Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam fase tumbuh kembang, karena pada masa ini terjadi percepatan perkembangan fisik dan mental yang akan berpengaruh terhadap masa kini dan masa depan individu (Aquilino & Supple, 2001; Ardelt & Day, 2002; Baumrid, 1991; Collins, Gleason, & Sesma, 1997; Dey, Joarder, & Chakraborty, 2011; Hurlock, 2004; Sorkhabi, 2010; Steinberg, & Silk, 2002). Perkembangan yang dramatis pada diri remaja juga menyebabkan remaja rentan mengalami masalah perilaku. Hal ini disebabkan karena perubahan perkembangan yang terjadi pada fase tersebut sering mengakibatkan remaja mengalami keadaan tertekan (stres), dan apabila tidak mampu mengatasinya, maka besar kemungkinan remaja akan mengalami gangguan dalam perilakunya (Bourdeau, Miller, Duke, dkk., 2011; Hair, Moore, Garrett, Ling & Cleveland, 2008; Lee, Daniels, & Kissinger, 2006). Suryaningtyas (2007) mengemukakan bentuk-bentuk perilaku bermasalah yang kerap dilakukan oleh remaja antara lain: berbohong, mencuri, membolos, kabur dari rumah, keluyuran, memiliki dan membawa senjata tajam, bergaul dengan teman yang memberikan pengaruh buruk, berpesta-pora, membaca dan memiliki buku porno, berkata-kata dan berpakaian seronok, meminum minuman beralkohol, penipuan, seks bebas, pencurian, tawuran, pembunuhan, penganiayaan, dan terlibat dalam tindakan pelacuran. Polda Metro Jaya melaporkan bahwa kasus kenakalan remaja meningkat 13,34% pada tahun 2011 (Chatib, 2012). Kasus-kasus yang meningkat antara lain: pencurian (naik 12,54% dari 6.048 kasus menjadi 6.807 kasus), perjudian (naik 2% dari 999 kasus menjadi 1.019 kasus), perkosaan (naik
2
13,33% dari 60 kasus menjadi 68 kasus), dan pemerasan (naik 19% dari 333 kasus menjadi 396 kasus). Bentuk-bentuk perilaku bermasalah tersebut dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri (internal) maupun yang berasal dari luar dirinya (eksternal). Salah satu faktor penyebab yang berasal dari luar diri remaja adalah faktor keluarga, dalam hal ini adalah hubungan orangtua dengan anak (Melching, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik orangtua-anak meningkat ketika anak memasuki usia remaja (Baumrid, 1991; Sorkhabi, 2010; Steinberg, & Silk, 2002). Muncul pandangan pada diri anak bahwa sikap orangtua terhadap mereka keras, penuh aturan dan tidak rasional. Sedangkan orangtua merasa bahwa anak menjadi sulit diatur dan destruktif. Orangtua dan anak masing-masing merasa kedekatan satu sama lain menjadi berkurang selama masa ini (Baumrid, 1991; Sorkhabi, 2010; Steinberg, & Silk, 2002). Hal tersebut disebabkan karena remaja mengalami peningkatan kapasitas dalam penalaran logis, yang mengarahkan mereka untuk menuntut alasan untuk halhal yang sebelumnya mereka terima tanpa pertanyaan dan perdebatan. Pemikiran kritis yang berkembang membuat mereka cenderung kurang mampu untuk menyesuaikan diri dengan keinginan orangtua sebagaimana yang mereka lakukan di masa kecil. Remaja tidak lagi menerima orangtua mereka sebagai figur yang memiliki otoritas penuh. Mereka mulai mengakui bahwa pendapat lain juga memiliki manfaat dan mereka belajar bagaimana untuk membentuk dan menyatakan pendapat mereka sendiri (Santrock, 2003).
