media informasi kesejahteraan sosial
Edisi Semester 1 | 2013
KT Tunas Harapan Kawah Chandradimuka Pemimpin Desa Gemuruh Tagana Jatim di Islamic Centre
daftar isi
Kontak Sosial 4.
SALAM REDAKSI Kesetiakawanan Sosial
6.
Semangat kesetiakawanan sosial dalam bedah kampung Sosial, ekonomi, budaya di hari jadi Jatim
5. 8.
FOKUS Dari Surabaya Kobarkan Semangat Kepahlawanan Pahlawan Tersenyum Bila Indonesia Sejahtera Laki-laki yang Berjuang Untuk Perempuan Masih Adakah Spirit Kepahlawanan Itu?
14. UPT PSRT Jombang Bentuk Remaja Mandiri 16.
WARTA DINSOS Tagana Siap Hadapi Musim Penghujan Dibalik Tawa dan Tangis Balita PSAB Jumlah Penduduk Miskin Turun, PMKS? Transformasi Askesos Jadi Askesos New Initiative Waspadai Ketika Anak Mulai Berpacaran
Jatim Menjawab Permasalahan Disabilitas Dengan Perda 5 Karena keterbatasannya, mereka jadi miskin. Ketika berkeluarga, anak-anak yang dilahirkannyapun berkubang dalam kemiskinan. Padahal tidak sedikit dari mereka yang memiliki potensi dan dapat dikembangkan, namun berbagai keterbatasan menjadikan permasalahannya tidak kunjung selesai.
26. ARTIKEL Design Pembangunan Keluarga 28. NASIONAL Tawuran Pelajar Indikator Kemerosotan Moral Ajang Adu Prestasi Penyandang Cacat Sertifikasi TingkatkanProfesionalisme Peksos 34. KIPRAH Berawal dari Jagongan Para Pensiunan 36. wacana HIV/Aids Didominasi Perilaku Seks Bebas 37. HORIZON Membuka Keterisoliran Dusun Congkeng 38. JATIM KHUSUS Proses Panjang Penutupan Lokalisasi Tulungagung 42. HUMOR
2 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Penutupan Lokalisasi Diawali Dari Jawa Timur
38
Keberhasilan Jawa Timur menutup beberapa lokalisasi prostitusi telah menginspirasi Kementrian Sosial untuk menjadikannya program nasional. Kementerian Sosial akan menutup sejumlah lokalisasi prostitusi, dimulai dari Jawa Timur. Penutupan ini diawali dengan mengalihkan profesi pekerja seks menjadi wirausahawan atau pedagang.
14
KT Tunas Harapan
Kawah Chandradimuka Pemimpin Desa Juara I Karang Taruna Berpersatasi tingkat Propinsi Jawa Timur dan Masuk 5 besar Karang Taruna Berprestasi Tingkat Nasional. Itulah penghargaan yang berhasil diraih Karang Taruna “Tunas Harapan” Desa Mungli Kabupaten Lamongan pada tahun 2012.
16
30
Fenomena dibalik Kepulangan Mereka
Gemuruh Tagana di Islamic Center
Dengan ditutupnya lokalisasi prostitusi, bukan berarti masalah telah selesai. Karena bukan tidak mungkin, kepulangan mereka justru menambah angka PMKS didaerahnya.
Tidak diragukan lagi, setiap ada bencana, Tagana selalu datang terdahulu dilokasi bencana. Kini Tagana Jatim telah berusia sembilan tahun. Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 3
Salam Redaksi
Kontak Sosial
Anak Penyandang Disabilitas
Pelindung / Penasehat Kepala Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur Penanggung Jawab Kepala Bidang Pengembangan UKS Pimpinan Redaksi Lestari Indriyani, SH, MSi Wakil Pimpinan Redaksi Drs.Singgih Wahyudiyana, MSi Sekretaris Dra.Restu Novi Widiani,MM Ilustrator Dra.Tini Widiati,MM Yusmanu, S.ST Drs.Dwi Sumartono, MSi Drs.Bajuri Edy Cahyono, MP Juniandri Purnama , SPd Novi Hartanto,S.Sos Distributor Rusliani, S.Sos Sudatno,S.Sos Yusratmi Alamat Redaksi Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur (Sie Penyuluhan) Jl. Gayung Kebonsari 56 B Surabaya Fax (031)8283140 www.dinsos.jatimprov.go.idemail:
[email protected]
4 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Memasuki bulan Juli, berbagai permasalahan seputar anak dibahas, dikupas bahkan dikampanyekan. Karena memang, pada bulan tersebut telah dicanangkan sebagai hari anak nasional (HAN) tepatnya pada 23 Juli. Tapi seakan menjadi suatu rutinitas, peringatanpun berlalu tapi persoalan yang melingkupi anak terus terjadi. Masalah kekerasan misalnya, menurut catatan KPAI, data kekerasan terhadap anak pada 2012 yang dilaporkan sebanyak 3.871 kasus. Tentu saja fakta yang tidak dilaporkan tidak kalah banyaknya. Lalu bagaimana dengan anak penyandang disabilitas yang tentunya lebih rentan mendapatkan perlakuan tidak semestinya. Baik itu berupa kekerasan fisik maupun psikis. Memang sampai kini data yang menunjukan adanya kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas ini belum ada. Tapi tidak bisa dipungkiri, hampir semua anak penyandang disabilitas pernah mengalami kekerasan. bentuknyapun mulai dari tindakan sampai kata-kata. Pelakunyapun tidak jarang orang terdekat. Anisa asal Lumbang – Pasuruan yang kini berusia 18 tahun adalah salah satu contohnya. Entah sudah berapa kali ia dicemooh karena kelainan bentuk kakinya. Bahkan ia mangaku, semasa SMP, hanya ada satu teman yang mau bergaul dengannya. Tak mengherankan bila iapun menarik dari pergaulan, sehingga tak pernah keluar rumah. Memang kini Anisa sudah merasa tidak sendiri lagi, karena ia telah banyak menemukan teman senasib di UPT RSCT Pasuruan. Tapi tentu bukan perkara mudah untuk merehabilitasinya. Perlakuan diskrimantif dan kekerasan yang kerap dialaminya, bagiamanapun membek as sangat dalam pada memorinya. Disamping kekerasan, perlakuan salah terhadap penyandang disabilitas justru membuat kondisinya semakin parah. Diantaranya terjadi karena kelainan yang dialami tidak terdeteksi sejak dini. Bisa juga karena keluarga merasa malu dan menganggapnya hal tersebut sebagai kutukan atau tabu untuk diungkap keluar. Seperti
diungkap Agus Sulistyanto, Kepala UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Rungu Wicara – Pasuruan. Dikatakannya, ia seringkali mendapatkan klien dengan usia belasan tapi pemahamannya setingkat anak TK. Kondisi tersebut terjadi karena per lak uan yang salah dan apa yang dialami anak tidak terdeteksi sejak dini. Dari mendengar, Balita akan belajar banyak hal termasuk berbicara. Dari berbicara dia akan belajar menyampaikan apa yang ada didirinya kemudian belajar bersikap dan berperilaku. Tapi kalau pendengarannya terganggu tentu proses tersebut juga terganggu dan akan berpengaruh pada aktivitas sosialnya. Karena kekurangan itupun mereka menjadi rentan untuk dilecehkan. K i n i Pr o p i n s i J a t i m t e l a h mempunyai Perda perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas. Diantaranya mengatur tentang hak pendidikan dan kesehatan bagi penyandang disabilitas termasuk didalamnya anak-anak. Bahkan dalam pasal 78 disebutkan setiap anggota keluarga dan/atau masyarakat dilarang mengeksploitasi dan/atau menelantarkan penyandang disabilitas. Pelanggaran atas pasal tersebut akan dikenakan sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam pasal 89. Tentu saja yang paling ditunggutunggu oleh para penyandang disabilitas termasuk anak-anak adalah implementasi dari Perda tersebut. Akankah hak-hak mereka terjamin, kehidupan mereka menjadi lebih baik setelah adanya Perda tersebut. Bisa jadi sebagian besar diantara mereka tidak tahu persis bahkan tidak tahu sama sekali tentang Perda tersebut. Tapi biarlah, mereka bisa merasakan bahwa ada kondisi yang berubah terkait dengan hidupnya. Mau kemana-mana menjadi lebih mudah, mau sekolah juga tersedia, mau periksa kesehatan dilayani dengan baik. Dan terpenting lagi perlakuan masyarakat sekitarnya yang wajar dan bermartabat.(gt)
Redaksi
fokus
Jatim Menjawab Permasalahan Disabilitas Dengan Perda Karena keterbatasannya, mereka jadi miskin. Ketika berkeluarga, anak-anak yang dilahirkannyapun berkubang dalam kemiskinan. Padahal tidak sedikit dari mereka yang memiliki potensi dan dapat dikembangkan, namun berbagai keterbatasan menjadikan permasalahannya tidak kunjung selesai. Memang kelainan fisik atau mental yang dialaminya telah menjadi penghambat dalam melakukan aktivitas secara selayaknya. Tapi seharusnya hal tersebut bukan menjadi alasan pembenar terjadinya perlakuan diskriminatif pada mereka. Karena penyandang cacat atau disabilitas mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga Negara Indonesia lainnya. Keberadaan mereka dilindungi oleh UUD 1945. Kehidupan mereka dijamin oleh UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Di Jawa Timur, kini juga tengah digodok Perda tentang Perlindungan dan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas. Tentu semua itu bertujuan agar penyandang disabilitas dapat mandiri dan berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta terhindar dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Rancangan Peraturan Daerah tentang perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas ini telah dibicarakan bersama dengan DPRD Jatim Januari lalu. Sebagai tindak
lanjutnya para anggota legeslatif dari komisi E juga telah berkunjung kebeberapa UPT Dinas Sosial Propinsi Jatim yang menangani penyandang cacat. Dengan demikian diharapkan akan semakin banyak masukan yang didapat demi kesempurnaan Perda tersebut. Diharapkan juga pada akhir 2013, Perda tentang Perlindungan dan Pelayanan bagi Penyandang Disabilitas ini sudah bisa diputuskan. Harapan itupun kini telah menjadi kenyataan . Perda tentang Perlindungan dan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas telah disahkan pada 16 Mei lalu. Keberadaan Perda tersebut sebagai upaya menjawab berbagai permasalahan yang dialamai para penyandang disabilitas. Terkait dengan masalah pendidikan misalnya telah diatur dalam pasal 9 hingga pasal 14. Didalamnya diantaranya disebutkan bahwa setiap penyelenggara pendidikan diwajibkan memberikan pelayanan khusus sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya. Termasuk didalamnya juga diatur bagaimana menyelenggarakan kelas terpadu atau inklusi. Sedang pada Bersambung ke hal 8 Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 5
fokus
Perda Tentang Disabilitas Tunggu Implementasi Perda Tentang Perlindungan dan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas yang telah dinantikan nantikan itu, akhirnya telah disetujui oleh DPRD Jatim pada 16 Mei lalu. Berikut tanggapan Heri Prasetyo, anggota Komisi E bidang Kesra DPRD Jatim.
6 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Aksesibilitas dan ketenaga kerjaan, itulah masalah yang sering dikeluhkan oleh para penyandang disabilitas. Mereka merasa mendapat perlakuan diskriminatif dalam hal tersebut. Itulah sebabnya para penyandang disabilitas di Jawa Timur begitu berharap adanya Perda yang bisa memberikan perlindungan dan pelayanan sesuai dengan kondisinya. Pada 16 Mei lalu, Raperda yang dinantikan itupun akhirnya bisa diterima dan disahkan oleh DPRD Jatim setelah mengalami beberapa perubahan. “Kita sudah menangkap aspirasi rekan-rekan penyandang disablitas. Tapi tentunya dalam Perda tersebut tidak semuanya bisa kita akomodasi. Karena kita juga harus mempertimbangkan kondisi yang ada dan paradigma masyarakat kita. Memang pemikiran idealnya kita bisa memberikan banyak hal pada mereka,”ungkap Heri Prasetyo kepada Kontak Sosial di Hotel Simpang Mei lalu. Kendati demikian lanjutnya, dengan disahkannya
Perda ini telah menunjukan adanya keberpihakan pemerintah dan dewan pada penyandang disabilitas. “Kita mau mencari solusi atau cara yang baik yang berpihak pada mereka. Infrastruktur harus berpihak pada mereka. Begitu pula dengan tempat-tempat umum yang sering dikunjungi seperti mall atau paling kecil seperti minimarketpun harus menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas,”ujarnya. Menurut Heri , pelaksanaan Perda ini untuk swasta ditetapkan paling lama 3 tahun. Tapi dilembaga pemerintahan dipercepat lagi 1 sampai 2 tahun. Ini harus, karena sebagai contoh. Jangan dipaksakan pada swasta sementara negara sendiri tidak memberi contoh. Pelanggaran terhadap ketentuan itu ada sanksinya mulai peringatan tertulis sampai dengan pencabutan ijin usaha. Hal ini memang harus dinyatakan dengan tegas karena jangan sampai Perda ini nantinya menjadi macan ompong. “Inilah sumbangsih pemikiran sesuai dengan kewenangan kita dari dewan. Untuk tindak lanjutnya kita mohon saudara gubernur membuat Pergubnya, supaya daya cengkeram Perda ini lebih optimal. Dan banyak hal telah disampaikan dari penyandang disabilitas yang intinya tidak ada perlakukan diskriminasi pada mereka. Perda ini intinya untuk memberikan perlindungan pada para penyandang disabilitas sehingga mereka bisa menjalani hidup sebagaimana mestinya tanpa ada perlakuan diskrimanasi,” tukasnya. Sementara terkait dengan ketenaga kerjaan, Heri menegaskan, dalam Perda ini juga sudah ditegaskan bahwa setiap perusahaan yang mempunyai 100 karyawan, maka minimal harus ada 1 penyandang disabilitas. “Yang jelas 1 diantara 100 itu harus ada kalau tidak, maka ketentuan sanksi dalam Perda ini akan dijalankan mulai dari peringatan tertulis sampai pencabutan usaha,” tandasnya. Disampaikan lebih lanjut, kalau ada pandangan bahwa perusahaan tidak bisa menerima mereka karena tidak ada pekerjaan yang sesuai, maka itulah paradigma yang harus dirubah. Para penyandang disabilitas itu ada kelainan tapi mereka juga punya potensi yang bisa dimanfaatkan. Dicontohkannya, banyak diantara mereka yang ahli dibidang tekenologi informasi. Seperti juga para penyandang tuna rungu, tentu mereka bisa bekerja di tempat yang bising. Mereka itupun sudah terlatih dan terdidik. Etos kerja merekapun cukup tinggi. “Jadi sekarang itu tinggal kemauan para pengusaha. Mudah-mudahan dengan adanya Perda ini, keinginan itu muncul dari para pengusaha sendiri untuk bisa menerima teman-teman penyandang disabilitas. Kalau memang ada potensi yang bisa dikontribusikan pada perusahaan, kenapa tidak, mereka diterima,” tandas Heri. Sementara terkait dengan penerimaan karyawan yang disyaratkan sehat jasmani dan rohani, Hari mengatakan hal tersebut memang telah menjadi bahan diskusi cukup lama. Sebelumnya dalam pasal 35 disebutkan penyandang disabilitas tidak selalu dapat diartikan sebagai individu yang
Heri Prasetyo, anggota Komisi E bidang Kesra DPRD Jatim.
tidak sehat jasmani dan rohani. Kemudian dirubah lebih tegas lagi yang bunyinya bahwa penyandang disabilitas dapat disetarakan dengan individu yang sehat jasmani dan rohani. Dalam pasal inipun ditambah satu ayat yang menyatakan setiap pemberi layanan kesehatan dilarang menolak pasien penyandang disabilitas yang membutuhkan layanan kesehatan. “Kedepannya kita minta pada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara untuk meninjau kembali persyaratan sehat jasmani dan rohani itu. Paradigmanya, para penyandang disabilitas tidak menjadi beban bagi Negara. Artinya hanya karena penyandang disabilitas lantas tidak mendapat tempat untuk bisa mengembangkan potensinya. Hal ini harus dirubah. Mereka harus diberi kesempatan sesuai dengan kualifikasinya. Dan kelainan yang dialami bukan berarti tidak sehat jasmani dan rohani,” tandas Heri. Kepada para keluarga yang mempunyai penyandang disabilitas juga diharapkan jangan berlaku diskirminasi. Biasanya keluarga yang mempunyai penyandang disabilitas justru menutup diri, karena dianggap sebagai aib yang tabu untuk diketahui. “Mereka juga hamba Allah yang dikaruniakan kepada keluarga dan itu bukan suatu aib, melainkan sebagai ujian, karena dari situlah Allah akan mengangkat derajat keluarga tersebut,” ujarnya. Untuk itu pada para keluarga yang mempunyai penyandang disabilitas harus terbuka sejak dini dan mencari tahu bagaimana memperlakukannya. Sehingga tidak terjadi perlakuan salah yang justru mengakibatkan kondisi lebih parah lagi. Begitu pula dengan masyarakat, jangan memandang mereka dari kekurangannya yang kemudian dijadikan bahan olokan. Atau jangan pula memandang mereka dengan belas kasihan. Perlakukan mereka secara wajar, sebagai manusia yang bermartabat dan berikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya. (gt)
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 7
fokus Sambungan dari halaman 5
pasal 13 disebutkan, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat wajib menyediakan pendidikan khusus dalam bentuk Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. SLB tersebut untuk menampung mereka yang karena derajat kedisabilitasannya tidak dapat mengikuti kelas terpadu atau inklusi. Sedang untuk ketenagakerjaan dan usaha diatur dalam pasal 15 hingga pasal 34. Dalam pasal-pasal tersebut menyangkut apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah, badan usaha dan pelaku usaha pada penyandang disabilitas. Diantaranya, pada pasal 16 disebutkan tentang kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan dengan fasilitas khusus. Di pasal ini juga disebutkan setiap usaha yang mempekerjakan 100 pekerja diwajibkan minimal menerima 1 orang penyandang disabilitas. Pelanggaran terhadap pasal tersebut dikenakan sanksi administrasi. Disamping itu ada juga kewajiban untuk memberikan dukungan atau bantuan kepada penyandang disabilitas yang memiliki keterampilan atau keahlian untuk usaha sendiri maupun kelompok usaha bersama. Disebutkan pula bentuk dukungan atau bantuan dari Pemerintah Daerah berupa permodalan, pelatihan, sarana dan prasarana, perizinan usaha, informasi usaha dan promosi. Sementara dukungan atau bantuan dari badan usaha maupun pelaku usaha merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Bantuan tersebut berupa pendanaan atau pemodalan, sarana dan prasarana, pemberian pelatihan dan pendampingan, memfasilitasi pengurusan izin usaha, informasi usaha, promosi dan pemasaran. Untuk promosi dan pemasaran dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 28 yang mewajibkan penyediaan tempat dalam kegiatan promosi. Minimal 1 % dalam setiap kegiatan pagelaran, pameran, festival, expo atau kegiatan sejenis yang diikuti oleh Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota baik di dalam maupun luar negeri. Sedang di Pasal 34 disebutkan, Pelaku usaha dan/ atau masyarakat yang memiliki tempat pemasaran, toko, pusat perbelanjaan/mall, minimarket dan/atau tempat penjualan produk dagangan lainnya berperan secara aktif membantu promosi dan memasarkan hasil produk yang dihasilkan oleh penyandang disabilitas untuk dipasarkan. Terkait dengan masalah kesehatan diatur dalam pasal 35 hingga pasal 43. Pada pasal 35 disebutkan penyandang disabilitas dapat disetarakan dengan individu yang sehat jasmani dan rohani. Setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan individu penyandang disabilitas. Setiap pemberi layanan kesehatan dilarang menolak pasien penyandang disabilitas yang membutuhkan layanan kesehatan. Sedang prinsip pelayanan kesehatan pada para penyandang disabilitas didasarkan pada kemudahan, keamanan, kenyamanan, keadilan, cepat dan berkualitas. Sementara untuk menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, pemerintah propinsi diwajibkan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan penyelenggara kesehatan swasta. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi tingkat pertama, kedua dan ketiga.
