MAKNA SINKRETISME BENTUK PADA ARSITEKTUR MESJID-MESJID WALISANGA Kasus Studi: Mesjid Sunan Ampel, Agung Demak, Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Giri, Menara Kudus, Sunan Kalijaga, dan Mesjid Sunan Muria
DISERTASI
Oleh: Ashadi 2011842004
Promotor: Prof. Antariksa, Ir., M.Eng., Ph.D.
Ko-Promotor: Dr. Purnama Salura, Ir., MMT., MT.
PROGRAM STUDI DOKTOR ARSITEKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG DESEMBER 2016
MAKNA SINKRETISME BENTUK PADA ARSITEKTUR MESJID-MESJID WALISANGA Kasus Studi: Mesjid Sunan Ampel, Agung Demak, Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Giri, Menara Kudus, Sunan Kalijaga, dan Mesjid Sunan Muria
DISERTASI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Mengikuti Ujian Disertasi Terbuka
Oleh: Ashadi 2011842004
Promotor: Prof. Antariksa, Ir., M.Eng., Ph.D.
Ko-Promotor: Dr. Purnama Salura, Ir., MMT., MT.
PROGRAM STUDI DOKTOR ARSITEKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG DESEMBER 2016
MAKNA SINKRETISME BENTUK PADA ARSITEKTUR MESJID-MESJID WALISANGA Kasus Studi: Mesjid Sunan Ampel, Agung Demak, Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Giri, Menara Kudus, Sunan Kalijaga, dan Mesjid Sunan Muria
Ashadi (NPM: 2011842004) Promotor: Prof. Antariksa, Ir., M.Eng., Ph.D. Ko-Promotor: Dr. Purnama Salura, Ir., MMT., MT. Doktor Arsitektur Bandung Desember 2016
ABSTRAK Sinkretisme ditengarai terjadi pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Hal ini sejalan dengan metode kompromis yang diterapkan oleh para Walisanga dalam menyebarkan agama Islam di lingkungan masyarakat Jawa. Studi ini bertujuan untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, yang meliputi tujuh kasus studi, yaitu mesjid Sunan Ampel, Agung Demak, Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Giri, Menara Kudus, Sunan Kalijaga, dan mesjid Sunan Muria. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini bersifat eksplanatif, analitis dan interpretatif berdasar pada bukti empiris. Kegiatan eksplanasi, analisis dan interpretasi menggunakan kerangka penelitian dan perangkat analisis yang dibangun berdasarkan konsepkonsep acuan bentuk arsitektur lokal dan non lokal, sinkretisme bentuk, dominasi Sinkretisme bentuk, makna Sinkretisme bentuk, dan konsep relasi aspek fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur. Hasil dari studi ini menyimpulkan bahwa sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga terjadi dalam keadaan sama atau serupa, yaitu dengan cara pengubahan bentuk dan adaptasi. Makna sinkretisme bentuk yang dapat diberikan, yaitu bahwa sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, yang terjadi dengan cara pengubahan bentuk dan adaptasi, memiliki kesesuaian dengan fungsi-fungsi yang terwadahinya, sehingga bisa diterima oleh masyarakat muslim pendukungnya, khususnya di Jawa. Studi ini diharapkan dapat menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam teori arsitektur, tentang metode spesifik untuk menganalisis dan menginterpretasi sinkretisme bentuk pada arsitektur bangunan peribadatan, tidak hanya bersifat lokal tapi juga global. Kata Kunci: Sinkretisme, Relasi, Lokal, Non Lokal, Bentuk Arsitektur
THE MEANING OF FORM SYNCRETISM IN ARCHITECTURE OF WALISANGA MOSQUES Case Studies: Mosque of Sunan Ampel, Demak Great, Sang Cipta Rasa Great, Sunan Giri, Menara Kudus, Sunan Kalijaga, and Mosque of Sunan Muria
Ashadi (NPM: 2011842004) Promotor: Prof. Antariksa, Ir., M.Eng., Ph.D. Co-Promotor: Dr. Purnama Salura, Ir., MMT., MT. Doctor of Architecture Bandung December 2016
ABSTRACT Syncretism allegedly occurred in the architecture of the Walisanga mosques. This is in the line with the compromise method applied by the Walisanga in spreading Islam in the Java community. This study aims to understand the meaning of form syncretism in architecture of Walisanga mosques, which includes seven case studies, namely mosque of Sunan Ampel, Demak Great, Sang Cipta Rasa Great, Sunan Giri, Menara Kudus, Sunan Kalijaga, and mosque of Sunan Muria. The method used in this study is explanative, analytical and interpretive, based on empirical evidence. Explanation, analysis and interpretation using the research framework and analysis tools that were built based on the concepts of the reference of local and non local architectural forms, form syncretism, domination of form syncretism, meaning of form syncretism, and the concept of relation of function-formmeaning in architecture. The results of this study concluded that the form syncretism in architecture of Walisanga mosques occurred in the same ways, namely changing form and adaptation. The meaning of form syncretism could be given: form syncretism in architecture of Walisanga mosques which occurred by changing form and adaptation had compatibility with its functions, so it could be accepted by the muslim community, especially in Java. This study is expected to contribute science in architectural theory, on the specific method to analyze and interpret the form syncretism and its meaning in the architecture of religious buildings, not only locally but also globally. Keywords: Syncretism, Relation, Local, Non Local, Architectural Forms
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala Puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam penyelesaian Studi Doktor Arsitektur pada Program Studi Doktor Arsitektur, Sekolah Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Sebagai rasa syukur, maka dalam kesempatan ini saya haturkan rasa terima kasih yang mendalam kepada: 1. Prof. Antariksa, Ir., M.Eng., Ph.D., selaku Promotor, atas segala bimbingan dan perhatiannya dalam proses penyusunan disertasi. 2.
Dr. Purnama Salura, Ir., MMT., MT., selaku Ko-Promotor, atas segala bimbingan dan arahannya dalam proses penyusunan disertasi.
3.
Prof. Ir. Lilianny Sigit Arifin, M.Sc., Ph.D., selaku Penguji dalam Sidang Tertutup dan Sidang Terbuka, atas segala arahan dan masukannya.
4. Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phill., Ph.D., selaku Penguji dalam Sidang Tertutup dan Sidang Terbuka, atas segala arahan dan masukannya. 5. Associate Prof. Iwan Sudradjat, Ir., MSA., Ph.D., selaku Penguji dalam Sidang Tertutup dan Sidang Terbuka, atas segala arahan dan masukannya. 6. Dr. Y. Basuki Dwisusanto, Ir., M.Sc., selaku Penguji dalam Sidang Tertutup dan Sidang Terbuka, atas segala arahan dan masukannya. 7. Dr. Rumiati R. Tobing, Ir., MT., selaku Penguji dalam Ujian Kualifikasi dan Ujian Usulan Penelitian, atas segala arahan dan masukannya. 8. Dr. Amos Setiadi, ST., MT., selaku Penguji dalam Ujian Kualifikasi dan Ujian Usulan Penelitian, atas segala arahan dan masukannya. 9. Prof. Sandi A. Siregar, Ir., M.Arch., Dr., IAI. (Alm.), selaku Dosen, atas segala ilmu yang diberikan. 10. Prof. Dr. Ir. Yulianto Sumalyo, DEA., selaku Dosen, atas segala ilmu yang diberikan. i
11. Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH., MH., Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang telah memberikan dorongan, semangat, dan bantuan. 12. Dr, Ir. Budiyanto, MT.,Dekan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang telah memberikan dorongan, semangat, dan bantuan. 13. Dr. Y. Basuki Dwisusanto, Ir., M.Sc., Kepala Program Studi Doktor, Sekolah Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, yang telah memberikan kesempatan, arahan, dan petunjuk. 14. Ir. Mutmainah, MM., Dekan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Periode 2008 – 2016, yang telah memberikan dorongan, semangat, dan bantuan. 15. Ir. Lily Mauliani, M.Si., Ketua Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Periode 2012 – 2016, yang telah memberikan dorongan dan semangat. 16. Rekan sejawat di Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang telah memberikan dorongan dan semangat. 17. Rekan sejawat di Program Studi Doktor Arsitektur, Sekolah Pascasarjana, Universitas Parahyangan, yang telah memberikan dorongan dan semangat. 18. Pengurus Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM), mesjid Sunan Ampel, Agung Demak, Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Giri, Menara Kudus, Sunan Kalijaga, dan mesjid Sunan Muria, yang telah memberikan bantuan selama proses pendataan di lapangan. Secara khusus, saya mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, Bapak Sarpin Hadiwinoto (alm.) dan Ibu Bibit (alm.), yang telah memberikan bekal tauladan dan nasehat yang tak kunjung padam. Terima kasih kepada istri saya, Lina Sudiyati, dan kedua anak saya, Muhammad Ghozi dan Shofiyyah Ash Shiddiqah, yang telah memberikan dukungan penuh dalam proses penelitian disertasi. Akhir kata, semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Bandung, Desember 2016
Ashadi ii
DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR ISTILAH
ix
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR TABEL
xxv
BAB 1 PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Permasalahan Penelitian
5
1.3 Premis dan Tesa Kerja Penelitian
6
1.4 Pengertian Sinkretisme
6
1.5 Pertanyaan Penelitian
7
1.6 Tujuan Penelitian
8
1.7 Manfaat Penelitian
8
1.8 Alur Pikir Penelitian
9
1.9 Penentuan Kasus Studi dan Lingkup Kajian
10
1.9.1 Penentuan kasus studi
10
iii
1.9.2 Lingkup kajian
11
1.10. Sistematika Pembahasan
13
BAB 2 PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN: MEMBANGUN KERANGKA KONSEPTUAL
17
2.1 Penelitian Terdahulu dan Posisi Studi
17
2.2 Membangun Kerangka Konseptual
22
2.2.1 Eksplorasi pendekatan penelitian
22
2.2.2 Elaborasi konsep-konsep teoritis
30
BAB 3 EKSPLANASI BENTUK DAN FUNGSI ARSITEKTUR MESJID-MESJID WALISANGA 3.1 Mesjid Sunan Ampel
61 61
3.1.1 Lokasi
61
3.1.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah
62
3.1.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang
63
3.2 Mesjid Agung Demak
78
3.2.1 Lokasi
78
3.2.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah
79
3.2.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang
81
3.3 Mesjid Agung Sang Cipta Rasa
92
3.3.1 Lokasi
92
3.3.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah
93
3.3.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang
94
3.4 Mesjid Sunan Giri
102
3.4.1 Lokasi
102
iv
3.4.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah
103
3.4.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang
104
3.5 Mesjid Menara Kudus
116
3.5.1 Lokasi
116
3.5.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah
117
3.5.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang
119
3.6 Mesjid Sunan Kalijaga
131
3.6.1 Lokasi
131
3.6.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah
132
3.6.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang
133
3.7 Mesjid Sunan Muria
141
3.7.1 Lokasi
141
3.7.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah
142
3.7.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang
144
BAB 4 ANALISA DAN INTERPRETASI MAKNA SINKRETISME BENTUK PADA ARSITEKTUR MESJID-MESJID WALISANGA
153
4.1 Menentukan Fungsi-Fungsi Konseptual
154
4.2 Mesjid Sunan Ampel
157
4.2.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
157
4.2.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur
161
4.2.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan 162 4.2.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan
v
165
4.2.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel dengan fungsi-fungsi konseptual
168
4.2.6 Menginterpretasi relasi
169
4.3 Mesjid Agung Demak
170
4.3.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
170
4.3.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur
174
4.3.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Agung Demak dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan 175 4.3.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan
178
4.3.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak dengan fungsi-fungsi konseptual
180
4.3.6 Menginterpretasi relasi
181
4.4 Mesjid Agung Sang Cipta Rasa
182
4.4.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
182
4.4.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur
186
4.4.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sang Cipta Rasa dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan 187 4.4.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan
189
4.4.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sang Cipta Rasa dengan fungsi-fungsi konseptual
191
4.4.6 Menginterpretasi relasi
193
4.5 Mesjid Sunan Giri
194
4.5.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
194
4.5.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur
198
vi
4.5.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sunan Giri dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan 199 4.5.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan
202
4.5.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Giri dengan fungsi-fungsi konseptual
204
4.5.6 Menginterpretasi relasi
205
4.6 Mesjid Menara Kudus
206
4.6.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
206
4.6.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur
209
4.6.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Menara Kudus dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan 210 4.6.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan
213
4.6.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Menara Kudus dengan fungsi-fungsi konseptual
216
4.6.6 Menginterpretasi relasi
217
4.7 Mesjid Sunan Kalijaga
219
4.7.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
219
4.7.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur
222
4.7.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sunan Kalijaga dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan 223 4.7.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan
226
4.7.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Kalijaga dengan fungsi-fungsi konseptual
229
4.7.6 Menginterpretasi relasi
230
vii
4.8 Mesjid Sunan Muria
231
4.8.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
231
4.8.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur
235
4.8.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sunan Muria dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan 236 4.8.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan
239
4.8.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Muria dengan fungsi-fungsi konseptual
241
4.8.6 Menginterpretasi relasi
243
4.9 Interpretasi Makna Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga
BAB 5 TEMUAN DAN KESIMPULAN PENELITIAN 5.1 Temuan Penelitian
244
245 245
5.1.1 Metode baru untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga 245 5.1.2 Konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga
247
5.1.3 Dominasi sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga
248
5.2 Kesimpulan Penelitian
249
5.2.1 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga
249
5.2.2 Makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga
252
5.3 Kontribusi Penelitian
254
5.4 Penelitian Lanjutan
255
DAFTAR PUSTAKA
257
viii
DAFTAR ISTILAH
Abangan: sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodok. Istilah ini berasal dari kata bahasa Jawa ‘abang’ yang berarti merah. [https://id.wikipedia.org/wiki/Abangan, akses 5 November 2016]. Adzan: merupakan panggilan bagi umat Islam untuk memberitahu masuknya shalat wajib, yaitu shalat lima waktu dan shalat Jumat, yang dikumandangkan oleh seorang muadzin. Lafal adzan terdiri dari tujuh bagian: Allahu Akbar, Allahu Akbar (2 kali); Asyhadu alla ilaha illallah (2 kali); Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2 kali); Hayya 'alash shalah (2 kali); Hayya 'alal falah (2 kali); Ashsalatu khairum minan naum (2 kali) (hanya diucapkan dalam adzan shalat Subuh); Allahu Akbar, Allahu Akbar (1 kali); Lailaha ilallah (1 kali). Ajeg: tetap, tidak berubah. Aling-aling: penghalang pandangan dalam tata ruang rumah tradisional Jawa. Alun-alun: merupakan suatu ruang terbuka kota-kota kabupaten di Jawa, yang luas dan berumput, yang dikelilingi oleh jalan dan bangunan-bangunan penting. Ander: balok vertikal yang menopang molo (nok) dalam konstruksi atap rumah tradisional Jawa tipe joglo dan limasan, atau menopang bagian puncak atap tipe tajuk. Babad Tanah Jawi: cerita dalam bentuk teks Jawa, yang berhubungan dengan sejarah tanah Jawa. Beduk: alat musik tabuh seperti gendang. Beduk merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Di Indonesia, sebuah beduk biasa dibunyikan untuk pemberitahuan mengenai waktu shalat atau sembahyang. Beduk terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, bunyi beduk dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh. [https://id.wikipedia.org/wiki/Bedug, akses 5 November 2016]. Bentar: sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Gapura bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna. [https://id.wikipedia.org/wiki/Candi bentar, akses 5 November 2016].
ix
Bethara: identik dengan dewa. Bethari: identik dengan dewi. Blandar: balok-balok pada arah memanjang di atas deretan kolom utama pada konstruksi atap rumah tradisional Jawa tipe joglo dan limasan. Catokan: takian ½ kayu pada hubungan kayu penyiku, pada konstruksi atap rumah tradisional Jawa tipe joglo dan limasan. Pada ujung-ujung balok kayu disisakan untuk keperluan estetika. Ceruk: relung pada dinding tembok. Cungkup: bangunan beratap di atas makam. Dzikir: aktifitas ibadah umat Islam untuk mengingat Allah, dengan cara menyebut dan memuji nama-Nya. Dzulhijjah: nama bulan ke-12 dalam kalender Islam. Nama-nama bulan dalam kalender Islam: Muharam (bulan pertama), Safar (bulan kedua), Rabi’ul Awwal (bulan ketiga), Rabi’ul Akhir (bulan keempat), Jumadil Awwal (bulan kelima), Jumadil Akhir (bulan keenam), Rajab (bulan ketujuh), Sya’ban (bulan kedelapan), Ramadhan (bulan kesembilan), Syawwal (bulan kesepuluh), Dzulkaidah (bulan kesebelas), Dzulhijjah (bulan keduabelas). Gamelan: ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti menabuh.[https://id.wikipedia.org/wiki/Gamelan, akses 5 November 2016]. Ganjel: benda sisipan sebagai penahan. Gerebeg: upacara keagamaan di keraton, yang diselenggarakan bertepatan dengan hari lahir Nabi Muhammad SAW (gerebeg Maulud), Hari Raya Idul Fitri (gerebeg Syawal), dan Hari Raya Idul Adha (gerebeg Besar). Haul: berati upacara peringatan ulang tahun wafatnya seseorang (terutama tokoh agama Islam), dengan berbagai acara, yang puncaknya menziarahi kubur almarhum atau almarhumah. Hijriyah: Tahun kalender Islam. Idul Fitri: Hari Raya bagi umat Islam, yang dirayakan setiap tanggal 1 Syawwal, setelah selesai melaksanakan puasa Ramadhan. Idul Adha: Hari Raya bagi umat Islam, yang dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah, yang diikuti dengan penyembelihan hewan kurban.
x
Ijab Kabul: (dalam pernikahan) adalah ucapan dari orang tua atau wali mempelai wanita untuk menikahkan putrinya kepada sang calon mempelai pria. Orang tua mempelai wanita melepaskan putrinya untuk dinikahi oleh seorang pria, dan mempelai pria menerima mempelai wanita untuk dinikahi. Ijab kabul merupakan ucapan sepakat antara kedua belah pihak. Kahyangan: istilah kahyangan berasal dari bahasa Sanskerta yang jika dipilah menjadi ka-hyang-an, atau bermakna "tempat tinggal para Hyang atau leluhur". Sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha, masyarakat Nusantara, seperti masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali sudah menganut agama pribumi berupa pemujaan terhadap arwah leluhur. Mereka menyebut leluhur mereka dengan istilah Hyang dan tempat tinggal mereka di alam gaib disebut kahyangan. Dengan masuknya agama Hindu dan Buddha, maka istilah Swarga pun dipakai berdampingan dengan istilah kahyangan, karena Swarga juga bermakna tempat tinggal para roh. [https://id.wikipedia.org/wiki/Surga, akses 6 November 2016]. Kentongan: alat pukulan yang terbuat dari batang bambu atau batang kayu jati yang dipahat. Kentongan diidentikkan dengan alat komunikasi zaman dahulu yang sering dimanfaatkan oleh penduduk pribumi yang tinggal di daerah pedesaan dan pegunungan. [https://id.wikipedia.org/wiki/Kentongan, akses 6 November 2016]. Khatbah: salah satu cara yang dipakai untuk mengkomunikasikan pesan-pesan dalam ajaran Islam kepada jamaah. Khatib: orang yang memberikan khatbah. Kiblat: arah yang dituju saat seorang muslim mendirikan shalat. Kili-kili: balok-balok pada arah memendek di bawah balok-balok pengerat pada konstruksi atap rumah tradisional Jawa tipe joglo dan limasan. Kliwon: nama hari dalam sepasar atau juga disebut dengan nama pancawara, dalam kebudayaan Jawa. Satu minggu terdiri dari lima hari pasaran: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Langgar: bangunan kecil menyerupai mesjid yang digunakan sebagai tempat mengaji dan shalat bagi umat Islam. Langgar juga sering disebut dengan surau atau mushalla Lawang: pintu Lawang Bledek: arti bledeg, yaitu kilat. Lawang bledeg, maksudnya adalah pintu yang pada sisi luarnya terdapat hiasan gambar menyerupai kilat. Loteng: sebuah kata serapan yang diambil dari bahasa Hokkian, lauteng, yang berarti harfiah tingkat teratas sebuah bangunan. Biasanya, dalam penggunaannya, loteng cuma digunakan untuk merujuk kepada tingkat atas, bila pembicara berada
xi
di tingkat 1, maka tingkat 2, 3 juga dapat menjadi loteng bagi pembicara tersebut. [https://id.wikipedia.org/wiki/Loteng, akses 6 November 2016]. Makara: makhluk dalam mitologi Hindu. Hal ini umumnya digambarkan dengan dua hewan gabungan, di bagian depan atau kepala berwujud binatang seperti gajah atau buaya atau rusa, dan di bagian belakang atau ekor digambarkan sebagai hewan air, seperti ikan atau naga. Makara adalah wahana (kendaraan) dari dewi Gangga dan dewa Baruna. [https://id.wikipedia.org/wiki/Makara, akses 6 November 2016]. Maksura: tempat atau rumah-rumahan di dalam mesjid yang diperuntukkan bagi raja atau penguasa melakukan shalat. Malem Selawe: Malem, artinya malam, dan selawe, artinya duapuluh lima. Malem Selawe, artinya malam ke-25 pada bulan Ramadhan. Maulud: adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal dalam penanggalan Hijriyah. Memolo: elemen dekoratif dan simbolis yang terdapat pada puncak atap bangunan keagamaan di Jawa. Istilah lainnya adalah mustoko. Meru: bangunan peribadatan agama Hindu, yang memiliki ekspresi bentuk tumpang (bersusun), semakin ke atas semakin mengecil. Bangunan meru bisa dijumpai di kompleks peribadatan agama Hindu Bali. Meru itu sendiri adalah nama sebuah gunung, yaitu gunung Sumeru yang berarti "Meru Agung", gunung suci dalam kosmologi Hindu dan Budha, dan dianggap sebagai pusat alam semesta, baik secara fisik maupun metafisik spiritual. Gunung ini merupakan tempat bersemayam para dewa. Mihrab: bagian dari bangunan mesjid atau mushalla yang biasanya digunakan sebagai tempat imam memimpin shalat berjamaah. Di Indonesia, pada umumnya, mihrab berupa relung pada dinding mesjid bagian barat, yang sekaligus sebagai penunjuk arah kiblat. Mimbar: tempat khatib berkhatbah. Secara umum terdapat dua bentuk mimbar pada banyak mesjid. Pertama, mimbar dengan model anak tangga di depan. Kedua, mimbar dengan anak tangga terdapat di belakang. Model pertama terlihat dalam beberapa bentuk: terdiri dari tiga tangga atau lebih, memakai atap dan tanpa atap, serta menggunakan pintu atau tanpa pintu. Model kedua terlihat pada bagian depan tertutup hingga separoh atau sepertiga badan khatib atau penceramah. Kedua bentuk mimbar tersebut terkadang dihiasi pula dengan berbagai ukiran. Mitoni: istilah ini berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Upacara mitoni dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil dimandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang
xii
bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat. Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal 7, 17, dan 27 sebelum bulan purnama pada penanggalan Jawa, yang dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap ke arah matahari terbit. Yang memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah disiram, dipakaikan kain/jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/ketujuh yang dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh acara pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan rujak, dan seterusnya. Hakikat dasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan kenteraman. [https://id.wikipedia.org/wiki/Tingkeban, akses 6 November 2016]. Istilah lainnya adalah tengkeban. Ningrat: suatu gelar yang diberikan kepada seseorang atau golongan tertentu yang merupakan pewaris takhta kerajaan di Jawa. Ningrat merupakan istilah lain dari "darah biru" yaitu seseorang yang masih memiliki hubungan saudara dengan seorang raja di Jawa. [https://id.wikipedia.org/wiki/Ningrat, akses 8 November 2016]. Nuzulul Al-Qur’an: secara harfiah berarti turunnya Al Qur'an (kitab suci agama Islam), dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul 'Izzah di langit dunia. Paduraksa: sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Gapura bentar memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya menyatu sempurna pada bagian atas. [https://id.wikipedia.org/wiki/Candi paduraksa, akses 5 November 2016]. Pawestren: ruang bagian dari mesjid yang digunakan sebagai tempat kegiatan ritual mesjid dan syiar bagi jamaah kaum wanita. Pengerat: balok-balok pada arah memendek di atas deretan kolom utama pada konstruksi atap rumah tradisional Jawa tipe joglo dan limasan. Penyengker: dari kata nyengker yang artinya memberi batas yang disertai dengan upacara tertentu. Penyengker artinya pembatas. Punakawan: sebutan umum untuk para pengikut kesatria dalam khasanah kesusastraan Jawa. Panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu, para panakawan juga berperan penting sebagai penasihat nonformal kesatria yang menjadi asuhan mereka. [https://id.wikipedia.org/wiki/Panakawan, akses 8 November 2016]. Priyayi: sebutan dalam kebudayaan Jawa untuk kelas sosial dalam golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat oleh karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. [https://id.wikipedia.org/wiki/Priayi, akses 5 November 2016].
