:1 dan 38 dan sabda Rasul SAW yang di riwayatkan oleh jama’ah ahli hadist yang artinya: “Orang Islam yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusanNya, mereka tidak halal di bunuh kecuali karena tiga sebab: Pertama, sayib (janda) bezina, kedua, orang yang membunuh orang, ketiga, orang yang keluar dari
9
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 177. 10 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, Jakarta: PT Al- Husna Zikra, 1997 hlm. 233. 11 Ibid., hlm. 234.
51 agamanya”.12 Terdapat juga alasan bahwa merebaknya orang atau kelompok yang keluar dari Islam akan mengancam persatuan umat serta mengancam kedaulatan negara.13 Sehingga atas dasar itu Abu Bakar mengambil kebijakan perang terhadap kaum murtad. 2. Perang terhadap kelompok pembangkang zakat. Zakat menurut bahasa artinya tumbuh berkembang, baik, dan terpuji. Sedangkan dalam hukum Islam nama tersebut berarti nama bagi kadar tertentu dari harta kekayaan yang diserahkan kepada golongangolongan masyarakat yang telah diatur dalam Al-Qur’an.14 Adanya kelompok ini sebenarnya sudah mengejala pada akhir menjelang wafatnya rasul. Khususnya di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan Islam yaitu Mekkah dan Madinah, sehingga pemahaman terhadap Islam tidak melekat dalam hati mereka.15 Salah satunya terhadap ayat yang terkait dengan zakat yaitu:
ﻢ ِﺍﻥﱠ ﻬ ﻦ ﱠﻟ ﺳ ﹶﻜ ﻚ ﺗﻠﻮﻢ ِﺍﻥﱠ ﺻ ﻴ ِﻬﻋﹶﻠ ﺻ ﱢﻞ ﻭ ﺎﻢ ِﺑﻬ ﻴ ِﻬﺰ ﱢﻛ ﻭﺗ ﻢ ﻫ ﺮ ﺗ ﹶﻄﻬ ﺪﹶﻗ ﹰﺔ ﺻ ﻢ ﺍِﻟ ِﻬﻣﻮ ﻦ ﹶﺍ ﺪ ِﻣ ﺧ (103 : )ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ.ﻢ ﻴﻋِﻠ ﻊ ﺳﻤِﻴ َ ﺍﷲ Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka karena sesungguhnya do’a kamu mententramkan hati mereka dan Allah mendengar lagi maha mengetahui.16
12
Sulaiman Rasyid, op cit., hlm. 445. A Djazuli, Figh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 28. 14 Harun Nasution, et al., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 1003. 15 Muhammad Husain Haekal, op cit., hlm. 55-56. 16 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, 1989, hlm. 297. 13
52 Mereka beralasan bahwa bentuk amr (perintah) pada ayat tersebut ditujukan hanya kepada rasul, sehingga setelah rasul wafat tidak ada kewajiban zakat, selain itu do’a yang membawa ketentraman jiwa adalah do’a rasul, bukan do’a selain rasul.17 Kebijakan Abu Bakar dalam memerangi kelompok ini tidak hanya karena tafsirannya, tetapi karena keengganan membayar zakat dapat membahayakan keutuhan umat dan mempreteli sendi-sendi pokok ajaran Islam.18 Selain itu zakat adalah suatu institusi keagamaan yang merupakan salah satu tiang agama serti halnya shalat.19 3. Pembukuan Al-Qur’an. Proses pembukuan Al-Qur’an tidak lepas dari saran Umar bin Khattab pada waktu itu.20 Hal tersebut didasarkan atas beberapa kekhawatiran, diantaranya akan bercampurnya Al-Qur’an dengan AlHadist, atau dengan tulisan-tulisan lainnya. Selain itu, banyaknya para shahabat yang meninggal di medan pertempuran, khususnya pada peristiwa Yamamah.21 Hal itu menimbulkan kekhawatiran bahwa shahabat-shahabat yang hafal Al-Qur’an jumlahnya semakin sedikit karena banyak yang terbunuh di medan pertempuran. Sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usul dari Umar untuk melakukan pengumpulan terhadap mushaf-mushaf Al-Qur’an yang 17
A Djazuli, loc. cit. Ibid. 19 Harun Nasution, et al, Ensiklopedi Islam Indonesia, loc. cit. 20 Ibid., hlm. 297. 21 A Djazuli, op. cit., hlm 28-29 dan lihat pula Muhammad Husain Haekal, hlm. 297. 18
53 tercecer, dengan menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai panitia.22 Dan pada masa inilah proses pembukuan Al-Qur’an dimulai. 4. Bidang Administrasi Pemerintahan. Abu
Bakar
melengkapi
sistem
pemerintahannya
dengan
membentuk Majlis Syura, semacam parlemen sekarang ini, yang anggotaanggotanya terdiri atas para sahabat nabi terkemuka. Abu Bakar tidak memiliki wazir, tetapi memiliki beberapa pembantu
yang
membidangi
tugas-tugas
tertentu,
seperti
Umar
membidangi kehakiman, Abu Ubaidah sebagai bendaharawan baitul mal, serta beberapa sekretaris, antara lain Zaid bin Tsabit, Utsman, dan Ali. Dalam rangka memudahkan dalam koordinasi dan pengawasan, Abu Bakar membagi jazirah Arab menjadi beberapa wilayah, sekarang mungkin mirip dengan negara-negara bagian, dan setiap wilayah dikepalai oleh seorang Amir yang bertugas untuk menegakkan shalat dan menjadi penengah perkara.23 5. Bidang Ekonomi. Mengenai praktek pemerintahan Abu Bakar di bidang pranata ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat ia mengelola zakat, infaq, shadaqah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah (harta rampasan perang), dan
22
Husain Haekal, op. cit., hlm. 299. J. Suyuthi Pulungan, Figh Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002, hlm. 195. 23
54 Jizyah24 (pajak) dari warga negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan Baitul mal.25 Sejak zaman Nabi SAW. pendapatan terpenting negara adalah zakat, dan hal itu pula berlaku pada zaman Abu Bakar. Sehingga tidak heran kalau ia dengan tegas menindak para pembangkang zakat. Secara konsisten pengelolaan zakat dalam wujud kelembagaannya tidak berbeda dengan pengelolaan pajak, yaitu di bawah tanggung jawab pemerintah, dipungut oleh pemerintah dan ditasarufkan juga oleh pemerintah.26 6. Dalam Bidang Politik. Abu Bakar membawa perkembangan masyarakat Arab ke arah kesatuan politik, dan membuat mereka melihat Madinah sebagai ibu kota negara dan sumber bagi semua kebijakan mereka.27 Kebijaksanaan Abu Bakar yang lemah lembut merupakan faktor utama dalam merintis kesatuan politik. Kita lihat bagaimana ia memaafkan para pemimpin pemberontak di Yaman dan tempat lain yang memberontak karena ingin berdiri sendiri. Kepemaafannya kepada mereka setelah ia memperlihatkan sikap keras dan tegas sambil mengajak mereka dan golongannya untuk bersatu dengan Madinah. Sistem musyawarah yang dijalankan Abu Bakar
24 Jizyah menurut para ulama berarti pajak yang dipungut dari rakyat non-muslim dalam negara Islam. Dengan pajak itu mereka terjamin memperoleh perlindungan dari negara. Lihat Harun Nasution dan kawan-kawan, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia. 25 J.Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 115. 26 Masdar F Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, hlm. 59. 27 Muhammad Husain Haekal, op. cit., hlm. 328.
