7 Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan dan Pendekatan Penanganannya Saut Sagala,1 ,2 Pudja Handika,2 M. Reza Arisandy2 1
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB Pusat Mitigasi Bencana, Institut Teknologi Bandung Email:
[email protected] 2
Abstrak Megakota menciptakan sebuah dinamika dan kompleksitas yang baru akibat dari perkembangan kota yang semakin tidak terkendali. Permasalahan yang dihadapi megakota di dunia memiliki karakteristik yang umum, seperti halnya Jakarta dengan permasalahan penduduk, kepadatan, sektor usaha formal, dan informal, kemiskinan, kriminalitas meningkat, serta potensi konflik sosial. Selain tantangantantangan tersebut, megakota seperti Jakarta dapat memiliki kerentanan (vulnerability) yang semakin tinggi terhadap bencana alam. Banjir besar yang melanda Jakarta pada tahun 1997 dan 2002 serta banjir-banjir pada tahun lainnya seakan-akan ingin menunjukkan bahwa inilah akibat dari perkembangan Jakarta sebagai megakota yang tidak terkendali. Tulisan singkat ini mengulas keberadaan Jakarta dan persoalan kebencanaan yang dihadapi. Dua megakota di dunia, Tokyo dan Seoul, diulas dalam tulisan ini sebagai perbandingan bagaimana mereka berhasil mengelola masalah kebencanaan dengan pembentukan institusi yang tangguh. Jakarta diharapkan dapat mengadopsi apa yang dilakukan oleh Tokyo dan Seoul di dalam penanganan persoalan kebencanaan. Kata kunci: megakota, Jakarta, bencana,pendekatanan,penanganan
7.1 PENGANTAR Megakota memiliki berbagai definisi yang berbeda. Beberapa penulis berargumen bahwa megakota adalah kota yang dicirikan memiliki populasi lebih dari 1 juta (Mitchell, 1998) 8 juta (Nicholls, 1995) dan 10 juta (Thouret, 1999). Dengan menggunakan definisi di atas, Jakarta dan wilayah di sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), atau yang biasa disebut Jabodetabek, termasuk di dalam kategori megakota.
SautHadi, Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan Pendekatan Suprayoga Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatandan Tahun 2004 129 Penanganannya
Megakotaa lebih darii sekedar sebuah s kota besar, yanng skalanya menciptakaan dinamika dan kom mpleksitas yang y baru. Megakotaa seringkalii mengalam mi pertumbuuhan ekonom mi yang pesaat sehingga mempunyai m peluang yanng lebih besar dan mengghadapi tekaanan yang kuuat untuk m melakukan peerubahan diseertai ancamaan degradasii lingkungann. Pemekarann dan perkeembangan koota yang tiddak terkendaali dapat meeningkatkan volume laalu lintas, konsentrasi k tinggi produuksi industrri, pembanguunan perumaahan yang tiddak mencukuupi dan dalam m beberapa kkasus ekstrem m seperti keesenjangan sosial s yang tinggi t antaraa masyarakatt yang berbeeda kelas ataau kelompokk pendapatann. Megakotaa dapat menjjadi begitu kompleks k sehhingga sangat sulit dalaam pengelolaaannya. Senttralitas politiik dan ekonoomi dapat m mengakibatkaan konsekuensi yang san ngat tinggi ketika terjadi bencana. Seebagai contohh, jika sebuaah bencana bbesar gempa bumi terjadi di Tokyo m maka akan menimbulkan m dampak yan ng besar sisteem keuangann seluruh dun nia (Hadfieldd, 1991; Uittto dan Schneider, 1996). Tantangann yang dihad dapi megakoota di dunia m memiliki karrakteristik yaang umum, di d antaranyaa permasalahhan penduduuk dan keppadatannya, penyebaran sektor usahha formal daan informal,, merebaknyya kemiskinaan, tingginyaa angka krim minalitas, daan potensi koonflik sosial lainnya. Meegakota dapaat terdiri atass sebuah kota yang berdiiri sendiri attau berupa dua d kota ataau lebih yanng semakin lama semakkin padat daan bersatu seperti Jabodetabek. Perkembanga P an populasi nasional yang cepaat, perubahann struktur sosial, s indusstrialisasi, ddan faktor lain l yang teerkait dengaan pembanguunan ekonom mi merupakaan alasan terb rbentuknya megakota. m M Migrasi ke kota berperan sebagai fakktor utama dalam d prosess yang lebihh besar, yanng melibatkaan pergeseraan dari pro oduksi prim mer menjaddi produksi sekunder dan tersieer. Kecenderrungan ini juuga terkait dengan d perubbahan keseim mbangan anttara pertaniann, industri, ddan perdaganngan serta deengan perubaahan sosial, politik p dan buudaya.
