Hukum dan PembangLlnan
250
MASALAH PENAFSlRAN TERHADAP PASAL 9 KONSTITUSI JEPANG _ Kekhawatiran Terhadap Remiliterisasi Oleh : Hikrnahanto Juwana, Semenjak talllln 1946, setelah ditaklnkan oleh Amerika Serikat, Jepang memberlaknkan Konstitnsi Baru. Dimana dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa Jepang meiljadikan dirinya sebagai negara damai dan menolak penggunaan kekerasaan (perang) dalam penyelesaian sengketa. Namun dalam perkembangan selanjutnya bunyi pasal 9 tersebut dapat ditafsirkan menjadi acnan bagi Jepang (pasukan bela dirinya) untuk berpartisipasi dalam operasi militer di luar wi/ayah Jepang sehingga timbul kekltawatiran remiliterisme Jepang bangkit kembali.
Pendahnlnan Setelah Jepang ditaklukan oleh Arnerika pada Perang Dunia II, ia telah melakukan berbagai refonnasi untuk mengubah dirinya dari negara yang memiliki kekuatan militer menjadi negara non- militer. Reformasi yang dilakukan, dim ana banyak dipengaruhi oleh Arnerika sebagai negara yang mencluduki Jepang (Occupation Regime), tidak terbatas hanya pada bidang ekonomi dan kebidupan sosial tetapi juga dil:iidang hukum. Salah satu pengaruh Arnerika pada reformasi dibidang hukum adalah perubahan terhadap konstitusi Jepang.
Masalah Penafsirlln
251
Pada masa sebelum perang, konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi Meiji yang oleh Amerika dinilai sebagai salah satu penyebab agresi yang dilakukan oleh Jepang, dan karenanya konstitusi tersebut periU untuk diamendir. Salah satu pasal yang diatur dalam konstitusi baru, yang mulai berlaku tahun 1946, adalah kehendak Jepang untuk menjadikan dirinya sebagai negara yang cinta damai dan menolak penggunaan kekerasan (baca: perang) dalam penyelesaian sengketa. Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 9, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as a means of settling disputes. (2) In order to accomplish the aim of preceding paragraph, land, sea and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the State will not be recognized. Adanya ketentuan ini dalam konstitusi baru Jepang membuat konstitusi ini sering disebut sebagai "Konstitusi Damai" at,1U "Konstitusi Pasir'. Dalam perjalanan sejarahnya, walaupun tidak pcrnah diubah kata-katanya, Pasal 9 ternyata telah mengalami berbagai penafsiran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu. Fleksibilit,1s penafsiran ini pada akhirnya memperbolehkan Jepang untuk membangun sistem pertahanan dan militernya kembali. Bel'baga; Pen:)fsh-an terhadap Pas,lI 9
Pada awal berlakunya konstitusi damai, Pasal 9 ditafsirkan secara letterlijk, yaitu menolak dimilikinya senjata-senjata perang oleh Jepang untuk kegiatan defensif apalagi ofens if. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Theodore Mcnelly, dikatakan bahwa pada saat dibuatnya Pasal9,
Jllni1992
Hukum dan Pembangunlln
252
"there existed among the most informed Japanese and Allied officials an awareness that defensive arms might be permissable under article 9, but th~y spoke ill public as if the ball 011 arms, evell for defense, was absolute." I Akan lelapi setelah melelusnya Perang Korea pad a tahun 1950, penafs iran ini telah berubah. Pada saat ilu karena tentara Amerika yang ditugas kan untuk menjaga wilayah Jepa ng barus ditarik ke Korea, maka Jenderal M cArthur m emin la kepada Pe rdana Me nle ri Yoshida unluk membenluk sa lunn pengaman ya ng mengganlikan tugas pasukan Amerika yang menjaga keamanan Jepa ng. Satuan pengaman ini adalah orang-orang yang uirekruil dari para bekas lentara kekaisaran Jepang (Japanese Imperial Army). Ke kualall dari saluan pengaman ini berjumlah 75 ,000 orang dan diberi nama Nation'll Police Reserve. Nalional Police Reserve ini merupakan cikal bakal dari Self Defense Force sebagaimana yang dikenal saat ini. Dengan s ituas i dan kondisi yang ada pada saat itu terlihat bahwa Pasal 9 lelah mengalami penafs iran baru, yailu diperbolehkannya pemilikan senjaL1-senjata perang uan satuan pengaman sebak1s unluk melakukan lindakan defensif dari serangan luar. Sejak adanya penafsiran ba ru ilu kegialan mil iter yang bersifat defensif tidak lagi merupakan hal yang tabu, walaupun partai oposisi clan sebagian rakyat Jepang menentangnya. Puncak dari pembangunan militer Jepang yang bersifat defensif ini adalah dibuatnya kebijaksa naan pem e rintah dibidang pertahanan pada k1hun 1976,2 da n pada zaman Perda na Menteri Takeo Miki ditelapkan balas nwksimal 1% GNP bagi anggaran pertahanan Jepang. Pada awal tahun 19t1O-an Pasa l 9 mengalami penafsiran kembali (reinterpretation) uengan auanya tekanan ua ri Ame rika yang meminla Jepang untuk khih han yak te rlibat dalam kegiatan d efensif yang tidak hanya untuk wilayahnya s"ja, mela inkan juga untuk kawa sa nnya 3
I.
