MASJID JAMIK PANGKALPINANG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA M. Ikhsan Ghozali 1 Abstrak
A. Pendahuluan Historia magistra vitae—sejarah adalah guru kehidupan (kata bijak Yunani kuno) Kutipan di atas menunjukkan bahwa pengetahuan sejarah penting dimiliki. Bahkan Edward Halett Carr menyebut sejarah sebagai percakapan yang tiada akhir antara masa kini dengan masa lampau dan dengannya kita bisa menjadikannya pelajaran dan pengalaman untuk menjadi lebih baik. 2 Maka, menjadi penting pula membicarakan masjid sebagai bagian penting yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan umat Islam, sebagai lambang Islam sekaligus barometer keadaan umat Islam pada suatu ruang dan waktu.3 Menurut Sidi Gazalba4 pendirian masjid berjalan sejajar dengan perkembangan Islam karena masjid adalah “rumah Allah” (baitullah). Selain itu, masjid juga dipahami sebagai salah satu karya sejarah dan budaya umat Islam yang menjadi ciri khas suatu wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim, meskipun bentuk dan corak seninya sangat beragam, namun semuanya didasari oleh jiwa tauhid. Demikian pula halnya dengan Masjid Jami’ Pangkalpinang sebagai salah satu masjid tertua di Pulau Bangka,5 yang berada di Kampung Dalam, Kelurahan Masjid 1
Dosen STAIN SAS Bangka-Belitung. Lihat Edward L. Poelinggomang, Kerajaan Mori: Sejarah dari Sulawesi Tengah (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 1, 10. 3 Nabi Muhammad saw, sejak awal sejarah Islam, ketika hijrah ke Yatsrib (Madinah sekarang), segera membangun sebuah masjid yang sekarang dikenal dengan Masjid Quba. Masjid yang didirikan pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijriyah (622 M) ini dinamakan Masjid Quba karena terletak di Desa Quba, barat laut Yatsrib. Di masjid inilah Rasulullah saw melaksanakan shalat Jumat pertama. Pada waktu yang hampir bersamaan ini juga Nabi Muhammad sawa mendirikan masjid pertama di Kota Madinah, tempat Beliau menetap. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Madina atau Masjid Nabawi ini merupakan masjid utama ketiga setelah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa. Lihat Abu Bakar, Sejarah Masjid (Jakarta: fa. Adil, 1995) Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998), cet. ke-5, hlm. 274. 4 Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998), cet. ke-5, hlm. 274. 5 Menurut catatan sejarah, masjid tertua di Pulau Bangka adalah Masjid Jami’ Mentok yang 2
Jami’, Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang.6 Sayangnya, sejarah dan dinamika perkembangan
Masjid
Jami’
Pangkalpinang
belum banyak
terungkap.
Padahal,
sepanjang sejarahnya, Masjid Jami’ Pangkalpinang telah memberikan kontribusi yang besar
dalam
mewujudkan
(membina
dan
memberdayakan)
masyarakat
Islam
mengamalkan nilai- nilai ajaran Islam. Oleh karenanya, bagaimana
kajian ini dimaksudkan untuk
sesungguhnya
sejarah
dan
dinamika
sedikit menguak tentang
perkembangan
Masjid
Jami’
Pangkalpinang dari waktu ke waktu, yang berkaitan dengan: kapan tepatnya Masjid Jami’ Pangkalpinang didirikan; bagaimana perkembangannya sejak didirikan hingga sekarang;
siapa
saja
tokoh-tokoh
yang
berperan;
dan
bagaimana
dinamika
perkembangannya. Meskipun tidak utuh dan lengkap, kajian ini setidaknya dapat: (1) memperkaya khazanah historiografi Islam lokal (sejarah), khususnya tentang sejarah masjid sebagai pusat perkembangan agama Islam dan masyarakat; (2) menambah pengetahuan dan menggalakkan kajian tentang salah satu bagian dari budaya dan kehidupan masyarakat Muslim, yakni Masjid Jami’Pangkalpinang dan masjid-masjid lain yang ada di wilayah Kepulauan Bangka Belitung; (3) menjadi informasi penting bagi
pihak-pihak
terkait
mengenai
gagasan-gagasan
atau
pikiran-pikiran
yang
direpresentasikan dalam aktivitas keagamaan Masjid Jami’ dan dinamika masyarakat Muslim di Kota Pangkalpinang. Sebagaimana dalam penelitian sejarah pada umumnya, ada lima tahap yang biasanya dilalui, yakni; (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi: analisis dan sintesis, dan (5) penulisan. Tahap-tahap tersebut merupakan panduan agar penelitian bisa dilakukan secara konsisten, terarah, sistematis, dan optimal. 7 Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori, tertulis dan tidak tertulis. Sumber tertulis utama berupa Buku Risalah Pembangunan didirikan pada tahun 1879. Pendirian masjid di atas tanah wakaf dari Tumenggung Arifin dan HM. Nur seluas 7.500 m² ini diprakarsai oleh Tumenggung Kartanegara II ( Abang M. Ali), wakil Kesultanan Palembang Darussalam, dibantu oleh Mayor Chung A. Thiam, mualaf yang kaya, Lihat Hendra Gunawan, “Masjid Jami’ Muntok”, http.Masjid Tertua di Pulau Bangka, Rindu Masjid Tertua di Pulau Bangka.htm. diakses tanggal 11 Februari 2014. 6 Masjid Jamik Pangkalpinang dibangun di atas tanah wakaf Penghulu Kota Pangkalpinang, Atok H. Saleh saat itu. Lihat Profil_Masjid Jami Pangkalpinang’s Blog; masjidkita.org, diakses tanggal 11 Februari 2014. 7 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hlm. 89.
