Jurnal Komunikasi Massa Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 182-189
Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008 Widodo Muktiyo Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret
Pendahuluan Sejarah perkembangan surat kabar (koran) di Indonesia semenjak jaman penjajahan hingga era reformasi mengalami situasi pasang surut yang demikian tajam. Orientasi surat kabar berkembang mengikuti arah perkembangan masyarakat dan situasi politik yang sedang terjadi. Dari koran yang digunakan sebagai alat politik perjuangan untuk memompakan heroik kemerdekaan yang penuh retorika menjadi sebuah institusi bisnis yang sarat dengan modal yang besar dan teknologi tinggi yang diorientasikan sebagai mesin ekonomi politik untuk meraih keuntungan maupun kekuasaan. Media menjadi makhluk raksasa yang dikendalikan dengan berbagai kepentingan pemiliknya, seperti untuk tujuan-tujuan akumulasi kapital. Di Indonesia sampai Orde Baru hampir tidak dikenal adanya pers bebas seperti Undang-undang pengekang kebebasan pers pada zaman Hindia Belanda Drukpers Regiement di tahun 1856 dengan pemberlakuan sensor preventif; Pers Ordonantie tahun 1931 dengan model pembredelan. Zaman Jepang adanya Osama Seirei Undang-undang Nomor 16 tentang Pers tahun 1942 dengan sensor preventif. Pada zaman RI : Peraturan Peperti (Penguasa Perang Tertinggi Nomor 10 tahun 1960 yang memberlakukan izin terbit sampai dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers dengan SIT yang kemudian menjelma menjadi SIUPP (Rosihan Anwar, pidato di UIN Syarif Hidayatullah, 2006) ternyata kehidupan koran senantiasa terus berjalan dengan dinamika yang tinggi.
182
Dalam pemerintahan Soekarno yang dikenal dengan zaman liberal (dasawarsa 1950an) kehidupan pers relatif menikmati kebebasan namun pihak penguasa dalam hal ini tentara menggunakan alasan keadaan SOB (Staat Van Oorlog en Beley) keadaan darurat perang melarang terbit koran selama beberapa hari. Oleh Marbangun dari Lembaga Pers dan Pendapat Umum koran dibagi menjadi party bound atau yang terkait dengan partai politik, milik partai dan menjadi corong partai dan party directed yaitu koran yang berorientasi pada ideologi partai tertentu tetapi bukan bagian dari organ partai. Pada masa rezim Orde Baru yang ternyata berlangsung 32 tahun menjadikan kehidupan koran berada dalam situasi yang berubah total atau posisi yang berlawanan yaitu media dijadikan sebagai aparatus penguasa, memperteguh kepentingan dan kehendak penguasa daripada menjadi institusi sosial yang independen. Media bukan sebagai pilar demokrasi tetapi sebagai pilar tegaknya rezim. Perubahan sistem politik di Indonesia yang selalu berjalan secara discontinuity, yang awalnya diharapkan melahirkan sebuah sistem politik yang lebih baik dan demokratis tidak menjadikan kondisi media massa berada dalam situasi yang menguntungkan. Orientasi pemerintah yang bertumpu pada upaya perwujudan stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan pembangunan kerapkali memperalat media sebagai jembatan penghubung maupun corong yang efektif dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu yang mendukung kelanggengan kekuasaannya. Model-model komunikasi pembangunan yang sarat dengan ni-
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008
lai-nilai status quo menjadi menu wajib bagi semua media. Runtuhnya hegemoni media yang terjadi bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru menjadikan realitas media berubah secara mendasar atau mengalami perubahan paradigmatis. Era reformasi telah menciptakan suasana menuju tatanan yang yang diharapkan demokratis di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keruntuhan Orde Baru pimpinan Soeharto tahun 1998 juga menjadi tanda babak baru dalam tatanan sosial, politik dan budaya. Perubahan terjadi ditandai dengan proses desentralisasi pemerintahan atau diberlakukannya model otonomi