LAPORAN AKHIR PENELITIAN DISERTASI DOKTOR
MAKNA SOSIAL BUDAYA MAKANAN PADA RITUAL PANJANG JIMAT DI KERATON KASEPUHAN CIREBON
Oda Ignatius Besar Hariyanto NIDN: 0026095202
AKADEMI PARIWISATA BSI BANDUNG Desember 2015
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Keragaman suku-suku atau etnik yang ada di Indonesia merupakan warisan budaya yang sangat kaya, perbedaan asal dan lingkungan geografis, latar belakang sejarah dan perkembangan daerah, serta perbedaan agama atau kepercayaan, memberikan ciri khusus sebagai kekayaan budaya dari daerah masing masing. Seperti seni dan budaya tradisional termasuk juga makanan tradisional
dari
suku-suku yang ada di Indonesia akan menjadi khasanah kuliner Nusantara. Makanan bagi manusia merupakan kebutuhan pokok (basic needs), makan bukan sekedar untuk kenyang dan mempertahankan hidup manusia, tetapi khususnya makanan tradisional bagi sebagian kelompok
masyarakat
disajikan dalam
berbagai kegiatan ritual, baik kegiatan ritual yang bersifat individu ataupun kolektif. Prosesi
ritual
pada
religi
atau
kepercayaan
merupakan“perwujudan
aktivitasdan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktian terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek-moyang atau kepada mahkluk halus dalam usaha berkomunikasi” (Koentjaraningrat, 1980:81). Prosesi ritual pada religi atau kepercayaan biasanya dilakukan secara berulangkali padawaktu-waktu tertentu (rutine), baik harian, mingguan, bulanan dan tahunan atau pada hari-hari tertentu (event). Penyajian makanansebagai sesaji pada prosesi ritual merupakan salahsatu unsur–unsur ritual
sebagai simbol yang memiliki makna tertentu dalam
kehidupan masyarakat untuk menyampaikan pesan, maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan ritual tersebut. Pesan-pesan tersebut merupakan suatu
bentukkearifan budaya lokal (local wisdom) yang
ingin disampaikan
kepada khalayak dan masyarakat. Keragaman budaya di Indonesia memberikan kontribusi terhadap keragaman makanan yang dapat dipergunakan sebagai tanda dan simbol yang memiliki relasi dan fungsi dalam kehidupan manusia.Disisi lain
2
makanan sebagai ritual bagi sebagian kelompok manusia atau masyarakat, memiliki fungsi sosial-budaya bagi kehidupan manusia Kegiatan ritual religi maupun tradisi merupakan bagian dari kebudayaan yang dimiliki oleh setiap suku atau etnit yang ada di Indonesia, yang tidak terhitung jumlahnya bahkan sekarang berpotensi dikembangkan menjadi wisata budaya dan religi yang sangat diminatioleh wisatawan Mancanegara (wisman) maupun wistawan Nusantara (wisnu). Dari uraian di atas, maka merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti dan diungkapkan makna dibalik kegiatan ritual dan simbol makanan yang digunakan sebagai sesaji pada ritual. Dengan alasan masih banyak masyarakat pada umumnya belum mengerti
makna
merupakan bentuk kearifan lokal yang disampaikan melalui kegiatan ritual dan makanan sebagai simbol yang disajikan pada setiap kegiatan ritual. Demikian halnya pada kegiatan RPJ yang diadakan setiap bulan Mulud dalam memperingati Nabi Besar Muhammad SAW, belum banyak masyarakat mengetahui makna sosial-budaya makanan pada ritual Panjang Jimat di keraton Kasepuhan Cirebon.
1.2. Target Luaran Penelitian Target luaran penelitian yang akan dicapai, setelah mengkaji latar belakang penelitian tersebut sebagai berikut : 1.
MemberikankontribusiilmiahdalamupayapenyelesaianDisertasi.
2.
PublikasiilmiahdalamjurnalbereputasiInternasional.
3.
Memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu budaya khususnya makanan dan ritual dalam perspektif sosial-budaya.
4.
Kegiatan ritual dan tradisi memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai wisata budaya dan religi.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu Ritual Panjang Jimat (RPJ) di Keraton Kasepuhan Cirebon sudah mendapat perhatian dari beberapa orang peneliti terdahulu, tetapi dari
beberpa
hasil
penelitian tersebut, belum ada yang menyinggung RPJ secara mendalam dan secara khusus mengkaji tentang makna makanan ditinjauan dalam perspektif sosial-budaya. Tulisan-tulisan hasil penelitian terdahulu tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, tulisan Dahuri et al (2004:220-223), dalam buku berjudul Budaya Bahari terbit tahun 2004. Pada subbab mengenai “Pelal Panjang Jimat”, dikemukakan mengenai Muludan dan Pelal Panjang Jimat di Cirebon. Muludan di Cirebon dipahami sebagai budaya cinta Rasulullah SAW yang merupakan warisan budaya pendiri Cirebon. Pelal Panjang Jimat merupakan malam puncak dari perayaan Muludan. Setiap tahun, RPJ diadakan pada 12 Rabiul Awal dengan menggelar iring-iringan “Panjang Jimat”, dimulai dari bangsal Prabayaksa menuju Langgar Agung, kemudian membacakan kitab al-Barzanji. Iring-iringan ini sebagai simbol peringatan kelahiran Nabi Muhammad Salllallahu Alaihi Wassalam (SAW).Walaupun tulisan Dahuri et al tidak membahas makanan dan RPJ secara rinci, tetapi tulisan tersebut dapat memberikan inspirasi kebaharuan yang akan peneliti lakukan. Dari tulisan tersebut peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal, Muludan di Cirebon merupakan peringatan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, digambarkan oleh simbol usungan “Pelal Panjang Jimat”, yang berisikan berbagai macam makanan, yang dipahami sebagai budaya cinta kepada Rasulullah SAW yang merupakan warisan budaya pendiri Kerajaan Cirebon. Kedua, hasil penelitian Clifford Geertz yang dituangkan dalam buku berjudul The Religion of Java,Geertz melakukan penelitiannya di Mojokuto. Buku tersebut diterjemakan dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terbit tahun 1959. Uraian dalam buku itu berasal dari disertasi doktoral Geertz
4