Mesjid Jami Pangkalpinang Bangka.8 Sedangkan sumber tidak tertulis berupa: dokumentasi foto, hasil wawancara, dan meja batu marmer. B. Sejarah dan Dinamika Perkembangan Masjid Jami` Pangkalpinang Sejarah bisa dimaknai sebagai rekonstruksi masa lalu, mengungkap cerita, peristiwa, atau tindakan manusia tertentu dalam suatu masyarakat pada ruang dan waktu tertentu9 sehingga dapat terungkap kausalitas (keterkaitan) “setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau kelompok”. 10 Ada dua pandangan,
yakni
sebagai
“peristiwa
sebagaimana-ia-
terjadi-sesungguhnya”
dan
sebagai “peristiwa-sebagaimana-ia-dimengerti”. Jadi, sejarah tidak hanya menceritakan “apa yang sesungguhnya terjadi” pada tataran teoretis/metodologis tertentu, tetapi “harus” juga menggunakan suatu imajinasi sejarah yang dinamis namun tetap ‘kritisilmiah’.11 Untuk itulah, Fuad Jabali menyebut dibutuhkan “keliaran” daya imajinasi seorang peneliti, agar tidak terjebak dalam pengandaian dan pembicaraan masa lalu yang berkerangka kondisi masa kini. 12 Namun demikian, Kuntowijoyo mengingatkan bahwa sejarah bukanlah mitos, filsafat, ilmu alam, ataupun sastra, melainkan ilmu tentang manusia, tentang waktu, tentang sesuatu yang memiliki makna sosial, dan tentang sesuatu yang tertentu, satusatunya,
dan terinci.13
Begitu juga
Taufik Abdullah yang mengingatkan bahwa
“Menangkap seluruh realitas dalam suatu totalitas adalah hal yang tak mungkin”,14 terutama akibat keterbatasan sumber, terutama sumber-sumber tertulis. Oleh karenanya, peneliti juga melakukan penggalian informasi secara lisan Humas Masjid Jami’ Pangkalpinang, Risalah Pembangunan Mesjid Jami Pangkalpinang Bangka, (Pangkalpinang: Humas Masjid Jami’, 1979). 8
9
Ibid., hlm. 17. Uka Tjandrasasmita, Kajian Naskah-naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2006), hlm. 50. 11 Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo (ed), Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), cet. ke-5, hlm.1–4. 12 Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. Fuad Jabali, MA (dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam “Diskusi Pembahasan Desain Penelitian Sejarah Kerajaan Lokal” di Kampus STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik tanggal 13 Mei 2009. Lihat juga Fuad Jabali, “Membaca dan Menulis Ternate: Sejarah Sosial dan Filologi”, Makalah, t.t dan “Panduan Penulisan Sejarah Sosial”, Makalah, t.t. Keliaran ini “biasanya” tidak lepas dari persoalan minimnya sumber tertulis sehingga peneliti tidak jarang mengandalkan sumber atau tradisi lisan yang berkembang di masyarakat. Baca juga Jan Vansina, Tradisi Lisan sebagai Sejarah, terj. Astrid Reza, dkk. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014). 13 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, hlm. 7–17 14 Taufik Abdullah, “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional: Beberapa Masalah Metodologis” dalam Jurnal Sejarah Vol. 12, No. 12 Juni 2005, hlm. 11. 10
berdasarkan ingatan para narasumber dan informan. Tindakan ini mengacu pada pernyataan Jan Vansina bahwa “Ingatan manusia (memori) adalah salah satu keajaiban alami dunia, dan dengan perluasan (dari ingatan manusia) begitu juga semua sejarah lisan, dan khususnya tradisi lisan”.15 Meskipun ia tetap percaya bahwa “Kata-kata terbang menjauh, tulisan tersisa”, namun dikarenakan tradisi lisan merupakan gudang sejarah, maka ia penting untuk diungkap agar pesan dari masa lalu dapat diceritakan.16 Bagi Vansina, tradisi lisan adalah proses dan menjadi versi pada suatu masa ataupun masyarakat. Oleh karenanya, pesan tersebut merupakan sebuah produk sosial yang mengeskpresikan kebudayaan,
dengan pelbagai manfaat, alat, pelaku, dan
ketercerminan masyarakatnya, yang disampaikan secara lintas generasi. 17 Dengan demikian, pesan yang ditangkap memiliki dua kemungkinan, yakni sebagai komunikasi berupa berita yang dihapal atau komunikasi berupa hasil penafsiran dan pengalaman. 18 Untuk
itu,
peneliti mesti selektif dan
cermat menilai kemungkinan tersebut. 19
Selanjutnya, Vansina juga berpesan bahwa tanpa tradisi lisan kita hanya mengetahui sedikit tentang sejarah, dan kita tidak akan mengetahuinya dari dalam sehingga kita pun sulit membangun penafsiran.20 Berdasarkan pada ungkapan teoretis di atas, penceritaan sejarah Masjid Jami’ Pangkalpinang dibagi ke dalam dua periodesasi terkait dengan proyek pengembangan Masjid Jami’, yakni masa masjid lama (Masjid Jami’ Lama) dan masa masjid baru (Masjid Jami’).21 Hal ini didasarkan pada buku risalah yang diterbitkan oleh Seksi Humas Dokumentasi Panitia Panitia Perayaan Mesjid Jami’ Pangkalpinang pada tahun 1976 dan sumber lisan dari beberapa narasumber, penceritaan sejarah dan dinamika perkembangan Masjid Jami` Pangkalpinang.
