II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Mangrove Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugis) dan grove (Inggris). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, dan vloedbosschen. Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai tipe ekosistem hutan yang tumbuh di daerah batas pasang-surutnya air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara sungai. Tumbuhan tersebut tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari genangan di saat kondisi air surut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi mayoritas pesisir pantai di daerah tropis dan sub tropis yang didominasi oleh tumbuhan mangrove pada daerah pasang surut pantai berlumpur khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik (Departemen Kehutanan, 2007). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut dan tergolong dalam ekosistem peralihan atau dengan kata lain berada di tempat perpaduan antara habitat pantai dan habitat darat yang keduanya bersatu di tumbuhan tersebut. Hutan mangrove juga berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan
menetralisir bahan-bahan
pencemar. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor) (Departemen kehutanan, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkn anaerob. Pada hutan mangrove: tanah, air, flora dan fauna hidup saling memberi dan menerima serta menciptakan suatu siklus ekosistem tersendiri. Hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain (Departemen kehutanan, 2007). Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga). Hutan mangrove sangat berbeda dengan tumbuhan lain di hutan pedalaman tropis dan subtropis, ia dapat dikatakan merupakan suatu hutan di pinggir laut dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Akarnya, yang selalu tergenang oleh air, dapat bertoleransi terhadap kondisi alam yang ekstrem seperti tingginya salinitas dan garam. Hal ini membuatnya sangat unik dan menjadi suatu habitat atau ekosistem yang tidak ada duanya. Kita sering menyebut hutan di pinggir pantai tersebut sebagai hutan bakau.Sebenarnya, hutan tersebut lebih tepat dinamakan hutan mangrove (Rahmawati, 2006). Istilah ‘mangrove’ digunakan sebagai pengganti istilah hutan bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri atas pohon mangrove Rhizophora spp, karena bukan hanya pohon mangrove yang tumbuh di sana. Selain mangrove, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya. Hutan-hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai
Universitas Sumatera Utara
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1982). Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Nybakken, 1982). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya fluktuasi beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas (Nybakken,1982). Mangrove merupakan suatu ekosistem hutan yang sangat toleran terhadap kadar garam yang terdapat di pesisir pantai yang terlindung (berlumpur), muara sungai
dan
sepanjang
pinggir
sungai
di
daerah
tropis
dan
subtropis
(Rahmawati,2006).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Ciri-Ciri Hutan Mangrove Hutan mangrove memiliki ciri-ciri fisik yang unik di banding tanaman lain. Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat fakultatif daripada bersifat obligatif karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar (MacKinnon, 2000). Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian Sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih 200 km, di Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal ini jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang sangat luas (MacKinnon, 2000). Di samping Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya dapat tumbuh secara “coppice”. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan juga dapat berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir seluruhnya terdiri atas tegakan nipah Nypa fruticans. Ciri-ciri ekosistem mangrove terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah : 1. memiliki jenis pohon yang relatif sedikit
Universitas Sumatera Utara
2. memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada mangrove Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia 3. memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora; 4. memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon (MacKinnon, 2000).
2.1.2. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Secara fisik hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai : penahan abrasi pantai; penahan intrusi (peresapan) air laut; penahan angin; menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO 2 ) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai. Secara Biologi hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai : tempat hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota laut seperti ikan dan udang); sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai makanan dalam suatu ekosistem; tempat hidup berbagai satwa liar, seperti monyet, buaya muara, biawak dan burung (Rahmawati, 2006). Dilihat dari fungsi dan manfaat sosial dan ekonomi, hutan mangrove juga berfungsi dan bermanfaat sebagai : tempat kegiatan wisata alam (rekreasi, pendidikan dan penelitian); penghasil kayu untuk kayu bangunan, kayu bakar, arang dan bahan baku kertas, serta daun nipah untuk pembuatan atap rumah; penghasil tannin untuk
Universitas Sumatera Utara
