MATHEMATICAL PROBLEM POSING: RASIONAL, PENGERTIAN, PEMBELAJARAN DAN PENGUKURANNYA Utari Sumarmo, Pascasarjana STKIP Siliwangi Bandung dan Pascasarjana UPI, 2015 A. Rasional Pentingnya Mathematical Problem Posing dalam Pembelajaran Kurikulum matematika pada banyak negara menekankan pentingnya pembahasan pemecahan masalah matematik (mathematical problem solving disingkat MPS), yang dilukiskan dengan pernyataan bahwa pemecahan masalah matematik merupakan tujuan umum pembelajaran matematika bahkan merupakan jantungnya matematika (Branca, 1994 dalam Sumarmo 2005). Berbeda dengan besarnya perhatian terhadap pembahasan pemecahan masalah matematik, kurikulum matematika belum banyak memberi perhatian yang besar pada pembahasan pengajuan masalah matematik (mathematical problem posing disingkat MPP). Pada dasarnya tema problem posing adalah isu yang sudah lama. Singer, Elerton, dan Cai, (2013) mengemukakan suatu yang baru berkenaan dengan problem posing adalah kesadaran berbagai pihak terkait terhadap perlunya konten problem posing dimuat dalam kurikulum matematika di semua jenjang sekolah, baik sebagai perangkat pembelajaran maupun sebagai objek pembelajaran. Kilpatrick (1987 dalam Bonotto, 2013) mengemukakan bahwa problem posing merupakan konten yang esensial dalam matematika dan hakekat berpikir matematik, serta merupakan bagian penting dari MPS. Seseorang tidak dapat menyelesaikan masalah jika masalah tersebut tidak dirumuskan atau diajukan dengan baik oleh penyusun masalah. Demikian pula Einstein (Shriki, 2013) mengemukakan pentingnya problem posing yang diungkapkan dalam pernyataan bahwa ”Formulasi masalah adalah lebih esensial daripada solusinya”. Memunculkan masalah baru, kemungkinan baru, memandang masalah lama dari sudut pandang yang baru membutuhkan imaginasi kreatif dan menandai kemajuan nyata dalam sains. Pentingnya pengajuan masalah atau pengajuan pertanyaan dalam pemecahan masalah matematik antara lain terlukis dalam saran Polya (1994 dalam Sumarmo, 2005) untuk membantu siswa dalam mengatasi kesulitan mereka ketika menyelesaikan masalah, yaitu: a) berikan pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalah, b) bantu siswa menggali pengetahuannya dan menyusun pertanyaan pada dirinya sendiri sesuai dengan kebutuhan masalah, c) berikan isyarat yang bermakna untuk menyelesaikan masalah dan bukan langkah-langkah menyelesaikan masalah, d) bantu siswa mengatasi kesulitannya sendiri. Pentingnya MPP juga terkandung dalam pernyataan Ellerton dan Clarkson (1996) bahwa pengembangan kemampuan matematik membutuhkan kemampuan berimaginasi kreatif matematik yang antara lain terkembangkan ketika memunculkan pertanyaan baru, menciptakan peluang baru, dan memandang pertanyaan lama dari sudut pandang baru. Rasional tentang perlu dan pentingnya pengembangan kemampuan MPP pada siswa, mahasiswa calon guru, dan guru matematika tersirat dalam saran NCTM (2000) yang menganjurkan bahwa siswa harus dilatih untuk merumuskan masalah atau pertanyaan berdasarkan situasi yang disajikan baik dalam atau di luar matematika. Siswa juga disarankan agar diberi kesempatan menyusun sendiri masalah atau pertanyaan, menemukan konjektur, serta menggeneralisasi dan memperluas masalah dengan cara menyusun pertanyaan berikutnya dari pertanyaan yang sudah ada dan kemudian menyelesaikan masalah yang diajukannya. Pentingnya kemampuan 1
menyusun masalah, soal, atau pertayaan dalam pembelajaran matematika sesuai dengan salah satu saran dari Berman (Costa, Ed. 2001) yaitu: ajarkan kepada siswa cara bertanya atau menyusun pertanyaan yang baik dan bukan melatih siswa cara menjawab atau menghapal cara penyelesaian masalah. Melalui analisis yang cermat terhadap pertanyaan atau masalah yang diajukan siswa maka guru akan memperoleh gambaran kedalaman dan keluasan pengetahuan matematika yang berkaitan dengan masalah matematik yang diajarkannya. Dalam pendekatan pembelajaran matematika apapun guru matematika harus menyajikan soal, masalah, atau pertanyaan matematik yang mendorong siswa belajar, menstimulus siswa berpikir kritis dan kreatif. Misalnya, dalam pendekatan pembelajaran kontekstual dan pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran matematika di awali dengan penyajian masalah kontekstual yang sesuai dengan konsep matematika yang akan diajarkan dan sesuai dengan pengetahuan matematika yang telah dimiliki siswa. Kemudian selama pembelajaran, guru juga harus memilih soal, masalah, atau tugas latihan matematika yang relevan dengan kemampuan matematik yang akan dikembangkan. Bila masalah matematik yang diajukan kurang baik, lebih bersifat prosedural, atau kurang mendorong siswa berpikir lebih lanjut maka siswa hanya akan memiliki pengetahuan yang prosedural atau mekanikal saja dan kurang peluang untuk memiliki kemampuan matematik tingkat tinggi (high order mathematical thinking). Selain MPP yang berkaitan dengan MPS, pada dasarnya dalam proses belajar mengajar matematika, guru pasti mengajukan soal atau masalah matematik kepada siswanya baik ketika akan memahamkan masalah atau ketika siswa melaksanakan latihan untuk memahami konsep matematika tertentu. Kualitas soal atau masalah yang diajukan oleh guru akan mempengaruhi kemampuan berpikir matematik siswa. Sebagai contoh misalnya, bila guru memberikan latihan soal atau masalah yang bersifat rutin maka siswa hanya akan mehamami konsep matematika secara hapal, prosedural, mekanikal, atau komputasional saja. Namun bila guru memberikan atau menyajikan soal atau masalah yang menantang dan menuntut siswa berpikir maka situasi tersebut memberi peluang lebih besar kepada siswa untuk berpikir lebih tinggi misalnya berpikir kritis, kreatif, reflektif, dan intuitif. Uraian tersebut, melukiskan pentingnya guru matematika memiliki kemampuan MPP atau pengajuan masalah matematik yang baik. Salah satu pakar, da Ponte dan Henriques (2013), menguraikan pendapat Silver dan English sebagai berikut. Silver mengemukakan bahwa MPP mendorong berpikir matematik siswa. Demikian pula English mengemukakan bahwa MPP mendorong dan memperkaya konsep dasar matematik siswa, menggenerasi berpikir lebih luwes dan lebih beragam serta mengembangkan kemampuan MPS siswa. Selanjutnya, Silver dan English menyatakan bahwa siswa yang bekerja dengan MPP mengembangkan sikap positif terhadap matematika, menjadi lebih bertanggung kawab dan termotivasi untuk belajar. Dari sudut pandang pembelajaran, MPP dapat menjadi alat untuk mengakses pemahaman guru dalam mengembangkan proses kognitif siswa, menemukan miskonsepsi, dan memperoleh informasi tentang tingkat belajar siswa untuk memajukan proses belajar-mengajar. Selain dari itu, beberapa studi menemukan bahwa proses kognitif yang memuat kegiatan siswa menyusun MPP ketika mereka menyelesaikan masalah mendorong kemampuan MPP yang produktif. Sejumlah pakar mengemukakan bahwa kemampuan MPP berelasi dengan kemampuan matematik lainnya, misalnya dengan pemahaman konsep matematik (English, 1997 dalam Harpen dan Presmeg, 2013), dengan kemampuan berpikir kreatif matematik (Cai dan Cefarelli, 1994, Silver, 1994, 1997, Singer, dan Mascovisi, 2008, 2
dalam Bonotto, 2013). Silver (1998, dalam Bonotto, 2013) mengemukakan bahwa MPP membantu mengembangkan: berpikir matematik, keterampilan MPS, sikap dan rasa percaya diri dalam belajar matematika dan memecahkan masalah serta memperluas pemahaman konsep matematik. Cai (2003), mengemukakan bahwa MPP adalah salah satu komponen kunci dari eksplorasi matematik. Dalam inkuri sains, merumuskan suatu masalah dengan baik adalah lebih signifikan dari pada menemukan solusi masalah yang bersangkutan. Oleh karena itu, memusatkan pada cara siswa melakukan MPP membantu menemukan cara berpikir siswa dipandang dari berbagai persepektif. Dalam problem posing terkandung kegiatan menyusun masalah baru, atau mereformulasi masalah semula berdasarkan serangkaian data atau informasi yang disajikan. Ditinjau dari banyaknya kemungkinan respons atau jawab dan kualitasnya, tugas MPP bersifat open-ended yang berarti terdapat beragam respons dan beragam kualitas respons. Tiap individu dapat memberikan banyak respons dengan kualitas yang sama atau mungkin juga dengan kualitas yang beragam. Selain itu, kualitas masalah yang dihasilkan seorang individu mungkin akan berbeda dengan yang dihasilkan individu lainnya, bergantung pada seluas mana penguasaan konsep matematik yang berelasi dengan masalah yang bersangkutan. Individu dengan kemampuan matematik yang baik atau kuat diperkirakan akan menghasilkan MPP yang lebih banyak, lebih beragam, dan lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan MPP dari siswa dengan kemampuan matematik yang lebih rendah. Perkiraan tersebut dapat dipahami karena individu dengan kemampuan matematik yang tinggi mampu mengkaitkan pengetahuan matematika yang telah dimilikinya dan memunculkan pertanyaan yang bagus, non rutin, dan menantang. Berkaitan dengan analisis tersebut, maka pengembangan kemampuan MPP pada siswa, mahasiswa calon guru, dan guru matematika menjadi sangat relevan dan perlu diusahakan pelaksanaannya. Menurut Jay dan Perkins, 1997 dalam Harpen dan Sriraman, 2013), kegiatan menemukan dan memformulasi masalah merupakan aspek kunci dalam berpikir kreatif matematik dan keterampilan kreatif dalam bidang lainnya, bahkan lebih penting daripada menyelesaikan masalah. Silver (1997 dalam Harpen dan Presmeg, 2013) dan Harpen dan Sriraman (2013) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika yang memuat tugas dan kegiatan MPP dan MPS akan membantu siswa mengembangkan dimensi kreatif matematiknya, yaitu kelancaran, keluwesan dan keaslian (Presmeg, 1986, Torrance, 1988, dalam Xianwei dan Sriraman, 2012). Pakar lain, Bonotto (2013) mengemukakan bahwa MPP memberi peluang untuk menginterpretasi dan menganalisis suatu realita secara kritis sehingga: a) siswa dapat membedakan data yang signifikan dari yang tidak nyata; b) mereka menemukan relasi antar data tersebut; c) mereka menetapkan informasi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah; d) mereka menemukan data numerik dan atau data konstekstual yang koheren.
