MANUSIA DALAM PENCIPTAAN Oleh: Nurcahyo Teguh Prasetyo, M.Div. Pada hari keenam, ketika semua sudah tersedia, tiba waktunya untuk Allah menciptakan mahkota ciptaan; puncak dari semua ciptaanNya. Dan Allah melakukannya bukan sekadar “berharap”, namun Ia “merencanakan”; Seperti kata seorang wartawan televisi bernama, Andreas Cooper, dalam Oprah Winfrey Show, ”A hope is not a plan.” Dan tidak berhenti hanya sampai “merencanakan”, TUHAN Allah juga “bertindak”!!! Itu sebabnya kita dapat melihat keunikan berikut ini antara Kejadian 1:26 dengan Kejadian 1:27 – 28: Dalam Kejadian 1:26 ada tertulis… ”Baiklah kita….” ”…menjadikan manusia….” ”…menurut gambar dan rupa kita…” ”…supaya mereka…” ”…berkuasa atas….” Diwujudkan dalam Kejadian 1:27 – 28: ”Maka Allah….” ”…menciptakan manusia….” ”…itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia…” ”…laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka…” ”Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka…berkuasalah….” Jadi Anda lihat, bukan? TUHAN kita bukan TUHAN yang “omdo” (omong, doank!). Dia adalah Allah yang bertindak!!! Dia memiliki kerinduan; Dia berencana; tapi Dia juga membuktikannya dengan tindakan! Manusia ini ditempatkan Allah di Taman Eden. Dari bumi yang seluas ini, Allah memberikan rumah tinggal kepada Adam. Allah memerintahkan Adam mengelola rumah tinggalnya itu, dan memerintahkan Adam untuk menikmati semua berkat rumah tangga, kecuali apa yang dilarang Allah (Kejadian 2:8 – 17). Allah pun membentuk binatang darat pada hari keenam ini. Namun setelah mengklasifikasi hewan-hewan, Adam tidak menemukan pasangan yang sepadan dengan dia. Dalam hal ini, kerja Adam untuk mengklasifikasi itu mendahului pekerjaan Carl Linnaeus alias Carl von Linné alias Linnaeus (1707 – 1778), seorang ilmuwan Swedia yang mempercayai Alkitab dan dijuluki sebagai Bapak Taksonomi karena telah
1
membuat sistem penamaan, ranking, dan pengklasifikasian mahluk hidup yang masih secara luas digunakan sampai sekarang ini (dengan banyak modifikasi tentunya). Kembali kepada Adam. Dia melihat kerbau, dan ia menemukan bahwa kaki kerbau ada empat, sangat berbeda dengan dirinya. Dia melihat ayam, memang, sih, sama-sama berkaki dua, tapi kok, paruhnya berbeda. Dia melihat ada yang agak mirip, bangsa kera, tapi kok sukanya manjat pohon terus dan nggak bisa nyambung di ajak curhat, ya? Istilahnye orang Jakarte: “Jaka Sembung mau bobo; ’Gak Nyambung Boo!” Demikianlah setelah Adam sadar bahwa ia butuh pasangan, Allah memberikan kepadanya seorang perempuan. Kejadian 2:21 – 22 mencatat, ”Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.” Demikian, mereka berdua (Adam dan Hawa) diciptakan pada hari keenam, sebagai puncak ciptaan. Anda lihat betapa baiknya Allah bukan? Sebelum manusia, mahkota ciptaanNya itu, “ada” di dunia ini, Ia telah lebih