MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG Oleh : Nurul Huda, SH Mhum Abstrak Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tidak lagi menjadi kewenangan lembaga legislatif daerah merupakan hal baru dalam sistem Pemilu di Indonesia, walaupun hal tersebut sebenarnya sudah sering dilaksanakan pada saat pemilihan Kepala Desa. Sebagai hal yang baru berbagai macam persoalan muncul terutama dalam hal pendanaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan cara pemilihan sebelumnya. Demikian juga ditemukan hal krusial yang perlu diantisipasi sejak awal untuk menghindari berbagai kemungkinan kericuhan dan kerawanan sosial. Kata kunci : Pilkada Langsung sebagai implementasi kedaulatan rakyat Pendahuluan Perubahan (amandemen) kedua UUD 1945 pasal 18 ayat (4) mengatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi,kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Untuk melaksanakan pasal tersebut, telah diundangkan Undang-undang nomor: 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah nomor: 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Berdasarkan dua produk perundang-undangan tersebut, pemilihan kepala daerah secara demokratis dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat 54
seperti halnya pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden yang telah dilaksanakan melalui pemilihan umum tahun 2004 yang baru lalu, dengan sedikit banyak perubahan pola dalam hal pelaksanaannya. Hal ini sebagai kelanjutan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat yang merupakan amanat reformasi. Sekalipun terdapat pro-kontra khususnya mengenai substansi materi hukumnya, tetapi spirit untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung harus mendapatkan apresiasi yang positif, apalagi Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan mengenai masalah-masalah krusial yang diajukan judicial review oleh beberapa pihak, khususnya dari
Komisi Pemilihan Umum maupun KPU di beberapa daerah. Mekanisme Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara Langsung telah diatur oleh UU no. 32/2004 dari pasal 56 sampai dengan pasal 119 dan Peraturan Pemerintah no. 6/2005 sebagai pelaksanaan UU tersebut, yang secara khusus mengatur mengenai pemilihan, pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terdiri dari 152 pasal dan telah disahkan pada tanggal 11 Pebruari 2005. Menurut pasal 4 PP, pemilihan kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD (Kabupaten/Kota/Propinsi), yang dalam pelaksanaan teknisnya dibantu oleh PPK, PPS dan KPPS. Diluar penyelenggara pemilihan, dibentuk pula Panitia Pengawas Pemilihan pada tingkat Kabupaten/Kota oleh DPRD Kabupaten/Kota masingmasing, yang dibantu Panitia Pengawas Pemilihan tingkat Kecamatan (pasal 105). Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini dapat dilakukan pemantauan oleh Pemantau Pemilihan yang meliputi LSM dan badan hukum dalam negeri yang bersifat independen dan mempunyai sumber dana yang jelas
(pasal 115). Adanya kelembagaan sebagaimana dimaksud di atas dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan pemilihan berlangsung secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (pasal 4 ayat 3). Secara teknis tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung meliputi Tahap Persiapan dan Tahap Pelaksanaan. Tahap Persiapan meliputi beberapa kegiatan, yaitu: a. Pemberitahuan tertulis berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah kepada Bupati/Walikota oleh DPRD 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya jabatan Bupati (pasal 2 ayat 1 dan ayat 4 PP); b. Pemberitahuan tertulis berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah kepada KPU Kabupaten/Kota oleh DPRD 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya jabatan Bupati (pasal 2 ayat 1 dan ayat 4); c. Perencanaan penyelenggaraan meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pasal 2 ayat 1);
55
d. Pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS (pasal 2 ayat 1); e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan (pasal 2 ayat 1). Tahap Pelaksanaan meliputi beberapa kegiatan, yaitu: a. Penetapan daftar pemilih dan pembuatan kartu pemilih (bab IV PP) b. Pendaftaran dan penetapan calon meliputi kegiatan (bab V PP): 1. Pendaftaran pasangan calon (bab V bag. Kedua pasal 4142) 2. Penelitian persyaratan pasangan calon (bab V bag. Ketiga pasal 43-49) 3. Melengkapi persyaratan bagi pasangan calon yang blm lengkap (psl 45-46) 4. Penelitian ulang persyaratan pasangan calon (pasal 47) 5. Pengumuman pasangan calon (bab V bag. keempat pasal 51) c. Pelaksanaan kampanye (bab VI bag. pertama pasal 54-55) d. Pemungutan suara (bab VII pasal 70-83) e. Penetapan pasangan calon terpilih (bab VII pasal 95) f. Usulan pasangan calon terpilih (pasal 99 ayat 2 ) 56
