MASLAHATMENURUT NAJAMUDDIN AT-TUFI Oleh: Baso Mufti Alwi
Abstrak Disadari atau tidak, perkembangan permasalah kehidupan manusia akan selalu mengiringi perkembangan dan kemajuan umat manusia itu sendiri. Termasuk di dalamnya adalah permasalahan hukum yang belum ada ketentuannya di dalam nas yang perlu dicarikan jawaban dan penyelesaian agar persoalan itu tidak menjadi terbengkalai. Pada sisi lain, umat Islam meyakini bahwa Islam adalah agama yang universal, yang akan mampu mengayomi seluruh kehidupan manusia di manapun dan kapanpun. Kehadiran Najamuddin at-Tufi dengan membawa gagasan maslahat terhadap berbagai persoalan yang ada dengan berlandaskan la darar wala diraar mengantarkan dirinya sebagai tokoh yang kotroversial dalam sejarah. Kata kunci: maslahat, hukum, at-Tufi
A. Pendahuluan Suatu hal yang paling fundamental dan sering menjadi pokok bahasan dalam studi yurisprudensi Islam adalah konsep maslahat sebagai tujuan penetapan hukum Islam. Begitu urgennya kedudukan maslahat sebagai tujuan sehingga terkadang menimbulkan kontroversi di dalamnya. Sejak awal syariah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syariah Islam dicanangkan demi kebahagian manusia, lahir-batin, duniawi-ukhrawi sepenuhnya mencerminkan kemaslahatan. Akan tetapi, keterikatan yang berlebihan terhadap nas, seperti dipromosikan oleh faham ortodoksi, telah membuat prinsip kemaslahatan hanya sebagai jargon kosong, dan syariah yang pada mulanya adalah jalan, telah menjadi tujuan bagi dirinya sendiri.1 Sejalan dengan kecenderungan umum yang ada di tengah masyarakat sekarang ini menuntut semakin ditingkatkannya peran maslahat dalam berbagai
1 Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari'ah" dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an. No. 3, Vol. VI Thn 1995, hlm. 94
2
pertimbangan penetapan hukum Islam.2 Oleh karena itu, untuk memenuhi tuntutan tersebut, perlu dirumuskan metode dan alternatif pengembangan konsep maslahat di atas secara bertanggung jawab jika dikaitkan dengan kebutuhan legislasi muslim kontemporer, seperti dalam masalah politik, hukum, ekonomi dan sebagainya. Salah satu teori yang memperhatikan maslahat secara mutlak, baik terhadap masalah hukum Islam yang ada nasnya maupun yang tidak ada nasnya dalam lapangan hukum muamalahdikemukakan oleh Najamuddin at-Tufi. Dia membenarkan penggunaan maslahat sedemikian jauh hingga mengesampingkan nas. Maslahatdianggap sebagai prinsip dasar dan dominan dari syari'ah. Karenanya, maslahat lebih berkuasa atas semua metode lain semisal ijma'. Pemikiran at-Tufi tentang maslahat tersebut dinilai oleh sebagian ulama dikategorikan sebagai maslahat mursalah.Ada pula yang menuduh pemikirannya itu sebagai pandangan kaum Syi'ah3, dan dianggap berbahaya untuk diterapkan karena secara apriori telah mengemukakan kemungkinan terjadinya pertentangan antara nas dengan maslahat.4Bahkan, ada yang beranggapan penerapan maslahatnya itu akibat mengikuti hawa nafsu karena telah menghalalkan yang haram dengan dalih maslahat.5 Di samping penilaian di atas, ada juga yang berpendapat bahwa teori yang diperkenalkan at-Tufi lebih sebagai suatu teori yang memperhatikan maslahat secara mutlak, baik dalam lapangan hukum yang ada atau tidak nasnya dalam lapangan kehidupan antarasesama manusia.6 Dengan kata lain, maslahat at-Tufi
2Akh.
