BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Makna Masyarakat Masyarakat itu sendiri merupakan suatu paham yang sangat luas dan dapat dipandang dari kebudayaan. berbagai macam sudut dan juga berbicara tentang dinamika merupakan suatu perubahan ataupun suatu konsep yang bersifat untuk merubah tanpa menghilangkan identitas tersebut. Tetapi semua perubahan tersebut tetap ada kesamaan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang masih terikat suatu aturan yaitu adat istiadat tertentu (Koenjaraningrat, 1969). Masyarakat pada dasarnya adalah suatu kelompok yang hidup dalam adat istiadat tertentu yang membentuk kebudayaan dalam tengah-tengah masyarakat. Masyarakat yang ada di Jawa Tengah pasti tidak asing lagi dengan kesenian wayang kulit, karena kesenian wayang kulit merupakan kesenian yang terbentuk dari kehidupan sehari-hari manusia dan nilai-nilai yang ada dalam seni wayang kulit, merupakan suatu cerminan watak-watak dan sikap manusia ( Amir, Hazim 1994). Masyarakat Jawa pada dasarnya mengerti tentang wayang kulit karena masyarakat itu sendiri melakukan suatu perubahan sosial yang berdampak juga pada kebudayaan yang mereka ketahui yaitu tentang kesenian wayang kulit, jadi secara realitas wayang kulit dan masyarakat bersamaan dalam perubahan dan dinamika yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat.
2.2 Kelompok / Masyarakat yang Masih Mempertahankan Wayang Kulit Masyarakat Jawa tergolong masyarakat dwibahasawan. Dalam kegiatan komunikasi sehari-hari selain menggunakan bahasa Jawa, mereka juga menggunakan bahasa lain sebagai kelengkapannya, seperti bahasa Indonesia, Inggris, Arab, dan tidak jarang bahasa daerah lain sebagai bagian dari adaptasi konteks (Gunarwan, 2000:51-52; Kridalaksana, 2000:82-85).
1
Masyarakat / komunitas ini sekarang semakin mengalami pengurangan karena kurangnya peminat wayang kulit. Tetapi di Kabupaten Klaten khususnya Desa Karangnongko, Kelompok Seni Perwayangan masih ada dan eksis sampai sekarang. Dan dapat kita lihat kelompok pencinta seni wayang kulit sekarang mengalami banyak perubahan demi memikat para penggemarnya kembali, dengan memasukkan aliran-aliran baru. Kelompok ini coba memadukan wayang kulit dengan ada hiburan campur sari dan juga para dagelan / pelawak untuk menambah daya tarik seperti yang dilakukan paguyuban Cinde Laras. Tetapi dengan tidak mengubah pakem dari pewayangan tersebut dan tidak menghilangkan nilai-nilai etis dalam wayang (Hazim Amir, 1994). Kelompok Cinde Laras merupakan suatu komunitas kesenian wayang kulit yang ada di daerah Klaten. Ditengah banyaknya komunitas serupa di Klaten, Komunitas Cinde Laras menjadi salah satu komunitas yang masih memberikan warna dalam pagelaran wayang kulit di daerah Klaten dan sekitarnya. Suatu komunitas pada umumnya
menemukan
ataupun
mempunyai
strategi
dalam
upayanya
mempertahankan eksistensi wayang kulit yang dapat dilihat dari tingkat pagelarannya.
2.3 Kebudayaan Jawa Lepas dari berbagai teori yang dikemukakan oleh para sarjana barat dalam kebudayaan wayang kulit yaitu berasal dari Jawa, karena di dalamnya terdapat instrumen seperti gamelan, sistem monoter, bentuk mentrik, batik, ilmu berlayar dan semua itu memang khas dari Jawa dan juga menyangkut aspek kehidupan sosial, kultural dan religius bangsa Jawa, dan juga tokoh-tokoh seperti Petruk, Bagong, Gareng dan Semar yang mencerminkan Jawa kuno dan hal tersebut di nenek moyangkan ( Koentjaraningrat, 455). Berbicara tentang budaya Jawa merupakan suatu budaya yang besar di Indonesia. Begitu juga wayang kulit yang terbentuk bari kultur budaya Jawa, dilihat dari model wayang yang terbilang tua, dari cerita wayang itu yang sangat kuat dengan 2
kultur budaya, terlihat dari budaya bahasa dan juga lakon yang dimainkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wayang kulit sudah ada sejak dulu dan tua dalam masalah umur dari wayang ini. Kebudayaan Jawa mengadopsi seni wayang sebagai suatu teater dalam menyebarkan agama dan nilai-nilai dalam hidup(Hazeu 45,54 dan 56)
2.4 Peradaban Istilah peradaban ini dapat diartikan sebagai bagian dari unsur – unsur kebudayaan yang halus dan indah. Seperti kesenian, ilmu pengetahuan serta sopan santun dan juga sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Sering juga istilah peradapan dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni rupa, seni kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks (Koetjaraningrat, 1957). Faktor – faktor yang mempengaruhi peradaban : 1.