Gambar 7.1 1. Kepadatan n Bangunan dan Kendaraan n Kota Jakarta a Sumber : Observasi, O 20 011
Megakotaa menimbullkan tantanggan khusus untuk penggurangan reesiko bencanna dengan bberbagai alassan. Pertam ma, terdapat kompleksitaas secara geeografis, yaittu semakin luasnya daeerah kota menjadi m sebuuah megakoota membuatt bahaya daan kerentanaan semakin sulit s untuk diipantau. Selaain itu infrasttruktur yangg ada memilik ki keterbatassan untuk melayani m jum mlah pendudduk yang adda. Permasaalahan lainnyya yaitu polaa jalan yang rumit serta interkonektivvitas di wilaayah megakoota merupakaan tantangann fisik terhadap sistem transportasi.. Kedua, megakota m yanng terdiri daari 130
Mena arik da ari Jud dul Pelajaran Buku
50 TAHUN TA PERJA ALANAN PER RENCANAAN WILAYAH DA AN KOTA DI IN NDONESIA
sejumlah kota dengaan yurisdiksi masing-maasing memiliki tantangaan koordinaasi dalam keaadaan daruraat apabila benncana terjadii. Ketiga, terrdapat dampaak lingkungaan yang besaar bagi megakota. Megaakota memerrlukan konsuumsi energi, air, makanaan dalam jum mlah yang besar b sehinggga menimbullkan limbah padat, cair, dan gas serrta limbah paanas dalam ju umlah yang besar b pula. Tulisan inni melakukaan kajian litteratur tentanng megakotaa yang ada di dunia daan konteks Jakarta. Padaa bagian awall, tulisan ini akan membaahas posisi Jaakarta sebagai m an persoalan--persoalan keebencanaan di megakotaa. Kemudian tulisan ini mendiskusika Megakotaa Jakarta. Sebagai S penndekatan pennanganan persoalan kebbencanaan di d megakotaa, tulisan inii berargumenn perlunya sebuah s instittusi yang tanngguh, seperrti yang terdapat di Tokyyo dan Seoul.
7.2 JA AKARTA SE EBAGAI ME EGAKOTA Jakarta yang y menem mpati lahan seluas 662 kilometer persegi meerupakan kota kesebelass terbesar di dunia (Gambar 66.2). Pendudduk Jakartaa mengalam mi perkembaangan yang sangat pesatt. Pada tahuun 1950 terddapat sekitar 1,4 juta jiw wa pendudukk, menjadi 2,,7 juta jiwa penduduk paada tahun 19960, 6 juta jiiwa pendudu uk pada tahuun 1980, 9,11 juta jiwa penduduk p paada tahun 19995, dan padda tahun 201 10 mencapaii 9,6 juta jiwa j pendudduk. Ini bellum termasuuk sekitar 22,5 juta jiw wa pendudukk yang setiapp hari datangg dari daerahh sekitar Jakkarta untuk bbekerja secarra ulang-alikk (commutingg).
Gamb bar 7.2. Posiisi Jakarta diantara Megako ota di Dunia Sum mber : The Brin nkhoff, 2008
SaautHadi, Sagala, etkiran a Megakota al., Jakarta: Perssoalan Kebenc Pe endekatan Suprayoga Pemik Perencan naan di Indone esia Berdasar rcanaan Catatandan Tahu un 2004 13 31 Penan nganannya
Jakarta juga menjadi magnet bagi para imigran yang mencari kondisi kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 2015, Jakarta diharapkan menjadi kota terbesar kelima di dunia, dengan populasi sekitar 21,2 juta jiwa atau 15 kali lebih banyak dibandingkan dengan penduduk pada tahun 1950. Laju tahunan pertumbuhan penduduk mencapai 1,39 persen pada periode 2000-2010 dan kepadatan penduduk mencapai lebih dari 1300 jiwa per kilometer persegi pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik BPS, 2010) membuat Jakarta sebagai salah satu kota terpadat di dunia. Jakarta telah menjadi pusat perdagangan sejak abad ke-16-an, ketika perusahaan Hindia Belanda Timur mendirikan sebuah kota yang bernama Batavia yang berada dekat dengan Teluk Jakarta. Perkembangan jumlah manusia yang pindah ke kota merupakan awal dari bencana yang ditimbulkan oleh Megakota. Kondisi inilah yang terjadi di Kota Jakarta yang saat ini tumbuh menjadi Megakota Jakarta. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terkait dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota berdampak terhadap kerusakan lingkungan di kota ini. Salah satu yang juga menjadi tantangan utama bagi Kota Jakarta adalah pengelolaan akan pelanggaran batas perkotaan ke daerah pinggiran. Sejak tahun 1955, wilayah metropolitan telah meningkat lebih dari tiga kali lipat (Firman dan Dharmapatni, 1994). Seperti halnya dengan kota-kota besar lainnya, pinggiran kota Jakarta tumbuh lebih cepat dari kota itu (UNCHS, 1996).