B. Pengertian Mathematical Problem Posing Suatu kondisi atau situasi dikatakan sebagai suatu problem atau masalah bila penyelesaian kondisi tersebut tidak segera dapat ditemukan. Ditinjau dari segi sifatnya, masalah dapat bersifat tertutup atau disebut masalah tertutup (closed problem), dan masalah dapat bersifat terbuka atau disebut masalah terbuka (opened problem). Suatu masalah dikatakan tertutup bila memiliki satu jawaban dan atau satu cara penyelesaian. Masalah dikatakan terbuka bila memiliki beragam cara penyelesaian dan atau jawaban atau solusi. Ditinjau dari segi susunan komponennya, masalah dapat 3
bersifat terstruktur baik (well structured) dan kurang terstruktur (ill structured). Suatu masalah dinamakan well structured bila seluruh komponen yang diperlukan untuk penyelesaian masalah sudah tersedia, sedang masalah dinamakan ill-structured bila untuk penyelesaian masalah diperlukan data, unsur, atau informasi lain terlebih dahulu. Untuk memajukan berpikir kritis dan kreatif siswa, melengkapi data yang diperlukan, dan memilih alternatif strategi penyelesaian disertai alasannya sebaiknya siswa banyak dihadapkan pada masalah terbuka (opened-problem) dan masalah yang kurang terstruktur (ill-structured). Berikut ini disajikan beberapa contoh masalah tertutup, masalah terbuka, masalah terstruktur, dan masalah kurang terstruktur. 1) Contoh masalah tertutup (closed problem). a) Tentukan gradien garis singgung di titik x = c terhadap fungsi f dengan f(x)= x3 + 1. Cara penyelesaian dan solusi masalah ini tunggal yaitu: Persamaan gradien garis singgung di titik x= c terhadap f(x)= x 3 + 1, adalah turunan pertama f di x=c yaitu f ‘(c)= 3c2. b) Diketahui ABC dengan cos A = ½. Hitung besar sudut A. Penyelesaian masalah dan solusinya tunggal yaitu sebagai berikut. cos A = ½ jadi A = ± 600 + k. 3600. Karena A sudut dalam segitiga maka A = 600 2) Contoh masalah terbuka (opened problem). a) Hitunglah akar-akar persamaan ax2 + bx + c = 0 Cara penyelesaian masalah ini dapat dengan rumus abc atau dengan cara memfaktorkan, dan solusinya beragam bergantung pada nilai diskriminan (D) persamaan ax2 + bx + c = 0. Akan diperoleh dua solusi yang berbeda bila D > 0, diperoleh satu solusi tunggal bila D = 0, dan tidak ada solusi bila D < 0. Ditinjau dari segi tingkat kesukarannya, meskipun masalah ini tergolong masalah terbuka namun dari segi proses penyelesaiannya tergolong sederhana dan rutin. b) Tentukan ekstrim dan jenisnya fungsi f dengan persamaan f(x) = 2x2 - 3x + 1. Cara penyelesaian masalah ini beragam yaitu: b.1) Dengan menggunakan syarat ekstrim suatu fungsi yaitu turunan pertama dan turunan kedua sebagai berikut f’(x) = 0 atau f ‘ (x) = 4x – 3 = 0 atau x = ¾ 1 f ”(x) = 4 > 0. Jadi f(¾) = 2 (¾)2 - 3(¾) + 1= - /8 adalah ekstrim minimum. b.2) Dengan menggunakan syarat ekstrim suatu fungsi yaitu turunan pertama dan perubahan tanda furunan pertama, sebagai berikut: f ‘ (x) = 4x – 3 = 0 atau x = ¾ - - + + + x=¾ Bila x ¾ maka f ‘(x) 0 berarti f turun Bila x > ¾ maka f ‘(x) > 0 berarti f naik Jadi pada titik x = ¾ terjadi perubahan fungsi turun ke fungsi naik. Ini 1 berarti pada x = ¾ terjadi ektrim minimum yaitu f(¾) = - /8 b.3) Dengan mengubah f(x) = 2x2 - 3x + 1 ke dalam bentuk kuadrat sebagai 1 berikut: f(x) = 2x2 - 3x + 1 = 2 (x- ¾) 2 + 1 – 2. (¾)2= 2 (x- ¾) 2 - /8 1 Jadi f mencapai ekstrim di x = ¾ dengan ekstrim minimum f(¾) = - /8 . 4
Masalah ini mempunyai beberapa cara penyelesaian namun solusinya tunggal. Masalah seperti ini tergolong terbuka dan dari segi cara penyelesaiannya dapat sederhana atau sukar bergantung pada kekompleksan bentuk persamaan fungsi f. 3. Contoh masalah terstruktur (well structured) Contoh pada no 1 dan no 2 di atas adalah contoh masalah terstruktur karena dapat segera diselesaikan tanpa menambah informasi tambahan atau penyelesaian antara. 4. Contoh masalah kurang terstruktur (ill structured) Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuk 8 cm. Hitunglah jarak F ke bidang ACH. Masalah ini tergolong kurang terstruktur (ill structured) karena tidak dapat segera diselesaikan, harus digambar dulu sketsa situasi di atas dan digambar dulu jarak yang ditanyakan dan kemudian baru dilakukan perhitungan jarak tersebut. Satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, gambar kubus ABCD. Kedua, untuk H G menghitung jarak F ke bidang ACH berarti titik F harus E F diproyeksikan ke bidang ACH yaitu menggambar garis dari F tegak lurus bidang ACH. D
C Q
A F
B
S
H
H R B D
8
Q 4V2 D A D D
Pada bidang BDHF, Q titik tengah BD. Tarik FR tegak lurus HQ pada bidang BDHF AC tegak lurus BD dan AC tegak lurus BF. Jadi AC tegak lurus bidang BDHF. Jadi AC tegak lurus FR FR tegak lurus AC dan FR tegak lurus HQ. Jadi FR tegak lurus bidang ACH. Jadi FR adalah jarak F ke bidang ACH. HQ = (64 +32) = 96 = 4 6 Pada segitiga HFQ, FS = HS =42 dan QS = 8. FR x QH = FH x QS FR x 46 = 82 x 8. 16 Jadi FR = (642) : 46 = /3 3 16 Jadi jarak F ke bidang ACH adalah FR = /3 3
Dalam beberapa studi, istilah problem posing didefinisikan dalam perspektif yang berbeda. Beberapa artikel memuat beberapa istilah yang berelasi dengan istilah problem posing yaitu: problem finding (menemukan masalah), problem sensing (merasakan adanya masalah), problem formulating (merumuskan masalah), creative problem discovery (menemukan masalah kreatif), problem creating (mengkreasi masalah), problematizing (menyusun masalah), dan problem envisaging (membayangkan masalah) (Diltone, 1982, Yaj and Perkins 1997 dalam Singer dan Voica, 2013). Bila dicermati lebih seksama, istilah-istilah problem posing tersebut memuat arti mengekstraksi atau mengidentifikasi masalah baru atau pertanyaan baru dari serangkaian data atau informasi yang tersedia. Problem posing dipandang sebagai penekanan pada formulasi masalah kunci yang akan memicu kegiatan matematik yang lebih luas dan produktif daripada menyelesaikan masalah untuk menemukan 5
solusinya. Problem posing juga dipandang sebagai proses mengajukan pertanyaan yang memicu berlangsungnya kegiatan matematik dan menghasilkan pertanyaan kunci dan pertanyaan sekunder berikutnya Pakar lain, mendefinisikan problem posing sebagai menurunkan masalah (Dunker, 1945; Silver, 1994 dalam Bonotto, 2013), sebagai mereformulasi masalah lama ke dalam bentuk baru, dari informasi yang disajikan kemudian mengkreasi masalah baru dalam bentuk yang lebih terstruktur (English dalam Bonotto, 2013). English mengartikan problem posing sebagai bentuk kegiatan kreatif individu yang berlangsung dalam suatu konteks yang berhubungan dengan pengalaman masa lalu yang kemudian terjadi interaksi antara individu dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Pandangan tersebut, memuat arti bahwa investigasi matematik memberi peluang besar untuk memunculkan problem posing (da Ponte dan Matos, 1992, dalam da Ponte dan Henriques, 2013) Bonotto (2013) memandang MPP sebagai proses yang berdasarkan pengalaman matematikanya siswa mengkonstruk interpretasi situasi konkrit yang dihadapinya dan memformulasi masalah matematika yang bermakna (Stoyanova dan Ellerton, 1996, dalam Bonotto 2013). Dengan demikian MPP memberi peluang untuk menginterpretasi dan menganalisis suatu realita secara kritis sehingga: a) siswa dapat membedakan data yang signifikan dari yang tidak nyata; b) mereka menemukan relasi antar data tersebut; c) mereka menetapkan informasi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah; d) mereka menemukan data numerik dan atau data konstekstual yang koheren. Beberapa pakar mengemukakan bahwa MPP memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan menyelesaikan soal ceritera. Selanjutnya, English (1998, dalam Bonotto, 2013) menambahkan bahwa MPP memajukan berpikir siswa, ketrampilan problem solving, dan memperluas pemahaman konsep matematika siswa. Beberapa peneliti menerapkan kegiatan MPP dan MPS untuk memajukan dan mengevaluasi kreativitas matematik. Silver (1994, dalam Bonotto, 2013) mengklasifikasi problem posing yang dikaitkan dengan tahap-tahap problem solving yang dikemukakan Polya yaitu: problem posing sebelum, selama, dan sesudah penyelesaian masalah. Problem posing sebelum penyelesaian masalah, adalah masalah yang digenerasi dari situasi atau kondisi tertentu (suatu ceritera, suatu gambar, suatu representasi dst.) Problem posing selama pemecahan masalah adalah penyederhanaan masalah atau merinci masalah asal ke dalam sub-masalah dalam rangka menyelesaikan masalah asal. Problem posing sesudah penyelesaian masalah adalah mengembangkan masalah baru dengan cara memodifikasi situasi masalah lama dengan menambahkan situasi baru. Berkaitan dengan proses problem solving, Polya (1994) memberikan arahan pada tiap langkah penyelesaian masalah melalui, pertanyaan, tugas, atau problem posing sebagai berikut. 1) Problem posing ketika memahami masalah. Kegiatan ini dapat dipandu melalui beberapa pertanyaan: a) Data apa yang tersedia?; b) Apa yang tidak diketahui dan atau apa yang ditanyakan?; c) Bagaimana kondisi soal? Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam bentuk persamaan atau hubungan lainnya? Apakah kondisi yang ditanyakan cukup untuk mencari yang ditanyakan? Apakah kondisi itu tidak cukup atau kondisi itu berlebihan atau kondisi itu saling bertentangan? 2) Problem posing pada kegiatan merencanakan atau merancang strategi pemecahan masalah. Kegiatan ini dipandu melalui beberapa pertanyaan: a) Pernahkah ada soal serupa sebelumnya. Atau pernahkah ada soal serupa atau mirip dalam bentuk lain?; c) Teori mana yang dapat digunakan dalam masalah ini; d) Pernahkah ada pertanyaan yang sama atau serupa? Dapatkah pengalaman dan atau cara lama 6
