Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
MEDIA AND MASYARAKAT DALAM STRUKTUR SOSIAL: MENINJAU KONSEP DENIS MCQUAIL Naniek Afrilla Framanik Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
[email protected] ABSTRAK Artikel ini menyoal tentang hubungan antara media massa dan masyarakat, serta media dan apa yang diproduksinya dapat dianggap sebagai bagian dari budaya. Sebagian besar teori media berhubungan dengan budaya dan masyarakat. Wilayah ‘masyarakat’ merujuk kepada sumberdaya ekonomi, politik, kekuasaan, hubungan sosial dalam masyarakat nasional, komunitas, keluarga dan norma sosial sedangkan wilayah ‘budaya’ merujuk kepada aspek penting yang lain dari kehidupan sosial, terutama ekspresi, makna dan praktik simbolik seperti kebiasaan sosial, cara dalam melakukan berbagai hal, dan juga kebiasaan pribadi. Kata Kunci : media, struktur sosial
PENDAHULUAN Tulisan ini, menjelaskan teori utama atau pandangan teoretis yang telah dikembangkan untuk memahami bagaimana media bekerja dan menjelaskan produksi budaya umum. Teori ini juga membentuk asumsi bahwa keadaan materi dan sosial merupakan penentu utama tetapi ada juga pengaruh independen bahwa ide dan budaya memiliki giliran terhadap kondisi material. Untuk lebih jelasnya maka diperlukan bahasan mengenai kerangka media, masyarakat, budaya, komunikasi massa, hubungan dan pengalaman sosial dan kerangka rujukan dalam menghubungkan media dan masyarakat. Pada kerangka “media, masyarakat, dan budaya dalam hubungan dan konflik”, komunikasi massa dapat dianggap sebagai fenomena ‘masyarakat’ dan ‘budaya’. Lembaga media massa merupakan bagian dari struktur masyarakat, dan infrastruktur yang teknologinya adalah bagian dari dasar ekonomi dan kekuatan, sementara konsep ide, citra dan informasi disebarkan oleh media jelas merupakan aspek penting dari budaya kita. Dalam mendiskusikan masalah ini, Rosengren (1981b) Rosengren, K.E. 1981b ‘Mass Media and Social Change, hlm.
247-263. Beverly Hills CA: Sage. (menawarkan tipologi sederhana di mana terdapat dua proposisi berlawanan yang dita1bulasi silang:’struktur sosial mempengaruhi budaya’: dan kebalikannya, ‘budaya memengaruhi struktur sosial’. Hal ini menghasilkan empat pilihan utama yang tersedia untuk menggambarkan hubungan antara media massa dan masyarakat. Media diasumsikan memiliki pengaruh signifikan yang potensial, tetapi ide dan nilai yang dibawa oleh media dalam kontennya dilihat sebagai penyebab utama perubahan sosial, tidak peduli siapa pemilik dan pengontrolnya. Pengaruhnya dianggap bekerja melalui motivasi dan tindakan individu. Pandangan ini menuntun pada keyakinan yang kuat terhadap beragam efek media yang berpotensi baik atau buruk. McLuhan (1962) McLuhan. 1962. The Gutenberg Galaxy. Toronto. Toronto University Press. mengatakan, bentuk idealisme atau mentalisme terkait media juga berada di balik pandangan yang berubah dalam media dan teknologi, dapat mengubah cara kita mendapatkan pengalaman dengan cara yang penting dan bahkan hubungan kita dengan orang lain. 1
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
KOMUNIKASI MASSA SEBAGAI PROSES PADA MASYARAKAT Seperti yang diungkapkan McQuail (2011) mengenai masyarakat bahwa, budaya dan media dan kemudian teori-teori yang relevan dengan isu-isu tersebut. Patut diketahui bahwa ‘komunikasi massa sebagai proses pada tingkat masyarakat’ memediasi hubungan dan pengalaman sosial yang berasumsi dengan pertanyaan mengenai masyarakat dan budayanya, menandakan lembaga media turut serta memperhatikan produksi dan distribusi pengetahuan dalam pengertian yang luas. Hjarvard (2008,105134) menggambarkan sebuah teori perubahan sosial dan budaya di mana media berangsur-angsur berkembang dalam sejarah hingga kemudian muncul pada abad ke-19 sebagai lembaga sosial yang mandiri. Akhir-akhir ini media telah berkembang lebih jauh menjadi alat untuk menyatukan lembaga sosial dalam bentuk lain. Salah satu perkembangan media adalah ‘konsep mediasi’yaitu perpanjangan tangan pihak kedua (atau ketiga) atas versi peristiwa dan kondisi yang tidak dapat diamati secara langsung bagi diri kita sendiri. Selanjutnya mediasi merujuk pada upaya orang perorangan dan lembaga lain dalam masyarakat untuk mengontak siapapun yang mereka tuju. Hal ini berlaku pada pemerintah, pengiklan, pendidikan, ahli dan segala bentuk penguasaan. Mediasi juga melibatkan beberapa bentuk hubungan (relationship). Thompson (1993, 1995) menjelaskan ada dua tipe interaksi di samping interaksi langsung. Salah satunya disebut sebagai interaksi mediasi dan kedua disebut interaksi media semu (mediated quasi interaction) merujuk pada hubungan yang dibangun oleh media komunikasi massa. Mediasi dapat berarti banyak hal, mulai dari memberikan informasi secara netral, melalui negosiasi, hingga percobaan manipulasi dan kontrol. Kritik terhadap keberadaan media, masyarakat, dan budaya dalam ranah hubungan dan konfliknya, bahwa konsep2