dahulu mempersiapkan segala sesuatunya untuk memungkinkan kita hidup dengan “sungguh amat baik”. Yang Allah lakukan mirip sekali dengan yang dilakukan oleh sepasang suami-isteri yang sedang mempersiapkan kelahiran sang jabang bayi dengan membeli popok, gurita, perlengkapan bayi, dsb. Semua hanya demi agar sang buah hati dapat memulai harinya di luar perut ibu dengan nyaman dan baik. Selanjutnya, Kitab Kejadian 1:27 mencatat bahwa Allah menciptakan manusia sesuai ”gambar dan rupaNya”. W. Gary Crampton (dalam bukunya Verbum Dei dan dalam salah satunya artikelnya di sebuat situs internet) menjelaskan bahwa Perjanjian Lama menyatakan manusia telah diciptakan di dalam gambar dan rupa Allah sendiri. Selain Kejadian 1:27, pernyataan ini juga dapat dibaca dalam Kejadian 1:26,27; 5:1-3; dan 9:6,3. Perjanjian Baru juga menyatakan hal yang sama dalam Kolose 3:10; Efesus 4:24; Yakobus 3:9; dan 1 Korintus 11:7. Dan Alkitab menegaskan bahwa manusia bukan sekadar “memiliki” gambar dan rupa Allah, melainkan bahwa manusia “adalah” gambar dan rupa Allah. Kata “gambar/image” (tselem) and “rupa/likeness” (demuth), dalam Kejadian 1:26,27, digunakan secara sinonim alias bisa dipakai bergantian dan bermakna sama. Kalau Anda memperhatikan Kejadian 1:26, 27 dengan 5:1 akan nyata bahwa kedua istilah ini digunakan bergantian. Seorang tokoh Kristen bernama Douglas Kelly menulis bahwa
2
kata Ibrani “tselem” memiliki pengertian “to carve out/mengukir menjadikan (sesuatu)” atau “to pattern after/untuk mengikuti pola (sesuatu).” Mengacu dari pemaparan W. Gary Crampton, saya akan mencoba menggambarkan ”manusia sebagai gambar dan rupa Allah” seperti berikut ini:
Manusia dalam Penciptaan Crampton menjelaskan bahwa secara umum ada dua aspek gambar dan rupa Allah: a. Aspek luas: Manusia adalah mahluk yang berpribadi, rasional, bebas berkehendak, kekal, mahluk rohani. Di dalam Kejadian 2:7 kita membaca bahwa “Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah, dan menghembuskan ke dalam hidungnya nafas hidup; dan manusia menjadi satu jiwa yang hidup/a living soul.” Alkitab menggambarkan manusia sebagai “a living soul/satu jiwa yang hidup,” dan ini mencangkup sebuah elemen fisik dan nonfisik. Binatang juga memiliki satu elemen non-fisik, sebagaimana juga elemen fisiknya (Pengkotbah 3:19-21; Mazmur 104:29,30; Kejadian 1:20, 21, 24. Secara literal, “living souls/jiwa-jiwa hidup”), namun keberadaan non-fisik mereka berbeda dengan yang ada pada manusia, karena manusia adalah satu “jiwa rasional”. Manusia dapat berperkara/berasio/berpikir (Yesaya 1:18), sedangkan mahluk-mahluk bumi lainnya, tidak! (baca Mazmur 32:9; Yudas 10; 2 Petrus 2:12). Gambar dan rupa Allah dalam pengertian yang luas membedakan manusia dari semua mahluk lainnya, sehingga manusia adalah bukan malaikat, atau binatang, atau tumbuhan.