pembuatan tinta, plastik, lem, pengawet net dan penyamakan kulit; penghasil bahan pangan (ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus mollucensis untuk obat sakit gigi,); tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan tangkap dan petambak., dan pengrajin atap nipah. (Rahmawaty, 2006) Fakta selamatnya penduduk Pulau Simeuleu pada saat bencana tsunami Aceh di Pulau Simeuleu tahun 2004 merupakan bukti nyata dari manfaat mangrove. Selain pengetahuan lokal masyarakat Simeuleu dalam mengantisipasi tsunami, keberadaan hutan mangrove di sekeliling mereka dianggap berperan sangat besar dalam memecah gelombang tsunami. Dalam kasus lain, salah satu harian terkemuka memberitakan tentang keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Langkat Timur, Sumut, seluas 800 ha sejak tahun 2003 yang mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan setempat. Nelayan daerah ini bisa mengantongi minimal Rp 30.000 per hari dari penjualan ikan, kepiting, dan udang. Artikel lain memberitakan tentang adanya penurunan hasil udang budidaya di Propinsi Lampung yang mencapai 18% di tahun 2009 akibat serangan virus sebagai dampak turunnya kualitas perairan (LKBN Antara, 2006). Turunnya kualitas perairan ini selain disebabkan karena akumulasi pengelolaan lingkungan yang kurang baik, berkurangnya areal mangrove di sekitar tambak sebagai pengendali kualitas perairan juga ditengarai sebagai penyebab utamanya (LKBN Antara, 2006) Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa secara ekologi dan ekonomi, ekosistem mangrove memiliki fungsi sebagai penahan ombak dan akan mencegah
Universitas Sumatera Utara
abrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami (Dahuri,1991) Selain itu, hutan mangrove sangat berarti bagi sumbangan unsur hara bagi flora dan fauna yang hidup di daerah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam ekosistem mangrove. Walaupun fakta dan penelitian telah menunjukkan keuntungan yang sangat besar dari keberadaan mangrove, luas areal hutan mangrove terus menyusut (Dahuri, 1991). Ketidakjelasan kebijakan dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota, seringkali menjadi penyebab munculnya persoalan tumpang tindih peruntukan areal di atas hutan mangrove. Perubahan paradigma pengelolaan hutan dari pola sentralisasi ke desentralisasi menambah daftar panjang permasalahan (Dahuri,1991). Kondisi yang sama pun terjadi di wilayah pesisir Sumatera, khususnya Kabupaten Batubara Sumatera Utara. Kerusakan hutan mangrove sebagai sabuk hijau (green belt) di pesisir timur sumatera utara sudah sangat memprihatinkan. Lebih dari lima puluh persen kerusakan telah terjadi yang banyak disebabkan oleh konversi hutan untuk peruntukan lain, pencemaran pantai oleh sampah dan industri, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan darat dan lautan, kurangnya usaha penataan dan penegakan hukum, belum adanya penataan ruang pesisir, pencemaran wilayah pesisir dan belum optimalnya pengelolaan perikanan dan kelautan (Dahuri,1991).
Universitas Sumatera Utara
Tekanan yang terus menerus ini telah mengakibatkan kelestarian hutan mangrove sebagai benteng utama daerah pesisir semakin terancam. Harapannya untuk memperbaiki ekosistem wilayah pesisir perlu dilakukan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat, dan pengembangan iptek dan budaya bahari. Pelibatan masyarakat sebagai subjek sentral dan kemitraan antara masyarakat pantai dengan LSM dan pemerintah merupakan suatu kesepakatan dan komitmen untuk mendukung kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan (Dahuri,1991). Otonomi daerah haruslah dipersepsikan sebagai upaya pengembalian hak-hak masyarakat daerah. Oleh karena itu, diharapkan semua perda yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil haruslah berdasarkan hasil rumusan dari masyarakat lokal. Juga intervensi negara yang berlebihan sudah harus diakhiri, sehingga masyarakat benar-benar menjadi pelaku utama dalam semua aspek pembangunan. Khusus untuk pemerintah daerah, disarankan agar pengelolaan dan penyelamatan mangrove menjadi prioritas dalam rencana pembangunan daerah (Departemen Kehutanan, 2007). Penurunan kualitas lingkungan dan perubahan iklim yang salah satunya disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan merupakan isu global yang paling banyak dibicarakan saat ini. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami penurunan kualitas dan kuantitas yang sangat cepat. Tingginya laju deforestasi di Asia Tenggara tentu saja tidak terlepas dari peran Indonesia sebagai negara dengan persentase hutan paling luas di kawasan ini. Implikasi dari laju penurunan tutupan hutan yang sangat cepat ini sangat beragam mulai dari kerugian
Universitas Sumatera Utara
finansial pemerintah akibat illegal logging, kerugian ekonomi akibat tutupnya industri hilir kehutanan seperti pabrik kayu lapis yang kekurangan stok bahan mentah, fragmentasi habitat flora dan fauna, turunnya keanekaragaman hayati, sampai pada kontribusinya dalam peningkatan gas rumah kaca di atmosfir. Dari data di atas, hutan mangrove memiliki bagian yang relatif kecil dibandingkan dengan hutan hujan tropis (Departemen Kehutanan, 2007). Walaupun luasannya relatif kecil, ekosistem mangrove memiliki fungsi penyangga kehidupan manusia yang lebih tinggi daripada ekosistem manapun karena tingkat produktivitas primer (NPP) yang sangat tinggi. Akan tetapi, karena luas mangrove yang relatif kecil ini juga, eksistensinya sebagai ekosistem penyangga kehidupan manusia sering dimarginalkan. Masyarakat