7.3 BENCANA DI MEGAKOTA JAKARTA Sejumlah bencana alam secara rutin telah terjadi di Jakarta yang berkaitan dengan perkembangan kota dan kerusakan lingkungan. Bencana alam yang sering terjadi di Jakarta adalah bencana banjir yang terjadi setiap tahunnya dan hampir terjadi di seluruh kecamatan di kota ini. Banjir yang diakibatkan oleh naiknya permukaan air laut juga sering terjadi khususnya di Jakarta bagian utara. Jakarta sebagai megakota memiliki resiko yang sangat besar apabila terjadi bencana seperti halnya gempa bumi. Studi yang dilakukan oleh Yusuf dan Fransisco (2009) yang terkait dampak perubahan iklim menunjukkan bahwa wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara masing-masing menduduki peringkat pertama dan kedua sebagai wilayah yang paling rentan terhadap bencana di Asia Tenggara. Jakarta Pusat merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap banjir dan Jakarta Utara juga rentan terhadap banjir, akibat iklim yang menyebabkan naiknya permukaan air laut. Dalam laporan “Global Earthquake Safety Initiative” PBB juga mempublikasikan 10 megakota yang berbahaya di dunia apabila terjadi bencana alam dan Jakarta merupakan kota ketujuh. Perkembangan Jakarta menjadi megakota menyebabkan kebutuhan akan air bersih meningkat sehingga eksploitasi terhadap air tanah semakin tidak dapat terkendali dan menyebabkan penurunan permukaan tanah di Jakarta secara perlahan-lahan (Brinkman dan Hartman, 2008). Tingkat ekstraksi air tanah di Jakarta meningkat dari sekitar 17 juta m3 pada tahun 1998 menjadi 22,5 juta m3 pada tahun 2007 (Firman, 2010). Saat ini garam di dalam air tanah sudah terdeteksi, hal ini diakibatkan pengaruh pasang surut yang terjadi di Teluk Jakarta (Samsuhadi, 2010). Penurunan permukaan tanah di beberapa wilayah Jakarta terjadi 132
Menarik dari Judul Pelajaran Buku
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
secara signifikan, mencapai 80 cm selama 1982-1991, 160 cm selama periode 19911997, dan sekitar 20 cm selama periode 1997-1999 (Abidin et al., 2008). Ada empat jenis penyebab turunnya permukaan tanah di Cekungan Jakarta, yaitu penurunan air tanah (ekstraksi), beban konstruksi, konsolidasi alam, dan penurunan akibat proses tektonik (Abidin et al., 2008). Menurut Ward et al.(2010), terdapat indikasi kuat bahwa penurunan permukaan tanah di Jakarta akibat dari ekstraksi air tanah dengan volume yang sangat tinggi yang berasal dari akuifer menengah dan bawah. Berdasarkan data Dinas Industri dan Energi DKI Jakarta, terdapat 60 titik tanah di Jakarta yang sudah diteliti penurunan permukaan tanahnya sejak 20022010. Penurunan permukaan tanah yang paling mengkhawatirkan berada di Jakarta Utara. Lokasinya antara lain di Mutiara Baru, Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk, dan Ancol. Penurunan permukaan tanah juga terjadi di daerah Jakarta Barat, lokasinya antara lain di Cengkareng Barat, dengan penurunan sekitar 65 cm, sedangkan di Jakarta Timur penurunan terjadi sekitar 47 cm. Jakarta Pusat mengalami hal yang sama dengan penurunan sekitar 15 cm. Jakarta Selatan termasuk daerah yang tidak mengalami penurunan permukaan tanah. Penurunan permukaan tanah atau land subsidence di Jakarta akan tetap terjadi hingga 15 tahun ke depan, meski pengambilan air tanah dihentikan. Menurut Konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS), dalam 'Workshop Draft Atlas' di Jakarta pada tahun 2011, selama kurun waktu tersebut, permukaan tanah di Jakarta diprediksi bakal turun hingga 6,6 meter pada 2030. Pada periode 1974-2010, JCDS menemukan adanya penurunan permukaan tanah hingga 4,1 meter, di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Wilayah lain seperti Cengkareng Barat mengalami penurunan 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter, dan Cibubur 0,25 meter. Selama kurun waktu 1974-1982, penurunan permukaan tanah belum terjadi begitu signifikan seperti saat ini, karena ketika itu penggunaan air tanah tidak setinggi sekarang dan bangunan juga masih relatif sedikit. Pada 19821991, permukaan tanah Jakarta mulai mengalami penurunan, dan pada 1991-2010 kondisi itu makin meluas dan memburuk. Permasalahan yang muncul akibat perkembangan Jakarta sebagai megakota secara tidak langsung menyebabkan pemanfaatan air tanah yang melebihi batas dan tidak dapat dikendalikan, dan juga karena banyaknya daerah resapan air yang dikonversi menjadi perumahan mewah dan pembangunan lainnya. Faktor lokal yang mungkin juga telah memengaruhi banjir adalah penurunan permukaan tanah dibeberapa lokasi, kegagalan pengendalian penggunaan lahan dan pemeliharaan infrastruktur. Akibat perkembangan kota bencana banjir terjadi di