digunakan untuk masalah baru yang sekarang? Dapatkah metode yang cara lama digunakan untuk masalah baru? Apakah harus dicari unsur lain? Kembalilah pada definisi; e) Andaikan strategi belum ditemukan, coba pikirkan soal serupa dan selesaikan. 3) Problem posing selama kegiatan melaksanakan strategi dan perhitungan. Kegiatan ini meliputi: a) melaksanakan rencana strategi pemecahan masalah pada butir; b) memeriksa tiap langkahnya. Periksalah apakah tiap langkah perhitungan sudah benar; c) Bagaimana membuktikan atau memeriksa bahwa langkah yang dipilih sudah benar? 4) Problem posing pada kegiatan memeriksa kembali kebenaran hasil atau solusi. Kegiatan ini diidentifikasi dengan: a) Bagaimana cara memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh?; b) Dapatkah diajukan sanggahannya?; c) Dapatkah solusi itu dicari dengan cara lain?; d) Dapatkah hasil atau cara itu digunakan untuk masalah lain? Problem posing yang termuat dalam pedoman Polya di atas, dapat berbentuk pertanyaan atau dalam bentuk tugas atau perintah yang membantu menyelesaikan masalah yang bersangkutan. Dengan kata lain individu diminta menyusun pertanyaan, perintah atau sub-masalah untuk membantu menyelesaikan MPS. Dihubungkan dengan problem solving, Leung (1994) mengemukakan MPP sebagai memformulasi masalah baru atau memformulasi kembali (reformulation) masalah lama menjadi masalah baru atau unik (novel problem). Selanjutnya ia membahas empat karakteristik MPP. Pertama, MPP dapat bersifat idiosyncratic. Ketika seseorang menghadapi informasi yang diberikan kemudian ia mengajukan pertanyaan atau masalah dengan cara menghubungkan informasi tersebut ke satu tujuan tertentu. Misalnya, informasi yang diberikan adalah: “Di satu kelas terdapat 10 anak laki-laki dan 20 anak perempuan”. Seseorang mengajukan pertanyaan, “ Berapa banyak anak di kelas tersebut?” orang yang lain mengajukan pertanyaan: “Berapa rasio antara anak laki-laki dan anak perempuan?”. Kedua, MPP memuat penalaran yang masuk akal. Misalnya, “Andaikan anak laki-laki ada 12 orang dan banyaknya anak di kelas sama, berapa rasio antara anak laki-laki dan anak perempuan?”. Ketiga, MPP dapat diajukan pada awal, selama, dan sesudah penyelesaian masalah; Misalkan, setelah mengajukan masalah dan memperoleh jawaban banyaknya anak di kelas, diajukan MPP setelah penyelesaian masalah: “Berapa persen banyaknya anak laki-laki di kelas tersebut?” Keempat, masalah yang diajukan tidak memiliki solusi, karena data tidak cukup atau tidak mungkin. Misalnya: Andaikan 25 botol susu dibagikan kepada 10 anak laki-laki dan 20 anak perempuan dan tiap anak mendapat satu botol. Berapa banyak botol susu yang tersisa?”. Leung (1994) dengan merujuk studi Kilpatrick (1978, dalam Leung, 1994) dalam MPS, ia membahas MPP berdasarkan variabel tugas dan subyek. Misalnya, MPP berdasarkan variabel tugas konten tertentu seperti soal ceritera tentang operasi perkalian dan pembagian atau menyusun MPP yang sederhana atau yang sulit tentang persen. Peneliti lain (Tsubota, 1987 dalam Leung, 1994) mengemukakan bahwa terdapat enam jenis MPP dalam variabel tugas yaitu: algoritma, teks, gambar atau tabel, topik matematika, jawab/solusi dan masalah matematika. Beberapa variabel subyek dalam MPP di antaranya adalah: gender, kemampuan, kelompok budaya, dan tingkat kelas siswa. Dalam pembelajaran sehari-hari, variabel jenjang kelas siswa sering dihadirkan oleh guru sebagai variabel subyek. Oleh karena itu, guru dalam menyusun MPP perlu memahami tugas yang sesuai untuk siswa pada jenjang kelas tertentu dan sesuai dengan tujuan kurikuler dalam konten matematika tertentu. Berikut ini disajikan beberapa contoh jenis MPP berdasarkan variabel tugas. 7
Diberikan informasi harga satu buku matematika Rp. 30.000,00 dan satu buku IPA Rp. 35.000,00. Susunlah beberapa pertanyaan atau masalah berkaitan dengan informasi di atas. 1) Contoh MPP dengan variabel tugas: algoritma Berapa harga yang harus dibayar untuk membeli 2 buah buku matematika dan 3 buku IPA? MPP tersebut berkaitan dengan algoritma operasi perkalian dan penjumlahan. MPP tersebut memadai untuk siswa SD kelas 3 SD, namun MPP tersebut terlalu sederhana untuk siswa kelas 6 SD. 2) Contoh MPP dengan variabel tugas: gambar atau tabel. Susunlah tabel kemungkinan banyaknya buku matematika dan banyaknya buku IPA yang dapat dibeli dengan uang Rp. 400.000,00 dalam bentuk tabel atau gambar. MPP bersifat opened-problem, situasi masalah bebas, well-structured, viable (ada solusi), dengan tingkat kesulitan memadai untuk siswa SMP. 3) Contoh MPP dengan variabel tugas: teks. Manakah yang lebih banyak uang yang harus disediakan antara untuk membayar 4 buku matematika dan 2 buku IPA dan untuk membayar 3 buku matematika dan 3 buku IPA. MPP di atas dalam bentuk teks (ceritera) yang memuat algoritma operasi kali, tambah, dan membandingkan. 4) Contoh MPP dengan variabel tugas: konten atau topik matematika Berapa perbandingan harga buku matematika dan harga buku IPA? MPP di atas berkenaan dengan topik matematika proporsi, atau perbandingan. MPP ini tergolong tertutup, well-structured, dan tergolong sederhana. 5) Contoh MPP dengan variabel tugas: solusi/masalah matematika Harga 2 buku matematika dan 3 buku IPA lebih murah dari harga 3 buku matematika dan 2 buku IPA. Benarkah pernyataan di atas? Coba jelaskan. (masalah matematika, menilai kebenaran suatu pernyataan) Dalam hal kondisi atau situasi yang dihadapi berbentuk serangkaian data atau informasi dan belum memuat masalah atau tugas yang jelas, maka problem posing yang diajukan dapat merupakan problem finding, problem sensing, problem formulating, creative problem discovery, problem creating, problematizing, problem envisaging, mengidentifikasi masalah baru atau pertanyaan baru, menurunkan masalah, atau mereformulasi masalah lama ke dalam bentuk baru dari informasi yang disajikan (Stoyanova dan Ellerton, 1996, dalam Bonotto, 2013). Ditinjau dari situasi dalam MPP, Stoyanova dan Ellerton (1996, dalam Bonotto, 2013) mengidentifikasi tiga jenis situasi problem posing yaitu: free (bebas), semi-structured (semi-terstruktur), atau structured (terstruktur). Dalam situasi MPP bebas, siswa dihadapkan pada data atau informasi yang terlepas dan siswa diminta mengajukan masalah tanpa batas, ia dapat mengajukan masalah yang sukar atau yang mudah sesukanya. Situasi MPP yang semi-terstruktur melukiskan situasi terbuka yaitu informasi yang tidak lengkap kemudian siswa diminta mengeksplor struktur situasi tersebut, serta melengkapinya dengan menggunakan pengetahuannya, ketrampilannya, 8
konsep, dan hubungannya dengan pengalaman matematik sebelumnya. Situasi MPP yang terstruktur melukiskan situasi dengan informasi lengkap dan siswa diminta mengajukan masalah dengan merefomulasi masalah yang sudah terselesaikan atau meragamkan kondisi atau pertanyaan dari masalah yang diberikan. Berikut ini diberikan contoh ketiga jenis situasi problem posing yang diajukan dalam studi Harpen dan Presmeg (2013). 1) Contoh situasi MPP bebas: Terdapat 10 siswa perempuan dan 10 anak laki-laki berdiri berderetan. Susunlah masalah sebanyak yang kamu dapat dari informasi tersebut. Contoh situasi MPP bebas hampir serupa dengan contoh masalah terbuka yang menghasilkan solusi (respons atau MPP) yang sangat beragam mulai dari yang paling sederhana (MPP yang idiosyncratic) sampai dengan yang kompleks. 2) Contoh situasi MPP semi-terstruktur: Berikut ini disajikan gambar sebuah segitiga dan lingkaran dalamnya. Susunlah masalah sebanyak yang kamu dapat berdasarkan gambar tersebut. Dalam situasi ini sudah ada hubungan antara informasi yang diberikan, informasi hubungan tersebut belum eksplisit. Situasi MPP semi-terstruktur serupa dengan kondisi pada masalah yang kurang terstruktur (ill-structured). Untuk mencari solusi MPP yang diajukan harus ada tambahan informasi baru yang berkaitan dengan MPP yang bersangkutan. 3) Contoh situasi MPP terstruktur: Kemarin malam ada pesta di rumah teman dan bel berbunyi sebanyak 10 kali. Pada bel pertama hanya seorang tamu yang datang. Tiap bel berbunyi terdapat tiga tamu lebih banyak dari tamu yang datang sebelumnya. i) Berapa banyak tamu yang datang pada bunyi bel kesepuluh? ii) Susunlah sebanyak pertanyaan yang kamu dapat susun berelasi dengan masalah tersebut. MPP pada i) dapat segera diselesaikan berdasarkan informasi yang diberikan, dan respons MPP pada ii) mungkin ada bersifat idiosyncratic, ada yang diajukan sebelum, selama, dan sesudah MPS, dan mungkin ada yang tidak dapat diselesaikan atau tidak ada solusinya. Setelah siswa menyusun MPP dari ketiga situasi (bebas, semi-terstruktur, dan terstruktur) MPP dianalisis kelayakannya yaitu MPP yang mempunyai solusi dan dilengkapi dengan informasi yang cukup. Untuk MPP yang tidak memenuhi kriteria maka MPP tersebut dieliminasi pada analisis selanjutnya. Misalnya siswa mengajukan MPP pada tugas 1): i) Berapa banyak anak-anak yang berdiri berderetan? (soal sangat sederhana); ii) Andai siswa diminta berdiri dalam dua baris, berapa banyak siswa perempuan pada baris pertama? Tanpa informasi lain untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pada tugas-2): Berapa luas daerah lingkaran dalam atau luas daerah segitiga? Tanpa informasi ukuran jejari lingkaran atau ukuran sisi-sisi segitiga. Contoh-contoh MPP di atas diklasifikasikan sebagai MPP yang tidak layak oleh karena itu dieliminasi dalam analisis berikutnya. Pada analisis selanjutnya, kualitas MPP yang diajukan siswa dianalisis berdasarkan dimensi kreatif: kelancaran, keluwesan, dan keaslian. Kelancaran MPP menunjukkan banyaknya MPP yang diajukan seorang siswa. Keluwesan MPP menunjukkan banyaknya katagori MPP yang berbeda yang diajukan siswa. Keaslian MPP ditetapkan berdasarkan kelangkaan MPP yang diajukan siswa. Dalam studi ini MPP diklasifikasikan asli bila MPP tersebut diajukan oleh kurang dari 10% dari seluruh siswa. 9