55 dalam pemerintahannya semakin memperkuat kesatun politik negara Madinah.28 7. Perluasan Wilayah. Penaklukan wilayah pada masa khalifah Abu Bakar dimulai pada penaklukan Negeri Syam. Sebetulnya perang terhadap Negeri Syam sudah diperintahkan menjelang wafatnya rasul. Tetapi sebelum keinginan rasul tercapai beliau sudah wafat. Akhirnya Abu Bakar memerintahkan Usamah bin Zaid bin Haritsah yang dulunya sudah ditunjuk rasul untuk menjadi pemimpin pasukan menyerang Negeri Syam. Walaupun awalnya banyak para shahabat yang menentang penunjukan Usamah karena dinilai masih terlalu muda, tetapi akhirnya mereka menyetujui.29 Akhirnya tidak sia-sia Abu Bakar menunjuk Usamah, pasukan Islam berhasil memenangkan pertempuran dan menaklukkan Negeri Syam.30 Dan selanjutnya ekspansi wilayah dilanjutkan ke Persia, Romawi, Irak yang dipimpin oleh Khalid bin Al Walid dan Mutsanna bin Haritsah. Sedangkan untuk Romawi dibagi menjadi empat bagian, Amr bin Al-Ash untuk Palestina, Yazid bin Abi Sufyan untuk Damaskus, Abu Ubaidah untuk Hims dan Syurahbil bin Hasanah untuk Yordania, serta dibantu oleh Khalid bin Walid yang bertempur di Syria.31
28
Ibid., hlm. 333. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam as-Siyasi wa ats-Tsaqafi wa al-Ijtima, , Terj. H.A. Bahauddin, Sejarah dan kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002, hlm. 410-411. 30 Ibid., hlm. 413. 31 Suyuthi Pulungan, op cit., hlm. 113. 29
56 B. Negara Madinah Pada Masa Pemerintahan Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) Umar bin Khatthab, memiliki nama lengkap Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abduh Uzza bin Rabah bin Ka'ab bin Luay Al Qurasyi Al Adawi.32 Umar adalah khalifah yang kedua, dialah yang pertama kali diberi gelar Amir al-Mu'minin.33 Dia pula menurut banyak orang yang menempati tempat kedua setelah Nabi saw., dalam jajaran tokoh sejarah Islam. Umar tidak termasuk orang yang pertama kali masuk Islam. Bahkan, beberapa tahun sebelum dia masuk Islam, dia menjadi musuh yang paling dahsyat yang menghalangi dakwah Islam. Dia masuk Islam setelah memusuhinya dengan gigih.34 Umar bin Khattab, berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar, mendapatkan kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh pendahulunya. Pada tahun ketiga sejak menjabat khalifah, Abu Bakar mendadak jatuh sakit. Selama limabelas hari dia tidak pergi ke masjid dan meminta kepada Umar agar mewakilinya menjadi imam shalat. Makin hari sakit Abu Bakar makin parah dan timbul perasaan padanya bahwa ajalnya sudah dekat. Sementara itu kenangan tentang pertentangan di balai pertemuan Bani Saidah masih segar dalam ingatannya. Dia khawatir kalau tidak segera menunjuk pengganti dan ajal segera datang, akan timbul pertentangan di kalangan umat Islam yang dapat lebih hebat daripada ketika Nabi wafat
32
Hasan Ibrahim Hasan, op. cit, hlm. 401. Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 21. 34 Philip K.Hitti, History of The Arabs, terj. R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT.Serambi Ilmu Semesta, hlm. 222. 33
57 dahulu. Bagi Abu Bakar orang yang paling tepat menggantikannya tidak lain adalah Umar bin Khattab. Maka dia mulai mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat senior yang kebetulan menengoknya di rumah. Di antara mereka adalah Abd al-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan dari kelompok Muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kelompok Ansar. Pada dasarnya semua mendukung maksud Abu Bakar, meskipun ada beberapa di antaranya
yang
menyampaikan
catatan.
