Wawancara Khusus
Agus Widjojo: Masyarakat Bersikap Masih Seperti 1965 Prima Gumilang & Suriyanto, CNN Indonesia Sabtu, 01/10/2016 20:55 WIB http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161001191440-75-162627/agus-widjojo-masyarakat-bersikap-masih-seperti-1965/
Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo. (CNN Indonesia/Ranny Virginia Utami)
Jakarta, CNN Indonesia -- Letnan Jenderal (Purnawirawan) Agus Widjojo kehilangan ayahnya, Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo, dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional itu memilih mengikhlaskan masa lalu dengan mendukung ide rekonsiliasi dalam Tragedi 1965. Namun, ia sadar rekonsiliasi bukan hal mudah. “Belum ada pihak yang siap untuk melakukan rekonsiliasi,” katanya. Berikut petikan wawancara wartawan CNNIndonesia.com, Prima Gumilang dan Suriyanto, dengan Agus di ruang kerjanya di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Jumat (30/9).
Tragedi 1965 belum bisa diselesaikan hingga kini. Bagaimana tanggapan Anda? Bangsa kita akan terbelah secara tajam menyangkut peristiwa 1965, dan tidak bisa untuk melepaskan diri dari trauma masa lalu, untuk semua pihak.
1
Kita perlu belajar dari negara lain yang berhasil mengatasi peristiwa masa lalu yang memporak-porandakan masyarakatnya. Misalnya Kamboja, Afrika Selatan dan Jerman. Mereka berupaya mencari penyelesaian dan berdamai dengan masa lalu. Mereka mulai melangkah ke depan dengan lembaran baru, dan menjadi masyarakat yang tidak terbebani oleh sejarah masa lalu. Mengapa kita tidak bisa? Baca juga: Agus Widjojo dan Malam Penculikan 1965
Seberapa penting rekonsiliasi? Sedikit banyak akan mencerminkan tingkat peradaban bangsa. (Kita) mau atau tidak mengoreksi diri sendiri dan mengambil pelajaran dari kelemahan atau kesalahan. Kalau kita pernah saling membunuh dalam jumlah yang cukup besar, dalam kurun waktu yang cukup lama, dengan mengambil hak dasar warga negara itu sendiri, (berarti) ada kesalahan yang dilakukan, ada kelemahan dalam sistem kita. Saya khawatir kalau kita tidak mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi, tanpa kita sadari bisa berulang di masa datang, generasi anak cucu, karena kita tidak mengambil pelajaran. Itu dasar pemikiran untuk mencari penyelesaian dan berdamai dengan masa lalu. Bila hendak menjadi bangsa yang besar, tunjukkan kita bisa berdamai dengan masa lalu. Seperti apa berdamai dengan masa lalu itu? Kita mencoba untuk mencapai tataran yang membebaskan dari masa lalu dan mencari kesepakatan tentang bagaimana membangun masa depan. Itu yang disebut rekonsiliasi. Apa tantangannya? Rekonsiliasi itu belum banyak dipahami oleh publik di Indonesia, terutama mereka yang berasal dari golongan bertikai. Ada yang mencurigai rekonsiliasi sebagai jalan melanggengkan impunitas supaya yang bersalah tidak bisa dituntut. Rekonsiliasi juga disalahgunakan untuk memberikan tekanan maupun tuntutan.