awam lebih menganggap
hutan mangrove sebagai tempat sarang nyamuk, ular, tempat yang menyeramkan, angker dan tidak memiliki nilai ekonomi. Karena anggapan tersebut, hutan ini banyak dikonversi menjadi lahan tambak, real estate atau taman hiburan dan rekreasi yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Menurut FAO, selama 25 tahun terakhir 3,6 juta hektar (sekitar 20%) hutan mangrove telah dikonversi menjadi peruntukan lain (LKBN Antara, 2006). Dalam kasus lain, salah satu harian terkemuka memberitakan tentang keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Langkat Timur, Sumut, seluas 800 hektar sejak tahun 2003 yang mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan setempat. Nelayan daerah ini bisa mengantongi minimal Rp 30.000 per hari dari penjualan ikan, kepiting, dan udang. Artikel lain memberitakan tentang adanya penurunan hasil udang budidaya di Propinsi Lampung yang mencapai
Universitas Sumatera Utara
18% di tahun 2009 akibat serangan virus sebagai dampak turunnya kualitas perairan. Turunnya kualitas perairan ini selain disebabkan karena akumulasi pengelolaan lingkungan yang kurang baik, berkurangnya areal mangrove di sekitar tambak sebagai pengendali kualitas perairan juga ditengarai sebagai penyebab utamanya (Dahuri,1991). Selain itu, hutan mangrove sangat berarti bagi sumbangan unsur hara bagi flora dan fauna yang hidup di daerah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam ekosistem mangrove. Sebuah penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya, yaitu semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat. Hutan mangrove merupakan elemen kawasan pesisir yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih ber-mangrove (silvofishery) (Dahuri, 1991). Walaupun fakta dan penelitian telah menunjukkan keuntungan yang sangat besar dari keberadaan mangrove, luas areal hutan mangrove terus menyusut. Ketidakjelasan kebijakan dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota, seringkali menjadi penyebab munculnya persoalan tumpang tindih peruntukan areal di atas hutan mangrove. Perubahan paradigma pengelolaan hutan dari pola sentralisasi ke desentralisasi menambah daftar panjang permasalahan (Dahuri, 1991).
Universitas Sumatera Utara
Program agro-marinepolitan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil Sumut memiliki prospek yang cukup cerah yang muaranya dimaksudkan untuk memacu kemajuan dan kemakmuran secara berkelanjutan dan berkeadilan melalui pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir, kelautan dan perikanan (Dahuri, 1991).
2.1.3. Upaya Melestarikan Hutan Manggrove. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan mangrove antara lain: 1. Penanaman kembali mangrove. Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat antara lain terbukanya
peluang
kerja
sehingga
terjadi
peningkatan
pendapatan
masyarakat. 2. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya. 3. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab. 4. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi. 5. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan lokal tentang konservasi 6. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
Universitas Sumatera Utara
7. Program komunikasi konservasi hutan mangrove 8. Penegakan hukum 9. Perbaikan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat. Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting
dilibatkan yang
kemudian
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat pesisir. Selain itu juga mengandung pengertian bahwa konsepkonsep lokal (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program ini (Rahmawati, 2006).
2.2. Hutan Mangrove dan Perikanan Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/ pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga Singkatnya, hutan
Universitas Sumatera Utara
mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya (Santoso, 2000).
2.3. Nilai Ekonomis Hutan Mangrove Berdasarkan kajian ekonomi terhadap hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove ternyata sangat mengejutkan, di beberapa daerah seperti Madura dan Irian Jaya dapat mencapai triliunan rupiah (Atmanto, 1995). Pada workshop perencanaan strategis pengendalian kerusakan hutan mangrove se-Sumatera di Bandar Lampung terungkap bahwa hasil penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB-Bogor dengan Kantor Menteri Negara LH (1995) tentang hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove Hasilnya ternyata sangat mencengangkan, di Pulau Madura, diperoleh Total Economic Value (TEV) sebesar Rp 49 trilyun, untuk Irian Jaya Rp. 329 trilyun, Kalimantan Timur sebesar Rp. 178 trilyun dan Jabar Rp. 1,357 trilyun. Total TEV untuk seluruh Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun (Atmanto, 1995). Berdasarkan hasil analisa biaya dan manfaat terhadap skenario pengelolaan ekosistem mangrove disarankan skenarionya: 100% hutan mangrove tetap dipertahankan seperti kondisi saat ini, sebagai pilihan pengelolaan yang paling optimal, kenyataannya, telah terjadi pengurangan hutan mangrove, di Pulau Jawa, pada tahun 1997 saja luasnya sudah tinggal 19.077 ha (data tahun 1985 seluas 170.500 ha) atau hanya tersisa sekitar 11,19 persen saja (Savitri dan M. Khazali. 1999).