Jakarta. Banjir terburuk di Jakarta terjadi pada tahun 2002 dan 2007 yang melumpuhkan beberapa bagian kota. Pada tahun 2002, Jakarta terendam banjir dihampir 90 lokasi di kota yang luasnya mencakup lebih dari 16 ribu hektar, atau hampir seperlima dari luas total Jakarta. Bencana alam banjir telah terjadi setiap tahun di hampir semua kecamatan di Jakarta. Sekitar 40 persen dari wilayah Jakarta terletak di bawah permukaan laut, terutama di wilayah Jakarta Utara. Berikut jumlah kejadian bencana yang diakibatkan oleh perkembangan Jakarta menjadi Megakota berdasarkan wilayah administrasi di Jakarta; SautHadi, Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan Pendekatan Suprayoga Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatandan Tahun 2004 133 Penanganannya
Tabel 7.1 1. Jumlah Ben ncana Berdassarkan Wilayah h Administrasi Jakarta, Tah hun 2005-2008 8 Wilayyah
Banjir (kejadian)
Kep Serib bu Jakarta S Selatan
42
Kenaika an Permukaan air laut an) (kejadia 4 -
43 27 37 29 178
3 7
Jakarta T Timur Jakarta P Pusat Jakarta B Barat Jakarta U Utara Total Sumber: B BPS, 2009
3 -
Tanah longsor (kejadian) -
1 1 5
1 1
ngin Badai An ( (kejadian)
Perkembaangan Jakarrta menjadi megakota m menyebabkaan Jakarta sering dilandda bencana alam. Rata--rata bencanna alam yanng sering terrjadi merupaakan bencanna banjir yanng saat ini terjadi t setiapp tahunnya. Saat ini Jakarta juga meerupakan kota dengan juumlah penduduk tertinggii di Indonesiia dan jumlahh ini akan terrus bertambaah karena ddaya tarik kota k ini seebagai pusatt perekonom mian Indonesia. Tingk kat pertambahhan pendudduk yang tin nggi ini mennimbulkan tekanan t padda lingkungaan hidup di Jakarta yanng semakin lama semaakin berat. Perpaduan P aantara kondiisi geografis yang rend dah dan diaaliri oleh banyak b sunggai, serta kkian rusaknyya lingkungaan hidup akkibat tekanann pertumbuhhan penduduuk, menyebaabkan Jakarrta kian lamaa kian rentan terhadap ancaman bencaana banjir.
G Gambar 7.3. Banjir di Kota a Jakarta Sumber : Vivvanews,2011
Bencana yyang terdapaat di Jakarta merupakan salah satu daampak dari perkembanga p an kota yangg tidak diikuuti dengan perkembang p an infrastrukktur yang m mendukungnyya serta penngawasan daalam pembaangunan fisikk. Hal terseebut dapat dilihat dalam m perkembaangan empat dasawarsa terakhir t ini. P Peningkatann jumlah penduduk Jakarrta yang berllangsung pessat telah mennyebabkan kawasan k resaapan air berkkurang drasttis karena beeralih fungssi menjadi daerah d perm mukiman dann industri. L Lahan terbukka digantikann oleh rumahh dan bangunnan, dan lahan yang tersisa pun dituttupi oleh jalaan aspal atauu pelataran parkir sehinngga tidak mampu m menyyerap air. Air hujan yan ng 134
Mena arik da ari Jud dul Pelajaran Buku
50 TAHUN TA PERJA ALANAN PER RENCANAAN WILAYAH DA AN KOTA DI IN NDONESIA
tidak teresap berubah menjadi aliran permukaan yang mengalir ke sungai, selanjutnya dialirkan ke sesuai dengan kapasitas sungai yang ada dalam menampung air tersebut. Dalam jumlah besar, air hujan yang tidak tertampung akan menjadi banjir. Terjadinya banjir akan tergantung pada tingginya curah hujan di hulu dan di wilayah Jakarta sendiri, volume sampah yang membuat sungai-sungai menjadi tersumbat dan dangkal, serta pasang surutnya air laut. Bila salah satu faktor yang disebutkan ini sedang berada dalam keadaan tidak normal, terjadilah banjir dan genangan air di beberapa kawasan yang rendah di ibukota. Bila semua faktor berada dalam keadaan tidak normal, banjir besar akan menimpa Jakarta. Tabel berikut ini menampilkan berbagai bencana di Jakarta berikut penyebab dan kerugiannya; Tabel 7.2. Kejadian Bencana di Jakarta Tahun September, 1989
Jenis Persoalan Banjir
November, 1997
Banjir
Februari, 1999
Banjir
Januari, 2002
Banjir
Februari, 2007
Banjir
Penyebab Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan meluap akibat tidak mampu menampung banjir kiriman dari hulu kecilnya kapasitas tampung sungai dibanding limpasan (debit) air yang masuk ke Jakarta. Keterbatasan kapasitas sungai dan saluran makro ini disebabkan karena konversi badan air untuk perumahan, sedimentasi dan pembuangan sampah secara sembarangan. Meluapnya sungai Angke, Pesanggrahan, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Penggunaan lahan di perkotaan dengan banyak bangunan dan permukiman menyebabkan kemampuan tanah meresap air sangat rendah, dan penyempitan alur sungai daerah hilir Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari hingga keesokan harinya tanggal 2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, dan air laut yang sedang pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir.