2
Bila dua posisi itu yang diambil, kita hanya memperpanjang konflik. Apa saja syarat untuk mencapai rekonsiliasi? Syarat rekonsiliasi adalah mengambil jarak dari peristiwa yang terjadi. Meski kita terlibat di dalamnya, kita harus melakukan refleksi. Kita hidup di tahun 2016, namun apabila cara pandang masih seperti 1965, kita tak akan pernah siap memasuki rekonsiliasi. Bagi saya tujuan rekonsiliasi adalah mencari apa yang salah dari yang pernah kita lakukan sebagai bangsa. Bangsa itu mencakup semuanya, bukan hanya satu pihak. Kejadian seperti itu pasti ada yang bersalah. Namun yang kita cari adalah apa yang salah dan kita perbaiki untuk menjamin tidak akan terulang kembali kepada anak cucu kita. Baca juga: 'Represi atas Korban 1965 Berhenti Jika Ada Rekonsiliasi'
Bagaimana Anda melihat kesiapan untuk menuju itu? Rekonsiliasi membutuhkan syarat yang berat. Rekonsiliasi berjalan apabila orang yang terlibat telah selesai dengan dirinya sendiri. Itu sungguh berat. Saya melihat para pihak yang terlibat belum memenuhi syarat itu. Semua yang terlibat masih menempatkan dirinya dalam konteks peristiwa 1965. Belum ada yang mampu melepaskan egonya. Let go of the past. Setelah melepaskan masa lalu, kita bisa membicarakan bagaimana masyarakat Indonesia memulihkan harkat dan martabatnya. Bagaimana semua warga negara akan diperlakukan secara sama untuk terus melaju ke masa depan. Hal ini masih berat dan menurut saya menunjukkan betapa kita masih perlu berusaha meningkatkan peradaban. Bagaimana dengan tuntutan penyelesaian lewat jalur hukum? Idealnya memang semua tindakan pelanggaran hukum diselesaikan lewat jalur hukum atau yudisial. Tapi peristiwa 1965 ini memang unik.
3
Pertama, telah terjadi tindakan kekerasan yang bersifat massal. Kedua, itu terjadi lebih dari 50 tahun yang lalu. Apabila mencoba (menyelesaikan) lewat proses peradilan pun tidak mudah. Kebanyakan pelaku sudah meninggal. Yang masih hidup, paling muda usianya menginjak 70-an. Selain itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc menyebutkan, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU itu (berlaku), bisa diselesaikan melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Proses hukum akan sangat sulit, meski tak terlarang. Proses rekonsiliasi pun bukan untuk menggantikan atau meniadakan proses pengadilan, tetapi berjalan sejajar.
Agus Widjojo saat memberi sambutan dalam Simposium Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan, April 2016. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto)
Apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai rekonsiliasi? Rekonsiliasi minimal terdiri dari empat elemen, yakni keadilan, mengungkap kebenaran, mengambil pelajaran, dan mengoreksi kesalahan. Koreksi kesalahan bisa dikatakan bagian dari reformasi kelembagaan. Tetapi yang disorot di situ adalah penyalahgunaan kewenangan sehingga terjadi Tragedi 1965. Kita masih berada pada masa transisi dari sistem politik otoriter menjadi sistem politik demokrasi. Transisi itu tidak bisa menutup yang hitam langsung menjadi putih. 4
Ada wilayah abu-abu. Di antara wilayah abu-abu, yang menjadi korban adalah fungsi peradilan. Ada pelaku, ada tindakan kekerasan, ada pihak yang dirugikan atau korban. Tentu kepada korban, pemerintah akan memiliki kebijakan untuk memberikan penggantian terhadap kehilangan yang diderita. Namun jangan artikan semuanya dalam bentuk uang. Bagi mereka yang dirugikan, penting untuk dipulihkan kembali harkat dan martabat kemanusiaannya. Rekomendasi simposium 'Membedah Tragedi 1965' mengarah pada rekonsiliasi nasional. Sampai di mana prosesnya? Simposium itu diadakan oleh kesepakatan bersama berbagai elemen. Mandat yang diberikan simposium pada akhirnya memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Kami sudah selesai memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Selanjutnya itu menjadi kewenangan dan hak prerogatif pemerintah untuk memutuskan kebijakan apa yang akan dirumuskan. Pada simposium Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan yang digelar di Jakarta April lalu, Agus menjadi ketua panitia pengarah. Baca juga Wiranto: 1965 Negara Bahaya, Tak Bisa Dinilai Hukum Masa Kini
Mengapa hasil simposium belum disampaikan kepada publik? Tidak etis kami memberi rekomendasi, kemudian menyampaikan rekomendasi ke publik. Jadi kami hanya sampaikan kepada pemerintah. Lalu apa yang membuat rekonsiliasi belum tercapai hingga kini? Tidak ada pihak yang siap untuk rekonsiliasi. Mereka berbicara, berpikir, dan bersikap masih seperti 1965. Akibatnya terjadi pengkotak-kotakan masyarakat. Belum ada yang rela untuk mengikhlaskan diri dan melepaskan dari peristiwa ini. Padahal itu syarat terpenting.