xiii
Santri: sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan Ilmu Agama Islam di suatu tempat yang dinamakan Pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai [https://id.wikipedia.org/wiki/Santri, akses 5 November 2016]. Semar Tinandu: arti harfiahnya Semar ditandu. Semar adalah nama tokoh pewayangan di Jawa. Semar Tinandu adalah salah satu varian rumah tipe joglo. Sekaten: berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat, adalah acara peringatan ulang tahun Nabi Muhammad SAW yang diadakan pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Hijriyah di Alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dahulu dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam. [https://id.wikipedia.org/wiki/Sekaten, akses 8 November 2016]. Selapanan: satu bulan (35 hari) dalam penanggalan Jawa. Sembahyang: suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Sembahyang dapat dilakukan secara bersamasama atau perseorangan. Istilah sembahyang berasal dari kata "sembah" dan "hyang"; artinya menyembah atau memuja hyang. Istilah ini memiliki akar pada pemujaan arwah leluhur dan roh-roh penjaga alam yang disebut hyang. [https://id.wikipedia.org/wiki/Sembahyang, akses 8 November 2016]. Sesaji: sejenis persembahan kepada dewa atau arwah nenek moyang pada upacara adat di kalangan penganut kepercayaan kuno di Indonesia. Shaf: barisan dalam shalat berjamaah. Shalat: serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu bagi umat Islam yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Shalat Idul Adha: Shalat yang dilaksanakan pada Hari Raya Kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah tahun Hijriyah. Shalat Idul Fitri: Shalat yang dilaksanakan pada Hari Raya Fitri pada tanggal 1 Syawwal tahun Hijriyah. Shalat Lima Waktu: Shalat yang dilaksanakan lima kali dalam sehari semalam, yang sifatnya wajib bagi setiap umat Islam. Shalat Jumat: Shalat yang dilaksanakan pada hari Jumat tengah hari. Shalat Sunat: Shalat yang sifatnya utama bila dilaksanakan, dan tidak berdosa jika tidak dilaksanakan.
xiv
Siraman: berasal dari kata dasar “siram” (bahasa Jawa) yang berarti mandi. Upacara adat siraman adalah memandikan calon pengantin yang mengandung simbol membersihkan diri agar menjadi suci dan murni. Slametan: suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga . Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk. Sor-soran: terusan atap miring pada konstruksi atap tradisional Jawa, yang pada umumnya menaungi serambi atau selasar. Srada: upacara umat Hindu di pulau Jawa zaman dahulu kala untuk mengenang arwah seseorang yang meninggal. Bentuk reminisensi upacara ini, masih ada sampai sekarang, dan disebut sadran dengan bentuk verba aktif nyadran. [https://id.wikipedia.org/wiki/Sraddha, akses 9 November 2016]. Sulur-suluran: tumbuh-tumbuhan menjalar, yang pada umumnya digunakan sebagai motif dalam seni dekoratif. Sunduk: balok-balok pada arah memanjang di bawah balok-balok blandar pada konstruksi atap rumah tradisional Jawa tipe joglo dan limasan. Syahadat: berasal dari kata bahasa Arab, yaitu syahida, yang artinya "Ia telah menyaksikan". Kalimat itu dalam syariat Islam adalah sebuah pernyataan kepercayaan sekaligus pengakuan akan keesaan Allah SWT dan Muhammad SAW sebagai rasulNya. [https://id.wikipedia.org/wiki/Syahadat, akses 9 November 2016]. Syahadatain: dua kalimat syahadat, yaitu asyhadu allaa ilaaha ilallah (aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang diibadahi secara benar kecuali Allah), wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah (dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah). Tlacapan: ragam hias yang berbentuk segitiga sama kaki, sama tinggi, dan sama besar. Tritisan: merupakan bagian dari bangunan seperti atap tambahan yang berdiri sendiri atau bisa juga berupa perpanjangan dari atap utama. Tumpang Sari: penopang bidang segiempat pamidhangan pada konstruksi atap rumah tradisional Jawa tipe joglo, yang terdiri atas susunan overlap balok-balok mendatar, semakin ke atas semakin mengecil. Tumpang sari ditopang oleh soko guru. Tumpeng: cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena itu disebut pula 'nasi tumpeng'. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. [https://id.wikipedia.org/wiki/Tumpeng, akses 9 November 2016].
xv
Umpak: alas kolom atau tiang dalam konstruksi rumah tradisional Jawa. Wantilan: bangunan tempat sabung ayam di Bali. Wayang: pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur. Wudlu: salah satu cara menyucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan shalat. Bersuci bisa pula menggunakan debu yang disebut dengan tayammum.
xvi
DAFTAR GAMBAR
Hal. Gambar 1.1
Diagram alur pikir penelitian.
10
Gambar 1.2
Lokasi kasus studi.
11
Gambar 2.1
Diagram tahapan pemahaman makna berdasarkan elaborasi hermeneutika Ricoeur.
26
Diagram konsep relasi aspek-aspek dalam arsitektur menurut Vitruvius, Capon, Salura dan Fauzy, dan konsep yang digunakan dalam penelitian.
28
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Diagram langkah-langkah interpretasi makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan menggunakan pendekatan interpretasi Ricoeur dan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur. 29
Gambar 2.4
Tipe-tipe rumah tradisional Jawa.
32
Gambar 2.5
Bentuk atap limasan pada cungkup makam tua.
33
Gambar 2.6
Bangunan tajuk pada cungkup makam Sunan Bonang dan makam Sunan Drajat.
35
Gambar 2.7
Perbandingan candi Bima dengan candi di India Selatan.
36
Gambar 2.8
Candi Borobudur.
37
Gambar 2.9
Gapura paduraksa dan bentar dalam kompleks percandian Hindu/Budha.
38
Gambar 2.10 Mesjid Nabawi yang dibangun oleh Rasulullaah SAW di Madinah.
39
Gambar 2.11 Gereja Katolik Santo Yusuf, Cirebon, Jawa Barat.
40
Gambar 2.12 Gereja Kristen Pasundan, Cirebon, Jawa Barat.
41
Gambar 2.13 Gereja Kristen Blenduk, Semarang, Jawa Tengah.
42
Gambar 2.14 Gereja Katolik Gedangan, Semarang, Jawa Tengah.
43
xvii
Gambar 2.15 Gereja Katolik Kepanjen, Surabaya, Jawa Timur.
44
Gambar 2.16 Gereja Kristen Indonesia, Pregolan Bunder, Surabaya, Jawa Timur.
44
Gambar 2.17 Tipikal kelengkapan mesjid Pan Islamisme.
45
Gambar 2.18 Mesjid Sultan Riau dan mesjid Agung Tuban.
46
Gambar 2.19 Mesjid Salman ITB, Bandung, Jawa Barat.
47
Gambar 2.20 Periodisasi waktu keberadaan bangunan keagamaan di pulau Jawa
47
Gambar 2.21 Diagram konsep akulturasi menurut Berry dan Salura.
56
Gambar 2.22 Ilustrasi grafis konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga: adisi, pengubahan bentuk, kreasi baru, adopsi, adaptasi, dan sinergi.
59
Gambar 2.23 Diagram kerangka konseptual.
60
Gambar 3.1
Peta lokasi mesjid Sunan Ampel dalam lingkup kota .
62
Gambar 3.2
Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Sunan Ampel.
62
Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Sunan Ampel.
63
Gambar 3.4
Bentuk menara mesjid Sunan Ampel.
64
Gambar 3.5
Bentuk tempat wudlu pria mesjid Sunan Ampel.
65
Gambar 3.6
Bentuk serambi mesjid Sunan Ampel, bangunan selatan.
67
Gambar 3.7
Bentuk serambi mesjid Sunan Ampel, bangunan tengah.
68
Gambar 3.8
Bentuk serambi mesjid Sunan Ampel, bangunan barat
70
Gambar 3.9
Ruang dalam mesjid Sunan Ampel, bangunan selatan.
73
Gambar 3.10 Ruang dalam mesjid Sunan Ampel, bangunan tengah.
74
Gambar 3.11 Ruang utama mesjid Sunan Ampel, bangunan barat
76
Gambar 3.12 Bentuk bangunan dalam area makam Sunan Ampel
78
Gambar 3.3
xviii
Gambar 3.13 Peta lokasi mesjid Agung Demak dalam lingkup kota.
79
Gambar 3.14 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Agung Demak.
79
Gambar 3.15 Perkembangan bentuk mesjid Agung Demak.
81
Gambar 3.16 Bentuk menara mesjid Agung Demak.
82
Gambar 3.17 Bentuk tempat wudlu mesjid Agung Demak.
83
Gambar 3.18 Bentuk serambi mesjid Agung Demak.
85
Gambar 3.19 Ruang utama mesjid Agung Demak.
89
Gambar 3.20 Pawestren mesjid Agung Demak.
90
Gambar 3.21 Bentuk bangunan dalam area makam mesjid Agung Demak.
91
Gambar 3.22 Peta lokasi mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam lingkup kota.
92
Gambar 3.23 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
92
Gambar 3.24 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
94
Gambar 3.25 Bentuk tempat wudlu mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
95
Gambar 3.26 Bentuk serambi mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
97
Gambar 3.27 Ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
100
Gambar 3.28 Peta lokasi mesjid Sunan Giri dalam lingkup kota.
102
Gambar 3.29 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Sunan Giri.
102
Gambar 3.30 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Sunan Giri.
103
Gambar 3.31 Bentuk tempat wudlu mesjid Sunan Giri.
105
Gambar 3.32 Bentuk serambi mesjid Sunan Giri, bangunan tengah.
106
Gambar 3.33 Bentuk serambi mesjid Sunan Giri, bangunan utara.
108
xix
Gambar 3.34 Ruang utama mesjid Sunan Giri, bangunan tengah.
109
Gambar 3.35 Ruang dalam mesjid Sunan Giri, bangunan utara.
112
Gambar 3.36 Pawestren mesjid Sunan Giri.
114
Gambar 3.37 Bentuk bangunan dalam area makam Sunan Giri.
116
Gambar 3.38 Peta lokasi mesjid Menara Kudus dalam lingkup kota.
117
Gambar 3.39 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Menara Kudus.
117
Gambar 3.40 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Menara Kudus.
118
Gambar 3.41 Bentuk menara mesjid Menara Kudus.
119
Gambar 3.42 Bentuk tempat wudlu mesjid Menara Kudus.
121
Gambar 3.43 Bentuk serambi mesjid Menara Kudus.
123
Gambar 3.44 Ruang utama dan ruang dalam mesjid Menara Kudus.
127
Gambar 3.45 Pawestren mesjid Menara Kudus.
129
Gambar 3.46 Bentuk bangunan dalam area makam Sunan Kudus.
130
Gambar 3.47 Peta lokasi mesjid Sunan Kalijaga dalam lingkup kota.
131
Gambar 3.48 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Sunan Kalijaga.
131
Gambar 3.49 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Sunan Kalijaga.
133
Gambar 3.50 Bentuk tempat wudlu mesjid Sunan Kalijaga.
134
Gambar 3.51 Bentuk serambi mesjid Sunan Kalijaga.
136
Gambar 3.52 Ruang utama mesjid Sunan Kalijaga.
139
Gambar 3.53 Pawestren mesjid Sunan Kalijaga.
140
Gambar 3.54 Peta lokasi mesjid Sunan Muria di atas gunung Muria.
141
xx
Gambar 3.55 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Sunan Muria.
141
Gambar 3.56 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Sunan Muria.
143
Gambar 3.57 Bentuk tempat wudlu mesjid Sunan Muria.
145
Gambar 3.58 Ruang utama dan ruang dalam mesjid Sunan Muria.
147
Gambar 3.59 Pawestren mesjid Sunan Muria.
149
Gambar 3.60 Bentuk bangunan dalam area makam Sunan Muria.
151
Gambar 3.61 Periodisasi waktu perkembangan arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. 152 Gambar 4.1 . Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Kompleks mesjid Sunan Ampel.
158
Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Sunan Ampel, bangunan selatan.
160
Bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel yang dinanalisis dan diinterpretasi.
161
Bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel.
161
Pelingkup bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel.
162
Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel.
164
Dimensi bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel.
165
Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel: pengubahan bentuk.
167
Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel: adaptasi.
168
Gambar 4.10 Kompleks mesjid Agung Demak. . Gambar 4.11 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Agung Demak.
xxi
172
173
Gambar 4.12 Bentuk arsitektur mesjid Agung Demak yang dinanalisis dan diinterpretasi.
174
Gambar 4.13 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak.
175
Gambar 4.14 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak.
175
Gambar 4.15 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak.
177
Gambar 4.16 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak.
178
Gambar 4.17 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak: pengubahan bentuk.
179
Gambar 4.18 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak: adaptasi.
180
Gambar 4.19 Bentuk arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang dinanalisis dan diinterpretasi.
183
Gambar 4.20 Kompleks mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
184
Gambar 4.21 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
185
Gambar 4.22 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
186
Gambar 4.23 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
186
Gambar 4.24 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
188
Gambar 4.25 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
189
Gambar 4.26 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa: pengubahan bentuk.
190
Gambar 4.27 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa: adaptasi.
191
Gambar 4.28 Kompleks mesjid Sunan Giri. .
xxii
195
Gambar 4.29 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Sunan Giri, bangunan tengah.
197
Gambar 4.30 Bentuk arsitektur mesjid Sunan Giri yang dinanalisis dan diinterpretasi.
198
Gambar 4.31 Bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri.
198
Gambar 4.32 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri.
199
Gambar 4.33 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Giri.
201
Gambar 4.34 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri.
201
Gambar 4.35 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Giri: pengubahan bentuk.
203
Gambar 4.36 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Giri: adaptasi.
204
Gambar 4.37 Kompleks mesjid Menara Kudus.
207
Gambar 4.38 Bentuk arsitektur mesjid Menara Kudus yang dinanalisis dan diinterpretasi.
208
Gambar 4.39 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Menara Kudus.
209
Gambar 4.40 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus.
210
Gambar 4.41 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus.
210
Gambar 4.42 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Menara Kudus.
212
Gambar 4.43 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus.
213
Gambar 4.44 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Menara Kudus: pengubahan bentuk.
215
Gambar 4.45 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Menara Kudus: adaptasi.
215
xxiii
Gambar 4.46 Kompleks mesjid Sunan Kalijaga.
220
Gambar 4.47 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Sunan Kalijaga.
221
Gambar 4.48 Bentuk arsitektur mesjid Sunan Kalijaga yang dinanalisis dan diinterpretasi.
222
Gambar 4.49 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga.
222
Gambar 4.50 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga.
223
Gambar 4.51 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Kalijaga.
225
Gambar 4.52 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga.
226
Gambar 4.53 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Kalijaga: pengubahan bentuk.
227
Gambar 4.54 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Kalijaga: adaptasi.
228
Gambar 4.55 Kompleks mesjid Sunan Muria.
232
Gambar 4.56 Bentuk arsitektur mesjid Sunan Muria yang dinanalisis dan diinterpretasi.
233
Gambar 4.57 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Sunan Muria 234 Gambar 4.58 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria.
235
Gambar 4.59 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria.
235
Gambar 4.60 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Muria.
238
Gambar 4.61 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria.
239
Gambar 4.62 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Muria: pengubahan bentuk.
241
Gambar 4.63 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Muria: adaptasi.
241
xxiv
DAFTAR TABEL Hal. Tabel 1.1
Kasus Studi
11
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
21
Tabel 2.2
Konsep Sinkretisme Agama Islam Kejawen
53
Tabel 2.3
Konsep Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga Berdasarkan Elaborasi Konsep Sinkretisme Agama Islam Kejawen 54
Tabel 2.4
Konsep Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga Berdasarkan Elaborasi Konsep Akulturasi Berry dan Salura 56
Tabel 2.5
Konsep-Konsep Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga
56
Bentuk dan Fungsi Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga pada Masa Sekarang
151
Tabel 4.1
Fungsi-Fungsi Konseptual
156
Tabel 4.2
Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Ampel yang Dianalisis dan Diinterpretasi
159
Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Agung Demak yang Dianalisis dan Diinterpretasi
171
Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang Dianalisis dan Diinterpretasi
183
Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Giri yang Dianalisis dan Diinterpretasi
196
Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Menara Kudus yang Dianalisis dan Diinterpretasi
208
Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Kalijaga yang Dianalisis dan Diinterpretasi
219
Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Muria yang Dianalisis dan Diinterpretasi
233
Tabel 3.1
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 4.8
xxv
xxvi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perubahan yang begitu cepat dalam arus globalisasi, meruntuhkan sekat-sekat yang membatasi aliran manusia, modal dan informasi. Derasnya arus informasi yang masuk lintas benua telah menghilangkan halangan-halangan yang diakibatkan oleh batas-batas dimensi ruang dan waktu. Oleh karenanya, suatu peristiwa yang terjadi di suatu belahan bumi akan segera bisa diketahui di belahan bumi lainnya. Ciri khas globalisasi adalah semangat keterbukaan dan kerelaan untuk menerima pengaruh budaya lain. Globalisasi mencakup mata kehidupan yang amat luas dengan berbagai dampaknya yang mendalam. Meskipun berangkat dari persoalan ekonomi, namun globalisasi tidak hanya didominasi oleh masalah ekonomi saja, tetapi juga berkaitan dengan persoalan-persoalan lain seperti sosial, budaya, agama, politik, pendidikan, teknologi, seni, dan arsitektur. [Naisbitt, 1994; Mrak, 2000; Al-Rodhan, 2006; Bacchetta, 2011]. Di era global sekarang ini, seperti halnya pada bidang-bidang lainnya, teknologi material dan konstruksi bangunan mengalami perkembangan sangat pesat, yang berpengaruh besar pada perencanaan dan perancangan arsitektur. Pemilihan material bangunan yang tepat dan kemudahan dalam teknik konstruksi bangunan telah melahirkan arsitektur dengan bentuknya yang lebih bervariasi, termasuk variasi bentuk mesjid1 di Indonesia.
1
Istilah mesjid berasal dari bahasa Arab, sujudan - sajada, kata kerja sajada mendapat awalan ma sehingga terjadi kata benda yang menunjukan tempat, masjidu - masjid. Dalam lafal orang
1
2
Di kota-kota besar tumbuh subur mesjid-mesjid dengan bentuk beraneka ragam, yang cenderung terus berkembang dan cepat berubah mengikuti zaman. Beberapa contoh dapat disebutkan: mesjid Al-Irsyad Bandung (dibangun 2010), yang didominasi bangunan berbentuk kotak dengan atap datar; mesjid Raya Sumatra Barat (dibangun 2014), yang didominasi bentuk atap tradisional Minangkabau; dan yang paling mutakhir adalah mesjid 99 Cahaya Lampung (dibangun 2016), yang bentuk bangunannya menjulang tinggi, tanpa menara. Sementara, dalam waktu yang bersamaan, di desa maupun kota, di hampir seluruh wilayah Indonesia, hadir pula mesjid-mesjid dengan bentuknya yang cenderung serupa dan ‘ajeg’. Fenomena ini sangat menarik. Bentuk-bentuk mesjid yang serupa dan ‘ajeg’ bisa hadir di era perkembangan pesat bentuk-bentuk mesjid yang beraneka ragam. Beberapa contoh dapat disebutkan: mesjid Raya Batam (dibangun 2001), yang didominasi oleh atap bentuk tajuk tumpang tiga; mesjid Agung Palapa Bali (dibangun 2012), yang didominasi atap bentuk tajuk tumpang dua; dan mesjid Raya Kupang (dibangun 2014), yang didominasi atap bentuk tajuk tumpang dua. Bentuk atap tajuk tumpang sebenarnya tidak lazim digunakan pada bangunanbangunan yang bercirikan seni Islam sebagaimana yang bisa dijumpai di negaranegara yang juga mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Arab Saudi, Turki, Irak, Iran, Mesir, Maroko, dan Siria, di mana kubah menjadi pilihan utama sebagai penutup ruang utama bangunan mesjid. Mengapa bisa terjadi demikian?
Indonesia, kata 'masjid' ini kebanyakan diucapkan menjadi 'mesjid'. Istilah mesjid dan masjid, keduanya tercantum di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, cetakan kedua edisi pertama, tahun 1989. Dalam penelitian ini digunakan istilah mesjid. Mesjid, secara sempit diartikan sebagai tempat untuk sujud atau tempat untuk shalat bagi umat Islam.
3
Seperti diketahui bahwa agama Islam yang datang di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi bersifat sinkretis, yaitu percampuran agama Islam dengan paham Kejawen, yang kemudian memunculkan istilah agama Islam Kejawen. Sinkretisme agama Islam Kejawen ini berkembang pesat pada era kerajaan Mataram Islam. [Geertz, 1960; Koentjaraningrat, 1984; Simuh, 1995]. Fungsi-fungsi agama Islam Kejawen membutuhkan wadah, yaitu berupa bangunan mesjid. Mesjid sebagai bentukan arsitektur tentunya tidak bisa dipisahkan dari fungsifungsi yang diwadahinya. Pada dasarnya bentukan arsitektur dibuat untuk digunakan sebagai wadah kegiatan. Setiap rancangan arsitektur harus melingkupi tiga unsur: fungsi-bentuk-makna, yang satu sama lainnya saling mempengaruhi. Segitiga fungsi-bentuk-makna selalu dalam keadaan berputar dan memperbaharui dirinya terus-menerus. [Salura, 2012 dan 2015]. Bentuk-bentuk mesjid yang serupa dan ‘ajeg’ juga bisa dijumpai pada bentukbentuk mesjid yang ada sebelumnya. Bentuk mesjid dengan atap tumpang yang paling tua di Indonesia adalah mesjid-mesjid yang didirikan oleh para Walisanga (wali yang berjumlah sembilan), pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi. Bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga kemudian menjadi acuan bentuk arsitektur mesjid-mesjid yang dibangun pada masa sesudahnya. Bangunan mesjid dengan atap tumpang (susun), tidak hanya milik Jawa saja, melainkan merupakan ciri khas bangunan mesjid di Indonesia. [Hamid, 1990; Pijper, 1992]. Sampai sekarang, bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga itu sendiri masih bertahan dan diterima masyarakat muslim pendukungnya, khususnya di Jawa. Bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang telah berusia ratusan tahun, masih bertahan, dan selalu diterima masyarakat muslim pendukungnya, diduga
4
sangat kuat merupakan percampuran bentuk lokal dan non lokal, yang diistilahkan dengan sinkretisme. Penggunaan istilah ini mengacu pada penggunaan istilah sinkretisme dalam agama Islam Kejawen. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa mengapa bentuk atap tumpang menjadi pilihan utama dalam arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dan mesjid-mesjid yang dibangun di masa-masa sesudahnya di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, untuk kasus arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dalam perputarannya, fungsi mesjid-mesjid Walisanga akan menstrukturkan dirinya sehingga melahirkan bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Dengan demikian bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga akan dapat mengakomodasi fungsi-fungsinya dengan baik. Bentukan arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan sendirinya akan menampilkan pesan tentang
fungsi-fungsi
yang
diwadahinya
dan
susunan
elemen-elemen
pembentuknya. Pesan ini akan membawa arti atau makna bagi para pengguna (jamaah mesjid dan pengurus Dewan Kemakmuran Mesjid) dan pengamat (peneliti) tentang bentukan arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka isu tentang makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga menjadi signifikan untuk diangkat dalam penelitian ini, dan sangat relevan dalam rangka menghadapi globalisasi yang ditandai dengan kehadiran variasi bentuk arsitektur mesjid. Kajian tentang makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga sangat langka. Sinkretisme selama ini lebih banyak dikaji dalam bidang agama. Ada dua alasan pokok mengapa sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjidmesjid Walisanga kurang dikaji, pertama, yaitu minimnya data-data sejarah tentang
5
perkembangan arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dan tokoh-tokoh pendirinya (para Walisanga); kedua, yaitu adanya kekhawatiran pembahasan tentang sinkretisme akan terlalu jauh memasuki ranah agama. Penelitian ini, yang berjudul: makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, menempatkan lingkup analisis dan interpretasi terhadap bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga pada kurun waktu sekarang, dan berfokus pada ranah arsitektur. Kajian tentang sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid yang pernah ada dilakukan secara tidak mendalam dan tidak fokus, hanya dilihat berdasarkan pada bagian-bagian bangunannya saja, terutama bentuk atapnya [Stutterheim, 1927; Pijper, 1992; de Graaf, 1985; Wirjosuparto, 1962; Soekmono, 1973; Ismudiyanto, 1987; Tjandrasasmita, 2000]. Dalam penelitian ini, makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dengan tujuh mesjid sebagai kasus studi, dikaji dan dianalisis secara mendalam dan fokus. Masing-masing kasus studi (dari tujuh kasus studi) dilakukan analisis dan interpretasi terhadap bentuk arsitekturnya, kemudian hasil analisis dan interpretasi tersebut diperbandingkan antara satu kasus studi dengan kasus studi lainnya.