3
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti kepada 30 orangtua yang memiliki anak berusia 11-13 tahun di Yogyakarta menunjukkan beberapa permasalahan utama yang dihadapi orangtua ketika anak-anak mereka memasuki usia remaja, yaitu: anak mulai tidak terbuka kepada orangtua, berbohong, interaksi dengan lawan jenis yang mengkhawatirkan orangtua, kebutuhan untuk melepaskan diri dari kontrol orangtua
dalam bentuk keinginan untuk berangkat dan pulang
sekolah sendiri dengan kendaraan pribadi seperti motor atau sepeda, melanggar disiplin dengan sengaja, dan masalah yang berkaitan dengan emosi (temper). Terdapat juga kasus dimana remaja berani meninggalkan rumah karena merasa keinginannya tidak dipenuhi oleh orangtua. Berkaitan dengan sikap tidak terbuka remaja kepada orangtua, salah seorang remaja laki-laki yang peneliti wawancarai mengatakan bahwa ia merasa lebih nyaman bercerita kepada temannya daripada kepada orangtuanya. Hal tersebut karena temannya mendengarkan ceritanya tanpa menggurui atau menasihatinya. Sedangkan apabila dia bercerita kepada orangtuanya, orangtuanya cenderung langsung
menasihatinya.
Studi
pendahuluan
yang
peneliti
lakukan
juga
menunjukkan data bahwa remaja mempunyai kebutuhan yang sama besarnya terhadap kuantitas kebersamaan dengan orangtua dibanding kualitas kebersamaan. Seorang remaja putri yang peneliti wawancarai menyatakan kekecewaannya kepada orangtuanya yang menurutnya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sehingga waktu kebersamaan dengan anak sangat sedikit. Rice dan Dolgin (2008) menyebutkan bahwa hubungan orangtua dengan remaja dalam hal fungsi pengasuhan mereka seharusnya mengandung tiga
4
komponen sebagai berikut, yaitu: (1) connection atau kehadiran akan kehangatan, mencintai, hubungan yang penuh perhatian antara orangtua dan anak, (2) psychological autonomy atau kemandirian psikologis, yaitu memberi kebebasan kepada anak untuk membentuk suatu opini sendiri, mempunyai privasi untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, (3) regulation atau peraturan, yaitu monitoring atau pengawasan orangtua terhadap perilaku anak serta membuat norma atau aturan yang membatasi perilaku anak. Apabila salah satu dari ketiga komponen interaksi
orangtua-remaja
sebagaimana
telah
disebutkan
tidak
berfungsi
sebagaimana mestinya, maka kualitas hubungan antara orangtua remaja juga tidak baik, dan anak akan rentan menjadi remaja bermasalah (Steinberg & Silk, 2002). Salah satu contoh yang baru-baru ini terjadi adalah kasus tawuran antar sekolah yang melibatkan SMA 6 dan SMA 70 Jakarta. Tawuran tersebut memakan korban jiwa yaitu terbunuhnya Alawy oleh FR. Hasil penyelidikan terhadap FR mengungkap fakta bahwa FR tinggal terpisah dari orangtuanya sejak dia SMP, FR bersekolah di Jakarta dan selalu berpindah-pindah kos, sedangkan orangtuanya tinggal di Bali. Pihak sekolah menyatakan bahwa FR berasal dari keluarga yang broken home, sehingga perhatian orangtua terhadap FR kurang dan kontrol terhadapnya sangat longgar (Kurniawan, 2012), dan hasil pemeriksaan psikologis terhadap FR menunjukkan data bahwa tujuan FR terlibat dalam tawuran agar dianggap sebagai pahlawan (hero) oleh teman-temannya. (Setiawan & Rimadi, 2012). Pada kasus tersebut terlihat bahwa fungsi koneksi dan pengawasan dalam hubungan antara FR dengan orangtuanya tidak baik, dan tampak bahwa orangtua
5
FR menerapkan gaya pengasuhan yang mengabaikan (Baumrind, 1991), yaitu gaya pengasuhan dimana orang tua tidak mau terlibat dengan kehidupan anaknya. Orangtua yang demikian hanya fokus pada penyediaan kebutuhan materi/fisik saja terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan immateri/psikis anaknya terabaikan atau bahkan sama sekali tidak pernah diperhatikannya, padahal kebutuhan immateri/psikis seorang anak lebih penting dari sekedar pemenuhan kebutuhan materi/fisik. Anak dari orangtua yang memiliki gaya pengasuhan mengabaikan, ketika mereka tumbuh menjadi remaja, biasanya sering mencari pelarian dari rasa kesepiannya dengan cara mencari penerimaan dari orang lain. Akibatnya mereka seringkali terlibat dalam