daerah, peningkatan partisipasi dan pelayanan publik dalam berbagai aspek kehidupan, serta lahirnya kembali kebebasan pers. Kehadiran media cetak berujud koran yang secara tiba-tiba berubah menjadi demikian banyak jumlahnya dan tidak hanya tersentral di Jakarta menjadikan booming baru dalam khasanah khalayak media. Alternatif dan pilihan terhadap beragam koran menjadikan pembaca lebih terpenuhi kebutuhannya. Surat kabar (koran) mulai merebak di berbagai daerah dengan berbagai orientasi dan kepentingannya masingmasing yang demikian beragam, situasi ini terjadi karena pada masa pemerintahan BJ Habibie dengan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah membuka kran perijinan dalam pembuatan koran mulai diperlonggar tanpa ada SIUPP lagi. Para kapitalis-kapitalis media yang baru mulai lahir dan dapat diidentifikasi dalam beberapa bentuk, yang pertama adalah kepemilikan institusi pers yang sifatnya lokal hanya dimiliki oleh warga atau pemodal setempat. Yang kedua adalah kombinasi adanya unsur pemilik lokal dengan para konglomerat nasional, sedangkan yang ketiga adalah murni dimiliki oleh pemilik media, yang punya jaringan berskala nasional yang berkeinginan memperluas jaringan bisnis medianya. Bahkan dalam masa Pilkada bergulir, media cetak lokal menjadi phenomena media lokal tersendiri di mana ia bisa berafiliasi pada kandidat tertentu calon kepala daerah sampai pada media lokal yang hanya hidup di saat pilkada berlangsung dan akan mati pada saat pilkada berakhir, sehingga model koran lokal yang partisan terhadap calon kepala daerah dapat terjadi secara eksplisit ataupun implisit yang kesemuanya demi kepentingan ekonomi dan juga politik lokal.
Surat Kabar Lokal dan Pilgub Jateng 2008 Dalam tulisan ini, penulis bermaksud menyajikan hasil penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah surat kabar lokal di Jawa Tengah (Jateng). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan isi/produk yang dihasilkan oleh media yang bersangkutan selama periode bulan Januari sampai dengan Maret 2008. Harian lokal yang dipilih dalam penelitian ini adalah Harian Kompas (DIY/Jateng), Jawa Pos (Radar Solo), Solopos dan Suara Merdeka. Keempat media tersebut dipilih karena telah eksis dalam kurun waktu yang relatif lama (establish). Dengan menggunakan analisis isi, unit analisis dalam penelitian ini meliputi berita Pilgub dalam surat kabar yang ditunjang dengan foto, berita Pilgub tanpa foto, artikel Pilgub, paparan tentang cagub dan partainya, pemberitaan tentang KPU dan penunjangnya. Berikut ini adalah data hasil temuan penelitian yang diperoleh. Porsi pemberitaan terhadap tema Pilgub Jateng 2008 yang disertai dengan foto sebagai penunjang relatif sangat beragam (lihat Tabel 1). Suara Merdeka Semarang punya kuantitas yang paling tinggi (64) dibandingkan dengan 3 media lainnya. Jangkauan wilayah peredarannya yang paling menyeluruh di Jateng barangkali dapat menjadi alasan kuat tentang ini. Sementara itu Harian Kompas yang wilayah pasarnya juga lebih luas dibandingkan Solopos dan Jawa Pos (Radar Solo) mencoba melakukan penetrasi pasar yang juga relatif lebih kuat (25) dibandingkan dengan harian lokal Solopos. Kombinasi tayangan pemberitaan yang ditopang dengan foto cagubnya tersebut ternyata dapat menguatkan terhadap isi beritanya dan menjadi unsur peneguh dalam visualisasi citra cagub. Secara umum isi berita tentang cagub yang senantiasa diikuti dengan foto cagubnya dapat menguatkan maksud tertentu dalam pemberitaan oleh medianya. Meskipun demikian dibandingkan dengan totalitas pemberitaan yang ada kombinasi berita yang diserta dengan foto jauh lebih kecil. Perbandingan antara berita tanpa foto dengan yang disertai foto demikian kontras (lihat Tabel 2). Artinya penyertaan foto terhadap sebuah berita politik pilgub terasa sekali dalam pertimbangan keterbatasan ruang (Jawa Pos
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