3
Pandangan di atas menghantar kita untuk melihat bahwa manusia di dalam pandangan dikotomis (manusia adalah mahluk tubuh dan jiwa/roh). Pandangan dikotomis berlawanan dengan pandangan monisme (tidak memandang adanya pembedaan tubuh dan jiwa) dan trikotomi (berpandangan bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh). Pandangan monisme mengajarkan bahwa manusia itu pada akarnya adalah kesatuan, dan bukannya kesatuan yang tersusun dari dua elemen. Sedangkan pandangan Trikotomi bersandar utamanya dari 1 Tesalonika 5:23 dan Ibrani 4:12. Penyelidikan yang lebih teliti atas kedua ayat ini akan menunjukkan bahwa keduanya tidak sedang mengajarkan Trikotomi. Dalam 1 Tesalonika 5:23, Paulus tidak sedang mengajarkan tentang susunan manusia. Dalam ayat ini, ia sedang berdoa bahwa Allah akan menyucikan keseluruhan kemanusiaan kita (Yesus membuat pernyataan yang mirip dalam Matius 22:37). Sedangkan dalam Ibrani 4:12, si pengarang sedang menggunakan hiperbola (gaya bahasa yang melebih-lebihkan), ketika ia menyatakan bahwa Firman Allah begitu berkuasa sehingga mampu memisahkan apa yang tak terpisahkan, yaitu jiwa dan roh. Firman Allah, demikian menurut penulis Surat Ibrani, cukup berkuasa untuk menerobos ke dalam bagian terdalam dari manusia. Lebih lanjut, Alkitab juga sering menggunakan kata roh dan jiwa secara sinonim. Sebagai contoh: di dalam Matius 6:25 dan 10:28, manusia dikatakan terdiri dari tubuh dan roh.Demikian juga dalam Kejadian 35:18 dan 1 Raja-raja 17:21, kematian digambarkan sebagai satu penyerahan jiwa. Namun di dalam Mazmur 31:5 dan Lukas 23:46, dinyatakan sebagai penyerahan roh. Bukti pendukung yang sangat kuat untuk pandangan dikotomi dapat ditemukan dalam Filipi 1:27, dimana Paulus dengan jelas menggunakan kata roh (pneuma) dan jiwa atau pikiran/mind (psuche) secara sinonim. Dan bukti kuat lain dapat dilihat dalam Lukas 1:46, 47, dimana Maria, menggunakan istilah roh dan jiwa dalam pengertian yang sama. Demikian Kejadian 2:7 bermaksud menunjukkan dua bagian dari kemanusiaan kita: tubuh yang terbuat dari debu, dan roh yang dinafaskan Allah. Sebagai mahluk rohani, manusia memiliki sensus divinitatis (kesadaran akan adanya Yang Ilahi) atau semen religionum (benih agama) dalam dirinya. Jadi tidak hanya “hembusan nafas” Ilahi saja yang memberi hidup kepada Adam (dan semua manusia yang setelah dia, Ayub 33:4), namun juga kapasitas dari manusia (sebelum jatuh dalam dosa) untuk berelasi secara rohani dengan Allah (Ayub 32:8). Terkait dengan hal ini, John Eldredge menuliskan satu pernyataan yang mencerahkan saya. Ia menulis bahwa Allah “memberi kita kekayaan terbesar [melebihi] semua ciptaan [yaitu]: hati. Karena Dia ingin bahwa kita menjadi sekutuNya yang intim.” Menurut Eldredge, “Anda tidak bisa hidup atau mencintai atau tertawa atau menangis seandainya Allah tidak memberi kita hati.” Dan hukum Allah terukir di dalam hati manusia (Romans 2:14, 15); 4
karenanya manusia (bahkan manusia sesudah kejatuhan), menurut Roma 2:14, 15, memiliki satu kesadaran/hati nurani (Amsal 20:27), yang membedakannya dari binatang. Adanya hati yang berkemampuan untuk mencintai inilah, yang kemudian menunjukkan kepada kita bahwa Allah memberikan kepada kita martabat kebebasan, untuk memilih atau menolakNya. Aspek luas ini dirusakkan ketika ada kejatuhan, namun tidak lenyap. Seorang tokoh bernama Abraham Kuyper, Jr. menulis bahwa gambar dan rupa Allah dalam aspek luas ini tidak dapat hilang, karena jika benar hilang, maka pada detik itu juga, manusia berhenti ada. Kenyataannya, manusia tidak berhenti menjadi manusia setelah peristiwa kejatuhan dalam dosa, itu semua terjadi karena gambar dan rupa Allah dalam pengertian luas ini tidak lenyap (meskipun rusak). Itu sebabnya, kita masih bisa melihat ada orang-orang tertentu, bahkan yang non-Kristen, yang dapat mencapai tingkat keunggulan tertentu di dalam bidang hukum, pengobatan, filsafat, keagamaan, dan banyak lagi.
