Mekanisme Ketahanan Tanaman Padi Terhadap Blas
Amaliah, SP
A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan utama yang kebutuhannya selalu meningkat di Indonesia seiring pertambahan penduduk. Biro Pusat Statistik memperkirakan akan terjadi penurunan produksi beras nasional karena meningkatnya jumlah penduduk yang tidak diimbangi perluasan areal persawahan dan peningkatan produktivitas. Berdasarkan data BPS (2000) dalam Adiratna (2004), peningkatan penduduk mencapai 1.495 % dan terjadi penyusutan luas areal pertanian. Penyusutan tersebut terutama terjadi karena konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Menurut Irawan (2003), pada tahun 1983-1993 konversi lahan mencapai 1.28 juta ha dan sebesar 78 % terjadi di Pulau Jawa, dimana sebagian besar adalah lahan persawahan. Konversi lahan sawah pada tahun 1978-1998 menyebabkan hilangnya peluang produksi sebesar 8.83 juta ton, atau sekitar 31 % yang seharusnya bisa dicapai pada tahun 1998. Pasandaran (2003) juga menyatakan bahwa sejak awal 1980-an, Pulau Jawa sangat sulit untuk memperluas areal persawahan. Kecenderungan yang sama terjadi di luar Pulau Jawa pada tahun 1990-an. Menurut data BPS tahun 2001, luas panen padi mencapai 11.79 juta ha pada tahun 2000 dan menurun menjadi 11.50 juta ha pada 2001, atau sekitar 2,49%. Pada tahun yang sama terjadi penurunan produktivitas sebesar 0,30%, yaitu dari 44,01 ku/ha menjadi 43,88 ku/ha. Salah satu cara bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan nasional adalah dengan terus berusaha meningkatkan produksinya, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi. Berkurangnya areal persawahan, terutama di Pulau Jawa, menjadikan lahan kering di luar Pulau Jawa sebagai alternatif utama untuk meningkatkan produksi beras. Alasannya, potensi lahan kering di luar Pulau Jawa lebih besar jika dibandingkan lahan sawah,
walaupun produktivitas padi gogo lebih rendah dari padi sawah. Berdasarkan data BPS tahun 2001, produktivitas padi sawah mencapai 45,97 ku/ha, sedangkan padi gogo hanya mencapai 23,74 ku/ha. Selain upaya peningkatan produktivitasnya, maka perlu juga diupayakan perluasan areal tanam. Datta (1975) dalam Puslitbangtan (2003), menyatakan bahwa pengembangan tanaman padi kemungkinan akan dilakukan di lahan kering. Datta menyebutkan, Indonesia memiliki lahan kering yang berpeluang untuk dimanfaatkan sebesar 9 juta ha, antara lain 480 ribu ha di Sumatera, 254 ribu ha di Kalimantan, 91 ribu ha di Sulawesi, 5 ribu ha di Maluku, dan sekitar 1.3 juta ha tersebar di wilayah lain. Hal ini pula yang melatarbelakangi adanya program peningkatan produksi lahan marjinal dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang meliputi lahan kering, sawah tadah hujan, sawah pasang surut, dan lebak yang menjadi alternatif pengadaan pangan masa kini dan masa depan (Puslitbangtan, 2004). Penanaman padi gogo terus dilakukan pada lahan kering dan marjinal sebagai salah satu upaya ekstensifikasi pertanian. Padi gogo adalah padi yang ditanam di lahan kering dengan sumber air terutama dari air hujan. Padi gogo dapat tumbuh pada ketinggian mulai diatas permukaan laut hingga 2500 mdpl (Datta, 1975 dalam Puslitbangtan, 2003). Lahan marjinal memiliki kendala antara lain tingkat kemasaman tanah yang tinggi, tercekam Al, dan lingkungan kering yang memudahkan Pyricularia oryzae menyerang pertanaman padi gogo. Tingkat produksi yang rendah pada padi gogo antara lain disebabkan daerah pertanaman yang kurang berkembang, tidak adanya jaringan irigasi yang memadai, gulma yang mengganas di lahan kering, serta serangan hama dan penyakit terutama penyakit blas yang
disebabkan
oleh
cendawan
Pyricularia
oryzae
(Partohardjono,
1992).