g. Pengesahan (pasal 99 ayat 3) h. Pelantikan (pasal 102 ayat 2) Pada tiap tahapan tersebut PP juga telah mengatur berbagai aturan teknis penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung dalam bentuk form/kelengkapan administratif dari mulai penetapan daftar pemilih, persyaratan pencalonan, pendaftaran dan penetapan calon, kegiatan kampanye sampai kegiatan pemungutan suara, yang pada garis besarnya banyak mengadopsi aturan-aturan teknis pelaksanaan pemilihan presiden yang baru lalu. Yang membedakan adalah bahwa kata kunci dari sukses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terletak pada Pemerintah Daerah setempat, DPRD, Penyelenggara Pemilihan (KPU Kabupaten/Kota) beserta aparaturnya masing-masing dan Partai Politik serta masyarakat di daerah. Mengapa demikian? Karena pemerintah daerah memiliki tanggung jawab menanggung biaya penyelenggaraan pemilihan sebagaimana disebut pasal 134 PP (disini tidak dijelaskan apakah APBD termasuk juga didalamnya APBD Propinsi), demikian juga DPRD memiliki peran strategis berkaitan dengan pembahasan anggaran, pembentukan panitia
pengawas maupun kegiatan lain yang ada hubungannya dengan pemilihan seperti melaksanakan sidang paripurna untuk mendengarkan visi – misi pasangan calon maupun kewenangan lain yang dimiliki pada tahapan persiapan. Sedangkan KPU Kabupaten/Kota diberikan otonomi oleh undang-undang sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah (pasal 4 ayat 1 PP) dengan segala kewenangan, hak dan kewajibannya termasuk membuat regulasi (dalam bentuk Peraturan dan Keputusan) teknis penyelenggaraan. Sementara partai politik memiliki peran karena dia menjadi pintu masuk proses pencalonan sebagaimana dimaksud pasal 36 ayat (1) PP. Sesuai dengan Keputusan MK, partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mencalonkan adalah yang memiliki 15% kursi di DPRD setempat atau 15% akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu 2004 sekalipun partai atau gabungan partai itu tidak memiliki kursi di DPRD. Demikian juga masyarakat akan sangat mempengaruhi kondisi dan konstelasi politik di daerah mengingat kedekatan emosional antara calon dan pemilihnya (masyarakat).
Masalah-masalah Krusial Pertanyaannya sekarang, apakah daerah (Kabupaten/Kota) siap menyelenggarakan pemilihan kepala daerahnya sendiri secara langsung? Untuk menjawab pertanyaan ini barangkali perlu terlebih dahulu merenungkan berbagai masalah yang cukup krusial berikut ini. 1. Isu tentang Pendataan Pemilih Dalam pemilihan kepala daerah, acuan daftar pemilih adalah daftar pemilih dalam pemilihan umum terakhir (pilpres tahap II) yang dimutakhirkan dan divalidasi ditambah daftar pemilih tambahan (pasal 19 PP). Kegiatan pemutakhiran dan validasi data menurut penjelasan pasal 19 ayat (2) dilakukan oleh perangkat daerah (kependudukan dan catatan sipil). Dalam hal ini persoalan menjadi tidak sederhana karena dalam banyak kasus sumber data yang berupa data olahan P4B diragukan validitasnya (kasus ini pernah dilontarkan dalam diskusi di Kota Pekalongan) sehingga praktis kantor kependudukan dan catatan sipil harus kerja keras, bahkan bisa jadi kerja pemutakhiran data dapat berubah menjadi kerja semacam pendaftaran/pendataan pemilih (mulai dari 0) yang sudah 57
tentu akan membawa konsekuensi anggaran yang cukup besar karena harus melibatkan struktur pemerintahan pada tingkat desa/kelurahan termasuk RT/RW.
kartu seribu rupiah maka dengan jumlah pemilih 500 ribu orang dibutuhkan dana ½ milyard rupiah. Fantastis! 3. Isu tentang Jumlah Pemilih tiap
2. Isu tentang Kartu Pemilih Menurut pasal 23 PP, pemilih yang sudah terdaftar mendapatkan tanda bukti terdaftar yang selanjutnya ditukarkan dengan kartu pemilih. Dengan ketentuan ini berarti dalam pemilihan kepala daerah, penyelenggara pemilihan harus mengadakan kartu pemilih yang baru dengan format dan spesifikasi teknis yang sudah ditentukan dalam lampiran PP, dan tidak menggunakan kartu pemilih yang pernah digunakan dalam pemilu 2004 yang lalu, padahal dalam setiap sosialisasinya KPU mengatakan bahwa kartu pemilih berlaku seumur hidup dan digunakan setiap kegiatan pemilihan. Ketentuan ini disamping tidak konsisten dengan sistem yang sudah dibangun, juga merupakan kebijakan pemborosan dan tidak efisien. Berapa dana yang harus dikeluarkan untuk pengadaan kartu pemilih ini mudah dihitung, kalau misalnya indeks selembar 58
TPS Masih berkaitan dengan pemilih, menurut pasal 78 PP, jumlah pemilih di setiap TPS maksimum 300 orang. Ketentuan ini mengadopsi begitu saja pola yang dipakai dalam pemilu 2004. Ketetapan 300 pemilih dalam tiap TPS sangat dipahami pada saat pemilu legislatif karena pemilih harus memberikan suara pada 4 (empat) jenis surat suara yaitu DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan ini membawa konsekuensi penganggaran yang luar biasa karena jumlah TPS akan tetap banyak (membengkak). Rupanya kita tidak bisa mengambil pengalaman pada saat pilpres maupun pemilihan kepala desa. Pada saat pilpres, jumlah pemilih 300 per TPS ternyata menyisakan waktu yang cukup lama bagi KPPS atau lebih cepat selesai kegiatan pemungutan suaranya, sementara pada kegiatan pemilihan kepala desa, pemilih cukup dilayani oleh 1