Abd
al-Rahman
misalnya,
mengingatkan akan sifat "keras"Umar. Peringatan itu dijawab oleh Abu Bakar bahwa Umar yang bersikap keras selama ini karena melihat sifat Abu Bakar yang biasanya lunak, dan kelak kalau Umar sudah memimpin sendiri dia akan berubah menjadi lebih lunak. Suatu hal yang cukup menarik ialah seusai berkonsultasi dengan Abd al-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan, Abu Bakar berpesan kepada mereka berdua agar tidak menceritakan isi pembicaraan itu kepada orang lain.35 Abu Bakar memanggil Utsman bin Affan, lalu mendiktekan pesannya. Baru saja setengah dari pesan itu didiktekan, tiba-tiba Abu Bakar jatuh pingsan, tetapi Utsman terus saja menuliskannya. Ketika Abu Bakar sadar kembali, dia meminta kepada Utsman supaya membacakan apa yang telah dia tuliskan. Utsman membacanya, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khattab supaya menjadi penggantinya (sepeninggal dia nanti). Seusai dibacakan pesan yang sebagian ditulis oleh Utsman sendiri itu Abu Bakar bertakbir tanda puas dan berterimakasih pada
35
Munawir Sjadzali, op. cit, hlm. 23-24.
58 Utsman. Abu Bakar menyatakan pula, bahwa tampaknya Utsman juga ikut gusar terhadap kemungkinan perpecahan umat kalau pesan itu tidak diselesaikan. Sesuai dengan pesan tertulis tersebut, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab dikukuhkan sebagai khalifah kedua dalam suatu baiat umum dan terbuka di Masjid Nabawi.36 Keterangan di atas mengisyaratkan bahwa sebagai khalifah tidak terlepas dari peran Abu Bakar Siddiq. Sebelum meninggal, Abu Bakar sempat mengemukakan bahwa Umar bin Khaththab sebagai calon penggantinya. Piagam penunjukan itu ditulisnya sebelum ia wafat.37 Dalam kurun waktu Pemerintahannya, Umar telah melakukan beberapa kebijakan sebagai berikut: 1. Bidang politik. Dengan wilayah yang luas pemerintahan Umar menerapkan sistem desentralisasi, yaitu pelimpahan wewenang dan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Wilayah Negara Madinah dibagi menjadi delapan propinsi. Untuk setiap propinsi Umar mengangkat seorang gubernur. Tugas gubernur disamping sebagai kepala pemerintahan daerah, ia juga sebagai pemimpin agama. setiap gubernur dibantu oleh pembantupembantunya sesuai dengan bidangnya masing-masing.38 Dalam memerintah Umar terkenal tegas dan keras. Dia tidak seganSegan menghukum dan memecat para bawahannya yang dinilai telah
36
Ibid, hlm. 24-25 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, Jakarta: AL-Husna Zikra, 1997.
37
hlm. 238. 38
Abbas Mahmoud al-Akkad, Kecermelangan Khalifah Umar Bun Khattab,Terj. A. Gani dan Z. Abidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 152.
59 melakukan penyimpangan, baik penyimpangan dalam bidang muamalah maupun dalam bidang agama.39 dengan corak keremimpinannya Umar berhasil membawa Negara Madinah sebagai sebuah kekuatan plitik yang disegani oleh negara-negara lain.40 2. Dalam Bidang Militer. Umar mampu mengordinasikan sistem militer yang berasal dari berbagai kesukuan yang ada di tanah Arab menjadi satu kekuatan militer yang ampuh sehingga mampu menaklukan Syria dan Persia. Pada pemerintahan ini, Negara Madinah mempunyai kekuatan militer yang sangat kuat.41 Keberhasilan tentara Madinah, bukan hanya menaklukkan wilayah-wilayah tertentu, tetapi juga menyebabkan suku-suku bangsa yang ditaklukkan itu menerima Islam sebagai agama mereka.42 3. Dalam Bidang Ekonomi. Kebijakan terpenting Umar dalam bidang ekonomi adalah pembangunan baitul mal. Baitul mal dalam pengertian fikih adalah suatu badan atau lembaga yang bertugas mengurusi kekayaan negara terutama keuangan baik yang berkenaan dengan pemasukan dan pengelolaan maupun berhubungan dengan pengeluaran.43
39
Ibid., hlm. 187. Ibid., hlm. 165. 41 J. Suyuthi Pulungan, op cit., hlm. 126. 42 Ibid., hlm. 127. 43 Harun Nasution dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, hlm. 161. 40
60 Dalam pemerintahannya, Umar berhasil membuat sistem ekonomi yang unik, bahkan untuk ukuran negara modern pun belum ada sistem semacam ini. Pada pemerintahan Umar setiap individu dalam anggota masyarakat berhak mendapat bagian dari perbendaharaan negara (baitul mal).44
Menurut sejarah, baitul mal dibangun secara permanen adalah pada masa Umar, walaupun masa sebelumnya yaitu masa Rasul SAW. dan Abu Bakar lembaga ini sudah ada, tetapi lembaga baitul mal semakin mapan keberadaannya pada masa khalifah Umar. Sistem administrasinya mulai dilakukan penertiban. Umar sering berjalan sendiri mengontrol mekanisme pasar.45 Terkait dengan pengertian diatas lembaga ini berfungsi untuk menampung pendapatan negara yang didapat dari zakat, shodaqoh, jizyah, kharaj46, ghanimah serta pajak tanah maupun yang lainnya. Pendapatan yang terkumpul di baitul mal digunakan untuk kepentingan negara dan masyarakat.47
44 Toha Husain, Dua Tokoh Besar Dalam Sejarah Islam Abu Bakar Dan Umar, Terj. Ali Audah, Jakarta: Pustaka Jaya,1989, hlm. 190. 45 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 59. 46 Kharaj adalah sesuatu kewajiban yang dibebankan atas bumi yang diduduki umat Islam baik dengan jalan perang maupun dengan jalan damai, sedang penduduknya tetap pada agamanya masing-masing. Umar bin Khattab disebut sebagai orang pertama yang membina lembaga kharaj sebagai sumber keuangan negara. Lihat Harun Nasutioan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia. 47 Muhammad Ridwan, op cit., hlm. 61.