Menurut
Puslitbangtan (2003), produksi padi gogo petani menurun karena teknologi budidaya tradisional, penanaman varietas lokal, pengendalian gulma yang kurang intensif, dan munculnya serangan penyakit blas. Tidak mudah mengendalikan meluasnya serangan blas karena perubahan ras P. oryzae yang relatif cepat. Hasil pengujian 1000 varietas padi lokal yang diuji dengan delapan isolat utama blas, hanya didapatkan 10 varietas yang tahan (Balitbangtan, 1991). P.oryzae mampu beradaptasi dengan tanaman inang dalam 2-4 musim. Varietas tanaman yang semula tahan bisa menjadi rentan setelah 2-3 musim tanam pada wilayah tertentu dengan kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangannya (Nasution, 1995). Penggunaan varietas resisten tetap menjadi pilihan utama diantara metode pengendalian yang ada, karena masih dianggap cara yang paling murah dan paling aman, apalagi jika didukung sistem budidaya yang tepat, sehingga bisa menghambat terbentuknya ras P. oryzae yang baru. Optimalisasi lahan marjinal tersebut dapat diupayakan dengan menciptakan varietas unggul baru padi gogo yang tahan terhadap penyakit blas, dan berdaya hasil tinggi. B. Cara Penyerangan dan Gejala Penyakit Blas Konidiospor berkecambah pada permukaan daun dan menghasilkan apresoria coklat pada pucuk pembuluh, dimana infeksi akan berkembang dan melakukan penetrasi pada sel-sel epidermal melalui kutikula. Setelah invasi, fungi berhasil berkembang melalui percabangannya dan memasuki epidermal tetangga atau sel-sel tetangga dengan penetrasi langsung (Yoshi, 1937 dalam Matsuo et. al, 1995).
Luka akibat serangan P. oryzae bisa terjadi pada semua bagian tanaman, namun jarang sekali menyerang pada batang. Karakter luka pada helai daun beragam sesuai kondisi lingkungan dan tingkat ketahanan tanaman inang. Luka pada awalnya berwarna sering putih hingga abu-abu hijau dengan pinggir hijau gelap. Luka yang lebih tua biasanya memutih hingga keabu-abuan dengan pingir menguning. Bentuknya beragam, tapi biasanya berbentuk seperti permata atau belah ketupat. Ukuran luka bervariasi sesuai dengan umur tanaman dan tingkat ketahanan tanaman. Luka pada helai daun saat fase reproduktif biasanya lebih luas daripada tanaman yang masih muda. Infeksi pada bagian lain dari tanaman adalah pada pangkal malai, pelepah daun dan ruas batang (Singh, 1978). C. Keragaman Patogen dari Ras Pyricularia oryzae Cav Tahun 1922, Sasaki di Jepang mencatat keberadaan ras-ras patogen P. oryzae. Sejak 1950an, beberapa negara terutama Jepang, Amerika, dan Taiwan kemudian mempelajari ras-ras tersebut secara lebih intensif. Masing-masing negara menggunakan set yang berbeda dari varietas yang beragam. Banyak ras yang diidentifikasi di setiap negara tersebut. Kemudian pada 1960-an ada juga laporan mengenai ras-ras berikutnya dari Philipina, Indonesia, Korea, dan Kolombia (Ou, 1975 dalam Bonman, 1992). P. oryzae diketahui mempunyai banyak ras fisiologi yang berbeda-beda sifat dan virulensinya. Pada tahun 1975, IRRI sudah melaporkan adanya 260 ras fisiologi (Semangun, 1991). Konidium-konidium yang dihasilkan oleh suatu biakan murni yang berasal dari konidium tunggal dapat berkembang menjadi banyak ras (Thurston, 1984). Patogenisitas dipengaruhi oleh perbedaan mekanisme metabolisme dan senyawa-senyawa kimia yang terdapat pada cendawan P. oryzae (Otsuka et al., 1963). Para peneliti Jepang dan India
membuktikan bahwa P. oryzae mampu membentuk beberapa macam toksin, antara lain ßpicolinic acid, pyricularin, pyriculol, dan tenuazonic acid (Ou, 1985). Keragaman patogen dari P. oryzae sangat kompleks. Perubahan patogenisitas berlanjut seiring pertumbuhan fungi. Konidia dihasilkan pada luka tunggal, kultur konidia tunggal, atau dari pertumbuhan hifa ujung. Pada satu dari tiga sel konidia mungkin bisa berbeda rasnya. Satu tipe luka blas memproduksi 2000-6000 konidia. Jika lebih dari satu isolat monokonidial diuji, lebih dari 150 ras diketahui di Philipina yang diidentifikasi dari luka tunggal atau kultur tunggal. D. Mekanisme Ketahanan Tanaman Padi Terhadap Blas Resistensi tanaman adalah kemampuan untuk mencegah pertumbuhan patogen dalam selsel tanaman (Takahashi, 1963). Tanaman tergolong tahan jika tidak terserang atau hanya sedikit kerusakan yang terjadi akibat serangan patogen tersebut. Kerentanan tanaman dicirikan sebaliknya, yaitu banyaknya serangan dan kerusakan oleh patogen penyebab penyakit (Nelson, 1975). Resistensi tanaman terhadap penyakit bisa dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam tanaman (Otsuka et al., 1963). Ketahanan karena faktor luar antara lain dipengaruhi oleh lingkungan. Banyak faktor yang mendukung kemudahan padi gogo terserang blas. Faktor tersebut diantaranya kondisi kelembaban tanah, kadar Nitrogen serta kelembaban udara. Menurut Thurston (1995), tanaman yang tumbuh pada kondisi kelembaban tanah yang tinggi menjadikannya lebih resisten dibandingkan pada kondisi lahan kering. Itulah mengapa