Sclwga imana. Jikutip o [c h L;lw Tc rH.'c W. beer. Dal
2.
Gari ~ KCh ijaksanaan in; discbul "Nmional Defence Progr:llllme O utline (Taiko)" ynng llI erupakan hahall ruju kan pCIll(:rinl!lh daJalll mcngamb i! kcbijaksana
3.
M; ,a loy a pada "I"", -1987. US House Rep""o,,,,;ve meogelualkan selmnh resolus; ya ng mCllIc inla Jep,lIl g unlUk mellgcluarkan 3% dati GN P-oya untuk pertahanan. Lihal : RA. Hamzah , ~Asea n
and the Rcmilitmizalion of Japnn : Ch allangcs or Op portu niti es" TIle Indonesian Quarterly
19No.2(t991) 'PI" 145
253
Mas"l,," PelUlfsiran
Amerika menghendaki Jepang untuk rnengarnbil alib tanggung jawab mempertahankan keamanan sea-lanes disekitar 1000 mil radius dari pulau utamanya (Honshu).4 Kebijaksanaan ini diambil pada masa Perdana Menteri Zenko Suzuki yang kemudian ditindaklanjutkan oleh Perdana Menteri Nakasone dalam menghadapi tekanan Amerika untuk melakukan "burden sharing" penjagaan keamanan dikawasan Asia Pasifik. Melalui Penafsiran baru ini berarti Pasal 9 telah rnengalami perluasan dari penafsiran sebelumnya. Kalau sebelumnya kegiatan militer Jepang ditujukan untuk kegiatan defensif yang hanya meliputi wilayah nyatanya (darat, laut dan udara), maka dalam penafsiran barn kegiatan defensif ini tidak hanya terbatas pada wilayah nyatanya saja, tetapi telah mencakup perairan negara lain.
Pada tahun 1990, dengan meletusnya perang Teluk, Pemerintah Jepang, yang sewaktu itu dipegang oleh Perdana Menteri Toshiki Kaifu, kembali meneoba, melalui rancangan undang-undang yang diajukan ke Parlemen, untuk menafsirkan Pasal 9. Adapun inti dari rancangan undang-undang tersebut adalah diperbolehkannya pasukan SDF untuk berpartisipasi dalam operasi-operasi militer diluar wilayah Jepang sepanjang operasi militer tersebut dilakukan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (RUU Peace Keeping Operation). Hingga sa at 'ini RUU tersebut masih mendapat perdebatan yang sengit di Parlemen (Diet) yang menjadi test case bagi kelangsungan kabinet PM Kiiehi Miyazawa. RUU ini dimaksudkan untuk memberikan sarana bagi Jepang untuk berperan seema aktif dalam menjaga perdamaian internasional yang sering mendapat kritikan pedas dari Amerika. Jepang sekali lagi telah menafsirkan kembali ketentuan Pasal 9 konstitusinya dalam rangka menyesuaikan dirinya dengan situasi ' dan kondisi yang Rda. Dengan kata lain ketentuan dalam Pasal 9 walaupun tidak pernah berubah kata-katanya, tetapi telah beberapa kali mengalarni perubahan penafsiran, dari mulai yang 5<1ngat sempit hingga luas. Keadaan ini oleh ahli Konstitusi Jepang, Tomosuke Kasuya,5 disebut sebagai "Kempo Hensen" atau transformasi konstitusi. 6 4.