(1953-1954) di Harvard University, merupakan pembagian struktur masyarakat di Mojokuto ada tiga golongan berdasarkan ketaatan dalam menjalankan agamanya. Tiga golongan tersebut adalah: abangan, santri dan priyayi. Abangan adalah golongan sosial yang bersifat longgar, ada aspek-aspek animisme dan sinkretisme Jawa. Pada ritual keagamaannya ada upacara atau ritual yang disebut dengan slametan. Slametan dalam versi Jawa merupakan pesta komunal sebagai upacara inti, dan merupakan upacara keagamaan yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang terlibat didalamnya. Golongan abanganini diasosiasikan dengan unsur desa, yaitu para petani dan buruh tani sebagai penduduk desa di Jawa. Selain itu Geertz menjelaskan bahwa dalam sistem keagamaan orang Jawa terdapat suatu upacara atau ritual, sederhana atau mewah dan formal. Di dalamnya ada hidangan khas yang berbeda-beda menurut maksud dari kegiatan ritual tersebut,
dihadiri oleh sanak-keluarga dan para tetangga, ada juga dupa,
pembacaan doa dan pidato dari tuan rumah. Para undangan yang hadir duduk bersila di atas tikar, lalu ada sambutan dari tuan rumah dengan mengutarakan niat dan ujud mengadakan slametan, kemudian berdoa yang dilakukan oleh seorang ahli agama, dilanjutkan upacara tradisi atau ritual untuk memohon keselamatan, kemudian dilanjutkan dengan permintaan maaf. Kegiatan diakhiri dengan makan bersama atau pembagian berkat berupa besek yang berisikan makanan untuk dibawa pulang oleh para undangan. Dari penelitian Geertz tersebut, peneliti menyimpulkan beberapa hal yaitu: 1. Sistem keagamaan orang Jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, formal, slametan diadakan untuk memenuhi hajat orang, mengenang suatu kejadian yang ingin diperingati, sesuatu yang dikuduskan, nadar, siklus hidup, atau kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan dan keagamaan. 2. Struktur upacara atau ritual yang menjadi ciri khas dari slametan adalah disajikannya hidangan khas yang berbeda-beda, sesuai dengan maksud dan tujuan slametan tersebut diadakan.Masyarakat yang mengadakan slametan menyajikan berbagai macam makanan, seringkali mereka tidak tahu dengan pasti apa makna makanan tersebut.
5
3. Hal-hal yang bertentangan dari hasil penelitian Geertz di Mojokuto dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: a. Penbagian tiga golongan masyarakat di Mojokuto berdasarkan ketaatan dalam menjalankan agamanya, hal ini tidak ada relevansinya dengan melaksanakan ritual pada kegiatan slmetan dengan ketaatan masyarakat terhadap agama. b. PenelitianGeertz,dikritisi oleh Bachtiar tentang deskripsi adat Jawa secara rinci berbagai macam slametan dalam kaitan maksud ritual dan hubungannya dengan berbagai kekuatan gaib yang ada menurut kepercayaan. c. Bentuk dan isi, adat, agama tidak dibedakan dengan jelas karena slametan tidak harus melibatkan agama. Ketiga, adalah tulisan Marsono berjudul “Gunungan dalam Grebeg sebagai Media Dakwah pada Ritual Sekatenan di Yogjakarta”. Tulisan itu dimuat dalam Jurnal Dakwah (Media Komunikasi dan Dakwah. Yogjakarta: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga terbitan tahun 2002. Dalam tulisan itu disebutkan gunungan terdiri lima macam, yaitu (1) gunungan lanang, (2) gunungan putri, (3) gunungan dharat, (4) gunungan gepak, (5) gunungan pawuhun. Gunungan tersebut tersusun dari: 1) bahan makanan yaitu sayur-mayur 2) buahbuahan 3) berbagai jenis makanan yang terbuat dari (a) tepung beras ketan (b)yang terbuat dari tepung beras, (c) yang terbuat dari telur 4) aneka macam kuekue. Semua bahan makanan dan makanan tersebut secara semiotis melambangkan keadaan kehidupan, kesuburan, dan kemakmuran. Metode yang digunakan oleh peneliti tersebut adalah semiotik, bahwa semua unsur budaya merupakan tanda yang bermakna, dengan menggunakan metode semiotik, data berbagai jenis makanan tradisional dalam gunungan pada upacara grebeg dapat dijelaskan makna semiotisnya, dilakukan pengamatan langsung dan berdasarkan sumber pustaka. Penelitian tersebut menghasilkan simpulan setiap unsur makanan dalam gunungan yang melambangkan kebudayaan Jawa dalam nafas Islam digunakan sebagai media dakwah dalam menanamkan ajaran Islam.
6
Tulisan Marsono memiliki sedikit kesamanan dengan penelitian yang sedang dilakukan penulis, simpulan dari tulisan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan grebeg Mulud dan ritual Sekatenan, merupakan kegiatan dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Besar Muhamad SAW . 2. Kegiatan grebeg Mulud dan ritual Sekatenan menyajikan berbagai jenis makanan kecil tradisional (kudapan). 3. Kedua kegiatan (event) tradisi tersebut, awalnya digunakan sebagai media dakwa dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Hal-hal yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan dengangrebeg Mulud dan ritual Sekatenan adalah sebagai berikut: 1.
Grebeg Mulud dan ritual Sekatenan menyajikan berbagai macam bahan makanan mentah hasil bumi seperti sayur-mayur, ubi-ubian dan kudapan.
2.
Makanan disusun dalam bentuk kerucut keatas dan kecurut terbalik (gunungan) melambangkan laki-laki dan wanita, kemudian gunungan tersebut diarak, dan diperebutkan oleh masyarakat.
3.
Gunungan yang penuh berisikan berbagai macam kudapan dan bahan makanan sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran serta melambangkan kebudayaan Jawa dalam nafas Islam.
Keempat adalah tulisan Sartini mengenai Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa (Analisis Wacana Ritual Tahun Baru Imlek)”, dalam jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik (2010). Surabaya: Fakultas Sastra Unair. Dalam tulisan itu dipaparkan bahwa ritual tahun baru Imlek merupakan ritual masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu. Ritual tersebut selain terdiridari rangkaian kalimat seperti prosa, doa, dan simbol-simbol makanan dan minuman yang disajikan.Makanan yang disajikan pada ritual tahun bari Imlek adalah sebagai berikut: lumpia, bakmi atau bihun goreng dan mi panjang umur, tanghun berupa sup ikan, samsing; hidangan yang terdiri dari tiga jenis hewan, lontong capgome, theeliu; berupa tiga jenis manisan buah, kue keranjang, tebu, ngokoo; terdiri dari lima macam buah-buahan yang tidak berduri, jiu berupa air tape beras atau ketan.Tiap jenis makanan tersebut mengandung makna yang berbeda, tetapi pada intinya memiliki makna nilai-nilai kehidupan seperti cinta kasih, kebajikan,
7
kesucian, kebahagiaan, danrasa syukur, pemeluk agama Konghucu selalu mengucapkan gong xi fa cai “ bahagia dengan limpahan rezeki”. Dari hasil penelitianSartini,peneliti menyimpulkan beberapa hal yaitu: 1.