15
Jan Vansina, Tradisi Lisan, hlm. vii. Ibid., hlm. vii, xiii. Dalam pengantarnya di buku terjemahan Jan Vansina ini, Bambang Purwanto (Guru Besar Ilmu Sejarah UGM) menegaskan bahwasanya tradisi lisan merupakan upaya membangun cerita sejarah bagi yang terabaikan akibat hegemoni tradisi orientalisme (hlm. xxii – xxxv), termasuk dalam hal ini sejarah yang tidak banyak ditemui sumber tertulis, mengingat kesadaran literasi masyarakat pendukungnya yang lemah. 17 Ibid., hlm. 146-192, 193-230. 18 Ibid., hlm. 2–17. 19 Ibid., hlm. 296–300. 20 Ibid., hlm. 308 21 Penyebutan periodesasi Masjid Jami’ Lama ini didasarkan pada penyebutan masyarakat Bangka atau Pangkalpinang sebelum renovasi di tahun 1950. Demikian penjelasan beberapa narasumber yang pernah terlibat dalam renovasi masjid pada tahun 1950. 16
C. Periode Masjid Jami` Lama (Sebelum Tahun 1950) 1. Awal Pendirian (Sebelum 1932) Menurut Elvian, Masjid Jami` Pangkalpinang merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid al-Mukarrom Kampung Tuatunu22 yang dibangun pada masa Residen Mann. Pernyataan tersebut didasarkan pada tulisan pada meja putih dari batu marmer di pekarangan Masjid Jami’ Pangkalpinang yang tercatat tanggal 18 Desember 1936 M (3 Syawal 1355 H).23 Menurut Elvian juga, Masjid Jami’ Pangkalpinang didirikan beberapa tahun kemudian oleh sekelompok masyarakat Kampung Tuatunu. Saat itu, masyarakat Kampung Tuatunu mengalami konflik akibat perbedaan paham keagamaan. Begitu kerasnya konflik tersebut sehingga masyarakat Kampung Tuatunu terpecah menjadi dua kelompok, yakni Kaum Lama dan Kaum Baru. 24 Puncaknya, sekitar tahun 1936, Kaum Baru
memutuskan
keluar
dari
kampung,
berpindah
dan
membentuk
sebuah
perkampungan di wilayah Pangkalpinang (Kampung Dalam sekarang). 25 Berbeda dengan pandangan di atas, penulis meyakini bahwa Masjid Jami’ Pangkalpinang telah didirikan jauh sebelum tahun 1936
dan (meskipun belum
ditemukan sumber otentik) pendirinya bukanlah sekelompok masyarakat dari Kampung Tuatunu yang disebut Kaum Baru. Keyakinan ini mengacu pada penjelasan dalam buku Risalah Pembangunan Mesjid Jami` Pangkalpinang 26 pada halaman 2 bahwa sekitar 22
Menurut Elvian, masjid seluas 16 x 16 m² yang didirikan pada tahun 1928 dan selesai pada tahun 1930 ini yang melaksanakan Sholat Jum’at pertama kali di Kota Pangkalpinang. Akhmad Elvian, Setengah Abad Kota Pangkalpinang sebagai Daerah Otonom, (Pangkalpinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang, 2006), hlm. 16 dan Sejarah dan Budaya Pangkalpinang: Pangkalpinang Kota Pangkal Kemenangan, (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang: Pangkalpinang, 2005), hlm. 16. 23 Posisi bangunan Masjid Jami` Lama letaknya persis dekat tempat wudhu sekarang atau dekat dengan Jalan Kenangan. Jalan Kenangan sekarang berubah menjadi Jalan KH. Abdul Hamid, seorang tokoh Islam di Pangkalpinang. 24 Kaum Lama adalah sebagian warga masyarakat (kebanyakan dari kalangan tua) yang berkeras mempertahankan paham keagamaan yang sudah mereka anut dan jalani secara turuntemurun. Sedangkan Kaum Baru adalah kelompok masyarakat yang mencoba melakukan perubahan ke arah yang lebih moderat sebagai pengaruh dari berbagai organisasi Islam yang masuk ke wilayah Bangka, biasanya terdiri atas generasi muda, terutama yang mengenyam pendidikan modern. Sayangnya, tidak ditemukan literatur yang memadai mengenai Kaum Lama dan Kaum Baru ini, kecuali petunjuk awal untuk menelusuri lebih dalam mengenai dinamika masyarakat Islam di Pangkalpinang. 25 Akhmad Elvian, Sejarah dan Budaya, hlm. 55; Akhmad Elvian, Toponim Kota Pangkalpinang, cetakan kedua (Pangkalpinang: Percetakan Franita, 2011), hlm. 113-114. 26 Buku Risalah Pembangunan Mesjid Jami` Pangkalpinang Bangka disusun oleh Seksi Humas Pengurus Masjid Jamik dalam rangka memperingati Maulid Nabi SAW 1396 H-1976 M. Pada momentum perayaan Maulid Nabi inilah para pengurus Masjid Jami’ berinisiatif menyusun
tahun 1932, ada keinginan para pemuka Islam Pangkalpinang untuk melakukan perbaikan (merenovasi) Masjid Jami` Lama. Kata “perbaikan” inilah yang menjadi kunci yang menunjukkan dua fakta. Pertama, tindakan perbaikan tentunya dilakukan terhadap benda (baca: masjid) yang sudah ada/berdiri. Jika tidak, dalam buku tersebut tentunya akan digunakan kata lain, misalnya pendirian, pembuatan, atau pembangunan. Kedua, sebuah bangunan masjid biasanya diperbaiki ketika mengalami kerusakan, mengantisipasi kerusakan, atau tidak mampu lagi menampung penggunanya (jamaah). Kerusakan dapat terjadi akibat faktor bencana alam, kelalaian manusia, dan/atau secara alamiah karena usia masjid tersebut. Sedangkan keterbatasan daya tampung lebih diakibatkan oleh pertumbuhan jamaah penggunanya. Fakta ini ditegaskan kembali oleh sumber yang sama bahwa pada bulan April 1950, muncul kembali rencana perbaikan dari K.H. Mas’ud Nur selaku Penghulu Pangkalpinang dan beberapa pemuka agama lainnya, baik dari kalangan tua maupun kalangan muda. Mereka bersepakat untuk melanjutkan kerja Komite DAM yang terhenti selama kurang lebih 18 tahun. Jadi, jika dihitung, tahun 1950 saat rencana perbaikan lanjutan dimunculkan, dikurangi 18 tahun masa vakum, maka didapatkan fakta bahwasanya rencana perbaikan pada tahun 1932 sangat mendasar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Masjid Jami’ Pangkalpinang sudah berdiri sebelum tahun 1932, bukan tahun 1936 seperti yang diyakini banyak pihak. Adapun batu marmer putih bertuliskan tanggal 18 Desember 1936 M/3 Syawal 1355 H, menurut dugaan peneliti, lebih merupakan prasasti peresmian Masjid Jami’ Pangkalpinang setelah perbaikan yang dimulai sejak tahun 1932. Nama Masjid Jami`, menurut keterangan H. Syachrial Munzir, bukan berarti menekankan pada status masjid (masjid terbesar di wilayah kecamatan). Nama tersebut telah ada sejak awal dibangun dan sayangnya tidak ada sumber ataupun pihak yang dapat memberikan penjelasan secara akurat dan rinci.27 Begitu pula siapa tokoh atau orang yang pertama kali membangun Masjid Jami` Lama masih menjadi misteri. Beberapa pandangan beragam pun sempat bermunculan, ada yang menyebut pendatang dari suku Jawa, bahkan ada yang menyebut utusan dari Kesultanan Mataram.28 Jika
sejarah singkat perkembangan Masjid Jami’ Pangkalpinang. 27 H. Syachrial Munzir, Wawancara, tanggal 19 November 2014. 28 Ahmad Gozali, Wawancara, tanggal 28 November 2014.
dicermati,
keterangan tersebut sepertinya dihubungkan dengan atap masjid yang
berbentuk limas, mirip dengan atap masjid-masjid kuno di Jawa.29 Namun demikian, keterangan tersebut sulit untuk diterima karena tiga alasan. Pertama, tidak adanya rujukan yang otentik, hanya cerita dari mulut ke mulut. Kedua, adanya perbedaan masa dengan rentang waktu yang sangat jauh. Kesultanan Mataram berkuasa pada abad ke-, sedangkan Masjid Jami’ baru berdiri di akhir abad ke-19 atau awal
abad
ke-20.