183
Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008
77:8; Solo Pos 125:19; Suara Merdeka 184:64 dan Kompas 44:25). Terlihat di Kompas bahwa penyertaan foto menjadi lebih penting dalam menguatkan pemberitaan pilgub (44:25), sedangkan Solo Pos justru didominasi pemberitaan tulis saja tanpa foto (125:19), juga Jawa Pos yaitu 77:8. Tendensi terhadap penonjolan isi berita yang disertai foto akan lebih kentara kepentingannya sehingga dapat lebih mudah diinterpretasikan tertentu oleh publik. Kepedulian terhadap kajian ilmiah dan ditulis dari pihak luar media tampak nyata dalam kemunculan artikel yang berkaitan dengan event pilgub (lihat Tabel 3). Bangunan wacana ilmiah ini umumnya tidak memunculkan keberpihakan terhadap salah satu calon, andaikanpun terjadi itupun dikupas secara lebih ilmiah. Suara Merdeka yang dikendalikan dari ibukota provinsi tampak punya greget yang lebih tinggi dalam membangun wacana event pilgub secara lebih ilmiah dan ditulis oleh beragam penulis. Sementara itu, Jawa Pos terasa minim dalam pemberian ruang media untuk artikel. Kompas dan Solo Pos mempunyai jumlah yang sama dalam tampilan artikel yaitu 8 kali, meskipun tampak jelas Solo Pos mulai tinggi frekuensinya pada bulan Maret. Dari analisis tokoh yang dipapar oleh keempat media secara bersama (lihat Tabel 4) terlihat bahwa Bibit Rustri punya skor paling tinggi (67) diikuti Agus Kholiq (58), Tamzil Rozaq (49), Sukawi Sudharto (26) dan Bambang Adnan (25). Namun, apabila dilihat per media maka Bibit-Rustri terbanyak di Suara Merdeka (25) dan Solo Pos (24), Agus-Khaliq terbanyak di Suara Merdeka (29) dan Solo Pos (18); Tamzil-Rozak terbanyak di Suara Merdeka (21) dan Solo Pos (14), Sukawi-Sudharto terbanyak di Suara Merdeka (15) dan Solo Pos/Kompas (5), Bambang-Adnan terbanyak di SM (10) dan Solo Pos (10). Di Suara Merdeka urutan berdasarkan banyaknya terpaan adalah Agus-Khaliq, Bibit-Rustri, Tanzil-Razak, Sukawi-Sudahrto, dan Bambang-Adnan. Di Espos urutan terbanyaknya: Bibit-Rustri, Agus-Khaliq, TamzilRazak, Bambang-Adnan, dan Sukawi-Sudharta. Di Kompas urutan terbanyaknya adalah Bibit-Rustri (15), Agus-Khaliq, dan Tanzil-Razak (10), Sukawi-Sudharta (5) dan Bambang-Adnan (4). Dalam 3 bulan terakhir, ketidakpastian Ali Mufiz dalam pencalonan cagub punya porsi
184
pemberitaan yang tinggi di Suara Merdeka (18) dan Kompas (10). Di bulan Maret, Ali Mufiz sudah tidak menarik diberitakan dalam pencalonan hanya di Suara Merdeka (5) itupun lebih sebagai gubernur. Jawa Pos dalam penayangan berita pilgub yang berimplikasi pada sosok cagub sangat minim. Untuk 5 kandidat plus gubernur secara khusus hanya dibahas 9 kali. Pemberitaan dalam cagub Jateng ternyata juga berisi tentang beragam informasi seperti yang berkaitan dengan KPUD, Panwas, Soal KTP dan kartu pemilih, Polling, Sosialisasi, Lelang, Pemantau sampai juga KPK. Secara kuantitatif yang paling sering memuat isu-isu tersebut Suara Merdeka (109), Solo Pos (90), Jawa Pos (77) dan Kompas (35). Porsi pemberitaan yang tinggi pada unsur penunjang menjadikan nilai/bobot netralitas media terhadap keinginan menayangkan sosok tertentu sedikit terkaburkan. Kecenderungan Isi Media Cetak Lokal dalam Pilgub Jateng 2008 Dalam analisis kualitatif Solo Pos dalam pemberitaan Pilgub lebih sering berisi pemberitaan yang terdiri atas beberapa Cagub sehingga lebih sulit dilihat kecenderungan pada Cagub tertentu dan menguatkan pada spirit netralitas. Pemuatan rubrik warga bicara pada bulan Februari di Jawapos memberi keragaman tersendiri karena setiap rubriknya berisi antara 2 sampai dengan 3 pendapat dari masyarakat, meskipun ditulis secara singkat. Kompas sebagai jaringan koran nasional dalam menaruh perhatian terhadap event pilgub secara umum lebih besar dibandingkan koran nasional Jawa Pos. Kecenderungan penggarapan terhadap berita-berita politik lokal (pilgub) sebagai komoditas lebih diperhatikan