Tahun baru Imlek bagi masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu, selain
memanjatkan
doa-doajugamenyajikan
berbagai
macam
makanan.Kegiatan ritual dengan menyajikan makanan bukan hanya pada tradisi sebagian masyarakat Jawa,melainkan juga tradisi masyarakat Tionghoa, dalam berbagai ritual menyajikan makanan sebagai simbol yang mengandung makna tertentu. 2.
Makanan yang akan disajikan dipilih yang secara tradisi mengandung makna dan nilai-nilai kehidupan seperti cinta kasih, kebajikan, kesucian, kebahagiaan,danrasa syukur.
3.
Secara universal makananselain untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia,juga untuk berbagai kegiatan ritual.Walaupun jenis dan macam makanan yang disajikan dapat berbeda-bedauntuk setiap suku atau etnik yang ada di Indonesia. makanan merupakan ciri khas kekayaan kuliner Nusantara.
Dari keempat tulisan tersebut disimpulkan bahwa belum adakesamaan judul atau masalah yangmirip dengan judul dan masalah penelitian penulis. Meskipun demikian, tulisan-tulisan tersebut memberikan inspirasi kepada penulis untuk melakukan penelitian yang berbeda yang belum dilakukan, sehingga dapat memberikan kebaharuan dalam penelitian yang penulis.Dengan demikian dalam penelitian ini tidak terjadi tumpang tindih danjuga tidak mengandung plagiarisme. Berikut
ini
bagan
pemetaan
hasil
penelitian
tentang
makanan
yang
terdahulu.Roadmappenelitian dan kajian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Penelitian terdahulu
Penelitian sekarang
8
M A
Animisme
K A
Slametan
N
R I T U A L
SOSIAL
BUDAYA
A Ritual/Agama
S E M I O T I K A
M A K N A
N
Gambar 2.1 Pemetaan penelitian
2.2.Makanan Dalam Konteks Sosial Makanan merupakan hal pokok dan penting dalam kehidupan pergaulan sosial manusia, secara simbolis makanan dapat digunakan untuk menyatakan hubungan antara individu-individu dan kelompok–kelompok, (Foster dan Anderson, 1986:317),
juga di dalam kelompok
perlu dipertegas bahwa berdasarkan hasil
penelitian: “Food studies have illuminated broad societal processes such as political-economic value-creation, symbolic value creation, and the social construction of memory”. (Mintz and Christne M. Du Bois, 2002:99). “Hasil penelitian tentang makanan telah menjelaskan bahwa makanan berelasi dengan proses sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai; ekonomi-politik, kreativitas, simbolis, dan memori konstruksi sosial”. Makanan dalam konteks sosial sebagai simbol untuk mengungkapkan: 1) Makanan sebagai Ikatan Sosial Suguhan minum dan makanan kecil, ataupemberian
oleh-oleh
berupa
makanan khas atau gift dari sanak keluarga, teman-teman terdekat merupakan bentuk tanda perhatian, persahabatan, dan kasih sayang kepada sesama dan sahabat atau keluarga terdekat.
9
2) Makanan sebagai Kesetiakawanan Kelompok Makan bersama dalam keluarga atau bersama teman-teman dalam satu meja dalam berbagai kesempatan,
merupakan
tanda
dari persatuan dan
keakrabanantara sesama, seperti ketika arisan, ulang tahun. 3) Makanan sebagai Aktivitas Sosial dan Prestice Memilih makanan yang dianggap enak dengan harga mahal
hanya untuk
kebutuhan kepuasan semata. Makan di tempat-tempat yang eksklusif untuk menunjukan prestice dan kemanpuan seseorang dalam
sesuatu (makanan
dan tempat) untuk memenuhi keinginanan atau harapan yang ingin disampaikan kepada khalayak. 4) Kedudukan atau Status sosial Dalam kehidupan masyarakat terdapat stratafikasi masyarakat yang disebut kedudukan atau status sosial yaitu posisi seseorang pada suatu kelompok atau masyarakat dalam lingkungan pergaulannya (Soekamto, 1990:265). Salah satunya simbol dari status kekayaan dan kemewahan adalah makanan yang dihidangkan dan tempat makan diluar rumah (dinning room) seperti Restorant dan tempat-tempat makan yang berkelas, hal ini merupakan simbol status dari orang-orang yang hadir pada tempat tersebut.