Contoh lain dari ketiga jenis situasi masalah dikemukakan Stoyanova (1998, dalam Harpen dan Sriraman, 2013) sebagai berikut. 1) Contoh situasi masalah bebas: Susunlah beberapa masalah yang berkaitan dengan segitiga siku-siku. 2) Contoh situasi masalah semi-terstruktur: Kemarin malam ada pesta di rumah teman dan bel berbunyi sebanyak 10 kali. Pada bel pertama hanya seorang tamu yang datang. Tiap bel berbunyi terdapat tiga tamu lebih banyak dari tamu yang datang pada bunyi bel sebelumnya. i) Berapa banyak tamu yang datang pada bunyi bel kesepuluh? ii) Susunlah sebanyak pertanyaan yang kamu dapat berelasi dengan masalah tersebut. Catatan: Contoh situasi MPP pada no 2) di atas dalam studi Harpen dan Presmeg (2013), digolongkan pada situasi MPP terstruktur. 3) Contoh situasi MPP terstruktur: Beberapa bilangan bulat disusun seperti berikut 1 234 56789 10 11 12 13 14 15 16 17 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25 i) Tuliskan bilangan ketiga dari kiri pada baris ke-89 pada pola bilangan segitiga di atas. ii) Tulislah beberapa pertanyaan bermakna yang lainnya. Contoh lain dari ketiga jenis situasi masalah dikemukakan dalam studi Harpen dan Sriraman (2013) sebagai berikut. 1) Contoh situasi MPP bebas: Terdapat 10 perempuan dan 10 anak laki-laki berbaris dalam satu baris. Susunlah sebanyak mungkin pertanyaan dari informasi tersebut. 2) Contoh situasi MPP semi-terstruktur: Diberikan suatu segitiga dan lingkaran dalamnya seperti pada gambar di bawah ini. Susunlah sebanyak mungkin pertanyaan yang berelasi dengan gambar tersebut. Pertanyaan dapat pula sebagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Jangan batasi jawabanmu pada pertanyaan yang pernah kamu lihat atau dengar, dan usahakan sebanyak mungkin pertanyaan dan pertanyaan yang menantang. Contoh ini serupa dengan contoh pada studi Harpen dan Presmeg (2013), namun contoh di atas lebih rinci tugas pertanyaannya. 3) Contoh situasi MPP yang terstruktur: Kemarin malam ada pesta di rumah teman dan bel berbunyi sebanyak 10 kali. Pada bel pertama hanya seorang tamu yang datang. Tiap bel berbunyi terdapat tiga tamu lebih banyak dari tamu yang datang pada bunyi bel sebelumnya. i) Berapa banyak tamu yang datang pada bunyi bel kesepuluh? ii) Susunlah sebanyak pertanyaan yang kamu dapat berelasi dengan masalah tersebut. Catatan: Contoh situasi MPP pada no 3) di atas dalam studi Harpen dan Presmeg, (2013) digolongkan pada situasi MPP semi terstruktur. Memperhatikan beberapa contoh atau instrumen yang digunakan dalam beberapa studi, terdapat keserupaan tugas MPP yang diajukan. Keadaan tersebut sangat mungkin karena beberapa studi mengacu pada sumber yang sama. Misalnya dalam tugas menyusun MPP dengan stituasi: bebas, semi-terstruktur, dan terstruktur mengacu pada studi Stoyanova (1998, dalam Bonoto, 2013). Stoyanova dan Ellerton 10
(1996, dalam Bonotto, 2013) memandang problem posing sebagai proses di mana berdasarkan pengalaman lamanya, siswa mengkonstruksi interpretasi situasi konkrit dan memformulasikannya menjadi MPP yang lebih terstruktur. Dalam jenis situasi bebas, tugas problem posing bersifat terbuka, dan problem posing yang dihasilkan memiliki keragaman tingkat kognitif mulai dari yang sangat sederhana sampai dengan yang kompleks. Tingkat kekompleksan MPP yang dihasilkan bergantung pada kedalaman penguasaan konten dan proses matematik individu yang bersangkutan. Studi Ellerton (1986, dalam Bonotto, 2013) menemukan bahwa siswa yang pandai dalam matematika dapat menyusun MPP yang memuat perhitungan yang lebih sukar misalnya memuat perhitungan yang lebih kompleks dibandingkan MPP yang disusun oleh siswa yang kurang pandai. Pakar lain, (Presmeg, 1986, Silver, 1997, Torrance, 1988 dalam dalam Bonotto, 2013) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika yang memuat tugas dan kegiatan MPP dan MPS akan membantu siswa mengembangkan dimensi kreatif matematiknya misalnya kelancaran, keluwesan dan keaslian. Berdasarkan uraian tentang pengertian problem posing dari sejumlah pakar, berikut ini dirangkumkan beberapa pengertian mathematical problem posing disertai contoh berkenaan dengan topik matematika dan jenis kemampuan matematik atau proses berpikir matematik tertentu. 1) Mathematical problem finding (menemukan masalah): mengidentifikasi masalah/ pertanyaan atau masalah/pertanyaan baru; mengajukan masalah/pertanyaan kunci, dan masalah/pertanyaan sekunder dan tersier berikutnya dari serangkaian informasi yang diberikan. Contoh: Mathematical Problem finding (menemukan masalah matematik) Dalam contoh ini disajikan masalah matematika dengan situasi masalah yang terstruktur dan bersifat tertutup (memiliki satu jawab tertentu) Perhatikan argumen di bawah ini. Dalam suatu kotak tertutup A terdapat 6 buah kelereng merah dan 12 kelereng putih. Kemudian diambil 12 kelereng sekali gus. Maka peluang terambil 12 kelereng putih semuanya lebih besar dari peluang terambil 10 kelereng putih dan 2 kelereng merah. Benarkah kesimpulan argumen tersebut? Mengapa? Berikan penjelasan disertai dengan rumus yang digunakan. Tugas menyusun MPP: a) Tuliskan beberapa bentuk lain dari ketiga pertanyaan utama soal di atas yang memiliki makna yang sama (mereformulasi masalah/pertanyaan). b) Temukan sub-masalah atau sub-pertanyaan untuk membantu memeriksa kebenaran kesimpulan argumen di atas (merinci masalah/pertanyaan ke dalam masalah/pertanyaan bagian) c) Andaikan sudah diperoleh solusi soal di atas. Susun pertanyaan lanjutan atau pertanyaan baru yang dapat diajukan untuk informasi di atas (memformulasi masalah/pertanyaan baru). 2) Mathematical problem formulating (merumuskan masalah) dan mathematical problematizing (menyusun masalah matematik): mereformulasi masalah/ pertanyaan lama ke dalam bentuk masalah/pertanyaan baru; mengkreasi masalah baru yang lebih terstruktur; mengkonstruk/memformulasi masalah/pertanyaan melalui interpretasi situasi matematika yang bermakna. 11
Contoh Dalam contoh ini disajikan masalah matematika dengan situasi masalah yang terstruktur dan bersifat tertutup (memiliki satu jawab tertentu) Perhatikan argumen di bawah ini. Jika f (x) = 2 g(x) dalam selang [-3, 4], maka absis ekstrim f dua kali absis ekstrim g. Benarkah kesimpulan di atas? Tugas menyusun MPP: a) Susun beberapa sub-masalah /sub-pertanyaan untuk menjawab pertanyaan utama di atas. b) Susunlah beberapa masalah atau pertanyaan lain yang memiliki sifat serupa dengan kesimpulan argumen di atas. Kemudian susun pula beberapa masalah/pertanyaan yang memiliki sifat yang berbeda dengan sifat kesimpulan argumen di atas. c) Andaikan diminta menghitung nilai f dan g untuk x = 5 disertai alasan yang mendukung jawaban anda. Susun beberapa masalah atau pertanyaan yang memiliki sifat berbeda dengan tugas tersebut. 3) Mathematical problem posing (MPP): Mengajukan masalah/pertanyaan/perintah yang dikaitkan dengan mathematical problem solving (MPS) yaitu: sebelum, selama, dan sesudah MPS. a) MPP sebelum MPS yaitu: mengajukan masalah/pertanyaan/perintah yang digenerasi dari situasi atau kondisi tertentu; b) MPP Problem posing selama MPS yaitu: merinci masalah utama ke dalam sub-masalah untuk menyelesaikan masalah asal. c) MPP sesudah MPS yaitu: mengembangkan masalah baru dengan cara memodifikasi situasi masalah lama dengan menambahkan situasi baru. Contoh Dalam contoh ini disajikan masalah matematika dengan situasi masalah yang terstruktur dan bersifat tertutup (memiliki satu jawab tertentu) Perhatikan soal di bawah ini. Pada empat kali tes matematika Deni mendapat nilai 82, 63, 78, dan 65, sedangkan Wati mendapat nilai 79, 86, 77, dan 88. Tes akan dilakukan satu kali lagi. Nilai B (baik) mensyaratkan rata-rata nilai mulai dari 70 sampai dengan 85 dan A (amat baik) bila rata-rata lebih dari 85 dalam skala 0 100. 1) Nyatakan situasi di atas dalam model matematika yang sesuai. 2) Peluang Deni mendapat nilai B lebih besar dari peluang Wati memperoleh nilai A. Benarkah perkiraan tersebut? Konsep apa yang digunakan dan sertakan proses perhitungannya. Tugas MPP: a) Susun beberapa pertanyaan lain yang memiliki makna yang sama dengan pertanyaan kunci pada no 1) dan no 2) (mereformulasi masalah yang ada) b) Susun beberapa pertanyaan lain yang baru (selain pertanyaan 1) dan no 2)) dari informasi pada soal di atas (MPP baru sebelum MPS) c) Susun beberapa sub-pertanyaan (pertanyaan antara) untuk membantu menjawab pertanyaan kunci pada no 2) (MPP sebelum MPS) 12
d) Susunlah beberapa pertanyaan untuk memeriksa kebenaran langkah pengerjaan pada tugas no b (MPP selama MPS) e) Susun beberapa pertanyaan baru berikutnya setelah memperoleh solusi pada pertanyaan no 2). Boleh dengan menambah informasi baru (MPP setelah MPS) 4) Mathematical problem sensing (merasakan adanya masalah); Mathematical problem envisaging (membayangkan masalah matematik): mengidentifikasi masalah/ pertanyaan/ perintah terhadap informasi atau situasi matematika yang diberikan. Contoh Dalam contoh ini disajikan masalah matematika dengan situasi masalah yang semiterstruktur dan bersifat tertutup (memiliki satu jawab tertentu, dalam hal ini soal dapat diselesaikan namun tidak memiliki solusi) Perhatikan situasi di bawah ini. Diberikan suatu fungsi dengan persamaan f(x) = x2 -2x +5. Berapakah x agar f(x) 3? Tugas MPP: Tuliskan beberapa masalah/pertanyaan yang muncul (termuat) dalam pertanyaan utama di atas, dan sertakan konsep matematika yang termuat dalam masalah-masalah tersebut. 5) Mathematical creative problem discovery (menemukan masalah kreatif), mathematical problem creating (mengkreasi masalah matematik): mereformulasi masalah lama ke dalam bentuk baru; mengkreasi/memformulasi/mengkonstruk masalah/pertanyaan baru; menginterpretasi dan menganalisis suatu realita matematika secara kritis sehingga dapat: membedakan data yang signifikan dari yang tidak nyata; menemukan relasi antar data tersebut; menetapkan informasi yang cocok untuk menyelesaikan masalah; dan menemukan data numerik dan atau data konstekstual yang koheren. Contoh: Dalam contoh ini disajikan masalah matematika dengan situasi masalah yang terstruktur dan bersifat tertutup (memiliki satu jawab tertentu). Namun tugas MPP bersifat opened-ended Perhatikan soal di bawah ini. Diketahui ABCD suatu persegipanjang, dengan perbandingan panjang dan lebarnya adalah 8 : 3 dan memiliki keliling 44 cm. Titik E dan F terletak pada sisi CD, dengan CF =DE = 3 cm. 1) Ilustrasikan situasi tersebut dalam bentuk gambar sehingga mudah dipahami! 2) Susun model matematika untuk menghitung luas daerah ABFE dan selesaikan! Tugas MPP: a) Rumuskan tugas pada no 1. dan no 2. dalam bentuk baru dengan makna yang sama (mereformulasi masalah/pertanyaan lama) 13
b) Susun beberapa sub-masalah/pertanyaan untuk memeriksa kecukupan informasi agar soal dapat diselesaikan (merinci masalah/pertanyaan utama ke dalam masalah/pertanyaan bagiannya). c) Susun beberapa masalah/pertanyaan baru lain berikutnya seandainya pertanyaan no 2 sudah terjawab (menyusun masalah/pertanyaan baru/lanjutan). 6.
MPP yang dikaitkan dengan variabel tugas (algoritma, teks, gambar, tabel, topik matematika, jawab/solusi dan masalah matematika) dan subyek (gender, kemampuan, kelompok budaya, dan tingkat kelas siswa)
Contoh Dalam contoh ini disajikan masalah matematika dengan situasi masalah semiterstruktur, dan bersifat terbuka (memiliki banyak jawab, dalam hal ini soal mungkin dapat diselesaikan mungkin tidak dapat diselesaikan, memiliki banyak cara memperoleh solusi) MPP dikaitkan dengan variabel tugas (topik matematika: grafik garis lurus), dan variabel subyek (tingkat kelas: siswa SMA)
Perhatikan grafik di bawah ini.
