MAL SEBAGAI SARANA KONSUMSI BAGI REMAJA: SEBUAH TINJAUAN POSTMODERNISME Studi di Bandung Supermal (BSM)
i
Kota Bandung
\ I
I j
\
Oleh Darius Jehanih
1 I
i
\
I
I I
I I
\~
I
\ CJ .3 . \,
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG 2007
- -- .. '--- --.-.----.---_.-
- ----
_.
-
D'f> .
Mengetahui,
Prof. Dr. 1. Bambang Sugiharto
MAL SEBAGAI SARANA KONSUMSI BAGI REMAJA: SEBUAH TINJAUAN POSTMODERNISME
Stueli eli Bandung Supermal (BSM) Kota Bandung
ABSTRACT A Mall represents a miracle for consumptive culture. It functions as concentration and rationalisation of time, of cycle of live and of vanous social practices. This secular commercial space becomes overloaded by immeasurable signs, images and commercial shows. All of these aspects come and go in high speed. All consumers involve in race of getting new goods, new image, and new siYles which presented by window-display. A Mall reflects an explosion of seducing consumptive image. Having this image, mall becomes a multiplying space for simulacrum and hyperrealism, a place for acculturation; a quest for meaning takes place, as well as a persuasive arena which implies artificial signs and meanings. A mall constructs a place where various moving and flitting forms of life siYle, identiiY, values continuously exchange. These phenomena are clearly occurred when one discovers fashion by pointing out construction of open spaces for marketing consumptive product These commercial images of consumptive products put glamour, sensualiiY, and temporary satisfaction ta be the primary aspects within a mall. There, fiction, fantasy, and illusion are more respected than the real life. Then, Mall provides a theatrical culture where all peiformances have a centralised stage. in a mall all roles in a consumptive society, includes teenagers have been accommodated. A mall presents a place of dreams for teenagers, who are fond of logic of sign and images more than merely logic of consumer. These images and signs are peiformed and played in order to persuade teenagers to come to a MalL Hereinafter, images and signs reflect human logic of ambition in order to occupy a social or public space. Mall continuously provides a series of service to its consumers, constructs rejuvenate atmosphere and its environment, offers new goods which are never thought before by its consumers. Mall then is a space where a struggle of hegemony happen:3 and a quest of meaning take places in every moment.
I. Pendahuluan 1.1. Latar belakang Sejarah pembangunan Indonesia, terutama sejak pertengahan 1980-an hingga sebelum
krisis moneter (Juli 1997), ditandai oleh meningkatnya
pendapatan, kemakmuran, kemudahan, dan berbagai kenyamanan hidup dalam masyarakat. Warga masyarakat kelas menengah-atas bisa membeli pakaian bermerek, mobil mewah, dan berwisata serta berbelanja ke luar negen. Sementara warga kelas menengah ke bawah sanggup membeli radio, televisi, dan alat-alat elektronik lainnya. Kemakmuran yang telah dicapai itu membawa masyarakat
Indonesia
ke
alam
postmodernitas.
Hal
itu
ditandai
oleh
berkembangnya berbagai bentuk gaya hidup, merajalelanya budaya konsumtif, semakin
gencarnya
pem bangunan
pusat-pusat
perbelanjaan,
dan
berkembangnya beberapa kota sebagai kota belanja - misalnya Kota Bandung. Realitas sebagaimana dituturkan di atas, semuanya seakan berbalik setelah gelombang krisis melanda negeri inL Gelombang krisis tersebut, di satu
sisi telah membawa bangsa Indonesia menuju ke titik balik sejarah: dari kemajuan pesat ekonomi menuju kemandegan ekonomi, dari kemakmuran menuju kesengsaraan, dan sebagainya. Misalnya, ketika pertumbuhan ekonomi stabil,
banyak
perusahaan
bermunculan,
namun
kala
krisis
melanda,
perusahaan-perusahaan itu bangkrut - seakan-akan tak berbekas. Akibatnya, angka penggangguran meningkat dan jumlah orang miskin pun bertambah. Di lain sisi, krisis moneter tersebut tidak berpengaruh terhadap kecenderungan gaya hidup sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang bermukim di kota besar. Beberapa indikator bisa dikemukakan di sini: mal-mal besar masih disesaki warga kota, pameran-pameran mebel terus digelar,
dan mobil-mobil
mewah terus menghiasi jalan-jalan di kota besar. Gelagat terus bermunculannya berbagai pusat perbelanjaan (mal) itu tidak terlepas dari sistem pembangunanisme yang diterapkan oleh pemerintahan orde baru. Sistem pembangunan yang diterapkannya menyebabkan kota-kota di Indonesia terpuruk ke dalam suatu konsep yang tidak lebih dari sebuah komoditas. Kota tidak lagi dilihat sebagai tempat urbanitas, tetapi arena investasi demi investasi. Hal itulah yang kemudian memicu bermunculannya bangunan-bangunan besar dan modern, seperti mal, yang menampung berbagai benda,
sampai
menjadi
semacam
container:
melindungi
sekaligus
mengisolasikannya dari pengaruh luar.