Minhaji, "Prof. K.H. Ali Yafie dan Fiqh Indonesia", dalam Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, EdisiVI Desember 1997. hlm. 11, 3Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hanbal wa Asaruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm.361. Pandangan yang menyebut at-Tufi sebagai penganut aliran Syi'ah tidak sepenuhnya benar karena biasanya para ulama Syi'ah melaksanakan hukum dari ulama Sunni, yaitu dari mazhab Syafi'i, sementara at-Tufi sendiri penganut mazhab Hanbali. Selain itu, tidak ada penjelasan dalam biograpi ulama Syi'ah pada diri at-Tufi sebelum masa al-Khansari. Lihat P.J. Bearman T.H. et.all (ed.), The Encyclopaedia of Islam, vol. X (Leiden: Brill, 2000), hlm. 588 4Ahmad Zaki Yamani, Syari'at Islam yang Abadi Menjawab tantangan Masa Kini, terj.Mahyuddin Syaf, (Bandung: Alma'arif, 1986), hlm.51-52. 5
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq al-Syatibi,terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm.192 6Muhammad
Mustafa Syalabi, Ta'lil al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Nahdah, 1981), hlm.292.
3
tidak hanya berlaku pada persoalan hukum yang tidak ada nasnya, tapi juga berlaku pada lapangan yang ada nasnya dalam bidang muamalah. Oleh karena itu, makalah ini mengangkat permasalah yaitu bagaimanakah pandangan at-Thufi tentang maslahat dan ruang lingkupnya?
B. Sketsa Biografi Singkat dan Karya at-Tufi Nama lengkap ulama ini adalah Najamuddin Abu ar-Rabi' Sulaiman bin Abd al-Qawi bin Abd al-Karim bin Sa'id at-Tufi as-Sarsari al-Bagdadi al-Hanbali, yang terkenal dengan nama at-Tufi. Kata Tufi sebenarnya diambil dari nama sebuah desa di Sarsar, Irak yang juga tempat dilahirkannya tokoh ini. Beliau juga terkenal dengan nama Ibnu Abu Abbas.7 Terjadi perbedaan pendapat tentang kepastian tahun kelahirannya. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa at-Tufi lahir pada tahun 657 H. Sedangkan Ibnu Rajab, seorang ulama fiqh mazhab Hanbal dan Ibnu Imad mengatakan bahwa at-Tufi lahir pada tahun 670 H atau sesudah itu.8 Setting sosial at-Tufi diwarnai dengan masa kemunduran Islam terutama hukum Islam. Fase kemunduran ini berlangsung cukup lama yaitu dari pertengahan abad keempat Hijrah sampai akhir abad ketiga belas Hijrah di manapara ulama kurang berani berinisiatif untuk berijtihad dalam menggali hukum-hukum Islam. Mereka merasa cukup mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh imam-imam mujtahid sebelumnya, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad. Dengan kata lain mereka tidak mempunyai pikiran yang independen, melainkan cukup dengan bertaklid.9 Sebagai seorang yang haus akan ilmu pengetahuan, at-Tufi berusaha memenuhi kebutuhan ilmiahnya dengan mempelajari berbagai buku, tak terkecuali buku-buku Syiah. Dalam sejarah ia tercatat sebagai penganut aliran P.J. Bearman T.H. et.all (ed.), The Encyclopaedia …, hlm. 588
7 8
Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, (Cet. V; Jakarta: PT. Ichtar Baru van Hoeve, 2001), hlm. 1836 9
Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin At-Tufi, (Cet.I; Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 14-15. tentang pergulatan antara harus berijtihad dan taqlid serta kondisi yang ada di sekitarnya dapat dilihat dalam Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984), hlm. 206-9
4
Syiah, akan tetapi ia kemudian mengundurkan diri dari aliran tersebut dan kembali menjadi ulama mazhab Hanbali.10 Karena menguasai berbagai disiplin ilmu, at-Tufi juga menyumbangkan banyak karya ilmiah11 dalam berbagai disiplin ilmu, meskipun
kebanyakan
karyanya masih berbentuk manuskrip yang bertebaran di beberapa negara di Timur Tengah seperti Mesir, Irak, dan Turki.12 Tentang tahun wafatnya, juga terdapat perbedaan pendapat yang mengacu pada tahun 710-716 H. Dalam hal ini Mustafa Zaid menguatkan pendapat dari Ibnu Hajar, Ibnu Rajab, dan Ibnu Imad yang mengatakan bahwa at-Tufi wafat pada tahun 716 H. Kesimpulan ini diambil setelah meneliti buku at-Tufi yang ditulis sejak tanggal 13 sampai 28 Rabiul Akhir 713 H di kota Qus, Mesir.13
C. Teori at-Tufi tentang Maslahat Embrio pandangan at-Tufi tentang maslahat adalah ketika pembahasan (syarah) hadis nomor 32 hadis Arba'in Nawawi dikupas. Hadis dimaksud berbunyi "la darara wa la dirara" artinya "tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain".Bagi at-Tufi pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan menafikan (meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Karena itu, jika mudaratdilarang oleh syari'at, maka
10 Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi..., hlm. 1837. Bahwa at-Tufi sebagai pengikut mazhab Hanbali adalah sangat kontroversial karena Ahmad bin Hanbal oleh sementara kalangan diberi predikat sebagai Imam Kaum Fundamentalis yang sangat ketat berpegang pada nass. Lihat Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahat Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 86 11 Tentang berbagai karya-karya yang dihasilkan oleh at-Tufi dapat dilihat lebih jauh dalam Yusdani, Peranan…, hlm. 19-23 12 Dari sekian banyak karyanya, ia sangat menonjol di bidang fiqh, terutama saat membahas konsep maslahat. Kontroversi di bidang maslahat inilah yang membuatnya tetap dianggap vokal sampai sekarang. Menurutnya, ajaran yang diturunkan oleh Allah swt., sampi kepada Rasulullah pada intinya adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh sebab itu, dalam segala persoalan kehidupan manusia, prinsip yang dijadikan pertimbangan adalah kemaslahatan. Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi…,hlm. 1837. Ahmad Qadri, Islamic Jurisprudence in the Modern World (Pakistan: Kashmir Bazar, t.t), hlm. 67-77 13
Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ibid.