Sumbu Y
k m m Sumbu X
O l
Tugas MPP : a) Susunlah beberapa pertanyaan yang sesuai untuk siswa SMA berdasarkan informasi pada grafik di atas (MPP terbuka, tingkat kesukaran bervariasi dapat melibatkan beragam kemampuan/proses berpikir matematik) b) Andaikan pertanyaan pada no a) sudah terjawab, susun beberapa masalah/pertanyaan lanjutan yang berkaitan dengan tiap pertanyaan pada no a) C. Mengembangkan dan Mengukur Kemampuan Mathematical Problem Posing Pada dasarnya kemampuan MPP siswa dapat dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran matematika apapun. Pengembangan kemampuan MPP antara lain dengan memberikan tugas latihan matematik yang baik selama pembelajaran. Tugas matematik tersebut antara lain menyusun pertanyaan/masalah matematik yang relevan dengan konten matematika yang sedang dipelajari, mencapai belajar bermakna, menstimuli kemampuan pemecahan dan penalaran matematik, mendorong motivasi formulasi masalah dan tumbuhnya disposisi matematik, serta 14
menciptakan suasana belajar yang kondusif (Berman dalam Costa, Ed. 2001). Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat Rowland, Huckstep, and Thwaites, 2003, dalam Singer dan Voica, 2013) bahwa dalam pembelajaran matematika guru hendaknya menampilkan tugas pemecahan masalah yang baik atau paling sedikit merumuskan ulang susunan kata dalam suatu soal sesuai dengan tujuan pembelajaran. Guru hendaknya memiliki kemampuan mengajukan masalah atau memodifikasi masalah yang sudah ada untuk memperoleh susunan kata yang lebih sesuai untuk belajar siswa. Hendriana (2002) mengembangkan MPP siswa SMU dengan menerapkan pembelajaran berbalik (reciprocal teaching). Dalam studi ini Hendriana menganalisis MPP dalam hubungannya dengan MPS yaitu MPP sebelum, selama, dan sesudah melakukan MPS (Silver, Mamona-Downs, Leung, Kenney dalam Kadir, 2000). Pemberian skor MPP menggunakan kriteria seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Pemberian skor MPP (Hendriana, 2002) No. 1.
2.
3.
Bentuk dan muatan MPP Respons PP sebelum MPS a) Respons PP berbentuk pernyataan b) Respons PP berbentuk pertanyaan non matematik c) Respons PP berbentuk pertanyaan matematik tidak bersolusi (MPP tidak bersolusi) MPP bersolusi sebelum dan selama MPS a) Kualifikasi rendah (proses solusi sederhana/rutin/prosedural) b) Kualifikasi tinggi (proses solusi kompleks/non rutin) MPP bersolusi setelah MPS (MPP lanjutan) a) Kualifikasi rendah (tanpa informasi baru) b) Kualifikasi tinggi (dengan informasi baru, perlu pemahaman konsep baru)
Skor 0 0 0
1 2 1 2
Beberapa studi (Chang, Wu, Weng, dan Sung, 2012, Elerton, 2013, Harpen dan Sriraman, 2013, Harpen dan Presmeg, 2013, Rosli, Goldsby dan Capraro, 2013, Shriki, 2013) menganalisis dan memberi skor MPP berdasarkan dimensi kreatif matematik. Sebelum kualitas MPP dianalisis lebih rinci berdasarkan dimensi kreatifnya, MPP dianalisis dulu kelayakannya melalui struktur masalah yang termuat dalam MPP tersebut seperti tercantum pada Diagram 1 (disarikan dari: Bonotto, 2013, Silver dan Cai, 1996, dan Yuan dan Sriraman, 2010, dalam Rosli, Goldsby dan Capraro, 2013). Selanjutnya, MPP yang rasional/memiliki solusi (Diagram1, langkah 3) dan dilengkapi dengan informasi yang cukup (Diagram1, langkah 4) dianalisis kesesuaian tingkat berpikir yang termuat dalam MPP yang bersangkutan sesuai dengan tingkat berpikir siswa (Diagram 1, langkah 5). Bila MPP hanya memuat tugas terlalu sederhana untuk siswa tingkat kelas tertentu maka MPP tersebut dieliminasi dalam analisis selanjutnya. Kemudian MPP yang telah memenuhi kelayakan (berbentuk pertanyaan atau masalah matematik yang memiliki solusi, dengan data relevan dan kekompleksan memadai) dianalisis dan diberi skor dimensi kreatifnya berdasarkan dimensi kreatif dari Guilford yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian, dan organisasi atau generalisasi. 15
Respon terhadap tugas problem posing (PP) (1) Problem posing (PP) berbentuk masalah?
Tidak
Berbentuk pernyataan
(2)
(2)
Ya Apakah PP itu masalah matematik (MPP)?
(3)
Tidak
Ya Apakah tingkat berpikir MPP memadai ?
(6)
Tidak
MPP tidak rasional (tidak bersolusi)
Ya Apakah MPP datanya cukup?
(5)
Masalah non matematik (non MPP)
Ya Apakah MPP rasional (ada solusinya) ?
(4)
Tidak
Tidak
MPP datanya tidak cukup .
Tingkat berpikir MPP terlalu rendah
Ya
Analisis kualitas MPP dikaitkan dengan dimensi berpikir kreatif.
Kualitas MPP tidak dinilai
Diagram 1: Analisis kualitas bentuk masalah dari guru/siswa
Analisis kualitas MPP lainya ditawarkan oleh Chang, Wu, Weng, dan Sung (2012). Chang dkk (2012) melakukan studi dengan disain pretest-postest dengan memberikan kegiatan problem posing berbantuan ICT untuk menilai kemampuan MPS dan MPP siswa kelas 5 dan 6 SD. Instrumen untuk mengukur MPP disusun dalam bentuk tugas menyusun soal matematik yaitu: 5 MPP bebas dan 5 MPP semistruktural. Selanjutnya, MPP yang disusun siswa dianalisis berdasarkan dimensi kreatif yaitu: ketepatan, keluwesan, elaborasi, dan keaslian dengan kriteria seperti tercantum pada Tabel 2. Harpen dan Sriraman (2013) melakukan studi dengan subyek siswa SMA kelas 11 dan kelas 12 dari tiga budaya yang berbeda (Amerika, China, dan Jiaozhou). Studi dilaksanakan dengan menggunakan kerangka kerja MPP dalam tiga situasi masalah yaitu: bebas, semi terstruktur, dan terstruktur (Stoyanova, Ellerton, 1996, dalam Harpen dan Sriraman, 2013). Tes MPP dikembangkan berdasarkan studi Stoyanova (1997, dalam Harpen dan Sriraman (2013)) dan Cai (2000, dalam Harpen dan Sriraman (2013)). Pada ketiga tugas situasi masalah, siswa diminta menyusun sebanyak-banyaknya soal sesuai dengan situasi dan informasi yang diberikan. 16
Selanjutnya MPP yang diajukan siswa dianalisis berdasarkan dimensi kreativitas yaitu: kelancaran, keluwesan, dan keaslian. Sebelum MPP dianalisis berdasarkan dimensi kreativitas, MPP yang dianalisis adalah MPP yang berupa pertanyaan matematik yang masuk akal atau mempunyai solusi, disertai dengan informasi yang cukup dan memiliki tingkat kesulitan memadai (MPP yang viable dan nontrivial). Selain itu, MPP yang tidak memenuhi syarat di atas dieliminasi dalam analisis berikutnya. Penilaian ketiga dimensi kreatif MPP didasarkan pada banyaknya MPP yang disusun (kelancaran), pada banyaknya MPP yang berbeda katagori (keluwesan), dan keaslian MPP dinilai berdasarkan kriteria MPP diajukan oleh 10% dari banyaknya peserta tes. Dalam studi ini analisis dimensi kreatif MPP tidak ditujukan pada perorangan siswa, namun untuk kelompok dari ketiga budaya. Pemberian skor dimensi kreatif MPP yang disusun siswa menggunakan kriteria seperti pada Diagram 1 dan Tabel 3. Tabel 2 Kriteria Pemberian Skor Dimensi Kreatif MPP (Dirangkum dari studi Studi Chang dkk, 2013) Dimensi Kreatif Ketepatan
Keluwesan
Elaborasi
Keaslian
Kriteria Dimensi ketepatan MPP dinilai berdasarkan kebenaran MPP yang diajukan. Tiap MPP yang benar/tepat, ketepatannya diberi skor 1, dan MPP tidak benar/tepat diberi skor 0. Dimensi keluwesan MPP dinilai berdasarkan banyaknya ragam MPP berbeda yang diajukan. MPP yang memuat satu masalah berbeda diberi skor 1, dan MPP yang memuat lebih dari satu ragam masalah dinilai lebih luwes dan diberi skor 2. MPP yang tidak benar/tepat, dimensi keluwesannya tidak dinilai. Dimensi elaborasi MPP dinilai dari banyaknya langkah atau proses penyelesaian yang berbeda dalam MPP yang diajukan. MPP yang memuat satu langkah penyelesaian diberi skor 1, dan yang lebih banyak memuat langkah penyelesaian atau lebih kompleks proses penyelesaian diberi skor 2. MPP yang tidak benar/tepat, dimensi elaborasi- nya tidak dinilai. Keaslian MPP dinilai dari banyaknya ragam MPP berbeda yang diajukan oleh sejumlah siswa. Bila suatu MPP diajukan oleh lebih dari 5% dari seluruh siswa, maka MPP tersebut diberi skor 1; bila MPP diajukan oleh 2% - 5% dari seluruh siswa, maka MPP tersebut diberi skor 2, dan bila MPP diajukan oleh kurang dari 2% dari seluruh MPP maka MPP tersebut diberi skor 3. MPP yang tidak benar/tepat dimensi keasliannya tidak dinilai.