61 4. Bidang Administrasi Pemerintah. Pada bidang administrasi pemerintahan ini, Umar berusaha menata Negara Madinah yang luas tersebut dengan membuat lembaga-lembaga sesuai dengan tugas dan fungsinya, diantaranya mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan yang luas itu. la menata struktur kekuasaan, dan administrasi pemerintahan Negara Madinah. Kekuasaan tertinggi yang bertugas membuat keputusan atas masalah-masalah umum dan kenegaraan yang dihadapi Khalifah adalah Majelis Permusyawaratan yang dibentuk oleh Khalifah Umar. Anggota Majelis ini terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Ansar (suku Khazraj dan Aus). Nama-nama yang tercatat menjadi anggota Majelis ini antara lain Usman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Muaz bin Jabal, Ubay bin Kaab, Zaid Tsabit dan lain-lain. Dari sudut ketatanegaraan, Majelis ini dapat disebut sebagai pemegang kekuasaan legislatif, sekalipun penentu keputusan akhir adalah Khalifah.48 Adapun kekuasaan eksekutif dipegang oleh Umar bin Khattab dalam kedudukannya sebagai Khalifah atau Kepala Negara. Untuk menunjang kelancaran administrasi dan operasional tugas- tugas eksekutif, Umar melengkapinya dengan beberapa jawatan. 1) Diwan al-Kharaj (Jawatan Pajak) yang mengelola administrasi pajak tanah di daerah-daerah yang telah ditaklukkan. 2) Diwan al-Ahdats (Jawatan Kepolisian) yang bertugas memelihara ketertiban dan menindak pelanggar-pelanggar hukum yang kemudian diadili oleh qadhi (hakim). 3) Nazarat al-Nafi'at 48
Abd Al- Wahab Al- Najar, Al Khulafa Ar-Rasyidin, dalam J Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002, hlm. 134-135.
62 (Jawatan Pekerjaan Umum) yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan saluran-saluran irigasi. jalan-jalan, jembatan-jembatan, rumah sakit, gedung-gedung pemerintahan dan sebagainya. 4) Diwan alJund (Jawatan Militer) yang berkewajiban menginventarisir dan mengelola administrasi ketentaraan. 5) Bait al-Mal (Baitul Mal) yaitu Lembaga
Perbendaharaan
Negara
yang
bertanggung
jawab
atas
pengelolaan keuangan. Lembaga ini selain didirikan di Madinah juga didirikan di daerah-daerah.49 5. Bidang Ijtihad Keagamaan. Khalifah Umar disamping mempunyai perangi yang keras dan tegas, ia juga mempunyai pemikiran yang jenius khususnya dalam bidang ijtihad hukum. Berikut beberapa kebijakan Umar dalam bidang ijtihad hukum. a. Kasus Muallaf.
ﻭﻓِﻰ ﻢ ﻬ ﺑﻮ ﻟﱠ ﹶﻔ ِﺔ ﹸﻗﹸﻠﺆﺍﹾﻟﻤﺎﻭﻴﻬﻋﹶﻠ ﻦ ﻴﺎ ِﻣِﻠﺍﹾﻟﻌﻴ ِﻦ ﻭﺎ ِﻛﻭﹾﺍ ﹶﳌﺴ ﺍ ِﺀﺖ ِﻟ ﹾﻠﻔﹸ ﹶﻘﺮ ِ ﻗﺼﺪ ﺎﺍﻟﻧﻤِﺍ ﻢ ﻴﻋِﻠ ُ ﺍﷲﷲ ﻭ ِ ﻦ ﺍ ﻀ ﹰﺔ ِﻣ ﻳ ﹶﻓ ِﺮ,ﻴ ِﻞﺴِﺒ ﺑ ِﻦ ﺍﻟﺍﷲ ﻭ ِ ﻴ ِﻞ ﺍﺳِﺒ ﻭﻓِﻰ ﻦ ﻴﺎ ِﺭ ِﻣﺍﹾﻟﻐﺏ ﻭ ِ ﺮﻗﹶﺎ ﺍﻟ (60 : )ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ.ﻢ ﻴﺣ ِﻜ Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang kafir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orangorang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.50
49 50
Ibid., hlm. 136-137. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 288.
63 Ayat diatas mengatur tentang siapa-siapa yang berhak mendapatkan zakat. Tetapi pada hal ini akan dibahas tentang muallaf. Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manar juz x yang dikutip Sayyid Sabiq dalam figh sunnahnya memberikan pengertian Al-Muallafah Qulubuhum, yaitu “sekelompok orang yang dibujuk hatinya agar bergabung dengan Islam, atau agar mereka menahan diri dari melakukan kejahatan kepada orang Islam, atau orang-orang yang jasanya diharapkan untuk membantu dan membela kaum muslim.51 Berdasarkan fakta sejarah, Rasul SAW dan Abu Bakar dalam melaksanakan pembagian zakat sesuai dengan teks Al-Qur’an, termasuk juga membagikannya kepada para muallaf.52 Tetapi berbeda pada masa Umar, dengan kondisi umat Islam yang kuat dan stabilitas pemerintahan sudah mantap, Umar menghentikan pemberian bagian kepada muallaf. Umar berpendapat bahwa Rasul SAW. Telah memberikan bagian itu untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka bagian itu sudah tidak valid lagi.53 Dengan menempuh sistem prioritas, dapatlah difahami tindakan Umar yang menghentikan bagian kepada muallaf sebagai
51
Sayyid Sabiq, Figh Sunah, jilid 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, hlm. 328. Mesir: Methba’ah al-Manar, 1928, hlm. 494. 52 Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam , Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987, hlm. 38. 53 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj Agah Barnadi, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 107.