8 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Salah satu pelatihan yang diberikan di UPT RSCT
Masalah aksesibilitas yang selama ini banyak dikeluhkan para penyandang disabilitas, dalam Perda ini diatur dalam Pasal 58 hingga pasal 66. Dalam pasal 58 disebutkan Pemerintah Daerah Propinsi, badan usaha dan masyarakat wajib menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam setiap pengadaan sarana dan prasarana umum. Penyediaan aksesibilitas meliputi pada bangunan umum; jalan umum; pertamanan dan pemakaman umum; aksesibilitas pada angkutan umum darat, laut, dan udara. Untuk bangunan bertingkat yang tidak mempunyai lift khusus maka pelayanan bagi penyandang disabilitas dengan jenis dan derajat disabilitas tertentu harus diberikan di lantai dasar bangunan. Untuk penyandang disabilitas yang sudah tidak bisa direhabilitasi atau kehidupannya tergantung pada orang lain, diatur dalam bab IX . pasal 75. Didalamnya memuat tentang kewajiban pemerintah daerah, badan usaha, pelaku usaha dan masyarakat untuk memberikan pemeliharaan tingkat kesejahteraan penyandang disabilitas yang diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan agar penyandang disabilitas dapat memperoleh taraf hidup yang layak. Sedang bentuk kegiatannya berupa bantuan keuangan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Berlanjut pada pasal 78 yang memuat larangan bagi setiap anggota keluarga ataupun masyarakat mengeksploitasi atau menelantarkan penyandang disabilitas. Pelanggaran terhadap pasal ini dianggap sebagai suatu bentuk tindak kejahatan dengan sanksi pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 89. Dalam Perda ini juga menekankan bagaimana peranan pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat. Karena memang Pemerintah daerah tidak bisa berjalan sendiri untuk menjawab permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas. Kendati demikian Pemerintah tentunya diharapkan menjadi pemicu sekaligus pemacu terciptanya suasana dan iklim yang ramah terhadap para penyandang disabilitas. (gt)
fokus
Perda tentang perlindungan dan pelayanan penyandang disabilitas telah disetujui DPRD Jatim pada Mei lalu. Tentu proses selanjutnya hingga bisa diimplementasikan, itulah yang sangat diharapkan para penyandang disabilitas. Sebagaimana disampaikan Adi, Ketua PPDI Jatim
PPDI Berharap
Implementasi PERDA Disabilitas Kalau sampai Raperda tentang perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas tidak disahkan tahun ini, maka bisa jadi Raperda itu akan molor entah sampai kapan. Karena akan ada pergantian anggota legeslatif dan eksekutif. Apalagi kalau mereka tidak concern pada penyandang disabilitas. Untunglah, pada Mei lalu Raperda itu telah disetujui oleh DPRD Jatim sehingga tinggal menunggu Pergubnya untuk bisa dijalankan. Kekhawatiran Adi, Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Jatim memang cukup beralasan. Karena PPDI yang sebelumnya bernama PPCI ini punya pengalaman akan hal tersebut. “Sejak 2003 PPCI sudah pernah mengajukan Raperda Paca. Tapi tak mendapat perhatian serius. Sampai
akhirnya Pemilu dan terjadi pergantian anggota dewan, maka semakin tidak jelas nasib Raperda yang kita ajukan itu,” tukas Adi Untuk itulah Adi selaku Ketua PPDI Jatim berharap agar Raperda disabilitas itu bisa segera disahkan pada tahun ini juga. Sebab kalau tidak, tahun depan sudah sibuk dengan Pemilu dan dalam waktu dekat ini ada Pilkada. Itu artinya Raperda ini bisa jadi akan bernasib sama dengan yang pernah diajukan oleh PPCI. Apalagi kalau anggota dewan atau gubernur yang baru tidak concern terhadap keberadaan penyandang disabilitas, tentu Raperda tersebut akan terabaikan lagi. Kendati demikian, Adi mengakui masih ada yang perlu diberbaiki dari Raperda yang telah dibahas bersama
anggota Komisi E DPRD Jatim beberapa waktu lalu. Menurutnya Raperda Disabilitas tersebut masih banyak mengacu pada UU No 4 tahun 1997. Padahal Indonesia sudah menandatangani Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat bersama 44 negara lain pada tahun 2007. Sebagai tindak lanjutnya, konvensi tersebut telah diratifikasi melalui UU No 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (CRPD). Dipaparkan lebih lanjut, selama ini terminologi penyandang cacat sebagaimana dalam UU No. 4 tahun 1997 cenderung mengacu kepada ketidakmampuan, kelemahan, ketidakberdayaan dan makna lain yang cenderung berkonotasi negatif.. Di lain pihak, akibat dari terminologi tersebut masyarakat memperlakukan mereka secara Bersambung ke halaman 41 Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 9
fokus
Sosialisasi Perda
Bukan Untuk Penyandang Disabilitas Jumlah penyandang disabilitas di Jawa Timur saat ini sekitar 187 ribu orang. Bagaimanapun kondisinya, mereka adalah warga Jawa Timur yang berhak mendapat pelayanan dan perlindungan. Perda perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas diharapkan mampu menjamin hak tersebut. Perda perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas telah disetujui DPRD Jatim pada 16 Mei lalu. Agar Perda yang terdiri dari XVII bab dan 92 pasal itu bisa dilaksanakan maka tinggal menunggu Peraturan Gubernur. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 91 bahwa Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lambat 6 bulan sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. “Sekarang ini tinggal menyusun Pergubnya agar Perda pelindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas itu bisa dilaksanakan. Dan memang Perda ini sangat diharapkan oleh para penyandang disabilitas di Jawa Timur. Harapannya tentu para penyandang disabilitas di Jatim bisa dijamin hak-haknya dan mereka tidak lagi terpinggirkan. Dari data di Dinas Sosial Propinsi Jatim, jumlah penyandang disabilitas itu sekitar 187 ribu orang,” ungkap Sujono, Kepala Dinas Sosial Propinsi Jatim. Disampaikan lebih lanjut, dengan adanya Perda ini paling tidak masyarakat utamanya penyandang disabilitas tidak lagi dimarginalkan. Karena Perda ini mengatur segala aspek kehidupan terkait hakhak mereka dalam bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan, olah raga sampai dengan seni budaya. Tentu semua itu dibuat dengan tujuan agar hak penyandang disabilitas bisa dijamin pelaksanaanya. “Untuk itu setelah Pergub nanti dibuat, maka kita akan segera melakukan sosialisasi utamanya pada SKPD propinsi dulu. Baru setelah itu pada yang lainnya baik ditingkat propinsi maupun kabupaten. Karena pelaksanaan Perda ini untuk menjamin hak-
10 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Sujono, Kepala Dinas Sosial Propinsi Jatim
hak penyandang disabilitas yang memang pemerintah tidak bisa sendiri. Pemerintah Porpinsi, Pemkab dan Pemkot, dunia usaha dan masyarakat harus ikut berkontribusi atas pelaksanaan hak –hak para penyandang disabilitas,” ujar Sujono. Ditegaskan pula, untuk itulah sebetulnya focus sasaran sosialisasi Perda ini bukan para penyandang disabilitas itu sendiri. Karena untuk bisa terjaminnya hak-hak para penyandang disabilitas tersebut akan terkait dengan kewajiban pemerintah, dunia usaha dan masyrakat. Dicontohkannya yang terkait dengan aksesibilitas,
Pelatihan untuk meningkatkan kemampuan sebagai bekal kemandirian
tentu disini tidak hanya SKPD Propinsi tapi juga daerah bahkan dunia usaha yang terkait dengan penyediaan sarana umum atau infrastruktur. Dinas pekerjaan umum misalnya akan terkait dengan penyediaan aksesibilitas ditempat-tempat umum. Dinas Perhubungan, tentu berkewajiban atas tersedianya aksesibilitas distasiun, terminal, bandara maupun diangkutan umum. Dunia usaha tentu juga demikian khususnya pengelola tempat-tempat umum seperti mall atau tempat perbelanjaaan, tentu mereka akan terkena kewajiban menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Untuk itulah mereka harus tahu tentang Perda ini. Lebih lanjut dicontohkan bagaimana hak penyandang disabilitas sebagaimana disebutkan pada pasal 6 bab III. Dalam pasal ini disebutkan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Hak tersebut harus diperoleh penyandang disabilitas dengan pelayanan khusus sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya. Bila merujuk pada pasal tersebut yang terkena kewajiban tentu banyak pihak, mulai dari yang berada dibidang
pendidikan, pekerjaan, kesehatan sampai seni budaya. Untuk masalah pendidikan misalnya diatur dalam 6 pasal. Dalam pasal-pasal tersebut diantaranya ada kewajiban yang melekat pada para penyelenggara pendidikan. Disamping itu juga ada kewajiban pemerintah menyelenggarakan SLB untuk mereka yang tidak bisa mengikuti di kelas inklusi karena derajat kedisabilitasannya. Begitu pula dalam bidang ketenaga kerjaan yang terdiri dari 20 pasal, tentu yang terlibat didalamnya tidak hanya pemerintah tapi juga dunia usaha. Seperti yang disebutkan dalam pasal 34 yang melibatkan pelaku usaha dan masyarakat. Mereka yang punya usaha terkena kewajiban untuk membantu memasarkan produk penyandang disabilitas. Begitu pula dalam pasal 16 disebutkan Pemerintah Daerah Provinsi, pelaku usaha dan/atau masyarakat wajib memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan jabatan dan kualifikasi yang dibutuhkan. Pemberian kesempatan yang sama tersebut dilakukan dengan fasilitas khusus. Pada akhirnya memang upaya untuk memberikan pemenuhan hak bagi para penyandang disabilitas adalah sebuah usaha bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Sebagaimana pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, demikian pula dengan swasta dan masyarakat yang memerlukan fasilitasi dari pemerintah. Kolaborasi ketiga sektor tersebut yang lebih terorganisir dan sinergis akan mewujudkan apa yang disebut sebagai emphatic governance. Emphatic governance tidak lain adalah cara mengelola urusan publik, yang memberi penekanan pada kolaborasi pemerintah, swasta dan masyarakat yang memihak pada kelompok lemah, peka terhadap permasalahan yang dialami mereka, dan memecahkannya secara bersama. (gt)
Bekal kemandirian dari UPT milik Dinsos Jatim
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 11
u
p
t
Kini Anisa Merasa Tidak Sendiri Kondisi fisik yang berbeda membuatnya merasa kesepian. Bahkan ketika masih sekolah, ia mengaku hanya mempunyai satu teman. Kini UPT RSCT Pasuruan telah merubah jalan hidupnya.
Terkucil karena dianggap tidak sama dengan lainnya. Proteksi berlebihan dari orang tua karena dianggap kelainan yang dimiliki membuat ketidak mampuan. Akibatnya, ia tumbuh dalam ketidak percayaan diri dan pesimis dalam menatap masa depan. Hal inilah yang menjadi bidang garap UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Tubuh (RSCT) Pasuruan. “Membawa klien ke UPT RSCT ini ternyata tidak mudah. Ada yang anaknya sudah mau tapi orang tuanya yang tak mau melepas karena khawatir terjadi apa-apa pada anaknya. Sebaliknya justru ada yang anaknya tidak mau, karena takut. Memang pendekatannya tidak cukup hanya sekali. Untuk membuat mereka percaya, kita ajak mereka melihat UPT RSCT dulu. Biasanya setelah begitu baru mereka mau,” papar Dra Anna Setyana Adipraja MSi, Kepala UPT RSCT Pasuruan. Satu diantara klien yang masuk pada tahun 2013 adalah Anisa (18 th) asal Lumbang – Pasuruan. Kelainan pada kaki akibat folio membuatnya sering mengalami perlakuan diskriminatif dari lingkungannya. Bude sebagai pengganti orang tua yang mengasuhnya akhirnya berlaku protektif kepadanya. Karena ia tidak mau keponakannya menjadi bahan ejekan. Akibat dari perlakuan itu, Anisa semakin menarik diri dari pergaulan.
12 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
“Makanya Bude tidak bisa menerima kalau saya ke panti ini. Ia khawatir kalau terjadi apa-apa terhadap saya. Bude takut kalau nanti saya akan disia-siakan. Tapi kalau seandainya, Bude tidak mengijinkanpun saya akan tetap berangkat ke UPT. Alhamdulillah setelah mendapat penjelasan banyak, akhirnya Bude mengijinkan saya,” ujar Anisa mengenang perjalanan awal ke UPT RSCT – Pasuruan. Di ceritakan pula, setelah berada di UPT RSCT Anisa merasa tidak sendiri lagi. Berbeda ketika masih berada di desanya. “Waktu sekolah dulu, teman saya hanya satu. Kata mereka itu nggak mau gaul dengan orang cacat. Makanya saya nggak pernah keluar rumah. Rasanya didunia ini hanya saya sendiri yang cacat. Tapi setelah berada dipanti, baru saya merasa… oh ternyata banyak juga yang seperti saya. Bahkan kalau disini, cacat saya ini tergolong paling ringan,” ujar Anisa yang terkena folio ketika berusia 8 tahun. Anisa yang tidak lulus SMP karena terkendala biaya ini juga menceritakan bagaimana perlakuan orang-orang disekelilingnya. Dikatakannya, banyak orang yang mengejek ketika tahu ia akan ke UPT RSCT Pasuruan. “Ach Nisa bisa kerja apa. Paling-paling gitugitu aja. Kalau mau kerja juga tidak akan ada yang mau nerima. Yang normal saja sulit mendapat kerja,” tukas
Diskusi dan konsultasi penanganan produk
Anisa mengenang bagaimana perlakuan para tetangganya. Nampaknya Anisa percaya bahwa hidupnya tidak seperti yang dikatakan para tetangganya, asal ada upaya. Hal itulah yang menjadi dorongan kuat bagi Anisa untuk tetap berangkat ke UPT RSCT. Anisa percaya UPT RSCT akan memberikan sesuatu yang bisa membawa perubahan dalam perjalanan hidupnya. Keputusannya untuk tetap berangkat ke UPT RSCT adalah bentuk upaya menggapai perubahan tersebut. Terbukti setelah beberapa bulan berada di UPT RSCT, perubahan itupun mulai nampak. Cara pandang tidak lagi sesempit ketika berada didesanya. Bergaul yang didasari kesetaraan mulai bisa dirasakan. Sehingga secara perlahan rasa rendah diri itu mulai hilang.Semua klien UPT RSCT telah menjadi temannya bahkan ada yang seperti saudara. Sehingga ia sudah tidak merasa sendiri lagi. Kini kalau ia mengingat apa yang pernah dikatakan para tetangganya, hal itu dijadikannya pelecut untuk belajar lebih keras dan tekun lagi. Ia ingin membuktikan, bahwa ia bisa. Untuk membuktikan bahwa dirinya bisa kerja, Anisa kini menekuni ketrampilan dibidang penjahitan. Bahkan baru beberapa bulan belajar, ia sudah mendapat tawaran kerja dari salah satu beautic di Surabaya yang focus pada pengerjaan gaun pengantin. “Memang harapan saya setelah lulus nanti, saya ingin bekerja di penjahitan untuk mencari pengalaman. Nanti kalau sudah bisa saya ingin membuka usaha sendiri,” cetus Anisa terkait dengan harapannya setelah lulus dari UPT RSCT Pasuruan. Dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Sehingga mempunyai kesempatan yang sama dalam mewujudkan kesejahteraan hidupnya. Memang itulah yang menjadi tujuan dari rehabilitasi yang diselenggarakan UPT
RSCT Pasuruan. Setiap tahun UPT ini menerima 90 penyandang cacat tubuh dari seluruh Jawa Timur. Di UPT inilah mereka dididik, dilatih maupun diterapy untuk mengembangkan kemampuan sisa potensi fisiknya. Begitu pula dengan mental, psikologis dan sosial mereka dibentuk dengan pendampingan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. “Beberapa anak menyampaikan, katanya enakan disini (di UPT RSCT) semuanya sudah tersedia. Makan bisa teratur ada snacknya lagi. Teman juga banyak,” ujar Anna, Kepala UPT RSCT. UPT yang didirikan sejak 1986 ini berada di Jl RA. Kartini No 292 Bangil – Pasuruan. Diatas lahan seluas 38.080 m2 ini telah dibangun sarana dan prasarana untuk menunjang proses rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat tubuh. Dalam proses tersebut klien melewati 10 tahapan mulai dari seleksi sampai dengan terminasi. Dianntaranya adalah tahapan bimbingan sosial dan ketrampilan dalam bentuk bimbingan mental, fisik, sosial dan ketrampilan. Khusus untuk ketrampilan, terdiri dari penjahitan, bourdir, elektronika, service HP, sablon atau percetakan, bengkel otomotif, potong rambut atau salon dan kerajian. Dari data yang ada, mulai tahun 2000 hingga 2011, telah tercatat 318 alumni yang berhasil mendapatkan kerja diperusahaan ataupun home industry. (gt)
Konvoi sepeda motor roda tiga untuk penyandang disabilitas , setelah mengikuti reuni alumni UPT RSCT Pasuruan
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 13
kiprah
KT Tunas Harapan
Kawah Chandradimuka Pemimpin Desa Juara I Karang Taruna Berpersatasi tingkat Propinsi Jawa Timur dan Masuk 5 besar Karang Taruna Berprestasi Tingkat Nasional. Itulah penghargaan yang berhasil diraih Karang Taruna “Tunas Harapan” Desa Mungli Kabupaten Lamongan pada tahun 2012.