masalah-masalah perilaku, misalnya tawuran, seks bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, maupun berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya sebagai salah satu cara atau bentuk mereka dalam mencari penerimaan dari orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan orangtua-remaja dengan kelekatan dan kedekatan emosi yang kuat akan menghasilkan perkembangan psikologis yang baik pada diri remaja (Bradford & Lyddon dalam Barber, Ball, dan Armistead, 2003). Dukungan orangtua terhadap remaja dalam bentuk ekspresi emosi maupun pernyataan verbal akan menghasilkan remaja dengan penyesuaian psikologis yang positif, termasuk dalam pencapaian otonomi dan pencapaian hasil belajar (Aquilino & Supple, 2001). Selain itu, hasil penelitian secara konsisten menunjukkan adanya hubungan antara sedikitnya konflik dalam hubungan orangtuaremaja dengan perkembangan psikologis yang baik pada remaja, dimana remaja
6
yang memiliki sedikit konflik dengan orangtuanya menunjukkan simtom depresi yang sedikit (Baumrind, 1991; Barber, Ball & Armistead, 2003). Sejalan dengan itu, Shek (2010) menyatakan bahwa hubungan orangtuaremaja yang baik dapat dilihat dari rasa saling percaya antara remaja dan orangtua, kesiapan remaja untuk berkomunikasi dengan orangtua, dan kepuasan remaja terhadap kontrol orangtua. Semakin tinggi tingkat kepercayaan anak terhadap orangtuanya, semakin siap remaja untuk berkomunikasi dengan orangtuanya, dan semakin puas remaja terhadap kontrol orangtuanya, maka akan semakin baik kualitas hubungan orangtua-anak. Baumrind (1991) juga menyebutkan salah satu bentuk gaya pengasuhan lainnya yang berdampak buruk bagi anak, yaitu gaya pengasuhan authoritarian, yakni gaya pengasuhan yang terlalu banyak menuntut anak, tidak ada kehangatan dalam keluarga, serta menggunakan disiplin yang keras. Anak-anak dengan pengasuhan ini terindikasi berkemampuan cukup baik di sekolah dan tidak mengalami masalah perilaku, namun memiliki keterampilan sosial yang rendah, tidak percaya diri, depresif, dan mengalami kesulitan emosional. Hasil asesmen yang dilakukan peneliti ketika melakukan Praktik Kerja Profesi Psikologi pada jenjang SMP menunjukkan data bahwa klien yang peneliti dampingi mempunyai masalah dalam mengomunikasikan persoalan yang dia hadapi kepada orangtuanya (Jannah, 2012). Klien yang didampingi merupakan siswa berprestasi dan aktif di organisasi sekolah. Ia dirujuk untuk mendapat pendampingan karena prestasi belajarnya menurun dan ingin berhenti dari semua aktivitas organisasinya. Pada proses pendampingan, Klien mengaku berpacaran hingga tahap intimasi yang
7
cukup berisiko karena tidak mampu mengontrol dirinya untuk mencegah intimasi tersebut. Ia merasa bingung dengan apa yang dialaminya. Pada satu sisi ia merasa bersalah, namun pada sisi lain ia merasa ingin melakukannya. Sekalipun ia merasa butuh untuk menyeritakan kebingungannya kepada orang terdekatnya, ia mengaku tidak tahu harus bercerita kepada siapa, karena ia merasa takut dan tidak nyaman menyeritakan masalah yang ia hadapi kepada orangtuanya (Jannah, 2012). Berdasar hasil asesmen pada kasus Klien, baik klien maupun ibu klien mengakui bahwa pola hubungan dalam keluarga mereka kurang hangat dan terbuka. Semasa hidup, ayah klien adalah sosok yang keras dan tegas, sehingga komunikasi antara anak dengan orangtua sangat jarang terjadi di keluarga mereka. Sebagaimana pernyataan Ibu dalam wawancara: “Waktu Bapak masih ada saya jarang bersama anak-anak, karena selalu mendampingi Bapak bertugas. Bapak orangnya tegas dan disiplin, sehingga anak-anak juga dididik dengan tegas dan norma-norma yang kuat. Di rumah memang jarang ngobrol, Mbak. Paling-paling ketika sarapan pagi sebelum pada berangkat. Waktu Mas-masnya NA masih sekolah, pulang sekolah biasanya mereka masuk ke kamar masing-masing dan beraktivitas sendiri-sendiri, belajar atau bermain komputer.” (DU, 55 tahun)
Pada kasus tersebut terlihat bahwa Klien merasa tidak aman dan tidak nyaman untuk mengomunikasikan permasalahannya kepada Ibunya karena didalam keluarganya memang jarang terjalin komunikasi.