2.3. Makanan dalam Konteks Budaya Menurut Koentjaraningrat (1985:9), budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah dalam bentuk jamak dari buddhi (pikiran, akal dan budi),
kebudayaan adalah hasil pikiran akal dan budi manusia, meliputi
keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya itu. Dalam bahasa Inggris tidak ada perbedaan istilah budaya dan kebudayaan satu kata adalah culture dalam bahasa Indonesia diterjemakan ‘kultur’. Pendekatan kebudayaan
merupakan sesuatu
disiplin ilmu untuk dijadikan landasan kajian atau alat analisis yang terdiri dari wujud-wujud dan unsur-unsur yang saling berelasi, dalam kesatuan yang holistik. Membahas konsep kebudayaan selalu berkaitan dengan manusia baik secara mikro, dimana manusia sebagai individu maupun dalam kelompok, atau secara
10
makro manusia dalam masyarakat luas sebagai pendukungnya (emik). Dimana ada sekelompok manusia maka disana juga akan dijumpai adanya kebudayaan, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat atau sebaliknya, tidak ada mayarakat tanpa kebudayaan. Melihat beberapa konsep kebudayaan yang ditulis oleh Kluckhohn dalam bukunya yang berjudul Mirror of Man, antara lain adalah: 1. Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, 2. Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya, 3. suatu abstraksi dari tingkalaku, 4. Suatu endapan sejarah. (C. Kluckhohn kebudayaan
dalamC. Geertz, 1992:4). Makanan merupakan memiliki
bagian dari
fungsi dan peran penting dalam kehidupan manusia
yaitu:1. Untuk pertumbuhan dan menjaga kesehatan serta kelangsungan hidup manusia, 2. Memberikan ciri khas dan identitas pada suku bangsa, 3. Untuk menyatakan kondisi afeksi atau perasaan sebagai reaksi realita, pada hubungan interaksi sosial. 4. Makanan berperan sebagai kode dan simbol untuk menyampaikan maksud dan tujuan yang akan disampaikan. Bagi sebagian masyarakat di Indonesia makanan masih memiliki peran disajikan untuk kegiatan tradisi dan ritual, yang mengandung makna-makna tertentu, juga sekaligus berperan untuk melestarikan makanan tradisional tersebut. Sejalan dengan hal tersebut diatas, kebudayaan merupakan suatu cara berpikir, merasa dan percaya. Aktivitas RPJ diselenggarakan oleh keraton dan untuk masyarakat,
tradisi ini
dihadiri oleh masyarakat yang datang dari Cirebon dan sekitarnya, bahkan banyak juga yang datang dari jauh untuk menghadiri RPJ, kondisi ini sudah mereka lakukan secara turun temurun sejak masih anak-anak selalu dibawa oleh orang tuanya, demikian juga setelah mereka dewasa melanjutkan tradisi tersebut dengan membawa serta anak-anaknya. Tujuan mereka menghadiri RPJ ‘ngala berkah’,
adalah untuk
hal ini sudah menjadi dasar pemikiran mereka, cara berpikir
masyarakat tersebut sudah terpatrikan dalam pikiran dan hati (perasaan), sehingga mereka betul-betul percaya dan menyakininya
bahwa menghadiri RPJ setiap
11
tahun akan membawa keberkahan seperti yang telah dilakukan oleh orang tuanya dahulu. Makanan bukan hanya masalah fisiologis dan psikologis untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan fisik saja tetapi makanan mempunyai peranan dalam kebudayaan yaitu : 1) Kebudayaan Menentukan Makanan Menurut Foster dan Anderson (1986:313), makanan bukan semata-mata produk organik yang memiliki kualitas biokimia dan
digunakan oleh organisasi,
termasuk manusia untuk mempertahankan hidupnya, tetapi bagi setiap anggota masyarakat makanan merupakan identitas yang dibentuk secara budaya. Artinya penilaian segala sesuatu yang akan dimakan atau menjadi makanannya, terlebih dahulu
memerlukan pengesahan budaya dan keasliannya, apakah makanan
tersebut boleh atau baik untuk dimakan dilihat dari segi kesehatan, agama, dan kepercayaan atau pandangan tradisional, dan bukan merupakan larangan atau hal yang bertentangan.
2) Wujud Makanan dalam Kebudayaan Dalam konteks kebudayaan, makanan berkaitan dengan tiga wujud kebudayaan yaitu pikiran atau ide-ide, aktivitas, dan sebagai benda-benda atau artefak hasil karya manusia(Koentjaraningrat, 1985:5). Wujud kebudayaan pertama sebagai suatu ide sifatnya abstrak, dalam bentuk konkritnya merupakan
adat atau adat istiadat. Masyarakat Indonesia yang
majemuk terdiri dari berbagai suku yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan kebudayaan, yaitu: a.
Perbedaan budaya dari berbagai suku,jugamemiliki perbedaan pandang terhadap makanan.
b.
Perbedaan dengan tatacara makan, etika dan sopan santun sesuai dengan adat istiadat dari masing-masing suku dan juga kebiasaan makan, dan makanan pokok untuk suatu suku tidak selalu sama, dipengaruhi oleh potensi dan lingkungan alam, masing-masing dimana mereka tinggal.
12
Wujud kebudayaan kedua sebagai aktivitas, merupakan sistem sosial sebagai gambaran pola perilaku manusia terhadap makanan berkait dengan peran simbolik dalam pergaulan sosial sebagai bentuk ungkapan sosial seperti rasa kasih sayang, perhatian, dan persahabatan, memberi atau menerima pemberian makanan merupakan perhatian, persahabatan dan rasa kasih sayang bagi pemberinya. Perbedaan perlakuan terhadap bahan makan ketika diproses: dipotong (cutting method)
cara mengolah; makanan mentah tanpa dimasak, dimasak,
dan
fermentasi. Cara memasak (cooking); dibakar (dry head cooking), direbus (moist heat cooking) dan digoreng (fat cooking)akan menghasilkan bentuk, penampilan yang berbeda dengan nama makanan yang berbeda pula. Wujud kebudayaan ketiga sebagai benda-benda hasil karya atau disebut juga kebudayaan fisik berupa seluruh total hasil karya manusia termasuk makanan sebagai sumber kehidupan manusia (artefak).Makanan pada setiap suku memiliki perbedaan dilihat dari ide, aktivitas maupun hasilnya meskipun berasal dari bahan yang sama. Perbedaan perlakuan terhadap bahan makan ketika diproses, diolah, dan dimasak, dengan penggunaaan atau penambahan bumbu (spacy), serta cara meyajikan dan pengemasan yang berbeda, pada akhirnya akan memberikan ciri kekhasan (identitas) dari masing–masing
suku yang akan menjadi khasanah
kuliner Nusantara.
3)
Makanan sebagai Unsur Kebudayaan
Kebudayaan mengajarkan kepada masyarakat untuk membuat pengelompokan dan penggolongan bahan makanan berdasarkan sumber dan jenis bahan makanan. Melalui berbagai macam pengetahuan dan penelitian, dimulai dari prapanen hingga pascapanen
yang harus dilakukan terhadap tanaman sehingga
menghasilkan kualitas dan kuantitas bahan makanan yang diharapkan. Bahan makanan dapat dikelompokan
berdasarkan sumber; 1.
jenis pengolongan
makanan, 2. kandungan gizi, serta 3. manfaat makanan bagi tubuh manusia. Makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan bermanfaat bagi tubuh manusia, dalam Ilmu Bahan Makanan atau yang dikenal sebagai Ilmu Gizi, makanan sehat adalah
makanan yang mengandung zat-zat gizi terdiri dari
13
protein, karbohidrat, lemak vitamin dan mineral. Semua zat-zat gizi tersebut dibutuhkan oleh manusia
untuk pertumbuhan, perkembangan dan menjaga
kesehatan tubuh manusia (Sediaoetama, 1987:17). Makanan juga dapat ditinjau dari aspek sosial-budaya seperti yang telah dijelaskan di atas.