Ketiga,
literatur-literatur
mengenai
sejarah
muncul
dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia pun tidak pernah menceritakan bahwa Bangka dan Belitung pernah menjadi daerah kekuasaan Mataram. Pulau Bangka dan Belitung pernah menjadi wilayah vassal (protektorat) Kesultanan Palembang Darussalam,30 yakni sebagai daerah Sindang.31 2. Pengembangan Pertama (1932–1936) Pada awalnya, bangunan Masjid Jami` terletak di sekitar tempat wudhu dan menara masjid sekarang. Di sebelah Barat terdapat tanah yang luas, di sebelah Utara terdapat Sungai Rangkui lama yang penuh dengan rawa-rawa dan pohon rumbia, dan di sebelah Timur juga terdapat rawa-rawa dengan kontur tanah yang agak tinggi serta terdapat rumah marbot. Di pekarangan masjid lama terdapat pohon cendana dan tempat duduk lengkap dengan mejanya yang terbuat dari marmer (sampai saat ini menjadi salah satu peninggalan Masjid Jami` Lama). Jika diperhatikan, Masjid Jami` Lama berbentuk piramida, lebar di sebelah bawah, menciut di bagian tengah dan atasnya. Bangunannya semi permanen, namun 29
H. Usman Zuhri (Ketua Masjid Jami 2004-sekarang), Wawancara, tanggal 21 November
2014. 30
Wilayah Bangka dan Belitung dikuasai oleh Kesultanan Palembang Darusalam melalui jalur perkawinan antara Sultan Abdurrahman dengan putri penguasa pulau itu. Lihat Djohan Hanafiah (ed.), Perang Palembang Melawan VOC (Palembang: Karyasari, 1996), hlm. 43-44. 31 Daerah Sindang adalah daerah sekutu yang dipimpin oleh seorang depati (raja kecil) yang mengakui sultan dan diberi kebebasan untuk mengatur daerahnya sendiri (vryheren). Mereka berkewajiban melindungi perbatasan daerah kesultanan dari serbuan orang luar dan membayar pajak timah tiban-tukon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sindang Mardika. Timah tiban-tukon sebagai tanda raja merupakan pajak tahunan yang diberlakukan bagi masyarakat pribumi Bangka yang sudah berkeluarga. Setiap menjelang Hari Raya, mereka harus menyetor sebanyak 50 kati (1 kati = 6 ¼ ons) melalui demang, dan sebagai balas jasa, Sultan Palembang memberikan mereka selembar baju hitam dan kain (cukin). Sayangnya, timah tiban-tukon ini sering diselewengkan oleh para demang dengan memungut lebih banyak dari yang ditentukan. Lihat M. Ikhsan Ghozali, “Islam di Palembang: Studi tentang Pengaruh Jawa dalam Perkembangan Politik dan Sosial-Keagamaan pada Masa Kesultanan Palembang Darussalam”, Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002, hlm. 46; Akhmad Elvian, Kampoeng di Bangka Jilid I (Pangkalpinnag: Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kota Pangkalpinang, 2014), hlm. 251–252.
pondasinya cukup kuat. Lantainya terbuat dari semen, berdinding papan, dan beratap genteng terdiri atas tiga tingkat yang berbeda fungsi. Bagian bawah masjid digunakan untuk beribadah seperti sholat dan pengajian. Bagian tengah masjid digunakan untuk menyimpan kitab-kitab,
buku agama,
tikar,
dan peralatan masjid. Bagian atas
merupakan menara, tempat muazin mengumandangkan adzan. Secara keseluruhan, Masjid Jami` Lama ini dapat menampung kira-kira 600 jamaah.32 Mengingat bahwa masjid ini merupakan kebanggaan masyarakat Pangkalpinang dan Bangka dan memiliki pengaruh yang luas. Oleh karenanya, melihat perkembangan jamaah dan kondisi masjid yang berada di pinggiran sungai dan rawa, maka pada tahun 1932, beberapa tokoh Islam saat itu memunculkan keinginan untuk melakukan perbaikan. Untuk maksud itulah dibentuk Komite DAM yang diketuai oleh Saleh Hasyim, seorang panitera, dan dibantu oleh beberapa orang pembantu lainnya. Istilah DAM memiliki makna bahwa perluasan area masjid dilakukan dengan memasang cerucuk dan membuat dam di Sungai Rangkui yang pada saat itu terletak tepat di belakang Masjid Jami` Lama. Perkiraan peneliti, aktivitas perbaikan ini berlangsung hingga tahun 1936. Peresmiannya ditandai dengan pembuatan prasasti batu marmer putih yang saat ini masih ada di pekarangan masjid. Batu marmer putih inilah yang diyakini sebagai tanda atau penunjuk berdirinya Masjid jami’ Pangkalpinang. D. Periode Masjid Jami` 1. Pengembangan Kedua (1950–1954)33 Dalam perkembangannya, keinginan para pemuka Islam dan masyarakat untuk mengembangkan Masjid Jami’ tidak juga surut. Pada pada bulan April 1950, KH. Mas`ud Nur (Penghulu Pangkalpinang) dan H.