Universitas Sumatera Utara
Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha menjadi hanya 500 ha (8 %), kemudian di Jabar, dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha. Sedangkan di Jateng, tinggal 13.577 ha dari 46.500 ha (tinggal 29 %). Sementara luas tambak di Pulau Jawa adalah 128.740 ha yang tersebar di Jabar (50.330 ha), Jateng (30.497 ha), dan di Jatim (47.913 ha). Dikhawatirkan apabila di waktu mendatang dilakukan ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove atau terjadi pengrusakan dan penyerobotan lahan hutan mangrove, maka kemungkinan besar akan sangat sulit untuk mendapatkan hutan mangrove di Jawa, bahkan di daerah manapun di Indonesia ini (Savitri dan Khazali, 1999). Mengingat betapa pentingnya arti kelestarian hutan mangrove ini bagi kelangsungan hidup ekosistem kelautan maka sudah selayaknya dan sewajarnya apabila pemerintah daerah memperhatikan keselamatan hutan-hutan mangrove yang ada di wilayahnya (Rahmawati, 2006). Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumber daya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan dan pengelolaannya (Dahuri, 1991). Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis
Universitas Sumatera Utara
mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abarasi, pencegahan intrsi air laut , serta sebagai sumber pakan habitat biota laut (Khazali, 2005). Kondisi hutan mangrove pada umumnya memiliki tekanan berat, sebagai akibat dari tekanan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selain dirambah dan atau dialih fungsikan, kawasan mangrove di daerah Batubara, untuk kepentingan tambak, kini marak terjadi. Akibat yang ditimbulkan terganggunya peranan fungsi kawasan mangrove sbagai habitat biota laut, perlindungan wilayah pesisir, dan terputusnya mata rantai makanan bagi bioata kehidupan seperti burung, reptil, dan berbagai kehidupan lainnya (Savitri dan Khazali, 1999) Tekanan terhadap hutan mangrove di wilayah Kabupaten Batubara, sebagai akibat tumbuh berkembangnya pusat-pusat kegiatan dan aktivitas manusia; juga disebabkan oleh beberapa aspek kegiatan antara lain; (a) pengembangan permukiman, (b) pembangunan fasilitas rekreasi, (c) pemanfatan lahan pasang surut untuk kepentingan budidaya pertambakan (Rahmawati, 2006). Selain terciptanya perubahan dan kerusakan lingkungan, di bagian wilayah hulu juga ikut andil dalam memperburuk kondisi kawasan pantai. Berbagai bentuk masukan bahan padatan sedimen (erosi), bahan cemaran baik yang bersumber dari industri maupun rumah tangga, merupakan salah satu faktor penyebab penyebab pendangkalan pantai dan keruskan ekosistem mangrove (Savitri dan Khazali, 1999). Mencermati atas uraian fenomena atas dasar laporan hasil kajian di atas, maka dapat disarikan sebagai aspek permasalahan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Kawasan mangrove sebagai jalur penyangga wilayah pantai dan kawasan pantai Batubara
peranan
fungsi
ekosistemnya
terganggu:
dan
memberikan
kecenderungan semakin teancamnya sumberdaya alam hayati baik kehidupan flora maupun fauna; 2. Tatanan sosial masyarakat terdekat dengan kwasan jalur penyangga baik di darat maupun di Kawasan Pantai Bunga, tingkat ekonominya sangat rendah dibanding dengan tingkat sosial masyarakat daerah lain. 2.4. Kedudukan Kawasan Manggrove dan Peranan Fungsi Ekosistemnya Pada ekosistem alamiah, tegakan mangrove membentuk zonasi sesuai dengan habitatnya (lumpur berpasir), salinitas dan fluktuasi pasang surut air laut. Pada masing-masing zonasi dicirikan oleh tumbuh jenis tertentu, yang umumnya mulai dari pantai hingga ke daratan, dengan urutn jenis paling luar dijumpai Avecennia sp, dan secara berangsur-angsur diikuti oleh jenis-jenis Rhizopra sp, Bruguiera sp, Ceriops sp dan Xylocarpus sp (Dahuri, 1991). Karakteristik mngrove yang menarik, merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan dan atau habitatnya. Tapak mangrove bersifat anaerobik bila dalam keadaan terendam; oleh karena itu beberapa jenis mangrove mempunyai sistem perakaran udara yang spesifik. Akar tunjang (stilt roots) dijumpai pada genus Rhizopora, akar napas (pneumatophores) pada genus Avicennia dan sonneratia; akar lutut (knee roots) pada genus Bruguiera; dan akar papan (plank roots) yang dijumpai pada genus Xylocarpus (Dahuri, 1991). Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan, mempunyai peranan fungsi multiguna baik jasa biologis, ekologis maupun ekonomis. Peranan
Universitas Sumatera Utara
fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut (intrusi) ke wilayah daratan; serta mampu menahan sampah yang bersumber dari daratan, yang dikendalikan melalui sistem perakarannya (Onrizal, 2002). Jasa biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan gelombang , memperlambat arus pasang surut, menehan serta menjebak besaran laju sedimentasi dari wilayah atasnya. Selain itu komunitas mangrove juga merupakan sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa mangrove lainnya juga mampu menghasilkan jumlah oksigen lebih besar dibanding dengan tetumbuhan darat (Onrizal, 2002). Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan tempat pemijahan, asuhan dan mencari maka bagi kehidupan berbagai jenis biota perairan laut, di sisi lain kawasan mangrove juga merupakan wahana sangtuari berbagai jenis satwa liar, sepeti unggas (burung), reptil dan mamalia terbang, serta merupakan sumber pelestarian plasama nuftah (Sukarjo,1993). Manfaat ekonomis mangrove, juga cukup memegang peranan penting bagi masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan, ketam, kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan masyarakat melalui budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri penyamak kulit, industri batik, patal, dan pewarna jaring, serta sebagai wahana wisata alam, penelitian dan laboratorium pendidikan (Sukarjo,1993).