Container tadi yang
mewadahi hasrat masyarakat konsumen,
sangat mementingkan
citra,
kesan,
dan
gaya
hidup.
masyarakat Itu
semua
dikonstruksi oleh kapitalisme lanjut. Kapitalisme lanjut memproduksi barangbarang tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan, tapi kebutuhan itu sendiri diciptakan sehingga apa yang diproduksi harus habis dikonsumsi. Dicitrakan pula, suatu komoditas mengandung kekuatan, daya pesona atau makna sosial tertentu bagi individu yang menggunakannya (Marx). Pencitraan semacam itu menggiring masyarakat Indonesia ke arah pemberhalaan terhadap komoditas. Piliang menyebut kondisi kehidupan semacam itu sebagai postmodernitas. 1 Pengadopsian postmodernitas di Indonesia ditandai oleh kecenderungan ke arah budaya konsumtif (nilai tanda lebih diharga daripada nilai guna), semakin terbentuknya kehidupan sosial oleh ilusi dan fantasi, kecenderungan
1 Yasraf
A. Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat Realilas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodemisme (Bandung: Mizan. 200 I), him. 74
masyarakat pada permukaan dan penggunaan pelbagai simbol yang tidak ada gaung spiritualnya, mengonsumsi. 2 neoprimitivisme.'
dan semakin dikuasainya hidup oleh hasrat - hasrat
Hal
seperti
itu
kemudian
membentuk
'mentalitas
Mentalitas yang cenderung pragmatis dan dikendalikan
prinsip kepuasaan, mentalitas yang cenderung mengejar kesenangan, citra, penampakan, dan gaya hidup,
mentalitas yang cenderung mengutamakan
hasrat memiliki. Mentalitas semaeam itu menggelorakan semangat budaya konsumen, suatu budaya yang didominasi oleh nilai tukar, kesan, dan gaya hidup.3 Semangat budaya konsumen tadi diwadahi oleh mal sebagai sarana konsumsi,
tempat
berlangsungnya
konsumsi:
konsumsi
dalam
arti
sesungguhnya dan konsumsi mata. Mal sebagai sarana konsumsi itu tidak sekadar sarana konsumsi yang sangat rasional atau tempat transaksi jual-beli yang serba mewah, tapi juga menjadi sarana untuk berbagai aktivitas yang tidak ada kaitannya kegiatan belanja. Kondisi seperti itu teIjadi di mal manapun, termasuk di Bandung Supermal (BSM). 1.2. Rumusan Masalah Mal yang tidak sekadar arena belanja itu tampak seperti miniatur sebuah kota. Realitas perkotaan terakomodasi di dalamnya. Tidak mengherankan kalau para remaja, misalnya, berbondong-bondong mendatangi 'istana impian' itu. Hasrat mengunjungi ruang komersial itu tidak terJepas dari berbagai alasan dan pandangan yang melatarbelakangi. Muneul pertanyaan: Apa alasan remaja mengunjungi sebuah mal? Bagaimana pandangan remaja tentang mal sebagai sarana konsumsi? Bagaimana pula postrnodemisme memaknai mal sebagai sarana konsumsi bagi remaja? 1.3. Maksud danTujuan PeneUtian Memahami
mal
sebagai
sarana
konsumsi
bagi
remaJa
dengan
menggunakan perspektif postmodemisme. Selanjutnya, mengkaji alasan remaja mengunjungi mal, mengkaji pandangan remaja ten tang mal sebagai sarana konsumsi, dan akhirnya mengkaji makna mal sebagai saran a konsumsi bagi remaja dengan menggunakan perspektif postrnodemisme. 2 Ibid., hIm. 262-264 } Mike Featherstone, 2001. Poslmodemisme dan Budaya KonsumeTL Terj. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Pustaka PeIajar, 2001), hIm. 54·57
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain, terutama mereka yang berniat melakukan penelitian lanjutan tentang mal sebagai sarana konsumsi di tengah makin merebaknya gaya hidup yang mengutamakan simbol dan citra dan makin akutnya perilaku komsumtif di kalangan remaja di Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan pembanding bagi pengelola Kota 8andung dalam melihat dan memahami secara jernih dan kritis kehadiran mal yang makin tak terkendali di 8andung. II. Kerangka Pemikiran Pengelola kota, sebagai salah satu aktor dalam
pembangunan kota,
memiliki kemampuan untuk mengarahkan pemanfaatan ruang, memengaruhi konsumsi ruang, dan gaya hidup masyarakat. Elit birokrasi bekerja sarna dengan elit korporasi aktif dalam bisnis yang memanipulasi temp at / ruang untuk kepentingan nilai tukar serta mencoba mengemas kota menjadi komoditas baru. Keduanya memandang ruang kota sebagai faktor produksi utama bagi pembangunan dan pertumbuhan serta percaya bahwa bisnis ruang merupakan sebuah mesin bisnis pertumbuhan ekonomi. Paradigma seperti itu memicu munculnya pusat-pusat bisnis dan perdagangan. Pengelola kota tampaknya sangat yakin bahwa membangun pusat-pusat bisnis lebih efisien dan menjanjikan keuntungan yang maksimal sekaligus jalan tunggal pertumbuhan kota dan solusi bagi kemandegan ekonomi. Demi itu semua, ruang terbuka publik dengan mudah beralih-fungsi menjadi ruang komersial, ruang kuasi·publik (mal). Mal lalu menjelma menjadi semacam miniatur sebuah kota. Realitas perkotaan terakomodasi di dalam mal. Dalam konteks semacam itu, mal tidak sekadar arena belanja, tapi juga sebagai tempat yang dapat menampung berbagai aktivitas para pengunjung, yang sesungguhnya tidak ada kaitan dengan kegiatan belanja. Hal itulah yang kemudian menarik minat warga kota, termasuk para remaja, untuk beranjangsana ke mal. Ketertarikan untuk bertandang ke mal itu dilatarbelakangi pelbagai alasan, pandangan, dan pemaknaan terhadap mal itu sendiri.