Dalam studi Harpen dan Sriraman (2013), dimensi fluency berkaitan dengan istilah viable dan trivial. Suatu MPP yang viable adalah MPP yang sesuai dan informasinya lengkap. Suatu MPP trivial adalah MPP yang jawabannya sudah tergambar langsung dalam informasi yang diberikan. Contoh: Disajikan informasi seperti pada gambar di bawah ini. Misalkan MPP yang diajukan adalah: Berapa luas daerah dalam segitiga di luar daerah lingkaran? MPP tersebut tidak dapat diselesaikan karena informasinya tidak lengkap. MPP seperti itu adalah contoh MPP nonviable, dan dalam analisis selanjutnya MPP tersebut dieliminasi. Setelah MPP nonviable dieliminasi, semua MPP yang viable dianalisis sifat trivialnya. Misalkan diajukan MPP: Andai diameter suatu lingkaran adalah 32, berapakah 17
kelilingnya? Dengan menggunakan rumus keliling lingkaran, MPP tersebut langsung dapat dijawab, yaitu 32π. MPP seperti di atas adalah contoh MPP yang trivial, dan dalam analisis selanjutnya MPP yang trivial juga dieliminasi. Selanjutnya, skor dimensi fluency (kelancaran) MPP dinyatakan dalam persentase banyaknya MPP viable dan nontrivial terhadap banyaknya MPP yang diajukan. Tiap MPP yang viable dan nontrivial, dimensi kelancaran MPP diberi skor 1. Sedangkan prosentase jenisjenis MPP (viable dan nontrivial) dihitung seperti pada contoh berikut. Misalkan A mengajukan m buah MPP dan diantaranya terdapat n MPP viable. n Prosentase MPP viable dihitung dengan rumus p = /m x 100%. Misalkan dari MPP viable tersebut terdapat k buah MPP nontrivial. Prosentase MPP nontrivial dihitung k n k dengan rumus: q = /n x /m x 100% = /m x 100%. Dimensi flexibility (keluwesan) MPP ditetapkan berdasarkan banyaknya MPP dengan katagori yang berbeda. Misalkan diajukan MPP sebagai berikut: MPP 1: Misalkan diketahui sisi-sisi suatu segitiga adalah 3, 4, dan 5; tentukan luas segitiga. MPP 2: Misalkan diketahui sisi-sisi suatu segitiga adalah 6, 8, dan 10; tentukan luas segitiga Kedua MPP di atas diklasifikan mempunyai katagori yang sama, misalnya dinyatakan sebagai satu MPP: Misalkan diberikan ketiga sisi suatu segitiga, tentukan luas segitiga. Tiap MPP yang memiliki katagori yang berbeda, dimensi MPP keluwesannya diberi skor 1. Berbeda dengan pemberian skor dimensi kelancaran dan keluwesan, pemberian skor dimensi originality (keaslian) MPP dibandingkan dengan respon MPP yang diajukan oleh individu lainnya. MPP dikatakan memiliki keaslian bila MPP tersebut diajukan oleh kurang dari 10% dari seluruh peserta. Tiap MPP yang diajukan oleh kurang dari 10% peserta diberi skor 1 dalam dimensi keaslian. Pemberian skor tiap dimensi kreatif MPP (kelancaran, keluwesan, dan keaslian) dirangkum seperti pada Tabel 3. Analisis dan pemberian skor dimensi kreatif MPP pada Tabel 3 juga digunakan dalam studi Harpen dan Presmeg (2013) dengan subyek yang sama. Perbedaan kedua studi tersebut adalah dalam tujuan studi. Studi Harpen dan Sriraman (2013) memusatkan analisisnya pada kaitan antara kemampuan MPP dan penguasaan konten matematika siswa, sedangkan studi Harpen dan Presmeg (2013) menekankan analisisnya pada peranan kultur dan kurikulum subyek dengan kemampuan MPP-nya. Tabel 3. Kriteria Pemberian Skor Dimensi Kreatif MPP
(Disarikan dari Harpen dan Presmeg, 2013 dan Harpen dan Sriraman, 2013). Kriteria Pemberian Skor
Dimensi Kreatif
Kelancaran (fluency)
Kelancaran MPP didasarkan pada banyaknya MPP yang viable dan nontrivial yang diajukan oleh siswa. Tiap MPP yang viable dan nontrivial, dimensi kelancaran MPP diberi skor 1. Keluwesan Keluwesan MPP didasarkan pada banyaknya MPP berbeda katagori (flexibility) yang diajukan. Tiap MPP yang viable dan nontrivial dengan katagori yang berbeda, dimensi keluwesan MPP diberi skor 1. Keaslian Keaslian MPP ditetapkan bila MPP diajukan oleh kurang dari 10 % dari (originality) seluruh siswa. Tiap MPP yang diajukan oleh kurang dari 10% seluruh peserta dimensi keasliannya diberi skor 1. 18
Kerangka Kerja Proyek Mathematical Problem Posing Konten matematika baru
Model contoh dari guru
Kegiatan kelas
Kegiatan siswa
Mendengarkan, meniru, menginga t
Guru memilih contoh dari buku teks / internet
Siswa menetapkan contoh
Mengamati mulai bekerja
Meniru, mencari, memahami
Keterlibatan siswa pasif Keterlibatan guru aktif
Siswa menyelesaika n masalah model
Meniru, mengingat lagi,memin -ta bantuan
Siswa mengajukan masalah dengan struktur masalah yang sama dengan masalah asal
Diskusi kelas dan menyelesaikan masalah dari siswa
Refleksi eksperimentasi, sumbang ide
Mengkri tik, bertanya menjelas -kan
Keterlibatan siswa aktif Fasilitasi guru
Gambar 1 . Kerangka Kerja Menempatkan Mathematical Problem Posing di kelas (Elerton, 2013)
Peneliti lain, Elerton (2013) menawarkan pengembangan kemampuan MPP melalui pembelajaran dengan proyek tugas menyusun MPP pada subyek calon guru matematika SM. Kerangka kerja pembelajaran dengan proyek tugas menyusun MPP terlukis pada Gambar 1. Pembelajaran dalam proyek ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu: a) Kegiatan MPP rutin. Siswa dihadapkan pada satu masalah semi-struktural. Kemudian mereka diminta menyusun pertanyaan yang serupa atau inversnya dalam konteks yang sama; b) Kegiatan proyek MPP. Siswa dihadapkan pada suatu masalah matematik semi-struktural. Kemudian siswa secara berpasangan diminta menyusun dua bentuk masalah lain dengan konten matematik yang sama tetapi dalam konteks yang berbeda. Bentuk masalah pertama dalam tipe jawaban singkat dan masalah kedua dalam tipe pilihan ganda. Tiap pasangan siswa diminta menyelesaikan masalah yang disusunnya, dan menyajikannya di depan kelas, dan siswa lainnya memberikan sumbang pendapat. Kemudian siswa menyusun refleksi secara tertulis tentang seluruh pengalamannya. Dalam kegiatan ini, guru tidak memberikan petunjuk langsung kegiatan yang harus dikerjakan siswa. Klasifikasi kelancaran MPP dalam studi Elerton (2013) didasarkan pada banyaknya masalah yang diajukan dalam waktu tertentu. Penetapan keluwesan MPP didasarkan pada banyaknya masalah yang berbeda yang diajukan dalam waktu tertentu. MPP diklasifikasikan asli, bila MPP tersebut diajukan oleh kurang dari 10% banyaknya siswa. Analisis MPP dalam studi Elerton (2013), serupa dengan pada studi 19
Harpen dan Sriraman (2013) dan Harpen dan Presmeg (2013) yaitu berpedoman pada Tabel 3. Selain itu Elerton (2013) mengajukan penilaian pendapat siswa terhadap tugas menyusun MPP dengan menggunakan skala pendapat yang terdiri dari lima aspek MPP disertai dengan kesan dan saran siswa seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Contoh Skala Pendapat Siswa terhadap Tugas Menyusun Masalah Matematik (MPP) (Disarikan dari studi Elerton (2013) Petunjuk: Bubuhkan tanda V pada kolom yang sesuai dengan pendapat anda Keterangan: SS : sangat setuju N : netral TS: tidak setuju S : setuju STS: sangat tidak setuju No.
Pernyataan
SS
S
N
TS
STS
1.
Tugas mengajukan masalah matematik lebih menantang daripada tugas menyelesaikan masalah. 2. Tugas mengajukan masalah matematik membantu memahami konsep matematik yang sedang dipelajari. 3. Tugas mengajukan masalah matematik menghambat penyelesaian masalah matematik yang dihadapi. 4. Tugas mengajukan masalah matematik melatih pengembangan berpikir kreatif matematik . 5. Saya senang mengajukan masalah matematik. 6. Saya percaya dapat mengajukan masalah matematik dari data/situasi yang disajikan. 7. Tugas mengajukan masalah matematik mencemaskan 8. Saya senang mendapat kesempatan lebih banyak mengajukan masalah matematik 9. Saya menghindar dari tugas mengajukan masalah matematika 10. Saya memilih tugas menyelesaikan masalah dari pada tugas menyusun masalah. Catatan: Untuk pernyataan positif, respon SS bernilai 5; respon S bernilai 4; respon N bernilai 3; respon TS bernilai 2; dan respon STS bernilai 1. Untuk pernyataan negatif: respon SS bernilai 1; respon S bernilai 2; respon N bernilai 3; respon Untuk pernyataan negatif:TS bernilai 4; dan respon STS bernilai 5
Tuliskan pendapat, kesan atau komentar anda terhadap tugas menyusun masalah dalam pembelajaran matematika pada tempat yang tersedia di bawah ini. .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... Analisis dan pemberian skor dimensi kreatif yang lain dilakukan dalam studi Shriki (2013) yang mengambil subyek siswa SMA kelas 11 dan kelas 12 dari tiga budaya yang berbeda yaitu Amerika, China, dan Jiaozhou. Studi ini, bertujuan menganalisis kemampuan kreatif matematik siswa ditinjau dari kualitas MPP yang diajukan oleh siswa. Analisis dimensi kreatif dilakukan setelah MPP memenuhi syarat MPP yang rasional, data lengkap, dan tingkat berpikir memadai (Diagram 1, langkah 6). Dalam studi ini, dimensi kreatif MPP dikelompokkan dalam 4 komponen yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian, dan generalisasi. Tiap dimensi kreatif MPP memiliki skor total dan skor relatif masing-masing. Kriteria pemberian skor tiap dimensi kreatif MPP tercantum pada Tabel 5 (disarikan dari kriteria Shriki, 2013). Kemudian 20
penetapan skor dimensi kreatif MPP secara keseluruhan didasarkan pada bobot tiap dimensi kreatif yang ditetapkan oleh guru yang bersangkutan. Satu kriteria misalnya, skor MPP keseluruhan dimensi kreatif dinyatakan oleh rerata dari keempat skor dimensi kreatif MPP atau jumlah skor relatif tiap dimensi kreatif dibagi 4. Selanjutnya, karena budaya siswa berbeda mempengaruhi MPP yang dihasilkan siswa, maka analisis dimensi kreatif dilakukan pada tiap kelompok budaya, dan tidak dibandingkan untuk seluruh kondisi budaya. Tabel 5. Kriteria Pemberian Skor Dimensi Kreatif MPP Dimensi Kreatif
(Disarikan dari Shriki, 2013). Kriteria Pemberian Skor
Kelancaran
Kelancaran MPP didasarkan pada banyaknya MPP yang diajukan. Misalnya, siswa A mengajukan MPP paling banyak (m) di antara teman-temannya. Maka A mendapat skor total kelancaran m dan skor relatif 100. Siswa lain, B mengajukan MPP sebanyak n. Maka B mendapat skor total kelancaran n dan skor relatif kelancaran sebesar n /m x 100. Keluwesan Keluwesan MPP didasarkan pada banyaknya MPP berbeda katagori yang diajukan. Siswa A mengajukan MPP berbeda katagori paling banyak (misalnya m) di antara teman-temannya. Maka A mendapat skor total keluwesan m dan skor relatif keluwesan 100. Siswa lain, B mengajukan MPP berbeda katagori sebanyak n. Maka B mendapat skor total keluwesan n dan skor relatif keluwesan sebesar n/m x 100 Keaslian Keaslian MPP ditetapkan bila MPP diajukan oleh kurang sepertiga atau 33 % seluruh siswa. Siswa A mengajukan paling banyak (misal m) MPP asli. Maka A mendapat skor total keaslian m dan skor relatif keaslian 100. Siswa lain, B mengajukan MPP berbeda katagori sebanyak n. Maka B mendapat skor total keaslian n dan skor relatif keaslian sebesar n/m x 100 Organisasi Generalisasi MPP ditetapkan bila MPP memuat masalah generalisasi. (Generalisasi) Misal siswa A mengajukan MPP generalisasi yang paling banyak (m) di antara teman-temannya. Jadi A mendapat skor total MPP generalisasi sebesar m dan skor relatifnya 100. Siswa B mengajukan n MPP generalisasi. Jadi B mendapat skor total MPP generalisasi n dan skor relatif generalisasi adalah n/m x 100
Pakar lain, Silver (Shriki, 2013) menyarankan strategi What-If-Not (WIN) untuk mengembangkan MPP. Strategi WIN menuntut siswa menyusun masalah baru berdasarkan pada masalah yang telah diselesaikan, melalui proses meragamkan kondisi dari masalah asal. Implementasi strategi ini mendukung pengembangan kreativitas matematik siswa. Strategi WIN membimbing siswa melalui tiga tahap inkuiri yaitu pertama: siswa diminta menghasilkan suatu daftar sifat-sifat masalah atau kondisi. Langkah kedua, siswa fokus pada tiap sifat pada daftar yang telah disusunnya dan kemudian menyarankan alternatif lain dari sifat tersebut. Langkah ketiga: mengajukan masalah dan pertanyaan baru berdasarkan pada alternatif yang muncul dalam langkah kedua. Pendekatan ini juga mendorong siswa mempertimbangkan makna suatu masalah dari pada memusatkan pada menemukan solusinya. 21
Selanjutnya, analisis MPP yang rasional dan dilengkapi informasi yang cukup dilanjutkan dengan analisis jenis tugas yang termuat dalam MPP yang bersangkutan apakah memiliki kekompleksan yang memadai dengan tingkat berpikir siswa. Misalnya MPP yang memuat tugas terlalu sederhana untuk siswa tingkat kelas tertentu maka MPP tersebut dieliminasi dalam analisis selanjutnya. Kemudian analisis dan pemberian skor dimensi kreatif MPP dari Guilford yaitu: kelancaran, keluwesan, keaslian, dan generalisasi menggunakan kriteria seperti tercantum pada Tabel 3. Berikut ini disajikan beberapa contoh menganalisis MPP yang diajukan siswa dan pemberian skor dimensi kreatif MPP dengan mengacu pada kriteria pada studi tertentu. 1) Contoh situasi masalah bebas: Susunlah beberapa masalah yang berkaitan dengan segitiga siku-siku (Stoyanova 1998, dalam Harpen dan Sriraman, 2013). Andaikan diperoleh respons (yang diajukan siswa) seperti berikut. a) Segitiga siku-siku adalah suatu segitiga yang besar satu sudutnya sama dengan 900. Berdasarkan kriteria dalam Diagram 1, respon tersebut adalah pernyataan matematik, respon tersebut tidak memuat masalah. Dengan demikian respons tersebut dogolongkan sebagai bukan MPP, dan dieliminasi dalam analisis selanjutnya. b) Apakah segitiga yang memiliki sisi-sisi, 3, 4, 5 satuan panjang membentuk segitiga siku-siku? Jelaskan jawabanmu. Respons ini merupakan pertanyaan, memiliki solusi dan informasi yang cukup. Dengan demikian respons tersebut digolongkan pada MPP. Bila MPP ini diajukan oleh siswa SD atau SMP kelas awal maka MPP tersebut digolongkan memadai dan dapat dianalisis dimensi kreatif (kelancaran). Namun, bila MPP tersebut diajukan oleh siswa SMA atau kelas yang lebih tinggi, maka MPP tersebut terlalu sederhana dan dieliminasi untuk analisis selanjutnya. c) Apakah segitiga dengan sisi 6, 8, dan 10 satuan panjang (atau sisi-sisi kelipatan dari 3, 4, 5) membentuk segitiga siku-siku? Jelaskan jawabanmu. Respons tersebut sebenarnya adalah trivial dengan respons pada no b). Dengan demikian respons a) dan respons b) dinilai sebagi respons yang sama (satu respons) dalam dimensi kelancaran dan keluwesan (respons yang sama). Untuk menilai dimensi keasliannya perlu dilihat seberapa banyak siswa memberikan respons b) atau c). Kalau respons tersebut diajukan oleh kurang dari 10% seluruh siswa (Harpen dan Presmeg, 2013, dan Harpen dan Sriraman, 2013), maka respons tersebut diberi skor 1 untuk dimensi keaslian. Jika respons di atas diajukan oleh lebih dari 10% siswa maka respons tersebut tidak tergolong asli. Dalam studi Skriki (2013), kriteria dimensi kreatif keaslian menggunakan dasar 33% dari seluruh siswa. d) Apakah segitiga dengan sisi 6, 8, dan 10 satuan panjang dan segitiga dengan sisi-sisi 5, 12, 13 satuan panjang merupakan dua segitiga yang konkuren? Jelaskan jawabanmu. Respons ini memuat dua MPP yang berbeda, meskipun keduanya membentuk segitiga siku-siku keduanya tidak konkruen. Dengan demikian, MPP no c) dan MPP no d) masing-masing diberi skor 1 dalam dimensi kelancaran. Bila respons lainnya tidak serupa dengan MPP no d), maka dimensi keluwesan MPP no d) diberi skor 1. Cara pemberian skor keaslian MPP no d) serupa dengan MPP pada no c).