Kerugian 4.400 KK harus mengungsi
menggenangi 4 Kelurahan, 745 rumah, serta mengakibatkan 2.640 orang harus mengungsi.
Ribuan rumah terendam, 6 korban tewas, 30.000 jiwa mengungsi Jumlah pengungsi Banjir 2002 yang mencapai 100 ribu lebih. korban meninggal berjumlah 25org 48 orang tewas dan 210.404 orang mengungsi (Bakornas PB) , 1379 gardu induk terganggu, 420.000 pelanggan listrik terganggu
SautHadi, Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan Pendekatan Suprayoga Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatandan Tahun 2004 135 Penanganannya
Tahun Juni, 2008
Maret, 2009
September, 2010
September, 2010
September, 2010
Jenis Persoalan Banjir di Tol Sedyatmo Km 26 (Tol JakartaBandara Soekarno Hatta) Situ Gintung (bendungan jebol)
Longsor di kebagusan pasar minggu, Jakarta selatan Banjir Kuningan dan casablanca Jalanan amblas di RE Martdinata
Penyebab
Kerugian
Tanggul penahan air laut yang berada di lokasi jalan tol tersebut jebol akibat tidak dapat menampung tekanan air laut yang semakin besar.
Keterlambatan beberapa maskapai penerbangan dalam keberangkatan pesawat
Penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung, Cireundeu, Tangerang, Banten dikarenakan tingginya curah Hujan, yang menyebabkan permukaan air situ naik dan melimpas tanggul. Penyebab tersebut dijelaskan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane Sutoyo Subandrio Pitoyo. Hujan yang terus menerus.
Berdasarkan data terakhir di posko utama UMJ, pengungsi korban Situ Gintung mencapai 525 jiwa, korban meninggal kurang lebih 100 jiwa Tidak ada korban jiwa dalam musibah ini, 1 rumah rusak
Drainase yang kurang optimal serta hujan yang terus menerus
Kemacetan selama (berapa jam)
Intrusi air laut, air tanah terus disedot sama pengembang, ditambah air laut mulai masuk ke tanah, dan air laut lebih mempercepat proses erosi
Kondisi lalu lintas macet pada saat jalanan amblas karena tidak dapat dilewati kendaraan apapun
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Dari berbagai kejadian bencana yang terjadi di Jakarta seperti yang dijelaskan pada tabel di atas, yang tergolong dalam bencana pada skala besar yaitu bencana banjir yang terjadi pada tahun 1997, 2002, dan 2007. Banjir Jakarta pada tahun 1997 terjadi pada seluruh penjuru Kota Jakarta. Pada tahun 2002 dan 2007, banjir kembali melanda Jakarta dan sekitarnya dengan dampak yang lebih luas dan besar. Banjir yang terjadi pada tahun 2002 dan 2007 di Jakarta lebih buruk dibandingkan dengan banjir yang terjadi pada tahun 1997, yaitu dengan penambahan luas genangan banjir dan dampak keuangan yang lebih besar. Banjir besar tahun 2002 menggenangi Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Sementara banjir pada tahun 2007 berdampak pada hampir 60% dari wilayah Jakarta terendam banjir, yang menyebabkan Jakarta menggusur 210.000 jiwa untuk mengungsi. Dampak banjir yang semakin memburuk tersebut disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Penyebab banjir di Jakarta secara umum terjadi karena dua faktor utama yakni faktor alam dan faktor manusia. Penyebab banjir dari faktor alam antara lain karena lebih dari 40% kawasan di Jakarta berada di bawah muka air laut pasang sehingga Jakarta Utara akan menjadi sangat rentan terhadap banjir saat ini. Selain itu secara 136
Menarik dari Judul Pelajaran Buku
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