padi gogo sering
digunakan sebagai bahan perakitan varietas yang tahan terhadap penyakit blas. Kadar Nitrogen yang tinggi juga bisa meningkatkan infeksi P. oryzae, oleh karena itu konsentrasi
Nitrogen yang tinggi juga bisa digunakan dalam pengujian untuk evaluasi ketahanan terhadap blas. Efek kelembaban udara yang tinggi adalah embun yang menyediakan air bebas untuk digunakan bagi perkembangan konidia, dan pada kelembaban antara 90-92% berpeluang untuk menginfeksi padi. Lingkungan yang kering pada padi gogo juga membuka peluang terserang blas lebih besar dibanding padi sawah. Pada kondisi kering tersebut, salah satu unsur hara yang terganggu penyerapannya adalah silikat, yang merupakan bahan penting penyusun dinding sel. Siregar (1981) menambahkan, silikat yang tidak banyak dilarutkan oleh air menyebabkan hanya sedikit yang bisa diserap tanaman sehingga dinding sel menjadi lebih mudah ditembus cendawan P. oryzae. Berdasarkan penelitian Miyake dan Adachi (1922)
dalam
IRRI (1963), melaporkan bahwa varietas yang tahan memiliki
kandungan silikat yang lebih tinggi jika dibanding varietas yang rentan. Ada dua faktor yang menyebabkan silikat mampu meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap blas. Pertama adalah silikat yang terdeposisi pada jaringan epidermal secara mekanis melindungi invasi hifa. Kedua adalah secara fisiologi, silikat meningkatkan asimilasi amonium dan mengendalikan peningkatan pada pelarutan komponen nitrogen, termasuk asam amino dan amida yang merupakan bahan perkembangbiakan hifa (Matsuo et al, 1995). Derajat resistensi meningkat seiring meningkatnya jumlah penggunaan silikat dan jumlah akumulasi silikon pada tanaman padi (Miyake dan Ikeda, 1932 dalam IRRI, 1963). Jumlah aplikasi nitrogen yang berlebih dapat menurunkan akumulasi silikat pada tanaman. Hal ini dikuatkan oleh banyak peneliti (IRRI, 1963). Jumlah sel-sel tersilifikasi per unit area lebih banyak pada daun bagian bawah dan semakin menurun pada daun bagian atas selama fase perkembangan vegetatif. Pada fase pemasakan jumlah sel- sel tersilifikasi per unit area
meningkat secara cepat pada daun yang paling atas. Polimerisasi asam silikat memenuhi sela pada misel selulosa yang membentuk membran selulosa silikat. Tanaman padi yang tumbuh pada kondisi yang bebas silikon menunjukkan tingkat respirasi yang abnormal. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa transportasi dan deposisi silikon pada tanaman padi berhubungan erat dengan transpirasi, karena silikon berada pada sepanjang jalur transpirasi. Lapisan silika gel pada epidermis juga berfungsi untuk mengontrol transpirasi serta menghalangi invasi fungi dan serangga. Aplikasi ammonium sulfat mampu mengurangi kehilangan ketahanan dari epidermis daun sehingga mampu menahan serangan blas. Menurut Amir (1985), sistem budidaya juga berpengaruh terhadap sifat kerentanan padi gogo terhadap blas. Beberapa kebiasaan petani seperti penggunaan pupuk yang melebihi dosis anjuran terutama urea, membiarkan jerami padi, serta penggunaan pestisida yang tidak tepat bisa memicu meluasnya serangan blas, bahkan bisa menyebabkan terbentuknya ras baru yang semula tidak ditemukan. Efek dari bentuk N yang diserap mungkin berdampak secara langsung terhadap kerentanan tanaman. Osuna-Canizalez et al., (1991) dalam
Bonman (1992) membuktikan bahwa
tanaman yang diberi NO3-N pada nutrisi kulturnya lebih rentan dari pada yang diberikan NH4+-N. Mereka menyimpulkan bahwa bentuk N mempengaruhi mekanisme pertumbuhan yang menyebabkan kerentanan terhadap blas. Lama pengembunan juga berpengaruh secara langsung pada patogen. Pada temperatur optimum (sekitar 25o C), patogen dapat menginfeksi tanaman setelah 6-8 jam pengembunan. Pada suhu sekitar 16o C infeksi terjadi kemudian setelah 16-20 jam.