Dimana Tokyo Bay sebagai lilik pusalnya
5.
TOQlusuke Kasuya,
6.
Adapun yang dimaksud dengan
~Kempo
Hensen 10 Kempo Kyujo," law in Japan 18 (1985) : pp.26 "Transformasi Konstitusi" adalah "cbange in the meaning of
particular constitutional provosion brought about through reinterpretation of the provision rather
Than through formal constitutiona l amandemenl. llius, the Constitution remains textually intact
while at the snme time maintaining a certain degree of flexibility," Sebagairuana didefinisikan oleh Tomusuke K.1Suya. Idem, 1.
Juni1992
254
HlIkllm dan Pembangunan
Remiliterisasi melalui Penafsiran: Mungkinkah? Sudah sejak lama negara-negara tet,~ngga Jepang, khususnya mereka yang l~engalami agresi Jepang di masa lalu, mengkhawatirkan kemhalinya (reemergence) Jepang sehagai suatu kekuatan militer. Menurut pandangan mereka hukanlah suatu hal mustahil militerisme Jepang pad a suatu hari hangkit kemhali karen a sarana ' untuk itu memang ada ' dan nyata. Argument,1si dari negara-negara tetangga Jepang ini didasarkan pada heherapa keIiyataan yang diantaranya adalah: 1. Anggaran pertahanan Jepang yang selalu menunjukkan peningkat.1n dimana saat ini ia menduduki dalam peringkat sepuluh hesar dunia; 2.
Walaupun jumlah personil SDF relatif sedikit (180,000 orang), namun peralatan militer yang dimiliki oleh Jepang sungguh sangat lA1nggi'h . 7
3.
Dengan berkurangnya kehadiran Amerika di kawasan Asia Pasifik, Jepang dianggap sehagai salah satu potensi kekuatan yang akan menggantikan kehadiran Amerika,
4.
Jepang dengan kehadiran ekonominya merasakan adanya "ncaman dari negara-negara Asia. Untuk mengantisipasi ancaman ini maka diperlukan pertahanan yang kuat dan memadai.
Da lam menghadapi tekanan dari negara-negara tetangga ini, Jepang telah herkali-kali menegaskan hahwa apa yang dilakukannya dalam kehijaksanaan dan pembangunan pertahanannya, tidaklah ditujukan untuk membangkitkan kembali militernya. Hal ini didasarkan hahwa dengan adanya ketentuan Pasal 9 Konstitusi Jepang (dan juga kerjasama perlahanan dengan Amerika Serikat) tidak mungkin Jepang melakukan ekspansi militernya.
7.
Sebagaim
Maso,lah Penafsira.n
255
Dalam kaitan ini mungkin kita akan bertanya, apakah Pasal 9 konstitusi Jepang itu dapat dijadikan jaminan bagi negara-negara tetangga Jepang untuk tidak menaruh khawatir? Mungkin Pasal 9 itu sendiri dapat dijadikan jaminan apabila ditafsirkan secara apa adanya. Tetapi masalahnya adalah Pasal 9 selama ini tidak ditafsirkan seperti apa adanya tetapi mengalami perluasan-perluasan yang digantungkan pada situasi dan kondisi yang ada. Sehingga dapat dikatakan Pasal 9 bukanlah merupakan jaminan bagi Jepang untuk tidak terlibat dalam percaturan militer internasional. Pada saat ini situasi dan kondisi menuntut Jepang untuk lebih banyak ikut andil dalam perdamaian internasional melalui keterlibatannya dibidang mil iter, misalnya dengan pengirirnan Pasukan Bela Drri-nya sebagai Pasukan PBB . Dalam tuntutan yang demikian penafsiran secara fleksibel ketentuan Pasal 9 untuk kembali dilakukan. Sehubungan dengan fleksibelitas penafsiran tni mungkin saja dimasa mendatang apabila situasi dan kondisi mengharuskan, Jepang akan menafsirkan kembali ketentuan Pasal 9. Misalnya saja untuk menyelamatkan tanker-(,1nker minyakaya yang melewati selat-selat internasional alau perairan nasional suatu negara 8 dari gangguan yang datangnya dari negara tertentu atau bajak laut pemerintah diperbolehkan, melalui SDF, mengambil tindakan sepihak: Dengan kata lain pertahanan akan ditafsirkan sangat luas sehingga mencakup pengertian kapal sebagai wilayah negara. Ataupun pertahanan .diberikan arti sedemikian rupa sehingga mencakup, misalnya, intervensi SDF terhadap gangguan kelangsungan ekonomi atau investasi Jepang di suatu negara ataupun ancaman terhadap warga negaranya.