Fungsi yang dominan dalam
hubungan antara klien dengan orangtuanya adalah fungsi kontrol, yang diterapkan dalam bentuk norma-norma dan keharusan-keharusan. Adapun connection dan psychological autonomy kurang berfungsi, sebagaimana dinyatakan oleh Ibu klien: “Setelah Bapak nggak ada saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan lebih banyak beraktivitas di rumah. Saya kasih mobil sama supir Mbak buat antar jemput sekolah, biar nggak malu sama teman-teman. Saya juga nggak
8
ngebolehin main dengan teman-temannya di luar jam sekolah, biar nggak kena pengaruh buruk.” (DU, 55 tahun). Pernyataan Ibu klien menunjukkan fakta bahwa Ibu belum memiliki pemahaman yang komprehensif tentang tumbuh kembang remaja, sehingga dengan alasan memproteksi anak Ibu membatasi kebutuhan anak untuk lebih terlibat dengan teman sebayanya. Minimnya komunikasi yang terjadi dalam keluarga menyebabkan orangtua tidak memahami kebutuhan anak yang sesungguhnya, sedangkan anak merasa tidak aman dan tidak nyaman untuk mengkomunikasikan keadaannya atau perasaannya kepada orangtua. Temuan pada kasus Klien menguatkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa interaksi yang berbasis rasa aman antara remaja dan orangtua memfasilitasi regulasi fisiologis remaja terhadap stres ketika menghadapi masalah (Eichelsheim, dkk., 2010; Lederman, Chan, & Roberts-Gray, 2008; Nagamatsu, Saito, & Sato, 2008; Willemen, Schuengel, & Koot, 2009). Kualitas hubungan yang baik antara orangtua dan remaja yang ditunjukkan dengan dukungan orangtua dan pemberian kebebasan yang bertanggungjawab juga terbukti meningkatkan pengetahuan dan perilaku remaja terkait perilaku seksual yang sehat (Eichelsheim, dkk., 2010; Lederman, Chan, & Roberts-Gray, 2008; Nagamatsu, Saito, & Sato, 2008; Willemen, Schuengel, & Koot, 2009). Berdasarkan pendapat beberapa ahli yang didukung oleh berbagai hasil penelitian, model pengasuhan autoritatif terbukti mampu mencegah dan melindungi anak dari berbagai faktor risiko yang dapat berpengaruh terhadap berkembangnya perilaku bermasalah anak pada masa remaja (Coie & Dodge dalam Lisnawati, 2009; Santrock, 2003)). Gaya pengasuhan ini mengindikasikan kualitas pengasuhan yang
9
baik dan berdampak positif terhadap perkembangan perilaku anak. Gaya pengasuhan autoritatif mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Adanya sikap orangtua yang hangat dan bersifat membesarkan hati anak, dan komunikasi dua arah yang bebas membuat anak semakin sadar dan bertanggung jawab secara sosial. Hal ini disebabkan karena orang tua dapat merangkul dan mencarikan alasan untuk solusi di masa depan (Santrock, 2003). Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hubungan orangtua-remaja dapat dilakukan dengan pendidikan pengasuhan (parenting education) (Wood & Davidson, 2003). Pendidikan pengasuhan merupakan salah satu cara untuk mencegah kekerasan terhadap anak dan meningkatkan pemahaman orangtua terhadap tumbuh kembang anak dan kompetensi mereka dalam pengasuhan anak (Tomison, 1998). Bentuk-bentuk pendidikan pengasuhan yang ada dirancang dengan berbagai pendekatan, sebagai contoh adalah Triple-P dan STEP. Triple-P (Positive Parenting Program) merupakan program pengembangan dari teknik intervensi perilaku keluarga (Behavioral Family Intervention) yang menggunakan pendekatan Belajar Sosial (Sanders, Mazzuchell, & Studman, 2004). Triple-P merupakan bentuk pendidikan pengasuhan yang dirancang dengan tujuan untuk mencegah perilaku nakal serta gangguan perkembangan dan emosi pada anak yang memasuki usia remaja (Sanders, 1996). Beberapa peneliti telah membuktikan efektivitas Triple-P dalam menurunkan tingkat laporan orangtua mengenai masalah perilaku anak, baik internalisasi maupun eksternalisasi (Sanders & Turner, 2006; Sanders, dkk., 2003), akan tetapi memiliki keterbatasan dari segi aplikasi menurut
10