Temperatur di atas 28
o
C mendukung pertumbuhan P. oryzae tapi juga merangsang
ketahanan inang. Tanaman lebih rentan pada temperatur rendah, sekitar 20
o
C, akan
mendukung kemudahan infeksi walaupun pertumbuhan patogen saat itu rendah. Ketahanan tanaman meliputi ketahanan lengkap dan ketahanan parsial (Roumen, 1993). Ketahanan lengkap jika terdapat interaksi yang berbeda dari varietas tanaman terhadap berbagai macam ras patogen, sehingga tanaman hanya tahan pada ras patogen tertentu. Ketahanan parsial jika interaksi antara varietas tanaman dan berbagai ras patogen sama, sehingga tanaman bisa menahan berbagai serangan ras patogen. Ketahanan lengkap dapat diintroduksikan ke tanaman relatif mudah dan dampaknya akan terlihat dengan cepat yaitu adanya reaksi hipersensitifitas tanaman. Ketahanan lengkap berhubungan dengan plastisitas patogen. Jika tanaman memiliki ketahanan lengkap dan mendapat serangan ras patogen, maka patogen bisa menjadi plastis dan dapat memproduksi gen mematikan yang menyerang dan membentuk gen resistansi sehingga ras patogen lebih kuat menyerang atau membentuk ras yang lebih baru. Ketahanan parsial sebaliknya tidak berhubungan dengan plastisitas patogen. Patogen tidak mendapat keuntungan dengan membentuk ras baru karena tanaman mampu menahan serangan seluruh ras patogen. Kultivar dengan ketahanan parsial tetap menjadi kultivar yang tahan walaupun
ras patogen menjadi
beragam (Roumen, 1993). Van der Plank (1975) mendefinisikannya sebagai ketahanan vertikal untuk ketahanan lengkap dan katahanan horisontal untuk ketahanan parsial. Ketahanan vertikal ditentukan oleh karakter kualitatif yang dikontrol oleh beberapa gen mayor atau monogenik sedangkan ketahanan horizontal dikontrol oleh gen-gen minor atau poligenik. Kriteria dari ketahanan
vertikal adalah tipe luka, bukan jumlah luka. Ketahanan horizontal berdampak pada keduanya yaitu jumlah dan tipe luka dimana tipe luka memperlihatkan banyaknya sporulasi. Jumlah luka pada tanaman yang memiliki ketahanan horizontal lebih sedikit daripada varietas yang rentan pada kondisi yang sama dan diinokulasi dengan jumlah spora yang sama. Waktu yang diperlukan untuk luka baru hingga membentuk spora (periode antara inokulasi dan sporulasi selanjutnya) pada tanaman yang memiliki ketahanan horizontal lebih lama dibanding pada tanaman dengan ketahanan vertikal. Banyaknya sporulasi pada luka lebih sedikit pada ketahanan horizontal daripada vertikal (Van der Plank, 1975). Permasalahan utama yang muncul dalam pemuliaan untuk ketahanan penyakit adalah mekanisme katahanan yang spesifik dan