1.2 Permasalahan Penelitian Sinkretisme merupakan salah satu kekuatan yang luar biasa dalam proses perkembangan bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga selama ratusan tahun keberadaannya di tanah Jawa. Keberadaan mesjid-mesjid Walisanga yang diterima oleh masyarakat Jawa selama perkembangannya, menunjukkan bahwa perubahanperubahan yang terjadi diduga selalu dalam kerangka sinkretisme bentuk, sehingga memuaskan batin mereka secara terus menerus.
6
Fungsi-fungsi yang diwadahi dan susunan elemen-elemen pembentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga memiliki makna yang akan terus menjadi bagian penting dari kehidupan keagamaan masyarakat Jawa di tengah-tengah arus perubahan yang begitu cepat. Permasalahan penelitian yang dikemukakan adalah bagaimana sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dan apa maknanya.
1.3 Premis dan Tesa Kerja Penelitian Hasil kajian – kajian tentang agama Islam di Jawa memperlihatkan bahwa Islam yang disebarkan oleh Walisanga pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi dikemas dalam bentuknya yang sinkretis, yang kemudian memunculkan istilah agama Islam Kejawen. Sinkretisme agama Islam Kejawen di Jawa semakin mengendap pada zaman kekuasaan raja-raja Mataram Islam [Koentjaraningrat, 1984; Simuh, 1995]. Fungsi-fungsi agama Islam Kejawen yang sinkretis akan tercermin pada bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang mewadahi fungsi-fungsinya. Berangkat dari uraian sebelumnya, maka disusun premis dan tesa kerja penelitian. Premis penelitian, yaitu sinkretisme terjadi pada bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Tesa kerja penelitian, yaitu sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga diduga terjadi dengan cara yang sama pada kasus studi yang satu dengan kasus studi lainnya.
1.4 Pengertian Sinkretisme Istilah sinkretisme bisa dilacak dari kata Yunani ‘sunkretamos’ yang artinya kesatuan, dan kata ‘synkerannumi’ yang berarti mencampur aduk. Istilah tersebut
7
mula-mula adalah istilah politik, yang digunakan oleh Plutarch untuk menggambarkan kesatuan orang-orang dari Pulau Kreta yang melawan musuh bersamanya. Kesatuan tersebut adalah sebagai sinkretismos. Kemudian istilah ini juga dipakai di dalam bidang filsafat dan agama guna menggambarkan suatu keharmonisan dan perdamaian. Di dalam bidang filsafat, pada abad ke-15 Masehi, Kardinal Bessarion menggunakan istilah sinkretisme dalam ungkapannya untuk mendamaikan dan mengharmoniskan filsafat Plato dan Aristoteles. Di dalam bidang keagamaan, pada abad ke-17 Masehi, Calextus, seorang pengikut Martin Luther, disebut sebagai seorang sinkretis, sebab dia berusaha mendamaikan dan menyatukan teologia-teologia Protestan yang ada. Di sini terkandung arti pula unsur-unsur mencampur-adukkan antara satu dengan lainnya sehingga semuanya menjadi satu. [The New American Library, 1957; Levinskaya, 1993; The College Board, 2013]. Dalam arsitektur istilah sinkretisme bentuk bisa diartikan sebagai perpaduan (mixing/amalgamation/integration/synthesis/blending/hybridization/creolization/ fusion/compound) berbagai gaya (style) dalam arsitektur, yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan, tradisi, praktek-praktek budaya, unsur-unsur asing (foreign), dan kolonialisme (kolonialism) [Noble, tt; Prijotomo, 1988; von Henneberg, 1996; Bailey, 2010; Antariksa, 2002; Edginton, 2008; Ascott, 2009; Denhere, 2010; Ali, 2013; Moinifar, 2013; Hoskins, 2014].
1.5 Pertanyaan Penelitian Permasalahan penelitian yang kemukakan pada bagian sebelumnya dapat dirumuskan ke dalam dua pertanyaan penelitian, yaitu sebagai berikut:
8
[1] Bagaimana sinkretisme bentuk yang terjadi pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga? [2] Apa makna sinkretisme bentuk yang terjadi pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga?
1.6 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian, yaitu memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, melalui langkah-langlah: [a] mengeksplorasi bentuk dan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; dan [b] mengeksplorasi seluruh relasi antara sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjidmesjid Walisanga dan fungsi-fungsi yang diwadahinya, dalam kerangka relasi fungsi-bentuk-makna arsitektur.
1.7 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian, yaitu sebagai berikut: [1] memberikan kontribusi bagi pengembangan pengetahuan teoritis dan empiris tentang sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid baik skala lokal maupun internasional; [2] memberikan kontribusi bagi pengembangan metode baru untuk memahami sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid dan maknanya; dan [3] memberikan konstribusi sebagai referensi pada perencanaan dan perancangan arsitektur mesjid di Indonesia, dengan menawarkan konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid.
9
1.8 Alur Pikir Penelitian Alur pikir penelitian dapat dijelaskan melalui langkah-langkah sebagai berikut [Gambar 1.1]: [1] mengangkat fenomena dan isu penelitian; [2] menetapkan tujuan penelitian; [3] melakukan kajian teoritis, yang meliputi pendekatan penelitian dan konsepkonsep teoritis tentang bentuk arsitektur acuan dan sinkretisme; [4] melakukan kajian empiris tentang bentuk dan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; [5] membandingkan bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan bentukbentuk arsitektur acuan; [6] menginterpretasikan langkah ke-5, untuk mendapatkan temuan dan kesimpulan yang berkaitan dengan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; [7] merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan fungsi yang diwadahinya, dalam kerangka relasi fungsi-bentuk-makna arsitektur; [8] menginterpretasikan langkah ke-7, untuk mendapatkan temuan dan kesimpulan yang berkaitan dengan makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; [9] menerapkan langkah-langkah 4 – 8 pada seluruh kasus studi (7 kasus studi); dan [10] mengonfirmasi hasil penelitian (umpan balik), yang berupa temuan dan kesimpulan, terhadap tujuan penelitian, kajian teoritis, dan kajian empiris.
10
Latar Belakang (Fenomena dan Isu) Umpan Balik Tujuan penelitian
Kajian Teoritis
Kajian Empiris
Mesjid-Mesjid Walisanga
Fungsi Arsitektur
Bentuk Arsitektur
Pendekatan Penelitian
Sinkretisme Bentuk
Umpan Balik
Konsep-konsep Teoritis
Bentuk Arsitektur Acuan
Umpan Balik Temuan dan Kesimpulan
Gambar 1.1 Diagram alur pikir penelitian.
1.9 Penentuan Kasus Studi dan Lingkup Kajian 1.9.1 Penentuan Kasus Studi Kasus studi penelitian ini adalah bangunan mesjid yang diyakini sebagai peninggalan atau ada sangkut-pautnya dengan para Walisanga, baik sebagai individu maupun kelompok yang diperkuat dengan sumber-sumber tertulis. Berdasarkan kriteria tersebut, kasus studi dalam penelitian ini, yaitu [1] Mesjid Sunan Ampel, di Surabaya; [2] Mesjid Agung Demak, di Demak; [3] Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, di Cirebon; [4] Mesjid Sunan Giri, di Gresik; [5] Mesjid Menara
11
Kudus, di Kudus; [6] Mesjid Sunan Kalijaga, di Demak; dan [7] Mesjid Sunan Muria, di Kudus [Tabel 1.1 dan Gambar 1.2].
Tabel 1.1 Kasus Studi Nama mesjid
Lokasi
Sumber tertulis
Sunan Ampel Agung Demak Agung Sang Cipta Rasa Sunan Giri Menara Kudus Sunan Kalijaga Sunan Muria
Surabaya, Jawa Timur Demak, Jawa Tengah Cirebon, Jawa Barat Gresik, Jawa Timur Kudus, Jawa Tengah Demak, Jawa Tengah Kudus, Jawa Tengah
Syamlawi (1983) Tjandrasasmita (2000) Tjandrasasmita (2000) Syamlawi (1983) Syamlawi (1983) Syamlawi (1983) Widodo (2014)
3 2 6
7 5 4
1
1 Mesjid Sunan Ampel. 2 Mesjid Agung Demak. 3 Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. 4 Mesjid Sunan Giri. 5 Mesjid Menara Kudus. 6 Mesjid Sunan Kalijaga. 7 Mesjid Sunan Muria
Gambar 1.2 Lokasi kasus studi. Sumber: Wikimapia [2015]
1.9.2 Lingkup Kajian Dalam rangka kegiatan penyebaran Islam, para Walisanga mendirikan mesjid di daerah-daerah yang menjadi lahan dakwahnya. Dengan demikian, di pulau Jawa banyak karya arsitektur mesjid muncul pada masa itu. Karya arsitektur mesjid tersebut dipenuhi dengan nilai-nilai historis dan estetika dengan coraknya yang khas.
12
Arsitektur mesjid-mesjid Walisanga sebagai perwujudan dari kebudayaan Jawa cenderung mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Perubahan yang terjadi akibat dari semakin meningkatnya faktor kemampuan dan tuntutan kebutuhan masyarakat pendukungnya telah memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Perubahan-perubahan yang terjadi mengikuti fungsi-fungsi yang diwadahinya, yang semakin berkembang mengikuti perubahan zaman. Setiap terjadi perubahan bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid walisanga, selalu dalam kerangka sinkretisme. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, sejak berdirinya hingga sekarang, bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga mengalami perkembangan terusmenerus selama ratusan tahun. Lingkup kajian adalah bentuk arsitektur mesjidmesjid Walisanga pada masa sekarang ini, yang merupakan hasil dari seluruh perkembangan yang terjadi. Pembahasan tentang mesjid-mesjid Walisanga diurutkan berdasarkan waktu berdirinya, dimulai dari bangunan mesjid yang waktu berdirinya paling awal hingga yang paling akhir, yaitu sebagai berikut: [1] mesjid Sunan Ampel; [2] mesjid Agung Demak; [3] mesjid Agung Sang Cipta Rasa; [4] mesjid Sunan Giri; [5] mesjid Menara Kudus; [6] mesjid Sunan Kalijaga; dan [7] mesjid Sunan Muria.
13
1.10 Sistematika Pembahasan Pembahasan dalam penelitian ini secara garis besar akan mengikuti alur pikir penelitian, yang terbagi atas lima Bab. Tujuh Bab merepresentasikan tema dan kasus penelitian. Bab 1, menguraikan tentang pendahuluan penelitian, yang meliputi latar belakang, permasalahan, premis dan tesa kerja, pengertian sinkretisme, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, alur pikir penelitian, penentuan kasus studi dan lingkup kajian, dan sistematika pembahasan. Bab 2, membahas tentang pendekatan dan metode penelitian, yang meliputi pendekatan penelitian terdahulu dan posisi studi, dan membangun kerangka konseptual. Dalam bagian ini, pendekatan penelitian terdahulu dipetakan, dan kemudian memosisikan penelitian ini. Kerangka
konseptual
dibangun
melalui
langkah-langkah:
pertama,
mengeksplorasi pendekatan penelitian, dan kedua, mengelaborasi konsep-konsep teoritis. Eksplorasi pendekatan penelitian yang digunakan, yaitu pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur, dan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur. Elaborasi konsep-konsep teoritis meliputi bentuk arsitektur acuan, sinkretisme agama Islam Kejawen dan akulturasi. Bab 3, menjelaskan (eksplanasi) bentuk dan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Penjelasan tentang bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga meliputi penjelasan tentang lokasi, perkembangan bentuk dalam latar sejarah, dan bentuk arsitektur mesjid masa sekarang. Penjelasan tentang bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga pada masa sekarang dilakukan secara rinci, yaitu meliputi: bangunan menara, tempat wudlu, serambi, ruang utama dan dalam,
14
pawestren, dan bangunan-bangunan yang berada di area makam. Bentuk-bentuk arsitektur tersebut merupakan wadah kegiatan fungsi-fungsi arsitektur mesjidmesjid Walisanga. Fungsi-fungsi mesjid dikelompokkan ke dalam fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam. Pengelompokan fungsi-fungsi tersebut berdasarkan kekhasan mesjid-mesjid Walisanga. Salah satu kekhasan mesjid-mesjid Walisanga adalah keberadaannya menjadi satu kompleks dengan makam, atau disangkutpautkan dengan para wali atau tokoh yang dihormati. Fungsi ritual makam, yang berupa kegiatan ziarah, terjadi karena adanya makam para wali atau tokoh yang dihormati tersebut. Bab 4, memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga melalui kegiatan analisis dan interpretasi, yang berdasarkan pada kerangka konseptual terbangun. Langkah-langkah yang dilakukan untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga adalah sebagai berikut: [1] menentukan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang dianalisis dan dinterpretasi; [2] membuka pelingkup bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; [3] membandingkan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan bentuk-bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan; [4] menganalisis dan menginterpretasi proses perbandingan; dan [5] menginterpretasi makna.
15
Bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang terhadapnya dilakukan analisis dan interpretasi, yaitu sebagai berikut: [1] ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel; [2] ruang utama mesjid Agung Demak; [3] ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa; [4] ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri; [5] ruang utama mesjid Menara Kudus; [6] ruang utama mesjid Sunan Kalijaga; dan [7] ruang utama mesjid Sunan Muria; Pemahaman makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga menitik-beratkan pada hasil penerapan kerangka konseptual pada seluruh kasus studi. Kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan terhadap ekspresi bentuk pelingkup ruang, yang terdiri atas: pelingkup bawah (lantai), pelingkup samping (dinding), dan pelingkup atas (atap), yaitu dengan cara membuka ketiga pelingkup bentuknya. Kegiatan pembukaan menurut ketiga pelingkup bentuknya dilakukan berdasarkan pendekatan interpretasi hermeneutika Paul Ricoeur. Kegiatan interpretasi untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dilakukan dengan menggunakan bantuan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur. Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga direlasikan dengan fungsi-fungsi yang diwadahinya. Dari relasi tersebut akan dipahami maknanya.
16
Bab 5, menjelaskan temuan dan menyimpulkan hasil penelitian. Temuan penelitian adalah hasil analisis dan interpretasi pada seluruh kasus studi. Kesimpulan penelitian adalah jawaban dari pertanyaan penelitian. Temuan-temuan penelitian, yaitu meliputi: [1] metode baru untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; [2] konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; dan [3] dominasi sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Kesimpulan penelitian, yaitu berupa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian, yaitu pertama, tentang sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dan kedua tentang maknanya.
BAB 2 PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN: MEMBANGUN KERANGKA KONSEPTUAL
2.1 Penelitian Terdahulu dan Posisi Studi Sinkretisme sejauh ini banyak dikaji dalam lingkup agama dan kebudayaan material. Sementara kajian tentang sinkretisme dalam lingkup arsitektur tidak banyak dilakukan. Kajian tentang relasi agama Islam dan paham Kejawen dalam kerangka sinkretisme telah banyak dilakukan oleh para ahli dengan menggunakan pendekatan yang beragam. Kajian-kajian yang dilakukan ditengarai mewakili dua pandangan. Pandangan pertama, berpendapat bahwa sinkretisme agama Islam Kejawen terjadi dengan cara paham Kejawen mentransformasi agama Islam, artinya terjadi dominasi paham Kejawen terhadap agama Islam. Clifford Geertz menjadi tokoh utama dalam pandangan ini. Dengan menggunakan pendekatan antropologi interpretatif, Geertz membagi agama Jawa menjadi tiga varian, yaitu abangan, santri, dan priyayi. Menurut pandangan Geertz, agama Islam di Jawa tidak pernah menyusun sebuah bangunan peradaban [Geertz, 1960]. Pandangan ini diikuti oleh Andrew Beatty. Dengan menggunakan pendekatan antropologi agama, Beatty memberikan pandangan bahwa apa yang terjadi di Jawa adalah sinkretisme agama, di mana paham Kejawen lebih dominan. Corak agama Islam di Jawa merupakan pemaduan dari berbagai unsur yang telah menyatu sehingga tidak bisa lagi dikenal sebagai Islam [Beatty, 2001].
17
18
Pandangan kedua, berpendapat bahwa sinkretisme agama Islam Kejawen terjadi dengan cara agama Islam mentransformasi paham Kejawen, artinya terjadi dominasi agama Islam terhadap paham Kejawen. Salah satu tokoh yang memiliki pandangan ini adalah Mark R. Woodward. Dengan menggunakan pendekatan antropologi agama, Woodward memiliki pandangan bahwa agama Islam memiliki peran besar dalam mentransformasi paham Kejawen. Hal ini tercermin dalam literatur Jawa seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Centhini, yang sangat kuat dipengaruhi agama Islam. Dalam pandangan Woodward, agama Islam di Jawa bukanlah agama Islam yang menyimpang, melainkan merupakan varian agama Islam sebagaimana ditemukan di tempat lain. [Woodward, 1999]. Mitsuo Nakamura, dengan menggunakan pendekatan sosiologi agama, juga berpandangan sama, yang intinya bahwa sinkretisme Islam Kejawen adalah agama Islam yang menyerap tradisi Kejawen. Islamisasi Jawa bukanlah peristiwa sejarah yang paripurna tetapi suatu proses yang terus berlangsung. [Nakamura, 1983]. Dalam lingkup kebudayaan material, kajian tentang mesjid-mesjid di Nusantara telah banyak dilakukan. Kajian paling awal, yang menyinggung tentang bentuk mesjid di Nusantara dilakukan oleh Snouck Hurgronje, seorang penasehat Belanda tentang urusan-urusan Arab dan bumiputra. Hurgronje, dengan menggunakan pendekatan politik agama, memaparkan ciri khas bangunan mesjid di Hindia Timur (Nusantara). Ciri khas mesjid-mesjid di Nusantara terutama adalah atapnya yang berumpak-umpak, terdiri dari dua atau empat lapisan yang berujung runcing bagian atasnya. Dahulu pada umumnya bahan atap itu terbuat dari tanaman yang dipergunakan bagi atap rumah-rumah setempat, yaitu daun-daunan atau seratserat dari pelbagai jenis palem atau sirap. [Hurgronje, 1973].
19
Dalam konteks percampuran, seorang arkeolog Belanda bernama W.F. Stutterheim, dengan menggunakan pendekatan arkeologi budaya, menyebutkan bahwa bentuk mesjid Jawa diturunkan dari bentuk bangunan besar tempat sabung ayam di Bali yang disebut wantilan. Bangunan ini, denahnya persegi empat, mempunyai atap dan sisi-sisinya tidak berdinding. Apabila sisi-sisinya ditutup dan pada bagian barat diberi mihrab maka jadilah ia memenuhi syarat sebagai bangunan mesjid. [Stutterheim, 1927]. Peneliti Belanda, G.F. Pijper, dengan menggunakan pendekatan sosiologi agama, menyebutkan bahwa mesjid tipe Jawa bukan merupakan bangunan asing yang dibawa ke negeri ini oleh mubaligh muslim dari luar, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan secara Islam. Atap mesjid yang terdiri dari beberapa tingkat yang meruncing dan dipuncaknya terdapat hiasan, jelas menunjukkan zaman sebelum Islam. Bentuk atap ini terdapat pada banyak bangunan yang tidak mempunyai hubungan dengan Islam. Hal ini harus dikembalikan kepada bangunan meru di Bali. [Pijper, 1992]. Sejarawan Belanda bernama H.J. de Graaf, dengan menggunakan pendekatan sejarah politik, menjelaskan bahwa persamaan yang terdapat dalam hal atap bertingkat, antara mesjid-mesjid di Malabar, Gujarat, dan bahkan di Kashmir, sungguh mencolok. Bukti yang memperkuat pendapat Graaf adalah hasil telaahnya atas uraian dan gambar yang dibuat oleh Jan Huygens van Linschoten, seorang Belanda yang mengunjungi India pada abad ke-16 Masehi, tentang mesjid di Malabar yang mempunyai denah segi empat dan beratap tingkat. Salah satu tingkat tersebut digunakan untuk belajar agama. Hal demikian ditemukan juga oleh de Graaf pada mesjid Taluk di Sumatra Barat. Lebih lanjut, de Graaf menduga bahwa
20
terdapat kaitan antara bentuk mesjid di Jawa dengan bentuk bangunan peribadatan lainnya (seperti pagoda) di daratan Asia Tenggara. [de Graaf, 1985]. Sutjipto Wirjosuparto, ilmuwan Indonesia, dengan menggunakan pendekatan sosiologi budaya, mengemukakan gagasan bahwa model mesjid kuno di Nusantara berasal dari bangunan tradisional Jawa, yaitu pendopo. Denah pendopo yang berbentuk bujur sangkar menjadi alasan bagi Wirjosuparto untuk menduganya sebagai model mesjid-mesjid tua di Nusantara. Mengenai atap tumpang, dapat diwakili oleh bangunan Jawa lainnya, yaitu joglo. [Depdikbud, 1998]. Ilmuwan Indonesia lainnya, Soekmono dan Uka Tjandrasasmita, dengan menggunakan pendekatan sejarah kebudayaan, memiliki pandangan yang hampir sama bahwa atap tumpang pada mesjid tipe Jawa mungkin dapat dianggap sebagai bentuk perkembangan dari dua unsur yang berlainan, yaitu atap candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu bersusun (berundak-undak), dan pucuk stupa yang berbentuk susunan payung-payung terbuka. Bentuk mesjid di Jawa memiliki keterkaitan dengan bentuk bangunan peribadatan yang sudah ada sebelumnya, yaitu bangunan candi di Jawa. [Soekmono, 1973; Tjandrasasmita, 2000]. Dalam lingkup arsitektur, penelitian tentang sinkretisme dalam arsitektur pernah dilakukan oleh Ismudiyanto dan Parmono Atmadi, dengan tiga kasus studi, yaitu mesjid Agung Demak, Mantingan, dan mesjid Menara Kudus. Ismudiyanto dan Parmono Atmadi, dengan menggunakan pendekatan arsitektur, berpendapat bahwa disain dan konstruksi bangunan mesjid pada dasarnya mengambil bentuk bangunan tradisional Jawa. Sementara, bentuk atap bangunan mesjid yang berupa tajug tumpang ganjil adalah mengambil bentuk bangunan peribadatan agama Hindu (meru). [Ismudiyanto, 1987].
21
Penelitian atau kajian yang pernah dilakukan dapat dipetakan dalam bentuk tabel, yang penyusunannya berdasarkan urut-urutan tahun penerbitan [Tabel 2.1].
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No.