umum toppografi wilayyah Jakarta yang y relatif ddatar, dan 400% wilayah JJakarta beradda di datarann banjir Kalii Angke, Pessanggrahan, Ciliwung, Cipinang, C Sunnter, dan lain nlain (Abiidin, 2008). Sungai–sunngai tersebuut relatif terrletak di atas ketinggiaan kawasan sekitarnya. Fungsi sungai–sungai ttersebut awaalnya meruppakan saluraan di irigasi peertanian, dan saat ini lahan pertaniann sebagian beesar telah diiubah menjad perumahaan dan lahaan komersil.. Akibatnya air secaraa otomatis bberkumpul di d kawasan cekungan c di Jakarta Utarra. Berdasarkkan data kliimatografi di d kawasan Jakarta, J inteensitas hujann tinggi yaittu 2.000 – 44.000 mm setiap tahunnnya dengan ddurasi yang lama. Hal inni merupakaan sifat umum kawasan tropis t lembabb serta damppak pemanassan global. C Curah hujan in ni mpasan air yang y deras ketika k jatuh ddi atas daeraah selanjutnyya akan mennciptakan lim tangkapann air (catchm ment) di hullu. Daerah taangkapan ini juga menccakup Cianjuur, Bogor, D Depok dan Jakarta. Pem mbangunan besar–besarran di kawaasan ini jugga menambaah debit limppasan permuukaan yang akkhirnya jugaa menambah potensi banjjir di kawassan hilir sunngai di Jakaarta. Kondissi tersebut diperparah ooleh kecilnyya kapasitas tampung suungai yang saaat ini dibannding limpasan (debit) aiir yang masu uk s dan ssaluran makkro ini disebbabkan karenna ke Jakartta. Kecilnya kapasitas sungai konversi badan air unntuk perumah han, sedimenntasi, dan peembuangan ssampah secarra sembaranngan. Air kirriman yang datang dari daerah sekiitar Jakarta seperti Bogo or juga mem mbuat kapasitas sungaii di Jakartaa tidak dapat menampuung sehinggga menyebabbkan banjir. Pengaruh peeningkatan ppasang air lau ut dan penurrunan tanah di Jakarta Utara U juga meenyebabkan daerah d Jakartta Utara sem makin rentan banjir. b
Gamba ar 7.3. Kecam matan yang Dila anda Banjir dii Jakarta Sumbe er : Hasil analissis, 2011
SaautHadi, Sagala, etkiran a Megakota al., Jakarta: Perssoalan Kebenc Pe endekatan Suprayoga Pemik Perencan naan di Indone esia Berdasar rcanaan Catatandan Tahu un 2004 13 37 Penan nganannya
Penyebab banjir dari sisi faktor manusia antara lain adalah tidak terintegrasinya tata kota dan tata air di Jabodetabek, pembangunan yang melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (di antaranya kurangnya tempat parkir air dan sumber air bersih) serta lemahnya implementasi tata ruang dan tata air di Jabodetabek merupakan awal mula banjir atau bencana lainnya muncul di Jakarta. Kompetisi dan penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek yang sedemikian cepat juga membuat konversi besar-besaran badan air dan daerah rawan banjir (sungai, rawa, situ serta sempadannya) menjadi perumahan, kawasan industri, dan lain-lain. Selanjutnya hal ini juga mengakibatkan sedimentasi sungai akibat lumpur, sampah organik, dan anorganik yang disebabkan oleh pembukaan lahan tersebut. Ketidakjelasan pembagian peran dan tugas Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur tata air juga menyebabkan memburuknya kondisi banjir yang ada. Terakhir, faktor penyebab manusiawi banjir Jakarta ialah pengambilan air tanah yang berlebihan. Hal ini menyebabkan penurunan tanah semakin ekstrim terutama di Jakarta Utara. Penyebab manusia seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan dampak dari perkembangan Jakarta sebagai megakota di Indonesia.
7.4 PENDEKATAN PENANGANAN BENCANA: INSTITUSI YANG TANGGUH Terdapat beberapa megakota di dunia yang memiliki permasalahan yang kompleks seperti Jakarta, tetapi lebih maju dalam hal penangangan kebencanaan. Dua megakota di Asia yang dapat dijadikan contoh adalah Tokyo dan Seoul. Kedua kota ini menunjukkan bahwa persoalan kebencanaan di megakota dapat ditangani dengan membuat satu lembaga dengan rotoritas khusus, yang menangani berbagai persoalan terkait kebencanaan dan lingkungan, baik bencana yang bersifat alami maupun buatan.