M Mustafa (sebagai panitera) ditunjuk
sebagai Panitia DAM untuk melanjutkan perbaikan yang sempat terhenti lama. Dengan modal dana sejumlah Rp 5.000, Panitia DAM mampu mengedam sungai dengan batu kuning. Upaya awal ini cukup berhasil mengatasi arus Sungai Rangkui yang cukup kuat dan banyaknya semak, pohon, dan rawa di sekitarnya. Dalam prosesnya sempat muncul sekelompok orang yang menghendaki agar pembangunan masjid dipindahkan ke tempat yang lain sebab biaya pembangunan akan
32 33
Humas Masjid Jami Pangkalpinang, Risalah Pembangunan Mesjid, hlm. 1. Ibid., hlm. 2–10.
lebih kecil dan rawan kecelakaan.34 Sedangkan Panitia DAM dan sekelompok masyarakat lainnya bergeming dan tetap berkeyakinan bahwa usaha tersebut dapat berhasil. Akhirnya, setelah melalui beberapa kali musyawarah maka, diputuskan untuk tetap membangun masjid di lokasi awal. Untuk memaksimalkan upaya tersebut, pada hari Minggu tanggal 12 November 1950 (sekitar Pk 17.30 WIB), dilakukanlah musyawarah di Masjid Jami` Lama dengan mengundang alim ulama, tokoh-tokoh masyarakat, pengusaha-pengusaha, dan pejabat pemerintah yang ada di Pangkalpinang. Dalam musyawarah yang dipimpin oleh K.H. Mas’ud Nur tersebut dibentuk suatu badan dengan susunan panitia sebagai berikut Dengan dibentuknya susunan panitia DAM yang lebih lengkap ini maka, upaya pembangunan Masjid Jami` dimulai kembali. Bahkan di dalam susunan kepanitiaan sudah ada beberapa orang pejabat pemerintahan dan tenaga ahli sehingga menjadi motivasi tambahan bagi seluruh masyarakat. Untuk memulai pekerjaan pembangunan Masjid Jami`, dibuat rancangan gambar Masjid Jami` oleh tim teknik dari TTB (sekarang PT. TIMAH). Rancangan bangunan masjid tersebut begitu besar dan megah dengan panjang 30 m, lebar 30 m, dan tinggi 18 m, yang nantinya dapat menampung 1.500 jamaah. Berdasarkan per-hitungan rancangan anggaran biaya yang disusun oleh Seksi Keuangan, dibutuhkan biaya sebanyak Rp 1.200.000. Dana dan bantuan pembangunan masjid didapatkan dari beragam aktivitas yang dilakukan oleh Panitia. Secara konsisten, Panitia DAM menjalankan les derma, tabung berjalan, dan menyebarkan Kartu Amal bergambar rancangan bangunan Masjid Jami’ ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Jakarta, Palembang, Belitung, dan Kalimantan. Banyak pihak --perorangan ataupun kelompok, laki-laki ataupun perempuan, anak-anak ataupun dewasa-- yang memberikan bantuan dalam beragam bentuk, baik berupa uang,
bahan-bahan bangunan, maupun tenaga. Perusahaan seperti TTB,
IPINDO, PERSABI, Fa Tiga Sekawan juga memberikan bantuan berupa bahan bangunan (semen, batu bata, dan sebagainya) serta mobil truk untuk mengangkut pasir-
34
Menurut keterangan H.M. Ali Mustafa, proses pengedaman tersebut hampir menelan korban jiwa karena ada yang terperosok ke dalam rawa, berbenturan dengan benda-benda tajam hingga berlumuran darah. Namun untungnya segera dibawa ke rumah sakit guna mendapatkan perawatan dokter. Ibid., hlm. 3.
pasir dan batu-batu karang. Bahkan, Wakil Presiden saat itu, Drs. Moh. Hatta, pun ikut memberikan sumbangan sebesar Rp 1.000. Bantuan tenaga sukarelawan datang dari anggota-anggota Brimob, Kodim, polisi, CPM, serta masyarakat dari Kampung Keramat, Petaling, Kemuja, Terak, Teru, Tuatunu, dan Air Itam. Mereka bergotong-royong secara kompak menutup rawa dan lumpur bekas sungai sedalam 10 meter dengan timbunan sampah serta mengangkut pasir dan batu dari parit-parit di Tambang 6 Wilasi Pangkalpinang. Dalam proses tersebut, para tokoh agama seperti KH. Mas`ud Nur, KH. Mochtar Yasin, KH. Masdar, KH. Abdullah Addary, H.M Ali Mustafa, KH. Ahmad Razak, KH. Suhaimi, KH. Sulaiman pun turun ke kampung-kampung melakukan safari dakwah sekaligus meminta sumbangan kepada masyarakat. Beberapa tempat yang mereka kunjungi antara lain Kampung Kemuja, Petaling, Air Duren, Mentok, Nibung, Koba, Sungaiselan, Payung, Permis, Sungailiat, Parit Padang, Merawang, Baturusa, dan Belinyu. Dari upaya selama kurang lebih 4 tahun tersebut dapat dikumpulkan dana sebesar Rp 333.772. Dengan pengeluaran sebesar Rp 310.702, dan sisa saldo sebesar Rp 23.070. Sayangnya, jumlah tersebut masih jauh dari cukup sehingga pembangunan masjid terpaksa dihentikan sementara. Selanjutnya, beberapa pengurus mengundurkan diri dikarenakan berbagai alasan. Namun, ketua panitia masih dipegang oleh H. Mas’ud Nur.35 2. Pengembangan Ketiga (1955-1961)36 Setelah sempat terhenti karena kekurangan dana dan sebagian dari kepenitiaan ada yang mengundurkan diri maka, dibentuklah panitia pembangunan yang baru. Kepanitiaan pembangunan yang masih diketuai oleh KH. Mas`ud Nur tersebut mendapatkan tambahan pengurus baru, yakni K. Sulaiman sebagai Panitera I, H. Idris sebagai Bendahara, Hady Susilo (TTB) sebagai Teknik Bangunan, dan Zainal Abidin (Wedana Bangka Tengah di Pangkalpinang) sebagai Penasehat Pada saat itu, Panitia mengubah anggaran akibat adanya kenaikan harga-harga bahan dan upah pekerja. Untuk mengatasi pembengkakan anggaran dari Rp 1.200.000 menjadi Rp 1.500.000 dilakukan berbagai upaya. Saat itu, Panitia mengajukan surat 35 http://infodakwahislam.wordpress.com/2013/05/12/masjid-jami-pangkal-pinang/ (online, diakses pada tanggal 20 November 2014). 36
Humas Masjid Jami Pangkalpinang, Risalah Pembangunan, hlm. 11–14.