Judul
Fokus
Pendekatan
Lingkup
1. Moskee-Onderzoek in den Archipel [Stutterheim, 1927]
Asal mula mesjid di Jawa
Arkeologi Budaya
Kebudayaan Material
2. The Religion of Java [Geertz, 1960]
Varian agama Jawa: abangan, santri, priyayi
Antropologi Interpretatif
Agama di Jawa
3. Islam di Hindia Belanda [Hurgronje, 1973]
Kehidupan umat Islam di Hindia Belanda (Nusantara)
Politik Agama
Kebudayaan
4. Pengantar Sejarah Kebudayaan 3 [Soekmono, 1973]
Kebudayaan Islam
Sejarah Kebudayaan
Kebudayaan Material
4. The Crescent Arises over the Banyan Tree [Nakamura, 1983]
Sejarah dan etnografi Muhammadiyah
Sosiologi Agama
Agama Islam di Jawa
5. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa [Graaf, 1985]
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
Sejarah Politik
Kebudayaan
6. Demak-Kudus-Jepara Mosque : A Study of Architectural Syncretism [Ismudiyanto, 1987]
Sinkretisme dalam arsitektur mesjid
Arsitektur
Arsitektur
7. Empat Penelitian tentang Agama Islam di Indonesia 1930-1950 [Pijper, 1992]
Kehidupan Muslim dan sarananya di Indonesia
Sosiologi Agama
Kebudayaan
8. Mesjid Kuno Indonesia [Depdikbud, 1998]
Deskripsi mesjid kuno di Indonesia
Sosiologi Budaya
Kebudayaan Material
9. Islam Jawa [Woodward, 1999]
Kesalehan normatif Vs kebatinan
Antropologi Agama
Agama di Jawa
10. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia abad dari Abad XIII sampai XVIII Masehi [Tjandrasasmita, 2000]
Sejarah kota-kota di Indonesia
Sejarah Kebudayaan
Kebudayaan Material
Antropologi Agama
Agama di Jawa
11. Variasi Agama di Jawa [Beatty, 2001] Variasi agama Jawa
22
Penelitian ini memosisikan diri pada lingkup arsitektur dan berfokus pada makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dengan menggunakan pendekatan spesifik, yaitu gabungan pendekatan interpretatif hermeneutika dengan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur. Kasus studi dalam penelitian ini meliputi tujuh mesjid, yaitu mesjid Sunan Ampel, Agung Demak, Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Giri, Menara Kudus, Sunan Kalijaga, dan mesjid Sunan Muria. Penelitian ini merupakan hal yang relatif baru dan menempatkannya pada posisi yang berbeda dibandingkan dengan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
2.2 Membangun Kerangka Konseptual Kerangka konseptual dapat dibangun melalui langkah-langkah: pertama, mengeksplorasi pendekatan penelitian, dan kedua, mengelaborasi konsep-konsep teoritis. Eksplorasi pendekatan penelitian meliputi: [1] pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur; dan [2] pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur. Elaborasi konsep-konsep teoritis meliputi: [1] bentuk arsitektur acuan lokal dan non lokal; [2] sinkretisme agama Islam Kejawen; dan [3] akulturasi.
2.2.1 Eksplorasi pendekatan penelitian Dalam kegiatan analisis dan interpretasi, penelitian ini menggunakan bantuan pendekatan, yaitu gabungan pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur dan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur.
23
[1] Pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur Pemahaman makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga melibatkan konsep-konsep sinkretisme agama Islam Kejawen, sehingga akan membutuhkan penafsiran. Pendekatan yang relevan untuk memahaminya adalah interpretasi hermeneutika. Hermeneutika dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata 'hermeneutika' itu sendiri berasal dari kata kerja Yunani hermeneuien, yang memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan, atau menerjemahkan. Pada mulanya, hermeneutika digunakan untuk menafsirkan kitab suci (Injil). Namun kemudian, proses interpretasi menjadi jauh lebih umum dari sekedar mencari makna dari sebuah teks kitab suci. Seorang tokoh yang dikenal sebagai bapak hermeneutika modern adalah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher. Menurut Schleiermacher, tugas hermeneutika adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik dari pada memahami diri sendiri. Tokoh hermeneutika lainnya adalah Wilhelm Dilthey, yang menyatakan bahwa hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah berhenti pada satu masa saja, melainkan selalu berubah menurut modifikasi sejarah. [Martin, 1972; Sumaryono, 1999; Palmer, 2005]. Menurut Jurgen Harbemas, pemahaman hermeneutika melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan, yaitu : linguistik (bahasa), tindakan dan pengalaman. Tentang linguistik (bahasa), Habermas mengatakan bahwa ekspresi atau ungkapan dapat dipisahkan dari konteks kehidupan konkrit jika tidak berhubungan dengan bagian-
24
bagian khusus dalam konteks tersebut. Dalam hal ini ekspresi linguistik (bahasa) muncul dalam bentuknya yang absolut, yaitu yang menggambarkan pemahaman monologis. Habermas membicarakan tentang pemahaman monologis atas makna, yaitu pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa murni, seperti misalnya bahasa simbol. Karenanya hermeneutika adalah pemahaman tentang makna yang mampu mengartikan hubungan-hubungan simbol sebagai hubungan antar fakta. Kemudian tentang tindakan, Habermas menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan hermeneutika bekerja pada tingkat tindakan komunikatif. Dengan kata lain, pada saat interpreter (orang yang memahami) membuat analisis, ia tetap pada tingkatan tindakan komunikatif, sehingga analisisnya akan bersifat dialogal. Pada kelas pengalaman, Habermas menerangkan, terutama dalam reaksi tubuh manusia yang berupa kecenderungan yang
tidak
dicetuskan
atau
sebagai
ungkapan
nonverbal,
interpreter
memperhitungkan hal-hal itu sebagai salah satu bentuk atau jenis pemahaman. Linguistik (bahasa) dan pengalaman, dalam logika Habermas, harus masuk ke dalam dialektik dengan tindakan. Oleh karena itu, bila kita hendak membuat interpretasi yang benar dan tepat, kita harus mengupayakan dialog antara linguistik (bahasa) dan pengalaman di satu sisi dengan tindakan di sisi lain (Sumaryono, 1999:91-95). Dalam perkembangan terakhir, tokoh yang paling mengemuka dalam bidang hermeneutika adalah Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur, hermeneutika adalah ilmu tetang interpretasi makna teks. Setiap interpretasi adalah usaha untuk mengungkap makna-makna yang masih terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam teks. Dalam memahami makna
25
teks dapat melalui dua tahap, yaitu tahap pertama, eksplanasi, dan tahap kedua, interpretasi. Tahap eksplanasi dilakukan untuk memahami makna statisnya (makna fungsional), dan tahap interpretasi dilakukan untuk memahami makna dinamisnya, yang bersifat multi-interpretable. [Ghasemi, 2011; Sitinjak, 2011; Ricoeur, 2012]. Ricoeur menganggap bahwa sebuah teks memiliki kemandirian dan totalitas, yang dicirikan oleh empat hal: [a] dalam teks makna yang terdapat pada apa yang dikatakan terlepas dari proses pengungkapannya; [b] makna sebuah teks tidak lagi terikat kepada pembicara; [c] sebuah teks tidak lagi terikat oleh konteks semula; dan [d] sebuah teks tidak lagi terikat kepada audiens awal. [Ricoeur, 2012]. Dalam penelitian ini terdapat kendala-kendala yang bisa menggangu proses penyelesainnya, yaitu pertama, data-data tentang bentuk fisik bangunan mesjidmesjid Walisanga pada periode awal dan perkembangannya sulit didapatkan, dan kedua, keberadaan mesjid-mesjid Walisanga dan pendirinya (para Walisanga) diselimuti dengan mitos dan dongeng. Oleh Karena itu, penelitian ini berfokus pada bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dalam keadaannya sekarang ini. Pendekatan interpretasi hermeneutika yang paling relevan adalah hermeneutika yang digagas oleh Paul Ricoeur. Berdasarkan pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur, maka fungsi dan bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dapat dianggap sebagai teks yang otonom. Fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dianggap sebagai tindakan yang otonom, artinya ia: [a] terlepas dari proses tindakan itu dilakukan; [b] tidak lagi terikat kepada orang-orang yang melakukan tindakan itu; dan [c] tidak lagi terikat oleh konteks awal saat tindakan itu dilakukan.
26
Bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dianggap sebagai bentuk yang otonom, artinya ia: [a] terlepas dari proses pendiriannya; [b] tidak lagi terikat kepada tokoh-tokoh Walisanga sebagai pendirinya; dan [c] tidak lagi terikat oleh konteks awal pendiriannya. Berdasarkan elaborasi pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur, maka proses penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pertama, tahap eksplanasi bentuk dan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dan kedua, tahap analisa dan interpretasi makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga [Gambar 2.1]. Kegiatan analisis tidak dipisahkan dari kegiatan interpretasi, karena pada pelaksanaannya, kedua kegiatan tersebut tidak bersifat linier, tapi saling melengkapi dan memperkuat satu dengan lainnya. Kegiatan analisis membutuhkan interpretasi, dan sebaliknya, kegiatan interpretasi membutuhkan analisis.
EKSPLANASI
ANALISIS & INTERPRETASI
Eksplanasi Bentuk dan Fungsi Arsitektur MesjidMesjid Walisanga
Makna Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga
Tahap pertama
Tahap kedua
Gambar 2.1 Diagram tahapan pemahaman makna berdasarkan elaborasi hermeneutika Ricoeur . Dalam kegiatan analisis dan interpretasi makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, menggunakan pendekatan gabungan, yaitu pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur dan pendekatan relasi fungsi-bentukmakna dalam arsitektur.
27
[2] Pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur Relasi fungsi-bentuk-makna merupakan salah satu tema penting dalam kajian arsitektur. Diawali oleh Marcus Vitruvius Pollio (sekitar abad pertama SM), yang menyebutkan bahwa semua bangunan harus dibangun dengan mengacu kepada: durability (firmitas), convenience (utilitas), dan beauty (venustas) [Morgan, 1914]. [Gambar 2.2a]. Trium Vitruvius tersebut kemudian diuji oleh David Smith Capon. Capon menyimpulkan, terdapat enam kategori dalam prinsip-prinsip arsitektur (principles of good architecture), yang dikelompokkan ke dalam primary dan secondary categories, yaitu : function, form, meaning sebagai primary categories, dan context, construction, spirit sebagai secondary categories. [Capon, 1999]. [Gambar 2.2b]. Purnama Salura dan Bachtiar Fauzy mengembangkan konsep perputaran fungsi-bentuk-makna. Setiap produk disain arsitektural harus mengutamakan unsur-unsur fungsi-bentuk-makna. Ketiga unsur membentuk bangun segitiga, yang selalu dalam keadaan berubah (berputar) [Salura, 2012]. Konsep ini menunjukkan bahwa arsitektur selalu mengalami pengubahan. [Gambar 2.2c]. Dalam penelitian ini, arsitektur dipahami sebagai relasi aspek fungsi-bentukmakna dalam bangun segitiga yang selalu dalam keadaan berelasi antara aspek satu dengan lainnya. Relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur digunakan sebagai pendekatan teoritis untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi arsitektur mesjidmesjid Walisanga. Bentuk yang dimaksud adalah sinkretisme bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Makna yang dimaksud adalah makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. [Gambar 2.2d].
28
Gambar 2.2 Diagram konsep relasi aspek-aspek dalam arsitektur menurut Vitruvius, Capon, salura dan Fauzy, dan konsep yang digunakan dalam penelitian.
Kegiatan analisis dan interpretasi makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, berdasarkan elaborasi pendekatan otonomi teks Ricoeur dan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, dilakukan melalui langkahlangkah sebagai berikut [Gambar 2.3]: [1] menentukan bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang akan dianalisis dan diinterpretasi. [2] membuka pelingkup bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, yaitu pelingkup bawah, samping, dan atas. Pelingkup bentuk arsitektur ini dianggap sebagai teks yang otonom.
29
[3] membandingkan bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkup bentuk arsitekturnya. [4] menganalisis dan menginterpretasi langkah ke-3, untuk memahami sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. [5] merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan fungsi yang diwadahi, berdasarkan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur. [6] menganalisis dan menginterpretasi langkah ke-5, untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga.
Bentuk Arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, yang dianalisis dan diinterpretasi
Fungsi Arsitektur mesjid-mesjid Walisanga
2
Pelingkup Bawah Pelingkup Samping Pelingkup Atas
Pendekatan Hermeneutika Ricoeur
1 3
Bentuk Arsitektur Acuan berdasarkan pelingkupnya
4
Makna Sinkretisme Bentuk
Sinkretisme Bentuk
6 Pendekatan Relasi Fungsi-Bentuk-Makna
5 Fungsi
Gambar 2.3 Diagram langkah-langkah interpretasi makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan menggunakan pendekatan interpretasi Ricoeur dan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur.
30
2.2.2 Elaborasi konsep-konsep teoritis [1] Bentuk arsitektur acuan: lokal dan non lokal Bentuk arsitektur acuan adalah bentuk arsitektur bangunan keagamaan yang pernah hadir dan menjadi bagian dari sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia, khususnya di Jawa, yang diduga menjadi acuan dalam proses sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Bentuk-bentuk arsitektur bangunan keagamaan dijadikan bentuk-bentuk arsitektur acuan dalam penelitian ini, karena konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur melibatkan unsur kesakralan. Sinkretisme bentuk pada arsitektur berkait erat dengan Yang sakral. Yang sakral identik dengan hal-hal yang bersifat keilahian (ketuhanan) dan transenden. Semua agama yang dianut manusia di muka bumi ini berurusan dengan penghambaan dirinya kepada Tuhan yang berada di tempat yang tidak terjangkau (transenden). Tempat yang tidak terjangkau ini identik dengan Yang di atas. Yang di atas merupakan orientasi, oleh karenanya Yang sakral memberikan syarat adanya sebuah orientasi. [Eliade, 1959; Akkach, 2005]. Bangunan keagamaan adalah bangunan yang sakral. Bangunan keagamaan, seperti candi, mesjid, dan gereja dapat dianggap sebagai bangunan sakral. Bangunan candi memiliki orientasi memusat dan ke atas; ia sebagai tiruan karya arsitektur surga, yang memiliki eksistensi spiritual surgawi dan abadi. Mesjid memiliki orientasi ke arah Kabah di Mekah dan ke atas. Keberadaan mihrab berbentuk ceruk pada bangunan mesjid menunjukkan arah Kabah. Kabah adalah pusat orientasi umat Islam dalam kegiatan ritualnya (ritual shalat). Langit di atas Kabah dianggap sebagai yang paling sakral. Gereja memiliki orientasi ke empat arah mata angin dan ke atas. Keempat bagian interior gereja
31
menyimbolkan empat arah mata angin. Pada zaman perkembangan arsitektur Gothik, bentuk bangunan gereja dibangun menjulang tinggi untuk menunjukkan kepada sesuatu yang tinggi dan transenden. [Eliade, 1959; van de Ven, 1991; Akkach, 2005]. Bentuk arsitektur acuan dibedakan atas dua bentuk, yaitu bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Berikut uraian tentang bentuk arsitektur acuan lokal dan non lokal. [a] Bentuk arsitektur acuan lokal Bentuk arsitektur lokal adalah bentuk arsitektur bangunan keagamaan yang memiliki ekspresi bentuk lokal, yang merupakan hasil olah pikir masyarakat lokal (masyarakat Jawa), yang sudah ada sejak sebelum datangnya pengaruh dari luar. Bentuk arsitektur lokal sudah ada sebelum kehadiran mesjid-mesjid walisanga, dan diduga menjadi acuan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Pada zaman permulaan sejarah di Indonesia pada umumnya dan Jawa khususnya, masyarakat Jawa telah memiliki sejumlah arsitektur lokal yang ditradisikan dan menjadi arsitektur tradisional [Roesmanto, 2007]. Arsitektur tradisonal Jawa, yang sudah dimiliki oleh masyarakat Jawa sejak ribuan tahun yang lalu, merupakan local genius, yang selalu berkembang dan secara terus menerus menuju kesempurnaan dalam bentuk arsitektur rumahnya. Pada
prinsipnya
bentuk
arsitektur
rumah
tradisional
Jawa
dapat
dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu panggang-pe, kampung, tajug atau mesjid, limasan, dan joglo [Ismunandar,1990]. Rumah tipe panggang-pe sebenarnya tidak ada di dalam naskah-naskah lama kesusasteraan Jawa sebelum abad ke-20 Masehi,
32
namun demikian tipe ini bisa ditemukan dalam relief percandian Jawa Tengah yang hadir sebelum abad ke-10 Masehi [Prijotomo,1995]. [Gambar 2.4].
a.panggang-pe
b.kampung
c.tajug
d.limasan
e.joglo
Gambar 2.4 Tipe-tipe rumah tradisional Jawa. Sumber: Dakung [1998]
Bentuk rumah tinggal tradisional Jawa, pada umumnya meliputi tiga tipe, yaitu kampung, limasan dan joglo. Sementara tipe panggang-pe tidak ditemukan pada bentuk rumah tinggal, dan tipe tajug atau mesjid, pada umumnya ditemukan pada bentuk cungkup (bangunan di atas makam) dan tempat peribadatan kaum muslim (mesjid). Rumah tipe kampung merupakan tipe paling sederhana. Bagian ruang tengah yang paling tinggi memiliki kerangka dengan empat atau enam tiang. Apabila ada tambahan ruang di samping kanan dan kirinya, maka ditambahkan tiang-tiang yang lebih kecil. Di atas bagian ruang tengah ditutup dengan atap berbentuk pelana atau sering dikenal dengan bentuk kampung, dengan kemiringan yang agak curam. Sementara pada ruang di kanan dan kirinya ditambahkan penutup atap yang dipasang dengan kemiringan yang tidak curam.
33
Bentuk tipe limasan, prinsipnya sama dengan tipe kampung, hanya saja pada ruang bagian tengah ditutup dengan atap bentuk perisai atau sering dikenal dengan bentuk limasan. Rumah tipe limasan adalah rumah bagi keluarga yang lebih kaya atau lebih tinggi strata sosialnya dibandingkan dengan keluarga penghuni rumah tipe kampung. Bentuk atap limasan, pada beberapa kasus juga digunakan pada bangunan sakral. Cungkup makam Fatimah binti Maimun, seorang muslimah yang hidup pada zaman permulaan Islam pada abad ke-15 Masehi, di daerah Gresik, Jawa Timur, memiliki atap bentuk limasan. Demikian juga dengan Cungkup utama pada kompleks makam kerajaan Mataram Islam di Kotagede, Yogyakarta, yang dibangun sekitar abad ke-16 M, atapnya berbentuk limasan. [Gambar 2.5].
a.Cungkup makam Fatimah binti Maimun di Gresik, Jawa Timur
b. Cungkup utama makam kerajaan Mataram Islam di Kotagede, Yogyakarta
Gambar 2.5 Bentuk atap limasan pada cungkum makam tua.
Dalam penelitian ini, bangunan bentuk limasan, dikategorikan sebagai bangunan keagamaan, karena ia bersifat sakral, dan diduga menjadi acuan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga.
34
Bentuk tipe joglo dianggap paling bagus dan sempurna, dihuni oleh keluarga kaya atau paling tinggi strata sosialnya, seperti kaum ningrat dan keluarga raja. Pada ruang bagian tengah ditutup dengan atap bentuk limasan yang agak tinggi dan curam (lebih tinggi dan curam dibandingkan dengan rumah tipe limasan), dibangun di atas empat tiang utama (soko guru). Pada sisi kanan-kiri dan depan-belakang ada tambahan ruang-ruang yang ditutup dengan atap yang lebih mendatar yang dibangun di atas tiang-tiang yang lebih kecil (soko pengarak). Pada ruang bagian tengah, di bawah atap, pada umumnya ditambahkan susunan balok yang dikenal dengan tumpang sari. Bangunan dengan atap bentuk tipe tajuk dianggap sebagai bangunan suci atau sakral oleh sebagian besar masyarakat Jawa, sehingga lebih banyak digunakan pada bangunan cungkup makam tokoh-tokoh yang dihormati dan bangunan mesjid. Atap tajuk menaungi denah ruang berbentuk bujur sangkar. Keempat bidang miring pada bentuk atapnya bertemu di satu titik puncak yang memberikan simbol ketuhanan yang maha tinggi. Seperti pada atap tipe joglo, atap tipe tajug dibangun di atas konstruksi tiang-tiang soko guru. Bangunan cungkup makam para wali di Jawa memiliki atap bentuk tajuk, diantaranya adalah cungkup makam Sunan Bonang di Tuban dan makam Sunan Drajat di Lamongan, yang dibangun sekitar abad ke-16 M. [Gambar 2.6]. Bangunan bentuk tajuk diduga menjadi acuan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Dalam penelitian ini, bentuk bangunan tajuk dan limasan dianggap sebagai arsitektur bangunan keagamaan yang memiliki ekspresi bentuk arsitektur lokal, sehingga dapat dikelompokkan ke dalam bentuk arsitektur acuan lokal.
35
a.Cungkup makam Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur
b.Cungkup makam Sunan Drajat di Lamongan, Jawa Timur
Gambar 2.6 Bangunan tajuk pada cungkup makam Sunan Bonang dan makam Sunan Drajat.
[b] Bentuk arsitektur acuan non lokal Bentuk arsitektur non lokal adalah bentuk arsitektur bangunan keagamaan yang memiliki ekspresi bentuk arsitektur non lokal (berasal dari luar Indonesia), yang diduga menjadi acuan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Bentuk arsitektur non lokal, ada yang sudah hadir sebelum keberadaan mesjidmesjid Walisanga, dan ada yang hadir sesudahnya. Dalam proses sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, bentuk-bentuk arsitektur bangunan keagamaan non lokal yang ditengarai menjadi acuan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga adalah sebagai berikut: [a] candi Hindu/Budha Jawa; [b] mesjid Nabawi pada periode awal; [c] gereja kolonial; [d] mesjid Pan Islamisme; dan [e] mesjid modern. Candi Hindu/Budha Jawa Bangunan candi Hindu/Budha sudah hadir di pulau Jawa sebelum keberadaan mesjid-mesjid Walisanga. Dalam perkembangannya, bentuk arsitektur percandian
36
Hindu/Budha di Jawa mengalami proses akulturasi. Pada masa permulaan, bentuk arsitektur candi Hindu/Budha di Jawa menunjukkan ada penggunaan seni bangunan India (sebagai negeri asal Hinduisme), seperti bentuk arsitektur candi Bima di Dieng (650 – 750 Masehi) yang serupa dengan bentuk arsitektur kuil di India Selatan. Gaya candi India Selatan atap seperti limas ditumpuk, pada atapnya ada relung-relung atau ceruk-ceruk dan dihias dengan kubah-kubah maupun ada serambi di depan ruangan. Perkembangan berikutnya yang bergeser ke arah lokal diperlihatkan oleh candi Arjuna (abad ke-8 M). [Gambar 2.7].
a.Candi Bima di kompleks percandian Dieng, Wonosobo
a.Candi Galganatha di kompleks percandian Pattadakal, India Selatan
Gambar 2.7 Perbandingan candi Bima dengan candi di India Selatan.
Pada masa berikutnya, local genius dalam perancangan bentuk arsitektur percandian Hindu/Budha di Jawa secara berangsur cenderung menguat dan menentukan sehingga pada akhirnya pengaruh India menjadi sangat berkurang. Salah satu contoh yang monumental adalah candi Borobudur (750 – 800 Masehi). Candi Borobudur berbentuk teras berundak yang merupakan hasil kebudayaan megalitikum, yaitu punden berundak. Kebudayaan punden berundak
37
sering dihubungkan dengan kepercayaan animisme/dinamisme atau pemujaan leluhur, bukan pemujaan dewa-dewa seperti halnya dalam Hinduisme. Gejala ini menunjukkan local genius yang semakin menguat dan menentukan dalam proses akulturasi. [Suwaryadi, 1981; Paeni, 2009]. [Gambar 2.8].
a. Denah candi Borobudur
d. Perspektif candi Borobudur
Gambar 2.8 Candi Borobudur. Sumber: Bullough [1995]
Kompleks percandian Hindu/Budha di Jawa pada umumnya memiliki pintu gerbang berbentuk gapura paduraksa (tertutup pada bagian atasnya) dan bentar (terbuka pada bagian atasnya). Gapura memiliki fungsi sebagai pintu masuk ke dalam kompleks percandian atau pintu masuk ke dalam zona-zona dalam kompleks percandian. Gapura paduraksa dapat dijumpai pada kompleks percandian Ratu Boko, Klaten, Jawa Tengah (abad ke-8), dan pada candi Plumbangan, di Blitar, Jawa Timur (abad ke14). Peninggalan percandian Ratu Boko dan Plumbangan hanya menyisakan bangunan gapura, sementara bangunan candinya sudah tidak ada. Gapura bentar
38
dapat dijumpai pada kompleks percandian Ceto, Karanganyar, Jawa Tengah (abad ke-15). [Gambar 2.9].
b. Gapura bentar dalam a. Gapura paduraksa dalam kompleks percandian Ratu Boko kompleks percandian Ceto
c. Gapura paduraksa candi Plumbangan, Blitar
Gambar 2.9 Gapura paduraksa dan bentar dalam kompleks percandian Hindu/Budha.