budaya, misal keterampilan dan model yang diberikan tidak sesuai dengan pemahaman masyarakat setempat, kondisi perekonomian, kondisi pendidikan dan nilai sehari-hari (Sanders dalam Tegawati, 2011). Program yang lain adalah Systematic Training for Effective Parenting (STEP). STEP dirancang dengan pendekatan psikologi individual Alfred Adler yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku demokratis orangtua, menghargai privasi anak, serta menurunkan sikap kaku dan otoriter orangtua. (Zulu, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang mengikuti STEP memiliki pandangan yang lebih positif terhadap anak-anak mereka, lebih menghargai anak-anak mereka dan mengurangi tindak kekerasan terhadap anak. Akan tetapi STEP memiliki kelemahan yaitu keterlibatan orangtua (parent involvement) terhadap anak menjadi berkurang (Zulu, 2002). Dua intervensi yang telah dibahas di atas (Triple-P dan STEP) memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaan dari kedua intervensi tersebut adalah
membantu
anak
dengan memberikan
intervensi kepada
orangtua;
memberikan informasi mengenai anak-anak yang dibutuhkan oleh orangtua; serta mengajarkan orangtua cara-cara yang dapat digunakan dalam menghadapi segala hal yang terkait dengan anak. Perbedaan kedua intervensi tersebut terletak pada pendekatan
yang
digunakan
sebagai
acuan
penyusunan
intervensi,
yaitu
pendekatan Belajar Sosial (pada Triple-P) dan pendekatan psikologi individual Alfred Adler (STEP). Pada penelitian ini, pendidikan pengasuhan akan dilaksanakan menggunakan pelatihan Menjadi Orangtua Bijak yang ditemukan pertamakali oleh Thomas Gordon
11
(Wood & Davidson, 2002; Wood & Davidson, 2003; Zulu, 2002), seorang psikolog klinis yang mengembangkan praktek konseling berbasis humanistik. MOE merupakan sebuah program berbasis pengasuhan autoritatif yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan orangtua dalam pengasuhan anak serta untuk meningkatkan kualitas hubungan antara orangtua-anak dengan penekanan pada keterampilan komunikasi dan mendengarkan (Gordon, 2000; Wood & Davidson, 2002; Wood & Davidson, 2003; Zulu, 2002). MOE mengasumsikan bahwa orang tua tidak selalu mengerti alasan di balik perilaku anak-anak mereka (Cedar, Levant, & Ronald, 1991). Dampak yang buruk akan terjadi apabila orangtua salah menangkap maksud dari perilaku anak sehingga salah dalam menyikapi perilaku tersebut. Karena itu MOE bertujuan untuk membantu orang tua lebih memahami kebutuhan anak-anak mereka dan alasan yang mendasari perilaku anak-anak mereka. MOE akan melatih orangtua metode berkomunikasi secara efektif dengan anak mereka sehingga anak juga belajar metode yang lebih positif untuk mengekspresikan dirinya atau menyampaikan kebutuhannya. Prinsip perubahan tersebut disajikan dalam gambar 2 (Cedar, Levant, & Ronald, 1991). Perubahan sebagaimana yang diharapkan melalui MOE akan dapat dicapai apabila partisipan memperoleh pengalaman langsung, karena belajar melalui pengalaman (experiential learning) merupakan sebuah model holistik dari proses pembelajaran di mana manusia belajar, tumbuh dan berkembang. Penyebutan istilah experiential learning dilakukan untuk menekankan bahwa experience (pengalaman) berperan penting dalam proses pembelajaran dan membedakannya
12
dari teori pembelajaran lainnya seperti teori pembelajaran kognitif ataupun behaviorisme (Kolb, 1984). Metode Experiential learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja. Namun, juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan nyata.
Perkembangan Remaja: Fisik Kognitif Sosial Emosi
Konteks: - Keluarga - Sekolah - Sebaya
Pengasuhan orangtua yang tidak efektif
Remaja dengan perilaku bermasalah
- Remaja tidak nyaman berkomunikasi dengan orangtuanya. - OrangtuaRemaja tidak saling percaya. - Remaja tidak puas dengan kontrol orangtua
Parent Effectiveness Training (MOE)
Gambar 1. Alur Berpikir Penelitian
Perilaku anak yang tidak dikehendaki adalah dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Orangtua belajar lebih memahami kebutuhan anak.