Universitas Sumatera Utara
Mencermati atas karakteristik ekosistem dan peranan fungsinya, nampaknya degradasi (kerusakan) kawasan mangrove akan menyebabkan berbagai fenomena baik terhadap kehidupan biota perairan, dan kehidupan liar lainnya, maupun sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya. Demikian halnya dengan pembangunan dan pengembangan kawasan “tambak” yang kurang terkontrol, akan menyebabkan terdegradasinya habitat maupun vegetasinya, yang secara langsung mupun tidak langsung peranan fungsi menjadi terganggu (LKBN Antara, 2006). Mencermati uraian di atas serta rendahnya pengetahuan masyarakat awam terhadap makna konservasi sumber daya mangrove, maka kondisi dan keberadaan kawasan mangrove secara alamiah di daerah dihadapkan pada tiga tantangan strategis yaitu : 1. Pengelolaan secara profesional untuk tujuan pelestarian, penyelamatan (pengamanan), dan pemanfaatan secara terbatas berdasarkan peranan fungsinya. 2. Meningkatkan
kualitas
baik
terhadap
habitat
dan
jenis,
untuk
mempertahankan keberadaan sebagai akibat terdegradasinya kawasan, baik karena ulah aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, maupun secara alami (abrasi), sedimentasi dan pencemaran limbah padat (sampah). 3. Pengembangan kawasan-kawasan berhabitat mangrove, untuk dijadikan kawasan hijau hutan kota berbasis mangrove (Departemen Kehutanan, 2007). Mengacu terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya Alam Hayati, bahwa pengertian konservasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengelola sumber daya alam hayati yang pemanfatannya dilakukan
Universitas Sumatera Utara
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dalam pada itu, tindakan konservasi yang dilakukan mencakup tiga kegiatan yaitu : (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan keragaman jenis baik flora maupun fauna termasuk ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara optimal dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2007) Dalam pada itu, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity), merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian sumber daya alam hayati, dimana kawasan jalur penyangga wilayah pantai, termasuk di dalamnya. Hal ini mengingat ada tiga komponen konservasi yang harus ditangani yaitu : (1) degradasi kawasan penyangga, (2) tatanan kehidupan sosial masyarakat , dan (3) keikutsertaan masyarakat dalam hal pemanfaatan sumber daya secara optimal berkelanjutan (Sukarjo, 1993). Di beberapa daerah, keanekaragaman hayati merupakan sumber daya vital, sebagai penyangga dan penyeimbang lingkungan hidup wilayah perkotaan yang diperankan oleh tabiat ekosistemnya. Pengaruh aktivitas manusia sejak dekade abad XVII telah berlangsung, namun demikian pada abad terakhir ini pengaruh tersebut meningkat secara dramatis. Berkurang dan berubahnya kawasan mangrove di jalur penyangga sempadan pantai bukan saja kibat pengaruh alam, akan tetapi lebih nyata akiba desakan alih fungsi kawasan. Sebagai akibat yang ditimbulkannya, hilangnya jenis-jenis satwa liar karena daya dukung habitatnya yang tidak memadai lagi (Sukarjo, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Demikian halnya dengan semakin berkurang dan berubahnya kawasan hijau penyangga sempadan sungai, hingga menyebabkan kurang nyamannya kehidupan masyarakat di sekitarnya. Secara umum ada tiga alasan mendasar mengapa konservasi keanekaragaman hayati perlu dilakukan : 1. Ragam hayati, pada dasarnya sebagai bagian dari prinsip hidup hakiki. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa setiap jenis kehidupan liar (flora dan fauna) mempunyai hak untuk hidup. Hal ini mengingat bahwa dalam Piagam PBB tentang sumber daya alam, menegaskan bahwa setiap bentuk kehidupan wajib dihormati tanpa mempedulikan nilainya bagi manusia. 2. Ragam hayati, pada dasarnya sebagai bagian dari daya hidup manusia. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa ragam hayati membantu planet bumi untuk tetap hidup, karena memainkan peranan penting dalam halsistem penunjang kehidupan, mulai dari mempertahankan keseimbangan materi kimiawi (melalui siklus biogeokimia), dan mempertahankan kondisi iklim, daerah aliran sungi (DAS) serta berfungsi untuk memperbarui tanah dan komponennya. 3. Ragam
hayati
menghasilkan
manfaat
ekonomi.
Pengertian
tersebut
memberikan gambaran bahwa ragam hayati merupakan sumber dari seluruh kekayaan sumber daya biologis yang memilki nilai ekonomis. Dari ragam hayati,
manusia
memperoleh
makanan,
kesehatan
karena
mampu
menyediakan oksigen (O 2 ) bebas, serta memiliki nilai budaya yang spesifik bagi kepentingan hidup manusia.