m. Objek dan Metode Penelitian 3.1. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah 8andung Supermal (8SM) yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto 289 8andung. 8SM memosisikan dirinya sebagai mal dengan gaya hidup yang berkelas internasional di 8andung. Sesuai dengan
brandnya, 8SM memadukan
brand internasional dengan lokal sehingga
menjadikannya berbeda dari
mal lain
di 8andung.
Sedangkan
subjek
penelitiannya adalah para remaja yang acap kali berkunjung ke 8SM. Sebagai mal yang ber-brand 'Gaya Hidup 8erkelas,' 8SM
berusaha mengakomodasi
kebutuhan kaum muda kelas menengah-atas Kota 8andung dan kota-kota di sekitarnya yang senang berdandan dan ingin tampil trendy dengan pakaian bermerek global. 3.2. Metode Penelitian Penelitian
ini
bersifat
deskriptif-analitis
dengan
menggunakan
pendekatan kualitatif. Adapun teknik pengumpulan datanya adalah studi pustaka (termasuk dokumentasi), wawancara, dan pengamatan terlibat. ------·IV;-Hasil-Penelitian------------------4.1. Alasan Remaja Pergi ke Mal Setiap orang, khususnya yang bermukim di kota-kota besar, memiliki alasan tersendiri ketika dia memutuskan untuk berkunjung ke sebuah mal. 8egitu pula dengan para remaja di Kota 8andung. Ada tiga alasan mengapa mereka bertandang ke mal, yakni lokasi, kenyaman, dan tenant mix (bauran penyewa). Pertama, lokasi. Para remaJa memilih mal yang lokasinya dekat dari rumah dan mudah diakses. Di sini 'dekat' dikaitkan dengan jarak. Misalnya, remaJa yang tinggal di Kiaracondong akan mengatakan 8SM itu dekat dari rumah mereka. Sebagaimana kita ketahui, jarak antara 8SM (Jalan Gatot Subroto 289) dan Kiaracondong kurang dari satu (I) km. Karena dekat, jarak tempuh pun relatif singkat (dalam keadaan normal dan menumpang angkutan kota hanya sekitar 10-15 menit). Jarak tempuh mengandaikanjuga adanyajalur
transportasi yang bisa dengan mudah diakses oleh para remaja dari berbagai lokasi (rumah mereka). Alasan pemilihan lokasi mal yang dekat dari rumah dan mudah diakses erat terkait dengan aturan tak tertulis yang dibuat para remaja dengan orangtua mereka. Di mana sebelum pukul 18 00 mereka harus tiba di rumah. Aturan semacam itu berlaku 8enin-Jumat dan Minggu. Karena mereka harus belajar, mengeIjakan PR atau hal lainnya untuk keesokan harinya. 8edangkan untuk Sabtu dan hari libur, mereka bisa berkunjung ke mal hingga pukul 20 00 (pukul 21 00 harus tiba di rumah). Pembatasan yang terakhir ini terkait dengan diri mereka yang masih remaja, perempuan, dan belum bisa menjaga diri. Kedua, kenyamanan. Remaja pergi ke mal karena aman dan nyaman. Aman dalam arti, risiko kehilangan sesuatu hampir tidak ada. Sebab satuan pengamanan (satpam) dan tukang parkir siap siaga sehingga mereka aman dan nyaman selama berada di mal. 8ementara kenyamanan mencakup kenyamanan di luar dan di dalam mal. Kenyamanan di luar mal mencakup akses keluar masuk, sirkulasi di area parkir, dan tempat parkir. Hal-hal di atas menjadi penting karena rata-rata para remaja itu membawa kendaraan
sendiri.
Semen tara kenyamanan di dalam mal terkait dengan kenyataan bahwa mal itu bersih, bebas dari pengamen dan pengemis, serta sejuk. Keamanan
dan
kenyamanan
yang
dialami
dan
dinikmati
para
pengunjung, termasuk para remaja, tidak terlepas dari kenyataan bahwa "mal merupakan simulacrum (Baudrillard) sekaligus antitesis dari jalan."