Tradisi Merupakan suatu adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dipelihara (Mustofa dan Maharani, 319)
2.
Faktor Sosial Karena mengandung suatu makna dan di dalamnya nilai-nilai luhur yang menggambarkan situasi sosial yang ada di Jawa dan ajaran-ajaran yang memang mencerminkan suatu norma bagi masyarakat Jawa (Amir Hazim, 1994).
3.
Identitas Karena wayang kulit khususnya sudah menjadi suatu kesenian dari jaman dulu yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia khususnya Jawa.karena di dalamnya terdapat hal-hal yang mencerminkan seni Jawa (Amir Hazim, 1994).
3
4.
Kebudayaan Merupakan suatu kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Jawa khususnya untuk menggambarkan kesenian Jawa dengan menginterprestasikan ke dalam kesenian wayang kulit tersebut.
5.
Ekonomi Karena di dalamnya yaitu wayang kulit atau seni perwayangan terdapat orang – orang yang bermata pencaharian sebagai pekerja seni dan dengan seni tersebut dapat membantu kondisi ekonominya.
6.
Politik Politik adalah pelajaran tentang siasat atau sebagai pelajaran yang terinci dari berbagai cara atau usaha untuk menemukan pencegahan kebingungan (Robert A. Dalh )
2.5 Kesenian wayang kulit Berbicara masalah pagelaran wayang kulit, wayang kulit atau bisa disebut wayang purwa sudah ada sejak beberapa ratus tahun yang lalu dengan fungsi sebagai menyembah roh nenek moyang. Seiring perkembangan jaman dan seiring budaya manusia pun juga berkembang mulailah wayang kulit merupakan suatu hiburan tetapi juga masih menempatkan ajaran dalam kehidupan yang mengandung nilai kehidupan dan norma yang ada dalam pagelaran wayang tersebut. Dalam pagelaran wayang adapun ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan yaitu adanya pengaturan wayang yang berjumlah 180 dibagi di kanan dan di sebelah kiri pakeliran, adanya sesajen, seperangkat perangan gamelan, yogo, sinden ( P. Dwijo 1993 ) . Melihat hal-hal demikian wayang adalah bentuk teater yang telah amat tua usianya. Melihat tuanya umur wayang dapat dikatakan bahwa dahulu tumbuh dan dibunakan sebagai upacaraupacara penyembahyangan nenek moyang ( Hazeu:45,54 dan , 56). Bagi masyarakat Indonesia, kususnya jawa yang akrab dengan wayang kulit, menyatakan bahwa keindahan selalu dianggap sebagai pengejawantahan dari yang mutlak. Ini artinya semua keindahan adalah satu ( Ciptoprawiro, 1982;26). 4
Disini jelas bahwa pengalaman keindahan selalu dikaitkan dengan pengalaman religious masyarakat Jawa. Hasil-hasil karya sastra masa lampau dan karya seni, termasuk wayang kulit pada hakekatnya berisi tentang rumusan keindahan yang dikatkan dengan keindahan upaya transcendental masyarakat Jawa. Sasta gending, Nitisruti, dan lakon Dewa ruci misalnya, merupakan representasi sikap religius masyarakat Jawa yang dibingkai dalam tatanan estetika mereka. 2.6 Strategi dalam mempertahankan wayang kulit Di era modern seperti ini banyak sekali budaya – budaya yang masuk di Indonesia mulai dari seni, budaya, musik dan lain sebagainya. Di dalam ramainya persaingan dan masuknya budaya – budaya baru seperti halnya musik – musik yang sekarang banyak mempengaruhi para remaja khususnya dan juga film – film tapi disini tertarik pada seni Jawa yang mungkin sudah ada sebelum lahir, yaitu seni wayang atau sering disebut wayang kulit atau dalam bahasa Jawa disebut ”Ringgit Purwo”. Seni ini tidak ada matinya, di tengah gempuran banyak sekali budaya asing yang masuk justru wayang semakin menunjukkan keeksisannya. Bukan semakin larut dan hilang beitu saja. Hal inilah yang akan di kaji apa sebenarnya yang membuat seni wayang ini tidak ketinggalan jaman dan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Wayang merupakan salah satu bentuk karya seni yang dapat dipakai sebagai sumber pencarian nilai – nilai adalah seni wayang kulit itu sendiri, karena di dalamnya terdapat berbagai ajaran dan nilai etis etika yang bersumber dari nilai etis agama dan juga filsafat. Ajaran – ajaran dan nilai etis itu sudah mempengaruhi atau memenuhi secara objektif / kritis ajaran – ajaran dan nilai tersebut dapat dipakai oleh bangsa Indonesia untuk kelangsungan hidupnya. Dan tetap dipakainya ajaran dan nilai – nilai itu oleh bangsa Indonesia khususnya Jawa dari jaman ke jaman. Dan itulah mengapa wayang masih tetap eksis walaupun banyak sekali budaya – budaya yang masuk ke Indonesia karena dalam wayang tersebut banyak mengandung ajaran – ajaran yang bersifat membangun dan keunikan dan tradisionalnya itulah yang menyebabkan wayang tetap ada sampai sekarang( hazim amir, 1991).