4) Peran Makanan pada Ritual Bentuk religi atau kepercayaan tertua yang pernah dianut oleh nenek moyang kita, adalah pada kekuatan gaib; benda-benda dan dewa-dewa (animisme dan dinamisme), pada saat itu proses berpikir manusia yang mengasosiasikan suatu kekuatan yang menyebabkan mahkluk yang hidup itu dapat bergerak (Koentjaraningrat, 1987:61). Upacara atau ritual danbersaji merupakan bentuk perwujudan dari kepercayaan yang dianut oleh para nenek moyang kita sebelum mengenal agama. Kepercayaan kepada animisme merupakan warisan budaya yang diturunkan dari generasi kegenerasi berikutnya akan menjadi suatu tradisi. Hal ini perlu diselaraskan dengan nilai-nilai budaya Indonesia yang ada pada sekarang. Sesaji dalam bahasa Jawa sajen, secara etimologis dari kata saji dalam KBBI saji yang memiliki arti mempersembahkan sajian berupa makanan dan benda lain dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan gaib, sedangkan dalam Koentjaraningrat (1990:378), bersaji merupakan salah satu unsur-unsur upacara atau ritual. Dalam jurnal Antropologi The Anthropology Of Food And Eating “…………” Food studies have illuminated broad. Seven subsections examine classic food ethnographies;1. single commodities 2. and substances 3. food and social change, 4. food insecurity 5. eating and ritual, 6. eating and identities and 7. instructional materials (Mintz and Christne M. Du Bois, 2002:99). Penelitian-penelitian tentang makanan, ada tujuh subbagian etnografi makanan tradisional (klasik); 1. Komoditas (makanan), 2. Kandungan gizinya, 3. makanan dan perubahan sosial, 4. aman (halal) atau tidaknya makanan, 5. kegiatan makan dan ritualnya, 6. Makanan sebagai identitas, 7. materi pembelajaran (Mintz and Christne M. Du Bois, 2002:99). Menggaris bawahi kegiatan makan dan ritual (eating and ritual), artinya bahwa kaitan makanan dengan ritual bukan saja merupakan fenomena yang terjadi pada
14
mayarakat Indonesia khususnya pada masyarakat Jawa, tetapi hal ini juga menjadi bahan kajian dan penelitian di negara-negara Barat seperti yang dilakukan oleh dua orang peneliti dari The Johns University, Baltimore Maryland.
5) Peran Ritual bagi Pemeluknya Ritual atau upacara keagamaan merupakan salahsatu unsur-unsur kebudayaan secara universal, dalam kegiatan ritual religi atau keagamaan, dan tradisi biasanya memiliki pengikuti sebagai pemeluknya untuk bersama-sama melakukan kegiatan ritual tersebut, peran ritual bagi pemeluknya : a. Motivasi manusia melakukan ritual keagamaan adalah untuk berbakti kepada Tuhan, atau dewa, mahkluk halus dan roh nenek moyang atau sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya untuk mendapatkan kepuasan bathin secara pribadi. b. Memiliki
fungsi
sosial
mengintensifkan
solideritas
masyarakat
(Koentjaraningrat, 1980:67). Para pemeluk akan bersama-sama menyiapkan perlengkapan ritual seperti; makanan sebagai sesaji, buku, doa-doa, dupa dan perlengkapan lainnya yang berkaitan dengan
ritual. Kegiatan ritual
dilaksanakan secara rutin pada waktu-waktu tertentu, seperti; harian, mingguan, bulanan atau pada event yang sudah ditetapkan sesuai dengan hari raya keagamaan. c. Memupuk kerjasama secara gotong-royong dalam menyiapkan keperluan dan perlengkapan ritual. d. Sebagai ajang silaturahmi diantara masyarakat pemeluk dalam memperkuat persaudaraan. e. Pada akhirnya kegiatan ritual keagamaan merupakan sebuah struktur dan sistem dalam sebuah organisasi ada peminpin agama, umat, kewjiban dan hak-hak para pemeluknya.
2.4. Semiotika Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia, semua yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda yang harus diberi
15
makna ( Hoed, 2010:3). Kebudayaan sebagai sistem tanda yang berkaitan (relasi) satu dengan lain, oleh masyarakatnya (emik) diberi makna sesuai dengan kesepakatan yang berlaku dengan tujuan-tujuan yang ingin disampaikan. Makna tersebut merupakan ekspresi sosial (kognitif, afektif, dan konatif) yang penuh teka-teki. Oleh sebab itu, untuk menerjemakan perlu mengunakan cara interpretasi atau penafsiran. Ada tiga tingkatan dalam pemaknaan, yaitu: 1) Denotasi (denotation) menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda; tanda dan rujukannya pada realitas menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti, atau makna yang dikenal secara umum. 2) Konotasi (connotation) menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak
pasti;
terbuka
terhadap
berbagai
kemungkinan
tafsiran
atau
pengembangan makna. 3) Makna yang lebih dalam dan konvensional yang dikaitkan dengan mitos. Mitos adalah sistem pengodean makna dan nilai-nilai sosial yang bersifat arbiter atau bebas. Tanda berdasarkan hubungan antara tanda dan acuannya ada tiga, yaitu: (1)Ikon:
hubungan
antara
tanda
dan
acuannya
berupa
hubungan
kemiripan/kesamaan yang dapat ditangkap oleh pancaindera. (2)Ikonitas yang dirancang atau diciptakan mirip dengan sumber acuan: foto, peta, angka romawi (3)Kata-kata onomatopoeia; ikon vokal yang menyimulasikan bunyi menurut persepsi yang dihasilkan benda, tindakan atau gerak; kelining-klining, plung, buk. a) Ikon penciuman yang meniru wangi alami seperti parfum. b) Ikon pengecap yang menyimulasikan rasa makanan alami; zat makanan tambahan. c) Ikon dalam seni untuk mengacu imaji pada tokoh atau peristiwa religius. d) Ikon yang dipercaya bersifat sakral; yang dapat menuntun umatnya untuk mengadakan kontak dengan sosok yang diwakilinya.
16
(4)Indeks: hubungan antara tanda dan acuannya timbul karena -
kedekatan eksistensi, contohnya: gambar panah menunjuk arah,
-
sebab akibat; asap sebagai tanda adanya api.
(5)Simbol: Hubungan antara tanda dan acuannya sudah terbentuk secara konvensional; sudah merupakan kesepakatan masyarakat historis dan sosial, persetujuan atau fakta, contohnya: tanda bendera warna kuning yang ada pada tiang di depan rumah menunjukkan masyarakat umum sudah sepakat sebagai simbol duka/ada yang meninggal dunia (Hoed, 2007:3-33).
