MAQASHID SYARI’AH DALAM NASAB ANAK LUAR KAWIN OLEH NUR HIDAYAH (Dosen STAI An-Nur Lampung)
ABSTRACT Maqasid al-Syar'iah God's law as a goal-oriented creation of human beings to be of benefit. Benefit as a destination Personality 'applies throughout the lifetime of all individuals both material and moral. Protection of the most fundamental and the first is to maintain the honor, the lineage; maintain property as back alive; keeping the mind which is the basis of the imposition of duties and responsibilities in Islam, and keep religion and the individual's relationship with God. Key Words: Maqasid Syari’ah, Anak Luar Kawin
A. PENDAHULUAN Maqashid al-Syar’iah sebagai tujuan hukum Allah tentang penciptaan manusia berorientasi pada maslahat. Maslahat sebagai tujuan syara’ berlaku sepanjang masa tersimpul dalam al-Qur’an, lalu dijabarkan oleh Rasulullah kemudian dikembangkan oleh para ahli hukum Islam hingga masa kini. Penjelasan al-Qur’an oleh Rasulullah selama hidupnya melalui Sunnahnya hanya terbatas terhadap peristiwaperistiwa hukum pada masa Rasulullah. B. PEMBAHASAN Teori Nasab Anak Luar Kawin dan Teori Maqashid Syari’ah 1. Teori Nasab Anak Luar Kawin Nasab secara bahasa diartikan dengan kerabat, keturunan atau menetapkan keturanan. 1 Secara istilah, nasab merupakan legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari suatu pernikahan, baik status pernikahannya sah, tidak sah atau sengama tanpa nikah yang kedua orangtuanya tidak jelas. Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. 2. Teori Maqashid Shari’ah Sebagai Pisau Analisis Pentingnya kajian maqashid syar’iah sebagai metode, mengingat nash al-Qur’an dan Hadis terbatas secara kuantitatif sedangkan peradaban (peristiwa 1Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1973), h. 449
hukum) selalu berkembang. 2 Maslahat sebagai tujuan hukum Islam berkaitan dengan kepentingan manusia sesuai dengan fitrahnya untuk mencapai kebahagian hidup dan mempertahankannya, dalam istilah filasafat hukum Islam disebut al-tahsil wa al-ibqa atau mengambil maslahat serta sekaligus mencegah kerusakan “jalb al-mashasalih wa daf’al-mafasid”. 3 Maqashid Syari’ah tetap berkomitmen terhadap maslahat dan mencegah terjadinya kerusakan dapat dijadikan sebagai doktrin demi tercapainya kemaslahatan bagi umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itu dicanangkan tiga skala prioritas yang berbeda tetapi saling melengkapi: al-dharuriyyat, alhajiyyat, al-tahsinat. 4 Pertama, Dharuriyyat merupakan suatu keharusan dan keniscayaan, yaitu sesuatu yang harus ada demi kelangsungan kehidupan manusia. Jika sesuatu itu tidak ada, maka kehidupan manusia pasti akan hancur. Tujuan-tujuan daruri itu adalah menyelamatkan agama, jiwa, akal, harta, keturunan dan harga diri. Perlindungan agama adalah melindungi seseorang untuk beragama sesuai dengan kepercayaannya, terlarang memfitnah dan melecehkan agama, terlarang menyesatkan agama yang dianut seseorang, larangan menistakan agama, larangan selalu berbuat anarhis dan berbuat kerusakan. 5 Pemeliharaan terhadap jiwa adalah dengan cara melindunginya dari segala hak hidup yang layak, yang di antaranya pemeliharaan dan perlindungan 2Yudian
Wahyudi, Ushul Fikih Versus ..., hal 48-51. hlm 7247. 4Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika,Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yokyakarta: Nawesea, 2007), ,hlm, 48 5 Imam Al-Sayuthi, Al-Isybah Wa al-Nadha’ir, (Bairut: alMaktabah, 1989),,hlm 397 3Wahbah,
kebebasan berbuat, kebebasan berfikir, kebebasan berbicara, kebebasan bertempat tinggal dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hak asasi manusia. 6 Pemeliharaan terhadap akal adalah dengan cara melingdunginya dari segala hal yang akan berakibat kerusakan akal. Oleh karena itu Hukum Islam mengharamkan khamr dan segala bentuk narkoba. 7 Kedua, hajiyyat (kebutuhan-kebutuhan). Artinya, sesuatu dibutuhkan demi kelangsungan kehidupan manusia. Jika sesuatu itu tidak ada, maka kehidupan manusia tidak akan mengalami kehancuran, tetapi kesulitan-kesulitan akan menghadang atau kehadiran sesuatu itu mempermudah mencapai kebutuhan yang dharuri. 8 Ketiga, tahsiniyat: (proses-proses dekoratifornamental). Artinya tidak adanya dekoratifornamental tidak akan menghancurkan tujuan dharuri, tetapi kehadirannya akan memperindah pencapaian tujuan dharuri. 9 Penerapan Teori Maqashid Syari’ah Terhadap Nasab Anak Luar Kawin Pada bagian ini, penerapan maqashid difokuskan pada tujuan maslahat tentang nasab anak luar kawin. Maslahat tersebut akan dikaji dengan segala tingkatan (dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat) ; Tujuan primer dharuriyat, -untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan / kehormatan, dan harta- sekunder hajiyat, dan Tertier (tahsiniyat). Pada tahap tertier, keterangan saksi yang akan dipilih diserahkan kepada rasa estetika dan 6Abu
Zahrah, Ushul Fiqh (Bairut: Dar Al-fikr, 198),hlm.. 278. h. 279 8 Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah, (yokyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007),hlm 29 9Ibid, hlm 30. 7Ibid.