64 tindakan yang berangkat dari pemahaman Al-Qur’an secara ketat dalam konteks dan latar belakangnya.54 b. Kasus Potong Tangan Pidana Pencurian. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa hukuman tindak pencurian adalah potong tangan. Hukuman ini tercantum dalam surat Al-Maidah ayat 38:
ﻢ ﻴﺣ ِﻜ ﺰ ﻳﻋ ِﺰ ُ ﺍﷲﻦ ﺍﷲ ُﻭ ﻧﻜﹶﺎ ﹰﻻ ِﻣﺎﺴﺒ ﺎ ﹶﻛﺍ ٌﺀ ِﺑﻤﺟﺰ ﺎﻤﻳﻬﻳ ِﺪﺍ ﹶﺃﻌﻮ ﺎ ِﺭﹶﻗﺔﹸﻓﹶﺎ ﹾﻗ ﹶﻄﺍﻟﺴ ﻭﺎ ِﺭﻕﺍﻟﺴﻭ Artinya: Laki-laki yang mencuri dan permpuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.55 Dalam kasus yang telah dibicarakan ini, Umar dikabarkan pernah tidak melaksanakan hukuman tersebut sewaktu masyarakat Islam sedang megalami musibah kekurangan persediaan makanan dan bahaya kelaparan. Disamping riwayat tersebut, diceritakan pula bahwa Umar juga tidak melakukan potong tangan kepada seorang laki-laki yang mencuri suatu barang di baitul mal. Begitu pula Umar tidak memotong tangan beberapa budak yang terbukti karena kelaparan, mereka bersama-sama mencuri seekor unta. Dan sebagai hukuman pengganti Umar memerintahkan kepada majikan para budak tersebut untuk mengganti dua kali lipat dari harga unta tersebut.56
54
Amiur Nuruddin, op cit, hlm. 145. Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 165. 56 Yusuf Qardawi, Islam Ekstrim Analisis dan Pemecahannya, Terj. Alwi A.M, Bandung: Mizan, 1985, hlm. 143. 55
65 Jadi tidak selamanya hukuman potong tangan harus dilaksanakan.
Ayat
diatas
difahaminya
dengan
pengecualian
(takhshish). Seperti yang dipraktekan oleh Rasul SAW. Beliau melarang memotong tangan pencuri dalam peperangan diartikan oleh Umar, agar pencuri ketika itu tidak lari dan bergabung dengan musuh.57 c. Kasus Rampasan Perang. Pembagian harta rampasan perang telah diatur dalam AlQur’an surat Al-Anfal ayat 41. tetapi pada masa Umar harta tersebut tidak dibagikan kepada kaum muslim, tetapi dibiarkan tetap dimiliki oleh pemilik aslinya dengan syarat membayar jizyah dan kharaj sebagai gantinya. Umar berkata: “Bagaimana aku akan membagibagikannya untukmu, sementara aku telah mengabaikan orag-orang yang akan datang tanpa pembagian”. Walaupun pada awalnya para shahabat menolak pendapat Umar, tetapi pada akhirnya mereka menerimanya.58 6. Perluasan Wilayah. Pada masa khalifah Umar wilayah Negara Madinah semakin menjadi luas, meliputi semenanjung Arabia, Irak, Persia, dan Mesir.59 Dalam penaklukan terhadap wilayah-wilayah tersebut, Umar tidak selalu terjun langsung ke medan pertempuran, terkadang ia menunjuk salah satu
57
Amiur Nuruddin, op cit., hlm. 153. Yusuf Qardawi, op cit., hlm. 35. 59 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 58 58
66 shahabatnya untuk memimpin pasukan, salah satu contohnya ketika penaklukkan terhadap Irak, ia menunjuk Sa’ad bin Abu Waqqash, dan akhirnya Sa’ad berhasil mengalahkan pasukan Persia dan menguasai Irak.60 C. Negara Madinah Pada Masa Pemerintahan Utsman bin Affan (2335H/644-656 M) Utsman bin Affan, memiliki nama lengkap Utsman bin Affan bin Abil al-Ash bin Umayah bin Abd Manaf al-Umawy al-Qurasyi, Ustman terkenal seorang yang pandai menjaga kehormatan diri (iffah), pemalu, budiman, dan berhati lembut. Tidak heran jika ia dinikahkan nabi dengan putrinya Ruqayyah bin Rasullulah.61 Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui proses lain lagi, tidak sama dengan Abu Bakar, tidak serupa pula dengan Umar. Dia dipilih oleh sekelompok orang yang nama-namanya sudah ditentukan oleh Umar sebelum dia wafat. Seperti telah kita baca dalam buku-buku sejarah, pada pertengahan tahun kesebelas sejak Umar menjabat khalifah dia menderita luka-luka berat akibat enam kali tikaman seorang Persia bernama Fairus, yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Luluah. Waktu itu datanglah sejumlah tokoh masyarakat memohon kepada Umar supaya segera menunjuk pengganti, karena mereka khawatir bahwa akibat luka-lukanya itu Umar tidak akan hidup lebih lama lagi, dan kalau sampai wafat tanpa terlebih dahulu menunjuk penggantinya, dikhawatirkan akan terjadi pertentangan dan perpecahan di 60
Hasan Ibrahim Hasan, op cit., hlm. 419. Ibid, hlm. 480.