TPS (tobong) dan pengalaman menunjukkan bahwa hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Sekalipun penjelasan terhadap pasal 78 PP memungkinkan adanya pengecualian terhadap ketentuan tersebut tetapi posisi hukumnya tidak kuat karena bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi (UU), hal ini tentu menjadi kekhawatiran mengenai keabsahan hasil pemilu. Kalau saja dalam satu TPS bisa melayani 500 saja pemilih misalnya, berapa anggaran yang dapat dihemat untuk kepentingan yang lebih bermanfaat. 4. Isu tentang Alat Kelengkapan Administrasi Dalam hal alat kelengkapan administrasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, ragam dan jenisnya hampir sama dengan penyelenggaraan pemilu 2004. Yang membedakan, alat kelengkapan ini seluruhnya diadakan sendiri oleh daerah. Hal yang sama juga terjadi berkaitan dengan regulasi/pengaturan teknis baik yang berupa peraturan maupun keputusan didesentralisasikan karena KPU
Kabupaten/Kota diberikan wewenang penuh untuk menyusun produk-produk hukum tersebut yang kurang lebih berjumlah 30 produk. Sudah barang tentu, kesiapan untuk mempersiapkan alat kelengkapan administrasi yang berbentuk software maupun hardware ini menjadi persoalan tersendiri baik menyangkut aspek SDMnya maupun dana yang dibutuhkan. Alat kelengkapan administrasi yang berbentuk form ini meliputi lebih dari 60 jenis/model. Belum lagi kalau kita bicara mengenai proses pengadaan/pencetakannya dengan jumlah yang cukup besar. Masalah ini juga terjadi pada proses pembuatan surat suara yang akan digunakan dalam pemungutan suara sebab proses pencetakan surat suara ini baru dapat dilakukan setelah penetapan pasangan calon. Padahal dalam keadaan tertentu menurut pasal 53 PP, apabila terjadi salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap sejak penetapan calon sampai pada saat dimulainya hari kampanye, partai politik/gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap masih dapat mengusulkan pasangan calon 59
pengganti paling lambat 3 hari sejak pasangan calon berhalangan tetap dan KPU Kabupaten/Kota melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat 4 hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan. Persoalan yang muncul dalam kaitan tersebut adalah soal waktu proses pencetakan surat suara yang demikian singkat, yang sudah tentu akan juga membawa konsekuensi anggaran yang lebih besar, disamping persoalan teknis lainnya seperti masalah distribusi kepada KPPS. 5. Isu tentang Biaya Keamanan Pemilu 2004 telah memberikan pengalaman baru kepada kita dalam berdemokrasi yang cukup baik antara lain masyarakat mulai memahami makna perbedaan pendapat dan bagaimana mensikapinya, sehingga praktis konflik diantara pendukung parpol dalam pemilu legislatif maupun pasangan calon dalam pilpres minimal sekali. Persoalan akan berbeda dalam hal pemilihan kepala daerah mengingat kedekatan geografis dan ikatan emosional antara pasangan calon dengan para pendukungnya. Realitas juga 60
menunjukkan bahwa dalam pemilihan kepala daearah ini terdapat banyak pihak yang ikut bermain, baik dari tim kampanye maupun pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari proses demokrasi tersebut. Dalam konteks ini maka masalah pengamanan menjadi salah satu isu penting juga khususnya dalam penganggarannya. Kompas misalnya mencatat, di salah satu kabupaten di Sumatera yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah pada tahun 2005 ini menetapkan biaya keamanan mencapai 672 juta. Solusi Dengan memahami berbagai isu krusial sebagaimana dideskripsikan di atas, berbagai kebijakan dan antisipasi perlu segera dirumuskan antara lain melalui reformulasi kebijakan yang memungkinkan adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Pada sisi lain, hendaknya inisiatif daerah untuk melakukan inovasi dan variasi dalam penyelenggaraan pemilihan ini mendapatkan ruang yang cukup sehingga muatan lokal ini dapat memperkaya proses demokrasi yang kita selenggarakan.
Ini sangat diperlukan mengingat bahwa demokrasi merupakan sarana dan bukan tujuan. Tujuan yang sebenarnya dari demokrasi adalah kesejahteraan masyarakat. Bukan merupakan hal yang bijaksana dan justru bertentangan dengan nilai demokrasi kalau ternyata proses itu mengabaikan hak-hak dasar dari masyarakat khususnya yang menyangkut kesejahteraannya. Daftar Pustaka Undang_Undang No. 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, Tentang Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
61