5
Kalau itu belum ada, jangan dipaksakan. Masyarakat belum siap. (yul/agk)
Agus Widjojo dan Malam Penculikan 1965 Prima Gumilang & Suriyanto, CNN Indonesia Sabtu, 01/10/2016 15:34 WIB
Gubernur Lemhannas Letjen (Purn) Agus Widjojo. (CNN Indonesia/Suriyanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Masih segar dalam ingatan Letnan Jenderal (Purnawirawan) Agus Widjojo peristiwa mencekam yang dialami keluarganya pada 1 Oktober 1965. Sekitar pukul 03.00 dini hari, rumahnya digedor pasukan bersenjata. Ayahnya, Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo dibawa pergi dan tak pernah kembali lagi. Agus yang masih remaja dan duduk di bangku SMA tak benar-benar memahami peristiwa yang dilakukan Gerakan 30 September. Pascakehilangan ayah, dia berupaya mandiri dan melanjutkan sekolah tanpa membebani keluarga. Berikut wawancara wartawan CNNIndonesia.com, Prima Gumilang dan Suriyanto, dengan Agus di ruang kerjanya di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Jumat (30/9). Seperti apa situasi saat terjadi peristiwa penculikan 1 Oktober 1965 di rumah Anda? Saat itu kami sekeluarga ada di rumah. Kami hanya punya dua kamar, orang tua saya di kamar depan dan saya di kamar belakang. Kebetulan jalan di samping rumah sedang terbuka lebar karena garasi direnovasi. Sehingga mereka datang dan bisa langsung masuk ke belakang rumah. Mereka menggedor kamar pembantu yang membawa kunci pintu, mengambilnya dan kemudian masuk ke dalam
6
rumah. Tidak ada perlawanan? Di rumah orang tua saya tidak ada penjagaan, tidak ada senjata. Jadi memang tidak ada perlawanan sama sekali. Suasana masih gelap jam tiga pagi. Orang tua meminta jangan keluar kamar. Kami pun menuruti. Mereka banyak sekali. Saya hanya mendengar dari dalam kamar. Perilaku mereka kasar, menusuk-nusuk pintu dengan sangkur. Tidak ada penggunaan senjata api. Tidak ada gunanya perlawanan, ayah lalu keluar mengikuti mereka. Belakangan kami mendapat cerita dari ibu, katanya mereka menjemput ayah karena dipanggil Bung Karno, namun tidak bisa menunjukkan surat perintah. Baca juga: Meniti Lorong Waktu Lubang Buaya, Pusat Petaka 30 September
Apakah sempat melihat kondisi jenazah ayah Anda setelah ditemukan di Lubang Buaya? Saat itu kami sudah tidak boleh melihat. Jenazah diangkat setelah tiga hari di dalam sumur tua, sudah membusuk. Ketika jenazah tiba di rumah duka, kami tidak dapat membukanya dari peti. Yang jelas sudah meninggal. Penghilangan nyawa itu dilakukan secara paksa. Itu saja sudah cukup buat saya. Apa yang Anda pahami saat itu? Pada waktu itu memang tidak mudah membuat kesimpulan atau anatomi tentang apa hakikat peristiwa ini dan siapa saja yang terlibat. Itu tidak bisa, semua simpang siur, dan saya rasa itu bagian dari sikap publik yang tidak tahu-menahu, kecuali yang terlibat di dalam gerakan, ataupun pihak yang terkait di dalamnya. Saya membaca surat kabar keesokan harinya yang memberitakan penculikan tujuh perwira AD tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Pemberitaan masih dalam nuansa dikaitkan dengan kondisi revolusioner pada waktu itu, bagaimana posisi Bung Karno, dan adanya benturan garis politik yang keras antara PKI dan AD.