17
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian dengan tema “Ritual Panjang Jimat (RPJ)
di Keraton
Kasepuhan Cirebon”, memiiki tujuan dan manfaat penelitian, juga penelitian ini memiliki keutamaan. Penelitian ini secara umum mendukung penelitian utama penelitian dalam penyusunan penelitian untuk disertasi. Dukungan yang diberikan cukup besar dalam menyempurnakan penelitian dalam disertasi baik data, informasi, teori dan hasil penelitian.
3.1. TujuanKhusus Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji makanan pada ritual dalam konteks sosial-budaya, secara rinci penelitian initerungkap dan terdeskripsikannya makna sosial dan budaya makanan, pada ritual Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan di Cirebon. Secara khusus yang ingin dicapai adalah : 1.
Gambaran Keraton Kasepuhan dan masyarakat Cirebon
2.
Terdeskripsikan pelaksanaan ritual Panjang Jimat (RPJ) di keraton Kasepuhan Cirebon
3.
Terungkapnya makna sosial-budaya ada RPJ di keraton Kasepuhan Cirebon
3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara: 1. Teoritis: a. Memperkayakonsep,
teori budaya,
dan
memberikan
perkembangan ilmu budaya khususnya tentang
makna
kontribusi bagi makanan
dalam
perspektif sosial-budaya b. Menjadi refrensi dan dokumentasi tertulis tentang ritual Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan Cirebon. 2. Praktis: a.
Simbol-simbol makanan yang disajikan padaritual dapat memberikan makna dalam pembentukan moral dan etika dalam kehidupan manusia,
18
b.
Sebagai media pendidikan, dan
revitalisasi
budaya melalui makanan
tradisional Cirebon. c.
Potensi dikembangkansebagai destinasi wisata budaya dan religi.
3.3
Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Mengungkap masalah makna makanan pada ritual Panjang jimat (RPJ) bukanlah seseuatu hal yang muda, karena data yang ada hanya berupa lisan saja yang disampaikan secara turum temurun maka penelitian merupakan: 1. Upaya pencarian informasi terkait dengan struktur dan makna makanan pada RPJ di keraton Kasepuhan Cirebon untuk mendukung penelitian disertasi 2. Bagian dari penelitian ini merupakan hal yang penting dalam penelitian disertasi, untuk mendapatkan data, informasi, model dan hasil penelitian. 3. Untuk menghindari penafsiran makna maknan pada RPJ ke arah yang mistis
19
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Bagan Penelitian Baganpenelitian merupakan pedoman untuk memahami hubungkait berbagai masalah yang dibahas maka dibuat bagan penelitian sebagai berikut:
Observasi lapangan
Identifikasi masalah
PENELITIAN
Perumusan masalah
TEORI
METODE PENELITIAN
PENGOLAHAN DATA
HASIL PENELITIAN
Bagan 4.1
20
4.2 Objek Penelitian Masalah pokok yang menjadi objek penelitian adalah Ritual dan makna Makanan pada ritual Panjang Jimat (RPJ), pada penelitian kualitatif objek penelitian merupakan situasi sosial (social situation), yang terdiri dari tiga elemen, yaitu tempat/ruang (place/space), pelaku (actor) dan aktivitas (activities).Dari tiga elemen tersebut di atas dapat dikembangkan menjadi objek observasi yanglebih luas lagi, sehingga peneliti dapat mengamati secara rinci.
4.3 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Langkah pengumpulan data dalam suatu penelitian bergantung pada ketepatan ataucara-carayang digunakan dan penggunana dari instrrumen secara tepat untuk pengumpulan data sehingga mendapatkan data yang valid. 4.3.1 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah-langkah strategis yang digunakan dalam penelitian untuk mendapatkan data. Peneliti sebagai instrumen penelitian merupakan instrumen utama (the researcher is the key instrumen). Kegiatan pengumpulan data memerlukan teknik dan strategi yang tepat sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Teknik Observasi Partisipasi Pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan sekaligus ikut dalam kegiatan bersama dengan narasumber mulai dari persiapan sampai pelaksanaan RPJ berlangsung, khususnya dalam pengolahan makanan untuk RPJ di dapur Mulud. Pengamatan ini dilakukan untuk mendapatkan data awal tentang tradisi RPJ, juga gambaran secara lengkap tentang kegiatan tradisi RPJ berlangsung. Selain peneliti sebagai instrumen utama juga dibantu dengan mengunakan kamera agar mendapatkan foto sebagai rekaman peristiwa kegiatan tradisi RPJ dalam memperkuat pengamatan. gambar peristiwa tradisi RPJ berlangsung. Pengamatan merupakan a powerful tool indeed (Endraswara, 2006:133).
21
2.Teknik Wawancara Wawancara: teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui komunikasi dengan narasumber terutama kepada sultan dan kyai, budayawan senior, serta kerabat keraton Kasepuhan. Selama melakukan observasi partisipasi, peneliti juga melakukan wawancara secara mendalam (indept interview), dan pertanyaan semi terstruktur dengan menyusun sejumlah daftar pertanyaan inti sebagai pedoman wawancara, dan berkembang sesuai dengan situasi di lapangan, juga dilengkapi dengan menggunakan alat bantu tape recorder untuk merekam semua informasi yang disampaikan oleh informan sampai ke hal-hal yang detail.Langkah-langkah pelaksanaan wawancara adalah sebagai berikut: 1) Menyiapkan pedoman wawancara (interview guide) 2) Membina hubungan baik dengan informan 3) Kesepakatan waktu untuk wawancara dengan narasumber 4) Membuat catatan hasil wawancaraHasil wawancara pada setiap kali datang ke lokasi penelitian, ditelaah. Data yang diperlukan dicatat dengan sistem log book 3.Teknik Dokumentasi Kegiatan ini berawal dari pencarian/pengumpulan sumber-sumber tertulis yang dilakukan di Keraton Kasepuhan, Dinas Pariwisata Cirebon, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, dan Perpustakaan Nasional di Jakarta. Sumber tertulis dimaksud adalah sumber berupa buku, dokumen, naskah. Kegiatan selanjutnya adalah mengolah sumber-sumber tertulis secara cermat, untuk memperoleh data yang relevan dengan masalah yang menjadi objek penelitian. Dalam mengolah sumber untuk memperoleh data yang diperlukan, digunakan teknik Triangulasi, yaitu pengujian kredibilitas sumber dan data (Sugiyono, 2011:241).Teknik triangulasi dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Triangulasi teknik. Melakukan pengumpulan data dengan teknik yang berbedabeda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. b. Triangulasi sumber. Melakukan pengumpulan data dari sumber yang berbeda dengan teknik pengumpulan data yang sama. Dalam hal ini, peneliti mengunakan teknik wawancara untuk mendapat data dari informan kunci, yaitu
22
Sultan Sepuh XIV sebagai pemangku adat,koordinator dapur Mulud, budayawan, para kyai yang banyak mengetahui tentang masalah RPJ.