konsep dan isu ini sangat luas untuk dibuktikan melalui penelitian empiris. Menurut Rosengren (1981b:254) yang mensurvei bukti tersebar yang dapat ia temukan, penelitian hanya memberikan bukti yang belum jelas, terkadang bahkan berlawanan, mengenai hubungan antara struktur sosial, nilai masyarakat seperti yang diantarai oleh media dan opini masyarakat. Pengukuran ini bahkan valid hingga tiga puluh tahun kemudian yang menyatakan bahwa tidak ada satu teori tunggal yang mampu menjelaskan semua keadaan. McQuail (2011) mengakui, bahwa media mampu menekan masyarakat agar terpecah-belah ataupun juga menyatukannya. Yang menarik dari isu ini adalah ambiguitas dari peran yang diberikan kepada media. Media seringkali ditampilkan bersifat progresif dalam hal reaksioner menurut pandangan mana yang dianut, dominan (pluralis), atau alternatif (kritis atau radikal) dan media merupakan kurir utama bagi masyarakat. Kritik mengenai masalah ini adalah bahwa dalam masyarakat sekular dalam hal ide,dan nilai, bahwa media massa cenderung mengambil alih dari pengaruh awal sekolah, orang tua, agama, saudara dan teman. Dampaknya adalah kita menjadi sangat bergantung kepada media. Bahwa media sangat mempengaruhi ‘lingkungan simbolik kita’, sebenarnya kita mampu membentuk versi pribadi kita sendiri. Media pulalah yang mungkin mendorong elemen yang dijunjung bersama, karena kita cenderung berbagi sumber media dan budaya media yang sama. Selanjutnya ‘kerangka rujukan dalam menghubungkan media dan masyarakat’ bahwa komunikasi massa berada di antara realitas dan persepsi serta pengetahuan kita yang merujuk pada sejumlah proses spesifik pada berbagai level analisis yang berbeda. Model milik Westley dan MacLean (1957) perlu menunjukkan beberapa elemen tambahan yang dibutuhkan bagi kerangka rujukan yang lebih detail. Media juga
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
menyediakan bagi khalayaknya penyedia informasi, gambar, cerita, dan kesan, terkadang menurut kebutuhan yang telah ada sebelumnya, terkadang dipandu oleh tujuan mereka sendiri misalnya yang berkaitan dengan keuntungan atau pengaruh, dan sering kali mengikuti motif lembaga sosial lainnya misalnya iklan, propaganda, memproyeksikan gambaran yang disukai dan mengirimkan informasi. Realitas akan selalu ‘diseleksi’ dan dikonstruksi dan akan ada beberapa bias yang konsisten. Hal ini akan mencerminkan terutama kesempatan yang berbeda untuk mendapatkan akses dan juga pengaruh logika media dalam membangun realitas. Fakta yang kemudian dikritik bahwa media massa tidak sepenuhnya menjadi agen bebas dalam hubungannya dengan keseluruhan masyarakat. Kritik bahwa media tunduk kepada kontrol formal dan informal oleh lembaga yang berkepentingan dalam membentuk persepdi persepsi publik akan realitas. Tema-tema dalam media dan masyarakat yang diusung McQuail, pertama adalah tema tentang ‘kekuasaan dan ketidaksetaraan’ Media selalu berhubungan dengan struktur kekuatan politik dan ekonomi yang kuat. Media yang memiliki nilai ekonomi adalah objek kompetisi bagi kontrol dan akses. Media juga tunduk pada peraturan politik, ekonomi, dan hukum serta media masa dipandang sebagai instrumen efektif bagi kekuasaan dengan kapasitas potensial untuk membawa pengaruh dengan berbagai cara. Kekuatan media massa tidak dengan rata tersedia untuk semua kelompok atau kepentingan. Ada dua model yang ditawarkan oleh McQuail dalam ‘kekuatan media’. Model pertama adalah ‘Model media dominan’ (model of dominant media) yaitu yang melihat media sebagai kekuatan yang mewakili lembaga kuat lainnya. Sedangkan model kedua adalah model media pluralis (Pluralist media) yaitu mengetengahkan berbagai macam keragaman dan
kemungkinan dan menyatakan tidak ada elit yang dominan atau satu, dan perubahan serta kontrol demokratis sangat mungkin terjadi. Kritik terhadap model ini adalah bahwa organisasi media dalam pandangan ini seringkali dimiliki atau dikontrol oleh sejumlah kecil kepentingan yang berkuasa yang memiliki jenis dan tujuan serupa. Mereka menyebarkan pandangan yang terbatas dan seragam mengenai dunia yang dibentuk oleh perspektif dari kepentingan yang berkuasa. Khalayak dibatasi atau dikondisikan untuk menerima pandangan akan dunia yang ditawarkan dengan despon kritik yang sedikit. Hasilnya adalah untuk meneguhkan atau mengesahkan struktur kekuatan yang mapan dan untuk menghentikan perubahan dengan menyaring suara alternatif. Kritik lain bahwa pemilik media menggunakan posisi mereka untuk mengembangkan tujuan politik atau keuangan untuk meningkatkan status mereka sendiri. Sering kali, kekuatan mandiri dari media dapat menyebabkan efek berbahaya yang tidak disengaja. Hal ini berhubungan misalnya dengan melemahnya demokrasi politik, budaya, dan moral dan penyebab dari tekanan dan bahaya personal, terutama dalam pencarian keuntungan. Tema II yang diajukan McQuail adalah mengenai ‘integrasi sosial dan identitas’. Pada tataran keilmuan, ahli teori komunikasi massa seringkali berbagi kepentingan dengan sosiolog mengenai bagaimana tatanan sosial dipelihara dan dalam keterikatan masyarakat dari berbagai macam unit sosial. Fungsi sosial pers pada awalnya adalah sebagai pengikat atau pemersatu masyarakat, memberikan kepemimpinan kepada masyarakat, menolong dan membangun ranah publik, menyediakan pertukaran ide antara pemimpin dan massa, memuaskan kebutuhan informasi, memberikan cerminan atas masyarakat itu sendiri dan bertindak sebagai kesadaran dari masyarakat. 3