permohonan kepada TTB agar melimpahkan karung bekas sehingga bisa dijual Panitia. Hasil penjualan karung bekas ini cukup untuk melanjutkan tahap demi tahap pembangunan masjid. Proses pembangunan masjid terus berlangsung yang sebelumnya dilakukan perombakan pada bangunan masjid lama. Bahan material masjid lama sesuai dengan kesepakatan panitia dilimpahkan kepada panitia pembangunan masjid Komplek CPM Jalan Kampung Keramat. Sebagian juga ada yang diserahkan kepada langgar-langgar dan surau-surau yang ada di Kota Pangkalpinang yang memerlukan material bekas tersebut. Setelah dilakukan pembuatan pondasi maka secara bertahap terus dilakukan proses pengerjaan penyusunan bata untuk membuat bangunan. Untuk pengecoran pada bagian atas masjid diperlukan banyak tenaga kerja karena proses pengecoran harus dilakukan dengan cepat. Maka proses pengecoran ini pun melibatkan hampir seluruh masyarakat Pangkalpinang dan juga banyak dari kampung lainnya yang ada di Pulau Bangka. Tahap terakhir pembangunan Masjid Jami` adalah proses pembuatan menara. Berdasarkan rencana awal, menara masjid akan dibangun setinggi 18 meter. Akan tetapi, para panitia mengadakan perubahan tinggi menara menjadi 23 meter. Dengan perubahan ini berarti menara tersebut merupakan menara tertinggi daripada masjid lainnya yang ada waktu itu. Sedangkan untuk penyelesaian kubah masjid saat itu dikerjakan oleh Firma Khu Lan Pangkalpinang, pengerjaan pintu-pintu dan jendela lengkap dengan kusennya dikerjakan oleh Biro AKSI. Selain itu, Biro AKSI juga mengerjakan proses pengecatan empat tiang besar dan bagian depan masjid. Adapun tegel dan teraso lantai dan dinding masjid seluruhnya merupakan sumbangan dari Bapak H. Satar Machmud. Sedangkan menara air wudhu adalah wakaf dari Bapak H. Achmad Amin. Pada periode inilah Masjid Jami` untuk pertama kalinya direnovasi menjadi masjid permanen yang dibuat dari batu bata. Dinding bawah setinggi 160 cm dilapisi tegel marmer dan bagian selasar lantai tegel kuning, ditopang oleh empat pilar penyangga masing-masing berdiameter 60 cm. Plafon di bawah kubah masjid dikelilingi oleh sirkulasi udara berbentuk lingkaran. Pada keempat sisi bangunan terdapat pintu dan
jendela kayu yang cukup besar. Masing-masing jendela/pintu memiliki dua daun pintu/jendela.37 Secara keseluruhan, pengerjaan masjid terbesar dan termegah di Pangkalpinang menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Sepanjang proses pembangunan tersebut, dana yang terkumpul mencapai Rp 6.115.855,-. Dana tersebut berasal dari sumbangan masyarakat sebesar Rp 1.915.855, -; sumbangan pemerintah sebesar Rp 1.200.000,-; dan sumbangan material dan jasa gotong-royong sebesar Rp 3.000.000,-. Namun tidak ditemukan catatan rinci tentang pengeluaran keseluruhan. Setelah semua proses pembangunan selesai, pada tanggal 3 Juni 1961 pukul 09.00 Masjid Jami` Pangkalpinang yang berdiri megah diresmikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Bangka. Acara peresmian masjid yang menjadi simbol persatuan umat Islam di Pulau Bangka tersebut dihadiri oleh hampir semua pejabat pemerintah, tokoh Agama, para ulama, bahkan masyarakat Bangka. Seakan telah mengkhatamkan tugasnya, K.H. Mas’ud Nur kembali kepada Sang Pencipta pada tanggal 10 November 1961. Ulama yang mempelopori pengembangan Masjid Jami’ Pangkalpinang ini
menghembuskan nafas terakhir di usianya yang ke-51
pada hari Jum’at saat menjelang Subuh. 3. Pengembangan Keempat (2007–2009) Sejak masjid selesai direnovasi pada tahun 1961, upaya pembangunan dan perluasan masjid terus dilakukan. Pada tahun 2007, ada keinginan para pengurus masjid untuk melakukan renovasi besar-besaran. Pertimbangannya, masjid yang berada di tengah-tengah Kota Pangkalpinang ini tidak lagi mampu menampung jumlah jamaah yang semakin bertambah. Hal ini penting dilakukan agar pembinaan keagamaan masyarakat Pangkalpinang bisa dijalankan secara maksimal. Menurut Bapak H. Syachrial Munzir, pengembangan yang dilakukan meliputi penambahan tiga menara, penambahan satu kubah, dan pelebaran bagian dalam masjid. Selain itu, Masjid Jami` juga saat ini sedang mengupayakan untuk melanjutkan pembangunan gedung serbaguna yang nantinya akan dapat dimanfaatkan oleh semua masyarakat.38
37
Dokumen Penetapan Benda Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang tahun 2005. 38 H. Syachrial Munzir, Wawancara, tanggal 19 November 2014.
Melalui hasil rapat pengurus masjid, yang pada saat itu diketuai oleh H. Usman Zuhri, diputuskan rencana pengembangan masjid. Dengan rincian biaya pembangunan yang cukup besar, kurang lebih Rp 3 milyar, pengurus masjid mengajukan bantuan dana kepada
Pemerintah
Provinsi Kepulauan
Bangka
Belitung
untuk
perluasan
dan
menambah tiga menara pada setiap sudut bangunan masjid. Masjid juga akan dibuat dua lantai dan gedung serbaguna yang akan dibangun tepat pada sisi belakang masjid yang berbatasan dengan Sungai Rangkui. Lantai baseman atau lantai dasar masjid digunakan untuk kegiatan majelis ta`lim, Pendidikan Al-Qur`an (TPA), tempat musyawarah pengurus masjid, peringatan harihari besar Islam, bahkan tempat shalat untuk wanita, khusus pada setiap Shalat Ied. Sedangkan untuk lantai atas digunakan khusus untuk aktivitas ibadah seperti shalat. Praktis total pembangunan masjid mulai dari tahun 2007 sampai dengan 2009 menghabiskan dana sebesar Rp 3.5 milyar. Bantuan tersebut berasal dari bantuan Pemerintah Provinsi Bangka Belitun sejumlah Rp 3.000.000.000 serta infaq dan sadaqah masyarakat sejumlah Rp 500.000.000. Beberapa tahun kemudian pengurus masjid membangun menara yang terakhir dengan taksiran dana sebesar Rp 800.000.000. Dengan
dana
yang
cukup
besar
ini pengurus
masjid
terus
berupaya
untuk
mengumpulkan dana, sampai pada akhirnya ada salah satu jama`ah masjid yang bersedia untuk membiayai pembangunan menara tersebut. Dengan demikian Masjid Jami` Pangkalpinang saat ini memiliki empat buah menara pada setiap sudut masjid. Untuk rencana pengembangan masjid selanjutnya, saat ini pihak pengurus masjid sedang merencanakan pembangunan gedung serbaguna. Masjid Jami` Pangkalpinang yang sekarang berdiri dengan megahnya banyak menyimpan Keberadaan
nilai
sejarah
Masjid
Jami`
perjuangan juga
bangsa
Indonesia
mencapai kemerdekaan.