14 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Tidak ada perjanjian tertulis, tidak ada kesepakatan dalam rembug desa. Tapi tiga kali pemilihan Kepala Desa, yang terpilih selalu Ketua Karang Taruna. Bahkan pamong-pamongnya juga berangkat dari Karang Taruna. Tak mengherankan bila kedua lembaga di Desa Mungli Kecamatan Kalitengah Kabupaten Lamongan ini bisa dengan mudah bersinergi. Keberpihakan kebijakan desa pada Karang Taruna telah membuat lembaga para pemuda ini lebih lincah dalam berkiprah. Dengan kiprahnya itu pula, Karang Taruna Tunas Harapan berhasil meraih penghargaan sebagai Karang Taruna Berprestasi tingkat Propinsi Jawa Timur pada tahun 2012. Ditahun yang sama pula, lembaga kaum muda Desa Mungli ini masuk dalam kategori 5 besar Karang Taruna berprestasi tingkat nasional. Tentu saja prestasi tersebut bukan diperoleh secara instan. Setidaknya ada
proses panjang selama 25 tahun yang telah dilaluinya. “Sebenarnya Karang Taruna Tunas Harapan telah dibentuk sejak 1987. Tapi dalam perkembangannya telah mengalami pasang surut. Saat itu kegiatannya hanya olah raga dan seni. Tapi itu pula yang menyatukan anakanak muda Desa Mungli dalam karang taruna. Kita urunan untuk beli bola volley, membuat lapangan dan latihan bersama. Hampir setiap tahun kita juara volley ditingkat kabupaten,” ungkap Nasir, Ketua Umum Karang Taruna Tunas Harapan. Diungkap lebih lanjut, apa yang telah dicapai Karang Taruna Tunas Harapan tidak lepas dari dukungan Kepala Desa Mungli. Diantanya sejak 2003, Karang Taruna Tunas Harapan mendapat anggaran dari kas desa sebesar Rp 1 juta setiap tahun. “Saat itu bapak kepala desa menyadari karang
taruna punya peranan penting dalam pembangunan desa. Yach… maklumlah, sebelum menjadi kepala desa, beliau adalah Ketua Karang Taruna. Pak Sutrisno, kepala desa saat ini juga mantan Ketua Karang Taruna. Pak Sutrisno ini Ketua Karang Taruna mulai 1998 -2006,” papar Nasir yang juga alumnus UWK tahun 2002. Bahkan dibawah kepemimpinan Sutrisno yang telah terpilih sebagai kepala desa untuk kedua kalinya ini telah menaikan anggaran untuk karang taruna. “Pada tahun 2008 dari PAD desa, anggaran untuk karang taruna kita naikan dari Rp 1 juta menjadi Rp, 3,5 juta. Dan pada tahun 2013 ini kita naikan lagi menjadi Rp 4,5 juta. Selain itu sejak 2008 karang taruna mendapat jatah pengelolaan sebagian tanah kas desa,” papar Sutrisno. Perangkat desa utamanya Kepala Desa dan masyarakat Desa Mungli memang tidak diragukan dukungannya terhadap Karang Taruna “Tunas Harapan” Sebagai imbalan dari dukungan tersebut, kaum muda Desa Mungli yang tergabung dalam karang taruna juga tidak tinggal diam. Mereka bahu membahu untuk mengambil peran dalam pembangunan desanya. Motto “ Cerdas Kreatif dan Mandiri” tidak hanya sebatas slogan. Tapi telah berhasil diwujudkan dalam gerak. Untuk menunjang kemandirian misalnya, kas Karang Taruna Tunas Harapan diputar dengan diinvestasikan pada usaha persewaan alat resepsi. Dengan usaha tersebut, disamping asset karang taruna bertambah, beberapa anggota karang taruna juga mendapat pekerjaan. Selain itu, kebutuhan warga akan alat resepsi juga bisa terpenuhi tanpa harus menyewa di luar desa. Kebutuhan warga memang telah menjadi acuan dalam pengembangan Karang Taruna “Tunas Harapan”. Untuk bidang Usaha Ekonomi Produktif (UEP) misalnya, pengembanganya untuk menopang pertanian. Ketika masyarakat tani Desa Mungli mengalami kesulitan pupuk, Karang Taruna “Tunas Harapan” terjun dalam usaha composting. Begitu pula ketika warga butuh tempat penjemuran padi, karang tarunapun membuka usaha dibidang itu. Usaha persewaan lantai penjemuran padi tersebut dengan memanfaatkan lahan kas desa. UEP tersebut dikelola dengan pola KUBE. Hingga saat ini UEP Karang Taruna “Tunas Harapan” dibagi menjadi 3 KUBE. KUBE pertama yang dibentuk adalah persewaan alat resepsi. Kemudian disusul KUBE persewaan alat pertanian yang dimulai dari lantai penjemuran padi terus berkembang pada traktor. KUBE berikutnya composting dengan kapasitas produksi sampai 2 ton perbulan. Produk kompos tersebut bukan hanya untuk petani Desa Mungli tapi sampai kedaerah lain seperti Mojokerto dan Gersik. Bukan itu saja, kini karang
Komposting Karang Taruna Tunas Harapan telah menembus kabupaten lain
taruna “Tunas Harapan” juga tengah menggali dan mengembangkan produk unggulan Desa Mungli khususnya makanan. Mengadakan pertemuan setiap bulan, itulah salah satu kunci Karang Taruna “Tunas Harapan” bisa menjaga semangat kebersamaan anggotanya. Dengan semangat itu pula, banyak hal talah mampu dilakukan oleh Karang Taruna “Tunas Harapan”. Arisan dan membayar iuran Rp 5000 per bulan telah menjadi tali pengikatnya. Dari pertemuan itu pula, berbagai gagasan pengembangan karang teruna dibahas. Termasuk bagaimana mengambil peran dalam pemecahan berbagai masalah kemasyarakatan. Dibidang Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS), Karang Taruna “Tunas Harapan” tidak hanya melakukan pendataan PMKS setiap tahun tapi juga bisa memberi bantuan. Setidaknya setiap tahun Karang Taruna Tunas Harapan bisa menyalurkan 5 ekor kambing pada kelurga miskin didesanya. Tidak hanya itu, bedah rumah, sunatan masal juga dilakukan dengan dana dari kas Karang Taruna sendiri. Dengan berbagai perannya di masyarkat itu, tanpa disadari Karang Taruna “Tunas Harapan” telah menjadi organisasi pembelajar. Dari karang taruna ini tumbuh kader-kader pemimpin desa. Kader-kader yang mempunyai kemampuan dalam mengelola potensi yang ada demi kemajuan desanya. Diantara mereka kini telah menduduki posisi sebagai Kepala Desa dan pamong-pamongnya. (gt)
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 15
warta dinsos
Fenomena Dibalik
Kepulangan Mereka
Dengan ditutupnya lokalisasi prostitusi, bukan berarti masalah telah selesai. Karena bukan tidak mungkin, kepulangan mereka justru menambah angka PMKS didaerahnya. Atau bisa juga, mereka tetap menjalankan pekerjaan lama dengan hanya berpindah lokalisasi. Diantara alternatif solusi penutupan lokalisasi adalah pemulangan ke daerah asal. Untuk itulah para eks WTS ataupun mucikari telah dibekali berbagai ketrampilan. Tidak hanya ketrampilan, mereka juga dibekali dana sebagi modal usaha. Harapannya tentu, mereka nantinya bisa memulai kehidupan baru dengan cara tidak melanggar norma agama maupun sosial. Tapi kenyataan seringkali tidak sesuai dengan harapan. Seperti yang terungkap dalam verifikasi data yang dilakukan Dinas Sosial Propinsi Jatim dalam program Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi (PWRSE) di Blitar. Pada saat penutupan lokalisasi prostitusi di Tulungagung, tercatat 82 orang yang telah dipulangkan ke Blitar.
16 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Namun ketika dilakukan pemetaan langsung oleh perangkat desa dan kecamatan tentang keberadaan mereka, ternyata hanya tercatat 52 orang. Data inilah yang diserahkan pada Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur untuk dijadikan sasaran program PWRSE. Data itupun kemudian diverivikasi yang hasilnya ternyata hanya tersisa 29 orang. “Jumlah itulah yang benar-benar ada atau bisa dikatakan mereka yang telah tobat dan menetap didesanya. Namun tidak bisa juga dikatakan yang tidak menetap didesanya itu belum tobat. Karena bisa jadi mereka tidak menemukan sumber kehidupan didesanya. Sehingga mereka terpaksa merantau lagi,” tukas Dwi Sumartono, Kepala Seksi Pemberdayaan Fakir Miskin dan Masyarakat Tertinggal. Ditambahkannya, rata-rata permasalahan yang membuat mereka terjerumus dalam lembah hitam itu adalah masalah ekonomi yang kemudian berpengaruh pada status sosialnya. Mereka merasa, status sosialnya menjadi rendah karena kondisi ekonomi keluarganya. Untuk itulah mereka berupaya untuk meningkatkan ekonomi keluarganya walaupun harus keluar desa. Keputusan untuk merantau ke daerah lain itu diambil, karena tidak ada lagi yang bisa dikerjakan didesanya dalam upaya meningkatkan kondisi ekonomi keluarga. Beruntung bila mereka bisa segera mendapat pekerjaan. Tapi dengan skill yang rendah, tentu bukan hal mudah untuk mendapat pekerjaan dengan penghasilan layak. Dalam kondisi demikian inilah yang membuatnya rawan terjerumus dalam lembah hitam. Tapi tentu saja, hal itu tidak serta merta terjadi. Ada factor pendorong yang membuatnya terjerumus. Factor tersebut bisa jadi teman atau orang terdekat yang sudah lebih dulu disana. Bisa juga factor terjebak oleh para pelaku trafficking. Karena tujuan awal untuk meningkatkan status sosial kuluarganya. Tak mengherankan bila hasil kerja di lembah hitam itupun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. “Dari temuan saat verifikasi, rata-rata hasil kerja diprioritaskan untuk membangun rumah. Karena bagi mereka tampilan fisik rumah akan mendongkrak status sosialnya. Walaupun sering kita temui juga didalam rumah gedong itu juga hanya ada perabot seadanya. Artinya hasil kerja mereka itu sebetulnya tidak terlalu berlebihan juga,” papar Dwi Sumartono. Kendati demikian lanjutnya, tidak mudah juga bagi mereka untuk meninggalkan pekerjaan yang melanggar norma agama dan sosial itu. Baginya pekerjaan tersebut merupakan pilihan terbaik diantara pekerjaan lain yang tersedia untuknya. Dari segi penghasilan, menurut mereka menjadi WTS atau mucikari jelas lebih banyak dan lebih mudah mendapatkannya dibanding pekerjaan lainnya. Untuk
itu butuh motivasi yang kuat agar mereka mau beralih pada pekerjaan lain yang tidak melanggar norma. Tekanan dengan ancaman penutupan lokalisasi ditambah dengan iming – iming bantuan modal dan pelatihan tidak cukup sebagai motivasi. Tak mengherankan bila mereka menerima semua tawaran tersebut dengan terpaksa. Mereka ikut program pelatihan hingga pemulangan. Tapi setelah dipulangkan kedaerah asal, mereka kembali keluar dari desanya untuk kembali pada pekerjaan lama ditempat yang lain. Sekali lagi, menurut mereka desanya tidak bisa memberikan kesejahteraan. Walaupun saat itu mereka sudah punya bekal ketrampilan dan modal. Dengan fakta tersebut, menurut Dwi Sumartono memang perlu pengembangan strategi lebih lanjut dalam menangani masalah itu. Pemberian pelatihan dalam upaya peningkatan skill belumlah cukup. Begitu pula bantuan permodalan, bisa jadi akan habis tergerus untuk biaya hidup. Dengan demikian, pendampingan spiritual dan usaha yang dilakukan secara berkala sangatlah dibutuhkan. Bukan suatu keharusan pula bagi mereka untuk membuka usaha didaerah asalnya. Karena mereka bisa memulai usaha baru itu diluar desanya yang dianggap lebih potensial untuk bisa meningkatkan kapasitas ekonomi keluarga mereka. (gt)
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 17
warta dinsos
Setelah Bisa Membuat Produk Lalu Apa ?
alumni UPT mengikuti pelatihan menejemen usaha untuk pengembangan usahanya.
Mencari pekerjaan memang tidak mudah. Apalagi bila tidak didukung kemampuan sebagaimana diinginkan dunia kerja. Pengangguran, itulah status yang akan disandang bila tidak ada pekerjaan dan tidak ada penghasilan. Dengan kondisi tersebut, tentu kebutuhan kehidupannya tidak bisa terpenuhi. Artinya, keberadaannyapun akan menambah jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Berwirausaha, itulah salah satu alternative penyelesaian. Sayangnya menjadi wirausaha juga bukan hal mudah. Dengan diberi berbagai pelatihan life skill, tentu belumlah cukup. Meski dari pelatihan tersebut telah mampu menghasilkan suatu produk yang layak jual. Bahkan dalam sebuah paket pelatihan tidak jarang juga didukung dengan adanya bantuan modal usaha ataupun peralatan kerja. Tapi itupun terkadang juga dirasa belum cukup untuk mendorongnya menjadi wirausaha. Menyadari kondisi demikian, Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur setiap tahun menggelar pelatihan menejemen usaha bagi eks klien binaan UPTnya. Tahun ini pelatihan dilakukan pada 18 Maret lalu di UPT Pengembangan Tenaga Kesejahteraan Sosial – Malang. Pelatihan yang diselenggaralan selama 3 hari itu diikuti 40 eks klien binaan UPT Dinas Sosial Propinsi Jatim.