8.
Dalam kailan ini Tsuneo Akaha mengalakan Jcpang snngnt sadar akan pentingnya selat di wilayah Asia Tenggara yaitu selal Malaka dan Singapura dan selnl Lombok d1m Makasar bagi pe[ayaran intcrnasional. Dari 140 - 150 kapal yang melalui selat Malaka dan Singapura setiap harinya, 44% yang berbobot 30,000 ton alau lebih adalab milik Jepaog. Tanker-tanker Jepang merubawa 74%
minyak melalui selat yang strategis antara Singapura dan Indonesia yang memasok &5% kebutubaD impor minyaknya. Apabila pelayaran dari Teluk Persia ke Jepang terganggu di selat-selal ini dan dialihkan melewali Australill, jarak pelayaran akan meningkat sebesar 78%. Lillat: Tsuneo Akaba, RJapan's·Response to llueats of Sbipping Disruptions in Southeast'Asia and the Middle East, R Pacific Affairs. 59 No.2 (1986): pp. 265-266. Oleb Cbaiwat Kltarnchoo juga dinyalakan baJlwa 60% dari imJX)r minYllk minyak Jepang d.'m 40% perd.1gangan intemasionalnya diangkut ruelalui sela! Malaka dan selat Lcmbok. Liha!: Chaiwat Khamchoo, "Japan's Role in Soulheasl Asian Security: "Plus ca change ... ," Pacific Affairs, 64 No.1 (1991): pp.7
Juni;992
256
HlIkwn dan Pembangllnlln
Penggllnaall Pasal9: Jaminan sekaliglls Tameng Pasal 9 ternyata oleh Jepang, dalam waktu yang bersamaan telab dipak<1j sebagai "laminan" dan "Tameng" dalam menghadapi tekanantekanan dari masyarakat internasional. Adapun yang dimaksud dengan "jaminan ot adalah Jepang menggunakan Pasal 9, seperti diuraikan diatas, sebagai jaminan bahwa ia tidak akan membangkitkan kekuatan militernya. Jaminan ini diberikan pad a negara-negara tetangganya yang, tidak setuju akan keterlibatan militer dan pembangunan pertahanan yang dilakukan oleh Jepang. Sedangkan dalam pengertian "tameng", Pasal 9 telah digunakan oleb Jepang sebagai alasan yang kuat untuk menolak ajakan negara-negara besar, kbususnya Am.e rika untuk berperan ban yak dalam percaturan militer internasional. Dengan tidak melibatkan diri terlalu banyak, terbukti, Jepang dapat mengkonsentrasikan dirinya dalam pembangunan dan ekspansi ekonomi. Kenyataan menunjukkan bahwa sewaktu Amerika akan menyeret Jepang untuk le\:lih berperan sebagai polisi dunia atau Jepang diminta untuk membeli peralatan yang canggih (yang teroyata tidak ada manfaatnya) se\:lagai dalih untuk memulihkan kembali keseimbangan perdagangan kedua negara, Jepang selalu menggunakan Pasal 9 sebagai dalih untuk menolak ajakan tersebut atau membeli peralatan militer canggih produk Amerika.