Manusia dalam Kejatuhan b. Aspek sempit: Manusia adalah mahluk yang diciptakan dengan standar etika dimana mereka memiliki kebenaran dan kekudusan dan pengetahuan (secara etis) yang sejati (Efesus 4:24; Kolose 3:10). Dikatakan “yang sejati” adalah karena kebenaran, kekudusan, dan pengetahuan (etis) yang ada pada manusia SEKARANG INI, senantiasa mencondongkannya untuk menjauh dari Allah; berpusat kepada dirinya sendiri; dan mencondongkannya kepada allah-allah yang keliru. Gambar dan rupa Allah dalam pengertian sempit ini hilang 5
ketika kejatuhan terjadi; meninggalkan manusia dalam kondisi “total depravity/kerusakan total,” misalnya: Manusia tidak mampu lagi melakukan yang menyenangkan Allah (Roma 3:1-18; 8:7,8). Menurut Kuyper, gambar dan rupa Allah dalam pengertian sempit ini hilang, dan digantikan dengan kebutaan rohani, perasaan bersalah, dan keberdosaan. Memang manusia secara umum (Kristen maupun non-Kristen) tidak pernah berhenti menjadi gambar dan rupa Allah, namun aspek etis (aspek sempit yang hilang) itulah yang dipulihkan, melalui karya penebusan Tuhan Yesus Kristus. Hanya orang-orang yang telah ditebuslah yang dapat melakukan “pekerjaan baik” (Efesus 2:8-10), yaitu pekerjaan yang motivasinya adalah kasih kepada Allah (Matius 22:37-39), bertujuan untuk kemuliaan Allah (1 Korintus 10:31), dan Firman Allah menjadi standarnya (Yoh. 14:15, 21). Pekerjaan baik (good work) yang Alkitabiah adalah Pekerjaan Allah (God’s works) juga. Selain itu, tentang gambar dan rupa Allah ini, saya juga hendak memberikan sebuah penggambaran dari praktek – kebiasaan raja-raja dunia ini. Pada zaman dahulu, ketika seorang raja (penguasa) hendak menunjukkan kekuasaannya di sebuah wilayah, dia akan mendirikan patung-patungnya di alun-alun kota, atau lukisan wajahnya di tembok kota, atau ukiran wajahnya di koin-koin uang. Semua “image” itu menjadi simbol kekuasaannya atas suatu wilayah. Bahkan hal tersebut kadang masih dimaknai demikian di abad modern. Ketika pada tahun 2003, Pasukan Koalisi yang dimotori Amerika Serikat, menyerbu Irak untuk menggulingkan Sadam Hussein, pertempuran demi pertempuran terjadi. Dalam momen perang itu, akhirnya pasukan koalisi berhasil merebut ibukota Irak, yakni Kota Baghdad. Dan salah satu simbol kemenangan mereka adalah dengan merubuhkan patung Saddam Hussein yang ada di kota-kota di Irak. Berikut ini kutipan berita dari www.Gatra.com, 10 April 2003, “Pada hari Rabu, tidak ada perlawanan dari pasukan Garda Republik saat pasukan AS dengan didukung tank-tank mereka berlenggang memasuki pusat kota Baghdad dan menyerbu simbol-simbol kekuasaan rejim Saddam Hussein, termasuk diruntuhkannya patung-patung Saddam Hussein.” Meskipun setelah itu masih terjadi pertempuran-pertempuran kecil, namun secara umum, perang telah dimenangkan oleh pasukan koalisi, ditandai dengan digulingkannya patung Saddam Hussein. Penggambaran di atas sebetulnya dapat membantu kita untuk memahami konsep gambar dan rupa Allah. Sinclair B. Ferguson dalam bukunya The Christian Life menulis, “Gambar Allah kemungkinan berarti bahwa Allah awalnya menjadikan manusia untuk: 1. Mencerminkan karakterNya yang kudus dan
6