5
maslahatharuslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang bertentangan bagai air dan minyak.14 Menurut at-Tufi sesungguhnya dalil-dalil syari'at itu terdiri dari sembilan belas macam. Sembilan belas dalil tersebut adalah : (1).al-Kitab, (2). as-Sunnah, (3). Ijma' al-Ummah, (4). Ijma' ahl al-Madinah, (5). al-Qiyas, (6). Perkataan sahabat Rasul, (7). Masalih al-Mursalah, (8). al-Istishab, (9). al-Bara'ah al-Asliyyah, (10). al-'Awaid, (11).Istiqra',(12). Saddu az-Zara'i, (13). Istidlal, (14). al-Istihsan, (15). al-Akhzu bi al-Akhaffi (mengambil yang lebih ringan),(16). al-'Ismah, (17). Ijma' ahl al-Kufah, (18). Ijma' ahl al-'Itrah (keluarga Nabi), (19). Ijma' al-Khulafa' al-Rasyidin.15 Dari sembilan belas dalil tersebut, dalil terkuat adalah nas dan ijma'. Tetapi menurutnya terkadang antar nas dan ijma' selaras dengan maslahat dan terkadang pula bertentangan. Jika keduanya selaras dengan maslahat tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni nas, ijma' dan maslahat. Sebaliknya, jika antara keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maslahat daripada nas dan ijma'. Caranya dengan melakukan takhsis atau tabyin terhadap dalil nas dan ijma' tesebut, bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya.16 Lebih jauh, dapat dikatakan nas dan ijma' itu terkadang tidak mengandung segi mudarat dan mafsadat, atau memenag mengandung mudarat. Jika tidak mengandung mudarat sama sekali, berarti keduanya sama dengan maslahat. Akan tetapi, jika mengandung mudarat yang bersifat keseluruhan hal itu termasuk pengecualian dari hadis Rasulullah la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd, uqubat dan jinayat. Sebaliknya jika pengertian mudarat hanya sebagian, dan terdapat dalil yang menguatkan, hendaknya melakukan perbuatan sesuai dengan dalil yang menguatkan tersebut. Apabila terdapat dalil
Yusdani, Penerapan…, hlm. 23. Lihat juga Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia (Medan: Pustaka Widyasarana, 1995), hlm. 3435 14
Yusdani, Penerapan …., hlm. 29
15 16
Ibid., hlm. 30
6
khusus yang men-takhsis, wajib di-takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirara, dengan pengertian mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut. Bagi at-Tufi sekalipun maslahat yang dia maksud termasuk kategori maslahat mulgah, ia dapat dijadikan pedoman dalam penetapan hukum, bahkan terkadang dapat atau harus diutamakan dan didahulukan dari dalil-dalil hukum yang lain, termasuk nas dan ijma'. Sebagaimana mendahulukan sunnah atas alQur'an dengan cara bayan.17 Dalam penerapan maslahat, at-Tufi mengelompokkan hukum Islam menjadi dua yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah. Dalam hal hukum ibadah penerapan maslahat tidak diperlukan karena maksud dan makna penerapannya tidak lagi dapat dijangkau oleh akal secara detail. Sebab, masalah ibadah hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadah, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya.18Sementara dalam hal hukum muamalat penerapan maslahat dibutuhkan karena makna dan maksudnya dapat dijangkau oleh akal. Landasan dan pedoman dalam hukum kategori kedua ini adalah maslahat an-nas (kemaslahatan manusia), baik dikala ada nas dan ijma', maupun tidak ada.19
D. Maslahat at-Tufi. Dalam pandangan at-Tufi,maslahat adalah sarana yang menyebabkan adanya maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadah maupun adat.