4
Mal dengan
caranya sendiri berupaya untuk menciptakan atau meniru kembali kehidupan di jalan dalam bangunan secara selektif dan terkendali. Ia menyaring masuk apa yang baik dan mencegah apa yang buruk dari jalan bagi pelanggannya. Ketiga,
tenant mIX.
penyewanya. Umumnya,
Remaja
bertandang
sebuah mal,
ke
mal
termasuk B8M,
karena
bauran
tidak hanya ada
departement store, supermarket, atapun hypermarket, tapi juga ada counter hp, barang-barang elektronik, restoran, McDonald, KFC, temp at hiburan, dan arena permainan. Itulah konsep one stop shopping. Konsep one stop shopping ('perkawinan' antara departement store dengan supermarket) memungkinkan konsumen (para remaja) merasa nyaman dan tidak terlalu banyak membuang waktu. Karena, semua kebutuhan sudah tersedia dalam satu lokasi (mal). 4
Marco Kusumawijaya, Jakarta: Metropolis Tunggang-langgang (Jakarta: GagasMedia, 2004), him. 78
Logika dibalik itu tentu saja logika budaya instan ((budaya serba sesaat, serba tergesa-gesa)
dan
pragmatis
(kegunaan
praktis,
memenuhi
kepentingan-
kepentingan subjektif individu). Remaja menyukai hal-hal yang bersifat instan dan pada saat yang sarna kepentingan-kepentingan subjektifnya terpenuhi.
4.2. Pandangan Remaja tentang Mal Sebagaimana dikemukakan di atas, mal bukan sekadar arena transaksi barang dan jasa, melainkan juga sebagai semacam temp at yang dapat menampung berbagai aktivitas dari pengunjung, termasuk remaja tentunya. Mal mengosentrasikan dan merasionalisasikan waktu' sehingga segala aktivitas para remaja,
misalnya,
terpusat di sana.
Dalam kaitan
dengan
itu, remaja
memandang mal sebagai temp at untuk bersosialisasi, tempat pelarian diri, tempat rekreasi, dan temp at pembentukan gaya hidup.
Pertama, mal sebagai tempat untuk bersosialisasi. Pendapat semacam itu bertolak dari kenyataan bahwa ruang terbuka publik hampir tidak ada lagi. Kalaupun masih ada yang tersisa, ruang terbuka publik itu dianggap tidak aman dan tidak nyaman. Ketiadaan ataupun ketidaknyamanan ruang terbuka publik itu disiasati oleh para remaja dengan menjadikan mal sebagai tempat bersosialisasi dengan ternan-ternan sebaya. Dalam kerangka itu, mal sebagai tempat berbelanja
atau tempat
transaksi barang dan jasa menjadi kurang penting lagi dalam menentukan seluruh skenario peIjalanan para remaja ke mal. ltu bisa dipahami karena konsumsi, apa pun bentuknya, sudah menjadi suatu aktivitas komunal. Dan mal adalah pusat aktivitas komunal itu. Apa yang dilakukan di dalam mal tidak sekadar berkaitan dengan tindakan berbelanja, tapi juga tindakan mengamati, melihat-lihat, menikmati keramaian, menikmati hiruk-pikuk pengunjung, dan mengalami pengalaman baru. Hal-hal baru dan pengalaman-pengamalan baru yang diperoleh selama berkunjung ke mal ikut memberi warna pada remaja yang sedang mencari identitas diri.
Kedua, mal sebagai tempat pelarian diri. Para remaja memandang mal sebagai tempat yang paling cocok untuk melupakan semen tara pelbagai aktivitas yang mereka lakukan. Suasana dan pengalaman baru yang diperoleh selama berada di mal ikut membantu mereka ke luar dari rasa suntuk, bosan, dan jenuh. Hal itu teIjadi karena selama berkunjung ke mal mereka bisa saling
curhat (curahan hati), jalan-jalan, melihat baju-baju baru atau melihat orang yang lalu lalang di dalam mal. Aktivitas yang seolah-olah tak berguna itu ternyata bisa membantu mereka ke luar dari belenggu rutinitas. Oi sini, bertandang ke mal dianggap sebagai suatu kesempatan untuk menyelesaikan masalah atau sekurang-kurangnya membantu melupakan (untuk sementara waktu) masalah yang sedang menimpa diri mereka. Akan tetapi, masalah lain muncul ketika mereka duduk di food court . sambil menikmati fast food atau kala jalan-jalan, melihat baju baru lalu membelinya. Hal itu menunjukkan bahwa mengunjungi sebuah mal tidak akan pernah membuat seseorang bisa lari dari 'lapar mata' dan perut lapar. Mal memang dirancang agar selalu terjadi komodifikasi hasrat (Baudrillard) dari para pengunjung. 1a dikonstruksikan sebagai saluran bagi lalu lintas hasrat, yang mengalir dan mengepung secara bebas, mengikuti aliran dan arus kapital.