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
Komunikasi massa memiliki kapasitas untuk menyatukan individu yang tersebar di dalam khalayak yang lebih besar, atau menyatukan pendatang baru ke dalam komunitas urban dan imigran ke dalam negara baru dengan menyediakan seperangkat nilai, ide dan informasi dan membantu membentuk identitas (Janowitz, 1952; Clark, 1969; Stamm, 1985; Rogers, 1993). Media pada awalnya dihubungkan dengan masalah urbanisasi, mobilitas sosial dan menurunnya komunitas tradisional. Hanno Hardt (2003) menggambarkan perhatian dari para ahli teori Jerman pada abad- ke-19 dan abad ke-20 bahwa peranan pers pada saat itu sifatnya menyatukan. Sekarang ini mereka cenderung berhubungan dengan kekacauan sosial dan meningkatnya kejahatan, kekacauan, dan nilai moral yang rendah demikian McQuail mengatakan. Kritik pada isu komunikasi massa adalah terdapat beberapa kasus pemilik media menggunakan posisi mereka untuk mengembangkan tujuan politik atau keuangan atau untuk meningkatkan status mereka sendiri. Seringkali kekuatan media menyebabkan efek berbahaya yang tidak disengaja, hal ini berhubungan dengan melemahnya demokrasi politik, budaya, dan moral dan penyebab dari tekanan dan bahaya personal, terutama dalam pencarian keuntungan. Intinya mereka berupaya menjalankan kekuasaan tanpa tanggung jawab dan menggunakan tameng kebebasan pers untuk menghindari pertanggungjawaban. Tentang isu dalam ‘perubahan dan perkembangan sosial’ adalah yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan bentuk serta konten media serta perubahan dalam masyarakat (struktur sosial dan tatanan kelembagaan dan distribusi keyakinan, ide, nilai dan praktik kepada populasi. Semua dampak media massa ini adalah pertanyaan potensial terhadap perubahan sosial, tetapi teori yang paling relevan adalah isu determinisme teknologi dan potensi untuk 4
menerapkan media massa dalam proses perkembangan. Isu perkembangan dan perubahan sosial merujuk pada aspek perubahan media komunikasi masyarakat. Isu selanjutnya adalah merujuk pada pertanyaan pada hal yang bersifat praktis mengenai media massa dapat diterapkan kepada perkembangan ekonomi sosial sebagai mesin perubahan atau mempercepat modernitas. Isu modernisasi dan perkembangan di negara Dunia Ketiga mendapatkan banyak perhatian pada awal-awal pascaperang Dunia II. Ketika komunikasi massa dipandang di Amerika Serikat sebagai alat yang kuat untuk menyebarkan norma ideal Amerika ke seluruh dunia dan pada saat bersamaan membantu melawan komunisme. Pada tahun-tahun terakhir, perubahan terbesar yang diasosiasikan dengan media massa merupakan perubahan dari komunisme di Eropa setelah tahun 1985. Peranan media dalam peristiwa ini masih diperdebatkan, walaupun proses glasnost memberikan media peranan dalam perubahan internal di dalam Uni Soviet, dan ketika dimulai sepertinya hal tersebut menjadi semakin besar. Komunikasi sering dikatakan memiliki dimensi ‘ruang dan waktu’ dan juga menjembatani ketidaksinambungan pengalaman kita yang disebabkan jarak dan waktu. Terdapat juga berbagai aspek untuk mendapatkan proposisi ini. Internet menciptakan beragam jenis jarak maya dan peta baru untuk melakukannya, terutama yang menunjukkan kesalingterhubungan jaringan. Teknologi baru memungkinkan pesan untuk dikirim ke tempat yang jauh. Penjelasannya dapat berlanjut terus, tetapi kekayaan dari tema keruangan ini dapat dihargai. Teknologi penyimpanan dan akses memungkinkan kita untuk mengabaikan batasan waktu dalam sebagian besar perilaku komunikasi. Dalam hal ini efek media yang berkaitan dengan waktu adalah bahwa; media telah menghapus jarak, dunia maya menjadi perpanjangan jarak yang
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
sebenarnya, media bertindak sebagai pengumpul ingatan dan jarak antara penyiaran teknis dengan kapasitas penerimaan manusia meluas dengan cepat sepertinya menjadi lebih cepat usang dan ketinggalan jaman. Batasannya semakin ditingkatkan oleh kapasitas manusia untuk memproses lebih banyak dan lebih cepat. Beberapa pendekatan teoretis yang penting mengenai isu-isu ini akan dibahas dalam teori-teori media masyarakat. Teori media-masyarakat massa (mass society theory) yang dibangun di sekeliling konsep massa lebih menekankan salingketergantungan lembaga yang menjalankan kekuasaan dan juga integrasi media kepada sumber kekuasaan sosial dan otoritas. Sedangkan model media dominan mencerminkan pandangan masyarakat massa. Teori masyarakat massa memberikan keutamaan kepada media sebagai faktor penyebab. C. Wright Mills (1951:333) menyatakan, diantara kesadaran dan keberadaan, berdirilah komunikasi yang pengaruhnya seperti kesadaran yang dimiliki manusia keberadaan mereka. Mills (1951, 1956) menunjuk pada menurunnya keaslian teori demokrasi klasik dan penggantinya dengan menggeser sejumlah orang yang tidak dapat membentuk atau menyadari tujuan mereka sendiri dalam tindakan politik. Penyesalan ini semakin diperkuat dengan argumen mengenai menurunnya ‘ranah publik’ atas debat dan politik demokrasi dalam skala besar yang telah berdampak pada media massa komersial (Dahlgren, 1995,2005). Selanjutnya McQuile mengetengahkan Teory media-masyarakat II: Marxisme dan ekonomi politik. Pertanyaan akan kekuasaan adalah inti dari penafsiran Marx mengenai media massa. Pertanyaan ini selalu menekankan fakta bahwa pada akhirnya media merupakan instrumen bagi kelas penguasa untuk mengontrol. Lapisan yang memiliki alat dan bahan produksi pada saat yang bersamaan memiliki kontrol terhadap alat produksi