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat…, hlm. 87
17 18
Ibid, hlm. 47.
19
Ibid.hlm. 87
7
Pandangan at-Tufi tentang maslahat nampaknya bertitik tolak dari konsep maqasid at-tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."20 At-Tufi membangun pemikirannya tentang maslahat tersebut berdasarkan atas empat prinsip21, yaitu : 1. Akal bebas menentukan maslahat dan kemafsadatan,
khususnya dalam
lapangan muamalah dan adat. Untuk menentukan suatu maslahat atau kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian at-Tufi bahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi pondasi yang pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, at-Tufi membatasi kemandirian akal itu dalam bidang muamalah dan adat istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk nas, maslahat atau mafsadat pada kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sekalipun maslahat dan kemafsadatan itu dapat dicapai dengan akal, maslahat itu harus mendapatkan justifikasi dari nas atau ijma', baik bentuk, sifat maupun jenisnya. 2. Sebagai kelanjutan dari pendapatnya yang pertama di atas, at-Tufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar'i mandiri yang kehujjahannya tidak tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya tergantung pada akal semata. Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Bagi at-Tufi, untuk menyatakan sesuatu itu maslahatselalu berdasarkan adat-istiadat dan eksperimen, tanpa membutuhkan petunjuk nas. 3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan muamalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadah (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara', seperti salat zuhur empat rakaat, puasa ramadan selama satu bulan, dan tawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat, karena
20 Muhammad Sa'id Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahat fi as-Syariah al-Islamiyah, (Beirut: Mu'assasah ar-Risalah, 1977), hlm.12.
21 Husein Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah, 1971), hlm. 529.
8
masalah-masalah tersebut merupakan hak Allah semata.. Pada bidang ini nas dan ijma'lah yang dijadikan referensi yang harus diikuti. 4. Maslahat merupakan dalil syara' paling kuat. Oleh sebab itu, apabila nas dan ijma' bertentangan dengan maslahat, maka yang didahulukan adalah maslahat dengan cara melakukan pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) terhadap nas tersebut. Bagi at-Tufi,maslahat bukan hanya sebagai dalil ketika tidak adanya nas dan ijma', tetapi hendaklah lebih diutamakan atas nas dan ijma' ketika terjadi pertentangan antara keduanya. Pengutamaan maslahat atas nas dan ijma' tersebut dilakukan dengan cara bayan dan takhsis; bukan dengan cara mengabaikan atau meninggalkan nas sama sekali, sebagaimana mendahulukan sunnah atas al-Qur'an dengan cara bayan. Bahwa at-Tufi lebih mendahulukan maslahat daripada nas dan ijma' disebabkan karena: Pertama, dalam pandangannya, ijma' diperselisihkan kehujjahannya, sedangkan maslahat disepakati termasuk oleh mereka yang menentang ijma'. Ini berarti bahwa mendahulukukan sesuatu yang disepakati (maslahat) atas hal yang diperselisihkan (ijma') lebih utama di mata at-Tufi. Kedua, bahwa nasbanyak mengandung pertentangan, sehingga sering terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hukum, sementara memelihara maslahat secara substansial merupakan suatu yang hakiki yang tidak diperselisihkan. Dengan demikian, pemeliharaan atau pengutamaan maslahat ini merupakan sebab terjadinya kesepakatan yang dikehendaki oleh syara'. Atas dasar ini berpegang pada sesuatu yang disepakati lebih utama daripada berpegang pada sesuatu yang menimbulkan bermacam perbedaan. Sebagaimana beberapa peringatan Tuhan dalam al-Qur'an.22Ketiga, telah terjadi nas-nas dalam sunnah yang ditentang oleh maslahat. Ia merujuk pada pendapat Ibn Mas'ud yang bertentangan dengan nas dan ijma' mengenai tayamum, karena kemaslahatan, yakni ihtiyat atau kehatihatian dalam ibadah. Bila merujuk nas dan ijma', tayamum boleh dilakukan karena sakit dan ketiadaan air, tapi oleh Ibn Mas'ud hal itu tidak boleh laga karena jika dibolehkan dikhawatirkan ada orang yang hanya merasa sakit dingin saja telah bertayamum, tidak mau berwudhu lagi. Pandangan Ibn Mas'ud ternyata tidak 22