Mesjid Nabawi Awal Konsep mesjid dalam Islam mengacu pada konsep mesjid Nabawi pada masa awalnya, karena Islam sendiri tidak memberikan konsep baku pada rancangan sebuah mesjid. Mesjid Nabawi yang didirikan pada permulaan penyebaran Islam di Madinah, Arab Saudi, sekitar abad ke-7 Masehi, menjadi acuan dasar dalam perencanaan dan perancangan bangunan mesjid di negeri-negeri di luar Jazirah Arab, termasuk di Indonesia. Di dalam masyarakat Islam mesjid berkedudukan sebagai pusat pengarahan mental spiritual dan fisik material, sekaligus pula merupakan tempat beribadah. Moral, akhlak dan tradisi Islam yang merupakan bagian dari intisari agama terjalin erat di dalam mesjid dengan kewajiban shalat dan dengan barisan shafnya yang teratur rapi. [Al-Ghazaliy, tt; Gazalba, 1962; Direktorat Perlindungan dan
39
Pembinaan Peningggalan Sejarah dan Purbakala Ditjen Kebudayaan Depdikbud, 1999]. Bangunan mesjid Nabawi mula-mula terdiri dari dinding bujur sangkar yang membentuk lapangan terbuka (sahn), dan serambi sepanjang dinding keliling yang diberi atap (al-maghatta). Al-maghatta yang terletak pada arah kiblat dibuat lebih luas karena sebagai tempat berkumpulnya jamaah. Al-maghatta yang berada pada arah kiblat ini dikenal pula dengan zulla. Mihrab yang jadi tanda arah kiblat terletak di bagian depan, dibuat dari batu (bata); di sebelahnya terdapat mimbar untuk berkhotbah. Tempat wudlu (bersuci sebelum melakukan shalat), berupa sumur, terletak di bagian tengah lapangan. Mesjid Nabawi pada masa permulaan adalah salah satu contoh dari pola mesjid lapangan. [Gazalba,1962; Rochym, 1983a; Khan, 1985; Fanani, 2009]. [Gambar 2.10].
KIBLAT
rumah Nabi
sumur
Gambar 2.10 Mesjid Nabawi yang dibangun oleh Rasulullaah SAW di Madinah.
Gereja Kolonial Arsitektur kolonial Belanda telah memberikan warna dalam perkembangan arsitektur di Indonesia, dan ikut memperkaya arsitektur lokal. Belanda telah banyak
40
menghadirkan bangunan-bangunan yang memiliki gaya arsitektur kolonial, seperti rumah tinggal, vila (rumah peristirahatan), benteng, kantor pemerintah, kantor swasta, bank, stasiun kereta api, pelabuhan, dan gereja. Bangunan gereja banyak dibangun oleh Belanda, yang pada umumnya berlokasi di jantung kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya dan Malang. Dalam penelitian ini, diuraikan secara singkat beberapa gereja kolonial yang terletak di kota-kota yang lokasinya dekat dengan keberadaan bangunan mesjid-mesjid Walisongo, yaitu gereja-gereja kolonial di Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Di Cirebon terdapat gereja kolonial yang bersejarah, yaitu gereja Katolik Santo Yusuf dan gereja Kristen Pasundan. Bentuk arsitektur gereja Katolik Santo Yusuf dan gereja Kristen Pasundan menjadi bentuk arsitektur acuan bagi bentuk arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Gereja Santo Yusuf merupakan bangunan gereja Katolik yang tertua di Jawa Barat. Gereja didirikan pada tahun 1878 Masehi atas perintah Lousi Theodoor Gonsalves, pemilik pabrik gula di Jawa dengan arsitek Gaunt Slotez [Gambar 2.11].
a. Eksterior gereja Santo Yusuf
b. Interior gereja Santo Yusuf
Gambar 2.11 Gereja Katolik Santo Yusuf, Cirebon, Jawa Barat. Sumber: https://www.google.co.uk [akses 29 Desember 2015]
41
Gereja Kristen Pasundan diresmikan pada tahun 1934 Masehi. Sebelumnya, pada waktu pendiriannya, bangunan ini bukan merupakan sebuah gereja. Arsitektur gereja Kristen Pasundan memiliki bentuk khas kolonial, yang berbeda dengan bentuk-bentuk gereja pada umumnya, yaitu berbentuk segi enam dengan penutup atap kerucut segi enam, dengan lengkungan-lengkungan lubang jendela dalam keadaan tidak berjejer pada tembok tebal. Pintu masuk berukuran tingga dan besar. [Gambar 2.12].
a. Eksterior gereja Kristen Pasundan
b. Interior gereja Kristen Pasundan
Gambar 2.12 Gereja Kristen Pasundan, Cirebon, Jawa Barat. Sumber: https://www.google.co.uk [akses 29 Desember 2015]
Kota Semarang memiliki bangunan-bangunan gereja kolonial, diantaranya yang monumental dan bersejarah, yaitu gereja Blenduk dan gereja Santo Yusuf. Kedua bentuk gereja tersebut menjadi acuan bentuk-bentuk arsitektur mesjid Agung Demak, Sunan Kalijaga, Menara Kudus, dan mesjid Sunan Muria. Gereja Blenduk merupakan bangunan yang memiliki gaya arsitektur Pantheon didirikan pada tahun 1753 Masehi sebagai gereja pertama di Semarang dan tertua di Jawa Tengah, dan dipugar tahun 1894 Masehi oleh arsitek Belanda bernama HPA de Wilde dan Westmaas.
42
Gereja Blenduk menjadi landmark bagi kawasan kota lama Semarang. Nama asli gereja Blenduk adalah Koepelkerk (gereja berkubah). Bangunan ini lebih dikenal dengan gereja Blenduk karena bentuk kubahnya yang seperti irisan bola, sehingga orang mengatakan ‘mblenduk’. Nama resmi saat ini adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel Semarang. [Gambar 2.13].
a. Eksterior gereja Blenduk
b. Interior gereja Blenduk
Gambar 2.13 Gereja Kristen Blenduk, Semarang, Jawa Tengah. Sumber: https://www.google.co.uk [akses 29 Desember 2015]
Gereja Katolik Santo Yusuf lebih dikenal dengan gereja Gedangan, karena ia terletak di daerah Gedangan. Komplek Gereja dibangun antara tahun 1870 – 1875 Masehi, yang terdiri atas bangunan-bangunan gereja, pastoran dan gedung pertemuan. Gereja Santo Yusuf adalah gereja Katolik pertama di Semarang. Ciri yang mencolok dari bangunan gereja adalah bahan bangunannya didominasi bata, dengan lengkungan-lengkungan lubang jendela pada tembok tebal. Gereja ini memiliki Menara yang dulunya terdapat sebuah jam dengan lonceng-lonceng kecilnya, yang tiap setengah jam sekali berbunyi. [Gambar 2.14].
43
a. Eksterior gereja Gedangan
b. Interior gereja Gedangan
Gambar 2.14 Gereja Katolik Gedangan, Semarang, Jawa Tengah. Sumber: https://www.google.co.uk [akses 29 Desember 2015]
Kota Surabaya memiliki dua buah bangunan gereja bersejarah, yaitu gereja Katolik Kepanjen dan gereja Kristen Indonesia Pregolan Bunder. Gereja Kepanjen berdiri pada tahun 1815 Masehi di Jalan Kepanjen Surabaya. Bangunan gereja memperlihatkan gaya Eropa neo-gothic. Kekhasan bangunan gereja ini adalah dindingnya berupa pasangan bata tanpa plesteran. [Gambar 2.15]. Gereja Kristen Indonesia Pregolan Bunder merupakan salah satu gereja tua di kota Surabaya yang diresmikan pada tahun 1881 Masehi oleh de Christeijke Gereformeerde Kerk. Gereja ini dulunya bernama Gereja Gereformeerd Surabaya (GGS). Pada tahun 1987, untuk penyeragaman, gereja ini bernama Gereja Kristen Indonesia Pregolan Bunder Surabaya. Fasade bagian depan bangunan gereja didominasi oleh bentuk lengkungan pada tembok tebal. Bentuk lengkungan-lengkungan lubang jendela dan pintu dalam keadaan tidak berjejer. [Gambar 2.16].
44
a. Eksterior gereja Kepanjen
b. Interior gereja Kepanjen
Gambar 2.15 Gereja Katolik Kepanjen, Surabaya, Jawa Timur. Sumber: https://www.google.co.uk [akses 29 Desember 2015]
b. Eksterior gereja Pregolan Bunder
b. Interior gereja Pregolan Bunder
Gambar 2.16 Gereja Kristen Indonesia Pregolan Bunder, Surabaya, Jawa Timur. Sumber: https://www.google.co.uk [akses 29 Desember 2015]
Mesjid Pan Islamisme Dalam perkembangan sejarah arsitektur mesjid, terdapat satu masa yang kental dengan nuansa politik, yaitu pada periode abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 Masehi. Pada periode ini, perkembangan arsitektur mesjid menunjukkan
45
gejala hadirnya identitas Pan Islamisme 'Arabia', hampir di seluruh negeri-negeri yang penduduknya mayoritas beragama Islam, sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap kolonialisme, tidak terkecuali di Indonesia. Secara arsitektural, klaim untuk menunjukkan eksistensi suatu komunitas muslim sebagai bagian dari komunitas dunia nampak pada pengadopsian bentukbentuk arsitektur yang berbau Islam 'Internasional'. Identitas Islam 'Internasional' ini cukup terwakili oleh atap kubah, bentuk lengkungan-lengkungan pada bagian ambang atas antar kolom, dan menara tinggi pada bangunan-bangunan mesjid. Bentuk lengkungan-lengkungan juga menghiasi elemen-elemen pintu dan jendela bangunan mesjid. Lambat-laun, kubah, bentuk lengkungan, dan menara, menjadi simbol arsitektur Islam, yang seakan-akan wajib ada pada mesjid-mesjid baru. [Gambar 2.17].
Gambar 2.17 Tipikal kelengkapan mesjid Pan Islamisme. Sumber: Prochazka [1986]
46
Di Indonesia, bangunan mesjid berkubah pertama adalah mesjid Sultan Riau, yang dibangun tahun 1832 Masehi. Sementara di Jawa, mesjid berkubah pertama adalah mesjid Agung Tuban, yang direnovasi tahun 1894 Masehi. [Gambar 2.18].
a. Mesjid Sultan Riau
b. Mesjid Agung Tuban
Gambar 2.18 Mesjid Sultan Riau dan mesjid Agung Tuban. Sumber: http://wikimapia.org [akses 9 oktober 2016]
Mesjid Modern Dalam perkembangan arsitektur mesjid modern, mesjid hadir dengan konsep rancangan arsitektur yang melepaskan tradisi. Konsep mesjid
modern
memperlihatkan ekspresi bentuk kotak (atap datar atau miring), simple (sederhana), bergaris horisontal maupun vertikal, dan bersih tanpa hiasan dekoratif. Pada periode awal arsitektur modern di Indonesia, tahun 1960-an, hadir mesjid Salman Bandung. Mesjid yang letaknya menjadi satu dengan kompleks kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, dikenal juga dengan mesjid Salman I, karena pada waktu kemudian dibangun pula mesjid Al-Jabbar di kompleks kampus ITB baru di Jatinangor, yang ekspresi bentuknya sekilas menyerupai mesjid Salman ITB, sehingga dikenal dengan mesjid Salman II. [Gambar 2.19].
47
a. Eksterior mesjid Salman ITB Bandung
b. Interior mesjid Salman ITB Bandung
Gambar 2.19 Mesjid Salman ITB, Bandung, Jawa Barat.
Periodisasi waktu keberadaan bangunan keagamaan dan perkembangannya dalam kerangka sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia, yang diduga menjadi acuan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dapat dipetakan berikut ini [Gambar 2.20].
1753: Gereja Blenduk Abad ke-15: Semarang Cungkup makam Fatimah Gresik
1870: Gereja Gedangan Semarang
1881: Gereja Pregolan Surabaya 1934: Gereja Pasundan Cirebon
2016
Abad ke-8: Candi Arjuna Dieng
Abad ke-7: Mesjid Nabawi Awal
Abad ke-14: 1815: Candi Gereja Plumbangan Kepanjen Blitar Surabaya Abad ke-16: Cungkup makam Sunan Bonang
1878: Gereja S. Yusuf Cirebon
1894: Mesjid Agung Tuban 1960-an: Mesjid Salman ITB Bandung
Gambar 2.20 Periodisasi waktu keberadaan bangunan keagamaan di pulau Jawa.
48
[2] Sinkretisme agama Islam Kejawen Kejawen adalah ajaran spiritual asli leluhur etnis Jawa. Paham Kejawen merupakan perwujudan dari kepercayaan animisme/dinamisme yang dipenuhi dengan mistik. Pada waktu agama Hindu/Budha datang di Jawa terjadilah sinkretisme antara kepercayaan animisme/dinamisme dengan agama Hindu/Budha, yang kemudian dikenal dengan agama Hindu/Budha Jawa [Endraswara, 2015a dan 2015b]. Dalam penelitian ini, untuk keperluan analisis dan interpretasi, agama Hindu/Budha Jawa ini tetap dinamakan Kejawen (paham Kejawen yang telah mengalami perkembangan dengan datangnya agama Hindu/Budha) Dalam menyebarkan agama Islam di Jawa, para Walisanga menawarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa yang saat itu masih kental dengan paham Kejawen-nya. Para Walisanga melakukan kompromi-kompromi, agar apa yang ditawarkan bisa diterima oleh masyarakat Jawa sebagai pihak yang ditawari. Kompromi-kompromi yang terjadi, kemudian melahirkan sinkretisme agama Islam Kejawen. Cara-cara para Walisanga dalam menghadapi budaya lama, terutama dalam rangka menyebarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat Jawa yang masih kuat menganut paham Kejawen, yaitu sebagai berikut: [a] menjaga, memelihara dan memberikan toleransi (keeping); [b] menambah (addition); [c] memodifikasi (modification); [d] mendevaluasi (devaluation); [e] mengubah motivasi (change); [f] mengganti keseluruhan (substitution); [g] menciptakan ritual baru (creation of new ritual); dan [h] penolakan (negation). [Santosa, 2012; Sofwan, 2004]. Cara-cara para Walisanga di atas dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kategori pertama, ia sebagai media dakwah, dan kategori kedua, ia sebagai
49
usaha percampuran antara unsur-unsur agama Islam dengan Kejawen dalam kegiatan ritual. Sinkretisme agama Islam Kejawen termasuk dalam kategori kedua, yaitu hasil usaha percampuran unsur-unsur agama Islam dengan unsur-unsur paham Kejawen. Berikut adalah uraian dari masing-masing cara tersebut. [a] Menjaga (keeping) Walisanga memberikan toleransi terhadap adat tradisi lama yang dinilai baik, contohnya adalah tradisi tingkeban, yaitu upacara memperingati kehamilan tujuh bulan atau dengan istilah lain mitoni. Upacara tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. [Koentjaraningrat, 1993; Gennep, 1960]. Upacara mitoni, di kalangan masyarakat Jawa, adalah ritual pertama siklus kelahiran manusia. Dalam upacara mitoni terdapat ritual siraman, yaitu ritual mandi yang disertai sesaji berupa dua buah kelapa gading muda yang masing-masing digambari wayang Bethara Kamajaya dan Bethari Kamaratih. Dengan sesaji ini diharapkan nantinya bila lahir bayi laki-laki akan berwajah tampan seperti Bethara Kamajaya, dan bila lahir bayi perempuan akan berwajah cantik seperti Bethari Kamaratih. [Sutiyono, 2013; Hariwijaya, 2004]. Dalam kaitan ini tidak terjadi percampuran unsur-unsur agama Islam dengan paham Kejawen, karena tradisi lama dibiarkan tetap ada. [b] Adisi (addition) Walisanga menambahkan unsur-unsur agama Islam ke dalam upacaraupacara tradisi Kejawen, seperti dalam upacara perkawinan Jawa ditambahkan akad nikah secara Islam, dan dalam upacara slametan ditambahkan dengan doa-doa
50
Islam. Slametan adalah ritual utama dalam paham Kejawen, yang selalu diselenggarakan dalam ritus kehidupan manusia Jawa. Dalam upacara perkawinan, bagi calon pengantin yang keduanya masih berstatus jejaka dan perawan, maka harus disediakan sesaji: daun sirih, pisang sanggan, dan tumpeng tulung. Bagi calon pengantin yang sudah pernah berkeluarga (duda dan janda) harus disediakan sesaji: daun plasa, rumput kalanjana, daun kapakapa, dan alang-alang. Unsur-unsur agama Islam ditambahkan pada saat upacara akad nikah, yaitu dengan mengucapkan ijab kabul secara Islam, dan dilanjutkan dengan doa-doa Islam dipimpin oleh seorang penghulu. [Hariwijaya, 2004]. Dalam kaitan ini terjadi percampuran unsur-unsur Islam dengan Kejawen. [c] Modifikasi (modification) Walisanga menginterpretasikan tradisi lama ke arah pengertian yang baru atau menambah fungsi baru terhadap budaya lama, contohnya adalah pertunjukan wayang, yang semula hanya sebagai tontonan kemudian dijadikan tuntunan. Sunan Kalijaga, salah seorang anggota Walisanga, aktif mengadakan pertunjukan wayang kulit yang tokoh-tokohnya banyak dikembangkan, dengan maksud untuk lebih menonjolkan ajaran Islam di dalam cerita yang berasal dari agama Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana). Dalam kaitan ini tidak terjadi percampuran antara unsur-unsur Islam dan Kejawen dalam kegiatan ritual. Pertunjukan wayang, oleh para Walisanga digunakan hanya sebagai media dakwah. [d] Devaluasi (devaluation) Walisanga menurunkan tingkatan status atau kondisi sesuatu dari budaya lama, contohnya adalah para dewa dalam wayang diturunkan derajatnya. Sebelumnya, dewa-dewa adalah sosok-sosok tanpa cacat dan sebagian darinya
51
menjadi Tuhan-Tuhan sesembahan, kemudian oleh para Walisanga dewa-dewa itu diceritakan punya kekurangan-kekurangan dan ditempatkan di bawah Gusti Allah. Tokoh-tokoh punakawan dalam pewayangan sengaja dimunculkan oleh para Walisanga sebagai pihak yang dapat mengalahkan dewa-dewa Hinduisme. Dewadewa yang merupakan tokoh sembahan yang hidup di Kahyangan, dibikinkan susunan silsilah sebagai keturunan Nabi Adam AS dari jalur Nabi Syits [Sunyoto, 2011]. Dalam kaitan ini tidak terjadi percampuran unsur-unsur Islam dan paham Kejawen dalam kegiatan ritual. [e] Mengubah motivasi (change) Walisanga mengubah motivasi dalam tradisi lama, dan mengubah unsur lama menjadi unsur baru, contohnya nyadran diubah dengan ziarah. Nyadran adalah suatu tradisi turun-temurun dalam masyarakat Jawa. Tradisi nyadran dilaksanakan kurang lebih satu minggu menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Sebagai tradisi, nyadran dilaksanakan oleh masyarakat Jawa pra-Islam sebagai pemujaan pada arwah leluhur yang telah meninggal dunia, sekaligus permintaan kepada arwah tersebut untuk keselamatan orang yang masih hidup di dunia. Kepercayaan ini tidak terlepas dari pandangan bahwa arwah orang yang meninggal masih hidup di dunia ini. Mereka dipercaya bisa memberikan perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi orang-orang yang masih hidup. Pada zaman Walisanga, nyadran tetap dipertahankan, tetapi substansinya diisi dengan nilai-nilai agama Islam. Upacara nyadran tidak lagi dipersembahkan kepada arwah leluhur, tetapi merupakan sarana untuk mendoakan agar arwah para leluhur tersebut bisa tentram, damai di sisi Allah SWT. [Yahya, 2009].
52
Motivasi berkaitan erat dengan niat dan tindakan seseorang. Maksud para Walisanga adalah mengubah motivasi, sementara niat berkaitan dengan keyakinan di mana ia sulit untuk diubah, sehingga ada potensi percampuran motivasi. Pada kenyataannya, yang terakhir inilah yang marak terjadi dalam kegiatan ziarah ke makam-makam para Walisanga. Dalam kaitan ini berpotensi terjadi percampuran antara unsur-unsur Islam dan Kejawen. [f] Substitusi (substitution) Walisanga mengganti secara keseluruhan tradisi lama dengan tradisi baru, contoh sembahyang di kuil diganti dengan shalat di mesjid. Dalam hal ini tidak terjadi percampuran antara unsur-unsur Islam dan Kejawen. [g] Kreasi ritual baru (creation of new ritual) Walisanga menciptakan tradisi baru, upacara baru dengan menggunakan unsur lama, contoh penciptaan gamelan dan upacara sekaten sebagai pengganti upacara srada (kurban pra-Islam). Sekaten berasal dari kata dalam bahasa arab syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat. Upacara sekaten pertama kali dimulai sejak masa kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak dan turun-temurun sampai era kerajaan Surakarta dan Yogyakarta saat ini. Pada saat itu orang Jawa suka gamelan, maka untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, di sekitar mesjid dibunyikan gamelan agar orang-orang tertarik untuk datang. Setelah mereka datang diberi pelajaran tentang agama Islam. Pada masa sekarang, kegiatan sekaten yang diselenggarakan oleh keraton Kasultanan Yogyakarta, dipusatkan di alun-alun. [Sutiyono, 2013]. Dalam kaitan ini jelas terjadi percampuran antara unsur-unsur Islam dengan Kejawen.
53
[h] Negasi (negation) Negasi, artinya menolak tradisi lama, contohnya penghancuran patungpatung Hinduisme sebagai penolakan terhadap penyembahan patung. Walisanga jelas tidak melakukan cara-cara seperti ini. Cara-cara seperti ini tidak mencerminkan metode dakwah Walisanga yang bersifat kompromis. Dalam kaitan ini jelas tidak terjadi percampuran antara unsur-unsur Islam dengan Kejawen. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka butir-butir metode Walisanga dalam menghadapi budaya lama yang berkaitan dengan percampuran adalah sebagai berikut: adisi, mengubah motivasi, dan kreasi ritual baru. Ketiga konsep ini adalah konsep-konsep sinkretisme agama Islam Kejawen. [Tabel 2.2].
Tabel 2.2 Konsep Sinkretisme Agama Islam Kejawen Cara-cara Walisanga dalam menghadapi budaya lama
Terjadi/Tidak terjadi percampuran
Konsep sinkretisme agama Islam Kejawen
Toleransi (keeping) Adisi (addition) Modifikasi (modification) Devaluasi (devaluation) Mengubah motivasi (change) Substitusi (substitution) Kreasi ritual baru (creation of new ritual) Negasi (negation)
Tidak terjadi Terjadi Tidak terjadi Tidak terjadi Terjadi Tidak terjadi Terjadi
Adisi Pengubahan motivasi Kreasi ritual baru
Tidak terjadi
-
Dalam penelitian ini, konsep adisi (addition), pengubahan motivasi (change), dan kreasi ritual baru (creation of new ritual) dipergunakan sebagai konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dengan penggunaan dan pengubahan istilah yang disesuaikan dengan keperluan analisis dan interpretasi. Konsep adisi (addition) tetap dipergunakan. Konsep pengubahan motivasi (change)
54
diganti dengan pengubahan bentuk (changing form). Konsep kreasi ritual baru (creation of new ritual) diganti dengan kreasi baru (new creation). [Tabel 2.3].