7
Secara umum itu yang bisa saya tangkap. Saya baru tahu peristiwa G30S setelah menjadi perwira. Jangan menduga saya tahu segalanya. Saya mencari informasi dari berbagai surat kabar umum, mengandalkan sumber-sumber informasi terbuka yang kemudian saya cerna dan analisis. Dokumen visum et repertum menunjukkan tidak ada luka bekas sayatan tujuh perwira di Lubang Buaya, sedangkan tersiar kabar adanya berbagai penyiksaan. Bagaimana Anda memahami ini? Saya tidak mempersoalkan bentuk tindakan penyiksaan, entah penyayatan atau pemotongan. Itu tidak saya persoalkan. Penemuan tujuh jenazah perwira AD dalam lubang sumur tua di Lubang Buaya, dengan luka tembak di kepala, tusukan benda tajam, itu saja sudah merupakan bukti adanya pembunuhan. Saya tidak persoalkan intensitas kekerasan. Tetapi bahwa mereka itu dibunuh, itu sudah cukup bagi saya untuk mengatakan itulah awal dari Tragedi 1965. Baca juga Wiranto: 1965 Negara Bahaya, Tak Bisa Dinilai Hukum Masa Kini
Bagaimana sosok ayah, Pak Sutoyo Siswomiharjo, di mata Anda? Kami berasal dari keluarga masa lalu yang masih memegang nilai konservatif. Tidak seperti keluarga modern yang dapat berkomunikasi dengan lancar dan berdiskusi. Hubungan kami berjarak antara orang tua dan anak. Diitambah kesibukan ayah, kami tidak bisa berbicara banyak. Ayah saya tipikal yang serius dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Namun ia menyempatkan diri bergembira dengan kawan-kawannya. Saat bertemu kawannya, mereka tertawa terbahak. Apa ada hubungan peristiwa 1965 dengan keputusan Anda masuk Akabri? Bayangkan saja, peristiwa itu membuat sebuah keluarga kehilangan kepala keluarganya. Ke depannya seperti apa? Saya banyak memikirkan masa depan dan berpikir sejauh mana keluarga mampu
8
mendukung pendidikan saya. Saat itu saya lebih banyak berpikir bagaimana membangun masa depan berdasarkan kemampuan saya sendiri tanpa harus memberi beban kepada keluarga. Saya mencari kepastian untuk masa depan sekaligus mencari tempat untuk menempa karakter. Dari pertimbangan itu kemudian saya mengambil keputasan: yang terbaik buat saya adalah menjadi tentara. Baca juga: 'Represi atas Korban 1965 Berhenti Jika Ada Rekonsiliasi'
Anda tidak takut masuk ketentaraan setelah peristiwa G30S? Masalahnya bukan soal tentara sebagai profesi. Saya belum punya cita-cita mau jadi apa. Saya hanya berpikir masa depan hidup saya. Tidak ada dorongan dari keluarga untuk jadi prajurit? Keputusan untuk pengabdian keprajuritan adalah keputusan saya. Tapi memang sedikit banyak dipengaruhi oleh peristiwa G30S. Setelah menjadi tentara, apa merasa cocok? Saya rasakan masuk tentara memerlukan pengabdian dan kesadaran untuk mengabdi pada negara dan bangsa. Salah apabila masuk keprajuritan untuk mencari kesejahteraan, kenyaman, dan hidup berlebih. Bergabung dengan tentara hanya ada kebanggaan. Seorang penulis Inggris mengatakan, seorang prajurit tak punya hak dan kewenangan (untuk bertanya) mengapa, tapi laksanakan atau mati. Theirs not question why, but to do or to die. Itu jadi prinsip hidup Anda? Sudah mendarah daging selama 33 tahun. Sangat membekas. Baca juga Agus Widjojo: Masyarakat Bersikap Masih Seperti 1965
(yul/agk) 9
10