QS. al-Imran (3): 103; QS. al-An'am (6): 159
9
seorang pun mengingkarinya padahal pendapatnya ini tersiar luas dalam masyarakat.23 Keempat dasar yang dianut at-Tufi di atas tersebut tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan pendapat jumhur ulama ushul fiqh. Di sinilah letak kontroversialnya pendirian at-Tufi. Adapun kunci perbedaannya dengan ulama lain adalah penempatan pendapat akal yang lebih tinggi daripada wahyu atau hadis. Bagi at-Tufi, karena dasar syariat Islam itu adalah kemaslahatan, sedangkan maslahat itu sendiri dapat dicapai melalui akal. Oleh karena itu dalam menentukan sesuatu itu maslahat atau mafsadat, tidak diperlukan adanya wahyu atau hadis, akan tetapi cukup penalaran akal karena al-Qur'an dan sunnah itu sendiri berulang kali memberikan dorongan agar manusia mempergunakan akalnya secara maksimal. E. ContohAplikasi Maslahat at-Tufi 1. Larangan Menumpuk Bahan Kebutuhan Pokok Dalam penerapan hadis yang menyatakan: "tidak boleh menahan harta kecuali orang aniaya".24Hadis tersebut menunjukkan larangan untuk menumpuk bahan makanan pokok. Akan tetapi demi kebutuhan untuk menjaga kestabilan harga dan persediaan bahan makanan pokok seperti beras, penumpukan atau penyimpanan beras yang dilakukan oleh Depot Logistik dapat dibenarkan bahkan diharuskan sekalipun bertentangan dengan hadis di atas.25
2. Penjatuhan Talak Berdasarkan
pertimbangan
kepentingan
umum
untuk
menjaga
kelangsungan perkawinan, maka penjatuhan talak hanya sah jika dilakukan di muka sidang pengadilan yang dihadiri oleh dua orang saksi dan dikuatkan oleh keputusan pengadilan. 3. Talak Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat…, hlm. 90-2
23 24
Imam Muslim, Shahih Muslim, "Kitab al-Bay'u", Bab Tahrim al-Ihtikar fi al-Aqwat, (Mesir: Isa al-Bab al-Halabi wa Syurakah, t.th), I: 720 Yusdani, Peranan…, hlm. 107
25
10
Pada masa awal kekhalifahan Umar, seorang suami yang menyatakan talak tiga sekaligus kepada istrinya, maka ucapan tersebut hanya dihitung satu talak saja. Oleh Umar, pernyataan talak tiga yang diungkapkan sekaligus itu dihitung jatuh talak tiga atau bain, sehingga tertutup kemungkinan untuk rujuk kembali. Alasan Umar menetapkan hal tersebut karena banyak suami yang mudah dan ringan saja menyatakan talak tiga sekaligus. Umar bermaksud mendidik umat Islam untuk jangan mudah bermain dengan talak, karena perbuatan itu sangat dibenci oleh Allah.26 4. Tidak Memotong Tangan Pencuri Umar tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada musim kelaparan demi memelihara jiwa kaena Beliau menemukan bahwa kebanyakan pencuri dalam kelaparan.27
5. Larangan Wanita Menjadi Pemimpin Negara Contoh lain penerapan teori maslahat at-Tufi adalah hadis mengenai dilarangnya wanita untuk menjadi pemimpin negara. Dalam konteks hadirnya hadis ini dikaitkan dengan kondisi wanita yang terjadi pada masa Rasulullah. Pada masa itu wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walaupun Beliau telah banyak berhasil, tetapi untuk mengubah struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak membutuhkan waktu singkat seperti halnya lembaga perbudakan. Bahkan, sampai beberapa abad lamanya posisi kaum wanita belum begitu menguntungkan. Mereka sangat terisolasi dari lingkungan sekitarnya dan diawasi sangat ketat oleh pihak keluarga. Apabila seorang lelaki hendak meminangnya, ia mengutus seorang wanita pemantau untuk melihat dan menyelidiki kelayakannya, sementara si lelaki itu tidak akan pernah dapat melihatnya sebelum akad nikah. Wanita-wanita itu hanya dapat dipandang oleh mata keluarga mereka.