18 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Para peserta tersebut telah terampil dalam bidang penjahitan, border, outomotif, fotografi dan pijat. “Kegiatan ini merupakan upaya pengembangan diri dalam karir usaha produktif bagi eks klien. Harapannya dengan adanya penambahan skill manajemen usaha ini, mereka bisa semakin lincah dalam mengelola dan mengembangkan usahanya. Pada akhir semua itu dimaksudkan agar penghasilan mereka meningkat dengan demikian kemampuan untuk meraih kesejahteraan itu juga semakin meningkat,” papar Drs. Sudjono, MM, Kepala Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur dalam kata sambutannya. Kegiatan dengan tajuk Pelatihan Manajemen Usaha bagi Eks klien PMKS binaan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur ini memang bertujuan agar usaha yang telah ditekuni bisa semakin berkembang. Paling tidak dengan pelatihan ini, mereka akan semakin mantap dalam menapaki dunia usaha. Dengan daya pikir dan ketrampilan teknis menejerial yang meningkat maka usaha yang ditekuni para eks klien akan tumbuh berkembang. Sehingga kalau tadinya sebagai PMKS akan berubah menjadi Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS). Atau paling tidak sudah bisa mencukupi kebutuhan hidupnya secara mandiri. (yogi/gt)
Krida Remaja Mengambil Peran Dalam Manik-Manik Sejak 35 tahun lalu, Desa Plumbon Gambang- Kecamatan Gudo- Kabupaten Jombang sudah dikenal sebagai penghasil manik-manik. Lalu bagaimana Karang Taruna di desa ini mengambil peran ditengah kehidupan pengrajin manicmanik. Tak salah memang bila dikatakan bahwa Karang Taruna sebagai organisasi persinggahan. Karena bagaimanapun mereka yang tergabung dalam organisasi kepemudaan ini akan meninggalkannya seiring dengan bertambahnya usia. Biasanya mereka akan meninggalkan Karang Taruna setelah lulus sekolah, bekerja lalu menikah. Apalagi bila bekerja diluar daerah yang jauh dari desanya. Tapi juga tidak dipungkiri, Karang Taruna bisa sebagai lembaga pembelajar bagi anggotanya. Melalui Karang Taruna, mereka bisa belajar berorganisasi. Bahkan melalui Karang Taruna, mereka bisa belajar mengelola sebuah usaha secara bersamasama.Akses kehidupan merekapun akan bertambah luas. Namun itu semua tidak akan terjadi bila mereka yang tergabung dalam Karang Taruna hanya bersifat pasif tanpa melakukan apapun. Sehingga organisasinya hanya sebatas papan nama. Masyarakatpun tidak akan memberi peran pada Karang Taruna, kalau para pemuda yang tergabung dalam lembaga ini tidak mencoba mengambil peran. Seperti yang dilakukan Karang Taruna Krida Remaja ditengah kehidupan masyarakatnya sebagai pengrajin manik-manik. Pada Mei lalu mereka terlibat dalam kepanitiaan peringatan HUT Asosiasi Pengrajin Manikmanik Jombang (APMJ). Dalam peringatan tersebut mereka mengadakan pameran dan pasar malam di lapangan desa. Pemberian peran pada Karang Taruna ini, karena memang lembaga ini sudah lama dekat dengan para pengrajin. “Karang Taruan Krida Remaja ini mulai berkembang pada tahun 2007. Mereka yang tergabung dalam lembaga ini sebagian besar terlibat dalam kerajian manic-manik. Ada yang memang anak dari pengrajin, ada pula yang pekerja di industry kerajinan manicmanik,” papar Andi Yusanto, Ketua Karang Taruna Krida Remaja. Untuk memperkuat paparannya itu, Andi menyampaikan bahwa Nurwahid sebagai salah satu pengrajin itu adalah mantan Ketua Karang Taruna Krida Remaja. Pelu diketahui, kini Nurwahid bukan hanya sebagai pengrajin tapi juga pemilik showroom
Andi Yusanto, Ketua Karang Taruna Krida Remaja Jombang
manic-manik terbesar didesanya. Aksesnyapun tidak hanya lokal tapi nasional. Salah satu bukti itu terpampang di showroomnya. Disitu nampak Nurwahid berpose bersama pejabat-pejabat penting negeri ini termasuk Presiden SBY. Andi yang mahasiswa Undar- Jombang semester VI ini juga menyampaikan, saat ini di Desa Plumbon Gambang terdapat 27 pengrajin. Setiap pengrajin rata-rata mempunyai pekerja 10 sampai 12 orang. Sedangkan anggota Karang Taruna Krida Remaja yang tergolong aktif sebanyak 60 orang. Dari jumlah tersebut, 25 orang diantaranya terlibat dalam produksi dan pemasaran manic-manik. “Pada tahun 2011, seksi UEP pernah mencoba terjun pada perakitan dan design. Tapi sayang itupun tidak bisa berlanjut,” ujarnya. Diakui pula, sejak 2005 hingga 2008 pemasaran manicmanik mengalami kejayaan. Sayangnya pada 2009 pemasaran manic-manik mengalami penurunan. Untuk itulah beberapa anggota mencoba mengambil peran dalam pemasaran. Diantaranya dilakukan dengan membuka peluang pasar melalui jejaring sosial didunia maya. Bahkan pada 2013 ini, Karang Taruna Krida Remaja mendapat kesempatan dari Dinas Sosial Propinsi Jatim untuk mengikuti beberapa pameran. Hal tersebut dimulai dengan pameran yang diadakan di Blitar dalam rangka peringatan hari Keluarga Nasional. (gt)
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 19
warta dinsos
Penantian Panjang Kehadiran Baby Kehadiran bayi dalam keluarga Sentot Purwanto memang sangat dinantikan. Itulah sebabnya, ketika pasangan ini mendengar ada bayi terlantar di rumah sakit, merekapun langsung mendatanginya. Saat itulah, hati mereka mulai berbungabunga karena harapan untuk mendapatkan anak akan segera terwujud. Tapi harapan itu seakan pupus, setelah tahu bahwa si bayi telah berada dalam pengasuhan Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur. Penyerahan bayi kepada orang tua asuh
“Saat itu sudah terlintas dalam benak saya. Bahwa urusannya akan menjadi panjang. Dan ternyata dugaan saya itu memang benar. Proses adopsi tidak bisa begitu saja dilakukan. Walaupun demikian kami tidak putus asa. Hampir setiap hari, kami datang ke PSAB untuk melihat anak yang akan kami adopsi tersebut. Disitulah kami mendapat penjelasan dari Ibu Rosa sebagai Kepala PSAB. Dan kami bisa menerima karena penjelasan itu sangat logis. Memang proses adopsi harus dijalani seperti itu demi kebaikan anak maupun calon orang tua asuhnya,” ungkap Sentot Purwanto, mengenang perjalanan awal dalam mengadopsi anak PSAB – Sidoarjo. Diceritakannya pula, bagaimana
20 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
mereka tegang dan gugup seperti anak akan menghadapi ujian nasional. Hal itu terjadi ketika memasuki proses home visit. “Pokoknya kami tidak mau gagal dalam hal ini. Makanya kami ingin menunjukan bahwa kami telah siap menjadi orang tua asuh. Tapi terus terang, kami begitu tegang saat kedatangan tim home visit dari PSAB. Alhamdulillah kami lulus pada tahap ini. Tapi itu bukan berarti kami sudah bisa membawa pulang bayi yang kami idamkan itu. Pendek kata, harihari yang kami lalui sampai pada saat penyerahan itu, terasa sangat begitu lambat. Rasanya bahagia sekali ketika kami dipercaya untuk mengasuh dan hari inilah hari kebahagiaan kami itu,” papar Sentot yang juga seorang
apoteker saat menyampaikan kesannya pada acara penyerahan anak asuh kepada calon orang tua angkat di PSAB – Sidoarjo, 30 April lalu. Hal sama juga dirasakan Ida, salah satu guru SMA di Sidoarjo. Kerinduan pada kehadiran anak dalam keluarganya begitu menggebu. Tak mengherankan bila setiap hari ia datang ke PSAB sebelum berangkat mengajar. Sampaisampai semua personil di PSAB hafal dengannya. Bagi Ida sendiri, datang ke PSAB bisa mengobati rasa rindu pada anak yang akan diadopsinya. Sampai hari yang dinantikan itu tiba, dimana ia diperbolehkan untuk membawa pulang anak yang akan diadopsinya. Walaupun statusnya masih calon orang tua asuh. Karena ia harus melewati masa evaluasi
yaitu 6 bulan terhitung sejak penyerahan. Setelah itu status orang tua asuh baru bisa disandangnya dan disahkan oleh Pengadilan Tinggi Negeri Jawa Timur. Memang mekanisme adopsi bukan ditentukan oleh PSAB melainkan oleh Panitia Pertimbangan Pengambilan Anak (PIPA). Ada sejumlah lembaga yang tegabung dalam PIPA yakni Dinas Sosial Propinsi Jatim, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Perlindungan Anak, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.“Prosesnya memang panjang dalam pengangkatan anak ini. Saya tahu sendiri bagaimana siding-sidang PIPA yang berlangsung sangat ketat. Keputusan yang dibuat begitu hati-hati karena akan menyangkut nasib seorang anak kedepannya,” tukas Yopi Adam, dari Pengadilan Tinggi Negeri Jatim dalam kata sambutannya. Hal sama juga disampaikan Sudjono, Kepala Dinas Sosial Jatim dalam k ata sambutannya. “Kalau dulu, untuk mengadopsi anak tinggal dibawa begitu saja. Seperti yang dilakukan ibu saya. Walaupun begitu, saudarasaudara angkat saya itu, kini sudah mapan semua hidupnya. Tapi kalau sekarang tidak bisa begitu, tahapan-tahapan seperti dijalankan di PSAB itu memang harus dilakukan. Hal itu sebagai upaya mencegah terjadinya kasuskasus seperti ketelantaran maupun eksploitasi pada anak. Tapi perlu saya tegaskan pula, proses adopsi di PSAB ini memang panjang tapi tidak ada sepeserpun pungutan” paparnya. Kalau pada acara pelepasan tersebut para calon orang tua asuh punya cerita bagaimana penantian panjang dalam mendapatkan anak, berbeda dengan beberapa anak di PSAB. Salah satu diantaranya adalah Akbar yang kini sudah berusia 4 tahun. Bila melihat usianya, maka tahun depan bila tidak ada yang mengadopsi maka ia akan menjadi anak negara dan masuk dipanti asuhan milih Dinas Sosial Jatim. Akbar termasuk anak yang berada di PSAB sejak UPT Dinsos Jatim itu dibentuk pada tahun 2009. Pertama dibawa ke PSAB, Akbar punya kelainan pada kakinya. Tapi kini Akbar sudah bisa berjalan secara normal dengan tingkah polahnya yang menggemaskan. Itulah yang membuat para pengasuhnya di PSAB semakin sayang kepadanya. Pada 30 April itu, telah diserahkan 15 anak PSAB kepada calon orang tua asuhnya. Dari kelima belas anak itu, Akbar tidak termasuk didalamnya. (gt).
Atlet UPT RSCN Malang Raih 7 Emas dalam NPC Penyandang cacat menyadari bahwa olahraga mempunyai arti penting karena dengan melalui kegiatan olahraga dapat meningkatkan kemampuan dan prestasi. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan seorang atlet dalam usaha untuk meraih prestasi yang maksimal. Diantaranya yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal bisa dibagi dua, yaitu yang pertama fisik, misalnya postur tubuh, kondisi kemampuan dasar fisik (kekuatan, daya tahan, kecepatan dan sebagainya). Yang kedua dari segi psikis, misalnya motivasi, rasa percaya diri. Pada tanggal 31 Oktober 1962, Pemerintah mendirikan Yayasan Pembinaan Olahraga Cacat (YPOC) di Surakarta kemudian tahun 1993 diganti dengan Badan Pembinaan Olahraga Cacat (BPOC) dan setelah Pekan Olahraga Cacat Nasional (PORCANAS) XII Palembang atas saran Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (MENPORA RI) serta mengikuti aturan lembaga Paralympic Regional dan Internasional maka BPOC perlu ditingkatkan eksistensinya dan kedudukannya bahwa BPOC merupakan National Paralympic Committee (NPC) Indonesia.Tanggal 26 Juli 2010 melalui Musyawarah Olahraga Nasional (MUSORNAS), diresmikan menjadi National Paralympic Committee (NPC) Indonesia yang saat ini telah ada di berbagai daerah di Indonesia. Pada tanggal 13 - 15 Juni 2013, diadakan Kejuaran Daerah NPC SeJawa Timur yang memperebutkan Piala Walikota Surabaya Tahun 2013 yang resmi dibuka di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Dalam kejuaraan kali ini, UPT RSCN Malang mengirimkan pesertanya di beberapa cabang olahraga yaitu lempar cakram, lari, tolak peluru, lompat jauh, dan lempar lembing. Para peserta Tuna Netra memenangkan total 7 Emas, 3 Perak dan 3 Perunggu. Emas diraih Andika dalam lempar cakram dan tolak peluru, Agus Hariyadi dalam lempar lembing dan lari 400 m, Susrini dalam lari 100 m, Iwit Widarsih dalam Lompat jauh, Deni Ahmad lari 200 m. Sedang perak diraih Andika dalam lari 100 m, Iwit Widarsih dalam lempar cakram dan lempar lembing. Sementara Perunggu diraih Susrini dalam tolak peluru, Deni Ahmad dalam tolak peluru dan lari 100 m. Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 21
warta dinsos
Pemberdayaan KUBE Membuka Akses Pengrajin
Akses pemasaran dan akses permodalan menjadi penting bagi pengembangan usaha kecil. Salah satu upaya untuk memudahkan membuka akses tersebut dengan membentuk KUBE. Inilah yang dilakukan pengrajin kayu Desa Beji.
22 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Memasuki Desa Beji Kecamatan Junrejo – Kota Batu terasa ada pemandangan berbeda dibanding desa lainnya. Sepanjang jalan nampak papan yang dijemur dengan disandarkan pada dinding rumah. Tak mengherankan, karena memang desa ini sebagai sentra kerajinan kayu. Mulai dari perabot dapur hingga handycraf dengan aneka jenisnya telah diproduksi di desa ini. Pasarnyapun telah merambah luar negeri seperti Malaysia dan Turki. Meski didesa ini terdapat banyak pengrajin, tapi persaingan tidak sehat diantara mereka bisa dihindarkan. Bahkan antara satu pengrajin dengan pengrajin lainnya bisa saling menunjang. Mereka juga berhasil membuktikan, dengan pola interaksi yang demikian itu, justru membuat mereka semakin kuat. Karena interaksi antar pengrajin ini telah terwadahi dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang rutin mengadakan pertemuan setiap tanggal 25. Dengan pertemuan rutin setiap bulan itulah, komunikasi antar pengrajin bisa terjalin dengan baik. Berbagai permasalahanpun bisa dibahas dan dicarikan solusinya secara bersama-sama dalam pertemuan tersebut. Kesepakatan demi kesepakatan berhasil dibuat demi kepentingan bersama. Tidak hanya masalah bahan baku, masalah
pemasaran juga bisa diselesaikan. Bahkan masalah tenaga kerja juga demikian. Sehingga tidak ada pekerja pada satu pengrajin yang nganggur akibat sepinya order. Kalaupun order sepi, pekerja tersebut bisa ditarik pada pengrajin lainnya yang kebetulan masih banyak order. Tentu saja kondisi tersebut tidak serta merta terjadi. Karena sebelumnya kondisi persaingan antar pengrajin sudah sangat membahayakan dan saling menjatuhkan. Bahkan konflik bisa terjadi karena berebut bahan baku. Begitu pula dalam hal pemasaran, mereka berani banting harga demi menjatuhkan teman sesama pengrajin. Memang dalam persaingan bisnis, hal demikian sah-sah saja dilakukan. Tapi dalam kehidupan bermasyarakat, fenomena tersebut sudah tidak sehat dan bila terus berlanjut justru akan menambah jumlah PMKS didesa tesebut.. Odong Burhanudin, selaku Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) menangkap hal tersebut sebagai masalah yang harus segera diselesaikan. Inilah latar belakang dibentuknya KUBE Aneka Pengrajin Desa Beji. “Tenonge dilumahno, omonge digenahno (Untuk mencari penyelesaian, segala sesuatunya harus dikomunikasikan secara jujur dan terbuka,-red),” ujar Odong demikian panggilan akrabnya. Lelaki yang telah malang melintang diberbagai program Dinas Sosial Jatim ini memang tidak bisa tinggal diam melihat masalah sosial. Sebetulnya Odong sendiri bukanlah pengrajin kayu, tapi ia melihat ada permasalahan sosial disitu. Sehingga ia merasa terpanggil untuk ikut mencarikan jalan keluarnya. Walaupun hal tersebut tidak ringan, apalagi bila hanya sendiri. Menyadari hal tersebut, Odong mulai melakukan pendekatan pada tokoh-tokoh desa untuk menjelaskan jalan pikirannya. Apa yang dilakukan Odong juga mendapat dukungan dari anggota karang taruna yang sebagian besar adalah keluarga dari para pengrajin. Sehingga ide pembentukan KUBE bisa terealisasi pada 2003. “Sebelum 2003 itu para pengrajin di Desa Beji penuh persaingan. Mereka tidak kompak bahkan rela melihat kawan jatuh dengan mempermainkan harga. Sejak itulah saya mencoba merangkul mereka semua dan berusaha membukakan akses,” tukasnya. Dengan terbentuknya KUBE, beberapa akses bantuan mulai terbuka. Saat pertemuan pertama , berhasil mengundang pihak Dinas Koperindag Kota Batu. Dari pertemuan itulah kemudian terealisasi bantuan sebesar Rp 1 juta dan setiap anggota KUBE mendapat dynamo motor. Disamping itu, setiap anggota juga mendapat uang saku Rp 50 ribu yang kemudian dikumpulkan sebagai simpanan pokok masingmasing anggota. Sejak itu pula pengelolaan KUBE menerapkan pola koperasi terutama dalam hal simpan pinjam. Disamping itu, ada juga bantuan dari Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur sebesar Rp 5 juta untuk pengadaan bahan baku. Oleh KUBE, bantuan tersebut telah disepakati untuk dijadikan modal bergulir dengan system pinjaman yang diangsur 10 kali. Tidak hanya sampai disitu, Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur juga memfasilitasi untuk mendapat bantuan dari Kementrian Sosial. Realisasinya , muncul tawaran bantuan berupa pinjaman sebesar Rp 200 juta. Tapi bantuan tersebut