kemampuan lokal dengan berbagai variasi. Mungkin ada yang memilih keterangan saksi berdasarkan bahan-bahan tertulis, seperti surat, dokumen, informasi koran dan lain sebagainya. Mungkin ada yang memilih keterangan saksi berdasarkan buktibukti secara visual seperti foto, mungkin ada pula keterangan saksi berdasarkan penjelasan masyarakat. Mungkin ada yang memilih keterangan saksi berdasarkan penggabungkan bukti tertulis dengan tidak tertulis. Dari sini terlihat bahwa maqashid shari’ah dari segi melindungi jiwa anak luar kawin adalah dengan cara memberikan kepastian nasab sebagai tujuan maslahat tingkat dharuriyyat dan pada tingkat hajjiyatnya dengan cara mendatangkan saksi untuk memudahkan pengakuan nasab anak, sampai pada tingkat tahsiniyyatnya Maqashid memberi kebebasan bagaimana mendapat indikasi pengakuan nasab anak tersebut terserah kepada pendapat hakim yang menangani persoalan tersebut. Pada tahap tertier, teori nasab anak luar kawin diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal. Di sini akan terjadi variasi. Mungkin ada yang mengkaitkan nasab anak tanpa kawin, anak dari bapaknya tidak jelas- kepada sah atau tidak sahnya suatu perkawinan, seperti Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Mungkin ada yang mengkaitkan pendapatnya kepada pandangan sebagian fukaha, yang mengkaitkan nasab anak tanpa nikah tersebut dipersamakan (qiyas) dengan nasab anak yang terlahir dari persenggamaan syubhat nikah fasid maka nasabnya dihubungkan kepada bapaknya atau kepada laki-laki yang diduga sebagai bapaknya, maka akibat hukumnya, nasab anak luar kawin itu dihubungkan kepada laki-laki yang menyenggamainya. Pemaksaan
terhadap pilihan hukum dari tiga kemungkinan tersebut akan menimbulkan mafsadat, maka penerapan teori nasab yang diniati demi ketaatan kepada Allah (yakni menjaga kesehatan) dan dilakukan dengan pilihan terbaik ini, jika pelakunya meninggal dunia karena satu dan lain hal, maka ia berstatus sama dengan orang yang beribadah dalam menjalankan perintah di jalan Allah. Pada tahap tertier, pilihan untuk menentukan berbagai fasilitas diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal.Untuk memperindah dan rapi, mungkin orang akan memilih disampul dengan warna merah, mungkin sebagian dengan warna putih, biru dan lain sebagainya. Di sisi lain menginginkan peraturan perundangan itu berbentuk buku panjang, sebagian cukup dengan bentuk buku saku. Ada pula yang menginginkan buku tersebut diberi lambang burung garuda, mungkin sebagian orang menginginkan biasa saja mengingat biaya. Untuk menyelamatkan harta dari segi nasab anak, Islam mewajibkan nasab anak merupakan kewajiban bapak dan hak bagi sianak tanpa nasab anak tersia-sia hidupnya. al-Qur’an menyatakan: لدنيا ( المال والبنون زينة الحيوةharta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan di dunia- QS. Al-Kahfi {18:}:46). Dalam ayat ini kata المالdan لبنونdisebutkan beriringan dan diposisikan sebagai perhiasan di dunia. Ini, paling tidak- mengandung makna bahwa harta itu juga termasuk anak yang menjadi infestasi ke depan, pada ayat lain- anak keturunan merupakan amanah yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan benar. Manusia termotivasi mencari harta demi menjaga eksistensinya dan menambah kenikmatan materi dan religi. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu mendapatkan harta dengan