Ketiga, mal sebagai tempat rekreasi. Pendapat semacam itu dikaitkan dengan pelbagai saran a rekreasi dan arena hiburan yang disediakan oleh pengelola mal serta berbagai event lain yang selalu digelar setiap bulannya. Sebagai contoh, BSM menawarkan berbagai temp at hiburan dan rekreasi. Ada Kota Fantasi, Grand Universal Bowling Alley, Planet Ultimate Pool, dan BSM 21. Selain itu, BSM rnengadakan berbagai event, salah satu di antaranya adalah 'Ounia Salju' yang diselenggarakan dari 18 Oktober hingga 18 November 2006. Apa yang tak pernah terpikirkan oleh warga Bandung tiba-tiba hadir di depan mata: hujan es, salju yang putih, dingin, dan lembut serta pameran seni ukir es. Mal mewujudkan fantasi menjadi nyata. Pandangan para remaja ten tang mal sebagai tempat rekreasi erat tertaut dengan apa yang mereka lakukan selarna berada di mal itu
dan bagaimana
mereka rnemanfaatkannya. Oi mana selama berada di mal, mereka bisa menikmati arena rekreasi dan hiburan atau memanfaatkannya sebagai tempat untuk j alan-j alan. Selain itu, pendapat bahwa mal sebagai temp at rekreasi dilatabelakangi juga oleh kenyataan bahwa daerah tujuan wisata di Bandung sudah acap kali dikunjungi oleh para remaja itu. Oi samping itu, infrastruktur menuju lokasi wisata di Bandung dianggap tidak layak dan tujuan wisatanya sendiri kurang tertata dengan baik. Baudrillard rnenyebut mal sebagai tempat rekreasi (dengan segala arena hiburan dan rekreasi yang disediakannya itu) sebagai
dunia buatan yang
dipenuhi permainan tanda, citra, kode, dan model-model realitas tanpa
referensi. Hiper-realitas, realitas yang melampaui realitas itu sendiri, itulah 'Dunia Salju."
Dalam hal ini mal menjadi "sebuah dunia simulasi yang
menampilkan realitas-realitas buatan yang bersifat semu, di mana justru dalam kesemuannya itulah ia lebih menyenangkan dibandingkan dengan realitas sebenarnya. 5 Dalam dunia mal, segala sesuatu direduksi, dimanipulasi, dan disimulasi demi kenyamanan dan kesenangan belanja. Keempat, mal sebagai temp at pembentukan gaya hidup. Masa remaja identik
dengan
gaya dan fashion.
Majalah-majalah
remaja
(perempuan)
menawarkan fashion dengan gaya hidup yang ada di belakangnya kepada mereka, dan sekaligus menunjukkan temp at di mana bisa mendapatkanya - di mal. Kesadaran terhadap fashion membuat remaja mulai mengikuti trend
fashion yang terus berganti setiap saat. Kecenderungan mengikuti trend tersebut lalu dikaitkan dengan pergaulan dan penerimaan oleh ternan sebaya, sarana untuk mengomunikasikan identitas, dan membedakan dirinya dari orang lain. Satu gelagat yang tersirat di sini adalah mereka sebetulnya tidak mengonsumsi nilai guna dari produk itu, tapi nilai simbol, bahkan nilai tanda. Berkaitan dengan itu, Baudrillard mengatakan, mengonsumsi bukanlah sematamata hal tentang membeli suatu barang dalam jumlah tertentu, bukan juga sekadar pemenuhan kesenangan pribadi, atau juga mengonsumsi suatu benda, melainkan suatu manipulasi objek sebagai tanda, sistem komunikasi, sistem pertukaran, di mana di dalamnya terdapat nilai ideologis.
Konsumsi menjadi
sebuah struktur yang ada di luar diri individu di mana individu dipaksa untuk menggunakan sistem tersebut, dan dibayangkan bahwa manusia berkomunikasi dengan menggunakan sistem tersebut. 4.3. Mal dalam Tatapan Postmodernisme Kapitalisme multinasional menawarkan apa pun sebagai komoditas. la menawarkan segala sesuatu yang sebelumnya tidak masuk ke dalam jagat komoditas, justru dijadikan komoditas, hiperkomoditas. Dalam hiperkomoditas, komoditas
menjadi
aJang
perrnainan
status,
prestise,
dan
sensualitas
pemasaran. Perkembangan hiperkomoditas membuat berkembang
pula ekstremitas
pasar: pasar tradisional ke pasar modern (pusat perbelanjaan, mal). 5
Piliang, Op.cit., him. 238
Pasar
modem (baca: Mal)
tidak lagi sekadar berfungsi
sebagai sentra transaksi
barang dan jasa, tapi juga memiliki fungsi-fungsi lain. Fungsi-fungsi lain itulah yang kemudian dimaknai oleh postmodemisme: mal sebagai ruang refrendum, ruang sosialisasi masa depan, 'training centre, ruang demokratisasi, dan 'panggung' masyarakat konsumen. Pertama, mal sebagai ruang refrendum. Oimaknai demikian karena mal seolah-olah meminta keputusan dari para pengunjung
tentang produk yang
ditawarkannya. Hal-hal yang direfrendumkan terkait dengan selera dan aspirasi serta keinginan dan kecenderungan konsumen. Mal menjadi semacam arena uji coba, layaknya try-out sebelum mengikuti 8eleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (8PMB). Para remaja datang, masuk ke luar toko, lalu memilih-milih dari ribuan produk atau citraan yang disuguhkan, dan pilihan mereka merupakan sebuah verifIkasi terhadap kebenaran kode-kode yang telah dirumuskan
untuk
mereka. 6 Para remaja yang membeli atau menikmati sesuatu di mal itu seakanakan telah melakukan 'konsensus' dengan sang penjual barang atau jasa. Kedua, mal sebagai ruang sosialisasi masa depan. Mal selalu menarik untuk diamati.