kemampuan parasit yang spesifik serta variabilitasnya. Ketahanan yang spesifik adalah kemampuan tanaman yang hanya efektif dalam melawan satu spesies parasit atau biasa disebut ketahanan spesifik-patogen (Van der Plank, 1968 dalam Parlevliet, 1993). Kemampuan parasit adalah kemampuan dalam memanfaatkan tanaman sebagai sumber nutrisi, termasuk menemukan lokasi inang (Littlefield dan Heath, 1979 dalam Parlevliet, 1993). Penelitian kemudian diarahkan untuk mendapat gen-gen ketahanan yang mampu menahan serangan beberapa ras sekaligus melalui pendekatan bioteknologi. Laporan pertama pada studi genetik ketahanan terhadap blas disampaikan oleh Sasaki pada tahun 1922. Setelah 66 tahun kemudian penelitian terbagi menjadi dua fase. Fase pertama pada awal kemajuan penelitian, percobaan dilakukan untuk memperkirakan jumlah gen-gen yang mengontrol ketahanan. Pada fase kedua dimana studi intensif telah dilakukan untuk
mengidentifikasi
gen-gen
ketahanan,
strain-strain
fungi
yang
telah
diketahui
patogenisitasnya digunakan untuk inokulasi. Penelitian yang dilakukan Sasaki membuka jalan untuk studi genetik hubungan inang-patogen yang berkembang pada 1960-an. Distribusi geografis gen-gen ketahanan yang dihasilkan antara lain Pi-a diidentifikasi pada varietas dari Jepang, Korea, Cina, India dan Pakistan. Pi-I pada varietas dari Jepang, Korea dan USA, Pi-k dan Pi-km dari varietas Jepang dan Cina. Pi-kp
dari varietas Jepang dan
Pakistan, Pi-kh dari varietas Jepang, Vietnam, India dan USA, Pi-ks dari varietas Jepang, China dan USA. Pi-ta, Pi-ta2 dari varietas Jepang, China dan Philipina. Pi-z dari varietas Jepang, USA dan Perancis, Pi-z dari varietas India, Jepang, Thailand dan Malaysia. Pi-b, Pi-t dari varietas Jepang, Malaysia dan Indonesia dan Pi-sh dari varietas Jepang (Matsuo et al, 1995). Studi pewarisan menunjukkan bahwa ketahanan dikendalikan oleh gen utama dominan atau gen utama dominan dan resesif yang dilatarbelakangi gen-gen minor (Makmur, 2003). Makmur juga menyatakan metode silang balik untuk mendapatkan ketahanan gen-gen utama sukar dilaksanakan, oleh karena itu metode untuk menghimpun gen-gen ketahanan lebih memungkinkan. Berdasarkan hasil penelitian dari Rusdiansyah (2002), sifat ketahanan blas terhadap ras 033 pada tetua donor Oryza glumaepatula menunjukkan sekurang-kurangnya dikendalikan oleh gen dominan dengan interaksi yang kompleks. Hasil penelitian tersebut menggunakan ras 033 dan 041, dimana hasilnya disimpulkan bahwa yang mengendalikan ketahanan untuk kedua ras tersebut berbeda dan bersifat independent satu dengan yang lainnya.