22
2)
Contoh situasi MPP semi-terstruktur: Diberikan suatu segitiga dan lingkaran dalamnya seperti pada gambar di samping ini. Susunlah sebanyak mungkin pertanyaan yang berelasi dengan gambar tersebut. Pertanyaan dapat pula sebagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Jangan batasi jawabanmu pada pertanyaan yang pernah kamu lihat atau dengar, dan usahakan sebanyak mungkin pertanyaan dan pertanyaan yang menantang (Harpen dan Sriraman, 2013). Dalam studi ini subyek berasal dari tiga budaya yang berbeda, demikian pula dengan kurikulum, buku teks, suasana kelas yang berbeda. Oleh karena itu, pedoman pemberian skor yang awal kemudian direvisi dan diberlakukan untuk kelompok siswa dengan budaya yang sama. Total banyaknya total MPP yang diajukan siswa menunjukkan skor kelancaran MPP siswa. Total banyaknya katagori MPP yang diajukan siswa menunjukkan skor keluwesan MPP siswa dan tidak perlu sama dengan skor kelancaran MPP. Kemudian keaslian MPP ditentukan oleh kelangkaan MPP yang diajukan siswa pada kelompok budaya yang sama dan tidak dapat diperbandingan antar budaya, dengan kriteria MPP yang sesuai tingkat berpikirnya tersebut diajukan oleh kurang dari 10% dari seluruh siswa dalam kelompok budaya. Jadi meskipun satu MPP diajukan oleh kurang dari 10%, namun terlalu mudah maka MPP tersebut tidak digolongkan pada dimensi keaslian. Andai terdapat beberapa MPP sebagai berikut. i) Hitunglah luas daerah dalam segitiga dan di luar lingkaran dalam dan tidak ada informasi tentang ukuran masing-masing. MPP di atas tergolong memiliki solusi namun data tidak mencukupi. Oleh karena itu MPP ini dieliminasi dalam analisis dimensi kreatif MPP. ii) Andai lingkaran dalam tersebut memiliki jejari 5 satuan panjang. Berapa luas dan keliling lingkaran dalam tersebut? MPP tersebut memiliki solusi dan dengan data mencukupi. Namun, tugas dalam MPP tersebut terlalu mudah untuk siswa SMA, oleh karena itu MPP itu juga dieliminasi untuk analisis dimensi kreatif siswa SMA. iii) Misal MPP pertama: Diberikan panjang ketiga sisi suatu segitiga adalah 3, 4. 5 satuan panjang. Hitunglah luas lingkaran dalamnya (atau: Berapa luas lingkaran dalamnya?) iv) Misal MPP kedua: Diberikan ketiga sisi segitiga tersebut adalah 5, 6, 7 satuan panjang. Hitunglah luas lingkaran dalamnya (atau: Berapa luas lingkaran dalamnya?). Kedua MPP tersebut tergolong dalam satu katagori, karena MPP tersebut dapat dinyatakan sebagai: Diketahui panjang ketiga sisi suatu segitiga. Hitunglah luas lingkaran dalamnya. Jadi kedua respons tersebut dinilai memiliki satu dimensi keluwesan MPP yang sama. v) Misal diajukan MPP: a) Berapa keliling segitiga jika diameter lingkaran dalamnya 1? b) Dalam segitiga siku-siku ABC, A (0,3), B (4,0), dilukis lingkaran dalam segitiga. Andaikan titik P bergerak dari titik B ke titik A. Kalau PC dan PB mencapai maksimum, berapa koordinat P? c) Andaikan dua sisi segitiga adalah 3 dan 6. Hitunglah keliling segitiga jika luas lingkaran dalam mencapai nilai maksimum. 23
Ketiga MPP di atas tergolong kreatif, karena masing-masing memiliki tugas yang tidak biasa. Bila MPP tersebut diajukan oleh kurang dari 10% dari jumlah siswa pada masing-masing kelompok budaya maka MPP tersebut digolongkan asli. Cara pemberian skor MPP yang lain dikemukakan oleh Rosli, Goldsby, Capraro (2013) yang didasarkan pada empat komponen MPP yaitu: pemahaman konsep, solusi masalah, kekreatifan masalah, dan solusi masalah dari partner. Pemberian skor tiap komponen berdasarkan kriteria seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Kriteria Pemberian Skor Dimensi Kreatif MPP (Dirangkum dari studi Rosli, Goldsby, Capraro, 2013) Pemahaman Konsep Baik : skor 4
Solusi Masalah Semua benar: skor 4
Kekreatifan masalah Sangat berbeda: skor 4
Solusi masalah Partner Semua benar: skor 4
Sedang: skor 2
Sebagian benar: skor 2
Sebag. berbeda: skor 2
Sebag.benar: skor 2
Kurang :skor 1
Sedikit benar: skor 1
Sedikit berbeda: skor 1
Sedikit benar: skor 1
D. Beberapa Penelitian yang Relevan Hendriana (2002) melakukan studi tentang MPP terhadap siswa SMU dengan menerapkan pembelajaran berbalik (reciprocal teaching). Dalam studi ini Hendriana menganalisis MPP dalam hubungannya dengan MPS yaitu MPP sebelum, selama, dan sesudah melakukan MPS (Silver, Mamona-Downs, Leung, Kenney dalam Kadir, 2000). Analisis kualitas MPP mirip seperti pada Diagram 1 (Bonotto, 2013, Silver dan Cai, 1996, dan Yuan dan Sriraman, 2010 dalam Rosli, Goldsby dan Capraro, 2013). Pemberian skor MPP tidak dikaitkan dengan dimensi kreatif, namun dengan kriteria seperti pada Tabel 1. Studi menemukan bahwa kemampuan dan peningkatan MPP siswa dalam ketiga aspek MPP (sebelum, selama, dan sesudah MPS) yang mendapat pembelajaran terbalik lebih baik dari MPP siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Demikian pula kemampuan MPS siswa yang mendapat pembelajaran terbalik lebih baik dari MPS siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Singer, Ellerton, dan Cai (2013) membahas secara mendalam beberapa studi berkenaan problem posing. Mereka mengupas temuan beberapa studi di antaranya: masalah yang diajukan siswa memajukan kreativitas siswa (Silver, 1997; Yuan dan Sriraman, 2011, dalam Singer, Ellerton, dan Cai, 2013); kegiatan problem posing siswa mendukung perolehan dalam reading comprehension (Rosenshine, Meister, dan Chapman, 1996 dalam Singer, Ellerton, dan Cai, 2013); kegiatan problem posing memberikan pengaruh positif terhadap belajar siswa (Cai dan Hwang, 2002, dalam Singer, Ellerton, dan Cai, 2013); kemampuan mengajukan masalah yang kompleks mendukung tumbuhnya kemampuan problem solving (Cai dan Hwang, 2002, dalam Singer, Ellerton, dan Cai (2013). Beberapa studi berkenaan dengan MPP mengkaitkannya dengan kemampuan MPS (Elerton, 2013, Cang dkk., 2012, Rosli, Goldsby, Capraro, 2013, Singer, dan Voica, 2013), dengan penguasaan pada konten matematika (Harpen dan Presmeg, 2013, KESAN, KAYA, dan GÜVERCİN, 2010), dengan dimensi kreatif matematik (Harpen dan Presmeg, 2013, Bonotto, 2013, Shriki, 2013, Harpen, Sriraman, 2013); 24
dengan kurikulum dan pembelajaran matematika (Cai dkk, 2013, Leung, 2013, Singer, Ellerton, Cai, 2013). Studi Chang, K-E , Wu, L-J, Weng, S-E, Sung, Y-T. (2012) dengan disain pretes-postes menerapkan kegiatan problem posing dengan bantuan komputer terhadap 92 siswa kelas V SD untuk menelaah kemampuan mathematical problem solving (MPS) dan kemampuan mathematical problem posing (MPP). Beberapa temuan studi Chang dkk di antaranya adalah: 1) Tidak terdapat perbedaan kemampuan MPS siswa dalam pretes dan postes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol; dan MPS siswa tergolong cukup baik (sekitar 75% dari skor total). 2) Tidak terdapat perbedaan kemampuan MPP siswa dalam pretes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, dan MPP siswa pada tiap dimensi (ketepatan, keluwesan, elaborasi, dan keaslian). Secara keseluruhan, pretes MPP siswa tergolong rendah. Setelah pembelajaran, pada tiap dimensi MPP dan keseluruhan, MPP siswa dengan kegiatan problem posing lebih tinggi dari pada MPP siswa kelas kontrol. Temuan tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran dengan kegiatan MPP lebih efektif meningkatkan kemampuan MPP siswa. Studi lain, Elerton (2013) mengeksperimenkan pembelajaran matematika dengan menggunakan proyek menyusun MPP pada mahasiswa calon guru matematika SMP. Elerton melaporkan beberapa temuan di antaranya: a) Secara keseluruhan (n = 154) mahasiswa cenderung lebih suka menyelesaikan masalah matematik dari pada mengajukan masalah matematik; b) Tugas menyusun MPP merupakan pengalaman pertama bagi mahasiswa, mereka perlu mendapat kesempatan yang lebih besar untuk menyusun MPP. Mahasiswa memberikan banyak respons terhadap kuesioner tentang MPP. Beberapa respons terhadap tugas MPP yang dilaporkan Elerton (2013) di antaranya adalah: a) Mahasiswa mengemukakan bahwa dengan mengkreasi masalah sendiri akan membantu memahami konsep lebih baik; b) Selanjutnya mahasiswa mengemukakan bahwa seseorang tidak dapat menyusun masalah jika ia tidak memahami konsep yang bersangkutan; c) Masalah rutin yang diajukan siswa jarang dipoles dan sering memuat kata-kata yang kurang sempurna atau kurang logis; d) Mahasiswa lebih suka dengan tugas menyelesaikan masalah (MPS) daripada tugas menyusun masalah (MPP); e) Dalam tugas MPP rutin, kebanyakan mahasiswa memberikan MPP dengan benar baik dalam konteks yang serupa maupun inversnya; f) Dalam tugas proyek MPP, mahasiswa mengemukakan bahwa: Merancang konteks yang berbeda untuk suatu masalah yang memiliki struktur yang serupa dengan masalah asal merupakan tugas yang menantang. Bonotto (2013) melakukan studi terhadap siswa kels 6 SD untuk menemukan bahwa proses MPP merupakan satu bentuk inkuiri matematik yang sesuai untuk diterapkan dalam kegiatan kelas paling tidak dalam soal ceritera. Tugas-tugas MPP yang kurang terstruktur, terbuka akan mendorong berpikir luwes, memajukan kemampuan MPS, dan menyiapkan siswa mengatasi masalah di luar kelas. Studi ini juga menyarankan penelitian lanjut agar: a) menemukan korelasi antara kemampuan akademik dan kemampuan kreatif siswa; b) Sejauh mana pembelajaran dan pengalaman guru mempengaruhi proses kreatif siswa. Selanjutnya, peneliti menaruh perhatian lebih dalam terhadap pengembangan MPP siswa dan mengembangkan metoda untuk menganalisis MPP yang dapat digunakan guru di kelas untuk mengidentifikasi dan menilai kegiatan MPP dan kreativitas siswa. Studi Shriki (2013) menerapkan strategi WIN (What-If-Not) terhadap siswa SMA dan mahasiswa calon guru matematika, memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Studi tidak merumuskan definisi kreativitas secara konklusif. Guru perlu diberi beragam informasi, alat, dan sumber agar mereka mampu 25