oleh media lokal Solo Pos dan Suara Merdeka. Secara kuantitatif pemuatan cagub tertentu memberikan gambaran bahwa ada atensi yang lebih kepada cagub tertentu apabila dibandingkan dengan cagub yang lain. Seperti munculnya Bibit Rustri yang relatif baru namun frekuensinya cukup tinggi, baik di Solo Pos (24), Suara Merdeka (15) dan Kompas (15). Bambang Adnan yang lebih dulu muncul justru punya frekuensi paparan relatif kecil yaitu Solo Pos (10), Suara Merdeka (10) dan Kompas (4). Tamzil yang jauh-jauh hari sudah tampil meskipun sendirian punya frekuensi paparan yang relatif tinggi di Suara Merde-
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008
ka (22), Solo Pos (14) dan Kompas (10). Oleh Mosco (1999) secara khusus juga dijelaskan dalam mengamati realitas media sebagai institusi sosial sekaligus institusi bisnis dihadapkan pada 3 konsep dasar yaitu komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Komodifikasi mengacu pada proses transformasi nilai guna, nilai yang didasarkan pada kemampuan dalam memenuhi kebutuhan terhadap suatu nilai tukar yang didasarkan pada kepentingan pasar. Komodifikasi ini menjadi penting dalam komunikasi karena prosesnya akan memberikan sumbangan dalam proses komodifikasi ekonomi secara keseluruhan. Dalam praktik komodifikasi dapat mencakup dalam tiga kategori, yaitu : komodifikasi isi, komodifikasi khalayak dan komodifikasi cybernetic. Komodifikasi isi merupakan proses mengubah pesan dari sekumpulan data ke dalam sistem makna yang kemudian dapat dipasarkan. Berbagai exposure terhadap nilai-nilai lokal Budaya Jawa di dalam koran lokal sebagai manifestasi dan aktualisasi dari nilai-nilai lokal tersebut dapat difahami sebagai sebuah proses komodifikasi yang sangat strategis. Proses olahan dalam ruang redaksi akan berjalan demikian dinamis dalam berbagai pertimbangan antara struktur dan agensi. Representasi isi yang muncul tersebut pada akhirnya menjadi exposure yang telah mengalami proses komodifikasi. Bila selama ini isi media yang dinilai layak jual lebih banyak berkisar pada isu-isu politik maupun yang berbau sex, perang ataupun ke-\kerasan, maka jenis isu yang mengandung nilai-nilai budaya setempat dapat dijadikan sebagai sebuah keragaman isi dalam konteks komoditas yang mudah menyentuh emosi khalayak atau ada unsur-unsur sentimen kedaerahan, kedekatan geografis ataupun kebanggaan lokal yang bisa diolah dalam proses produksi media hingga menghasilkan produk akhir yang bernilai jual bagi medianya. Komodifikasi khalayak memiliki makna bahwa media mampu menghasilkan sebuah proses yang memungkinkan media menjajakan sejumlah khalayak sebagai konsumen. Media hadir dalam kerangka hubungan dengan pihak lain yaitu pembacanya. Realitas isi yang hadir menjadi sebuah komodifikasi yang senantiasa direlasikan dengan kepentingan institusi bisnis lainnya seperti pengiklan, biro iklan atau pihak-
pihak yang ingin menjadikan media sebagai wahana “tampil” yang efektif. Komodifikasi khalayak menjadi bagian integral dari komodifikasi isi dalam menopang survival institusi media. Dalam praktek terhadap nilai-nilai budaya setempat maka relasi itu akan saling menguatkan terhadap isi yang hendak dibangunnya sehingga keterlibatan khalayak menjadi perlu dipertimbangkan secara mutualistik. Komodifikasi khalayak mengaggregasikan berbagai unsur dalam sebuah kepentingan yang lebih utama yaitu keuntungan bagi medianya oleh karena proses tersebut menjadikan media berada dalam tujuan utama dalam hal keuntungan kapitalnya. Dalam komodifikasi cybernetic dibagi me-liputi komodifikasi instrinsik dan ekstrinsik. Komodifikasi instrinsik adalah tinjauan layanan jasa rating khalayak oleh media sehingga yang dipertukarkan bukan pesan atau khalayak akan tetapi nilai rating yang dihasilkan. Berbagai lembaga riset media meneliti, mengolah dan menjual hasil kajian yang menyangkut rating tersebut sebagai sebuah komoditas yang