8uatu ketika, peneliti berkunjung ke B8M. 8alah satu
pemandangan menarik yang teramati saat itu adalah satu keluarga muda dengan dua orang anak yang masih berumur di bawah sepuluh (10) tahun berjalan santai menuju mal.
Keempatnya bergandengan tangan
sembari
bercengkerama. Tampaknya mereka tengah memanfaatkan mal sebagai temp at bersosialisasi. Gelagat yang sarna terjadi di mal-mal lain. 'Beberapa orangtua lebih suka mengajak anak (anak)nya bermain ke mal maka mal harus menyediakan ruang bermain, video game."7 Ruang sosialisasi tadi dikonstruksikan dan dikendalikan oleh para elit ekonomi. Oi dalam mal, durasi ruang dan waktu dikonstruksi sehingga para remaja, bisa betah sep
tanpa khawatir mobil hilang atau diganggu para pengemis dan gelandangan. Ia merupakan tempat lalu lintas trend dan mode kecantikan, tempat lalu lalang tubuh yang kurus dan gemuk, temp at beranekaragam hasrat karena lapar mata dan perut lapar teratasi, dan sebagainya. Baudrillard, sebagaimana dikutip
6 7
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulations (1994 .. Michigan: The University of Michigan Press, 1994), hlm. 75 George Ritzer, Ketika Kapitalisme Berjingkrang: Telaah Kritis terlwdap Gelombang McDonaldisasi. Terj. Solichin dan Didik P. Yuwono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 52-53
PiliangB menyebut mal sebagai 'temp at bertemunya segala kontradiksi sosial; ruang waktu bagi beroperasinya segala bentuk simulacrum kehidupan sosial, tempat bertemunya segala struktur dan lalu Hntas kehidupan.' Ia menjadi pusat konsentrasi segala bentuk kehidupan sosial dan aktivitas budaya. Ketiga, mal sebagai 'training centre. Mal merupakan tempat belajar soal tren mode dan kecantikan. Ia merupakan temp at untuk mempelajari etiket: etiket penampilan tubuh dan pakaian. Kehadiran salon Johnny Andrean dan Yoppie Salon atau Century Healthcare, Marie France Bodyline, dan Perfect Health di 8SM juga menunjukkan bahwa mal merupakan tempat untuk mempelajari etiket rambut, wajah, dan penampilan tubuh. 8egitu pula dengan keberadaan
Starbucks Coffee, Embargo Coffee Bar, Cafe Oh La La (untuk menyebut beberapa kafe yang ada di 8SM) menjadikan mal sebagai tempat untuk mempelajari etiket makan dan minum. Pengunjung mempelajari etiket penampilan tubuh, pakaian, ram but, wajah, makan, dan minum agar sesuai dengan ritual-ritual yang disebarkan kapitalisme multinasional atau budaya kapitalisme lanjut. Itulah tata krama
simulacrum (8audrillard), sopan santun yang melampaui sopan santun yang ada. Etiket a la mal tidak lagi berkaitan dengan tata krama tentang kepatuhan terhadap orangtua atau kesantunan terhadap teman, misalnya, tapi lebih berkaitan dengan konsep keramahan di hadapan pembeli atau kehangatan di hadapan pelanggan. Keempat, mal sebagai ruang demokratisasi. Mal mengajarkan semacam proses berdemokrasi kepada para remaja. Dalam arti para remaja diberi 'kebebasan' (tentu saja dalam batas-batas tertentu: tidak merusak barang yang mereka cob a di ruang pas, misalnya) untuk memilih dan memutuskan sendiri apakah mereka mau membeli atau tidak. Tapi demokratisasi yang diajarkan di sana hanyalah demokratisasi semu, demokratisasi gaya hidup. "Kebebasan kita untuk memilih, ujar 8audrillard, menyebabkan kita berpatisipasi dalam sistem budaya .... memberikan kepada Anda sebuah tempat dalam tatanan ekonomi secara keseluruhan." Kebebasan memilih sebagai trik kapitalisme. Mal sebagai ruang demokrasi kapitaslime mencabut objek dari dirinya untuk kemudian merangkainya di dalam sebuah sistem objek. Sistem objek itu disesuaikan dengan berbagai segmen gaya hid up. Segmen gaya hidup itu sendiri dikonstruksi 8
secara sosial.
Piliang, Op.cit., hIm. 276
Di
dalam mal sebagai ruang demokratisasi,
pengunjung dikondisikan untuk menjadi pengunjung tanda-tanda ('siapa gue), diubah perannya menjadi pengunjung citra ('tampil keren), dan gaya hidup ('gue suka Elle, ID Girls, Esprit). ltu semua dikonstrusikan merepresentasikan status seseorang, namun statusnya diekspresikan hanya dengan diferensiasi produk, membangun identitas berdasarkan perbedaan produk, gaya, dan gaya hidup.