cara halal, memeliharanya dengan cara yang baik, membelanjakannya dengan cara yang benar. Mendapatkan harta dengan cara halal maksudnya sesuai dengan aturan agama, seperti diharamkan menjadi germo dan tukang parkir ditempat-tempat pelacuran, diharamkan perdagangan budak dan lain sebagainya. Memelihara harta dengan cara baik maksudnya menjaganya dari kerusakan dan kepunahan. Penggunaan harta dengan cara benar maksudnya membelanjakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan agama, seperti diharamkan penggunaannya untuk perzinaan sekaligus mendanai tempat-tempat maksiat seperti lokalisasi WTS. Disyari’atkannya tatacara kepemilikan, pemeliharaan, dan penggunaan harta adalah merupakan hal penting (dharuri). Jika aturan-aturan tersebut dilanggar akan berakibat terancamnya eksistensi harta. Demi kelancaran tugas primer ini diperlukan kesadaran kedua orangtua menunaikan kewajiban memberikan nasab anaknya. seperti buku catatan tentang harta kekayaan, buku Kas masuk keluar. Tanpa buku catatan tersebut, pengaturan harta masih dapat dilaksanakan, misalnya dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Namun, keberadaan buku catatan di samping sebagai pengingat juga sebagai mempermudah pengaturan harta yang ia miliki tidak lagi hanya dibutuhkan tetapi meningkat menjadi niscaya (dharuri) karena ketiadaan Ini diperkuat Pada tahap tertier, pilihan untuk menentukan bentuk buku catatan diserahkan kepada pemilik harta apakah dengan menggunakan buku panjang, buku pendek, buku tebal, atau buku tipis. Begitu juga bahasa yang digunakan, apakah bahasa Indonesia,
Inggris, Arab, atau lainnya terserah kepada apa yang mudah dipahami oleh si pemilik harta. C. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa istilah nasab anak tanpa nikah yang bapak atau laki-laki yang diduga sebagai bapaknya dalam isteilah fukaha’ dikenal dengan senggama syubhat. Nasab bagi anak yang terlahir dari senggama syubhat dihubungkan kepada laki-laki yang menyenggamainya dengan berbagai persyaratan. Namun persoalan ini tidak dikaji dalam undangundang perkawinan Nasional, baik UUNomor 1 tahun 1974, KHI, KUUHPerdata maupun putusan Mahkamah Konstitusi sehingga persoalan tersebut menarik dan penting untuk dikaji. Berdasarkan analisis, -dalam kajian fikih- dengan mengunakan maqashid al-syari’ah sebagai pisau analisisnya terhadap nasab anak luar kawin maka disimpulkan bahwa nasab anak luar kawin dapat dihubungkan kepada bapaknya atau kepada laki-laki yang diduga sebagai bapaknya dengan syarat adanya pengakuan baik dari bapak atau laki-laki yang diduga sebagai bapaknya atau dari orang lain yang mau mengakuinya sebagai anaknya. Sedangkan pada tingkat tertier (tahsiniyat) dibutuhkan sesuatu sebagai sarana untuk melengkapi tujuan primer tersebut sehingga tujuan dharuriyyat dapat terlaksana. Tujuan tertier (tahsiniyyat) diperlukan hanya sebagai pelengkap dan memperindah tujuan pokok yang dharuri saja, sehingga jika tujuan-tujuan maslahat sesuai dengan tingkatannya dapat terlaksana dengan baik maka penetapan nasab sebagai hasil anak tanpa nikah yang bapaknya tidak dikenal atau laki-laki yang
diduga sebagai bapaknya dapat terlaksana secara sempurna. DAFTAR PUSTAKA Abd al-Malik Ibn Yusuf abu al-Ma’ali, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Ansar, 1400 H Al-Gazali, Syifa al-Galil fi al-Bayan al-Syibh wa al-Mukhil wa al-Masalik al-Ta’lil, Bagdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1971 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam Ttp: Dar al-Fikr, 1341H Imam Al-Sayuthi, Al-Isybah Wa al-Nadha’ir, Bairut: alMaktabah, 1989 M. Ali Hasan, Azas-azas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukun Islam di Indonesia, Jakarta: Raja wali Press, 1997 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1973 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, cet.II Beirut: Dar al-Fikr, 1997 Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah, yokyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007 ------------, Ushul Fikih Versus Hermeneutika,Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, Yokyakarta: Nawesea, 2007