mental, sehingga secara umum mereka yang tidak memiliki alat mental produksi akan tunduk kepadanya (Murdock dan Golding, 1977:15). Teori Marxist mendorong hubungan langsung antara kepemilikan ekonomi dan penyebaran pesan yang meneguhkan legitimasi dan nilai dari masyarakat kelas. Pandangan ini didukung dengan bukti konsentrasi kepemilikan media massa oleh pengusaha kapitalis (Bagdikian, 1998; McChesney, 2000) dan oleh banyak bukti yang berhubungan dari kecenderungan konservatif dalam konten media yang teratur (Herman dan Chomsky, 1988). Kritik terhadap teori masyarakat massa yang terlalu menekankan saling ketergantungan antar lembaga yang menjalankan kekuasaan dan juga integrasi media kepada sumber kekuasaan sosial dan otoritas. Konten seringkali melayani kepentingan politik dan ekonomi dan pemegang kekuasaan. Media tidak dapat diharapkan untuk menawarkan definisi kritis atau alternatif kepada dunia dan mereka cenderung membentuk akomodasi dalam ketergantungan publik pada takdir mereka. Masyarakat massa dihancurkan dan dikontrol secara terpusat. Media dilihat secara signifikan berkontribusi kepada kontrol di masyarakat yang dicirikan oleh banyaknya jumlah, jarak dan lembaga, isolasi atas individu dan kurangnya integrasi kelompok lokal. Selanjutnya McQuail menjelaskan mengenai Teori media-masyarakat III:Fungsionalisme yakni keterlibatan praktik sosial dan lembaga yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat dan individu (Merton, R.K. 1957). Masyarakat dipandang sebagai sistem yang berjalan dan sub sistem atau bagian yang saling berhubungan, masing-masing memiliki kontribusi penting bagi keberlanjutan dan keteraturan. Teori ini menggambarkan media sebagai sesuatu yang berjalan dan mengoreksi diri sendiri. Meskipun pembentukannya nonpolitis, teori ini cocok terhadap sistem pluralis dan sukarela dari mekanisme fundamental 5
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
kehidupan sosial dan memiliki bias bahwa media sering kali dilihat sebagai alat memlihara masyarakat daripada sebagai sumber perubahan. Menyoroti tentang Teori mediamasyarakat IV: konstruksionalisme sosial yang dikenalkan oleh Berger dan Luckman yang berjudul The Social Construction of Reality (1967) bahwa menurut teori ini ide mengenai masyarakat sebagai sebuah realita objektif yang menekan individu dilawan dengan pandangan alternatif yang lebih liberal bahwa struktur, kekuatan, dan ide mengenai masyarakat dibentuk oleh manusia, secara-terus-menerus dibentuk dan diproduksi ulang dan juga terbuka untuk diubah dan dikritik. Ada penekanan secara umum terhadap kemungkinan untuk tindakan dan juga pilihan untuk memahami realitas. Realitas sosial harus dibuat dan diberikan makna dan ditafsirkan oleh aktor manusia, demikian McQuail (2011). Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan proposisi utama konstruksionisme sosial adalah bahwa; masyarakat adalah realitas yang dikonstruksikan alih-alih tetap, media menyediakan bahan untuk produksi realitas tersebut, makna adalah apa yang ditawarkan oleh media, tetapi dapat dinegosiasikan atau ditolak. Kemudian media secara selektif mereproduksi makna tertentu, media juga tidak dapat memberikan penilaian objektif terhadap realitas sosial (bahwa semua fakta merupakan hasil penafsiran). Bahasan mengenai Teori mediamasyarakat V: determinisme teknologi komunikasi membahas mengenai hubungan antara teknologi komunikasi dominan yang merupakan ciri utama dan sudah tua dari masyarakat dari semua tema yang digambarkan sebelumnya. McQuail menamakan pemikiran ini sebagai ‘determinis’yang tidak membenarkan adanya perbedaan dan perselisihan, tetapi terdapat elemen bersama yaitu ‘media sentris’. Terdapat juga kecenderungan untuk berkonsentrasi pada potensi (atau bias 6