ditolak oleh Odong selaku Ketua KUBE Aneka Pengrajin.“ Saya nggak yakin bisa mengembalikan. Karena kondisi pengrajin waktu itu masih belum solid seperti sekarang. Tapi kalau sekarang ditawari, jelas akan kami terima,” tukasnya. Sampai saat ini, perputaran uang di KUBE Aneka Pengrajin mencapai Rp 50 juta pertahun. Dana itu terus digulirkan dalam 2 bentuk pinjaman yakni pinjaman biasa yang besarnya Rp 1 sampai Rp 1,5 juta dan diangsur selama 10 kali. Kemudian ada juga pinjaman emergency yang besarnya sampai Rp 1 juta tapi pengembaliannya dalam tempo satu bulan. KUBE ini beranggotakan 20 pengrajin yang masingmasing mempunyai pekerja 4 sampai 10 orang. Dalam mengembangkan KUBE ini, Dinas Sosial Propinsi Jatim juga telah mencoba membuka akses pemasaran baik ditingkat local maupun ditingkat nasional. Setidaknya beberapa kali, produk KUBE Aneka Pengrajin diikutkan dalam pameran ditingkat propinsi maupun nasional. Hasilnya cukup significant, jaringan usaha merekapun semakin luas. Mereka bisa terhubung dengan sesama pengrajin ditingkat nasional yang semakin meningkatkan daya inovasi produknya. Begitupula jaringan pasar juga terbuka luas bahkan sampai ke luar negeri. Kini diantara anggota KUBE juga ada yang berhasil menjadi distributor hendycraf yang bisa mensuply tempattempat wisata di wilayah Malang Raya. Omsetnyapun telah mencapai Rp 136 juta per bulan. Memang produk yang dipasarkannya, tidak hanya dari KUBE Aneka Pengrajin melainkan berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Tapi setidaknya, hal tersebut juga merupakan salah satu tangan pemasaran bagi anggota KUBE. Anggota KUBE Aneka Pengrajin sebetulnya kini juga sudah mandiri dalam hal pemasaran. Tapi ikatan sebagai anggota KUBE terus terjalin karena mereka sudah bisa merasakan manfaatnya bersinergi. Diantaranya berbagi order demi menjaga ketepatan janji dalam penyelesaian. Begitu pula dalam inovasi produk, tentu akan banyak ide yang bisa dimunculkan ketika mereka bersama dalam pertemuan. Bahkan saling meminjamkan pekerja juga bisa mereka lakukan untuk mengejar target produksi. Karena memang kepastian dalam sebuah bisnis sangat dibutuhkan. Semua itu bisa lebih mudah dicapai dengan bersinergi dalam sebuah wadah yang rutin mengadakan pertemuan. (gt) Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 23
warta dinsos
PMKS Jalanan Outlet Sebuah Wilayah Jumlahnya memang tidak sangat banyak. Tapi keberadaanya mampu menghapus keberhasilan atau prestasi yang dicapai sebuah wilayah. Itulah Keberadaan PMKS Jalanan sebagaimana diungkap Wakil Gubenur Jatim dalam Rakor Dinsos Jatim pada Maret lalu. Penanganan PMKS memang seakan tidak pernah ada habisnya. Persoalan yang muncul tidak hanya terkait langsung dengan PMKS itu sendiri. Persoalan terkait dengan koordinasi, sinkronisasi hingga sinergitas juga mengiringi. Akibatnya, penanganan PMKS atau pembangunan Kesejahteraan Sosial dirasa berjalan parsial. Permasalahan inilah yang menjadi pembahasan dalam Rakor tehnis Tahun 2013 dan Sinkronisasi Program Pembangunan Kesejahteraan Sosial tahun 2014. Rakor yang diselenggarakan 4 Maret
24 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
lalu di Hotel Simpang- Surabaya itu diikuti 260 peserta. “Kita sering merasakan pembangunan ini berjalan secara parsial. Nah bagaimana berbagai persoalan bisa dibicarakan secara komprehensif dalam kegiatan ini. Sehingga pembangunan Kesejahteraan Sosial sesuai dengan Renstra itu bisa dicapai. Kami menyadari bahwa sepanjang perjalanan Renstra dari 2010 ke 2014 itu baik dipusat maupun didaerah telah banyak mengalami perubahan. Diantaranya karena ada pergantian
pimpinan daerah. Begitu pula dengan renstra Kemensos dan kebijakan pusat,” tukas Mu’man Nuryana, Staf Ahli Bidang Dampak Sosial dalam kata sambutannya mewakili Sekjend Kementrian Sosial RI. Pada kesempatan tersebut Mu’man juga menyampaikan apresiasinya terhadap tema Rakor terkait dengan sinkronisasi dan reaktualisasi sinergi. Menurutnya persoalan menjelang 2014, dirasakan adanya sinergi yang kurang kuat. Untuk itulah perlu adanya aktualisasi. Penguatan sinergi perlu dilakukan antara Dinas Sosial Propinsi Jatim dan pemerintah kabupaten / kota. Begitu pula antara Pemerintah Propinsi Jatim dengan Kementrian Sosial. “Sinergi tersebut bisa dipandang dari sisi substansi program dan kegiatan, bahkan volume sampai pada sebaran-sebaran yang ada dan distribusi pada Dinas Kabupaten/ Kota,” tukasnya. Dikatakan juga, Kementrian Sosial akan terus melakukan upaya-upaya sinkronisasi sesuai dengan kemampuannya. Beberapa angka telah dicantumkan sesuai dengan komitmen bersama pada 2012-2013. Walaupun anggaran dari Kementrian tersebut kurang bila dibanding dengan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Jatim. Tapi dibalik itu tentu menunjukan semakin tingginya komitmen dan kemampuan dari Pemerintah Daerah Jatim. Dengan itu semua diharapkan dapat mendorong pembangunan Kesejahteraan Sosial di Jawa Timur semakin optimal. Sementara itu, Wakil Gubernur Jatim Saifulah Yusuf dalam kata sambutannya memulai dengan paparan adanya pertentangan idiologis terkait peranan negara dalam penanganan PMKS. Pertentangan tersebut muncul di era Presiden Gus Dur dengan dibubarkannya Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. “Pandangan idiologis Gus Dur bahwa Negara makin maju, yang diurus pemerintah itu semakin dikit. Untuk itu dicoba tesis pertamanya dengan membubarkan Depsos dan Depen,” ungkapnya. Lebih lanjut disampaikan Depsos nantinya dijadikan lembaga yang akan masuk dalam salah satu kementrian. Sedangkan orang-orang yang perlu diurus itu nanti diserahkan pada swasta. Tapi dalam dua tahun berjalan, Gus Dur dikritik keras karena proses transisi tidak bisa berjalan dengan baik. Akhirnya Kementrian Sosial dihidupkan kembali. Karena bagaimanapun, akan ada kelompok-kelompok yang tertinggal dan itu menjadi urusan negara. Hal itu pula yang telah diamanahkan dalam UUD dan telah menjadi tujuan kemerdekaan negara ini. “Kalau saya mengibaratkan perkembangan negara itu seperti kereta pertumbuhan. Dimana dalam pertmubuhan itu ada kelompok yang tidak bisa termuat dalam kereta tersebut. Yang tidak bisa ikut dalam kereta pertumbuhan inilah yang menjadi urusan negara. Karena bagaimanapun perkembangan suatau Negara,
pasti masih ada kelompok-kelompok yang ketinggalan kereta. Di Amerika saja kelompok seperti itu juga ada dan bahkan disana mereka diberi fasilitas khusus. Dinegara bagian Oregon misalnya merupakan surga bagi para gelandangan, Namun semua itu telah diatur dalam undang-undang yang rapi dan ketentuan-ketentuan yang rigid. Sehingga tidak sembarangan,” tukas Gus Ipul, sapaan akrab Wakil Gubernur Jatim. Dengan demikian, tantangannya bagaimana mengurus PMKS ini lebih serius dan masalah PMKS menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Terutama PMKS jalanan yang telah menjadi prioritas penanganan. “Pak gubernur itu mengajak kita terutama Pak Assisten Kesejahteraan Sosial dan SKPD yang masuk dalam klauster ini untuk mencari cara bagaimana PMKS ini bisa kita atasi. Jumlah PMKS ini memang tidak terlalu banyak, tapi keberadaannya bisa mengganggu kemajuan yang telah dicapai. Katakanlah Surabaya, dengan berbagai prestasi yang telah dicapai akan terasa tidak ada artinya bila kemudian diperempatan jalan masih terlihat gelandagan pengemis. Jumlahnya memang tidak banyak tapi akan menghapus keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai kota ini,” tandasnya. Diakuinya, jenis PMKS memang banyak dan semuanya memang harus diurus. Tapi harus ada focus penanganannya. Jenis PMKS tersebut adalah anak jalanan, gelandangan, pengemis, WTS dan gelandangan psikotik. PMKS inilah yang kemudian menjadi prioritas penanganan. Karena keberadaan mereka ini ternyata telah menjadi outlet suatu wilayah. Keberhasilan atau prestasi yang telah dicapai Jawa Timur seakan menjadi tidak ada artinya bila dijalanan masih ditemui PMKS tersebut. Karena hal itu seakan menjadi indikator keberhasilan pembangunan yang bisa dilihat langsung. Rapat Koordinasi yang dibuka Wakil Gubernur Jawa Timur Drs. Syaifullah Yusuf itu berlangsung selama 3 hari. Pada hari pertama dihadirkan narasumber dari akademisi yaitu Prof. Dr Hotman Siahaan dari Unair dan Prof. Dr. MV. Roesminingsih, M.Pd. dari Unesa. Sedang diantara yang hadir adalah Kepala Dinas/Kantor Sosial Kabupaten/Kota se Jawa Timur, Kepala Bappeda Kabupaten/Kota, Kepala UPT dilingkungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Diantaranya juga ada Perwakilan TAGANA, TKSK, PSM dan Karang Taruna. Diacara pembukaan Rakor juga diserahkan secara simbolik Alokasi Anggaran Program Pembangunan Kesos kepada Kabupaten Banyuwangi, Jombang, Magetan dan Sumenep. Anggaran tersebut dari APBN, APBD Provinsi Jatim dan transfer langsung dari Kemensos RI. Dengan adanya alokasi dana tersebut diharapkan kabupaten/ kota juga berkomitmen menyediakan sharing alokasi anggaran dari APBD nya untuk pembangunan Kesos diwilayahnya. Sebagaimana tercantum dalam nota kesepahaman yang telah ditandangani bersama diacara Rakor tersebut.. (gt) Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 25
warta dinsos
Membangun jaringan dan sosialisasi Resources Center
Resources Center Deteksi Dini Tuna Rungu
Tuna rungu memang tidak kentara. Itulah sebabnya sulit tedeteksi sejak dini. Akibatnya sosialisasi dan perkembangan kongnitif terganggu. Mencegah hal itu, kini RSCRW Pasuruan telah memiliki Resources Center. Pendengaran memegang peranan sangat penting bagi anak dalam belajar bicara dan bahasa serta sosialisasi dan perkembangan kognitif. Anak belajar berbicara berdasarkan pada apa yang didengar. Gangguan pada pendengaran yang dialami sejak anak atau sejak lahir akan mengakibatkan keterlambatan berbicara dan berbahasa. Perkembangan kongnitifnyapun tidak selaras dengan pertambahan usianya. “Kita sering mendapatkan klien yang pemahamannya setingkat dengan anak TK. Itu akibat dari tidak terdeteksinya kelainan pendengaran mereka sejak dini. Kalau sejak
26 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
lahir sudah kehilangan pendengaran, proses belajarnyapun terganggu. Padahal dari mendengar itu, sibayi ini akan belajar berbicara. Dari berbicara dia akan belajar menyampaikan apa yang ada didirinya kemudian belajar bersikap dan berperilaku. Makanya disini, usia sudah diatas belasan tapi pemahamannya setingkat TK,” ungkap Drs Agus Sulistyanto, Kepala UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Rungu Wicara – Pasuruan. Diungkap lebih lanjut, sikap dan perilaku yang tidak setiingkat dengan usianya itu terjadi karena mereka tidak mendapat penanganan sejak dini. Karena mereka berasal dari keluarga
miskin yang tidak punya cukup pengetahuan dalam memperlakukan anak yang tuna rungu. Disamping itu kelainan pendengaran tersebut juga tidak terdeteksi sejak dini. Sehingga si bayi berkembang dalam kesunyian. “Tentu saja hal tersebut bisa dihindari bila ada upaya deteksi dini pada setiap bayi yang lahir atau anak,” tukas Agus. Sampai saat ini memang belum ada data terkait dengan kelainan pada alat pendengaran sejak bayi. Karena memang belum ada program deteksi dini pendengaran. Tapi dari hasil survey kesehatan indra pendengaran di 7 propinsi tahun 1994-1996 menunjukan adanya prevalensi gangguan pendengaran sebesar 16,8% dan ketulian sebesar 0,4%. Sementara data WHO tahun 2005 menyebutkan prevalensi gangguan pendengaran pada bayi sebesar 0,1 %-0,2%. Artinya setiap 1000 kelahiran hidup, terdapat 1 -2 bayi yang menderita tuli. Angka tersebut dapat meningkat 10 hingga 50 kali lipat bila dilakukan survey pada kelompok dengan resiko tinggi. Lalu bagaimana di Jawa Timur ? Data 2010 di Jawa Timur, jumlah kelahiran hidup 498.440 bayi per tahun. Dengan jumlah tersebut maka bisa diperkirakan sekitar 498 sampai 996 per tahun yang lahir dalam keadaan tuli. Ketika kondisi mereka tidak terdeteksi dan tidak mendapat penanganan dini maka diantaranya akan muncul gangguan bebicara, berbahasa, kognitif ( yang berpengaruh pada akademik di sekolah ),hubungan
Ilustrasi. Alat deteksi dini pendengaran untuk anak.
personal sosial dan emosional. Dari data Dinas Sosial Prov Jawa Timur, penyandang gangguan pendengaran tercatat sebanyak 9.858 anak dan 16.850 orang dewasa. Insidensi cacat rungu wicara ini meningkat dari tahun ke tahun sebesar 18,35%. Terk ait dengan deteksi dini pada alat pendengaran ini, UPT RSCRW Pasuruan kini punya Resources Center (RC) yang telah di launching pada Nopember tahun lalu. Dalam acara tersebut, UPT RSCW mendapat bantuan berupa alat periksa telinga dan pendengaran yang merupakan hasil kerjasama antara Pemprov Jatim dan Pemerintah Australia Barat. Alat tersebut digunakan untuk pemeriksaan anak usia 0 sampai 6 tahun. Dari pemeriksaan itulah nantinya akan dirumuskan tindakan selanjutnya sehingga bisa meminimalisir dampak yang muncul dari gangguan pendengaran tersebut. Terkait dengan itu, UPT RSCRW juga telah mengirim karyawannya untuk mendapatkan pelatihan audiologi dan speech therapy. Dalam melakukan deteksi dini dan tindakan dini, tentu saja UPT RSCW tidak bisa bekerja sendiri. Untuk itu keberadaan Resources Center UPT RSCRW ini harus diketahui masyarakat luas. Untuk itu, pada Mei lalu telah diselenggarakan Pertemuan Jejaring Kerja dalam rangka sosialisasi dan promosi. Dalam kegiatan tersebut melibatkan semua Puskesmas se Kab dan kota Pasuruan. Karena merekalah yang diharapkan menjadi ujung tombak yang berhadapan langsung dengan masyarkat. Disamping itu dalam acara yang diselenggarakan di UPT RSCW itu juga diundang Dinas Kesehatan KabKota Pasuruan. Dengan institusi tersebut diharapkan dapat dirumuskan apa yang harus dikerjakan masingmasing isntitusi terkait dengan keberadaan Resources Center. “Dinas Kesehatan itu punya jaringan kebawah hingga masyarakat yang terkait dengan kelahiran dan Balita. Diantaranya Posyandu Balita yang nantinya akan mengakses Resources Center UPT RSCW. Begitu pula dengan Dinas Pendidikan yang membawahi PAUD dan TK. Sementara UPT RSCW akan bergerak dalam pemeriksaan dan teraphy,” tandas Agus, Kepala UPT RSCW. Untuk mengakses Resources Center UPT RSCW bisa melalui rujukan dari TKLB/SDLB, PAUD/TK umum, SD umum, RSU, RS Bersalin/Klinik,, Puskesmas dan Posyandu. Atau bisa juga datang langsung ke Resources Center UPT RSCW Jl. Kartini No 34 BangilPasuruan dengan telp (0343)743208, Fax (0343) 746944. Keberadaan Resources Center UPT RSCW sementara ini hanya untuk yang berada di Pasuruan dan sekitarnya. Di Jawa Timur saat ini ada 4 pilot project Resources Center yaitu di Sidoarjo, Gersik, dan Surabaya.(gt) Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 27
warta dinsos
Program Penanganan PMKS, Setting Kapitalis Mungkinkah pendekatan ala kapitalis diterapkan dalam program penanganan PMKS ? inilah wacana yang dilontarkan Bagong Suyanto, dosen Unair dalam sosialisasi perencanaan program Kesejahteraan Sosial 2013 di Hotel Sahid 3 Juni lalu. Pernahkan terjadi PMKS yang dimasukan ke dalam UPT rehabilitasi sosial, justru senang dan bangga. Apalagi PMKS jalanan yang masuk UPT setelah terkena razia. Justru yang sering terjadi mereka akan bersikap resistant dan memusuhi petugas UPT rehabilitasi. Padahal sudah jelas, mereka dimasukan ke UPT itu untuk dibantu agar tidak menjadi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Terkait dengan hal itu, Bagong Suyanto, Dosen Fisip Unair ini mencoba menawarkan sebuah konsep program penanganan PMKS dengan pendekatan berbeda. “Pernah melihat
28 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
orang yang diporoti uangnya, tapi malah ketawaketawa bangga. Ini riil dan terjadi pada masyarakat. Lihat orang yang keluar dari tempat perbelanjaan sambil menenteng belanjaan yang banyak. Mereka nampak bangga dan ketawa-ketawa. Padahal uangnya habis dipembelanjaan itu,” tukasnya dihadapan peserta sosialisasi perencanaan program pembangunan kesejahteraan sosial. Itulah hebatnya kapitalis, lanjut Bagong. Mereka memiliki kemampuan untuk melakukan sosial engineering atau rekayasa sosial tapi yang direkayasa itu tidak terasa, bahkan senang. Kemampuan itu terjadi karena kapitalis mampu
memahami gaya hidup atau life styale orang. Karena memang apa yang dilakukan manusia itu selalu berkaitan dengan life style. Dicontohkannya, orang mengenakan baju model ini atau model itu berdasarkan pilihan yang disesuaikan dengan waktu dan tempatnya. Pemilihan tersebut bukan didasarkan karena fungsinya melainkan lebih pada pertimbangan reaksi orang terhadapnya. “Apa yang kita kenakan, apa yang kita lakukan, apa yang kita konsumsi, semua memepetimbangkan orang mereaksi saya seperti apa. Itu pendekatan yang berbasis life style dan itulah yang dimanfaatkan kapitalis,” ujar Bagong. Lebih lanjut, Bagong mencontohkan bagaimana perubahan bisa terjadi pada WTS setelah nonton film Pretty Women yang dibintangi Yulia Robert dan Ricard Gere. Didalam film itu dikisahkan bagaimana perjalanan seorang WTS jalanan yang ditaksir seorang konglomerat untuk dijadikan istri simpanan. WTS itupun menolak dan tetap ingin menjalani kehidupannya sebagai WTS jalanan. Ternyata WTS yang habis nonton itu, harga dirinya naik dan ada kebanggaan sebagai WTS. Mereka merasa seolah-olah seperti Yulia Robert dalam film tersebut. Tak mengherankan bila kemudian film ini seakan menjadi tontonan wajib bagi WTS seluruh dunia. Inilah ulah kapitalis dalam melakukan rekayasa sosial. “Jadi kalau menangani WTS dengan mendatangkan MUI untuk memperbaiki moralnya, saya yakin mereka akan malas. Karena mereka akan diceramahi tentang dosa, tentang neraka langsung atau tidak langsung. Tapi kalau kapitalis tidak. Karena ia mampu merekayasa pemikiran orang sehingga ia nurut pada kapitalis sementara orang tersebut bisa ketawa-ketawa tanpa merasa direkayasa,” tukas Bagong. Pertanyaanya lanjut Bagong, mungkinkah Dinas Sosial dalam penyusunan program penanganan PMKS itu berbasis life style. Supaya mereka yang akan direhabilitasi, bukannya menjauh tapi malah senang. Tentunya untuk hal itu perlu banyak belajar pada kapitalis. Karena mereka yang memegang faham kapitalis itu mampu merekayasa perilaku orang dengan menawarkan essartz. Essartz adalah nilai pakai kedua dari sebuah produk yang lebih mampu membuat orang membeli produk itu daripada fungsi pertama. Jadi lanjutnya, kenapa seorang ibu rela mengeluarkan uang Rp 50 juta untuk sebuah tas yang bermerk. Tentu hal itu bukan karena fungsi dari tas itu sendiri, tapi karena essartz. Berangkat dari situ maka pertanyaanya, bisakah membuat program penanganan PMKS itu dengan menawarkan essartz. Sehingga mereka yang ditangani itu malah merasa bangga dan mengikuti program yang ditawarkan. Sementara yang dilakukan selama ini seperti dalam penanganan anak jalanan, mereka dirazia dan dinaikan truk Satpol PP. Tentu saja penanganan dengan model