7.4.1 Tokyo Selama abad ke duapuluh Tokyo mengalami ekspansi perkotaan yang sangat signifikan akibat dari pertumbuhan penduduk yang cepat. Penduduk Tokyo meningkat dari 7,5 juta pada tahun 1920 menjadi hampir 35 juta pada tahun 2007. Masalah perencanaan utama bagi Tokyo pada abad keduapuluh adalah untuk memperluas dan mengintensifkan daerah perkotaan dalam rangka mengakomodasi pertumbuhan yang cepat. Pada tahun 1860-an, ketika reformis menggulingkan sistem feodal dalam upaya untuk memodernisasi masyarakat Jepang, Edo diganti namanya menjadi Tokyo (Modal Timur-Kota), dan direnovasi menjadi kota modern dengan pengenalan kereta api, trem, dan jaringan jalan, penyediaan air modern, dan taman modern sampai 1910-an. Pada pertengahan tahun 1920-an, kawasan perkotaan Tokyo mulai tumbuh melewati pinggiran kota bekas daerah perkotaan Edo, pabrik industri berat yang berlokasi di daerah pinggiran Tokyo mulai tumbuh dengan pesat. Tokyo telah mengalami berbagai masalah lingkungan perkotaan karena pesatnya pertumbuhan dan konsentrasi penduduk dan industri. Masalah tersebut termasuk 138
Menarik dari Judul Pelajaran Buku
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
pencemaran lingkungan seperti polusi udara, pencemaran air dan penurunan permukaan tanah, keterlambatan dalam menyediakan sistem pembuangan limbah dan keterbatasan tempat pembuangan sampah. Tokyo saat ini merupakan megakota terbesar di dunia dengan penduduk sebesar 35 juta jiwa penduduk. Bencana yang terjadi di Tokyo umumnya adalah bencana gempa bumi dan banjir. Tahun 1923 terjadi gempa bumi yang sangat besar di Tokyo, yang dikenal dengan Gempa Kanto, yang menelan korban jiwa paling sedikit 105.385 jiwa, 37.000 jiwa yang diperkirakan tewas. Gempa sendiri merupakan salah satu fenomena yang sering sekali terjadi di Tokyo akibat dari letak Jepang yang berada pada patahan dari lempeng-lempeng benua, yaitu Lempeng Eurasia, Pasifik, dan Laut Filipina. Untuk menghasilkan sistem manajemen bencana yang siap terhadap bencana, Tokyo memiliki Pusat Pencegahan Bencana, yaitu Tokyo Metropolitan Disaster Prevention Center (TMDPC). Pusat Pencegahan Bencana Metropolitan Tokyo merupakan pusat fasilitas yang bertindak sebagai penghubung antara organisasi manajemen bencana di bawah jaringan Tokyo Metropolitan Government. Lembaga ini memiliki fungsi menganalisis informasi, menimbang, menentukan, dan mengeluarkan petunjuk langkah-langkah anti bencana dengan tujuan melindungi kehidupan dan aset warga Tokyo dari berbagai jenis bencana baik alam ataupun buatan, seperti gempa bumi, badai, banjir, serangan teror, kecelakaan, dan bencana lainnya. Sebagai tulang punggung (backbone) lembaga ini, dibuat sistem informasi darurat yang menampilkan data dan fungsi-fungsi grafis komunikasi berdasarkan jaringan nirkabel darurat. (Okata, Junichiro, dan Murayama, 2011)
7.4.2 Seoul Seoul Metropolitan Region (SMR) meliputi kota Seoul dan Incheon dan Provinsi Gyonggi. Incheon adalah sebuah kota mandiri di barat Seoul dengan jumlah penduduk lebih dari dua juta orang. SMR telah melewati masa pertumbuhan yang cepat selama 50 tahun terakhir, mengalami peningkatan populasi dari 3,2 juta pada tahun 1960, 11,9 juta pada tahun 1980 dan 23,8 juta pada tahun 2005, atau 48,3% dari populasi nasional. Kota Seoul sendiri telah tumbuh dari 2,4 juta pada tahun 1960 menjadi 10.3 juta pada tahun 2005, dan merupakan salah satu dari 25 kotakota besar dunia dengan lebih dari sepuluh juta penduduk. Ledakan pertumbuhan SMR terjadi secepat pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi di tingkat nasional. The National Emergency Management Agency (NEMA) Korea berada di bawah Departemen Administrasi Pemerintahan dan Dalam Negeri dan bertanggung jawab atas semua bencana alam. Ketika bencana terjadi, Markas Besar Pusat Penanggulangan Bencana dan Keselamatan (The Central Disaster and Safety Countermeasures Headquarters, CDSCH) mempunyai tugas untuk mengontrol pelaksanaan pencegahan termasuk status sumber daya apabila terjadi bencana alam, serta perencanaan pemulihan, dan melaksanakan tindakan yang diperlukan sehubungan dengan bencana tersebut (Keun Namkoong, 1995). Pada tahun 1990-an, Pemerintah Korea mulai melakukan perbaikan dalam manajemen bencana alam dan bencana buatan manusia, dan memperbaiki program SautHadi, Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan Pendekatan Suprayoga Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatandan Tahun 2004 139 Penanganannya
yang terkait seperti sistem informasi manajemen bencana dan program asuransi banjir. Kegiatan tersebut dipimpin oleh Markas Besar Pusat Penanggulangan Bencana dan Keselamatan dan berada di bawah Departemen Pemerintah Administrasi dan Dalam Negeri, yang mengelola dan mengoperasikan dilakukan oleh Dewan Pusat Pertahanan Sipil dan Komite Penanggulangan Bencana. Dua puluh satu instansi pemerintah dan enam belas pemerintah daerah juga terlibat dalam manajemen bencana dan pencegahan bencana. Pemerintah pusat dan daerah telah menempatkan teknik perencanaan penggunaan lahan jangka panjang untuk mempromosikan mitigasi bencana banjir. Tujuannya adalah untuk membentuk rencana kesiapan terhadap bencana nasional dan prosedur pemulihan bencana bagi warga negaranya. Pemerintah Korea Selatan sedang mengembangkan program asuransi banjir nasional akibat peningkatan jumlah kerusakan harta benda masyarakat yang disebabkan oleh banjir.