terhadap) perubahan sosial dari teknologi komunikasi tertentu dan untuk menomorduakan variabel lain. Jika tidak maka akan ada kesamaan antara teori-teori tersebut. Ahli teori pertama dalam tradisi ini adalah ahli sejarah ekonomi dari Kanada, H.M Innis yang menemukan ‘Mazhab Toronto’ (Toronto School) yang isinya adalah mengenai pemikiran media pada periode setelah Perang Dunia II. Dalam pemikiran Innis ada dua hal utama yaitu dalam lingkup ekonomi, komunikasi mendorong monopoli produksi dan distribusi pengetahuan oleh kelompok atau kelas tertentu. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan yang mendorong perubahan atau membawa pada munculnya kompetisi atas bentuk komunikasi yang lain yang kemudian mendorong pada keseimbangan kembali. Determinisme teknologi media : proposisi utamanya adalah bahwa teknologi komunikasi sangat penting bagi masyarakat, kemudian setiap teknologi memiliki bias terhadap bentuk, konten, dan penggunaan komunikasi tertentu. Urutan keperluan dan penerapan teknologi komunikasi mempengaruhi arah dan kecepatan perubahan sosial serta revolusi komunikasi mendorong revolusi sosial. Sekarang ini pengamat Komunikasi massa begitu berhatihati pada penjelasan faktor tunggal dari perubahan sosial dan tidak terlalu percaya pada efek mekanistik yang langsung dari teknologi baru. Efek hanya terjadi jika penemuan muncul, berkembang dan diterapkan dan biasanya untuk penggunaan umum pad mulanya yang kemudian ditambah dan terdapat perubahan penggunaan menurut kapasitas teknologi dan kebutuhan masyarakat. Perkembangan selalu dibentuk oleh konteks budaya dan sosial (Lehmann- Wilzig dan Cohen-Avigdor, 2004; Stober, 2004). Teori Media-Masyarakat VI : Masyarakat Informasi menjelaskan mengenai asumsi bahwa perubahan sosial revolusioner sebagai hasil dari teknologi
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
komunikasi massa yang baru dan kemunculannya telah mengundang kritik (Leiss, 1989; Ferguson, 1982; Webster, 1995, 2002). Leiss, W. 1989. The Myth of the information society, dalam I. Angus dan S. Jhally (ed.), Cultural Politics in Contemporary America, hlm. 282-298. New York: Routledge. Webster, 1995, 2002). memperlakukan ‘determinisme . teknologi baru’ ini sebagai sebuah sistem keyakinan (belief system) yang cenderung bekerja sebagai sebuah ramalan yang terpenuhi sendiri (self fulfilling prophesy). Istilah ‘revolusi komunikasi’ muncul bersamaan dengan ‘masyarakat informasi’ (information society), saat ini diterima sebagai penggambaran objektif atas waktu dan masyarakat yang sekarang muncul. Terlepas dari bukti terhadap signifikansi informasi dalam ekonomi dan masyarakat kontemporer tidak ada kejelasan mengenai konsep masyarakat informasi, Melody (1990:26-7) menggambarkan masyarakat informasi adalah mereka yang tergantung pada jaringan informasi elektronik yang rumit dengan berbagai aktivitas komunikasi di dalamnya. Van Cuilenburg (1987) dalam McQuile (2011) menjelaskan bahwa adanya peningkatan pesat dalam produksi dan arus informasi, sebagian besar karena dampak berkurangnya ongkos karena sistem komputerisasi. Untuk lebih jelasnya, teori masyarakat informasi memiliki proposisi yang menyatakan bahwa: 1) pekerjaan informasi menggantikan peran industri; 2) Produksi dan arus informasi menjadi semakin cepat; 3) Masyarakat dicirikan oleh saling keterhubungan yang meningkat; 4) Aktivitas yang beragam semakin menyatu dan konvergen; 5) Ada peningkatan ketergantungan terhadap sistem yang kompleks; 6) Tren globalisasi semakin cepat; 7) Batasan waktu dan ruang semakin berkurang; Konsekuensi menjadi terbuka terhadap penafsiran alternatif, baik positif maupun negatif; 8) Terdapat peningkatan
risiko kehilangan kontrol; 9) Teori masyarakat massa adalah ideologi lebih dari sekedar teori. Kritik terhadap teori ini adalah bahwa konsep masyarakat informasi tidak diterima secara luas dalam membantu menganalisis teori. Masalah intinya adalah kurangnya dimensi politik yang terbuka karena hal tersebut sepertinya tidak memiliki akar pada tujuan politik yang hanya sebagai sebuah logika teknokratisme sendiri yang tidak dapat dihindari (Van Dijk, 1999). Ide masyarakat informasi telah digunakan untuk kebijakan publik dengan tujuan teknokratik bagi negara bangsa atau wilayah (Mattelart, 2003) dalam (McQuail, 2011). Konsensus umum mengenai pentingnya perubahan yang terjadi pada teknologi komunikasi tidak dibarengi dengan persetujuan mengenai dampak sosialnya. Hassam (2008) dalam McQuail (2011) percaya bahwa ide masyarakat informasi intinya mendukung ideologi ekonomi neo-liberal yang mengambil keuntungan dari saling keterhubungan di tingkat global. TEORI KHALAYAK DAN TRADISI PENELITIAN Kata khalayak dianggap sebagai istilah kolektif dari penerima dalam model urutan sederhana dari proses komunikasi massa yang dibuat oleh para pelopor di bidang penelitian media (Schramm, 1955) dalam McQuail (2011:144). Yang menjadi kegagalan rujukan untuk kata khalayak dalam penelitian komunikasi terkesan sangat akrab tetapi maknanya seakan-akan menghilang (Biocca, 1988a:103). Khalayak merupakan produk konteks sosial yang mengarah kepada kepentingan budaya, pemahaman, dan kebutuhan informasi yang sama serta respons kepada pola pasokan media tertentu (McQuail, 2011: 144). Nightingale (2003) mengajukan tipologi baru keragaman khalayak sebagai berikut: 1) Khalayak adalah sebagai kumpulan orangorang; 2) Khalayak sebagai orang-orang yang ditujukan; 3) Khalayak sebagai yang berlangsung; 4) Khalayak sebagai atau audisi. 7
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