61
67 kalangan umat. Tetapi Umar menolak memenuhi permintaan mereka dengan alasan bahwa orang-orang yang menurut pendapatnya pantas ditunjuk sebagai pengganti sudah lebih dahulu meninggal. Bahkan Umar marah besar ketika tokoh-tokoh tersebut mengusulkan agar dia menunjuk salah seorang putranya sendiri, Abdullah bin Umar. Dia menolak keras usul itu seraya menyatakan bahwa cukuplah sudah seorang dari keluarga besar Umar mendapatkan kehormatan menjadi khalifah. Mereka dengan kecewa meninggalkan rumah kediaman Umar. Tetapi karena bahaya perpecahan makin tampak, hari esoknya mereka kembali lagi mengunjungi Umar dan mendesaknya agar segera menunjuk pengganti.62 Akhirnya Umar menyerah, tetapi tidak secara langsung menunjuk pengganti. Dia hanya menyebutkan enam sahabat senior, dan merekalah nanti sepeninggalnya yang harus memilih seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah: Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin Umar, putranya, tetapi "tanpa hak suara". Menurut Umar, dasar pertimbangan mengapa memilih enam orang tersebut, yang semuanya dari kelompok Muhajirin atau Quraisy, karena mereka berenam itu dahulu dinyatakan oleh Nabi sebagai calon-calon penghuni surga, dan bukan karena mereka masing-masing mewakili kelompok atau suku tertentu. Pesan Umar, sepeninggalnya nanti mereka berenam segera berunding dan dalam waktu paling lama tiga hari sudah dapat memilih salah seorang di
62
Munawir Sjadzali, op. cit, hlm. 25
68 antara mereka menjadi khalifah. Berbahagialah kalau mereka mencapai kesepakatan yang bulat tentang siapa yang harus menjadi khalifah. Tetapi kalau lima atau empat orang di antara mereka setuju memilih seorang darinya menjadi khalifah, sedangkan satu atau dua orang yang lain menentang dan tidak dapat disadarkan, maka yang menentang itu sebaiknya dipenggal saja lehernya. Kalau seandainya suara terbelah sama, tiga orang memilih seorang, sedangkan tiga yang lain memilih orang lain, maka agar ditanyakan kepada Abdullah bin Umar. Siapa di antara dua calon itu yang didukung oleh Abdullah, maka dialah yang diangkat menjadi khalifah. Tetapi kalau campurtangan Abdullah itu tidak diterima, maka calon yang dipilih oleh kelompok Abd al-Rahman bin Auf, haruslah diangkat sebagai khalifah, dan kalau masih ada yang menentang agar dibunuh saja.63 Setelah Umar wafat, lima dan enam orang tersebut segera bertemu untuk merundingkan pengisian jabatan khalifah. Pada waktu itu Thalhah bin Ubaidillah kebetulan tidak ada di Madinah. Sejak awal jalannya pertemuan itu sangat alot. Abd al-Rahman bin Auf mencoba memperlancarnya dengan imbauan agar sebaiknya di antara mereka dengan sukarela mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada orang yang betul-betul paling memenuhi syarat untuk dipilih sebagai khalifah. Tetapi imbauan itu tidak berhasil. Tidak ada satu pun yang mengundurkan diri. Kemudian Abd al-Rahman sendiri menyatakan mengundurkan diri, tetapi tidak ada seorang pun dari empat orang yang lain itu mengikutinya.
63
Ibid, hlm. 25-26.
69 Dalam keadaan macet itu Abd al-Rahman bermusyawarah dengan tokoh-tokoh selain keempat orang tersebut, dan ternyata pula telah berkembang polarisasi di kalangan masyarakat Islam. Mereka terbelah menjadi dua kubu: pendukung Ali dan pendukung Utsman. Dalam pertemuan berikutnya dengan empat rekannya, Abd al-Rahman menanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, bahwa seandainya bukan dia (Ali), siapa menurut pendapatnya yang patut menjadi khalifah. Ali menjawab: Utsman. Pertanyaan yang sama diajukan kepada Zubair dan Saad, dan jawab mereka berdua sama: Utsman. Terakhir pertanyaan yang sama diajukan pula kepada Utsman, dan Utsman menjawab: Ali. Dengan demikian makin jelas bahwa hanya dua calon untuk jabatan khalifah: Ali dan Utsman. Kemudian
Abd
al-Rahman
memanggil
Ali
dan
menanyakan
kepadanya, seandainya dia dipilih menjadi khalifah, sanggupkah dia melaksanakan
tugasnya
berdasarkan
Al-Qur'an,
Sunah
Rasul,
dan
kebijaksanaan dua khalifah sebelum dia. Ali menjawab bahwa dirinya berharap dapat berbuat sejauh pengetahuan dan kemampuannya. Abd alRahman berganti mengundang Utsman dan mengajukan pertanyaan yang sama kepadanya. Dengan tegas Utsman menjawab: "Ya! Saya sanggup." Berdasarkan jawaban itu Abd al-Rahman menyatakan Utsman sebagai khalifah ketiga, dan segeralah dilaksanakan baiat. Waktu itu usia Utsman tujuh puluh tahun. Dalam hubungan ini patut dikemukakan bahwa Ali sangat kecewa atas cara yang dipakai oleh Abd al-Rahman tersebut dan menuduhnya bahwa sejak semula ia sudah merencanakannya bersama Utsman, sebab kalau
70 Utsman yang menjadi khalifah, berarti pula kelompok Abd al-Rahman bin Auf yang berkuasa.64 Beberapa kebijakan kenegaraan Utsman dapat diungkapkan di bawah ini: 1. Bidang Ekonomi. Seperti pada masa-masa khalifah sebelumnya, pada masa Utsman, penataan di bidang ekonomi juga terus berlanjut. Zakat merupakan salah satu penghasilan terbesar negara. Zakat dan pemasukan negara yang lain seperti pajak, jizyah, kharaj, ghanimah serta pemasukan yang lain dikelola oleh baitul mal. Lembaga baitul mal pada masa ini sudah berfungsi sangat baik.65 Pada suatu kesempatan Ustman pernah berkata “ barang siapa ada hutangnya, maka hendaklah ia bayar hutangnya, dan hendaklah ia zakatkan hartanya yang tinggal”.66 Ini menunjukkan bahwa urusan zakat adalah sangat penting, selain untuk penopang ekonomi, ia juga merupakan salah satu tiang agama. Akan tetapi, karena pengelolaannya tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pada masa Umar, keberhasilan tersebut tidak berarti apa-apa. Pengangkatan pembantu-pembantu Ustman, termasuk pengangkatan gubernur yang kebanyakan berasal dari keluarga dekat Utsman termasuk di dalamnya adalah pembesar-pembesar Bani Umayyah muncul dan tercatat sebagai "cacat" sejarah kepemimpinan Utsman. Harta Baitul Mal milik umat Islam digunakan oleh keluarga-