Universitas Sumatera Utara
Dari tiga uraian alasan di atas, memberikan gambaran bahwa keragaman hayati merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep pengembangan pemulihan kawasan (hutan) mangrove yang dinilai telah terdegradasi (Sukarjo,1993). Dalam Keppres 32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dijelaskan bahwa kawasan penyangga pada dasarnya merupakan buffer yang berfungsi sebagai perlidungan terhadap kawasan yang dilindungi (protected area). Dalam kontek kawasan penyangga pantai, dimaksudkan sebagai kawasan (jalur) yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap keutuhan pantai dan atau pesisir. Jalur penyangga ini dapat berupa komunitas vegetasi atau (formasi) pantai dan atau mangrove.
2.5. Konsepsi Dasar dan Arahan Pemulihan Kawasan Manggrove Mencermati uraian pentingnya konservasi sumber daya alam hayati, dengan demikian konsep pengembangan pemulihan kawasan mangrove dalam bidang konservasi dapat dilakukan melalui (1) penanganan dan pengendalian lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya, (2) pemulihan secara ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya, (3) mengharmoniskan perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti, memahami, hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab untuk mempertahankan, melestarikannya, serta (4) meningkatkan akuntabilitas kerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-pihak terkait lainnya (Sukarjo, 1993). Adapun langkah-langkah kongkrit yang dilakukan untuk tujuan pengendalian lingkungan fisik, antara lain dengan melakukan kegiatan : (a) pembinaan dan
Universitas Sumatera Utara
peningkatn kualitas habitat, dan (b) peningkatan pemulihan kualitas kawasan hijau melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, dan atau perkayaan jenis tetumbuhan yang sesuai (Sukarjo, 1993). Terhadap
pemulihan
habitat,
dilakukan
terhadap
kawasan-kawasan
terdegradasi atau terganggu fungsi ekosistemnya, untuk pengembalian peranan fungsi jasa bio-eko-hidrologis, dilakukan dengan cara : (a) rehabilitasi, dan atau (b) reklamasi habitat; sedangkan peningkatan kualitas kawasan hijau dilakukan dengan pengembangan jenis-jenis tetumbuhan yang erat keterkaitannya dengan sumber pakan, tempat bersarang atau sebagai bagian dari habitat dan lingkungan hidupnya (Sukarjo,1993). Mengharmonisasikan perilakulingkungan sosial dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan, pelatihan, dan atau menunjukkan contoh-contoh aktivitas yang berwawasan pelestarian lingkungan. Agar langkah kongkrit di atas dapat dilakukan serasi dan selaras serta sejalan berdasarkan kaidah-kaidah konservasi, akuntabilitas kinerja petugas juga perlu dibekali dengan pengetahuan yang dinilai memadai (Sukarjo,1993).
2.6. Paradigma Baru Pembangunan Ekowisata Secara global, sektor pariwisata (termasuk ekowisata) pada saat ini menjadi harapan bagi banyak negara termasuk Indonesia sebagai sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan ekonomi. Pada saat ini sektor pariwisata telah menjadi idustri swasta yang terpenting di dunia. Menurut World Travel and Tourism Council,
Universitas Sumatera Utara
terbukti pada tahun 1993 pariwisata merupakan industri terbesar di dunia dengan pendapatan lebih dari US$ 3,5 triliyun atau 6 % dari seluruhnya (Omarsaid,1999). Masalah kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan pada saat ini sangat menonjol dan menjadi isu internasional yang mendapat perhatian khusus. Di sisi lain, justru kepariwisataan alam mengalami perkembangan yang meningkat dan signifikan. Kepariwisataan alam kemudian berkembang ke arah pola wisata ekologis yang dikenal dengan istilah ekowisata (ecotourism) dan wisata minat khusus (alternative tourism). Pergeseran dalam kepariwisataan internasional terjadi pada awal dekade delapan puluhan. Pergeseran paradigma pariwisata dari mass tourism ke individual atau kelompok kecil, maka wisata alam sangat berperan dalam menjaga keberadaan dan kelestarian obyek dan daya tarik wisata (ODTW) alam pada khususnya dan kawasan hutan pada umumnya. Pergeseran paradigma tersebut cukup berarti dalam kepariwisataan alam sehingga perlu diperhatikan aspek ekonomi, ekologi, dan masyarakat lokal/sosialnya (Omarsaid,1999).