Terdapat beberapa kemungkinan lain untuk mendefinisikan khalayak yang berbeda, tergantung pada media terkait dan perspektif dan perspektif yang diterapkan. Internet memberikan jenis baru hubungan komunikaitf yang tidak sesuai dengan tipologi yang telah diciptakan untuk komunikasi massa. Berbicara mengenai khalayak, ada yang dinamakan dengan khalayak asli yang memiliki ciri: 1) Merencanakan dan mengatur kegiatan menonton dan mendengarkan sebagaimana pula pertunjukan itu sendiri; 2) Peristiwa dengan karakter publik dan populer; 3) Konten penampilan yang sekuler alias tidak religius, untuk hiburan, pendidikan, dan pengalaman emosional yang termediasi; 4) Tindakan pilihan dan perhatian individual yang sukarela; 4) Spesialisasi dari peranan pengarang, penampil, dan penonton; 5) Lokasi fisik dari penampilan dan pengalaman penonton. Ketidaklayakan konsep khalayak ini telah lama terlihat. Realitas dari pengalaman orang dalam percetakan massa dan film selalu sangat beragam. Meskipun sifatnya impersonal, anonim dan skala besar mungkin menggambarkan fenomena ini secara umum. Pada banyak awal sejarah penelitian media, khalayak yang sebenarnya terdiri atas banyak jaringan hubungan sosial yang saling tumpang tindih berdasarkan lokasi dan kepentingan bersama, dan media massa digabungkan ke dalam jaringan ini dengan cara-cara yang berbeda (Delia, 1987). Para pemikir kritis (Griffin, 1978) monolak bahwa perlindungan terhadap individu yang seharusnya dilakukan dari manipulasi, merupakan gerakan ideologis untuk mengaburkan kelemahan yang lebih umum dari individu di dalam massa dan meredakan ketegangan dari khalayak massa. Tradisi struktural dari pengukuran khalayak, bahwa industri media memunculkan jenis penelitan yang paling awal dan paling sederhana yang dirancang untuk memperoleh perkiraan yang dapat 8
diandalkan dari kuantitas yang tidak diketahuinya. Beberapa penelitian khalayak menggunakan, tradisi behavioral mengenai efek penggunaan media. Juga menggunakan tradisi budaya dan analisis penerimaan. Isu mengenai khalayak dan urusan publik misalnya berupa penggunaan media yang membuat khalayak menjadi kecanduan. Kemudian adanya khalayak massa dan atomisasi sosial, isu lainnya adalah perilaku khalayak sebagai aktif atau pasif, manipulatif atau resistensi. Kemudian ada isu tentang khalayak minoritas. Ada pula isu mengenai penggunaan teknologi baru. Bagaimanapun bicara tentang khalayak, akan sulit dipenuhi bahwa antara media berbeda-beda dalam menerjemahkan arti khalayak. Biocca (1988a) membahas perbedaan makna dan konsep dari aktivitas khalayak, mengajukan lima versi yang berbeda yang ditemukan dalam literatur sebagaimana berikut: 1) Selektivitas, bahwa khalayak digambarkan sangat aktif, semakin banyak pilihan dan diskriminasi yang terjadi dalam hubungan dengan media serta konten di dalam media; 2) Ulititarianisme, artinya khalayak merupakan perwujudan dari konsumen yang memiliki kepentingan pribadi. Konsumsi media melambangkan kepuasan dai kebutuhan yang kurang lebih disadari misalnya seperti yang dinyatakan oleh pendekatan uses and gratification; 3) Memiliki tujuan yakni khalayak aktif adalah mereka yang terlibat dalam pengolahan kognitif aktif dari informasi yang datang dan pengalaman ini sering disiratkan dalam bentuk langganan media; 4) Kebal terhadap pengaruh yaitu khalayak yang keras kepala (Bauer, 1964) dalam McQuail (2011), konsep aktivitas di sini menekankan batasan yang diatur oleh anggota khalayak untuk tidak menginginkan adanya pengaruh atau pembelajaran. Dan terakhir adalah 5) ketrlibatan, semakin seseorang anggota khalayak terlibat dalam pengalaman media maka kita dapat membicarakan mengenai keterlibatnanya. Ini disebut rangsangan afektif ini dapat diindikasikan oleh tanda-
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
tanda misalnya membantah kepada televisi mengenai acara tertentu. Sebagaimana yang telah kita lihat, gagasan yang terlihat sederhana mengenai khalayak ternyata cukup rumit juga. Konsep ini dipahami secara berbeda dari sudut pandang yang berbeda. Untuk sebagian besar industri media, khalayak kurang lebih sama dengan pasar bagi layanan media dan dikelompokkan berdasarkan hal tersebut. Dari sudut pandang khalayak atau mereka yang mengambil perspektif khalayak, pandangan mengenai khalayak ini bersifat periferal atau tidak dipahami. Pengalaman khalayak sebagai peristiwa budaya atau sosial merupakan hal yang penting. Menjadi seorang khalayak sering kali merupakan hasi dari berbagai motif yang berbeda. Kemungkinan lain pun dapat muncul ketika pandangan dari pihak pengirim atau komunikator yang diambil, dalam kaitan tidak menjual layanan, tetapi mencoba mengkomunikasikan makna. Khalayak dapat dianggap oleh komunikator dalam kaitannya dengan selera, ketertarikan, kapasitas, atau komposisi sosial, dan lokasi mereka. Situasi ini akan lebih rumit lagi dengan munculnya alat baru komunikasi dengan implikasi terhadap banyak faktor yang telah disebutkan. PEMBENTUKKAN DAN PENGALAMAN KHALAYAK Khalayak terbentuk pada awalnya untuk memperhatikan media massa dan kepuasan yang diharapkan atau didapatkan. Ada beberapa teori yang berbeda mengenai ini karena menjadi khalayak bukan hanya hasl dari pilihan pribadi, tetapi juga tergantung pada apa yang dipilih, dari latar belakang sosial atau gaya hidup dan kondisi saat itu. Dari penjelasan sebelumnya, kita dapat mendekati pertanyaan mengenai penilaian akan penggunaan media baik dari sisi khalayak dan menanyakan apa yang memengaruhi pilihan dan perilaku individu, atau dari sisi media menanyakan faktor apa dari konten, penyajian, dan kondisi yang