64
Ibid, hlm. 26-27. Muhammad Ridwan, op cit., hlm. 61. 66 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 67. 65
71 keluarga dekatnya untuk kepentingan pribadi. Hal inilah satu faktor mulai melemahnya kekuasaan Ustman. 2. Bidang Agama. Kebijakan Ustman terpenting dalam bidang agama adalah pembukuan Al-Qur’an. Telah diketahui bahwa pembukuan Al-Qur’an sudah dimulai sejak masa Abu Bakar. Latar belakangnya adalah, adanya pertikaian tentang perbedaan bacaan Al-Qur’an. Karena rasul sendiri memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada dimasanya untuk membaca dan melafazdkan Al-Qur’an sesuai dengan dialek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan supaya mereka mudah menghafal Al-Qur’an. Keadaan tersebut diketahui oleh salah seorang shahabat yang Huzaifah bin Yaman. Kemudian ia menceritakan hal tersebut kepada khalifah Ustman. Maka oleh Utsman bin Affan kepada Hafsah binti Umar untuk menyerahkan mushaf-mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar. Kemudian Ustman menunjuk Zaid bin Tsabit menjadi panitia. Tugas panitia adalah menyalin lembaran-lebaran mushaf menjadi satu buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Ustman menasehatkan supaya: mengambil pedoman kepada bacaan mereka dan kalau ada pertikaian diantara mereka tentang bacaan, maka harus dituliskan menurut dialek suku Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan menurut dialek mereka.67
67
Departemen Agama RI, op cit., hlm. 24.
72 Kebijakan khalifah Ustman dalam bidang agama lainnya adalah perluasan Masjid Nabawi di Madinah al-Munawarah. Madinah sebagai ibukota negara mengandung daya tarik tersendiri bagi setiap orang. Pembangunan Masjid Nabawi sudah pernah dilakukan pada masa pemerintahan Umar, tetapi bentuk bangunan masih sederhana seperti pada masa Rasulallah. Kemudian pada masa Ustman, beliau menyampaikan keinginannya setelah shalat jum’at untuk melakukan perombakan terhadap Masjid Nabawi. Dan rencana yang diajukan disetuui oleh jama’ah. Akhirnya pekerjaan besar dimulai pada bulan Rabiul-awwal tahun 29 H./650.M., dan berakhir pada masa sepuluh bulan kemudian, yaitu pada bulan Muharram tahun 30. H/651.M.68 3. Perluasan Wilayah. Perluasan Islam meliputi semua daerah yang telah dicapai pada masa Umar. Dan perluasan pada masa Ustman bertambah dengan perluasan laut. Bertambahnya wilayah tersebut meliputi: Barqah, Tripoli barat, Negeri Nubah, Armenia dan beberapa bagian thabaristan. Pada masa Ustman mempunyai angkatan laut yang sangat kuat sekali.69 4. Bidang Politik. Adapun kebijakan politik yang dilakukan Ustman mengikuti jejak pendahulunya yaitu Umar. Ia selalu mencari informasi tentang prilaku para gubernur dari para delegasi yang datang kepadanya dan selalu menanyakan perihal perlakuan gubernur teradap rakyat. Hanya saja buah dari 68
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979,
hlm. 92-94 69
A. Syalabi, op. cit, hlm. 270.
73 langkahnya ini kebalikan dari yang diharapkan. Sebab, banyak informasi yang diterimanya itu semata-mata fitnah dan tuduhan palsu bagi para gubernur. Orang-orang yang mempunyai tujuan tidak baik telah menjadikan peluang ini sebagai jalan untuk memperoleh kepentingan pribadi. Salah satu sifat khalifah Ustman adalah mudah terpengaruh dengan cerita yang disadur orang di depannya. Kemudian pemerintahannya berada di bawah kendali para familinya, terutama Marwan bun Hakam.70 5. Bidang Administrasi pemerintah. Untuk pelaksanaan admistrasi pemerintahan di daerah, Ustman mempercayakan kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi. Setiap amir atau gubernur di daerah adalah wakil khalifah untuk melaksanakan tugas administrasi pemerintahan dan bertanggung jawab kepada khalifah. Setiap amir atau gubernur diangkat dan diberhentikan oleh khalifah. Kedudukan gubernur disamping kepala pemerintahan, ia juga sebagai pemimpin agama,pemimpin ekspedisi militer, menetaokan undang-undanh dan memutus perkara yang dibantu oleh katib (sekretaris), pejabat pajak pejabat keuangan (baitul mal) dan pejabat kepolisian. Sedang kekuasaan legislatif dipegang oleh penasehat atau majelis syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah. Majelis ini memberikan saran, usul dan pendapat, tetapi keputusan akhir tetap pada khalifah.71
70 71
Hasan Ibrahim Hasan, op. cit, hlm. 504. J. Suyuthi Pulungan, op.cit, hlm. 144-145
74 D. Negara Madinah Pada Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656--661 M) Ali bin Abi Thalib, memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Luay bin Kilab Al Qurasyi dilahirkan di Makkah sepuluh tahun sebelum kerasulan. Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Adu Manaf. Ia juga generasi pertama yang memeluk Islam.72 Ali bin Abu Thalib, dua belas tahun kemudian, diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan, yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna. Setelah para pemberontak membunuh Utsman bin Affan, mereka mendesak Ali agar bersedia diangkat menjadi khalifah. Pada waktu itu Madinah dapat dikatakan kosong. Banyak sahabat senior yang sedang berkunjung ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, dan hanya sedikit yang masih tinggal di Madinah, di antaranya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Tidak semua yang masih ada itu sepenuhnya mendukung Ali, seperti Saad bin Abu Waqqash dan Abdullah bin Umar. Ali menolak desakan para pemberontak, dan menanyakan di mana peserta (pertempuran) Badar, di mana Thalhah, Zubair dan Saad, karena merekalah yang berhak menentukan tentang siapa yang harus menjadi khalifah. Maka muncullah tiga tokoh senior itu dan berbaiat kepada Ali, dan segera diikuti oleh orang banyak, baik dari kelompok
72
Ibid, hlm. 505.