Tabel 2.3 Konsep Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga Berdasarkan Elaborasi Konsep Sinkretisme Agama Islam Kejawen Cara-cara Walisanga dalam menghadapi budaya lama
Konsep sinkretisme agama Islam Kejawen
Konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur
Toleransi Adisi Modifikasi Devaluasi Mengubah motivasi Substitusi Kreasi ritual baru Negasi
Adisi Pengubahan motivasi Kreasi ritual baru -
Adisi Pengubahan bentuk Kreasi baru -
[3] Akulturasi Konsep percampuran bentuk arsitektur yang dikaitkan dengan unsur-unsur budaya fisik tidak dapat ditelusuri hanya dengan pendekatan ilmu arsitektur, melainkan harus meminjam ilmu lain, yakni antropologi. Akulturasi terjadi bila kelompokkelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dengan intensif, dan dalam waktu yang lama, dengan timbulnya kemudian pengubahan-pengubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan [Haviland, 1993]. Dalam proses akulturasi, terdapat empat strategi, yaitu proses asimilasi (assimilation), separasi (separation), integrasi (integration), dan marginalisasi (marginalization). Asimilasi terjadi ketika individu tidak ingin mempertahankan identitas budaya mereka dan mencari interaksi sehari-hari dengan budaya lain. Di sini individu lebih memilih untuk menumpahkan budaya warisan mereka, dan menjadi diserap ke dalam masyarakat yang dominan. Separasi terjadi ketika
55
individu menempatkan nilai pada budaya asli mereka, dan pada saat yang sama ingin menghindari interaksi dengan orang lain. Integrasi terjadi ketika individu masih kuat mempertahankan warisan budayanya, dan pada saat yang sama mengadakan interaksi sehari-hari dengan kelompok lain. Marginalisasi terjadi jika individu yang sedikit menjaga warisan budaya, dan pada saat yang sama sedikit minat untuk berhubungan dengan kelompok lain. [Berry, 2005]. [Gambar 2.21a]. Dalam akulturasi, sikap masyarakat lokal terhadap peradaban asing (luar) terjadi dalam tiga keadaan. Pertama, apabila peradaban diri (lokal) lemah, maka yang terjadi adalah adopsi (adoption), yakni posisi yang selalu didikte oleh peradaban yang lebih kuat (asing). Kedua, apabila peradaban lokal kuat menghadapi peradaban dari luar yang lemah maka terjadilah adaptasi (adaptation). Dan ketiga, apabila sama-sama kuat antara peradaban lokal dan asing maka terjadilah sinergi (synergy), artinya saling memberikan masukan yang setara. [Salura, 2015]. [Gambar 2.21b]. Dalam penelitian ini, dengan mengelaborasi konsep strategi akulturasi Berry dan sikap berakulturasi Salura, ketiga konsep, yaitu konsep adopsi (adoption), adaptasi (adaptation), dan sinergi (synergy) dipergunakan sebagai konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga [Tabel 2.4]. Berdasarkan telaah sebelumnya tentang konsep-konsep sinkretisme dalam agama Islam Kejawen dan konsep-konsep akulturasi, maka konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga adalah gabungan keduanya, yaitu sebagai berikut: adisi (addition), pengubahan bentuk (changing form), kreasi baru (new creation), adopsi (adoption), adaptasi (adaptation), dan sinergi (synergy) [Tabel 2.5].
56
Gambar 2.21 Diagram konsep akulturasi menurut Berry dan Salura.
Tabel 2.4 Konsep Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga Berdasarkan Elaborasi Konsep Akulturasi Berry dan Salura Konsep akulturasi menurut Berry
Konsep akulturasi menurut Salura
Konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur
Asimilasi (assimilation) Separasi (separation) Integrasi (integration) Marginalisasi (marginalization)
Adopsi (Adoption) Adaptasi (Adaptation) Sinergi (Synergy) -
Adopsi Adaptasi Sinergi -
Tabel 2.5 Konsep-Konsep Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga No.
Konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga
1 2 3 4 5 6
Adisi (Addition) Pengubahan Bentuk (Changing Form) Kreasi Baru (New Creation) Adopsi (Adoption) Adaptasi (Adaptation) Sinergi (Synergy)
57
Berikut penjelasan konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjidmesjid Walisanga yang meliputi: adisi (addition), pengubahan bentuk (changing form), kreasi baru (new creation), adopsi (adoption), adaptasi (adaptation), dan sinergi (synergy). Adisi (addition) dalam sinkretisme bentuk terjadi apabila bentuk dan atau elemen pada bangunan mesjid-mesjid Walisanga merupakan hasil penambahan dan atau penggabungan dua atau lebih bentuk dan atau elemen bangunan, antara bentuk arsitektur lokal dan non lokal. Dalam kaitan ini, elemen merupakan bagian dari bentuk. Sebagai contoh, pintu dan jendela adalah elemen dari bentuk dinding. Dalam proses adisi, kedua bentuk dasar tidak mengalami pengubahan bentuk. Pengubahan bentuk (changing form) dalam sinkretisme bentuk terjadi apabila bentuk dan atau elemen pada bangunan mesjid-mesjid Walisanga merupakan hasil pengubahan bentuk dari penggabungan dua atau lebih bentuk dan atau elemen bangunan, antara bentuk arsitektur lokal dan non lokal. Proses pengubahan bentuk adalah proses adisi yang disertasi dengan pengubahan bentuk. Dalam proses pengubahan bentuk, salah satu atau kedua bentuk dasar mengalami pengubahan bentuk. Pengubahan bentuk yang terjadi masih mengikuti pola bentuk dasarnya. Kreasi baru (new creation) dalam sinkretisme bentuk terjadi apabila bentuk dan atau elemen pada bangunan mesjid-mesjid Walisanga merupakan hasil kreasi baru dari penggabungan dua atau lebih bentuk dan atau elemen bangunan, antara bentuk arsitektur lokal dan non lokal. Proses kreasi baru adalah proses adisi yang disertasi dengan kreasi bentuk baru. Dalam proses kreasi baru, salah satu atau kedua bentuk dasar mengalami pengubahan bentuk yang signifikan. Pengubahan bentuk yang terjadi tidak mengikuti pola bentuk dasarnya.
58
Adopsi (adoption) dalam sinkretisme bentuk terjadi apabila bentuk dan atau elemen pada bangunan mesjid-mesjid Walisanga merupakan percampuran antara bentuk dan atau elemen arsitektur lokal dan non lokal, yang mana bentuk arsitektur non lokal dominan terhadap bentuk arsitektur lokal. Adaptasi (adaptation) dalam sinkretisme bentuk terjadi apabila bentuk dan atau elemen pada bangunan mesjid-mesjid Walisanga merupakan percampuran antara bentuk dan atau elemen arsitektur lokal dan non lokal, yang mana bentuk arsitektur lokal dominan terhadap bentuk arsitektur non lokal. Sinergi (synergy) dalam sinkretisme bentuk terjadi apabila bentuk dan atau elemen pada bangunan mesjid-mesjid Walisanga merupakan percampuran antara bentuk dan atau elemen arsitektur lokal dan non lokal, yang mana tidak terjadi dominasi antara bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Dominasi sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga ditentukan berdasarkan dua faktor, yaitu pertama, faktor dimensi bentuk arsitektur (dimensi ruang: ketinggian dan keluasan) dan kedua, faktor jumlah bentuk arsitektur. Dari kedua faktor tersebut, bobot yang lebih besar adalah faktor dimensi, dengan pertimbangan bahwa mesjid-mesjid Walisanga adalah bangunan-bangunan sakral, yang diekspresikan dengan bentuk-bentuk bangunan tinggi dan besar. Proses adisi, pengubahan bentuk, dan kreasi baru di atas dapat diilustrasikan secara grafis sebagai berikut. Dalam penelitian ini, untuk keperluan analisis dan interpretasi, sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dianggap melibatkan empat bentuk arsitektur, yaitu bentuk arsitektur acuan lokal terdiri atas dua bentuk (bentuk 1A dan 1B) , dan bentuk arsitektur acuan non lokal terdiri atas dua bentuk (bentuk 2A dan 2B). [Gambar 2.22].
59
1B 1B
2A 1A
2A 1A
1A
2B
2B
PENGUBAHAN BENTUK
ADISI
1B
1B
2A
2A 1A
1A
2B 2B
KREASI BARU 1B
ADOPSI 1B
2A 1A
2B
ADAPTASI
2A 1A
2B
SINERGI
Gambar 2.22 Ilustrasi grafis konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga: adisi, pengubahan bentuk, kreasi baru, adopsi, adaptasi, dan sinergi.
60
Berdasarkan eksplorasi pendekatan penelitian dan elaborasi konsep-konsep teoritis di atas, maka dibangunlah kerangka konseptual berikut ini. Kerangka konseptual melibatkan pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur dan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, konsep bentuk arsitektur acuan, dan konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. [Gambar 2.23].
Ranah Teoritis
Analisis & Interpretasi
Ranah Empiris
Eksplanasi Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga
Fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga
Bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga: 1 Pelingkup Bawah 2 Pelingkup Samping 3 Pelingkup Atas
Hasil
(otonomi teks)
Pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur dan relasi fungsi-bentukmakna dalam arsitektur
Konsep sinkretisme agama Islam Kejawen dan konsep akulturasi
Konsep bentuk arsitektur acuan
LOKAL: 1 Bangunan Tajuk 2 Bangunan Limasan 1 Adisi 2 Pengubahan Bentuk 3 Kreasi Baru 4 Adopsi 5 Adaptasi 6 Sinergi
(otonomi teks)
Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga Makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjidmesjid Walisanga
Gambar 2.23 Diagram kerangka konseptual.
NON LOKAL: 1 Candi Hindu/Budha 2 Mesjid Nabawi Awal 3 Gereja Kolonial 4 Mesjid Pan Islamisme 5 Mesjid Modern
BAB 3 EKSPLANASI BENTUK DAN FUNGSI ARSITEKTUR MESJID - MESJID WALISANGA
Sebagaimana telaah Bab 2, bahwa pemahaman makna, berdasarkan elaborasi pendekatan hermeneutika Ricoeur, dapat dilakukan melalui dua tahap, yaitu pertama, tahap eksplanasi, dan kedua, tahap analisis dan interpretasi. Pada bagian ini dilakukan eksplanasi bentuk dan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bentuk ruang dan pelingkupnya yang mewadahi fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan yang terjadi di dalamnya. Mesjid-mesjid Walisanga, lokasinya menyebar di wilayah Jawa Timur hingga Jawa Barat, dan sejak berdirinya hingga sekarang, telah banyak mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Berikut adalah telaah bentuk dan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, yang meliputi uraian tentang: lokasi, perkembangan bentuk dalam latar sejarah, dan bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang.
3.1 Mesjid Sunan Ampel 3.1.1 Lokasi Lokasi mesjid Sunan Ampel berada di Kelurahan Ampel, Kecamatan Simokerto, Kotamadya Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi ini bisa dicapai hanya dengan jalan kaki, melewati deretan pedagang makanan dan cindera mata. Kendaraan bus harus diparkir agak jauh dari lokasi. [Gambar 3.1 dan Gambar 3.2]. 61
62
Surabaya
Lokasi mesjid
Tugu Pahlawan
Gambar 3.1 Peta lokasi mesjid Sunan Ampel dalam lingkup kota. Sumber: Wikimapia [2015]
Parkir bis
Mesjid Sunan Ampel
a
Makam
b
Gambar 3.2 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Sunan Ampel. Sumber: Wikimapia [2015]
3.1.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah Mesjid Sunan Ampel dibangun oleh Sunan Ampel bersama murid-muridnya sekitar tahun 1450 Masehi. Mesjid Sunan Ampel beberapa kali telah mengalami perluasan. Perluasan pertama dilakukan oleh Adipati Aryo Cokronegoro dengan menambah bangunan di sebelah utara bangunan bagian selatan. Perluasan kedua dilakukan oleh Adipati Regent Raden Aryo Niti Adiningrat pada tahun 1926, yakni dengan menambah atau memperluas ke bagian utara lagi. Perluasan ketiga dilakukan setelah masa kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Panitia Khusus Perluasan
63
Mesjid Agung Sunan Ampel tahun 1954 – 1958, yakni perluasan di sebelah utara lagi dan di sebelah barat. Perluasan keempat dilakukan tahun 1974 dengan memperluas lagi bagian barat. [Wiryoprawiro, 1986]. Pada tahun 1993 – 1998 dilakukan penambahan bangunan baru di sebelah barat lagi. Kondisi kompleks mesjid Sunan Ampel masa sekarang merupakan hasil perluasan dan renovasi hingga tahun 1998. [Gambar 3.3].
Makam
Makam
Makam
b.bentuk mesjid 1926-1974
c.bentuk mesjid 2016
2016
a.bentuk mesjid 1450 ?
1926 - Perluasan ke arah utara 1450 - Bentuk tidak diketahui
1974 - Perluasan ke arah barat 1954-1958 - Perluasan ke arah utara lagi
1993-1998 - Perluasan ke arah barat
Gambar 3.3 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Sunan Ampel.
3.1.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang Eksplanasi dilakukan terhadap bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel dan fungsifungsi yang diwadahinya, pada masa sekarang ini. Eksplanasi dilakukan mulai dari
64
lingkup tapak hingga lingkup bangunan. Mesjid Sunan Ampel menjadi satu tapak dengan area makam, yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan penting, yaitu sebagai berikut: menara, tempat wudlu, serambi, ruang utama dan ruang dalam, dan bangunan-bangunan yang berada di area makam. Berikut eksplanasi masingmasing bangunan dan ruang tersebut. [1] Menara Bentuk Menara mesjid Sunan Ampel ada dua buah, satu berada di bagian selatan (menara lama) dan yang lainnya berada di bagian barat (menara baru). Kedua menara, konstruksinya berupa beton cor, berbentuk bulat, tinggi menjulang sekitar 24 meter. Menara yang di bagian selatan tidak diketahui kapan didirikan, sementara menara yang di bagian barat didirikan sekitar 1993 – 1998, bersamaan dengan pembangunan mesjid bangunan baru. [Gambar 3.4].
Menara lama
Menara baru
a. Perspektif kompleks mesjid Sunan Ampel
b. Menara di bagian selatan (menara lama) c. Menara di bagian barat (menara baru)
Gambar 3.4 Bentuk menara mesjid Sunan Ampel.
65
Fungsi Menara mesjid berfungsi sebagai wadah atau tempat loud speaker untuk mengeraskan kumandang adzan. Kegiatan adzan dilakukan di ruang teknis. Suara adzan berkumandang melalui loud speaker yang ditempatkan di atas menara mesjid. [2] Tempat wudlu Bentuk Di sebelah tenggara bangunan mesjid terdapat tempat wudlu pria, dan di sebelah timur-utara bangunan mesjid terdapat tempat wudlu wanita. Bangunan tempat wudlu berbentuk lingkaran, dengan pancuran air pada sisi luarnya. Lantainya dibuat bertanggul dan berbahan keramik. Dindingnya berbentuk melingkar berdiameter 5 meter dilapis dengan bahan marmer, tingginya 2,5 m. Kolom penopang atap berbentuk bulat. Atap bangunan tempat wudlu berbentuk kerucut segi delapan, dengan penutup atap berupa metal roof berwarna hitam, sementara tempat wudlu wanita beratap bahan genteng kodok. Pada puncak atap terdapat memolo atau mustoko dari bahan besi kuningan. [Gambar 3.5].
Tempat wudlu wanita
Tempat wudlu pria
a. Tempat wudlu pria
Sudut pengambilan gambar (a)
b. Key Plan
Gambar 3.5 Bentuk tempat wudlu pria mesjid Sunan Ampel.
66
Fungsi Tempat wudlu, sesuai dengan namanya, berfungsi sebagai wadah kegiatan berwudlu atau bersuci. Kegiatan bersuci merupakan syarat untuk melaksanakan kegiatan shalat. Tempat wudlu untuk pria dan wanita terpisah. [3] Serambi Serambi mesjid Sunan Ampel adalah ruang terbuka yang mengelilingi bangunan mesjid pada sisi luarnya, berhubungan langsung dengan ruang luar atau pelataran. Secara keseluruhan bentuk mesjid Sunan Ampel, berdasarkan posisinya, dapat dikelompokkan menjadi: bangunan selatan, bangunan tengah, dan bangunan barat. Pembagian ini digunakan untuk keperluan eksplanasi bentuk-bentuk bangunan mesjid Sunan Ampel. Masing-masing bangunan ini memiliki serambi. Berikut diuraikan serambi pada ketiga bangunan. [a] Serambi bangunan selatan Bentuk Bangunan selatan luasnya 38 m x 40 m, yaitu 1.520 m2, terdiri dari ruang dalam, serambi depan (timur), serambi kanan (selatan), dan serambi kiri (utara). Serambi depan luasnya 6 m x 28 m, yaitu 168 m2. Serambi kanan luasnya 6 m x 38 m, yaitu 228 m2. Sebagian serambi kiri (utara) menjadi bagian dari ruang dalam. Serambi kiri luasnya 6 m x 38 m, yaitu 228 m2. Serambi berlantai dari bahan granit, posisinya lebih tinggi 75 cm daripada pelataran. Di serambi terdapat jejeran kolom batu bulat berdiameter 80 cm, jumlahnya 30 buah, 5 di antaranya berada di ruang dalam. Kolom-kolom ini menopang atap serambi berbentuk limasan pada bagian sisi luarnya. Pada bagian sisi dalamnya, atap ditopang oleh dinding setebal 50 cm. Dinding ini juga sebagai
67
penopang atap tajug tumpang pertama pada bagian bawahnya. Pada kolom-kolom serambi terdapat konsol besi berbentuk lengkung yang menopang tritisan serambi. Penutup atap dari bahan metal roof berwarna hitam. Plafon serambi dari bahan kayu lambrisering. Di serambi kanan (selatan) ditempatkan dua buah beduk, yang satu diyakini sebagai peninggalan Sunan Ampel. [Gambar 3.6].
C
Keterangan A. Bangunan selatan B. Bangunan tengah C. Bangunan barat
B
A
a. Serambi kanan mesjid bangunan selatan
b. Kolom serambi mesjid bangunan selatan
c. Key plan
c. Key Plan Sudut pengambilan gambar (a)
Serambi kanan, bangunan selatan
d. Potongan bangunan selatan
Gambar 3.6 Bentuk serambi mesjid Sunan Ampel, bangunan selatan.
Fungsi Serambi bangunan selatan berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat, berdoa, berdzikir, dan kegiatan pengajian ilmu agama. Kegiatan shalat yang dilaksanakan
68
di serambi ini, yaitu shalat Lima Waktu, shalat Jumat, dan shalat sunat bagi para peziarah. Kegiatan pengajian ilmu agama dilaksanakan pada setiap bakda shalat subuh setiap hari Kamis. Pengajian ini dihadiri jamaah wanita dan pria, namun tempatnya dipisah dengan kain. Kegiatan pengajian ilmu agama tahunan dilaksanankan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam, yaitu tahun baru Islam (1 Muharam), nuzulul Al-qur’an (17 Ramadhan), hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabi’ul Awwal), dan kegiatan dalam rangka haul Sunan Ampel (13-15 Sya’ban). [b] Serambi bangunan tengah Bentuk Bangunan tengah memiliki ruang dalam dan serambi. Serambi terdiri atas serambi depan (timur) dan serambi kiri (utara) [Gambar 3.7].
Keterangan A. Bangunan selatan B. Bangunan tengah C. Bangunan barat
C B
A a. Serambi depan mesjid bangunan tengah b. Key Plan
Sudut pengambilan gambar (a)
Serambi depan, bangunan tengah
c. Potongan bangunan tengah
Gambar 3.7 Bentuk serambi mesjid Sunan Ampel, bangunan tengah.
69
Serambi depan luasnya 4,5 m x 56 m, yaitu 252 m2. Serambi kiri luasnya 6 m x 32,5 m, yaitu 195 m2. Serambi bangunan selatan, bentuknya seperti lorong dan terkesan sempit, karena dimensi lebar serambi relatif kecil dibandingkan dengan dimensi panjangnya. Lantai serambi depan dan serambi kiri berbahan granit, posisinya lebih tinggi 60 centimeter daripada pelataran. Di serambi depan dan serambi kiri terdapat jejeran kolom batu bulat berdiameter 80 centimeter yang menopang atap dak. Kolom di serambi depan jumlahnya 14 buah dan di serambi kiri jumlahnya 6 buah. Plafon serambi dari bahan kayu lambrisering. Fungsi Serambi bangunan tengah berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat. [c] Serambi bangunan barat Bentuk Bangunan barat letaknya di sisi paling barat, terdiri dari ruang utama dan serambi. Serambi terdiri atas serambi depan (timur), serambi belakang (barat), serambi kanan (selatan), dan serambi kiri (utara). Serambi depan menjadi bagian dari ruang dalam. Ketiga serambi bersifat terbuka. Serambi depan luasnya 4 m x 25 m, yaitu 100 m2. Serambi belakang luasnya 3 m x 25 m, yaitu 75 m2. Serambi kiri luasnya 5,5 m x 36 m, yaitu 198 m2. Serambi kanan luasnya 5,5 m x 36 m, yaitu 198 m2. Lantai serambi dari bahan keramik, posisinya lebih tinggi 60 centimeter daripada pelataran. Di serambi terdapat deretan kolom berukuran 80 cm x 80 cm, dengan ketinggian 5 meter. Kolom di serambi depan jumlahnya 8 buah, di serambi belakang jumlahnya 8 buah, di serambi kanan jumlahnya 6 buah, dan di serambi
70
kiri jumlahnya 6 buah. Kolom-kolom ini sebagai penopang atap tajug pada bagian bawahnya. Bentuk atap serambi adalah terusan dari bentuk atap ruang utama. [Gambar 3.8].
Keterangan A. Bangunan selatan B. Bangunan tengah C. Bangunan barat
C B
A
b. Key Plan a. Serambi kanan mesjid bangunan barat Sudut pengambilan gambar (a)
Serambi kanan, bangunan barat
c. Potongan bangunan barat
Gambar 3.8 Bentuk serambi mesjid Sunan Ampel, bangunan barat. Fungsi Serambi bangunan barat berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat. [4] Ruang utama dan ruang dalam Ruang utama dan ruang dalam mesjid adalah ruang yang berada di bagian dalam mesjid, yang pada umumnya dikelilingi oleh serambi pada sisi luarnya.
71
Perbedaannya adalah ruang utama mesjid memiliki fungsi khotbah (tempat di mana seorang khatib berdiri memberikan khotbah agama pada kegiatan shalat Jumat), dan ruang dalam tidak. Dalam mesjid-mesjid Walisanga, empat di antaranya memiliki ruang utama dan ruang dalam sekaligus, yaitu mesjid Sunan Ampel, Sunan Giri, Menara Kudus, dan mesjid Sunan Muria. Sementara mesjid-mesjid Walisanga lainnya hanya memiliki ruang utama saja, karena seluruh mesjid-mesjid Walisanga menyelenggarakan kegiatan shalat Jumat. Berikut uraian ruang utama dan ruang dalam pada mesjid Sunan Ampel. Bangunan selatan memiliki ruang dalam, bangunan tengah memiliki ruang dalam, dan bangunan barat memiliki ruang utama. Ruang dalam bangunan selatan luasnya sekitar 1.296 m2. Ruang dalam bangunan tengah luasnya sekitar 1.568 m2. Ruang utama bangunan barat luasnya sekitar 750 m2. [a] Ruang dalam bangunan selatan Bentuk Ruang dalam bangunan selatan berlantai dari bahan granit, posisinya rata dengan lantai serambi. Ruang dalam dikelilingi oleh dinding tembok tingginya 5 m dan tebal 50 cm, dengan beberapa lubang pintu. Lubang-lubang tanpa pintu berjumlah 11 buah, berada di bagian dalam, dan lubang-lubang yang berpintu berjumlah 18 buah, berada di bagian luar, yang membatasi serambi dengan ruang dalam. Lubang-lubang pintu memiliki ukuran lebar 2 meter dan tinggi 4 meter, dan pada bagian atas berbentuk lengkung setengah lingkaran. Pintu-pintu berdaun dua berbahan kayu jati. Pada lengkungan setengah lingkaran terdapat ornamen berbentuk panah yang disusun secara radial.