membantu menarik serta menjaga perhatian khalayak. Tradisi “struktural” menekankan sistem media dan sistem sosial sebagai penentu utama; pendekatan behavior mengambil kebutuhan, motif dan kondisi individual sebagai titik awal; sementara pendekatan sosial budaya menekankan konteks tertentu dimana anggota khalayak diposisikan dan cara di mana media alternatif dihargai dan diberi makna. Terdapat sejumlah besar hal yang diketahui mengenai faktor umum yang membentuk perilaku khalayak yang cukup stabil dan dapat diprediksi (misalnya lihat Bryant dan Zillman, 1986). Pola perhatian yang luas akan media hanya bergeser secara lambat dan biasanya untuk alasan yang jelas, misalnya perubahan dalam struktur media (misalnya munculnya medium baru) atau karena beberapa perubahan sosial yang lebih luas (misalnya perkembangan budaya anak muda atau perubahan dari komunisme ke kapitalisme). Selalu ada pengaruh yang acak dan kesempatan kombinasi dari faktor, tetapi penelitian khalayak sebagian besar merpakan rekaman rutin dari hasl yang sangat dapat diprediksi. Misteri semacam itu berhubungan degan pertanyaan mengapa pilihan mendetail di dalam sektor media antara sauran atau produk, atau berkaitan dengan kesuksesan atau kegagalan dari inovasi tertentu atau isi dari konten. Sebagai individu biasanya kita memiliki pola yang cukup stabil akan kesukaan, peilihan dan penggunaan waktu media (walaupun satu ‘pola’ dapat tidak stabil), tetapi pengalaman media setiap hari adalah unik dan dipengaruhi oleh beragam kondisi yang tidak dapat diprediksi. Di bagian selanjutnya kita akan melihat beberapa model teoritis alternatif untuk menilai rekruitmen dan pembentukkan khalayak media. Pendekatan struktural untuk pembentukkan khalayak dalam Weibull (1985) yang menggambarkan hubungan pola kebiasaan dari perlaku penggunaan media dan pilihan tertentu, misalnya dalam hal 9
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
tertentu. Salah satu faktor yang lebih merupakan situasi sosial yang tetap adalah di mana seseorang ditempatkan bersamaan degan kebutuhan terkait media (misalnya untuk informasi tertentu, relaksasi, kontak sosial dan semacamnya). Faktor kedua (ditunjukkan sebagai ‘sturktur media massa’) terdiri atas kemungkinan media yang tersedia dalam tempat tertentu, berdasarkan kondisi ekonomi dan pendidikan seseorang. Di antara keduanya, kedua faktor ini mengarah bukan hanya pada pola perilaku yang reguler, tetapi juga pada kepribadian yang cukup konstan, kecenderungan, atau ‘pengaturan’ yang disebut sebagai oriental media seseorang. Ini adalah hasil gabungan dari latar belakang sosial dan pengalaman media massa lalu dan mengambil bentuk hubungan dari media tertentu, kesukaan dan kepentingan spesifik, kebiasaan penggunaan, pengharapan mengenai apa tujuan media, dan seterusnya. Kita menemukan situasi sehari-hari tertentu di mana pilihan spesifik atas media dan konten dibuat. Hal seperti ini akan dipengaruhi oleh tiga variable: 1) Menu konten haris yang spesifik dari tawaran dan bentuk penyajian (diperlihatkan sebagai ‘konten media’); 2) Kondisi pada saat itu, misalnya jumlah waktu luang, kesediaan untuk memperhatikan, rangkaian aktivitas alternatif yang tersedia (dinamakan sebagai ‘kondisi individual’); 3) Konteks sosial dari pilihan dan penggunaan, misanya pengaruh dari keluarga dan teman. Weibull telah menguji model ini dengan pembaca surat kabar dan menyimpulkan bahwa ketika seorang individu sangat termotivasi untuk mendapatkan kepuasan spesifik tertentu (misalnya berita olahraga tertentu) ia akan kurang dipengaruhi oleh struktur media...individu dengan ketertarikan yang kurang pada media terlihat lebih dipengaruhi oleh konten terentu atau oleh pembentukkan konten’ (1985:145). Masa depan khalayak saat ini meski adanya tren yang dibahas sebelumnya, 10
terlalu awal untuk menyimpulkan bahwa khalayak massa akan hilang. Khalayak masih akan ada meskipun bentuknya berubah dan industri media massa telah menunjukkan kapasitas yang luas biasa untuk bertahan. Menurut Neuman (1991:42) skala ekonomi mendorong ke arah komunikasi yang memiliki karakteristik umum dan satu arah, alih-alih mempromosikan narrowcasting dan komunikasi dua arah. KESIMPULAN Kita berhenti di perbatasan di mana fenomena yang baru dan berhubungan telah dimulai, terutama mereka yang berdasarkan penggunaan komputer dan media baru yang lain. Sebagaimana yang telah kita lihat, konsep khalayak secara berangsur berubah ke dalam istilah lain untuk menggambarkan penggunaan teknologi komunikasi yang lain. Bagaimanapun, ada dasar bersama yang mengangkangi batasan antara bentukbentuk komunikasi, terutama jika