-
-
Orangtua belajar mendengar aktif dan berkomunikasi lebih efektif dengan anak. Orangtua memberikan alternatif terhadap perilaku anak yang tidak diinginkan.
Gambar 2. Prinsip Perubahan dalam MOE
13
-
-
-
Orangtua lebih menghargai anak. Konflik antara orangtuaanak berkurang. Harga diri orangtua dan anak meningkat.
Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan (Cahyani, 2003). Tahap-tahap pelaksanaan model belajar experiential learning ditunjukkan pada gambar 3. Dimulai dengan melakukan (do), merefleksikan (reflect) dan kemudian menerapkan (apply). Jika dielaborasi lagi maka akan terdiri dari lima langkah, yaitu dimulai dari proses mengalami (experience), berbagi (share), menganalisis pengalaman tersebut (proccess), mengaitkan pengalaman dengan kejadian nyata (generalize), dan menerapkan hal-hal yang telah dipelajari pada situasi yang sama atau berbeda (apply). Demikian seterusnya, kembali pada langkah pertama. Siklus ini tidak pernah berhenti (Pfeiffer & Ballew, 1988). Experiential learning menurut Cahyani (2003) adalah suatu metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung. Oleh karena itu, metode ini akan bermakna tatkala pembelajar berperan serta dalam melakukan kegiatan. Kemudian, mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, Experiential Learning
menggunakan pengalaman
sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Secara sederhana, experiential learning adalah belajar dari pengalaman. Pengalaman ini dapat ditunjukkan atau dibiarkan terbuka (Wikipedia). Experiential learning ada ketika peserta bertanggung jawab secara pribadi dalam proses kognitif, dan memproses pengetahuan secara perilaku, keterampilan,
14
dan/atau situasi sikap ditandai dengan keterlibatan aktif tingkat tinggi (Hoover & Whitehead, 1975) Metode Experiential learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja. Namun, juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan nyata.
Gambar 3. Tahapan Experiential Learning (Pfeiffer & Ballew, 1988)
Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan (Cahyani, 2003). Hasil penelitian Diem (2001) menunjukkan bahwa experiential learning merupakan proses belajar yang efektif untuk mengubah perilaku individu ke arah yang lebih baik karena dengan experiential learning individu dapat mengingat 90 persen dari apa yang didengar, dilihat, didiskusikan dan dipraktekkan. Berdasarkan paparan diatas maka penelitian ini akan menggunakan pelatihan dengan metode experiential learning dimana para peserta pelatihan nantinya akan memperoleh pengetahuan melalui pengalaman langsung selama pelatihan. Penyajian MOE akan dilakukan dalam bentuk ceramah, role-playing, diskusi dan tugas rumah (Zulu, 2002). Metode ceramah adalah penerangan dan penuturan
15
secara lisan (Syah, 2000). Dalam pelaksanaan ceramah untuk menjelaskan uraiannya, penyampai dapat menggunakan alat bantu seperti gambar-gambar, tetapi metode utamanya adalah berbicara. Dalam penelitan ini, ceramah akan digunakan sebagai pengantar sesi agar partisipan memahami isi materi yang disampaikan. Role-playing merupakan suatu bentuk metode pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan yang dilakukan dengan memerankan tokoh hidup atau benda mati (Syah, 2000). Role-playing merupakan metode yang efektif karena dengan metode role-playing partisipan akan memperoleh pengalaman yang sangat dekat dengan dunia nyata (Oberle, 2004). Role-playing digunakan agar peserta memiliki pengalaman langsung terhadap sesi yang disajikan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pelatihan “Menjadi Orangtua Efektif” mampu meningkatkan kualitas hubungan orangtua-remaja. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah pelatihan “Menjadi Orangtua Efektif” mampu meningkatkan kualitas hubungan orangtua-remaja, dimana penilaian anak terhadap sikap pengasuhan efektif orangtua pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Efektivitas pelatihan akan diukur dengan kuesioner dan wawancara. Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberi pemahaman secara mendalam pada ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan remaja, psikologi pendidikan dan psikologi keluarga. Secara praktis, penelitian ini dapat
16