Kelima, mal sebagai 'panggung' masyarakat konsumen. Hasrat untuk 'berbeda' (diferensi) merupakan salah satu ciri khas masyarakat konsumen. Dengan diferensi itu, objek dibedakan nilainya dari objek sejenis melalui bentuk dan makna sosialnya. 9
Keinginan untuk 'berbeda' itulah yang kemudian
mendorong para remaja selalu mengikuti "trend kecantikan dan mode," perubahan konstan produk, dan gaya hidup. Dengan cara itu, mereka 'tampil beda' dibandingkan dengan remaja sensianya dalam lingkungan sosialnya. Ruang untuk tampil beda itu adalah mal. Mal dijadikan semacam panggung, tempat pelaku budaya saling bertukar peran dengan masyarakat penontonnya (Guy Debord). Panggung itu bisa berupa lantai, tangga (termasuk eskalator dan lift), koridor, balkon, dan window display. Balkon, misalnya, memungkinkan para pengunjung bisa memandang kegiatan di lantai dasar dari
food court ataupun selasar di atasnya. Tangga dan koridor memungkinkan para pengunjung saling melihat dan dilihat (to see and to be seen). Mal mewadahi juga budaya yang bak sebuah 'teater', yang segala sesuatunya terpusat pada 'panggung', yaitu mal itu sendiri. Di panggung itu terakomodasi semua peran para pengunjung, termasuk peran mengekspresikan posisi dan identitas diri, 'siapa gue.' Kecenderungan masyarakat konsumen (kelas menengah-atas) ke arah pembentukan identitas melalui gaya hid up terpentaskan juga dalam 'panggung' yang diidentitaskan sebagai mal itu. Gaya hidup dalam perannya sebagai pemain dalam panggung tersebut, misalnya, terhadirkan melalui gaya busana, pakaian, mode rambut, dan asesons. Penampilan 'pemain' di atas panggung itu, di satu sisi, bisa ditonton dan dilihat oleh 'penon ton' dan 'pemain' lain, di lain sisi, pemain yang sarna dapat menonton dan melihat 'pemain' lain. Hal itu dimungkinkan oleh perancangan arsitektur mal yang "bukaan-bukaan" antar-Iantai. Di 'panggung' itu setiap orang berusaha menampilkan diri sesempurna mungkin, bak model profesional -yang tahu dirinya disorot ratusan kamera. Tapi 9
Yasraf A. Piliang, Dunia yang Berlari: Meneari
di belakang panggung (dalam kenyataan), tagihan kartu kredit, misalnya, makin membengkak. Biaya untuk pentas di panggung itu ternyata tidaklah murah. ltulah mal, panggung realitas semu, di mana kesemuan lebih menyenangkan daripada kenyataan,
kedangkalan
(gaya
hidup)
lebih
dihargai
kedalaman (otak encer), dan nilai simbol serta nilai tanda
daripada
lebih penting
daripada nilai guna.
v. Kesimpulan dan
Saran
5.1. Kesimpulan Mal
sebagai
sarana
konsumsi
menarik
minat
para remaJa
dan
menjadikannya sebagai semacam 'rumah kedua.' Ketertarikan para remaja itu dilatarbelangi oleh tiga (3) alasan, yakni lokasi mal yang mudah diakses, keamanan
dan
kenyaman
yang
diciptakannya
serta
tenant
mix yang
memungkinkan mereka dapat membeli segala kebutuhan dalam satu lokasi ((one stop shopping). Dibalik minat mengunjungi mal itu tersebunyi budaya instan
(serba sesaat) dan pragmatis (tepat guna). Mal bukan sekadar arena transaksi barang dan jasa, melainkan juga ruang untuk melakukan pelbagai aktivitas yang tidak ada kaitannya dengan belanja. Celah yang sengaja diciptakan ini dimanfaatkan oleh para remaja untuk bersosialisasi dengan ternan sebaya, melepas lelah dan melupakan rutinitas yang
membelenggu,
menikmati
hiburan
yang
memesona,
dan
belajar
membangun citra dan identintas diri melalui gaya hidup yang penuh ilusi dan dangkal. Kesenangan, kegairahan, dan kegembiraan yang ditawarkan mal mengarahkan para remaja pada budaya konsumtif yang lebih mementingkan nilai tanda dan simbol ketimbang nilai guna. Komoditas yang ditawarkan mal selalu dimuati tanda dan simbol. Membeli sebuah komoditas dikaitkan dengan status, prestise, ekspresi gaya, dan gaya hidup. Praktik konsumsi menjadi penanda identitas diri. Citra menjadi pendefinisi hubungan sosia!. Konsumen dikontruksi secara sosial ke dalam berbagai ruang gaya hidup. Dalam kerangka itu, mal sebagai pusat konsentrasi segala bentuk kehidupan sosial dan aktivitas kebudayaan. Di sini, mal berperan sebagai ruang refrendum, ruang sosialisasi yang nyaman, tempat belajar etiket yang tidak ada kaitannya dengan tata krama tradisional, ruang demokratisasi
semu kapitalisime, dan 'panggung', tempat pelaku budaya saling bertukar peran dengan masyarakat penontonnya. Dibalik wadah yang menampung pelbagai aktivitas pengunjung itu, mal bukanlah sebuah wacana yang mengutamakan kedalaman makna, bukan pula sebuah wacana penyampaian makna dan kebenaran, melainkan sebuah wacana bujuk rayu
lewat kepalsuan
tanda dan
kesemuan makna.