72
Pada sisi dalam dari dinding ruang dalam terdapat kolom batu bulat berdiameter 80 cm, berjumlah 20 buah, berpelipit kayu warna coklat plituran kayu. Pada ujung atas masing-masing kolom disambung dengan kolom-kolom kayu berbentuk segi delapan berdiameter (jarak ujung lancip) 45 centimeter, berwarna coating kayu. Kolom-kolom ini menopang atap bentuk tajug tumpang pertama pada bagian tengahnya. Pada bagian tengah ruang dalam terdapat 16 kolom kayu berbentuk segi delapan berdiameter (jarak ujung lancip) 45 centimeter, berwarna coating kayu, dengan jarak antar kolom 4 meter. Keenam belas kolom ini merupakan soko guru yang menopang atap berbentuk tajug tumpang kedua (puncak atap). Empat soko guru yang di tengah tingginya 17 meter, dan dua belas soko guru di sisi luar tingginya 13,5 meter. Kedua belas soko guru ini juga menopang bagian atas atap tajug tumpang pertama. Masing-masing kolom yang menopang atap tajug tumpang dihubungkan dengan balok-balok kayu. Bangunan mesjid Sunan Ampel yang paling awal bisa jadi adalah bangunan yang sekarang beratap tajug tumpang kedua ini, dengan luas 12 m x 12 m, yaitu 144 m2. Pada bagian bawah soko guru berupa umpak batu berbentuk seperti setengah buah waloh (segi delapan) berlapis marmer, berdiameter (jarak ujung lancip) 80 centimeter, dan tinggi 50 centimeter. Di atas umpak, pada bidang segi delapan masing-masing kolom sokoguru terdapat ornamen berbentuk tlacapan berwarna kuning emas. Ruang dalam mesjid dinaungi atap berbentuk tajug tumpang dua. Pada bagian puncak atap terdapat memolo atau mustoko dari bahan besi kuningan. Di antara atap tajug tumpang pertama dan tumpang kedua terdapat jendela-jendela kaca. Plafon
73
ruang dalam dari bahan kayu lambrisering. Penutup atap berupa metal roof berwarna hitam. [Gambar 3.9].
a. Perspektif mesjid bangunan selatan b. Interior mesjid bangunan selatan Sudut pengambilan gambar (b) c. Key plan menara
memolo soko guru blandar
Ruang dalam
d. Potongan ruang dalam mesjid, bangunan selatan
Gambar 3.9 Ruang dalam mesjid Sunan Ampel, bangunan selatan. Fungsi Ruang dalam bangunan selatan berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat, berdoa, berdzikir, dan kegiatan pengajian ilmu agama. Kegiatan shalat yang dilaksanakan di ruang dalam ini, yaitu shalat Lima Waktu, shalat Jumat, dan shalat sunat bagi para peziarah. Kegiatan pengajian tahunan dilaksanankan dalam rangka
74
memperingati hari-hari besar agama Islam, yaitu tahun baru Islam (1 Muharam), nuzulul Al-qur’an (17 Ramadhan), hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabi’ul Awwal), dan kegiatan dalam rangka haul Sunan Ampel (13-15 Sya’ban). [b] Ruang dalam bangunan tengah Bentuk Ruang dalam bangunan tengah, lantainya dari bahan marmer, posisinya rata dengan lantai serambi. Di ruang dalam terdapat lubang-lubang berbentuk lengkung pada dinding-dinding pembatas ruangnya. Dinding-dinding ini memiliki ketebalan 40 centimeter yang berfungsi sebagai pemikul beban konstruksi atap. Di sisi dalam terdapat empat deretan lengkungan berjumlah 16 buah, di sisi selatan berjumlah 4 buah, dan di sisi barat berjumlah 11 buah. [Gambar 3.10].
a. Perspektif mesjid bangunan tengah b. interior mesjid bangunan tengah Sudut pengambilan gambar (b) memolo
c. Key plan
atap tajug tumpang dua Ruang dalam
d. Potongan ruang dalam mesjid, bangunan tengah
Gambar 3.10 Ruang dalam mesjid Sunan Ampel, bangunan tengah.
75
Ruang dalam dinaungi atap berbentuk susunan tajug tumpang dua yang jumlahnya 12 buah, yang ditopang oleh kolom-kolom bulat berdiameter 80 centimeter, berjumlah 6 buah, dengan ketinggian 5 meter. Kolom-kolom ini ditempatkan dengan cara berpasangan menjadi tiga pasang. Plafon ruang dalam dari bahan kayu lambrisering. Fungsi Ruang dalam bangunan tengah berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat.
[c] Ruang utama bangunan barat Bentuk Ruang utama bangunan barat, lantainya sama dengan lantai serambi, dari bahan keramik, dan posisinya 60 cm lebih tinggi daripada pelataran. Ruang utama memiliki kolom-kolom batu bulat yang masing-masing berdiameter 80 centimeter. Kolom bagian bawah berupa umpak tinggi 50 centimeter dan bagian tengah dilapis kayu jati berwarna plituran kayu. Di bagian tengah ruangan jumlah kolomnya 12 buah, dengan ketinggian 12 meter, sebagai soko guru. Kedua belas kolom ini menopang konstruksi atap kubah, dan sebagai topangan konstruksi atap tajug pada bagian atasnya. Di sisi-sisi luar soko guru terdapat kolom dengan ketinggian 8,5 meter, sebagai penopang konstruksi atap tajug pada bagian tengahnya. Empat kolom di sisi kanan dan empat kolom di sisi kiri soko guru posisinya berada di dalam ruangan, sedangkan kolom di sisi depan dan belakang soko guru menyatu dengan dinding pembatas ruang utama. [Gambar 3.11].
76
Pada bagian paling bawah atap tajug ditopang oleh kolom-kolom serambi. Plafon ruang utama, di bawah atap tajug dari bahan kayu lambrisering berwarna plituran kayu. Di dalam ruang utama pada sisi barat terdapat mimbar.
a. Perspektif mesjid bangunan barat b. Interoir mesjid bangunan barat Sudut pengambilan gambar (b)
c. Key plan memolo batang besi kubah menara baru
soko guru Ruang utama
d. Potongan ruang utama mesjid, bangunan barat
Gambar 3.11 Ruang utama mesjid Sunan Ampel, bangunan barat.
Atap bangunan barat, pada bagian bawah berbentuk tajug dengan penutup atap genteng keramik warna merah bata, dan pada bagian atas berbentuk kubah dari bahan tembus pandang warna gelap. Atap kubah berdiameter 9 meter. Pada sisi
77
luarnya dipasang pipa besi berjumlah 64 batang, yang disusun miring berbentuk tajug. Pada tampak luar bangunan, atap kubah tidak begitu terlihat karena terhalang oleh susunan pipa besi yang berbentuk tajuk. Atap kubah dikelilingi dinding batu segi empat setinggi 1 meter, bercat warna putih. Pada puncak atap terdapat memolo dari bahan besi kuningan, yang dipasang di atas susunan batang pipa yang berbentuk tajug. Bentuk tajug susunan pipa ini memperlihatkan ekspresi bentuk atap tajuk tumpang kedua, yang seolah-olah berdiri di atas atap tajug di bawahnya, yang menaungi ruang utama. Fungsi Ruang utama bangunan barat mesjid Sunan Ampel berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Jumat. Pada hari-hari biasa, ruang utama bangunan barat selalu dalam keadaan tertutup, kecuali pada hari Jumat, karena untuk pelaksanaan shalat Jumat.
[5] Bentuk bangunan dalam area makam Mesjid Sunan Ampel menjadi satu kompleks dengan area makam yang terletak di sebelah barat. Area makam luasnya sekitar 2.247 m2. Bentuk Pada bagian sisi tenggara terdapat gapuro ngamal sebagai pintu gerbang area makam. Berikutnya terdapat gapuro madep dan gapuro paneksen sebagai pintu masuk ke makam Sunan Ampel. Makam Sunan Ampel tidak memiliki cungkup. Makam Sunan Ampel berpasir putih, dikelilingi pagar besi stainless setinggi 1,5 meter. Di dekat gapuro madep terdapat beberapa gentong besar untuk menampung air. [Gambar 3.12].
78
Gapuro madep
Gapuro paneksen
Gentong
a. Gapuro sebagai pintu masuk ke makam Sunan Ampel
Gapuro poso
Gapuro ngamal
Gapuro madep
b. Key plan
Gapuro paneksen
c. Bentuk gapuro
Gambar 3.12 Bentuk bangunan dalam area makam Sunan Ampel.
Fungsi Bangunan-bangunan gapura di area makam merupakan fasilitas makam yang berfungsi sebagai gerbang masuk ke bagian-bagian area makam, bagi para peziarah.
3.2 Mesjid Agung Demak 3.2.1 Lokasi Mesjid Agung Demak berdiri di atas tanah seluas lebih dari 1 hektar di kawasan pusat kota. Mesjid Agung Demak berfungsi sebagai mesjid jami dan pernah memiliki kedudukan formal sebagai mesjid negara kesultanan Demak pada zaman
79
dahulu. Lokasi mesjid persis di sebelah barat alun-alun kota Demak. Tidak jauh dari alun-alun, sekitar 250 meter di arah utara, menyeberang sungai Tuntang, terdapat kantor bupati Demak. [Gambar 3.13 dan Gambar 3.14].
Demak
Lokasi mesjid
Gambar 3.13 Peta lokasi mesjid Agung Demak dalam lingkup kota. Sumber: Wikimapia [2015]
Kabupaten
Areal makam
Mesjid Agung Demak
a
b
Gambar 3.14 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Agung Demak. Sumber: Wikimapia [2015]
3.2.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah Mesjid Agung Demak, dibangun oleh Walisanga, tahun 1477-1481 M. [Syamlawi, 1983]. Mesjid Agung Demak selama masa keberadaannya sudah beberapa kali mengalami perbaikan dan perluasan. Pada awalnya, penampilan mesjid Agung
80
Demak terkesan sederhana, masih berupa single building. Data gambar awal adalah mesjid Agung Demak, yang dibuat sekitar tahun 1710 M. Penambahan fasilitas yang mula-mula adalah bangunan serambi yang terkenal dengan ‘serambi Majapahit', yang diperkirakan menyatu dengan bangunan utama mesjid Agung Demak pada tahun 1845 Masehi. [de Graaf, 1985]. Pada tahun 1848 pemerintah Hindia Belanda mengadakan pembaharuan terhadap bangunan mesjid yang mencakup juga usaha untuk memperkuat kolomkolom utama (soko guru) dengan jalan memberi pelapis kayu dan klem-klem besi. Hingga tahun 1920, di depan mesjid terdapat sebuah regol, berbentuk semar tinandu, sebagai gerbang utama. Di belakang regol terdapat bangunan penghubung ke serambi mesjid yang dinamakan tratag rambat. [de Graaf, 1949]. Pada tahun 1924 atap sirap serambi dan mesjid diganti dengan sirap yang baru. Pada tahun 1932 dibangun sebuah menara adzan dengan struktur rangka besi di sebelah tenggara bangunan mesjid. Hingga tahun 1936 dilakukan penambahan fasilitas berupa gedung madrasah dan tangki air. Selama hampir tiga dasa warsa, bangunan mesjid Agung Demak tidak banyak mengalami perubahan. Pada tahun 1966 dilakukan pembongkaran pintu gerbang regol dan bangunan penghubung tratag rambat; dan kemudian dibangun kembali gapura dengan ornamen batu andesit seperti kondisi sekarang ini. Pada tahun 1967 dibuat sebuah kolam di sebelah tenggara bangunan mesjid yang kemudian terkenal dengan ‘kolam bersejarah’. Pada tahun ini juga dilakukan pembongkaran dan pembangunan kembali tempat wudlu di samping kanan dan kiri mesjid, serta dibangun pagar keliling kompleks mesjid sebagaimana kita lihat sekarang. Pada tahun 1969, dilakukan perkuatan kolom serambi. Pada tahun 2015 dilakukan perbaikan dan
81
pergantian penutup lantai pelataran mesjid dalam tapak, yang semula berupa batu andesit diganti dengan marmer. [Gambar 3.15].
makam
makam
b.bentuk mesjid 1845-1966
c.bentuk mesjid 1967-2015
2016
a.bentuk mesjid 1710
makam
1710 - Bentuk bangunan tunggal 1477-1481 - Bentuk tidak diketahui
1848 - soko guru diperkuat 1845 - Ditambah serambi
1920 - Bangun gerbang semar tinandu
1924 - Ganti atap sirap
1966 - Bongkar gerbang semar 1932 tinandu 2015 - Bangun - Pelataran menara andesit adzan diganti marmer
Gambar 3.15 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Agung Demak.
3.2.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang Eksplanasi dilakukan terhadap bentuk arsitektur mesjid Agung Demak dan fungsifungsi yang diwadahinya, pada masa sekarang, yaitu meliputi menara, tempat wudlu, serambi, ruang utama, pawestren, dan bentuk bangunan dalam area makam. [1] Menara Bentuk Bangunan menara terletak di sebelah tenggara bangunan mesjid. Konstruksi menara menggunakan baja siku. Tinggi total menara 22 meter, bagian dasar berbentuk segi
82
empat semakin ke atas semakin mengecil. Pada ketinggian 8 meter dibuatkan bordes mengelilingi menara. Bordes dinaungi atap berbentuk tajug dengan lubang di tengah. Pada ketinggian 17 meter terdapat bordes lagi yang lebih kecil daripada bordes yang pertama. Di bagian tengah bordes ini terdapat pelingkup dinding segi delapan setinggi 3 meter. Di atas bangunan berbentuk segi delapan ini terdapat atap kubah dari bahan alumunium, setinggi 2 meter. [Gambar 3.16].
a. Menara
b. Key plan Sudut pengambilan gambar (a)
c. Potongan menara
Gambar 3.16 Bentuk menara mesjid Agung Demak.
83
Fungsi Menara mesjid Agung Demak tidak memiliki fungsi. Kumandang adzan yang biasanya dikeraskan melalui loud speaker yang ditempatkan di atas Menara, pada mesjid Agung Demak ditempatkan di sela-sela atap tumpang. [2] Tempat wudlu Bentuk Tempat wudlu pria dan wanita terpisah, tempat pria di sebelah utara bangunan mesjid dan tempat wanita di sebelah selatan, di dekat pawestren. Tempat wudlu pria dihubungkan dengan selasar ke serambi mesjid. Tempat wudlu wanita bersebelahan dengan pawestren (tempat shalat kaum wanita). Arsitektur tempat wudlu pria dan wanita memiliki banyak kesamaan dalam bentuk dan penggunaan bahan bangunan. Bagian pintu masuk tempat wudlu beratap bentuk joglo dengan menggunakan konstruksi beton bertulang. [Gambar 3.17].
Tempat wudlu pria
b. Tempat wudlu wanita
a. Tempat wudlu pria
Tempat wudlu wanita
Sudut pengambilan gambar (a)
Gambar 3.17 Bentuk tempat wudlu mesjid Agung Demak.
c. Key plan
84
Fungsi Tempat wudlu berfungsi sebagai wadah kegiatan bersuci, yaitu membersihkan sebagian badan, meliputi telapan tangan, lengan tangan, muka, sebagian kepala, telinga, dan kaki. Kegiatan bersuci adalah wajib bagi kaum muslim yang akan melaksanakan shalat. [3] Serambi Bentuk Mesjid Agung Demak memiliki serambi di bagian depan (timur), selasar kanan (selatan) dan selasar kiri (utara). Serambi luasnya 18,2 m x 28,2 m, yaitu 513,24 m2. Selasar kiri (utara), kanan (selatan) dan belakang (barat) luas totalnya 2 m x 72,6 m, yaitu 145 m2. Serambi Mesjid Agung Demak dikenal dengan ‘serambi Majapahit’, lantainya dari bahan marmer warna putih, posisinya lebih tinggi 30 cm daripada pelataran. Pelataran mesjid juga dari bahan marmer. Di bagian tengah serambi terdapat 8 kolom kayu segi empat ukuran 40 cm x 40 cm, tingginya 5 meter. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 40 cm berbentuk bunga padma warna hitam. Pada bagian bawah umpak ini terdapat umpak lagi ukuran 60 cm c 60 cm setinggi 25 cm, berupa batu beton dilapis marmer putih. Pada permukaan kolom dipenuhi ornamen. Kedelapan kolom ini merupakan penopang utama konstruksi atap limasan yang menaungi serambi. Kedelapan kolom kayu yang berada di serambi, menurut legenda, di bawa dari keraton Majapahit di Trowulan dan terkenal dengan nama soko Majapahit. Pada bagian atas kedelapan kolom terdapat balok-balok memanjang dinamakan blandar dan balok-balok melintang dinamakan pengerat. Kedua jenis
85
balok ini disambungkan dengan sistim catokan pada bagian ujung atas kolomkolom; balok-balok dipasang dengan posisi berdiri. Kurang lebih 70 cm di bawahnya terdapat balok-balok memanjang di bawah blandar dinamakan sunduk dan balok-balok melintang di bawah pengerat dinamakan kili-kili. Pertemuan antara kolom-kolom terhadap sunduk dan kili-kili menggunakan sistim sambungan purus, dengan posisi balok-balok berdiri. Di tengah-tengah antara blandar dan pengerat di satu pihak dengan sunduk dan kili-kili di pihak lain di beri ganjel atau sesanten. [Gambar 3.18].
a. Serambi mesjid Agung Demak
b. Key plan
Sudut pengambilan gambar (a)
Serambi depan
c. Potongan bangunan mesjid Agung Demak
Gambar 3.18 Bentuk serambi mesjid Agung Demak.
86
Pada sisi pinggir serambi terdapat 28 kolom batu segi empat berukuran 30 cm x 30 cm, tingginya 3 meter. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 35 cm berbentuk bunga padma warna hitam. Kedua puluh delapan kolom ini menopang konstruksi atap limasan bagian bawah. Di serambi mesjid ditempatkan dua pasang beduk dan kentongan. Fungsi Serambi mesjid Agung Demak berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat, berdoa, berdzikir, dan pengajian ilmu agama. Fungsi atau kegiatan pengajian ilmu agama meliputi kegiatan dua mingguan dan tahunan. Kegiatan pengajian ilmu agama dua mingguan diadakan dua kali dalam satu bulan, yaitu pada setiap waktu pagi (jam 9.00 wib) hari Sabtu pada minggu pertama dan pada minggu ketiga. Jamaah kaum pria di bagian kiri, dan jamaah kaum wanita di bagian kanan. Kegiatan pengajian ilmu agama tahunan dilaksanankan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam, yaitu tahun baru Islam (1 Muharam), nuzulul Al-qur’an (17 Ramadhan), hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabi’ul Awwal), dan kegiatan dalam rangka gerebeg besar (10 Dzulhijjah). [4] Ruang utama Bentuk Mesjid Agung Demak memiliki hanya ruang utama. Ruang utama mesjid Agung Demak, luasnya sekitar 585,64 m2. Ruang utama, lantainya dari bahan marmer warna putih keabu-abuan, dan posisinya lebih tinggi 5 cm daripada lantai serambi. Ruang utama mesjid dikelilingi dinding tembok setinggi 5 meter dengan ketebalan 50 cm. Pada dinding sisi kanan (Utara) dan kiri (selatan), masing-masing terdapat
87
satu pintu dan dua jendela. Pintu berukuran lebar 1,8 meter dan tinggi 3,8 meter. Kusen pintu berukuran 35 cm x 35 cm. Jendela berukuran lebar 1,5 meter dan tinggi 2 meter. Kusen jendela berukuran 25 cm x 25 cm. Pada dinding sisi belakang (barat), di bagian tengah terdapat mihrab. Di samping kanan dan kiri mihrab masing-masing terdapat dua jendela dengan ukuran dan bentuk sama dengan jendela lainnya. Di dekat mihrab, di sebelah kanan terdapat mimbar dan di sebelah kiri terdapat maksura. Di sisi dalam kanan dan kiri ruang utama Mesjid Agung Demak terdapat juga dinding berlubang dengan bentuk lengkung setengah lingkaran pada bagian atasnya. Tinggi dinding ini 7 meter dengan ketebalan 50 cm. Semua dinding, baik dinding keliling maupun dinding sisi dalam, pada bagian bawah dilapis bahan keramik warna kuning, dan bagian atas dicat warna putih. Pada dinding di sebelah timur terdapat tiga pintu besar dan dua jendela besar. Dua pintu yang berada di samping kanan dan kiri berukuran lebar 1,8 meter dan tinggi 3,8 meter. Satu pintu yang di tengah berukuran lebar 2 meter dan tinggi 3,8 meter. Kusen kayu pintu berukuran 35 cm x 35 cm. Pintu yang di tengah dikenal dengan lawang bledek. Pada bagian tengah ruang utama mesjid terdapat 4 kolom kayu soko guru masing-masing berdiameter 95 cm, tingginya 7 meter, warna coating kayu. Menurut legenda, keempat soko guru disumbangkan oleh empat wali yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Diameter asli keempat kolom soko guru adalah 65 cm dan tingginya 16 meter tanpa sambungan. Diameter bertambah menjadi 95 cm karena masing-masing kolom ditambah papan pelipit. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 20 cm. Tinggi kolom
88
soko guru dari dasar sampai puncak atap adalah 16 meter, namun pada ketinggian 7 meter ditutup plafon. Plafon menggunakan bahan papan kayu dicat warna kuning. Keempat kolom soko guru menjadi konstruksi utama menopang atap berbentuk tajug tumpang tiga. Tumpang kedua dan ketiga hingga sekarang masih ditopang oleh keempat kolom soko guru ini, namun sudah diperkuat dengan bajabaja seling. Soko guru menopang konstruksi atap tumpang ketiga pada bagian bawahnya dan menjadi topangan konstruksi atap tumpang kedua pada bagian atasnya. Di sisi luar soko guru terdapat 12 kolom batu berdiameter 95 cm, tingginya 7 meter. Kolom-kolom ini dinamakan soko pengarak. Pada bagian bawah dilapis keramik warna kuning dan bagian atasnya dicat warna putih. Pada bagian bawah terdapat umpak setinggi 20 cm. Empat soko pengarak di sisi kiri (selatan) dan empat soko pengarak di sisi kanan (utara) menyatu dengan dinding-dinding. Di antara kolom-kolom soko pengarak dibuatkan lubang dengan bentuk lengkung setengah lingkaran pada bagian atasnya. Semua kolom soko pengarak tinggi sebenarnya adalah 8,5 meter dan ditutup plafon pada ketinggian 7 meter. Soko pengarak menopang konstruksi atap tumpang kedua pada bagian bawahnya dan sekaligus menopang konstruksi atap tumpang pertama pada bagian atasnya. Konstruksi atap tumpang pertama pada bagian bawah ditopang oleh dindingdinding keliling dan kolom-kolom batu bulat yang ada di selasar kanan (utara), kiri D(selatan) dan belakang (barat). Kolom-kolom ini berdiameter 65 cm dan tingginya 5 meter, pada bagian bawahnya terdapat umpak setinggi 20 cm. Kolom-kolom ini dicat warna putih. Di antara tumpang satu dan lainnya terdapat lubang-lubang jendela yang diberi pengaman kawat besi. Jendela-jendela ini bisa dibuka-tutup melalui loteng.
89
Untuk menuju loteng melalui tangga kayu yang terletak di sisi selatan ruang dalam mesjid. Plafon ruang dalam mesjid menggunakan papan kayu dicat warna kuning. Penutup atap dari bahan sirap warna hitam. Pada puncak atap terdapat memolo dari bahan logam kuningan. [Gambar 3.19].
a. Interior ruang utama mesjid
b. Mihrab
c. Key Plan
Sudut pengambilan gambar (a)
Ruang utama soko guru menerus setinggi 16 m
d. Potongan ruang utama mesjid
Gambar 3.19 Ruang Utama Mesjid Agung Demak.
90
Fungsi Ruang utama mesjid Agung Demak berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat bagi para peziarah. [5] Pawestren Bentuk Pawestren mesjid Agung Demak, luasnya sekitar 174,24 m2. Pawestren terletak di sebelah kanan (selatan) ruang utama mesjid. Pawestren, lantainya dari bahan homogenious tile warna abu-abu, posisinya lebih rendah 5 cm daripada lantai ruang utama mesjid. Di dalam pawestren terdapat 10 kolom kayu segi empat berukuran 20 cm x 20 cm, tingginya 4 meter, dicat warna coklat. Pada bagian atas kolom-kolom terdapat blandar dan pengerat. Di tengahtengah pengerat terdapat ander. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 15 cm. Kesepuluh kolom merupakan konstruksi utama penopang atap berbentuk limasan. Plafon dari bahan papan kayu warna coating kayu. Penutup atap dari bahan sirap warna hitam. [Gambar 3.20].
a. Interior pawestren Sudut pengambilan gambar (a)
b. Key plan
Gambar 3.20 Pawestren mesjid Agung Demak.
91
Fungsi Pawestren mesjid Agung Demak berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Sunat bagi kaum wanita. [6] Bentuk bangunan dalam area makam Bentuk Keberadaan Mesjid Agung Demak menjadi satu kompleks dengan area makam raja-raja Kerajaan Demak, salah satunya adalah makam Sultan Trenggono (sultan ketiga kerajaan Islam Demak) yang memiliki cungkup. Bangunan cungkup beratap bentuk tajug tumpang dua, dan berdinding papan. Di luar cungkup terdapat makam Raden Patah (sultan pertama) dan Pati Unus (sultan kedua). [Gambar 3.21].
a. Cungkup makam Sultan Trenggono
b. Key plan Sudut pengambilan gambar (a)
c. Tajuk
d. Pelataran nisan makam Raden Patah
Gambar 3.21 Bentuk bangunan dalam area makam mesjid Agung Demak.