2.7. Ekowisata Hutan Mangrove Wisatawan saat ini sangat peka terhadap permasalahan lingkungan. Menyesuaikan dengan kondisi positif ini, konsep-konsep pariwisata dikembangkan sehingga timbul inovasi-inovasi baru dalam kepariwisataan. Salah satu konsep pariwisata yang sedang marak ialah ekowisata, dengan berbagai teknik pengelolaan seperti pengelolaan sumber daya pesisir yang berbasiskan masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu, dimana dalam konsep pengelolaan ini melibatkan seluruh stakeholder yang kemudian menetapkan prioritas–prioritas. Dengan
Universitas Sumatera Utara
berpedoman tujuan utama, yaitu tercapainya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (Omarsaid,1999). Konsep ekowisata ini dinilai cocok untuk dikembangkan di Indonesia, dengan beberapa alasan yang melandasinya, pertama; Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan ekowisata bertumpu pada sumberdaya alam dan budaya sebagai atraksi. Namun disisi lain Indonesia juga mengalami ancaman terbesar dari degradasi keanekaragaman hayati baik darat maupun laut, sehingga memerlukan startegi yang tepat dan alat/sarana yang tepat pula, guna melibatkan kepedulian banyak pihak, untuk menekan laju kerusakan alam (Sukarjo,1993). Kedua pelibatan masyarakat, konsep ini cocok untuk mengubah kesalahankesalahan dalam konsep pengelolaan pariwisata terdahulu, yang lebih bersifat komersial dan memarginalisasikan masyarakat setempat, serta mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Namun lebih dari itu, demi keberhasilan usaha ini tidak semua kawasan yang memiliki mangrove memiliki potensi pariwisata untuk dikembangkan, yang mana dapat ditentukan atas faktor-faktor lokasi yang harus memenuhi kategori seperti keunikan dan dapat dijangkau, Perencanaan ekowisata dan persiapan oleh masyarakat untuk menjalankan ekowisata sebagai usaha bersama, Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan kegiatan ekowisata, interpretasi atas alam dan budaya yang baik. Kemampuan untuk menciptakan rasa nyaman, aman kepada wisatawan, dan juga usaha pembelajaran kepada wisatawan, serta menjalin hubungan kerja yang berkelanjutan kepada pemerintah dan organisasi-organisasi lain yang terlibat (Omarsaid,1999).
Universitas Sumatera Utara
Dilemanya ialah kegiatan pariwisata tidak melulu menghasilkan hal-hal yang indah atau ideal, bahkan sangat sering hal-hal negatif dalam lingkungan dan masyarakat karena kegiatan pariwisata yang terlalu intensif dan secara bersamaan tidak terkelola dengan baik, dan akhirnya membunuh sumber daya yang melahirkan pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dengan memperhatikan lingkungan, masyarakat dan pergerakan perekonomian yang terjadi sebelum dan selama ekowisata dijalankan. Ekowisata mampu memberikan kontribusi secara langsung melalui konservasi, yang artinya mendapatkan dana untuk menyokong kegiatan konservasi dan pengelolaan lingkungan, termasuk didalamnya penelitian untuk pengembangan. selain itu,. Kontribusi ekowisata secara tidak langsung melalui konservasi untuk meningkatnya kesadaran publik terhadap konservasi pada tingkat lokal, nasional bahkan internasional. Selain itu, pendidikan konservasi selama berwisata menjadi bagian pengalaman yang terbentuk selama wisatawan berekowisata, yaitu dengan melibatkan wisatawan secara langsung terhadap kegiatan pelestarian (sekaligus meningkatkan kualitas produk ekowisata yang ditawarkan) (Omarsaid,1999).
2.8. Persepsi Masyarakat Persepsi diartikan dengan berbagai cara antara lain:
Universitas Sumatera Utara
1.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia persepsi diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu: serapan atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.
2.
Rahmat J. (1998) menjelaskan persepsi adalah pengalaman tentang objek, pariwisata atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan atau persepsi ialah: memberikan makna pada stimulasi (sensory stimuli) sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru.
3.
Menurut Harvey dan Smith (dalam Sajogjo, 1982) persepsi adalah; suatu proses untuk membuat penilaian (judgment) atau membangun kesa (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat di lapangan penginderaan seseorang.
4.
Atkiston (1987) menjelaskan bahwa presepsi adalah: penelitian bagaimana kita mengintegrasikan sensasi ke dalam percepsi itu mengenali dunia (percepts adalah hasil dari proses perceptual)
5.