diperlukan media agar senantiasa berada dalam tampilan yang optimal di mata khalayaknya. Dalam media penyiaran seperti TV proses ini banyak ditempuh sehingga kepentingan rating sebagai panglima bagi pengelola media. Namun dalam media cetak rating juga tetap dipertimbangkan sebagai hasil survey seperti SRI atau media scene menjadi acuan penting dalam penentuan ragam isi di masa yang akan datang. Komodifikasi ekstrinsik merupakan proses komodifikasi yang menjangkau seluruh kelembagaan pendidikan, informasi pemerintah, media dan budaya yang diharapkan menjadi pendorong bagi khalayak sehingga tidak semua orang dapat mengakses produk media. Dengan demikian komodifikasi cybernetic menjadikan media sebagai sebuah ajang adu prestasi yang dinilai publik. Media menjadi representasi persepsi publik dimana diversitas isi didasarkan atas adanya selera dan penilaian publik akan senatiasa menjadi parameter keberhasilannya mengelola media. Keberadaan media massa tidak pernah steril dari berbagai kepentingan ideologi, kepentingan pemilik modal, penguasa, kepentingan politik ataupun kepentingan lainnya yang menjadikan masyarakat pada akhirnya sering terjadi ketegangan terbuka yang berupa konflik
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
185
Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008
ataupun ketegangan laten lainnya. Berbagai konflik tersebut berada pada sekian ragam ideologi yang bersaing di tengah-tengah masyarakat. Media akhirnya berperan sebagai penyalur (disseminator) dan “toko“ informasi. Antonio Gramci (1981) mengatakan media adalah the battle ground for competition ideologies. (Sobur, 2001: 30). Kerja jurnalistik dari ketiga media (Solo Pos, Suara Merdeka, dan Kompas) dalam event pilgub Jateng ternyata punya kecenderungan yang hampir sama yaitu ada sikap simpati tertentu yang nilainya relatif kecil dan sulit dideteksi secara kasat mata. Sementara itu Jawa Pos barangkali masih menunggu moment berikutnya. Media massa dalam pandangan McQuail (2000:66) punya peran strategis yaitu: pertama, media massa dilihat sebagai window on event and experience. Dengan media memungkinkan khalayak bisa melihat apa yang sedang terjadi di luar dirinya. Media juga dapat dijadikan sarana belajar terhadap berbagai peristiwa tersebut. Peran strategis bagi media lokal tidak lepas dari mencuatnya isu-isu dan peristiwa-peristiwa lokal yang senantiasa dibumbui oleh kultur setempat. Potret lokalitas menjadi menu penting bagi media agar ia punya nilai lebih dan punya ”greget” yang beda dengan media global. Kedua, media massa dapat dipandang sebagai a mirror of events in society and the world, implying a faithful reflection. Media sebagai cermin beragam kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan seluruh penjuru dunia, yang direfleksikan secara apa adanya. Refleksi terhadap berbagai fakta seringkali tidak dipertimbangkan ekses yang ditimbulkan bilamana ia sekedar memaparkan fakta an sich. Sehingga dalam narasi pemberitaan ataupun gambar/visual kerapkali fakta dipaparkan apa adanya yang kemudian berdampak negatif bagi khalayak. Dalam konteks inilah media lokal dapat secara lugas memainkan proses pemotretan realitas lokalnya dalam bingkai lokal. Kelenturan dalam menangkap gejala-gejala lokal yang sarat dengan nuansa kulturalnya akan menjadikan media lokal lebih membumi bagi khalayaknya. Ketiga, media sebagai gatekeeper yang dituntut mampu melakukan seleksi terhadap berbagai hal, hal-hal mana yang dianggap penting dan mana yang tidak, sehingga media melakukan proses seleksi berbagai isi yang hendak
186