Sebab mal
menyembunyikan "kebenaran" dibalik topeng penampilan dan simulacrum wajahnya.
Ia
menampilkan
kesemuan
seolah-olah
sebagai
kebenaran,
menyuguhkan ilusi, seakan-akan seperti realitas. Di mal, fIksi, fantasi, dan ilusi lebih dihargai daripada realitas itu sendiri. Mal sebagai saran a konsumsi penuh dengan ketakbermaknaan dan kedangkalan. 5.2. Saran
Wacana mengenai mal bisa diteropong dari berbagai sudut pandang. Berkaitan dengan itu, salah satu hal yang perlu diteliti lebih jauh mengenai mal sebagai sarana konsumsi bagi remaja adalah menemukan
motif dibalik
kecenderungan remaja menjadikan mal sebagai 'rumah kedua.' Dalam konteks itu, peneliti menyarankan kepada peneliti lain untuk memperhatikan kelompok usia ketika dia memilih responden. Mal menggiring masyarakarat konsumen, termasuk remaja, ke dalam budaya konsumtif. Karena itu, konsumen (remaja) diharapkan memiliki 'peta kognitif.'
Dengan peta kognitif itu, remaja sadar dan tahu apa yang paling
berharga dan bernilai dalam hidupnya. Hal itu akan menjadikan dia sebagai pribadi yang otentik dan otonom. Pengelola kota diharapkan untuk tidak menyerahkan pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan kota kepada mekanisme pasar. Kota milik semua warga kota. Para developer diharapkan untuk tidak sekadar menjalankan tanggung jawab ekonomis dan legalnya, tapi juga mewujudkan tanggung jawab so sial dan moralnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ahmed, A.
S.
1993. Postmodemisme:· Baltaya dan Harapan bagi Islam.
Terjemahan M. Sirozi. Bandung: Mizan. Badudu, J.S & Zain, S.M. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Baudrillard, Jean P. 1983. Simulations. New York: Semiotext(e).
--------------.1990. Seduction. New York: Macmillan. --------------.1993. Symbolic Exchange and Death. London: Sage Publications. --------------.1994. Simulacra and Simulations. Michigan: The University of Michigan Press. --------------. 2004. Masyarakat Konsumsi. Terjemahan Wahyunto. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Featherstone, M. 2001. Postmodemisme dan Budaya Konsumen. Terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jameson, F. 1991. Postmodemism, or, the Cultural Logic of Late Capitalism. London: Verso. Koentjaraningrat (red). 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Cetakan VII. Jakarta: Gramedia. Kusumawijaya, Marco. 2004. Jakarta: Metropolis Tunggang-langgang. Jakarta: GagasMedia --------------. 2006. Kota Rumalt Kita. Jakarta: Borneo Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Terjemahan Hasti T. Champion. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lyotard, Jean-Francois. 1984. The Postmodem Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press. Ritzer, George. 1997. Postmodem Social Theory. New York: McGraw-Hill. --------------. 2002. Ketika Kapitalisme BeTjingkrang: Telaalt Kntis terhadap
Gelombang McDonaldisasi. Terjemahan Solichin dan Didik P. Yuwono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer,
G.
&
Goodman,
D.J.
2004.
Teon Sosiologi Modem. Terjemahan
Alimandan. Jakarta: Prenada Media.
Rosenau, Pauline M. 1992. Postmodemism and Social Sciences: Insight, Inroads and Intrusion. Princeton: Princeton University Press. Shields, R. 1992. 'Spaces for the Subject of Consumption' in R. Shields (ed.)
Lifestyle Shopping: The Subject of Consumption, pp. 99-113. London: Routledge Siswanto, Andy. 2003. Akumulasi Kapital dalam Pembangunan Kota. Dalam Bre Redana et.al.,
BENTARA: Esei-Esei 2003, him. 82-95. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas Susanto, Budi (ed.). 2005. Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa
Kini Indonesia. Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino Piliang, Yasraf A.. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan
Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodemisme. Bandung: Mizan. -------------. 2004. Dunia yang Berlari: Mencari "Tuhan-Tuhan" Digital. Jakarta: Grasindo.
Jurnal Beng-Huat, C. 2000. Tubuh di Mal: Pamer, Bentuk, Keintiman. Kalam 15: 4560.
Heryanto, Ariel.
1994. Postmodernisme: Yang Mana? Tentang Kritik dan
Kebingungan dalam Debat Postmodernisme di Indonesia. Kalam 1: 8093.