75 Muhajirin maupun kelompok Ansar. Orang pertama yang berbaiat kepada Ali adalah Thalhah bin Ubaidillah.73 Perlu kiranya dikemukakan bahwa terdapat perbedaan antara pemilihan terhadap Abu Bakar dan Utsman dan pemilihan terhadap Ali. Dalam dua pemilihan yang terdahulu meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetap setelah calon-calon itu terpilih dan diputuskan menjadi khalifah, orang-orang tersebut menerimanya dan ikut berbaiat serta menyatakan kesetiaannya, termasuk Ali, baik terhadap Abu Bakar maupun terhadap Utsman. Lain halnya dalam pemilihan terhadap Ali. Penetapannya sebagai khalifah ditolak antara lain oleh Mu'awiyah bin Abu Sufyan, gubernur di Suria yang keluarga Utsman, dengan alasan: pertama, Ali harus mempertanggungjawabkan
tentang
terbunuhnya
Utsman;
dan
kedua,
berhubung wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru itu, maka hak untuk menentukan pengisian jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang berada di Madinah saja. Sikap Mu'awiyah, yang didukung juga oleh sejumlah sahabat di Madinah dan yang kemudian bergabung dengan dia di Suria, selanjutnya sangat mewarnai sejarah ketatanegaraan Islam.74 Sekalipun
penuh
dengan
'kericuhan
politis"
pada
masa
pemerintahannya, Ali berusaha melakukan konsolidasi internal. Oleh karena itu, hal penting yang dilaksanakan Ali adalah:
73
Munawir Sjadzali, op. cit, hlm. 27 Ibid, hlm. 27-28
74
76 1. Bidang Politik. Menganti pejabat-pejabat yang diangkat Ustman. Tindakan dan kebijaksanaan Ali segera setelah resmi memegang jabatan khalifah adalah memberhentikan semua gubernur yang diangkat Ustman, termasuk Muawiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan, termasuk di dalamnya hibah atau pemberian Utsman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya, dilakukan karena tanpa melalui prosedur yang sah.75 2. Kebijakan dalam Sektor Ekonomi. Dalam menjalankan kebijakan perekonomian, Ali, sebagaimana juga para khalifah sebelumnya, pemungutan zakat dan pajak-pajak mendapat
perhatian
utama.
Khususnya
pemungutan
pajak,
Ali
melakukannya dengan cara yang adil dan berada dalam batas-batas tertentu, "sepadan" dengan kemampuan rakyat. Cara ini dilakukan agar rakyat tidak mengorbankan kebutuhan hidupnya yang pokok untuk membayar pajak tersebut. Tetapi untuk urusan zakat, masa Ali terbilang terjadi penurunan. Dan penurunan inipun sebenarnya sudah terjadi pada masa Ustman. Ada beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
hal
tersebut,
diantaranya:
kepercayaan rakyat kepada pemerintah sebagai “imam” yang berwenang mengelola zakat kian memudar, entah itu disebabkan gaya kepemimpinan
75
A Syalabi, op cit, hlm. 284.
77 yang otoriter, gaya hidup mewah dari penguasa ataupun lebih karena situasi politik yang tidak menentu.76 3. Perluasan Wilayah. Pemerintahan Ali berhasil memperluas wilayah kekuasaan. Setelah pemberontakan di Kabul dan Sistan ditumpas, tentaranya mengadakan seranganlaut atas Koukan (Bombay). la juga mendirikan pemukiman-pemukiman militer di perbatasan Syria dan membangun benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan Parsi. 4. Bidang Pemerintahan. Dalam pengawasan terhadap tindakan para gubernur, Ali bertindak tegas dan tidak pilih kasih serta memantau mereka secara terus-menerus. Suatu ketika, Ibn Abbas, Gubernur Basrah dan keluarga Ali, diketahui mengambil uang Baitul Mal untuk keperluan pribadi, Ali langsung menegurnya. Pokok lain yang langsung menjadi perhatiannya adalah perbaikan pemerintahan: Mengatur keamanan negara terhadap serangan dari luar, memelihara hukum dan tata tertib, mengontrol korupsi, menyediakan persamaan dan distribusi kekayaan negara yang adil, mengangkat para pejabat yang jujur, memelihara tentara yang kuat, memperhatikan perdagangan, serta memperlakukan non muslim dengan sepatutnya.77
76 77
Masdar F Mas’udi, op. cit, hlm. 62. Nahjul Balaghah, terj O. Hashem, Jakarta: Yapi, 1990, hlm. 69.
78 5. Bidang Militer. Pengeluaran pertama perbendaharaan negara adalah untuk militer. Setiap propinsi, selain menjadi pejabat keuangan tertinggi, ia juga sebagai komandan tertinggi tentara yang ditempatkan di bawahnya. Sayyidina Ali tidak mentolerir tentara bayaran, tetapi tidak pula membiarkan para tentara sukarelawan tanpa imbalan. Ia selalu mengingatkan kepada tentaranya bahwa Islam adalah misi perdamaian dan kasih sayang.78 Itulah uraian umum tentang Khulafa’ Ar Rasyidin yang mencakup proses pengangkatan setiap khalifah, maupun kebijakan-kebijakan yang diambil para khalifah dalam masa pemerintahannya. Untuk lebih memudahkannya, penulis akan membuatnya dalam bentuk tabel yang menggambarkan kebijakan setiap khalifah sesuai dengan bidangnya.
78
Ibd, hlm. 73.