Penlltllp Bagi Jepang teroyata Pasal 9 telah menjadi suatll "blessing in disguise". Melalui penafsiran pasal 9 Jepang telah dapat menentukan kebijaksanaannya dibidang pertahanan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Hal ini tentll berbahaya bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik, karena Pasal 9 tidak dapat dijadikan jalllinan bagi bangkit kembalinya militer Jepang. Generasi penerus Jepang, yang tidak mengalallli sadisnya perang, akan cenderung untuk melakukan kesalahan Jepang di masa lampau apanila sejarah tidal< diajarl
Masatall Penafsiran
257
Bagi negara-negara tetangga Jepang, benteng terakhir untuk tidak bangkitnya militer Jepang adalah pada itikad (will) para pengambil keputusan Jepang. Namun siapa yang dapat menjamin bahwa pengambil keputusan akan tetap konsisten pada kebijaksanaan pengambil keputusan sebelumnya? Dalam kondisi seperti ini mungkin ada baiknya negara-negara tetangga Jepang selalu menyuarakan kekhawatirannya dan menekan Jepang untuk tidak terus mengembangkan pertahanannya. Negara- negara tetangga Jepang harus dapat meyakinkan Jepang bahwa mereka dapat menjaga keamanan wilayahnya masing-masing tanpa harus ada campur tangan pihak luar. Doktrin keamanan Amerika pada masa Perang Dingin dimana Amerika berperan sangat dominantidak:lah dapat digantikan oleh Jepang karena selain tidak relevan,9 trauma masa lampau negara-negara tetangga Jepang tidak dapat secara mudah dihilangkan dalarn ingatannya. lO DAFI'AR PUSTAKA Beer, Lawrence W.,"Japan ' s Constitutional - System and Its Judicial Interpretation," Law iniapan, 17 (1984). Harnzah, B.A.,"ASEAN and the Remilitarization of Japan: Challenges or Opportunities? "The Indonesian Quarterly 19 (1991). Akaha, Tsuneo,"Japan's Response to Threats of Shipping Disruptions in Soqtheast Asia and the Middle Eas~" Pacific Affairs, 59 No.2 (1986). Khamchoo, Chaiwat,"Japan's Role in Southeast Asian Security: Plus ca change ... ," Pacific Affairs, 64 No.1 (1991): , ' .
Q.
Dalam pasea Perang Dingin intcnsitas aDeaman aotar dua blok sudah clapal dikatakan tidak ada
lagi . Schingga kelladiran Arnerika di kawas.w Asia Pasiflk sebagai tandingan kehadiran Soviet dalam era perang dingin sudah lidak l1lemiliki arti penting. 10. Pandangan Indonesia dalam hal ini adalah tidak ada negara yang lebill bertanggung jawab untuk mcmonilor alas se-lanes-nya selain Degara itu sendiri. kebadiran Amerika masib dapat ditolerir unluk SCOlcntara sampai pada suntu waktu diOlana Indonesia Olemilki Angkaian L.aut yang memadai dalaol rangka menjaJankan pengawasan dan kontrolnya. Liliat: John F. O'C.onnel, "The Role of the Self-Defense Forces in Japan's Sea lane Defense", Journal of Northeast Asian StudieS. 3 No.3 {I 984): pp. 61-62
illni1992
258
Hllkum dan Pembllngunan
Kasuya, Tomosuke,"Kempo Hensen to Kempo Kyujo," Law in Japan 18 ( 1985). Holland, Harrison M., Managing Defense: (USA: University Press of America, 1988).
Japan's
Dilemma,
O'Connell, John F.,"The Role of the Self Defense Forces in Japan's Sea Lane Defense," Journal of Northeast Asiall Studies, 3 No.3 (1984).
HUIUM PEMBANGUNAI Un
Salab satu bacaan utama sarjana dan mahasiswa hukum Indonesia
Karangan-karangan Hukum Yurisprudensi dan Komentar
Timbangan Buku Berita Kepustakaan Fak. Hukuw dalaw benta Wawancara Parlementaria Kronik Peraturan per-undang2-an Komentar & Pendapat
f!1
majalah hukum terkemuka masa kini HUBUNGILAH TOKO BUKU Tt:RIlt:KA l' ATAU LANGSUNG TATA USAHA "HUKUM dan PEMBANGUNAN" JI. <.:irrbon No.5 - Jahrta
Trlrpon : JJS4J2
0'0 0'0 0'0 0'0 0+0 0'0 0+0 ft 0'0 0'0 t, 0' '0 0' +