tersebut justru menunjukan bentuk penghukuman. “Seringkali dalam menangani PMKS itu, kita tidak memberi kesempatan pada mereka untuk beraktualisasi. Tapi sekedar menjadikan mereka bilangan-bilangan yang tidak penting. Itu adalah program mensimplifikasi masalah tanpa mau memahami kenapa mereka,” ujarnya. Dalam hal ini Bagong membuat perbandingan dengan apa yang telah dilakukan Didit HP dalam menangani anak jalanan. Dalam menangani anak jalanan, Didit HP selalu menyodorkan dua pilihan. Dikatakannya kepada si anak, Kalau kamu ngamen, seenak apapun suaramu, orang hanya membuka kaca mobil dan memberikan seratus atau dua ratus kemudian selesai. Bahkan melihat mukamu saja tidak. Tapi kalau kamu menyanyi yang benar, bermain music dengan benar dan pentas dihadapan orang banyak. Tentu orang tidak hanya membayar kamu lebih mahal tapi juga memberi apresiasi tepuk tangan. Dengan demikian pertanyaanya sudahkah program penanganan PMKS itu memberikan ruang pada mereka untuk beraktualisasi. “Saya itu membayangkan orang –orang yang masuk ke panti rehabilitasi itu seperti orang –orang yang rela mengeluarkan uang lebih, hanya untuk minum kopi di Starbuck. Hal itu tentu mungkin saja, kalau kita mampu mengemasnya. Suatu kemasan yang mampu merekonstruksi pikiran sehingga orang rela melakukan apa yang kita mau. Tapi yang kita lakukan selama ini hanya copy paste dari apa yang sudah pernah kita lakukan ditahun-tahun sebelumnya. Padahal kalau mau laku kita harus berani melawan arus. Berani suatu yang beda. Artinya buatlah program yang benar-benar berbeda dengan apa yang sudah secara rutin dilakukan selama ini,” tukasnya. Jadi lanjutnya mungkinkah melahirkan programprogram yang melawan mainstream. Program yang menarik dan diluar pemikiran orang pada umumnya. “Cuma saya sekarang membayangkan, teman –teman di Dinsos Jatim ini sudah kreatif dalam menyusun program tapi kemudian tidak didukung Bapeda, rasanya juga sia-sia. Tapi biarlah dosanya yang menanggung teman-teman di Bapeda,” tukas Bagong yang disambut tawa para peserta. Disampaikan lebih lanjut program yang dibuat bukan program dengan pendekatan menghakimi tapi program dengan pendekatan yang lebih berempati. Program yang dibuat dengan melihat setting kapitalis, setting masyarakat Posmo yang membuat orang selalu lebih bergairah menyikapi hidup. Hal itu dipakai sebagai acuan untuk merumuskan programprogram Dinsos yang berbau Posmo. Siapa tahu kalau diuji coba akan memberikan hasil. (gt) Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 29
warta dinsos
Gemuruh Tagana Jatim di Islamic Centre Tidak diragukan lagi, setiap ada bencana, Tagana selalu datang terdahulu dilokasi bencana. Kini Tagana Jatim telah berusia sembilan tahun. Untuk memperingatinya diadakanlah apel siaga di Islamic Centre pada 5 Juni lalu. Pagi itu Islamic Centre begitu gegap gempita oleh suara para Taruna Siaga Bencana (Tagana). Para relawan siaga bencana yang berasal dari 38 kabupaten-kota di Jawa Timur itu berkumpul untuk melakukan apel siaga dalam rangka peringatan HUT IX. Setidaknya sekitar 1500 Tagana berkumpul dalam ruangan Islamic Centre saat itu. Sebagian lagi berada diluar untuk menyambut kedatangan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo. Disamping Tagana, di dalam gedung Islamic Centre itu juga ada 144 perwakilan pendamping dan operator PKH dari 24 kabupaten - kota di Jatim. Mereka berkumpul untuk mengikuti rakor pemantapan pendamping dan operator PKH tahun 2013. Saat itu, para relawan program
30 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
pengentasan kemiskinan itu bergabung dengan Tagana untuk ikut apel bersama. “Acara ini bertujuan untuk meningkatkan konsolidasi para anggota Tagana diseluruh Jatim yang berjumlah 1719 personil. Begitu pula dengan pendamping dan operator PKH di Jawa Timur yang saat ini berjumlah 2.077 pendamping dan 187 operator. Pada tahun 2013 ini PKH mendapat tambahan 13 kabupaten. Sehingga di Jawa Timur tinggal kota Kediri yang belum terjangkau PKH,” papar Sujono, Kepala Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur. Sementara Emmy Widayanti, Direktur Jamsos Kemensos dalam sambutannya berharap agar acara tersebut bisa diselenggarakan setiap
tahun. Dengan adanya acara tersebut, disamping untuk memperingati HUT Tagana, juga untuk membangun komunikasi dan komitmen terhadap tugas –tugas kemanusiaan. “Banyak yang menanyak an bagaimana mengendalikan Tagana sehingga bisa datang dilokasi terlebih dahulu disetiap bencana. Kami katakan pengendalian dilakukan dari jarak jauh. Tagana itu ada dimana-mana dan mereka akan siap dimana-mana ketika terjadi bencana. Jadi Tagana ini kantornya ada ditempat tinggal masing-masing dan Pusdalopnya ada di masing-masing Dinas Sosial,” ujar Emmy. Pada kesempatan tersebut Emmy juga memaparkan bagaimana kelahiran Tagana Indonesia. Dipaparkanya Tagana terlahir sebagai jawaban atas kondisi kerawanan bencana di Indonesia dan sebagai manisvestasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Pada 24 Maret 2004 di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Lembang – Bandung, ada sekitar 100 relawan yang dikukuhkan sebagai Tagana. Perjalanan terus berlalu dengan berbagai macam medan tugas yang telah dihadapi. Dari hasil revitalisasi pada tahun 2012, diketahui jumlah Tagana aktif sebanyak 29.071 personil di seluruh Indonesia. Kini Tagana sudah mempunyai pedoman untuk aplikasi tugasnya yaitu Peraturan Mentri Sosial No 28 tahun 2012 tentang pedoman umum Tagana. Dengan demikian tidak ada lagi AD/ ART sendiri karena semua sudah diatur dalam Permensos tersebut. “Jumlah Tagana saat ini memang sudah cukup besar namun belum memadai bila dibanding dengan daerah rawan bencana yang ada di Indonesia. Kedepan diharapkan apa yang dicapai Tagana saat ini tidak menjadi antiklimaks. Tapi Tagana menjadi lebih visioner yang mempunyai kemampuan dan skill yang handal serta professional dalam penanggulangan bencana utamnya dalam perlindungan sosial. Saya kira tidak cukup hanya dengan show of force agar masyarakat tertarik tapi dibutuhkan kiprah nyata,” ujar Emmy. Sementara Gubernur Jawa Timur, Soekarwo dalam sambutannya menyampaikan rasa bangganya kepada Tagana. “Kepada tagana saya bangga kepada kalian, banyak warga yang berada ditempat bencana menunggu kalian. Ini kerja berkaitan dengan hati dengan imbalan surga. Sampean masuk surga karena menolong mereka dengan hati. Saya percaya Tagana akan menjadi lebih baik dari kemarin. Jawa Timur bangga pada kalian, Jawa Timur punya harapan besar pada kalian,“ ujar Pak De Karwo, sapaan akrab Gubernur Jawa Timur. Kepada Tagana Pak De Karwo juga berpesan agar menjaga kedisiplinan. Tanpa kedisiplinan, keberadaan Tagana di lokasi bencana justru bisa menjadi masalah dan beban. Pesan yang sama juga disampaikan kepada pendamping dan operator PKH. “Saya tidak yakin mereka akan mampu menurunkan angka kemiskinan
bila mereka tidak disiplin. Pendampingan harus terus menerus dilakukan agar mereka bisa keluar dari jurang kemiskinan dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Perasaan dan jiwanya yang harus dikayakan dulu, bukan ekonominya. Maka pendamping gunanya membesarkan hati warga yang didampinginya. Semua itu tidak akan mungkin terjadi tanpa ada kedisiplinan,” ujarnya. Dalam acara yang digelar di gedung Islamic Centre itu juga dilakukan penyerahan penghargaan kepada kabupaten –kota terkait PKH. Dalam hal ini Kabupaten Pasuruan menerima penghargaan kategori kerjasama pendamping dan operator terbaik tingkat nasional. Kemudian Kab Sampang menerima penghargaan untuk ketegori kerjasama pendamping dan operator terbaik tingkat Jawa Timur. Sedang Kabupaten Gersik untuk kategori perhatian pemerintah daerah kepada pendamping dan operator terbaik di Jawa Timur. Kabupaten Probolinggo untuk kategori prosentase dana sharing APBD tertinggi tingkat Jawa Timur. Sementara diluar gedung dilaksanakan pameran produk binaan Dinas Sosial Jatim dan lomba photo dengan tema kebersamaan dari Tagana. Sedang juaranya untuk terbaik I diraih Tagana Kabupaten Sampang. Kemudian terbaik II diraih Kab Malang dan terbaik III dari Kab Ngawi. Bersamaan dengan penyerahan penghargaan tersebut, Kementrian Sosial menyerahkan seragam PDH dan PDL kepada 1719 Tagana yang dilakukan secara simbolis. Disamping itu juga ada tambahan tali asih untuk Tagana dari dari Gubernur Jawa Timur. Sedang dari Bank Jatim menyerahkan satu unit ambulan untuk Tagana. (gt)
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 31
J a t i m
Musyawarah Mufakat Hasilkan Suara Bijaksana Musyawarah mufakat lebih penting dibandingkan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak. Demikian yang disampaikan Soekarwo, Gubernur Jatim dalam Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) X dan Hari Kesatuan Gerak (HKG)PKK di Blitar, Mei lalu.
Dengan semangat gotong royong , pekerjaan berat akan menjadi lebih ringan. Dengan musyawarah mufakat akan menghasilkan keputusan yang lebih bijaksana. Sayangnya nilai-nilai luhur ini cenderung meluntur bukan saja pada masyarakat perkotaan tapi juga di pedesaan. Maka cukup beralasan bila Gubernur Jatim, Soekarwo mengatakan peringatan BBGRM menjadi momen penting yang mampu memberikan dampak positif dalam kehidupan masyarakat. Gubernur Jatim, Soekarwo menyatakan, gotong royong digunakan masyarakat Indonesia sejak dahulu dalam konsep pedesaan. Dicontohkannya, saat Bulan Sura, terdapat kegiatan“udar gelung”di pedesaan. Dalam kegiatan ini masyarakat dari berbagai kalangan berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang penting bagi kemajuan desa tersebut seperti masalah sosial, agama, pengobatan malaria, dan sebagainya. “Masyarakat bergotong royong untuk
32 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
membahas permasalahan di desa secara musyawarah mufakat. Gotong royong akan hidup dengan dilakukannya dialog, gotong royong tidak akan hidup dengan kekuasaan. Sehingga penting untuk dilakukan musyawarah mufakat,” ujar Pakde Karwo sapaan akrab Gubernur Jatim dalam acara peringatan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) X dan Hari Kesatuan Gerak (HKG) PKK di Lapangan Kelurahan Kanigoro, Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar, 15 Mei lalu. Disampaikan juga, musyawarah mufakat merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia dan menjadi sari pati dari kegiatan gotong royong masyarakat. Ini disebabkan karena musyawarah mufakat melibatkan berbagai pihak. Selain itu, musyawarah mufakat dan gotong royong menjadi kearifan lokal (local wisdom). Begitu pentingnya, musyawarah mufakat ini sehingga lebih penting dibandingkan pengambilan keputusan dengan suara
terbanyak. “Jika terdapat permasalahan dibicarakan dengan musyawarah mufakat, maka yang dihasilkan merupakan suara yang bijaksana dihasilkan dari berbagai pihak,” tandasnya. Terkait dengan hal tersebut Gubernur Jatim juga menyinggung masalah konflik wilayah Gunung Kelud yang melibatkan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar. Dikatakannya, penyelesaian masalah Gunung Kelud dapat dibicarakan secara musyawarah mufakat melalui kepala adat masing-masing wilayah. Ini disebabkan karena yang memahami secara benar mengenai wilayah di daerah Gunung Kelud adalah masing-masing kepala adat. “Musyawarah mufakat menjadi hal yang penting bagi penyelesaian masalah wilayah Gunung Kelud,” tandasnya. Pada kesempatan tersebut, Gubernur Jatim juga mengapresiasi gagasan mengenai Ikrar Semangat Gotong Royong (Segoro) yang disampaikan perwakilan dari berbagai elemen masyarakat di Kabupaten Blitar. Dikatakannya, hal tersebut akan dapat meningkatkan semangat bergotong royong bagi seluruh masyarakat di Jatim. Adapun poin-poin penting dalam Ikrar Segoro antara lain mempertahankan dan menunjung tinggi budaya gotong royong yang merupakan nilai luhur bangsa dan harus dijadikan ruh dalam segala aspek masyarakat. Semangat gotong royong harus tetap tumbuh dan diajarkan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Sehingga akan terwujud masyarakat yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan. Semangat gotong royong harus menjadi benteng Pancasila dan UUD 1945 demi kokohnya NKRI. Memang ditengah kecenderungan mulai lunturnya budaya gotong royong, harus ada upaya bersama untuk menjaga dan melestarikannya. Terkait dengan hal tersebut, dalam rangkaian kegiatan peringatan (BBGRM) X dan Hari Kesatuan Gerak (HKG) PKK juga dilaksanakan penilaian terhadap partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Penilaian tersebut khususnya pada pemberdayaan lembaga kemasyarakatan dan peran kabupaten/kota untuk mengimplementasikan nilai-nilai gotong royong di setiap desa/kelurahan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Berbagai upaya yang dilakukan untuk melestarikan nilai-nilai gotong royong tersebut memang tidaklah sia-sia. Setidaknya pada tahun 2012, pemenang gotong royong terbaik tingkat I Provinsi Jatim mampu meraih prestasi juara I di tingkat nasional . Predikat itu diraih Desa Duwet Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan. Kemudian tahun 2013, Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo dan Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya menjadi nominator di tingkat nasional. Dalam kesempatan tersebut Pakde Karwo juga mengapresiasi gerakan PKK Jatim. Dikatakannya PKK memiliki andil besar dalam berbagai bidang pembangunan. Diantaranya penanggulangan gizi buruk, penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, perilaku hidup bersih dan sehat, keluarga berencana, lingkungan hidup, pemberdayaan ekonomi perempuan, dan taman posyandu. “Struktur yang paling lengkap di dasa wisma adalah PKK. Sehingga PKK patut
untuk diapresiasi kinerjanya karena bisa melakukan kegiatan yang dapat memajukan keluarga dan masyarakat,” tandasnya. Dijelaskan lebih lanjut, PKK melibatkan perempuan untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera dan mandiri. Dalam hal ini, perempuan menggunakan pendekatan hati untuk melakukan suatu kegiatan yang terdapat dalam 10 program pokok PKK. Hal tersebut penting dilakukan untuk pendekatan kepada masyarakat khususnya di wilayah dasawisma. Dalam puncak peringatan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) X dan Hari Kesatuan Gerak (HKG) PKK di Jatim ini juga diserahkan penghargaan Lomba Gotong Royong Terbaik Provinsi Jatim Tahun 2013. Untuk kategori kelurahan, pemenang I diraih Kelurahan Semolowaru Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya. Sedang pemenang II diraih Kelurahan Ketami Kecamatan Pesantren Kota Kediri, dan pemenang III diraih Keluruhan Menisrejo Kecamatan Taman Kota Madiun. Sementara kategori pedesaan, pemenang I diraih Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Untuk pemenang II diraih Desa Sidorejo Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan, dan pemenang III diraih Desa Sedayu Kecamatan Arjosari Kabupaten Pacitan. Sementara itu, Bude Karwo sapaan akrab Istri Gubernur Jatim, menyerahkan penghargaan dan bantuan kepada Ketua TP PKK Kabupaten Blitar. Selanjutnya Pakde Karwo, Gubernur Jatim dan Bude Karwo selaku Ketua TP PKK Jatim meninjau stand pameran produk unggulan se-Jatim. Dalam pameran yang digelar dilapangan tersebut terdapat sekitar 40 stand SKPD Propinsi Jatim dan 61 stand SKPD kabupaten/kota seJatim. Dalam pameran ini Dinas Sosial Propinsi Jatim mendapat 3 stand yang diisi berbagai produk binaan. Diantaranya ada kerajinan kayu dari KUBE Aneka Pengrajin Desa Beji Batu. Kemudian ada juga produk kerajinan manic-manik yang dibawa oleh Karang Taruna Krida Remaja Desa Plumbon GambangKecamatan Gudo- Kabupaten Jombang. Tak ketinggalan dari Blitar sendiri berupa aneka kerajinan berbahan batok kelapa. (gt) Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 33
J a t i m
Merajut Harapan Bersama LKP PKH Wonosalam
Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Narishakti. yang telah melaksanakan Program Partisipasi Perencanaan Pembangunan bagi Perempuan Miskin.