memberikan
gambaran
kepada
kita
mengenai
perkembangan masyarakat Islam di Bangka. Bahkan di masjid ini juga, banyak muncul ulama-ulama karismatik seperti KH. Mas`ud Nur yang berdakwah hampir di seluruh daerah di Bangka. Atas dasar inilah, Masjid Jami` Pangkalpinang pada tanggal 8 Januari 2010 ditetapkan sebagai benda cagar budaya atau situs sejarah yang harus dijaga oleh oleh masyarakat dan dibiayai oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
E. Masjid Jami’ dan Pembinaan Umat Masjid Jami` yang saat ini berdiri megah di tengah Kota Pangkalpinang dari awal berdiri hingga saat ini tentunya memiliki pengaruh terhadap masyarakat sekitar masjid, bahkan bagi masyarakat Bangka secara umum. Pengaruh masjid terutama bagi umat Islam tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan saja, tetapi masjid dapat berfungsi sebagai pusat pembinaan umat. Masjid Jami` yang kala itu merupakan satusatunya masjid terbesar yang ada di Bangka tentunya menjadi magnet bagi umat Islam untuk datang tidak hanya untuk beribadah. Berdasarkan pernyataan yang disampaikan Bapak H. Syachrial Munzir, Masjid Jami` waktu itu menjadi salah satu tempat berkumpulnya para ulama dalam rangka belajar dan mengajar ilmu agama. Kala itu, Masjid Jami` menjadi pusat dakwah di Bangka. Tentu saja untuk menelusuri bagaimana perkembangan dakwah Islam di Pangkalpinang atau bahkan di Bangka perlu kajian lebih mendalam lagi agar mendapat gambaran mengenai peta dakwah di Bangka. Sayangnya, tidak diketahui secara pasti, tokoh-tokoh penting yang pernah menjadi ketua Pengurus Masjid Jami’ Pangkalpinang sebelum KH. Mas’ud Nur. Data yang didapatkan pun tidak menyebutkan masa atau periode kepengurusan masingmasing. Berikut, nama-nama tokoh yang pernah menjadi ketua Pengurus Masjid Jami’ Pangkalpinang, yakni: KH. Mas’ud Nur (-); KH. Ali Mustofa (-); KH. Ahmad Razak (); H. Kholid Samid (-); H. Ahmad Nur (-); H. Usman Zuhri (2004 – sekarang). Sayangnya, tida Untuk
mengetahui bagaimana
keberadaan
Masjid
Jami`
punya pengaruh
terhadap masyarakat khususnya dalam hal pembinaan masyarakatnya, setidaknya dapat digambarkan melalui beberapa aspek berikut; 1) sebagai tempat ibadah, 2) sebagai tempat kaderisasi, dan 3) sebagai tempat pembinaan jama`ah. 1. Sebagai Tempat Ibadah Kedudukan masjid sebagai tempat ibadah merujuk kepada tempat di mana masyarakat Islam khususnya melakukan aktivitas ibadah mereka. Ibadah dalam hal ini dapat berupa, shalat, membaca Al-Qur`an, pengkajian ilmu agama (majelis ta`lim), bahkan sebagai tempat prosesi akad nikah. Posisi Masjid Jami` yang sangat strategis berada di tengah kota bahkan berada pada pusat bisnis Kota Pangkalpinang, menjadikan masjid ini ramai disinggahi oleh jama`ah yang ingin melaksanakan shalat.
2. Sebagai Tempat Kaderisasi Sebagai
tempat
pembinaan
jama’ah
dan
kepemimpinan
umat,
masjid
memerlukan aktivis yang berjuang menegakkan Islam secara istiqamah. Patah tumbuh hilang berganti. Karena itu, pembinaan kader perlu dipersiapkan dan dipusatkan di masjid sejak mereka dari kecil sampai dewasa. Di antaranya melalui Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), remaja masjid, ataupun takmir masjid beserta kegiatannya. Di Masjid jami’, kegiatan kaderisasi baru berjalan pada kegiatan TPA, sedangkan remaja masjid belum terbentuk. 3. Sebagai Pusat Pembinaan Jama`ah Kedudukan masjid dewasa ini telah berkembang tidak hanya sebagaim tempat beribadah semata, melainkan dapat menjadi tempat pembinaan masyarakat. Sejarah Islam telah membuktikan bahwa, Rasulullah SAW sukses membangun masyarakat madani yang menjadikan masjid sebagai basis pembinaan umat. Aktivitas pembinaan masyarakat khususnya di Masjid
Jami` Pangkalpinang merupakan budaya yang
diwariskan turun-temurun dari ulama masjid sampai dengan sekarang. Bahkan menurut pengakuan Pak Syachrial Munzir39 Masjid Jami` menjadi panutan atau contoh pengamalan ibadah bagi masjid-masjid lain di Pangkalpinang. Beberapa aktivitas pembinaan umat yang masih terus dipertahankan dari dulu sampai sekarang melalui peringatan hari-hari besar Islam seperti: Peringatan Nuzulul Qur`an (27 Ramadhan); Shalat Idul Fitri dan Nganggung (1 Syawal); Nganggung dan buka puasa Syawal 6 hari (15 Syawal); Membaca riwayat Syekh Saman (2 Dzulhijjah); Shalat Idul Adha, Nganggung, Pemotongan hewan qurban (10 Dzulhijjah); dan Membaca doa akhir tahun (30 Dzulhijjah) Sedangkan kegiatan yang rutin dilakukan di luar peringatan hari-hari besar Islam terdiri dari: Lomba-lomba keagamaan seperti MTQ; Membaca surat Yasin berjama`ah setiap malam jumat dilakukan ba`da shalat Maghrib; Membaca Berzanji setiap malam jumat dilakukan ba`da shalat Isya; Pengajian umum setiap selasa malam dilakukan ba`da shalat Isya; Ceramah subuh setiap minggu pagi dilakukan ba`da shalat Subuh; Pengajian khusus wanita dengan waktu pelaksanaan menyesuaikan; serta Taman Pendidikan Al-Qur`an (TPA).