7.5 KESIMPULAN Tulisan ini telah mengulas persoalan kebencanaan di Megakota Jakarta. Persoalan ini akan cenderung semakin meningkat. Tanpa sebuah pendekatan yang sistematis dan terencana, persoalan kebencanaan dan lingkungan ini akan semakin kompleks dan tidak tertangani. Belum lagi persoalan lain yang dihadapi oleh megakota, seperti persoalan pembangunan ekonomi, persoalan transportasi dan infrastruktur. Bagi Megakota Jakarta, ada kebutuhan untuk memperkuat kelembagaan yang dapat merencanakan, mengkoordinasikan dan melaksanakan program pembangunan untuk menjamin keberlanjutan megakota dalam masa depan, terutama dalam menangani persoalan kebencanaan Jabodetabek. Hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan dan memberdayakan sumberdaya yang ada seperti adanya sebuah badan yang khusus menangani persoalan kebencanaan Jabodetabek. UU No 24 tahun 2007 tentang manajemen kebencanaan pada intinya mengamanatkan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai institusi di tingkat propinsi dan kota/kabupaten yang mengkoordinasi manajemen kebencanaan. Tantangannya adalah, bagaimana agar BPBD yang dimaksud dapat tangguh seperti institusi yang terdapat di Tokyo dan Seoul yang diuraikan di atas.
REFERENSI Abidin, H. Z., Andreas, H., Djaja, R., Darmawan, D., & Gamal, D. (2008). Land subsidence characteristics of Jakarta between 1997 and 2005. GPS Solutions, 12(1), pp: 23-32. Badan Pusat Statistik. (2009). Environment statistics of Indonesia 2009. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Brinkman, J. J., & Hartman, M. (2008). Jakarta flood hazard mapping framework. World Bank report, Jakarta. Firman, T. (2010). Impact of climate change on Jakarta. The Jakarta Post. daily, 9 October. Firman, T. et al. (2010). Potential climate-change related vulnerabilities in Jakarta: Challenges and current status, Habitat International. Firman, T dan Dharmapatni, I .(1994). The Challenges to Sustainable Development in Jakarta Metropolitan Region. Habitat International, Vol. 18, No. 3.
140
Menarik dari Judul Pelajaran Buku
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
Hadfield, P. (1991). The Coming Tokyo Earthquake: Sixty Seconds that Will Change the World. Charles E. Tuttle, Boston, MA. dari buku (The geography of disaster vulnerability in megacities: J. I. Uitto) Keun Namkoong. (1995). How to Advance Risk Mitigation and Risk Management in Local Governance: Adaptation of Seoul Earthquake Management System After the 1995 Kobe Earthquake, Seoul National University of Technology, Seoul, Korea Mitchell, J.K. (1998b). Urban metabolism and disaster vulnerability in an era. In: Schellnhuber, H.-J., Wenzel, V. (Eds.), Earth System Analysis: Integrating Science for Sustainability. Springer, Berlin, pp. 359–377. Dari J.A. Cross Megacities and small towns: different perspectives on hazard Vulnerability Nicholls, R.J. (1995). Coastal megacities and climate change. GeoJournal. 37 (3), pp: 369– 379. Dari J.A. Cross Megacities and small towns: different perspectives on hazard Vulnerability Okata, Junichiro dan Akito Murayama. 2011. Tokyo’s Urban Growth, Urban Form and Sustainability, di dalam: Editor Sorensen, A. 2011. Megacities, Urban Form, Governance, and Suistainability. Samsuhadi, S. (2010). Ground water utilization in the Jakarta basin. A powerpoint presented to the discussion on Concepts and Strategy of Sustainability Future of Jakarta. Tarumanagara University. Oktober, Jakarta. Sorensen, A dan Okata. (2011). Megacities Urban Form, Governance, and Sustainability. Tokyo Thouret, J.C. (1999). Urban hazards and risks: consequences of earthquakes and volcanic eruptions: an introduction. GeoJournal 49 (2), 131–135. Dari J.A. Cross Megacities and small towns: different perspectives on hazard Vulnerability United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS). (1996). An Urbanizing World: Global Report on Human Settlements 1996. Uitto, J. I. and Schneider, J. (1996). Preparing for the Big One in Tokyo: Urban Earthquake Risk Management. The United Nations University and INCEDE, Tokyo. Dari buku (The geography of disaster vulnerability in megacities: J. I. Uitto) Ward, P. J. et al. (2010). Coastal inundation and damage exposure estimation: a case study for Jakarta. Natural Hazard, Agustus. Yusuf, A. A., & Fransisco, H. (2009). Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia. Singapore: Economy and Environment Programfor Southeast Asia (EEPSEA).
SautHadi, Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan Pendekatan Suprayoga Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatandan Tahun 2004 141 Penanganannya