Utami (2000) dalam Rusdiansyah (2002) menyimpulkan bahwa dari hasil pengujian pada progeni BC2F3
hasil keturunan silang balik IR 64/Oryza rufipogon/IR 64 terhadap tiga ras
173, 033, dan 001 menunjukkan bahwa sifat ketahanan pada O. rufipogon dikendalikan oleh banyak gen. Penelitian terbaru yang dilakukan Utami (2005) menunjukkan bahwa karakter ketahanan terhadap patogen blas bersifat kuantitatif dengan aksi gen epistasis duplikat untuk ras 001 dan 033, dan epistasis komplementer untuk ras 173. Para tim ahli di International Rice Blast Genome Consortium and the Whitehead Institute for Genome Research di Cambridge, Massachusetts bekerjasama dengan U. S. Department of Agriculture-National Science Foundation Microbial Genome Sequencing Program, telah memetakan dan mempublikasikan genom P. oryzae yang bisa diakses via internet untuk memudahkan para peneliti dari negara lain memanfaatkannya. Para ahli mengidentifikasi ada sekitar 40 juta pasang basa pada genom P. oryzae yang tersimpan dalam fragmen DNA yang disebut BACs (Bacterial Artificial Chromosomes) (Dalke, 2002). E. Daftar Pustaka Amir, M. 1985. Blast Disease ( Pyricularia oryzae Cav.) Control on Dry Land (Seminar of May, 1985). Directory of Food Crops Protection. Pasar Minggu. Jakarta North. 24 p. Adiratna, E. R. 2004. Seri Agriwawasan Stop Tanam Padi. Penebar Swadaya, Jakarta. 116 p. Balitbangtan. 1991. Padi Buku 3. Balitbangtan. Bogor. Bonman, J. M. 1992. Durable resistance to Rice Blast disease-environment influences p. 115-124 In R. Johnson and G. J. Jellis (eds.) Proceed. of a Breeding for Disease Resistance. Kluwer Academic Publishers. Netherland. 205 p. BPS. 2001. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. BPS. Jakarta. 108p. Dalke, K. 2002. Fighting Blast Disease: Rice Pathogen Sequenced. Annual Review of Microbiology. Vol. 50. USA.. Irawan, B. 2003. Konversi Lahan Sawah di Indonesia dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi Sawah. Prosiding Seminar Nasional Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Jakarta, November 2003. IRRI. 1963. The Rice Blast Disease. Los Banos, Philiphines. 507 p. Matsuo, T., K. Kumazawa, and R. Ishii. 1995. Science of the Rice Plant Vol. II Physiology. Food and Agriculture Research Center, Tokyo. 1239 p.
Nelson, R R. 1975. Horizontal resistance in plant : Concepts, Controversies and Applications. Proceed. Of the Seminar on Horizontal Resistance to Blast Disease of Rice. CIAT. Otsuka, H., Kinjiro T., Nagahiro O. 1963. Variability of Pyricularia oryzae in Culture in the Rice Blast Disease. Proceed. Of a symposium at the International Rice Research Institute. The Johns Hopkins Press. Baltimore, Maryland. In Rice Blast Disease. Proceed. Of a symposium at the International Rice Research Institute. John Hopkins Press. USA. Ou, S. H. 1985. Rice Disease 2 . Commonwealth Mycological Institute. 380 p. Pasandaran, E. Irianto. 2003. Pendayagunaan dan Peluang Pengembangan Irigasi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Padi di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Jakarta, November 2003. Partohardjono, S. 1992. Rangkuman Hasil-hasil Penelitian Padi Gogo 1987-1980 dalam Proyek Pengembangan Penelitian Tanaman Terapan. p. 33-43. In M. Mahmud, M. K. Kardin dan L. Gunarto (eds.). Proosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus. 1991. Balitbangtan Puslitbangtan. 1985. Pengendalian Terpadu terhadap Hama dan Penyakit dan Gulma pada Padi. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Puslitbangtan. 2003. Laporan Hasil Utama Penelitian Tanaman Pangan 2002. Puslitbangtan. Jakarta. 30p. Roumen. E. C. 1993. Durability of Disease Resistance In Th Jacobs and J. E. Parlevliet (eds.). Kluwer Academic Publishers. Printed in Netherland. Rusdiansyah. 2002. Introgresi sifat-sifat agronomi dari spsies padi liar serta studi pewarisan sifat ketenggangan Al dan ketahanan penyakit blas daun pada populasi keturunan silang balik Oryza glumaepatula. Disertasi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. 132 p. Singh, R. S. 1978. Plant Diseases 4th edition. Oxford and IBH Publishing Co. Pantnagar, Naini Tal, India. 564 p. Siregar, H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Edisi Kedua. PT. Sastra Hudaya. 319 p. Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 449 p. Takahashi, Y. 1963. Genetics of Resistance to the Rice Blast Disease. The John Hopkins Press. Baltimore, Maryland. Thurston, H. D. 1984. Tropical Plant Disease. The American Phitophathological Society Press. St. Paul, Minnesota. 208 p. Utami, D. W. 2005. Analisis QTL sifat ketahanan penyakit blas (Pyricularia oryzae) pada populasi hasil persilangan IR 64 dengan spesies padi liar Oryza rufipogon Griff. Disertasi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. 120 p. Van der Plank. 1975. Horizontal Resistance. Six Suggested project in relation to Blast Disease of Rice. Proceedings of the Seminar on Horizontal Resistance to the Blast Disease. Centro International de ASgricultura Tropical (CIAT).