2. Posisinya itu memberikan manusia hak untuk memerintah/mengatur seluruh ciptaan Allah lainnya. Di dalam perkara itulah, manusia itu mirip Allah.” Mari kita lihat kedua poin di atas secara lebih mendetil: 1. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah: Mencerminkan karakterNya yang kudus. Secara sederhana saya hendak mengatakan bahwa gambar dan rupa Allah berarti bahwa manusia diciptakan untuk merepresentasikan (re = kembali; presentation = menghadirkan / menampilkan / menyajikan) Allah sendiri, dimana pun manusia ada di penjuru alam semesta ini. Kita merepresentasikan Allah, bukan lagi sebagai patung yang mati, melainkan sebagai “debu – tanah” yang kepadanya TUHAN hembuskan nafas kehidupan. Seorang Kristen bernama G.K. Chesterton – sebagaimana dikutip oleh Eldredge – pernah mengatakan bahwa manusia adalah ”patung-patung Allah yang berjalan-jalan di sebuah Taman.” Kalau manusia itu merepresentasikan Allah. Lalu apa yang direpresentasikan? Apa yang ditampilkan kembali dari Allah itu? Yang harus kita presentasikan (hadirkan/tampilkan) kembali adalah semua sifat dan kebaikan Allah. Itu berarti juga mencangkup tubuh jasmani kita! Menurut Grudem, meskipun Allah adalah Roh (Yohanes 4:24) dan tidak boleh dipikirkan sebagai Keberadaan yang memiliki ”tubuh fisik”seperti kita, namun dengan cara tertentu, tubuh fisik kita mencerminkan/memantulkan sesuatu dari karakter Allah sendiri, misalnya: a. Tubuh fisik kita memberikan kepada kita kemampuan untuk melihat dengan mata jasmani kita. Nah, ”melihat” adalah kualitas seperti Allah (Godlike quality), karena Allah sendiri melihat, bahkan melampaui apa yang sanggup kita lihat, meskipun Allah tidak memiliki mata fisik seperti kita. b. Telinga kita memberikan kepada kita kemampuan untuk mendengar, dan ini adalah kemampuan seperti Allah (Godlike ability), meskipun Allah tidak memiliki telinga secara fisik. c. Mulut kita memberikan kepada kita kemampuan untuk berbicara, mencerminkan fakta bahwa Allah kita adalah Allah yang berbicara. d. Indera pengecap dan peraba dan penciuman memberikan kepada kita kemampuan untuk memahami dan menikmati ciptaan Allah, mencerminkan fakta bahwa Allah sendiri memahami dan menikmati ciptaanNya, meskipun di dalam satu pengertian yang melampaui yang ada pada kita. Selain itu juga, tubuh fisik kita memperlihatkan karakter Allah yang kreatif; suatu kreatifitas Allah yang sangat ajaib. Dan apapun keterbatasannya sekarang ini, tubuhmu tetap mengandung dan menunjukkan keajaiban kreatifitas Allah dan menuntutmu untuk mengucap syukur atasnya. Syukur kita atas yang Allah telah buat, mungkin dapat 7
terwakili dari ungkapan Eldredge berikut, “Siapa yang punya ide untuk menciptakan bentuk manusia sedemikian rupa, sehingga ciuman bisa sedemikian nikmat? Dan ia tidak berhenti di sini, sebagai mana yang diketahui dua orang kekasih.” Begitu kreatifnya TUHAN membentuk tubuh manusia untuk menunjukkan karakterNya, dan ini tidak boleh disalahgunakan, misalnya dalam wujud perilaku seks bebas (free-sex). Larry Richards dalam bukunya “Berpacaran sampai dimana Batasnya?” (terbitan BPK Gunung Mulia) menyatakan bahwa seks sebagai tindakan biologis, memberi kelepasan, sebagaimana halnya pada kambing dan kuda jantan. Seks yang iseng tidak menjadi masalah bagi seekor kambing. Namun seks semacam itu jika dipraktekkan oleh manusia, akan melahirkan rasa saling tidak menghargai. Kita adalah manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dan dengan demikian diberi kebebasan besar serta tanggungjawab untuk menjadi lebih daripada seekor binatang. Itu berarti hidup bertanggungjawab dan saling menghargai