disajikan dalam kacamata pengelolanya. Media memilihkan sesuatu sajian yang dikonsumsi khalayaknya. Keempat, media juga dipandang sebagai pembimbing maupun penerjemah terhadap berbagai hal sehingga tanpa sadar khalayak ditunjukan arah atas berbagai alternatif yang sangat beragam. Kelima, media dipandang sebagai wahana atau forum yang dapat digunakan untuk mempresentasikan berbagai ide dan informasi kepada khalayak yang kemudian memungkinkan terjadinya respon atau umpan balik yang sifatnya dua arah. Dalam berbagai peristiwa kasus tertentu disebut polemik. Keenam, media massa dapat dilihat sebagai interlocutor. Media menunjukkan terjadinya komunikasi yang interaktif, bukan sekedar medium untuk lalu lalangnya informasi tetapi sebagai partner yang bisa lebih intent. Narasi yang lahir dalam terminologi lokal akan lebih mengesankan nilai yang mengena dan lebih interaktif terhadap idiomidiom lokal, baik dalam bahasa, lambang maupun kode-kode lokalnya. Media massa menjadi medium yang strategis dalam berbagai proses sosial, ekonomi dan politik bangsa. Produk media dapat mempengaruhi berbagai sikap dan perilaku masyarakat dan mampu menanamkan gambaran tertentu dalam benaknya oleh Walter Lippman (1921) disebut sebagai the pictures in our heads. Realitas yang dibangun media senantiasa direspon khalayaknya sebagai sebuah produk yang hendak dikonsumsinya layaknya produk-produk lainnya, sehingga paparan media dipandang merepresentasikan realitas obyektifnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Teori Kultivasi George Gerbner (1972), spiral of silence Noelle Neumann (1974) maupun Agenda Setting oleh Mc Comb and Donald Shaw (1969). Apabila pemberitaan cagub kali ini lebih menggambarkan adanya atensi media terhadap berbagai realitas yang melekat pada cagub maka pada waktu-waktu yang akan datang sangat mungkin para tim sukses memilih media yang tepat dalam beriklan atau advertorial. Modelmodel iklan di TV lokal hingga saat ini belum disentuh oleh aturan yang ketat. TV lokal akan memanfaatkan kondisi ini sampai titik tertentu aturan ditegakkan layaknya pemasangan spanduk/baliho yang sekian lama dibiarkan jalan sendiri-sendiri. Sukses Pilgub dan netralitas
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008
media adalah indikator pendidikan demokrasi yang makin dewasa dan matang karena tarikan politik sesaat tidak melunturkan idealisme media. Media Hidup karena konsumen bukan iklan partai Penutup Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa media cetak memiliki kecenderungan tersendiri dalam pemberitaan tentang Pilgub Jateng 2008. Kecenderungan ini selain dipengaruhi oleh cakupan geografis dan ideologinya, juga dipengaruhi oleh mekanisme yang berlangsung dalam proses redaksi media yang bersangkutan. Netralitas media dalam pemberitaan di ranah politik merupakan tuntutan yang harus dilakukan sebagai upaya menjalankan fungsi media sebagai egen pendidikan politik bagi masyarakat. Kecenderungan pemberitaan dan wacana media dalam peristiwa pilgub Jateng 2008 kali ini menunjukkan adanya keterkaitan dengan hasil pilgub itu sendiri yaitu pasangan Bibit Waluyo dan Rustriningsih yang pada akhirnya menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur memang sejak awal lebih unggul dalam membangun wacana di media tersebut. Dinamika Koran daerah tetap menarik dalam kontek social politik yang sedang berlangsung.
Daftar Pustaka Adam, A. (1995). Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Jakarta: Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu. Albaran, A.B. (1966). Media Economics, Understanding Markets, Industries and Concepts. Ames: Iowa State University Press. Arawinda, J. (2005). Ekonomi Politik Media Majalah Hiburan Pria. Thesis - Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, Vol. IV/No. 3, September Desember. Badriati, M. (2006). Dominasi Pemilik Modal dan Resistensi Pekerja Media. Thesis - Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi. Vol. V/ No. 1 Januari April. Darmopamujo, S. (2002). Pers Berbahasa Jawa Tinggal Kenangan. Suara Merdeka, 14 Februari. Deliarnov. (2006). Ekonomi Politik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Emka, Z.A. (2005). Wartawan Juga Bisa Salah. Surabaya: StikosaAWS.