mengkonsolidasikan pandangan mereka terhadap isu-isu, dan memberi mereka kesempatan menentukan pendekatan yang lebih sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan nilai dan keyakinan mereka; 2) Skor akhir kreativitas tidak memberikan informasi secara khusus untuk tiap komponennya, namun lebih disukai skor relatifnya; 3) Pendekatan MPP melalui strategi WIN dapat diadopsi untuk bidang studi lainnya, dan model yang diusulkan untuk mengases pengembangan kreativitas dalam konteks problem posing dapat diterapkan pada semua bidang studi tidak hanya dalam matematika saja. Studi Harpen dan Presmeg (2013) dengan subyek sejumlah siswa SMA dari tiga jenis budaya yang berbeda yaitu budaya Amerika, budaya China, dan budaya Jiaozhou dan memberikan dua jenis tes yaitu tes kemampuan matematik, dan tes MPP. Beberapa kesimpulannya di antaranya adalah: 1) Keterbatasan studi ini di antaranya adalah bahwa Tes MPP yang diajukan kepada ketiga budaya siswa tidak meminta siswa menyusun MPP yang viable. Hal itu merupakan salah satu kelemahan studi ini; Siswa berlatar belakang budaya Jiaozhou mencapai hasil tes konten matematika lebih baik dari siswa dari budaya Amerika dan budaya China; namun dalam tes MPP siswa budaya Jiaozhou menunjukkan hasil yang rendah dibandingkan hasil tes MPP siswa Amerika dan siswa China; Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil tes konten matematika tidak menjamin hasil yang baik dalam tes MPP; 2) Dalam kelancaran dan keluwesan MPP dalam konten kalkulus siswa budaya Jiaozhou dan Amerika mengajukan lebih banyak MPP daripada siswa China, meskipun kalkulus belum diajarkan pada ketiga kelompok siswa. Hal tersebut, menyarankan bahwa siswa harus menguasai konten matematika dulu baru mereka dapat menyusun MPP dalam konten tersebut; 3) Studi ini tidak memfokuskan MPP pada dimensi keaslian, namun MPP keaslian yang diajukan oleh ketiga kelompok siswa menunjukkan konten matematika yang kuat. Namun ditinjau dari persentase MPP yang diajukan siswa bersifat trivial. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan di antara MPP dalam dimensi keaslian pada ketiga kelompok siswa; 4) Tidak terdapat korelasi antara hasil tes konten matematika dan tes MPP pada ketiga kelompok siswa. Hampir serupa dengan studi Harpen dan Presmeg (2013) yang menelaah kemampuan MPP dan kemampuan konten matematika siswa dari tiga budaya yang berbeda, studi Harpen dan Sriraman (2013) menelaah kemampuan MPP siswa yang pandai dalam matematika dari dua budaya berbeda (Amerika dan China). Studi iang diajukan siswa ini memberikan tes MPP dalam tiga jenis situasi (bebas, semiterstruktur, dan terstruktur). Dalam analisis data terdapat MPP yang tidak bebas budaya. Misalnya terdapat MPP siswa Amerika yang berkenaan dengan masalah parkir mobil sedangkan kondisi seperti itu tidak terdapat pada MPP siswa China karena di China siswa tidak terbiasa mengendarai mobil sendiri. Namun tugas yang berkenaan segitiga dan lingkaran lebih berpusat pada masalah geometri yang bebas budaya. Oleh karena itu analisis berikutnya yang ditelaah adalah masalah yang bebas budaya dalam tiga dimensi kreatif yaitu kelancaran, keluwesan, dan keaslian. Karena banyaknya siswa dalam tiap budaya berbeda maka analisis dan penskoran tiap dimensi dinyatakan dalam persen (%) pada budaya masing-masing. Pada masalah yang layak, beberapa di antaranya terdapat MPP yang trivial atau kurang menantang, akibatnya skor kelancaran MPP siswa tidak setinggi yang diperkirakan. Dalam dimensi keluwesan, meskipun MPP siswa beragam namun sebagian besar MPP berkenaan dengan luas dan panjang. Dalam dimensi keaslian, dari hasil wawancara kepada siswa yang mengajukan MPP yang langka, tergambar bahwa MPP siswa tergolong kreatif. Selain itu juga diperoleh informasi bahwa tugas menyusun MPP belum merupakan konten yang penting dalam kurikulum matematika di sekolah. Diperoleh temuan pula 26
bahwa siswa yang kuat penguasaannya dalam matematika belum menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam MPP. Temuan tersebut bertentangan dengan temuan studi Cai dan Hwang (2002), yang menemukan kemampuan komputasi dan menyelesaikan masalah rutin siswa China kelas 6 lebih baik dari siswa Amerika, namun siswa Amerika menunjukkan hasil yang lebih baik dalam MPP. Dari studinya, para peneliti memberikan saran agar pengembangan MPP dalam pembelajaran lebih ditingkatkan dan demikian juga agar penelitian selanjutnya diarahkan mengenai MPP. Daftar Pustaka Berman, S. (2001) “Thinking in context: Teaching for Open-mindeness and Critical Understanding” dalam A. L. Costa (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum Development. Virginia USA Bonotto, C. (2013). “Artifacts as sources for problem-posing activities”. Educational Studies in Mathematics (2013) 83:37–55. DOI 10.1007/s10649-012-9441-7 Cai, J. (2002). “Singaporean students' mathematical thinking in problem solving and problem posing: an exploratory study” International Journal of Mathematical Education in Science and Technology. 2003. Vol.34. No.5. 719 -717. http://www.tandfonline.com/loi/tmes20 Cai, J, Moyer, J.C., Wang, N., Hwang, S., Ni, B., Garber, T. (2013). “Mathematical problem posing as a measure of curricular effect on students' learning “ Published online: Educational Studies Matematics. (2013) 83:57–69. DOI 10.1007/s10649-012-9429-3 Chang, K-E , Wu, L-J, Weng, S-E, Sung, Y-T. (2012). “Embedding game-based problem-solving phase into problem-posing system for mathematics learning”. Computers & Education 58 (2012) 775–786. journal homepage: www.elsevier.com/locate/compedu. Published online: 8 November 2012 # Springer Science+Business Media Dordrecht 2012 da Ponte, J.P and Henriques, A. (2013). “Problem posing based on investigation activities by university students.” Educational Studies in Mathematics (2013) 83:145–156. DOI 10.1007/s10649-012-9443-5 Ellerton, N.F. (2013) “Engaging pre-service middle-school teacher-education students in mathematical problem posing: development of an active learning framework” Educational Studies in Mathematics (2013) 83:87–101. DOI 10.1007/s10649012-9449-z Hendriana, H. (2002). Meningkatkan Kemampuan Pengajuan dan Pemecahan Masalah Matematika dengan Pembelajaran Berbalik. (Eksperimen pada siswa kelas I SMUN di Bandung). Tesis pada Program Pascasarjana UPI. Tidak dipublikasi. Kadir. (2000). Suatu alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan problem posing matematika pada siswa Madrasah Alyah. Tesis pada Program Pascasarjana. UPI Bandung. KESAN,C., KAYA, D., and GÜVERCİN, S. (2010). “The Effect of Problem Posing Approach to the Gifted Student’s Mathematical Abilities” International Online Journal of Educational Sciences, 2010, 2 (3), 677-687 www.iojes.net Leung, Shuk-kwan S. (2013). “Teachers implementing mathematical problem posing in the classroom: challenges and strategies” Educational Studies in Mathematics (2013) 83:103–116. DOI 10.1007/s10649-012-9436-4 27
National Council for Teachers of Mathematics.(2000). Principles and standars for school mathematics. Reston VA: Author. Pedro da Ponte, J., Henriques, A. “Problem posing based on investigation activities by university students”. Educational Studies in Mathematics (2013) 83:57–69 DOI 10.1007/s10649-012-9429-3 Rosli, R.. Goldsby, D., Capraro, M.M (2013).”Assessing Students’ Mathematical Problem-Solving and Problem-Posing Skills”. Asian Social Science; Vol. 9, No. 16; 2013 Shriki, A. (2013). “A Model for Assessing the Development of Students’ Creativity in the Context of Problem Posing”. Creative Education, Vol.4, No.7, 430-439, 2013. Silver, E.A (2013). “Problem-posing research inmathematics education: looking back, looking around, and looking ahead”. Educational Studies in Mathematics. (2013) 83:157–162 Singer, F.M and Voica, C. (2013) “A problem-solving conceptual framework and its implications in designing problem-posing tasks”. Educational Studies in Mathematics. 2013. 83:9–26, DOI 10.1007/s10649-012-9422-x Singer, F.M., Ellerton, N., Cai. J. (2013). “Problem-posing research in mathematics education: new questions and directions” Educational Studies in Mathematics (2013) 83:1–7. DOI 10.1007/s10649-013-9478-2 Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan tahun pertama Hibah Bersaing Pascasarjana UPI. Van Harpen, X.Y., Sriraman, B. (2012). “Creativity and mathematical problem posing: an analysis of high school students' mathematical problem posing in China and the USA”. Published online: Educational Studies in Mathematics. (2013) 82:201–221. DOI 10.1007/s10649-012-9419-5 Van Harpen, X.Y., Presmeg, N.C. (2013). “An investigation of relationships between students’ mathematical problem-posing abilities and their mathematical content knowledge”. Educational Studies in Mathematics. (2013) 83:117–132. DOI 10.1007/s10649-012-9456-0
28