sebagai manusia. Allah sama sekali tidak menghendaki Anda merendahkan martabatmu dan martabat oranglain hingga menjadi setingkat kambing. Masih berkaitan dengan seksualitas manusia, Pdt. Yakub Susabda dalam bukunya Konseling Pranikah menulis, “karena manusia sebagai peta dan gambar Allah adalah mahluk yang kreatif dan inovatif, sama dengan Khaliknya (Pencipta-Nya – Nur). Manusia dapat “mencipta” manusia lain dengan melahirkan anak-anak, tetapi potensi ini tidak mungkin direalisasikan tanpa perempuan sebagai istri penolongnya yang sepadan.” Jadi karakter Allah yang kreatif (karena dia Creator = Pencipta) dan inovatif (Roma 11:34, “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?”), tercermin juga dari dirimu sebagai gambar dan rupa Allah, yaitu ketika manusia – di dalam seksualitas yang Allah karuniakan kepadanya – beranak cucu/pro-kreasi (walaupun setelah manusia jatuh dalam dosa, akan ada masalah dalam hal ini). Pro-kreasi artinya, manusia menjadi partner Allah dalam “mencipta”, secara khusus turut berperan untuk “menciptakan” manusia-manusia yang lain. Demikianlah, dimana pun manusia hidup di dunia ini, semua SIFAT dan KEBAIKAN Allah itu harus dipresentasikan! Manusia harus menampilkannya kembali, untuk menunjukkan bahwa ”di bumi yang aku injak ini, Allah hadir, dan aku merepresentasikan kehadiranNya!!!” Manusia bukan mahluk ciptaan seperti kambing yang hidup untuk pemenuhan instink saja. 2. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah: Manusia mirip Allah dalam arti, mendapatkan hak dari TUHAN untuk memerintah/mengatur seluruh ciptaan Allah lainnya.
8
Mazmur 8:5 menyatakan bahwa manusia diciptakan ”hampir sama seperti Allah” alias ”mirip Allah”, dan dimahkotai Allah dengan kemuliaan dan hormat. Dan seperti halnya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu di bawahnya, demikian juga manusia diberi kuasa oleh Allah untuk menguasai ciptaan lainnya. Dan ketika Allah memerintahkan manusia untuk “penuhilah bumi”, Allah bermaksud mengatakan, “Kamu adalah wakilKu di semesta yang kuciptakan ini! Penuhilah bumi, dan di ujung bumi mana pun Kamu berada, nyatakan kekuasaan/kedaulatanKu! Dimanapun Kamu berada, nyatakanlah pemerintahanKu!” Namun kalimat ”hampir sama seperti Allah” atau ”mirip Allah” juga menekankan bahwa ada batas yang tegas, yang membedakan antara Allah, Sang Pencipta, dengan manusia, mahluk ciptaan. Jadi manusia dan ciptaan lain, bukanlah Allah, dan Allah pun bukan ciptaan! Ini berbeda dengan pandangan Panteisme yang menyatakan bahwa semua hal ADALAH allah, atau pandangan Panenteisme yang menyatakan bahwa allah ada DI DALAM semua. Makna kata ”menaklukkan” dan ”menguasai” bumi dalam Kejadian 1:28 adalah bahwa kita menjadi representasi yang mewakili Sang Raja di atas Segala Raja. Sebagai representasi Allah yang memerintah, maka siapakah yang kita perintah? Bukan manusia lain, melainkan seluruh ciptaan lain yang ada di alam semesta. Kita harus menaklukkannya dan menguasainya demi kemuliaan Allah. Dan sebagai representasi Allah, kita harus ingat, bahwa kita berada di bawah pemerintahan Raja Besar yang adil itu. Jadi, kita tidak boleh menyalahgunakan wewenang yang Allah berikan kepada kita atas dunia ini; kita tidak boleh merusak dunia milik Allah. Belajarlah dari sebuah lagu bagus berjudul, ”This is My Father’s World” (Ini Dunia Bapak-ku), karya Maltbie D. Babcock (1858-1901) dan