David Krech dalam Suparni (1992) mendefinisikan persepsi adalah : peta kognitif individu bukanlah penyajian potografik dari suatu kenyataan fisik, melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang kurang sempurna mengenai objek tertentu, diseleksi dengan kepentingan utamannya dan dipahami menurut kebiasaanya Sesuai dengan pendapat-pendapat para ahli diatas, bahwa persepsi dapat
diartikan sebagai penerimaan stimulus, pengolahan stimulus dan penerjemahaan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi untuk mempengaruhi prilaku dan pembentukan sikap.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan faktor-faktor yang menentukan presepti meliputi faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek syaraf yang ditimbulkan, faktor fungsional meliputi kebutuhan, pengalaman masa lalu juga segi-segi personalnya, dijelaskan bahwa menentukan presepsi buka jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon dari stimuli tersebut dan faktor-faktor perhatian yang dipengaruhi oleh pengaruh internal seperti pengaruh biologis, pengaruh sosio psikologis, pengaruh kimia dan juga pengaruh eksternal seperti gerakan intensitas stimuli, waktu terjadinnya stimuli dan perulangan Persepsi merupakan kesadaran atau pengetahuansuatu organism tentang obyek-obyek dan kejadian-kejadian yang ada di lingkungan yang dimunculkan oleh rangsangan organ-organ indera sensoris, hal ini menunjuk pada cara bagaimana kita menafsirkan dan menata informasi yang kita terima melalui alat indera. Adanya faktor subyektif yang mempengaruhi persepsi maka dimungkinkan terjadi persepsi seseorang terhadap hal yang sama berbeda dengan persepsi orang lain. Selain itu persepsi juga menentukan lebih lanjut secara berbeda atas seseorang dengan yang lain, mengenai apa dan bagaimana yang akan mereka lakukan sebagai implikasinya. Karena persepsi mengenai hutan mangrove yang berbeda, maka terjadilah prilaku yang berbeda, sebagai contoh: masyarakat Jawa Barat pada umumnya lebih menyukai pantainya bersih dari mangrove karena mangrove dianggap sebagai sarang nyamuk dan ular, sedangkan masyarakat Muara Angke segan menanam mangrove karena mangrove digunakan sebagai tempat bersarang burung pemakan ikan, tetapi masyarakat Timika (Papua) menganggap perlu melindungi
Universitas Sumatera Utara
mangrove agar mereka tetap dapat berburu udang sungai memakan sejenis cacing (tambelo) yang hidup di batang mangrove sedangkan masyarakat Sinjai Timur (Sulsel) sangat mendukung konservasi mangrove karena dapat membuktikan bahwa ketika mangrove ditanam subur ikan lebih mudah ditangkap dan jumlahnya banyak (Arimbi, 1993).
2.9.
Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang melibatkan
masyarakat. Peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah- masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab. Secara sederhana didefinisikannya sebagai feed forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feed back information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan) (Arimbi,1993). Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering disebut partisipasi adalah sangat menentukan dalam rangka keberhasilan mencapai tujuan pembangunan termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. Tjokroamidjojo 1996 mengatakan, bahwa berhasilnya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat pada umumnya. Tidak saja dari pengambilan kebijakan tertinggi, para perencanaan, pegawai pelaksana operasional, tetapi juga dari petani-petani, nelayan, buruh, pedagang kecil, pengusaha dan lain-lain, keterlibatan aktif ini disebut partisipasi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Soetrisno (1995), partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Partisipasi rakyat dalam pembangunan adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan dan membiayai pembangunan. Ada 9 (sembilan) tipe partisipasi yang dapat terjadi dalam pembangunan di daerah, yaitu : 1. Partisipasi tipe sukarela dengan inisiatif dari bawah 2. Partisipasi dengan imbalan yang inisiatifnya datang dari bawah 3. Partisipasi desakan atau paksaan (enforced) dengan inisiatif dari bawah 4. Partisipasi sukarela (volunteered) dengan inisiatif dari atas 5. Partisipasi imbalan (rewarded) dengan inisiatif dari atas 6. Partisipasi paksaan dengan inisiatif dari atas 7. Partisipasi sukarela dengan inisiatif bersama (through shared initiative) 8. Partisipasi imbalan dengan inisiatif bersama, dan 9. Partisipasi paksaan dengan inisiatif bersama (dari atas dan dari bawah) Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti adanya tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya pengendalian dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 berbunyi: “Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup”. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun
Universitas Sumatera Utara
tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dilakukan melalui beberapa cara, yakni: a. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan b. Menumbuh kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat c. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial. d. Memberikan saran dan pendapat,dan e. Menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan
2.9.1. Pentingnya Partisipasi Partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam pembangunan, sehingga hampir semua negara mengakui adanya kebutuhan akan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep pembangunan dari bawah yang melibatkan peran serta masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi modus konsep pembangunan dari atas (top down) (Zulkarnain dan Dodo, 1989). Pentingnya partisipasi dari seluruh masyarakat dapat dilihat : pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan masyatakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyeknya akan gagal; kedua ,bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut;
Universitas Sumatera Utara
ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri (Zulkarnaen dan Dodo,1989). Atmanto (1995), mengemukakan unsur penting dari partisipasi adalah: 1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif 2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran 3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan 4. Spontanitas yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain dan 5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.
2.9.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh beberapa factor yang akan mempengaruhi besar kecilnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sastropoetro (1988) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat : 1. Pendidikan, kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan, kedudukan sosial dan percaya terhadap diri sendiri. 2. Penginterpretasian 3. Kecenderungan untuk menyalah artikan motivasi,tujuan dan kepentingan organisasi penduduk yang biasanya mengarah pada timbulnya persepsi yang salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk seperti halnya di beberapa negara.
Universitas Sumatera Utara
4. Kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan dan tempat tinggal. 5. Kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan.
Universitas Sumatera Utara