5
Dalam usaha mempertahankan eksistensi wayang kulit ada strategi yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Mengacu dari pada pandangan Pierre Bourdieu bagaimana dia mengatakan bahwa adanya konsep dalam mempertahankan budaya. Termasuk dalam modal budaya ialah ijasah, pengetahuan yang sudah diperoleh. Kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, hal ini yang berpengaruh dalam reproduksi kedudukan sosial (Bourdieu, 1979). Termasuk juga adalah modal sosial hubungan-hubungan dan jaringan hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Pierre Bourdieu juga menyampaikan konsepnya tentang reproduksi sosial, permainan sosial merupakan hubungan dominasi antar individu dan kelompok-kelompok. Mekanisme itu digunakan untuk menetapkan apa yang disebut dengan budaya. Yang berbicara tentang membedakan diri, strategi dalam mempertahankan dominasi, mengakumulasi jenis modal-modal lain, dan strategi dominasi dalam ranah budaya jadi sangat beragam dalam halnya mempertahankan dominasi (Bourdieu 1998). Dari pernyataan yang diungkapkan oleh Pierre Bourdieu diatas ada suatu konsep dasar dari Bourdieu yaitu adalah Habitus. Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis ( tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu 1994). Dalam sebuah proses ketrampilan itu struktur yang dibentuk berubah menjadi struktur-struktur yang membentuk. Habitus itu sendiri memiliki dua dimensi yaitu dimensi prakseologis (arah orientasi sosial) dan dimensi afeksi (cita-cita, selera, dan sebagainya). Dua dimensi habitus ini melukiskan adanya disposisi seseorang atau suatu kelas sosial yang menentukan arah orientasi sosial, cita-cita, selera, cara berpikir, etos, dan sebagainya.
6
2.7 Konsep Habitus Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis ( tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994). Dalam sebuah proses ketrampilan itu struktur yang dibentuk berubah menjadi struktur-struktur yang membentuk. Habitus itu sendiri memiliki dua dimensi yaitu dimensi prakseologis (arah orientasi sosial) dan dimensi afeksi (cita-cita, selera, dan sebagainya). Dua dimensi habitus ini melukiskan adanya disposisi seseorang atau suatu kelas sosial yang menentukan arah orientasi sosial, cita-cita, selera, cara berpikir, etos, dan sebagainya. Konsep Bourdieu tentang habitus diilhami oleh pemikiran Marcel Mauss „teknik tubuh dan hexis. Kata itu sendiri dapat ditemukan dalam
karya
Norbert
Elias,
Max
Weber,
Edmund
Husserl
dan
Erwin
Panofsky, habitus adalah struktur mental atau kognitif yang digunakan actor untuk menghadapi kehidupan sosial. Karena actor telah diberikan serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang digunakan untuk untuk merasakan memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Secara sederhana habitus merupakan sekian produk perilaku yang muncul dari berbagai pengalaman hidup manusia, yang juga merupakan akumulasi dari hasil kebiasaan dan adaptasi manusia, yang bahkan dapat muncul tanpa disadari. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi sosial dalam waktu yang panjang, sehingga habitus bervariasi pada sifat posisi seseorang di dunia tersebut. Jadi, habitus antara orang satu dengan orang lain tidak sama. Habitus yang termanifestasikan pada individu tertentu diperoleh dalam proses sejarah individu dan merupakan fungsi dari titik tertentu dalam sejarah social tempat ia menempati. Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah yakni dipengaruhi oleh arena. Namun, orang mungkin saja memiliki habitus yang tidak pas, menderita 7