Franklin L. Sheppard. Jadi, manusia ada untuk mengelola segala aspek ciptaan (melalui talenta dan panggilannya masing-masing), dan membawa segala bidang ciptaan untuk memuliakan Sang Pencipta (dampaknya tentu kesejahteraan manusia sendiri pula). Selain itu, pada hari keenam ini pula, Allah memasuki satu relasi kovenantal (Perjanjian) yang unik dengan Adam (Kejadian 2:16,17; Hosea 6:7). Kovenan yang secara khusus dijalin dengan Adam ini disebut Kovenan Kerja. Kovenan Kerja adalah ketetapan hukum antara Allah dan Manusia pertama di Taman Eden, dimana (kerja) ketaatan Adam dan Hawa terhadap perintah-perintah Allah, akan membawa berkat. Demikianlah keadaan manusia dalam penciptaan. Pelajaran di atas mendorong kita untuk melakukan beberapa hal: 1. Berlari kepada Sang Pencipta untuk mendapatkan makna hidup kita, sebagai ciptaan. 9
Setiap hal diciptakan ada tujuannya. Bahkan bagian tubuh yang disebut usus buntu sekalipun, meskipun pihak medis belum menemukan apa kegunaannya, namun diyakini bahwa keberadaannya pasti ada tujuannya. Ketika kita menciptakan sesuatu pun, kita pasti memiliki tujuan untuk apa benda itu dibuat. Hanya dengan berfungsi sebagaimana tujuan penciptaannya, maka keberadaan sesuatu itu baru punya makna. Demikian juga manusia. Manusia ada karena diciptakan oleh Sang Pencipta, dan Sang Pencipta menciptakan manusia pun ada tujuannya. Jadi, kalau manusia ingin memahami apa makna hidupnya; alasan keberadaannya di dunia ini, manusia harus mencari tahu dari Penciptanya. Dalam hal ini, kita mendapatkan pengetahuan yang benar dari Alkitab. Kita tahu untuk apa kita hidup, adalah dari Alkitab. Alkitab seperti sebuah buku manual, yang memberikan petunjuk tentang arti sebuah benda dan bagaimana benda itu harus berfungsi. 2. Bersyukur karena kita diciptakan sebagai (gambar – rupa) representasinya Allah di tengah-tengah dunia ini. Kekuasaan Allah di atas semesta; juga keberadaan dan sifat-sifatNya, semua diwakilkan kepada kita. Kita diperintahkan untuk menghadirkan “Allah”, dimana pun manusia berada. Demikian Allah rindu agar dimana pun kita ditempatkan, kita menunjukkan: (1). Kekudusan yang sesungguhnya; (2). Kebenaran yang sesungguhnya; dan (3). Pengetahuan yang sesungguhnya. Dan kita bersyukur atas kehormatan itu. Alkitab mengatakan bahwa salah satu cara kita memuliakan Allah adalah dengan sujud syukur kepada Allah (Mazmur 50:23). 3. Mengakui bahwa kondisi kemanusiaan kita sekarang ini, tidak sebagaimana yang diciptakan mula-mula; mengakui bahwa kita adalah manusia berdosa, dan pengakuan ini menuntun kita kepada Kristus. Kejadian 3 menyatakan bahwa manusia telah jatuh dalam dosa. Di dalam kejatuhannya, manusia kehilangan aspek gambar Allah yang sempit ini: kekudusan, kebenaran, dan pengetahuan yang sesungguhnya. Meskipun aspek luas gambar Allah masih ada pada kita, namun aspek sempit sudah hilang! Apapun yang manusia lakukan, tidak bisa tidak, pasti tercemar dosa. Hanya Yesus Kristus, Allah sejati dan manusia sejati, yang telah berhasil menghidupi kemanusiaannya tanpa dosa. Ia adalah manusia suci yang memiliki kekudusan, kebenaran, dan pengetahuan yang sesungguhnya, dan ketiga hal ini dipulihkan kembali di dalam kita, ketika kita kembali kepada Allah, melalui Yesus Kristus. Hidup Yesus yang benar itu, diperhitungkan kepada kita, sehingga Allah pun memandang kita sebagai orang benar, meskipun masih bergulat dengan dosa.
10