4.3.2 Teknik Pengolahan Data Pengolahan data merupakan salah satu rangkaian kegiatan penelitian melakukan kategori atau klasifiklasi, sistematisasi, dan bahkan memproduksi makna data. Langkah-langkah analisis data dilakukan sebagai berikut (Sugiyono, 2011:245): 1. Reduksi data. Mengumpulkan data mengenai isu-isu yang berkaitan dengan struktur ritual dan makna makanan pada RPJ, yang dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam dari informan, sertastudi dokumentasi. 2. Display data.Temuan penelitian dirangkum secara sistematis sehingga tergambarkanpola pemikiranmakna denganmakanan sesaji dalam ritual Panjang Jimat. 3. Untuk menentukan bahwa data dan informasi yang terkumpul sudah konsisten atau belum, diperlukan analisis teknik triangulasi. Analisis triangulasi untuk mengetahui data yang diperoleh meluas (convergent), konsisten atau kontradiksi. Dengan menggunakan teknik triangulasidiperoleh data yang akurat (credible), konsisten, tuntas, dan pasti. Data demikian itu diperlukan untuk melakukan interpretasi tentang makna makanan dalam tradisi RPJ. 4. Verifikasi data (conclusion).Hasil dari triangulasi tersebut kemudian dijadikan dasardalam pengambilan simpulan hasil penelitian.
23
BAB V H A S I L YA N G D I C A PA I
Capaian hasil penelitian ini
sesuai dengan tujuan penelitian diawal, untuk
mendukung penelitian Disertasi, adalah sebagai berikut: 5.1.
Hasil Penelitian
1. Kota Cirebon merupakan salah satu kota besar di wilayah Jawa Barat, 130 kilometer dari kota Bandung ke arah timur,masyarakat Cirebon heterogen, terdiri penduduk pribumi dan suku asing (Arab,Cina, dll.). Penduduk aslinya merupakan campuran suku Sunda dan Jawa. Bahasa, kebudayaan, dan kuliner yang merupakan perpaduan dari suku Sunda dan Jawa yang membentuk jatidiri masyarakat Cirebon. Matapencaharian bervariasi, penduduk pribumi sebagai petani, nelayan, pedagang, dan pegawai, suku Arab dan Cina umumnya sebagai pedagang.Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), merupakan tokoh sentral, pada awal tahun 1482 Syarif Hidayatullah menjadikan Cirebon sebagai kerajaan Islam dan
raja yang pertamanya adalah Syarif Hidayatullah.
Mayoritas penduduk pribumi beragama Islam, Walaupun demikian, agama lain pun hidup dan berkembang di Cirebon. 2. Ritual Panjang Jimat (RPJ) di keraton Kasepuhan Cirebon
merupakan
perpaduan tradisi keraton dengan agama Islam yang dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal atau Mulud, sebagai puncak acara dalam mengperinagati kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. 3. Ditinjau dari perspektif sosial kegiatan RPJ di keraton Kasepuhan Cirebon, memberikan makna yang sangat berarti bagi Sultan/keraton Kasepuhan, menjadi ajang silaturahmi, sultan dengan masyarakat, pemerintahan daerah, tokoh agama kolega, dan bagi masyarakat Cirebon silaturahmi sesama kaum muslim, keluarga. Memupuk
berkerjasama secara gotong royong dalam
meyiapkan segala keperluan untuk penyelenggaraan RPJ. Ditinjauan dari perspektif budaya kegiatan RPJ,merupakan
upaya melestarikan budaya
lehuhur, sebagai identitas Muludan khas Cirebonan, sekaligus melestarikan kuliner tradisional makanan khusus untuk RPJ. Menghadiri dan ikut terlibat
24
dalam kegiatan RPJ,
bagi masyarakat Cirebon meyakini sebagai suatu
keberkahan “ngala berkah”.
5.2 Capaian Penelitian Penelitian yang telah dilakukan memiliki capaian, baik berupa data dan informasi ataupun dalam bentuk lain. Berikut beberapa capaian penelitian: 1.
Tercipta Artikel Ilmiah baru dengan judul “Makna Sosial-budaya Makanan pada Ritual Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan”, Artikel tersebut telah dikirimkan ke Jurnal Internasional(IJSTR dan IJIRSET) pada bulan Agustus 2015 dan saat ini menunggu hasilnya.
2.
Terkumpul data dan informasi dari penelitian yang dapat mendukung penyelesaian Penelitian pada Disertasi. Penulis berhasil mempresentasikan penelitian pada disertasi di Ujian Terbuka pada bulan Mei 2015.
Capaian penelitian yang telah dikerjakan belum sepenuhnya selesai, mengingat masih dalam proses review untuk publish di Jurnal Internasional (IJSTR atau IJIRSET). Namun demikian hasil penelitian ini sangat membantu dalam menyempurnakan penelitian pada Disertasi.
25
BAB VI R E N C A N A TA H A PA N B E R I K U T N YA
Penelitian yang telah dilaksanakan ini tidak berhenti pada penelitian ini saja atau penelitian Disertasi. Masih ada tahapan selanjutnya, guna meningkatkan pengetahuan peneliti sebagai dosen pariwisata. Peneliti sebagai Dosen, memiliki rencana pada tahapan berikutnya, diantaranya: 1.
Menyampaikan hasil penelitian kepada Sultan Sepuh XIV di keraton Kasepuhan Cirebon. Menyebarkan ilmu pengetahuan bahwa makanan sebagai sesaji pada ritual bukan sesuatu yang musyrik, tetapi dapat di kaji secara ilmiah sehingga masyarakat Cirebon mendapatkan pencerahan
2.
Menyampaikan hasil penelitian pada seminar Internal untuk dosen dan Mahasiswa di lingkungan kampus AKPAR BSI Bandung, untuk memperkaya pengetahuan mahasiswa dan dosen yang berminat melaksanakan penelitian tentang budaya dan religi.
3.
Mengembangkan penelitian dengan fokus pada Wisata Budaya dan Religi dalam melestarikan budaya lokal.
4.
Membuat buku bahan ajar dengan tema Wisata Budaya dan Religi
26
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Secara universal RPJ mendeskripsikan dan mengunkapkan: 1.