Bantuan yang bersifat charity cenderung membuat terlena. Untuk itu harus diiringi dengan pemberdayaan. Disinilah pentingnya sebuah pendampingan. Hal itulah yang terjadi dalam pelaksanaan PKH di Wonosalam – Kabupaten Jombang.
34 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Penanganan PMKS memang tidak cukup hanya dengan memberikan bantuan yang sifatnya charity. Bantuan tersebut harus diiringi dengan upaya pemberdayaan. Namun semua itu juga tidak akan ada hasilnya bila tidak disertai pula dengan pendampingan yang intensif. Sebagaimana disampaikan dalam evaluasi Program Keluarga Harapan (PKH) Jombang yang diselenggarakan pada 10 April lalu. Dalam acara yang diselenggarakan di Pendopo Kabupaten Jombang tersebut, Drs Suyanto, M.MA, Bupati Jombang menyampaikan pentingnya peningkatan penghasilan keluarga peserta PKH. Menurutnya peningkatan penghasilan keluarga merupakan salah satu kanal terciptanya kesejahteraan sosial. Untuk itu segala upaya yang termasuk dalam ranah perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan sosial dan pemberdayaan harus memperhatikan hal tersebut. Hal senada juga disampaikan Drs M. Saleh, Kepala Dinsosnakertrans Kabupaten Jombang. Dikatakannya, komitmen mempertahankan sumber penghasilan RTSM harus dibangun, mengingat PKH masuk dalam cluster perlindungan sosial yang lebih bersifat charity. Hal tersebut mempunyai kecenderungan penerima manfaat menjadi terlena. Apabila tanpa disertai penguatan disektor ekonomi, dikhawatirkan akan membentuk mental miskin yang hanya berharap pada bantuan belaka. Apa yang disampaikan pejabat Jombang tersebut nampaknya telah mendapat perhatian sejak awal pelaksanaan PKH di Wonosalam
Jombang. Seperti yang telah dilakukan di Desa Wonosalam, Jarak, Wonomerto dan Desa Galengdowo. Sejak awal PKH dilaksanakan, UPPKH Kecamatan Wonosalam bekerjasama dengan pemerintah desa untuk memberikan kesadaran pada peserta PKH. Kepada mereka selalu disampaikan bahwa PKH sifatnya hanya bantuan untuk menopang kesejahteraan keluarga. Sedang upaya utama dalam mewujudkan kesejahteraan itu tetap pada peserta PKH sendiri. Artinya jangan sampai dengan adanya PKH tersebut justru memunculkan ketergantungan pada bantuan. Nampaknya apa yang selalu disampaikan oleh pendamping PKH tersebut, dilaksanakan. Diantaranya dengan membentuk Unit Pengelolaan Keuangan (UPK) PKH. UPK tersebut dibentuk dengan modal yang berasal dari jimpitan. Kemudian disalurkan kepada peserta PKH untuk pengembangan usaha. Setelah berjalan 2 tahun modal itupun terus berkembang. Dalam satu kelompok bisa mencapai Rp 3 juta. Tapi jangan ditanya bagaimana pengelolaan UPK tersebut, karena sudah jelas sangat sederhana. Karena memang, para peserta PKH ini rata-rata tingkat pendidikannya hanya SD. Namun kondisi itu tentu saja tidak stagnan. Karena mereka punya keinginan untuk menjadi lebih maju sangatlah kuat. Hal itu pula yang kemudian bisa membuka akses pada sebuah lembaga yang focus dalam program penguatan jaringan ekonomi perempuan yang didanai oleh Ford Foundation. Awalnya melalui Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Narishakti yang tengah menjalankan Program Partisipasi Perencanaan Pembangunan Bagi Perempuan Miskin, UPK PKH kecamatan Wonosalam dikenalkan pada Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kesil (ASPPUK) Jatim. Lembaga inilah yang kemudian mendampingi pengelolaan pengembangan UPK. UPK PKH yang dirintis sejak 2007 itupun berubah pola. Pengelolaan yang tadinya secara sederhana disetiap kelompok akhirnya diintegrasikan dalam sebuah Lembaga Kuangan Perempuan (LKP) dengan nama LKP Perempuan Mandiri. LKP. Kelompoknya saat itu ada 8 yang tersebar di 5 desa dengan modal keseluruhannya sebesar Rp 11 juta. Sedang pengelolaan sebagaimana sebuah koperasi. Bersama ASPPUK tersebut mereka didampingi untuk melakukan pertemuan setiap bulan. Untuk memperkuat LKP
ini, mereka juga mendapat pelatihan menejemen koperasi, pelatihan gender dan pembentukan kader serta pelatihan pengembangan jaringan. Eksistensi LKP dengan menejemen koperasi ini telah dibuktikan dengan keberhasilannya menyelenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) pertama pada 31 Maret 2012. Dalam RAT itulah terungkap bahwa LKP ini telah berhasil mencatat omset sebesar Rp 27 juta. Bahkan jangkauan pelayanannya tidak hanya sebatas peserta PKH. LKP yang dikelola ibu-ibu peserta PKH ini terus berkembang. Terlihat dari hasil RAT 2013, omset mereka telah berkembang menjadi Rp34 juta. Dalam RAT tersebut juga dihadiri Dinas Sosial Jatim. “Pembentukan lembaga keuangan perempuan ini wujud kreatifitas yang bisa menjadi pilot project untuk dikembangkan didaerah lainnya. Dengan adanya LKP, masalah permodalan usaha yang dihadapi ibu-ibu RTSM bisa teratasi. Tujuan utamanya, ketika program PKH ini telah memasuki masa exit maka ibu-ibu justru akan semakin eksis berkembang,”ungkap Drs. A.A. Zaenal Arifin, MSi, yang waktu itu menjabat Kabid Bantuan dan Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dalam kata sambutannya. KUBE di Wonosalam yang telah mendapat dukungan Lembaga Keuangan Perempuan diantaranya KUBE Kopi Bubuk Exselsa, Aneka Kripik, Aneka Mamin dari rempah dan KUBE ternak. Sedang di Jombang terdapat 36 KUBE dengan aneka produknya yang melibatkan 360 keluarga. (Inswiardi/gt)
Salah satu produk KUBE berupa kopi bubuk
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 35
j a t i m
Atasi PMKS Jalanan Dengan Desaku Menanti
Gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Sejak 2011, di Jatim sudah dirumuskan program Desaku Menanti yang akan dilaksanakan sebagai pilot project pada 2014. Pengidap HIV/AIDS dari tahun ke tahun terus bertambah. DiBukan berita baru tentunya, bila ada Gepeng yang sudah terkena razia ternyata dilain waktu bisa ditemui ditempat lain. Juga tidak bisa dipungkiri, bila klien PSBK yang sudah lulus ternyata dilain waktu terkena razia lagi karena ditemui menggelandang. Bahkan pernah juga muncul istilah Gepeng yang hidup dari panti ke panti. Inilah fenomena yang menunjukan betapa peliknya menangani gelandangan dan pengemis (Gepeng). Pemerintah kota Jakarta pernah mencoba bertindak tegas dengan mengeluarkan Perda untuk mengatasi Gepeng. Diantaranya Perda DKI No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007. Perda tersebut melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan. Namun jumlah gelandangan tidak berkurang secara signifikan. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2011, jumlah gelandangan di Indonesia yaitu 16.615 orang. Sedangkan jumlah pengemis mencapai 178.293 orang. Angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg) dimana angka riilnya dimungkinkan akan jauh lebih tinggi. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan
36 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
memang merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus. Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan gelandangan dan pengemis dari kumpulan masyarakat normal. Untuk itu dibutuhkan program dan pendekatan yang lebih humanis dan tepat dalam penanganan gelandangan dan pengemis di perkotaan. Sejak 2011, di Jawa Timur telah dikembangkan model penanganan Gepeng berbasis desa. Program ini merupakan inovasi dari program penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang selama ini dilakukan. Dalam program ini, semua layanan difokuskan di daerah asal para gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Semua kegiatan juga akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah daerah, pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari program ini adalah menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatan kontrol sosial dari masyarakat. “Dalam program Desaku Menanti ini akan disediakan suatu tempat didaerah asal Gepeng. Jadi misalnya Gepeng asal Pasuruan yang terkena razia di Surabaya maka akan dikembalikan disuatu tempat di Pasuruan. Untuk penempatan ini konsepnya sama dengan transmigrasi. Jadi disana mereka diberi pelatihan hingga modal usaha, mereka juga mendapat jaminan hidup dan mereka juga mendapat rumah. Anak-anaknya dikembalikan ke sekolah disekitar pemukimannya.” papar Budi Yuwono Kabid Resos Dinas Sosial Jatim. Disampaikan lebih lanjut indicator keberhasilan program ini diantaranya bila mereka tidak kembali kejalanan dan ketahanan ekonomi keluarganya meningkat sehingga bisa hidup normal didesa tersebut. Indicator lainnya bila Pemerintah daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program Desaku Menanti dengan mengalokasikan dana untuk pengembangan dan keberlanjutan program dimasa mendatang. Begitu pula masyarakat sekitarnya mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan berpartisipasi aktif baik dalam sosialisasi maupun pengawasan. Dipaparkan lebih lanjut, program Desaku Menanti ini diharapkan sudah bisa dilaksanakan pada tahun 2014. Pada tahun ini memasuki tahun kedua dimana dilakukan pemetaan sosial, verifikasi hasil pemetaan, study kelayakan Desaku Menanti, pengumpulan data pendukung hasil study kelayakan, pengolahan dan analisa data, lokakarya dan sosialisasi. Sedang pada tahun ketiga nanti akan dilakukan pembuatan rumah, pendataan calon warga binaan, verifikasi data calon WBS, pengolahan data hasil verifikasi,, penempatan WBS di Shelter Sosial Provinsi, penyaluran WBS ke Lokasi Desaku Menanti. Setelah 3 tahun program berjalan dan dinyatakan berhasil, program ini akan direplikasikan di kota-kota besar seluruh Indonesia secara bertahap. (gt)
T O K O H
Sewaktu masih menjadi istri kontraktor, kehidupannya secara financial boleh dibilang mapan. Tapi ditengah kemapanan hidup itu, ia merasa banyak waktu luang yang terbuang. Disaat seperti itu, latar belakang pendidikan keperawatan seakan mengusik jiwanya. Keinginan untuk mengamalkan ilmunya itupun semakin menguat dan mendorongnya untuk menjadi relawan.“Waktu itu saya sampai ke RSUD Dr Soetomo untuk menawarkan diri sebagai relawan paliatif kanker,” ungkap Eva Yuliawati mengawali ceritanya. Dari relawan paliatif kanker, kemudian ada yang menyarankan untuk menjadi relawan di UVV untuk pemeriksaan HIV. Disaat itulah ia mulai berkenalan dengan aktivis LSM yang aktif dalam pendampingan pasien HIV. Berbagai persoalan yang dihadapi Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA) mulai membawanya semakin jauh terlibat dalam pendampingan. Berbagai ilmu terkait dengan itupun diserabnya sampai bulatlah tekadnya untuk mendirikan lembaga sendiri di Sidoarjo. Ahirnya walau tanpa ada founding, Eva nekat mendirikan Delta Crisis Center (DCC) pada tahun 2007. Lembaga yang focus melakukan pendampingan pada ODHA dan OHIDA (Orang yang Hidup Dengan HIV/AIDS) itu didanai sendiri Bersambung ke halaman 40 Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 37
n ASIONAL
Penutupan Lokalisasi Diawali Dari Jawa Timur
Keberhasilan Jawa Timur menutup beberapa lokalisasi prostitusi telah menginspirasi Kementrian Sosial untuk menjadikannya program nasional. Kementerian Sosial akan menutup sejumlah lokalisasi prostitusi, dimulai dari Jawa Timur. Penutupan ini diawali dengan mengalihkan profesi pekerja seks menjadi wirausahawan atau pedagang. Data kesehatan hingga akhir 2012 mencatat sekitar 6,7 juta pria Indonesia menjadi pelanggan wanita tuna susila (WTS). Di Indonesia ada sekitar 230.000 WTS yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama daerah yang banyak memiliki pelabuhan dan wilayah perbatasan. Mereka inipun menjadi kelompok paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS. “Penyebaran HIV/AIDS tertinggi di Indonesia dari laki-laki
38 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
yang tidak setia dan menjadi pelanggan dari WTS. Sehingga mengakibatkan sekitar 4,9 juta wanita yang menikah dengan mereka sangat berisiko tertular HIV/AIDS. Tak mengherankan bila kasus ibu hamil yang tertular HIV/AIDS dari suaminya, cenderung terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Anak yang dilahirkan dari orang tua yang mengidap HIV/AIDS juga tertular penyakit mematikan tersebut,” ungkap Menteri
Kesehatan dr Nafsiah Mboi SpA MPH di Batam, April lalu. Memang harus ada tindakan nyata untuk mencegah masalah yang cukup mengerikan tersebut. Tidak cukup dikabarkan, tidak cukup diwacanakan bahkan diperdebatkan. Karena korban dari pihak yang tak bersalah seperti ibu rumah tangga dan anaknya akan terus berjatuhan. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah penutupan lokalisasi prostitusi seperti dilakukan di Jawa Timur. Memang penutupan lokalisasi prostitusi bukan suatu yang mudah untuk dilakukan. Pro dan kontra sudah pasti muncul mengiringinya. Bahkan ada yang mengecam, bahwa penutupan lokalisasi prostitusi justru akan menjadikan penyebaran HIV/ AIDS sulit dikontrol. Tapi apapun alasannya yang jelas Propinsi Jawa Timur telah berhasil menutup sejumlah lokalisasi prostitusi. “Di Jawa Timur terdapat 47 lokalisasi prostitusi besar dan 20 di antaranya sudah ditutup. Tempat lokalisasi besar, seperti Doli di Surabaya, ditargetkan akan ditutup setidaknya pada akhir tahun atau awal tahun 2014. Penutupan lokalisasi dengan jalan persuasif itu diharapkan akan berlanjut ke provinsi lain,” tukas Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri saat berada di Banyuwangi – Jawa Timur pada Mei lalu. Keberadaan Mentri Sosial, Salim Segaf Al Jufri di Banyuwangi tersebut juga untuk menghadiri acara penutupan lokalisasi prostitusi. Menurut Salim, rencana penutupan lokalisasi sudah dibahas sejak awal 2012 dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, pemerhati perempuan, dan anak serta lembaga swadaya masyarakat. Kesepakatan yang diperoleh, pengentasan akan dilakukan dengan cara persuasif. Masing-masing elemen ikut bertanggung jawab mengangkat nasib para WTS nantinya. Pada kesempatan tersebut Menteri Sosial, mengajak semua pihak membantu pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan, dan ikut peduli mengentas dan memberikan ketrampilan kepada mantan wanita tuna susila, agar bisa mandiri dan bisa kembali ke masyarakat, yang berarti ikut membantu mencegah penularan bahaya HIV/AIDS. Terkait itu, Kementerian Sosial memberikan bantuan sebesar Rp2 miliar untuk 257 orang eks WTS di Banyuwangi, Jatim yang lokalisasinya di tutup. Kementerian Sosial akan menutup sejumlah lokalisasi prostitusi, dimulai dari Jawa Timur. Penutupan ini diawali dengan mengalihkan pekerjaan sebagai WTS menjadi wirausahawan atau pedagang. Seperti di Banyuwangi, mereka akan mendapatkan modal kerja per orang Rp 5 juta. Kemudian dibekali keterampilan yang disesuaikan dengan bakat dan minat senilai Rp 1 juta per orang serta diberikan uang jaminan hidup sebesar Rp 1,8 juta per orang. Mereka juga akan mendapatkan pendampingan agar tidak kembali lagi menekuni pekerjaan lama sebagai WTS.”Saat lokalisasi bubar, mereka tidak bekerja di jalan-jalan, tapi pulang kampung dan berwirausaha,” kata Salim. Dalam kesempatan yang sama, Bupati Banyuwangi, Azwar Anas, menyebut ada sebanyak 13 lokalisasi di Banyuwangi, dan saat ini dilakukan penutupan enam lokalisasi. Di antaranya, lokalisasi Padang Pasir dan Blibis di wilayah Rogojampi;