39
H. Syachrial Munzir, Wawancara, tanggal 27 November 2014.
F. PENUTUP Ungkapan Yunani kuno bahwa historia magistra vitae (sejarah adalah guru kehidupan) sungguh bermakna. Namun sungguh ironis ketika masyarakat kita masih terus menganggap sejarah hanyalah masa lalu dan karenanya cukup menjadi “kenangan bisu”. Demikian halnya dengan Masjid Jami’ Pangkalpinang sebagai salah satu ikon Kota Pangkalpinang. Padahal, banyak hal yang bisa digali secara mendalam, termasuk kapan tepatnya masjid ini didirikan. Artinya, banyak peluang sekaligus tantangan untuk melakukan penelusuran secara lebih mendalam. Tidak tertutup kemungkinan sumbersumber tersebut bisa ditemukan ketika penelusuran ini marak dilakukan oleh pelbagai kalangan. Sebagaimana diketahui pula bahwa masjid tertua di Pangkalpinang ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan, melainkan berfungsi juga sebagai pusat dakwah dan pembinaan umat. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dan upaya bersama untuk mengungkap sekaligus menjaga kisah Masjid Jami’ Pangkalpinang agar terjalin kesinambungan masa lalu guna kebaikan masa sekarang dan akan datang. Untuk itu, pelbagai pihak terkait harus bersinergi, bekerja sama, dan bekerja bersama-sama
untuk
masyarakat umum,
membangun
pondasi
kesadaran
kalangan pemerintahan daerah,
sejarah
masyarakat,
baik
maupun terutama masyarakat
akademik. Ke depan, penting untuk berbagi peran dan bersama-sama merumuskan strategi yang efektif, baik upaya pelestarian maupun penumbuhan kesadaran tersebut. Dengan demikian, peninggalan-peninggalan bersejarah yang (masih) ada benar-benar bisa menjadi penyambung (jembatan) antara masa lalu dengan masa kini guna mempersiapkan masa depan yang lebih baik dan berarti.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional: Beberapa Masalah Metodologis”, Jurnal Sejarah Vol. 12, No. 12 Juni 2005 __________. dan Abdurrahman Surjomihardjo (ed). Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. Bakar, Abu. Sejarah Masjid. Jakarta: fa. Adil, 1995. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang. Dokumen Penetapan Benda Cagar Budaya. Pangkalpinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang, 2005. Elvian, Akhmad. Sejarah dan Budaya Pangkalpinang: Pangkalpinang Kota Pangkal Kemenangan. Pangkalpinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang, 2005. __________. Setengah Abad Kota Pangkalpinang sebagai Daerah Otonom. Pangkalpinang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang, 2006. __________. Toponim Kota Pangkalpinang. cetakan kedua. Pangkalpinang: Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kota Pangkalpinang, 2011. __________. Kampoeng di Bangka Jilid I. Pangkalpinang: Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kota Pangkalpinang, 2014. Erman, Erwiza. Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009. Gazalba, Sidi. Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. cet. ke-5. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998. Ghozali, M. Ikhsan. “Islam di Palembang: Studi tentang Pengaruh Jawa dalam Perkembangan Politik dan Sosial-Keagamaan pada Masa Kesultanan Palembang Darussalam”. Skripsi. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002 Hanafiah, Djohan (ed.). Perang Palembang Melawan VOC. Palembang: Karyasari, 1996. Humas Masjid Jami Pangkalpinang. Risalah Pembangunan Mesjid Jami Pangkalpinang Bangka. Pangkalpinang: Humas Masjid Jami,1976. Jan, Vansina. Tradisi Lisan sebagai Sejarah. Penerbit Ombak, 2014.
Terj. Astrid Reza, dkk. Yogyakarta:
Jabali, Fuad. “Membaca dan Menulis Ternate: Sejarah Sosial dan Filologi”, t.t.
Makalah,
__________. “Panduan Penulisan Sejarah Sosial”, Makalah, t.t. Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana,1994. __________. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995. __________. Muslim Tanpa Masjid. cet. ke-2. Bandung: Mizan, 2001.
Muzahid, Zis. "Masjid: Merekonstruksi Peradaban dan Perekonomian Umat". Majalah Masjid. No. 1/Rabi'ul Awwal 1427 H/April 2006, Jakarta: Baetul Masjid Indonesia. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.13/PW.007/MKP/2010, tanggal 8 Januari 210. Poelinggomang, Edward L. Kerajaan Mori: Sejarah dari Sulawesi Tengah. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Tjandrasasmita, Uka. Kajian Naskah-naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2006. Yani, Ahmad. Mencintai Masjid. Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Dakwah Khairu Ummah (cet. ke-3), 2009. Sumber internet: (1) bp.blogspot.com; (2) chitratitux.deviantart.com; (3) http.Masjid Tertua di Pulau Bangka, Rindu Masjid Tertua di Pulau Bangka.htm.; (4) https:// azraviernia.wordpress.com; (5) https://berita bangka.wordpress.com; (6) http:// griyamandiri88.blogspot.com; (7) http:// indonesia.ucanews.com; (7) http://info dakwahislam.wordpress.com/2013/05/12/ masjid-jami-pangkal-pinang/; (8) http:// pariwisata-pangkalpinang.blogspot.com; (9) http://wonderfulpangkalpinang.info; (10) jotravelguide.com; (11) Profil_ Masjid Jami Pangkalpinang’s Blog; (12) masjidkita.org; (13) wikipedia.org/wiki/Kota_Pangkal_Pinang; (14) www.sky scrapercity.com; (15) http://www.visitbangkabelitung.com Wawancara: Ahmad Gozali; H. Syachrial Munzir; dan H. Usman Zuhri (Ketua Masjid Jami’ 2004–sekarang)