Hubungan
sosial;
interaksi,
silaturahmi
keraton/sultan
dengam
masyarakat (caos dan maturbhakti) dan antar masyarakat, bekerja secara gotong royong kompak bersatu. 2. Aspek budaya RPJ
merupakan pewarisan untuk melestarikan tradisi
keraton Kasepuhan Cirebon bersama-sama dengan masyarakat, 3. Kegiatan (event)RPJ melegtimasi kedudukan sultan sebagai pemangku adat di Keraton Kasepuhan. 4. Penyajian makanan dalam suatu ritual (slametan), setelah tuan rumah menyampaikan pesan atau maksud, dan doa kemudian makan bersama memperkuat pendapat Geertz yaitu ritual keagamaan dengan slametan versi Jawa (Geertz, 1989:13-14).Oleh karena itu, RPJ dan makanan sajiannya mengandung simbol yang memiliki makna yang terkait dengan masalah sosial dan budaya.
7.2 Saran Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian tersebut, maka peneliti memberikan beberapa saran: A. Saran Operasional 1. Perlu adanya kerjasama lintas sektoral pemeritahan dan swasta dalam mewujudkan Sadar wisata dan Sapta pesona dalam kegiatan RPJ. 2. Untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran makna makanan pada RPJ,
bagi
masyarakat
luas,
khususnya
untuk
masyarakat
yang
pengetahuannya terbatas, maka perlu dibuat buku panduan sebagai petunjuk penjelasan proses dan makna makanan pada RPJ
27
B. Saran Akademik Dalam penelitian ini ada beberapa yang belum tuntas dan membuka peluang untuk penelitian selanjutnya,yaitu 1. Penelitian pada ritual yang sama atau berbeda dengan pendekatan yang berbeda pula. 2. Dapat dikembangkan menjadi satu kajian yaitu makanan dan Ritual
28
DAFTAR SUMBER 1. Buku Adeng et al. 1998. Kota Dagang Sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Argadikusuma , Nurmas E. (tanpa tahun). Baluarti Kraton Kesepuhan Cirebon. Cirebon. Atja. 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. Basyari, Hasan. 1989. Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Cirebon: Zul Fana. Dahuri, Rokhmin et al. 2004. Budaya Bahari. Jakarta: Perum Percetakan Negara. Danesi, Marcel, 2004. Pesan, Tanda dan Makna. Yogjakarta: Jalasutra. Dans-Dieter, Ever. 1998. Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra. Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Yogjakarta: Pustaka Widyatama. Foster, George et al. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press Geertz, Clifford. 1959. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Hardjasaputra, A. Sobana & Haris Tawalinuddin (eds.). 2011. Cirebon (Dalam Lima Zaman) Abad ke-15 hingga Pertengahan ke Abad ke 20. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Hoed, H. Benny. 1992. Tafsir Budaya. Yogjakarta: Kanisius. --------. 2010. Semiotikan dan Dinamika Sosial Budaya.Depok: Komunitas Banbu Teori Budaya. Yogjakarta : Pustaka Pelajar. -------. 1987. Sejarah Teori Antropologi. JilidI. Jakarta : Universitas Indonesia. Masinambow, et al. (ed) 2001. Semiotik Mengkaji Tanda dalam Artifak. Jakarta: Balai Pustaka.
29
Moleong, Lexy J. 2000. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian; Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Rosmana, Tjetjep. 2006. Kajian Nilai Budaya Dalam Ungkapan Tradisional Masyarakat Cirebon. Bandung: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1987. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat. Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabet. Sulendraningrat, P.S. 1982. Babad Tanah Sunda Babad Cirebon. Cirebon. 2. Majalah/Jurnal, Surat Kabar Anonim, 1934. “Gerebeg Moeloed di Tjirebon”. Parahiangan, No27, 5 Djuli, 1934 dan No. no28, 12 Djuli, 1934. Hariyanto. Oda I.B. 2015. “The Meaning of The Veneration http//dx.doi.org/105296/ijch.v2i1.6986..
of
Nasi
Jimat”.DOI:
Marsono. 2002. “Gunungan Dalam Grebeg Sebagai Media Dakwah; Analisis Semiotis”. Jurnal Dakwah, No 04 Tahun III Januari-Juni. Yogjakarta: Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga. “Pariwisata Berbasis Budaya”. Kompas, 25 Agustus 2012. Sartini, Ni Wayan. 2010. “Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa; Analisis Wacana Ritual Tahun Baru Imlek”. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 19 Nomor 2/2006-01. Surabaya: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Airlangga. 3. Sumber Internet Anonim. 2013. “Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Cirebon”, dalam //disdukcapil. cirebonkota. go.id/index.php/statistik/jumlah-penduduk /data-penduduk-kota-cirebon-th-2013/. Diunduh tanggal 25 Oktober 2013.
30
Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil kota Cirebon. 2013, dalam http://disdukcapil.cirebonkota.go.id/index.php/statistik/jumlah-penduduk/data-penduduk-kota-cirebon-. Diunduh tanggal 25 Oktober 2013.
“Kabupaten Cirebon Dalam Angka 2011”. http://regionalinvestment.bkpm.go.id/ newsipid/userfiles/ ppi/cirebon. Pdf. Diunduh tanggal 25 Oktober 2013). Mintz W. Sidney et al. 2002. “Anthropology of Food and Eating”. www.annuareviews.org by Padjadjaran University. Diunduh tanggal 29 Maret 2011. Wendy, Hurwits Leeds. 1993. Semiotics Communication, signs and codes cultures. Citation 123HelpMe.com.
. Di unduh tanggal 14 Febuary 2015. B. SUMBER LISAN (Daftar Informan) No
Nama
Usia
Pekerjaan
Tanggal Wawancara 31/12/14
1
E. Hariyanto/Elang Ayi
38
2
Kyai Aszahri
64
3 4
Pra. Arief Natadiningat Ibu Munah
55 65
5
Ibu Uum
46
Kepala Silsilah dan Keluarga Kepala Kaum/Kord. Dapur Mulud Sultan Kerabat /boreh, kembang goyang Koordinator dapur
6 7
Ibu Ema Bapak Tatang
52 34
Kerabat /logistik Staff Administrasi
2/1/15 20/2/15
8
Elang Bandi
35
Staff Administrasi
28/2/15
9
Noerdin M. Noer
67
27/3/15
10
R.. M.. Afit Permadi (Nanang)
36
Budayawan/Wartawan Senior Guide Keraton
2/1/15
18/4/15 3/1/15
1/1/15