kita mempertimbangkan: cara alternatif untuk menggunakan waktu luang, beragam fungsi yang dapat dipenuhi oleh alat-alat yang berbeda; fakta atas ketergantungan yang berlipat ganda pada teknologi; kepemilikan dan organisasi massa dan media baru, dan bebearpa bentuk konten. Jelas bahwa cukup banyak teori khalayak juga diterapkan pada situasi nonkomunikasi massa meskipun dalam bentuk yang disesuaikan atau diperluas. Perspektif teoretis mengenai hubungan antara media dan masyarakat sangat beragam dalam berbagai aspek, karena adanya penyebab yang berbeda dan jenis perubahan yang menunjuk pada jalur yang berbeda di masa depan. Terdapat perbedaan kontras antara pandangan kritis dengan pandangan positif dalam memaknai perkembangan isu. Walaupun penelitian ilmiah mencari tingkatan objektifitas (objectivity) dan netralitas, hal ini tidak mencegah salah satu untuk menyetujui atau menolak kecenderungan yang dimaksudkan oleh teori tersebut. Dalam Marxisme, teori
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
ekonomi politik dan teori masyarakat massa memiliki komponen kritik di dalamnya. Secara kontras fungsionalisme mengambil pandangan positif sejauh menyangkut kinerja media.Terakhir (Rosengren, 1983) membedakan antara pandangan yang sosiosentris dengan media sentris.Teknologi media sentris berkaitan dengan teknologi komunikasi dan masyarakat informasi. Terdapat beberapa variabel lain yang harus dipertimbangkan, terutama yang berkaitang pendekatan metode penelitian. Metofe Himanistik, kualitatif, dan spekulatif, alih-alih metode penelitian ilmiah tradisional yang objektif.
DAFTAR PUSTAKA Bagdikian, B. 1988. The Media Monopoly. Boston : Beacon McChesney, R. 2000. RichMedia, Poor Democracy. Newyork. New Press. Biocca, E.A. 1988a. The Breakdown of The Canonical audience dalam J. Anderson (ed.) Communication Yearbook 11, Hlm. 51-80. Newbury Park, CA. Sage. Bryant, J. dan Zillman, D. 1986(ed.) Perspectives on Media Effects. Hillsdale, NJ: Erlbaum. Dahlgreen, P. 2005. Television and The Public Sphere. London. Sage. Delia, J.G.1987. Communication research: a History ; dalam S.H. Chaffee dan C. Berger (ed.), Handbook of Communication Science, hlm. 20-98. Newbury Park, CA: Sage. Ferguson, M. 1986. The Challenge of NeoTechnological Determinism for Communication Systems of Industry and Culture dalam M. Ferguson (ed.) New Communication Technologies and The Public Interest, Hlm. 52-70. London. Sage. Herman dan Chomsky. 1988. Manufacturing Consent:The Political economy of Mass Media. New York: Pantheon.
Hjarvard. 2008. “The mediatization of society”: a study of media as agents of social and cultural change’. Nordicom Review, 29 (1): 105-134. Janowitz, M. 1952. The community press in an urband setting. Glencoe. IL: Free Press. Clark, T.N. (ed.) 1969 On Communication and Social Influence: Collected Essays of Gabriel ,Trade. Chicago: Chicago University Press. Leiss, W. 1989. The Myth of the information society, dalam I. Angus dan S. Jhally (ed.), Cultural Politics in Contemporary America, hlm. 282298. New York: Routledge. McLuhan. 1962. The Gutenberg Galaxy. Toronto. Toronto University Press. McQuail. 2011. Teori Komunikasi Massa. Edisi 6. Buku 1. Penerbit Salemba Humanika. Jakarta. Melody, WH. 1990. Communications policy in the global information economy; dalam M.F. Ferguson (ed.), Public Communication: TheNew Imperatives, hlm. 16-39. London. Sage. Merton, R.K. 1957. Social Theory and Social Structure. Glencoe, II. Free Press. Lehmann- Wilzig dan Cohen-Avigdor. 2004. The natural life cycle of new media evolution, new media, and society, 6 (6): 7-7-730. Murdock, G. dan Golding, P. 1977.Capitalism, Communication and Class Relations; dalam J. Curran et al. (ed.), Mass Communication and Society, hlm. 12-43. London: Arnold. Neuman, W. R. 1991. The Future of Mass Audience. Cambridge: Cambridge University Press. Rogers, E. M. 1993. Looking Back, Looking Forward: A Century of Communication Research; dalam P. Gaunt (ed.) Beyond Agendas: New Directions in Communication Research. Hlm.
11
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. V No. 3, September 2013
19-40. New Haven. CT. Green Wood Press. Rosengren, K.E. 1981b ‘Mass Media and Social Change, hlm. 247-263. Beverly Hills CA: Sage. Rosenghen, K.E. 1983. Communication Research: One Paradigm or four? Journal of Communication, 33 (3): 185-207. Stamm, K.R. 1985. Newspaper Use and Community Ties: Towards a Dynamic Theory. Norwood, NJ: Ablex. Stober, R. 2004. What media evolution is a theoretical approach to the history of new media, European Journal of Communication, 19 (4): 483-505. Thompson. 1993. Social theory and the media; dalam D. Crowley dan Mitchell (ed.), Communication, hlm 27-49. Chambridge: Polity Press. Westley dan MacLean. 1957. A conceptual model for mass communication research; Journalism quarterly34:31-38 Weilbull, L. 1985. Structural Factors in Gratifications research, dalam K.E. Rosengren, P. Palmgreen dan L. Wenner (ed.), Media Gratification Research; Current Perspectives, hlm. 123-147. Beverly Hills, CA: Sage.
12