“...Anak yang dilahirkan dari orang tua yang mengidap HIV/AIDS juga tertular penyakit mematikan tersebut...” Ringin Telu di Bangorejo; Kelopoan di wilayah Sempu; Pulo Merah di Pesanggrahan dan lokalisasi Pakem di Kecamatan Banyuwangi. “Seperti program yang dicanangkan pemerintah provinsi, akhir tahun ini kita harapkan semua bisa ditutup,” ujar Azwar Anas. Memang penanganan masalah tuna susila tidak bisa hanya dengan menggusur atau menutup lokalisasi semata. Banyak dampak sosial baru yang akan muncul jika kebijakan yang dibuat hanya mengedepankan penutupan lokalisasi saja. Sebelum dilakukan penutupan, sosialisasipun dilakukan. Diantaranya pada 16 April yang menghadirkan Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimka) di Banyuwangi yang di daerahnya terdapat lokalisasi. Selain itu juga dari sekretariat Kesejahteraan Masyarakat, LKS yang menangani tuna susila, TKSK Kecamatan, dan dinas terkait seperti Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Badan Pemberdayaan Masyarakat, dan Satpol PP. Dalam kesempatan tersebut Dirjen Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Kemensos RI, Dr. Sonny W. Manalu, MM menegaskan komitmen pemerintah pusat dalam menyokong kabupaten/kota yang menunjukkan keseriusannya dalam menangani penutupan lokalisasi dan eks WTS. Menurut Sonny, Mensos menjanjikan, bila ada kabupaten/kota yang bersedia menanggulangi WTS di wilayahnya, Kemensos bersedia menanggung semua biaya pelatihan ketrampilan dan training sang WTS. Mensos juga akan menjamin biaya pemulangan ke daerah asal dan membiayai mereka hingga survive kembali ke masyarakat dengan ketrampilan barunya. Jaminan hidup tersebut akan diberikan selama 3 bulan. Bak gayung bersambut, tandas Sonny, Banyuwangi merespon hal tersebut dengan cepat dan tepat.“Kami salut, dalam waktu satu tahun, Banyuwangi menjadi satu-satunya kabupaten yang berhasil menutup 11 lokasi lokalisasinya,” ungkap Sonny. Karena itu, jelas Sonny, Mensos memilih Banyuwangi sebagai pilot project. Program ini mewakili kabupaten/kota lain se-Indonesia, dengan target, tahun ini semua lokalisasi di Banyuwangi tutup, dan semua penghuninya kembali ke jalan yang benar. “Secara komprehensif, bekas lokalisasi tersebut akan diambil alih menjadi fasilitas publik. Tak hanya berupa rumah ibadah saja, tapi juga bisa diubah menjadi lapangan sepak bola atau volley ball,” ujar Bupati. Menariknya, masyarakat menunjukkan kekompakannya mengambil alih bekas lokalisasi tersebut dengan cara iuran untuk pembebasan lahannya. Melihat hal tersebut Pemkab tidak akan tinggal diam dengan membantu sebagian pendanaannya lewat APBD 2014. (gt)
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 39
T O K O H Sambungan dari halaman 37
dari penyisihan 2,5% pengahasilan keluarga. Sayang hal tersebut tidak bisa berlanjut terus. Karena badai melanda rumah tangganya dan sampai berakhir pada perceraian. Tentu kondisi keuangannyapun ikut goyang apalagi ia harus menanggung beban biaya 2 putra. “Untuk mencukupi kebutuhan hidup dengan 2 anak , saya harus bekerja. Untungnya saat itu ada karyawan mantan suami saya yang sudah sukses membuka usaha sendiri. Disanalah saya ditampung sebagai karyawannya. Kalau dulunya saya sebagai istri bosnya, sekarang malah jadi karyawannya,” ujar Eva mengenang perjalanan hidupnya. Kendati badai tengah menghajar rumah tangganya, ia tetap menjalankan DCC. Memang masalah financial yang dialaminya juga mempengaruhi daya geraknya. Tapi upaya pendampingan tetap dilakukannya ditengah waktu senggangnya. Karena justru dari situlah ia merasa mendapat penguatan diri. “Terus terang akibat dari perceraian itu emosi saya menjadi labil. Bahkan saya sampai mengeluh, kenapa hidup saya seperti ini. Tapi dari melakukan pendampingan itu justru saya bisa bersyukur dan semangat saya bangkit kembali. Mereka yang saya dampingi itu kondisinya lebih parah, bayangkan saja dia tidak hanya dikhianati suaminya tapi juga ditambah dengan ditulari HIV/AIDS. Sementara saya kan Cuma dikhianti suami jadi kondisi harus lebih baik. Itulah yang membuat saya merasa lebih beruntung,” ujar Eva yang kini telah bersuamikan aktivis KPA sebagai pengelola program. Karena suami yang kini juga menggeluti bidang yang sama, Eva merasa mendapat dukungan penuh dari keluarga. Bahkan tidak jarang sang suami ikut dalam melakukan pendampingan. Bukan itu saja, tempat tinggalnyapun dijadikan shelter. Untuk operasional DCC utamanya dalam pendampingan Eva dibantu oleh 7 relawan. Mereka itu ada yang ODHA dan ada juga yang ADHA. “Kalau ODHA melakukan pendampingan pada sesama ODHA itu biasanya lebih mengena. Karena mereka merasa senasib. Begitu pula ADHA. Ada satu diantara relawan itu yang suaminya positif, begitu pula dengan kakak iparnya dan keponakannya. Karena mereka pernah kecanduan narkoba dengan jarum suntik. Itulah motivasinya menjadi relawan DCC. Ia tidak ingin ada keluarga-keluarga lain terkena penyakit mematikan ini. Dan kalaupun ada yang sudah terkena, mereka tetap diperlakukan secara manusiawi,” tukas Eva mengenai relawan yang membantunya di DCC. Tekad kuat Eva mendirikan DCC memang cukup beralasan. Karena dari pengalamannya melakukan pendampingan ODHA, ia tahu bagaimana mereka mendapat perlakuan diskriminatif. Disamping itu, dari data Dinas Kesehatan ia juga tahu bagamiana jumlah ODHA yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. “Saya tidak ingin kelak anak dan cucu saya ada yang terkena HIV/AIDS,” tandas Eva terkait dengan motivasinya begulat dengan kehidupan yang beresiko tinggi itu. Dipaparkannya, ODHA yang tercatat di Dinkes dan KPA
40 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
“...Kalau ODHA melakukan pendampingan pada sesama ODHA itu biasanya lebih mengena. Karena mereka merasa senasib...” untuk wilayah Sidoarjo sekitar 900 lebih. Sementara yang tercatat di Poli Mawar Merah yang menangani HIV di RSUD sekitar 150 orang. Mereka adalah ODHA yang tercatat aktif mengambil obat ARV setiap bulannya. Tentu saja yang tidak mengambil obat yang harus dikonsumsi rutin itu, jumlahnya tidak sedikit. Mereka yang sudah terdata namun tidak aktif inilah yang akan dikunjungi oleh relawan DCC. Sampai kini tercatat sekitar 600 orang yang telah didampingi oleh DCC. Diantara mereka ada yang sehat dan diberdayakan sebagai pendamping atas inisiatif dirinya sendiri. Dibawah naungan DCC, Eva tidak saja melakukan pendampingan ODHA tapi juga ADHA. Untuk melakukan pendampingan itu, ia tidak saja mengunjungi rumah ODHA tapi juga melakukan pendekatan dengan ADHA termasuk pada masyarakat sekitarnya. Sementara untuk pencegahan, ia tak segan-segan mendatangi wilayahwilayah yang memang rawan penyebaran HIV/AIDS. Diantaranya mendatangi para wanita pekerja seks (WPS) yang beroperasi di tanggul Kali Porong. Tentu saja banyak cerita dibalik perjalanannya melakukan pendampingan. Diantaranya yang paling berkesan, ketika ia melakukan pendampingan pada ODHA yang saat meninggalnya ditolak untuk dimakamkan didesanya. Ketika ia terdeteksi sebagai ODHA, ternyata beritanya telah menyebar keseluruh kampong. Hal itulah yang membuatnya tertekan dan droop hingga meninggal dunia. Saat meninggal ternyata tidak ada satupun yang mau merawat jenazahnya bahkan ia ditolak dimakamkan didesanya. Perjuangan yang dilakukan Eva memang tidaklah ringan. Eva harus berhadapan dengan warga dan perangkat desa. Walaupun pada akhirnya apa yang diperjuangkan itupun ternyata gagal. Dipaparkan pula, pendampingan tersulit adalah pada ibu rumah tangga yang dinyatakan positif HIV/AIDS. “Hal itu wajar, karena para ibu inikan sudah jungkir balik mengurus rumah tangga, tapi ternyata suaminya berhianat. Sudah begitu ditambah lagi dengan ditulari HIV/AIDS. Jadi sangatlah wajar bila mereka sangat terpukul. Menghadapi yang demikian, pemulihannya bisa sampai berbulan-bulan agar semangat hidupnya kembali lagi. Kepada mereka ini saya selalu menggunakan pendekatan anak sebagai alasan bertahan hidup,” ujar Eva yang juga menyampaikan bahwa saat ini ada 50 ibu rumah tangga positif HIV/AIDS yang didampingi DCC. Bahkan diantaranya ada yang diusir oleh mertuanya. Sudah sakit karena anaknya, kini ia justru diusir, suatu kenyataan yang ironis. (gt)
Sambungan dari halaman 9 tidak adil. Mereka dianggap sebagai kelompok tidak produktif, lemah dan hanya perlu untuk dikasihani dan disantuni. “Saya itu pernah dihampiri seseorang ketika berjalan sendiri. Nampaknya orang tersebut merasa iba melihat saya, lalu orang itu memberi uang kepada saya. Waktu itu saya katakan kepadanya bahwa saya bukan pengemis. Jadi ndak perlu dikasihani dan disantuni seperti itu. Perlakuan seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian orang dengan mengkondisikan dirinya seperti penyandang disabilitas untuk mendapat belas kasihan,” tukas Adi memberi contoh. Disampaikan lebih lanjut, tentang ketenagakerajaan. Memang dalam UU No 4 tahun 1997 disebutkan, adanya kesempatan dan perlakuan yang sama dalam mempekerjakan penyandang disabilitas oleh perusahaan Negara dan swasta. Sementara dalam rancangan Perda disabilitas dipertegas lagi untuk menempatkan sekurangkurangnya 1 orang disabilitas dalam setiap 100 karyawan. Tapi bisa jadi semua itu akan mentah ketika perusahaan tersebut mengenakan persyaratan sehat jasmani dan rohani. Kasus Wuri pada tahun 2003, ketika ia mendaftar sebagai CPNS adalah contohnya. Wuri sebagai penyandang tuna daksa dinyatakan tidak lulus tes karena dianggap tidak memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani. Ia terganjal oleh PP No. 26 Tahun 1997 tentang Pemeriksaan Kesehatan CPNS dan Pejabat Negara dan Permenkes 143 Tahun 1977 tentang Tata Laksana Pengujian Kesehatan PNS dan Tenaga – tenaga lainnya yang bekerja pada Negara Republik Indonesia. Dengan adanya ketentuan tersebut kesempatan Wuri tertutup sebelum ia bisa menunjukan kualifikasi atau kompetensi dirinya. “Apalagi untuk perusahaan swasta, tentu akan lebih mudah lagi untuk menutup kesempatan bagi penyandang disabilitas. Tentu saja pihak menejemen tidak mau repot karena harus menyediakan fasilitas khusus ataupun pelatihan kerja untuk penyandang disabilitas. Kalaupun ada perusahaan yang mau menerima para penyandang disabilitas biasanya juga karena didasarkan pada rasa belas kasihan,” ungkap Adi Memang dalam UU No 4 tahun 1997 pada pasal 28 disebutkan tentang sanksi pidana kalau melanggar pasal 14. Tapi dalam pasal 14 itu tidak menyebutkan suatu kewajiban melainkan memberi kesempatan dan perlakuan yang sama. Sementara dalam Raperda justru tidak ada pasal yang menyebutkan tentang sanksi terkait dengan ketenagakerjaan tersebut. “Saya khawatir, kalau tidak direviw Raperda ini juga tidak punya kekuatan dan tidak bisa dilaksanakan secara tegas,” tandas Adi. Hal sama juga terjadi dalam masalah aksesibilitas. Akibatnya apa yang sudah ditentukan berlalu begitu saja. Karena tidak melaksanakan juga tidak pernah ada sanksi yang dikenakan. Hingga kini masih banyak sarana public yang tidak menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Gedung-gedung bertingkat tetap sulit diakses
termasuk tempat ibadah. Begitu pula dengan transportasi umum kondisinya juga tidak jauh beda. Kendati demikian, para penyandang disabilitas menaruh harapan besar pada Perda yang kini tinggal menunggu Pergub. Tentu saja yang lebih diharapkan lagi adalah emplementasinya atau ketegasan dalam pelaksanaanya. Untuk itulah Perda tersebut juga harus bisa membuat kondisi dimana semua stakeholder merasa tertuntut dan merasa bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Harapan Ditemui ditempat usahanya Adi juga menyampaikan beberapa harapannya kepada pemerintah, masyarakat dan penyandang disabilitas. Kepada pemerintah diharapkan bisa memberikan program yang sifatnya berkelanjutan untuk mewujudkan penyandang disabilitas yang mandiri. Karena banyak kasus, dimana program pemberdayaan hanya berhenti pada pemberian pelatihan dan stimulant. Setelah kembali kedaerah asal, tidak ada support dari pemerintah setempat. Diharapkan pemerintah kabupaten atau kota bisa memberikan program pendampingan hingga klien bisa mandiri. Kepada dunia usaha utamanya BUMN-BUMD atau perusahaan swasta yang punya CSR jangan hanya untuk program yang sedang popular saja. Tapi program pemberdayaan bagi penyandang disabilitas juga perlu mendapat perhatian. Misalnya bantuan yang diutamakan pada para penyandang disabilitas yang punya usaha. Dan bantuan tersebut jangan sepenuhnya bersifat charity tapi bisa berupa bantuan modal dalam bentuk pinjaman lunak. Sedang kepada masyaraka diharapkan bisa menghilangkan stigma lemah dan patut dikasihani itu. Karena itu akan menumbuhkan mental minta-minta. Tapi jangan diskrimanasi dan berilah kesempatan yang sama pada penyandang disabilitas untuk bisa mengembangkan kemampuannya. Termasuk pada keluarga-keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang menyandang cacat. “ Orang cacat bisa apa, yang normal aja ndak bisa apalagi yang cacat. Sehingga perlakuan diskriminatif yang muncul . Untuk itu tolong stigma semacam ini dihilangkan,” tandasnya. Sementara kepada penyandang disabilitas sendiri juga diharapkan bisa menunjukkan kesungguhan dalam upaya mencapai kemandirian. Jangan hanya bergantung pada bantuan walaupun bantuan itu memang diperlukan. Kalaupun ada bantuan maka pergunakanlah dengan sungguh-sungguh sebagai modal kemandirian. Para penyandang disabilitas harus bisa menunjukan diri bahwa kita memang bisa. Ini harus dibuktikan dengan adanya hasil karya dan kreatifitas. (gt)
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 41
HUMOR
Mimpi Si Udin
GURU : UDIN, kenapa kamu telat sekolah? UDIN : tadi bangun kesiangan pak, GURU : kok bisa kesiangan,? UDIN : iya, soalnya saya mimpinya lama, GURU : wah, wah murid o’on.. apa hubungan nya bangun siang sama mimpi, UDIN : kan mimpinya lama jadi bangun kesiangan, GURU : emang mimpi apa, UDIN : saya mimpi keliling eropa jalan kaki, kan lama banget pak..
Tips cara Menguji MADU asli!! 1. 2. 3.
Masukan madu ke dalam gelas, lalu simpan di Freezer, kalau membeku.. Palsu Teteskan Madu di atas meja, kalau dikerubutin semut.. Palsu.. Ajak madu anda ke rumah... kenalkan pada Istri anda, kalau Gayung, Bakiak, piring, parang dan batu ... melayang ke muka anda, itu. Berarti Madu yg Asli!! (Jangan Dicoba ya!!)
42 | Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013
Namanya Jastin Biber Istirahat sebentar sambil baca humor ini, semoga humor ini nggak perlu difikir secara mendalam dan semoga tidak jadi ajang debat, serta semua bisa ketawa lepas : Dokter : selamat ya pak, putranya lahir dengan normal serta sehat ! Udin : terimakasih ya bu ! Dokter : Ngomong - ngomong, Gimana sudah memiliki nama untuk putranya ? Udin : oh, telah ada bu..... namanya Jastin Biber Dokter : wah.. bapak atau ibunya nih yang nge- fans ? Udin : Tidak kok bu... itu hanya singkatan dari jaja sama titin serta bikinnya di jember Dokter : jiiiiaaaaaaahhhhh...... kirainnnnn...
Penyuluhan Sosial Bangkitkan Partisipasi Masyarakat Munculnya resiko sosial dan permasalahan sosial diantaranya disebabkan oleh saluran informasi yang belum diterima secara utuh oleh masyarakat. Kemudian ditambah lagi dengan melemahnya nilai-nilai kearifan local yang mulai terkikis oleh pengaruh globalisasi. Disinilah perlu adanya penyuluhan sosial untuk membangkitkan kembali partisipasi masyarakat. Demikian yang disampaikan Drs. Sudjono, MM, Kepala Dinas Sosial Provinsi Jatim dalam penyuluhan sosial pengembangan daerah tertinggal Kababupaten Sampang yang diadakan di Surabaya pada 19 Juni lalu. Terkait dengan penyuluhan sosial ini, seksi penyuluhan dan publikasi Dinas Sosial Provinsi Jatim pada tahun ini merencankan penyuluhan sosial di 34 daerah. Dari rencana tersebut yang didanai APBN untuk 14 daerah. Sedang yang didanai APBD untuk 20 daerah. Sampai dengan Juni sudah dilaksanakan penyuluhan sosial di 27 daerah. ial Provinsi Jawa Timur Sudjono, Kepala Dinas Sos mawie, SH,MM, Kepala Dar yah Ina r Nu gi didampin dalam pengarahan UKS gan ban gem Bidang Pen gan Daerah Tertinggal ban gem Pen ial Sos n Penyuluha g. Kab Sampan
Tim penyelenggara dari Seksi Penyuluhan dan Publikasi pose bersama peserta Penyuluhan Sosial Pengembangan Daerah Tertinggal Kab Sampang yang diselenggarakan di Hotel Haritage- Surabaya pada 19 Juni.
Kontak Sosial | Edisi Semester 1 | 2013 | 43