Gustama, T.R. (2004). Manifestasi Hegemoni Media Internasional di Tingkat Lokal. Thesis - Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, Vol. III/No 1 Januari April. Hamad, I. (2004). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. Hidayat, D.N. (1997). Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi. ISKI, September. -----. (2004). Media Massa dan Konstruksi Realitas Politik. Thesis - Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, Vol. III/ No.1 JanuariApril. -----. (2005). Membumikan Kriteria Kualitas Penelitian. Thesis - Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, Vol. IV/No 1, Januari April. -----. (2005). Teori dan Penelitian, dalam Teoriteori Kritis. Thesis - Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Vol. IV/No. 2 , Mei Agustus. Hidayat, D.N. et al. (2000). Pers dalam Revolusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lippman, W. (1998). Pendapat Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Littlejohn, S.W. (2006). Theories of Human Communication. Belmont: Wadsworth Publishing. Lukmantoro, T. (2002). RUU Penyiaran dan Budaya Lokal. Suara Merdeka, 14 September. Luwarso, L. (ed.). (2003). Mengatur Kebebasan Pers. Jakarta: Dewan Pers & Unesco. -----. (2005). Kompetensi Wartawan: Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kerja Pers. Jakarta: Dewan Pers & FES. McQuail, D. & Siune, K. (1998). Media Policy Convergence, Concentration & Commerce. London: Sage Publication. McQuail, D. (2005). McQuil's Mass Communith cation Theory 5 Ed. London: Sage Publication. Mosco, V. (1996). The Political Economy of Communication, Rethingking and Renewal. London: Sage Publications, London. Nasir, Z. (2005). Perubahan Struktur Media Massa Indonesia dari Orde Soeharto ke Orde Reformasi. Thesis - Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Vol. IV/No. 2 , Mei Agustus. Oetama, J. (2001). Pers Indonesia Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus. Ja-
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
187
Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008
karta: Kompas Media Nusantara. Pareno, S.A. (2003). Manajemen Berita, Antara Idealisme dan Realita. Surabaya: Penerbit Popyrus. Rahayu (ed.). (2006). Menyingkap Profesionalisme Kinerja Surat Kabar di Indonesia. Jakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer, Dewan Pers & Depkominfo. Sarwono, B.A. (2004). Pemaknaan Karir Politik Presiden Perempuan dalam Masyarakat Patriakhi. Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, Vol. III/No. 2 Mei-Agustus. Sen, K. & Hill, D.T. (2001). Media, Budaya dan Politik Indonesia. Jakarta: ISAI. Shobur, A. (2001). Analisis Teks Media. Ban-
dung: Rosda Karya. Siregar, A. & Pasaribu, R. (2000). Bagaimana Mengelola Media Korporasi Organisasi. Yogyakarta: Adikarya IKAPS & The Ford Foundation. Smythe, D. (1977). Communication: Blindspot of Western Marxism. Canadian Journal of Political and Social Theory, Vol 1 No. 3. Sudibyo, A. (2001). Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKIS. Surjomihardjo, A. et al. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Tester, K. (2003). Media, Budaya & Moralitas. Yogyakarta: Penerbit Juxtapose.
Tabel 1. Berita Pilgub yang Ditunjang dengan Foto Bulan
Surat Kabar Jawa Pos
Solopos
Suara Merdeka
Kompas
Januari Februari Maret
3 1 4
10 3 6
6 12 46
8 7 10
Total
8
19
64
25
Tabel 2. Berita Pilgub tanpa Foto Bulan
Surat Kabar Jawa Pos
Solopos
Suara Merdeka
Kompas
Januari Februari Maret
20 46 11
24 29 72
45 64 74
17 9 18
Total
77
125
183
44
Suara Merdeka
Kompas 2 4 2 8
Tabel 3. Kupasan Pilgub dalam Bentuk Artikel Bulan
Surat Kabar Jawa Pos
188
Solopos
Januari Februari Maret
1
1 7
9 8 9
Total
1
8
25
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008
Tabel 4. Frekuensi Paparan Cagub dan Partainya Pasangan Cagub
Jawa Pos
Solopos
Jan Feb Mar
Jan
Feb Mar
Suara Merdeka
Kompas
Total
Jan Feb Mar
Jan Feb Mar
Agus S-Khaliq (PKB)
1
-
-
10
4
4
14
6
9
7
1
2
58
Bambang-Adnan (Golkar)
1
-
-
2
3
5
1
4
5
1
-
3
25
Bibit-Rustri (PDIP)
2
-
1
4
9
11
4
9
12
5
1
9
67
Sukawi-Sudarto (PKS)
1
-
-
1
2
2
2
4
9
2
-
3
26
Tanzil-Rozak (PAN)
3
-
-
7
5
2
8
8
6
5
1
4
49
Ali Mufiz (Gubernur)
1
-
-
1
-
-
3
10
5
4
6
-
30
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
189