sesuatu yang disebut hysteria. Misalnya orang yang tercerabut dari eksistensi agrarisnya di masyarakat prakapitalis kontemporer yang kemudian bekerja di Wall Street. Habitus yang diperoleh di masyarakat prakapitalis tidak memungkinkan orang untuk dapat mengatasi kehidupan di Wall Street. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Di satu sisi, habitus menstrukturkan struktur artinya habitus adalah struktur yang menstrukturkan dunia social. Di sisi lain, habitus adalah struktur yang terstrukturkan artinya bahwa habitus adalah struktur yang distrukturkan oleh dunia social. Dengan istilah lain Bourdieu menggambarkan habitus sebagai “dialektika internalisasi eksternalisasi dan eksternalisasi internalisasi. Jadi habitus memungkinkan Bourdieu keluar dari keharusan memilih antar subjektivisme dengan objektivisme, keluar dari kendali filsafat subjek tanpa mengabaikan agen maupun dari kendali filsafat struktur namun tanpa lupa mempertimbangkan efek yang ditimbulkannya pada dan melalui agen.Praktik inilah yang menghubungkan antara habitus dengan dunia social. Di satu sisi, melalui praktik inilah habitus diciptakan, di sisi lain habitus adalah akibat dari praktik yang diciptakan dunia social. Bourdieu mengemukakan fungsi mediasi praktik ini ketika mendefinisikan habitus sebagai system disposisi yang terstrukturkan dan menstrukturkan yang dibangun oleh praktik dan secara konstan ditujukan pada fungsi- fungsi praktik. Meskipun habitus adalah satu struktur terinternalisasi yang menghambat pikiran dan pilihan bertindak, namun habitus tidak menentukannya. Tiadanya determinisme ini adalah salah satu hal utama yang membedakan posisi Bourdieu dengan posisi strukturalis arus utama. Habitus sekadar menyarankan apa yang seharusnya dipikirkan orang dan apa yang seharusnya mereka pilih untuk dilakukan. Habitus memberikan prinsip yang digunakan orang untuk memilih strategi yang akan mereka gunakan di dunia sosial. Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia. 8
Kerangka Pikir
( Komunitas Cinde Laras)
1. Struktur kelembagaan 2. Ideologi 3. Perubahan dalam pagelaran wayang kulit
Strategi dalam mempertahankan kesenian Wayang Kulit
PIERRE BOURDIEU - Habitus - Reproduksi dominasi sosial - Strategi determinasi dominasi.
Tetap bertahannya Komunitas Cinde Laras sebagai komunitas yang mempertahankan Seni Wayang Kulit.
Keterangan Pada dasarnya perkembangan wayang kulit ditandai dengan berbagai macam fakta. Mulai dari pola pemikiran masyarakat terhadap seni wayang kulit itu sendiri, keanekaragaman penyajian yang diberikan dalam setiap pertunjukan dan juga yang tidak ketinggalan adalah penambahan bahasa Indonesia dan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat yang dimasukkan dalam suatu lakon pewayangan. Dari kerangka pikir diatas bagaimana penulis akan mengkaji tentang komunitas Cinde Laras sebagai obyek penelitian. Dimana penulis akan mencari tahu dalam upayanya mempertahankan eksistensi pagelaran wayang kulit di Klaten ini, dengan beberapa pertimbangan yaitu melihat strategi apa yang dipakai oleh komunitas ini dalam mempertahankan wayang kulit ini sendiri. Dengan melihat dari berbagai macam usaha yang dilakukan oleh paguyuban Cinde Laras yang mengacu pada stuktur organisasi yang ada dalam paguyuban Cinde Laras, juga berkaitan dengan 9
idiologi yang ada dalam paguyuban dan nilai-nilai dalam pewayangan serta peranan aktor dalam mempertahankan paguyuban dalam seni wayang kulit dan yang terakir melihat perubahan yang terjadi dalam pagelaran wayang kulit yang dilakukan dengan harapan masyarakat menyukainya dan membuat pertunjukan menarik dan pesan yang disampaikan tersalur. Dengan menggunakan konsep dari pakar ilmu sosiologi Pierre Bourdieu yang dibagi menjadi tiga konsep, yaitu konsep Habitus, reproduksi dominasi sosial, dan juga strategi determinasi dominasi, dengan melihat kasus di lapangan yang terjadi. Dari teori yang penulis pilih diatas menjadi suatu landasan dalam menemukan fakta yang mungkin tidak pernah disadari oleh masyarakat antara keterkaitan masyarakat, seni wayang kulit, dan juga pekerja seni yang pada dasarnya merupakan satuan dalam suatu daerah tertentu, karena kewajiban suatu daerah salah satunya adalah menjunjung tinggi akan keaslian dan juga seni.
10