26
Ibid., hlm. 110-11
27
Prinsip ini bertentangan dengan QS. al-Maidah 5: 41
11
Dari segi pendidikan mereka juga kurang beruntung. Kaum lelaki malah lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor komersial, sebab budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal harganya. Pendek kata wanita tidak keluar dari tembok-tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya mereka tidak tahu menahu mengenai urusan masyarakat. Jadi wajarlah Rasulullah menyatakan bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada orang yang tidak banyak memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan. Saat ini situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan terlibat secara inten dalam berbagai lapangan kehidupan. Mereka sudah banyak tahu seluk beluk permasalah yang dihadapi. Maka dapatlah dikatakan tidak melanggar hukum Islam bagi wanita yang karena kecakapannya dapat menjadi kepala pemerintahan, karena illat mengapa Rasulullah dulu melarang telah hilang. Larangan Nabi dalam hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya, sehingga bila adat berubah, maka illat larangan pun hilang.28
6. Menjual Buah-buahan yang masih Muda Dalam sebuah hadis, Rasulullah melarang untuk menjual buah-buahan yang masih muda, yang belum dapat dipastikan akan masak. Maksud hadis tersebut dapat diketahui karena didasarkan ada kekhawatiran bahwa buah-buahan itu rusak sebelum masak, yang mengakibatkan pihak pembeli mengalami kerugian. Akan tetapi kekhawatiran itu tidak perlu lagi ditakutkan jika teknologi canggih pertanian mampu mewujudkan sistem pemeliharaan yang lebih baik sehingga buah-buahan muda dijamin akan masak. Berdasarkan contoh-contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah la darara wa la dirara, menunjukkan bahwa hukum mu'amalat Islam sangat berusaha menjauhkan kemudaratan manusia baik bersifat perorangan maupun kolektif, guna mewujudkan maslahat.29
28Yusdani,
Peranan…,hlm. 105-7
29Ibid. hlm.455.
12
F. Penutup Sebagai penutup dari pembahasan terdahulu, perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: Pertama,at-Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan muamalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan, maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara', karena maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Kedua, pandangan at-Tufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat. At-Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) al-Qur'an, sunnah, dan ijma' jika penerapannya akan menyusahkan manusia. Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya maslahat at-Tufi tersebut adalah muamalah. Dengan demikian dalam perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang muamalah dewasa ini, maslahatdari tokoh ini dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep tersebut sebagai substansi yang disarikan dari al-Qur'an dan hadis serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan.
13
DAFTAR PUSTAKA Bearman. T.H. P.J. et.all (ed.), The Encyclopaedia of Islam, vol. X, Leiden: Brill, 2000 al-Buti,
Muhammad Sa'id Ramdan.Dawabit al-Maslahat al-Islamiyah, Beirut: Mu'assasah ar-Risalah,1977.
fi
as-Syariah
Dahlan, Abdul Aziz (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, Cet. V; Jakarta: PT. Ichtar Baru van Hoeve, 2001 Hanafi, Ahmad.Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984 Hasan,Husein Hamid. Nazariah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah, 1971 Lubis, Nur A. Fadhil.Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia, Medan: Pustaka Widyasarana, 1995 Masud, Muhammad Khalid.Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq al-Syatibi,terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1996 Mas'udi, Masdar F. "Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari'ah" dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an. No. 3, Vol. VI Thn 1995, Minhaji, Akh. "Prof. K.H. Ali Yafie dan Fiqh Indonesia", dalam Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid Edisi VI Desember 1997 Muslim, Imam.Shahih Muslim, "Kitab al-Bay'u", bab Tahrim al-Ihtikar fi alAqwat, Mesir: Isa al-Bab al-Halabi wa Syurakah, t.th, I: 720 Qadri, Anwar Ahmad.Islamic Jurisprudence in the Modern World, Pakistan: Kashmir Bazar, t.t Suratmaputra, Ahmad Munif.Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahat Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002 Syalabi, Muhammad Mustafa.Ta'lil al-Ahkam, Beirut: Dar al-Nahdah, 1981 Yamani, Ahmad Zaki.Syari'at Islam yang Abadi Menjawab tantangan Masa Kini, terj.Mahyuddin Syaf, Bandung: Alma'arif, 1986 Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin At-Tufi, Cet.I; Yogyakarta: UII Press, 2000 Zahrah, Muhammad Abu.Ibn Hanbal wa Asaruhu Arauhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.
14