92
Fungsi Bangunan cungkup makam Sultan Trenggono berfungsi sebagai wadah ziarah.
3.3 Mesjid Agung Sang Cipta Rasa 3.3.1 Lokasi Mesjid Agung Sang Cipta Rasa secara administratif terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kotamadya Cirebon, Propinsi Jawa Barat. [Gambar 3.22 dan Gambar 3.23].
Cirebon
Lokasi mesjid
Lokasi Mesjid
Gambar 3.22 Peta lokasi mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam lingkup kota. Sumber: Wikimapia [2015]
Mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Keraton Kasepuhan
b
a
Gambar 3.23 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Sumber: Wikimapia [2015]
93
Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun di sebelah barat alun-alun kota Cirebon, berada sekitar 100 meter sebelum pintu masuk ke keraton Kasepuhan Cirebon. Keberadaan mesjid Agung Sang Cipta Rasa berkaitan erat dengan aktivitas keraton Kasepuhan Cirebon, sejak dahulu hingga sekarang. Pengelolaan mesjid Agung Sang Cipta Rasa berada di bawah manajemen keraton. Segala kegiatan yang dilaksanakan oleh pengurus Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM) mesjid Agung Sang Cipta Rasa harus mendapat izin dari pihak keraton.
3.3.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah Mesjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dibangun beberapa saat setelah mesjid Agung Demak berdiri atas prakarsa Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal Sunan Gunung Jati, seorang ulama yang datang dari negeri Mesir. Pada tahun 1479 Masehi, oleh para wali di Jawa, Syarif Hidayatullaah, diangkat menjadi pemimpin pengembang agama Islam di kawasan Jawa bagian barat yang berpusat di Cirebon, dan berkedudukan di keraton Pakungwati [Sudjana, 2003]. Syarif Hidayatullah wafat tahun 1568 dan dimakamkan di gunung Sembung [Sulendraningrat, 1985]. Mesjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon sejak berdirinya tahun 1489 Masehi hingga sekarang telah mengalami beberapa perluasan. Bangunan mesjid, bentuk aslinya berukuran 25 x 25 m2. Pada abad ke-17 Masehi, pada zaman Panembahan Ratu, serambi mesjid bagian timur diperluas. Kemudian tahun 1965 - 1967, serambi mesjid bagian timur ini diperluas lagi [Sudjana, 2003]. Kekhasan mesjid Agung Sang Cipta Rasa, yang membedakannya dengan mesjid-mesjid Walisanga lainnya adalah bentuk atapnya limasan tumpang. [Gambar 3.24].
94
b.bentuk mesjid abad ke-17
c.bentuk mesjid 1965-1967
2016
a.bentuk mesjid 1489?
Abad ke-17 - Ditambah serambi 1489 - Bentuk tidak diketahui
1965-1967 - Serambi diperluas
Gambar 3.24 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
3.3.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang Eksplanasi bentuk arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa dan fungsi-fungsi yang diwadahinya, pada masa sekarang meliputi tempat wudlu, serambi, dan ruang utama. [1] Tempat wudlu Bentuk Tempat wudlu terletak di sebelah utara bangunan mesjid. Tempat wudlu pria dan wanita berdekatan, masih dalam satu bangunan, tidak ada pembatas yang jelas. Masing-masing tempat wudlu dilengkapi dengan tempat mandi. Lantainya dari bahan keramik warna krem, posisinya lebih tinggi 30 cm daripada pelataran.
95
Dindingnya dicat warna putih. Pada dinding bagian depan berupa tembok bata yang dicat warna merah bata, dan bagian di tengahnya terdapat dua pilar. Bangunan tempat wudlu beratap bentuk limasan. Plafon dari bahan multipleks dicat warna putih. Penutup atap dari bahan genteng beton dicat warna hitam. [Gambar 3.25].
Tempat wudlu
a. Tempat wudlu pria dan wanita Sudut pengambilan gambar (a)
b. Key plan
Gambar 3.25 Bentuk tempat wudlu mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
Fungsi Tempat wudlu mesjid Agung Sang Cipta Rasa berfungsi, selain wadah kegiatan bersuci bagi kaum muslim yang akan melaksanakan shalat, juga wadah kegiatan mandi bagi sebagian masyarakat setempat pada hari-hari tertentu, dengan tujuan mendapatkan apa yang diinginkannya. [2] Serambi Bentuk Serambi mesjid Agung Sang Cipta Rasa terdiri atas serambi depan (timur), serambi kanan (selatan) dan serambi kiri (utara). Serambi depan luasnya sekitar 716,8 m2. Serambi kiri luasnya sekitar 364 m2. Serambi kanan luasnya sekitar 256 m2.
96
Serambi depan, lantainya dari bahan tegel warna merah tua, posisinya lebih tinggi 8 cm daripada pelataran. Serambi yang luas ini dinaungi dua atap limasan, yang satu dekat dengan pagar pembatas sebelah timur, dekat dengan gerbang masuk, dan yang lainnya di sebelah baratnya. Serambi depan yang dekat dengan gerbang masuk dari arah timur, di bagian tengahnya terdapat 12 kolom kayu segi empat ukuran 20 cm x 20 cm, tingginya 3,6 meter. Kedua belas kolom ini bertindak sebagai soko guru. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 40 cm. Pada bagian atas kolom-kolom terdapat balok-balok blandar dan pengerat. Kedua jenis balok ini disambungkan dengan sistim catokan pada bagian ujung atas kolom-kolom, dan dipasang dengan posisi tidur. Di bawah blandar dan pengerat, sekitar 60 cm, terdapat balok-balok sunduk dan kili-kili. Pertemuan antara kolom-kolom terhadap sunduk dan kili-kili menggunakan sistim sambungan purus, dengan posisi balok-balok berdiri. Pada sisi-sisi luar soko guru terdapat 28 kolom kayu segi empat berukuran 12 cm x 12 m, tingginya 2,4 meter. Pada bagian bawah terdapat umpak setinggi 10 cm. Kedua puluh delapan kolom ini bertindak sebagai soko pengarak. Pada bagian atas kolomkolom terdapat balok-balok blandar dan pengerat pengarak, yang posisinya berdiri. Soko guru dan soko pengarak menopang konstruksi atap berbentuk limasan. Semua kolom dan balok dicat warna coklat tua. Plafon menggunakan bahan multipleks dicat warna putih. Penutup atap dari bahan metal roof warna hitam. Serambi depan yang dinaungi atap limasan di sebelah barat atap limasan pertama, di bagian tengahnya terdapat 8 kolom kayu segi empat berukuran 35 cm x 35 cm, tingginya 4,2 meter. Kedelapan kolom ini bertindak sebagai soko guru. Pada bagian bawah terdapat umpak setinggi 60 cm. Pada bagian atas kolom-kolom
97
terdapat balok-balok blandar dan pengerat yang dipasang dengan posisi tidur. Di bawah blandar dan pengerat sekitar 60 cm terdapat sunduk dan kili-kili, yang dipasang dengan posisi berdiri. Di antara blandar dan sunduk di satu pihak, dan pengerat dan kili-kili terdapat sesanten. [Gambar 3.26].
a. Serambi depan, dekat gerbang masuk
b. Key plan
Sudut pengambilan gambar (a)
Serambi depan
c. Potongan bangunan mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Gambar 3.26 Bentuk serambi mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
Di sisi-sisi luar soko guru terdapat 24 kolom kayu segi empat berukuran 20 cm x 20 cm, tingginya 2,8 meter. Kedua puluh empat kolom bertindak sebagai soko pengarak. Pada bagian bawah terdapat umpak setinggi 8 cm. Pada bagian atas
98
kolom-kolom terdapat blandar yang dipasang dengan posisi berdiri. Semua kolom dan balok dicat warna coklat tua. Soko guru dan soko pengarak menopang konstruksi atap bentuk limasan. Plafond dari bahan multipleks dicat warna putih. Penutup atap dari bahan metal roof warna hitam. Di serambi kedua, pada sisi barat ditempatkan gebyok berukir. Serambi kiri (utara) dan serambi kanan (selatan) hampir sama ukuran dan bentuknya, hanya saja pada serambi kiri ada penambahan. Lantai serambi, bahan dan posisinya sama dengan lantai serambi depan. Pada bagian tengah serambi, baik serambi kanan maupun kiri, terdapat 18 kolom kayu segi empat berukuran 20 cm x 20 cm, tingginya 3,6 meter. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 40 cm. Kedelapan belas kolom ini bertindak sebagai soko guru. Pada sisi luar soko guru terdapat 26 kolom kayu segi empat berukuran 12 cm x 12 cm, tingginya 2,4 meter. Kedua puluh enam kolom ini bertindak sebagai soko pengarak. Pada bagian bawah terdapat umpak setinggi 30 cm. Soko guru dan soko pengarak menopang konstruksi atap berbentuk limasan. Konstruksi bagian atas kolom-kolom soko guru dan soko pengarak sama dengan yang ada pada serambi pertama. Di serambi kiri terdapat sumber air yang oleh sebagian masyarakat setempat dikeramatkan. Fungsi Serambi mesjid Agung Sang Cipta Rasa berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, dan pengajian ilmu agama. Kegiatan shalat Lima Waktu berjamaah dilakukan di serambi. Jamaah pria berada di bagian kiri (di belakang imam) dan jamaah wanita di bagian kanan (sebelah kanan jamaah pria). Imam shalat tidak berdiri di mihrab.
99
Fungsi atau kegiatan pengajian ilmu agama meliputi kegiatan mingguan dan tahunan. Kegiatan pengajian ilmu agama mingguan diadakan pada setiap waktu bada shalat isya hari Selasa, bertempat di serambi kanan mesjid. Kegiatan pengajian ini untuk kaum pria dan wanita. Jamaah kaum pria di sebelah kanan, dan jamaah kaum wanita di sebelah kiri. Kegiatan pengajian ilmu agama tahunan dilaksanankan dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabi’ul Awwal), dan kegiatan dalam rangka haul Sunan Gunung Jati (12 Dzulhijjah). [3] Ruang utama Bentuk Mesjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki hanya ruang utama. Ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa, luasnya, dengan selasar yang mengelilinginya, sekitar 864 m2. Ruang utama dikelilingi oleh dinding tembok bata tanpa plesteran, tingginya 2 meter dan tebalnya 70 cm. Pada dinding keliling ruang utama mesjid terdapat 9 pintu masuk. Satu pintu masuk berada di sisi timur, tepat di bagian tengah, sebagai pintu utama, berukuran lebar 1 meter dan tinggi 1,7 meter. Empat pintu masuk, masing-masing berada di sisi utara dan selatan. Dua pintu masuk yang ada di bagian tengah berukuran lebar 0,65 meter dan tinggi 1,2 meter. Dua pintu masuk yang ada di sisi pinggir berukuran lebar 0,65 meter dan tinggi 1,7 meter. Tepat di depan pintu utama (sebelah timur), di selasar, lantainya dibuat lebih rendah 30 cm dari lantai selasar atau lantai serambi, seluas 2 m x 5 m, yaitu 10 m2. Di bagian tengah ruangan terdapat 12 kolom kayu bulat berdiameter 40 cm, tingginya 13 meter. Pada bagian bawah terdapat umpak setinggi 20 cm. Kedua belas
100
kolom ini bertidak sebagai soko guru. Pada bagian atas, di ketinggian 1,9 m, 8 m dan 13 m, terdapat pasangan blandar – pengerat dan sunduk – kili-kili. Di sisi-sisi luar soko guru, tepat di sisi dalam dinding keliling, terdapat 18 kolom kayu bulat berdiameter 35 cm, tingginya 1,9 meter. Kedelapan belas kolom ini tidak menopang konstruksi atap, hanya sebagai penguat konstruksi soko guru dengan pasangan blandar - pengerat dan sunduk - kili-kili, dipasang dengan posisi berdiri. [Gambar 3.27].
c. Key plan a. Interior ruang utama mesjid
b. Konstruksi soko guru
Ruang utama
Sudut pengambilan gambar (a)
d. Potongan ruang utama mesjid
Gambar 3.27 Ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
101
Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 20 cm. Berdampingan dengan kolom-kolom ini, tepat di sisi luar dinding keliling, di selasar keliling, terdapat 18 kolom kayu bulat lagi dengan diameter 35 cm, tingginya 8 meter. Kedelapan belas kolom ini bertindak sebagai soko pengarak. Soko guru dan soko pengarak dihubungkan oleh pasangan blandar – pengerat dan sunduk – kili-kili, dipasang dengan posisi berdiri. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 20 cm. Kedua belas soko guru, masing-masing diperkuat dengan empat pipa besi berdiameter 7,5 cm, setinggi 13 meter. Pada beberapa bagian dari kolom-kolom soko guru juga diberi klem-klem besi, terutama pada sambungan antara kolom dan balok. Soko guru dan soko pengarak menjadi konstruksi utama atap bentuk limasan tumpang tiga yang menaungi ruang dalam mesjid. Soko guru menopang konstruksi atap tumpang ketiga pada bagian bawahnya, dan juga menopang konstruksi atap tumpang kedua pada bagian atasnya. Soko pengarak menopang konstruksi atap tumpang kedua pada bagian bawahnya, dan juga menopang konstruksi atap tumpang pertama pada bagian atasnya. Fungsi Ruang utama mesjid Agung Demak berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Jumat, shalat Sunat, berdoa, dan berdzikir. Kegiatan shalat Jumat berjamaah dilaksanakan di ruang utama. Dalam kegiatan shalat Jumat, imam shalat berdiri di mihrab. Sebelum shalat Jumat berjamaah dilakukan, dikumandangkan adzan pitu, yaitu kumandang adzan yang dilakukan oleh tujuh orang muadzin secara bersama-sama. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan di ruang utama adalah berdiam diri dan berdoa. Kegiatan ini dilakukan setiap hari selama 24 jam.
102
3.4 Mesjid Sunan Giri 3.4.1 Lokasi Mesjid Sunan Giri terletak di atas sebuah bukit di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Bangunan mesjid menjadi satu kompleks dengan area makam Sunan Giri. Lokasi kompleks dapat dicapai dari kota Gresik dengan kendaraan bermotor roda empat sampai di area parkir, di kaki bukit, di depan jalan masuk kompleks. Dari kaki bukit menuju mesjid, pengunjung harus berjalan kaki melalui jalan mendaki sejauh sekitar 150 meter. [Gambar 3.28 dan Gambar 3.29].
Gresik
Pusat kota
Lokasi mesjid
Gambar 3.28 Peta lokasi mesjid Sunan Giri dalam lingkup kota. Sumber: Wikimapia [2015]
Area makam
Kompleks mesjid Sunan Giri Area parkir
a
b
Gambar 3.29 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Sunan Giri. Sumber: Wikimapia [2015]
103
3.4.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah Mesjid Sunan Giri dulunya adalah mesjid kecil atau langgar yang berada di kompleks Giri Kedaton, sekitar 500 meter ke arah tenggara dari Bukit Giri. Mesjid kecil ini kemudian dipindahkan dari Giri Kedaton ke bukit Giri oleh salah seorang cucu Sunan Giri bernama Nyi Ageng Kabunan, pada tahun 1544 Masehi. Tidak diketahui kapan Sunan Giri mendirikan mesjid kecil atau langgar di Giri Kedaton. [Gambar 3.30].
b.bentuk mesjid 1789
c.bentuk mesjid 1957
2016
a.bentuk mesjid 1544?
1789 - Mesjid diperluas 1544 - Bentuk tidak diketahui
1957 - Mesjid diperluas lagi ke utara
Gambar 3.30 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Sunan Giri.
Mesjid Sunan Giri mengalami penambahan-penambahan dan perluasan. Pada tahun 1789, mesjid diperluas oleh H. Ya’kub Rekso Astono. Bangunan utama mesjid Sunan Giri yang sekarang ini adalah hasil pembangunan oleh H. Ya’kub
104
Rekso Astono. Sementara bangunan mesjid yang didatangkan dari Giri Kedaton masih berdiri di samping bangunan mesjid utama, yang kemudian dikenal dengan mesjid wedok (khusus wanita). Pada tahun 1957 diadakan renovasi dan perluasan halaman mesjid dengan memindahkan pendopo mesjid dari halaman muka ke sebelah utara [Wiryoprawiro, 1986]. Sekarang ini, Mesjid Sunan Giri luasnya mencapai 1.750 m2.
3.4.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang Eksplanasi bentuk dan fungsi arsitektur mesjid Sunan Giri masa sekarang meliputi tempat wudlu, serambi, ruang utama dan ruang dalam, pawestren, dan bangunanbangunan yang berada di area makam. Mesjid Sunan Giri tidak memiliki Menara. [1] Tempat wudlu Bentuk Tempat wudlu pria berada di bawah lantai serambi, posisinya di basement, di kanan dan kiri bagian depan serambi mesjid. Masing-masing tempat wudlu ini luasnya sekitar 10 m2. Tempat wudlu wanita berada di depan pawestren, posisinya di samping tangga, luas sekitar 15 m2. [Gambar 3.31]. Fungsi Tempat wudlu berfungsi sebagai wadah kegiatan berwudlu atau bersuci, sebagai syarat sahnya kegiatan shalat. Tempat wudlu berupa kran pancuran air dan bak air. Seseorang yang sudah berwudlu dapat langsung menuju serambi mesjid dengan terlebih dahulu menaiki beberapa trap anak tangga.
105
Sudut pengambilan gambar (b) Tempat wudlu pria Tempat wudlu wanita
a. Key plan
b. Tempat wudlu pria
c. Tempat wudlu wanita
Gambar 3.31 Bentuk tempat wudlu mesjid Sunan Giri.
[2] Serambi Secara keseluruhan bentuk mesjid Sunan Giri, berdasarkan posisinya, dapat dikelompokkan menjadi: bangunan selatan, bangunan tengah, dan bangunan utara. Pembagian ini digunakan untuk keperluan konsistensi pembahasan dalam penelitian ini. Bangunan tengah dan utara, masing-masing memiliki serambi, sementara bangunan selatan tidak memiliki serambi. Bangunan selatan memiliki selasar. Berikut diuraikan serambi pada bangunan tengah dan bangunan utara. [a] Serambi bangunan tengah Bentuk Bangunan tengah terdiri atas serambi dan ruang utama. Di serambi terdapat empat kolom. Dua kolom berdiri bebas, masing-masing berukuran 35 cm x 35 cm,
106
pada bagian bawah berupa kolom batu, dan ukuran 25 cm x 25 cm, pada bagian atas berupa kolom kayu. Dua kolom lagi, dengan ukuran yang sama, menyatu dengan dinding di sisi kanan dan kiri. Kolom-kolom ini menopang konstruksi atap limasan pada sisi belakang (barat). [Gambar 3.32].
Keterangan A. Bangunan selatan B. Bangunan tengah C. Bangunan utara
C
B A
a. Serambi mesjid bangunan tengah
b. Key plan Sudut pengambilan gambar (a)
Serambi bangunan tengah
c. Potongan bangunan tengah
Gambar 3.32 Bentuk serambi mesjid Sunan Giri, bangunan tengah.
Pada sisi depan (timur), konstruksi atap ditopang oleh sembilan kolom batu berbentuk bulat berdiameter masing-masing 50 cm. Pada sisi belakang terdapat tiga buah pintu masuk ke ruang utama, berbentuk gapura paduraksa. Pada masing-
107
masing lubang pintu terdapat konstruksi pintu berbahan kayu jati, berukuran lebar 80 cm dan tinggi 210 cm. Plafon serambi dari bahan gypsum dicat warna putih. Atap serambi berbentuk limasan dengan penutup atapnya berupa genteng kodok warna merah bata. Pada bagian depan serambi, terdapat kolam air yang dinaungi atap berbentuk lengkungan dengan konstruksi besi stainless, dan penutup atap dari bahan polycarbonate roof. Keberadaan kolam air dimaksudkan agar para jamaah yang ingin masuk ke dalam mesjid memiliki kebersihan kaki. Fungsi Serambi bangunan tengah berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat, berdoa, dan berdzikir. Kegiatan shalat yang dilaksanakan di serambi ini, yaitu shalat Lima Waktu, shalat Jumat, dan shalat sunat bagi para peziarah. [b] Serambi bangunan utara Bentuk Bangunan utara terdiri dari dua lantai, yakni lantai dasar dan lantai bawah. Lantai bawah memanfaatkan bentuk kontur. Lantai dasar terdiri dari serambi dan ruang dalam. Lantai bawah difungsikan untuk ruang istirahat para peziarah. Lantai bawah tidak memiliki serambi. Serambi lantai dasar luasnya 3,5 m x 16,5 m, yaitu 57,75 m2. Ruang dalam luasnya 21 m x 16,5 m, yaitu 346,5 m2. Ruang istirahat luasnya 24,5 m x 16,5 m, yaitu 404,25 m2. Di serambi terdapat tujuh kolom batu bulat berdiameter 50 cm, pada bagian bawahnya dilapis keramik warna coklat dan pada bagian atasnya dicat warna putih. Di antara kolom-kolom pada bagian atasnya dibuat konstruksi bentuk lengkung. Atap serambi berupa dak, dan tanpa plafon, dicat warna putih. [Gambar 3.33].
108
Keterangan A. Bangunan selatan B. Bangunan tengah C. Bangunan utara
C
B A
a. Serambi mesjid bangunan utara Sudut pengambilan gambar (a)
b. Key plan
Serambi bangunan utara
c. Potongan bangunan utara
Gambar 3.33 Bentuk serambi mesjid Sunan Giri, bangunan utara.
Fungsi Serambi bangunan utara berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat. [3] Ruang utama dan ruang dalam Bangunan selatan, mesjid Sunan Giri, tidak memiliki ruang dalam maupun ruang utama. Bangunan tengah memiliki ruang utama, dan bangunan utara memiliki
109
ruang dalam. Ruang utama bangunan tengah luasnya sekitar 296 m2. Ruang dalam bangunan utara luasnya sekitar 346,5 m2. [a] Ruang utama bangunan tengah Bentuk Ruang utama mesjid bangunan tengah lantainya dari bahan marmer ditutup dengan karpet warna hijau dengan motif bintik-bintik dan bergaris. Warna dan jenis karpet ruang utama sama dengan yang ada di ruang mesjid wedok. Posisi lantai ruang utama lebih tinggi 8 cm dari lantai serambi. [Gambar 3.34].
c. Key plan a. Perspektif mesjid bangunan tengah
b. Interior mesjid bangunan tengah
Sudut pengambilan gambar (b)
soko guru serambi Ruang utama
tempat wudlu pria
d. Potongan ruang utama mesjid, bangunan tengah
Gambar 3.34 Ruang utama mesjid Sunan Giri, bangunan tengah.
110
Di ruang utama terdapat 16 kolom kayu bulat diameter 60 cm, dicat warna hijau. Keenam belas kolom ini dinamakan soko guru. Empat kolom yang ditengah, tingginya 12 meter, dan 12 kolom di sisi luar tingginya 9 meter. Empat kolom yang ditengah menopang atap tajug tumpang ketiga pada bagian bawahnya, dan menopang atap tajug tumpang kedua pada bagian atasnya. Dua belas kolom di sisi luarnya menopang atap tajug tumpang kedua pada bagian bawahnya, dan menopang atap tajug tumpang pertama pada bagian atasnya. Pada bagian bawahnya, atap tajug tumpang pertama ditopang oleh dinding-dinding bagian luar. Ruang utama dikelilingi oleh dinding tembok tebal 50 cm. Pada dindingdinding sisi kanan, kiri, belakang dan depan terdapat jendela-jendela kayu jati, masing-masing berukuran lebar 160 cm dan tinggi 160 cm dengan dua daun jendela. Pada dinding sisi kanan terdapat pintu yang menghubungkan dengan bangunan tambahan. Pada dinding sisi kiri terdapat pintu yang menghubungkan dengan ruang mesjid wedok dan ruang pawestren. Pada dinding sisi belakang (barat) terdapat lubang mihrab dan lubang mimbar, yang masing-masing berukuran sama, yaitu lebar 80 cm dan panjang 160 cm. Ruang utama, pada sisi timur terdapat tiga buah pintu masuk ke ruang utama, berbentuk gapura paduraksa. Atap ruang utama berbentuk tajug tumpang tiga. Di antara tumpang-tumpangnya terdapat lubanglubang berkaca. Pada puncak atap tumpang ketiga terdapat memolo dari bahan kuningan. Fungsi Ruang utama bangunan tengah berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat bagi para peziarah, dan pengajian ilmu agama. Kegiatan pengajian ilmu agama dilaksanakan pada setiap bakda shalat subuh setiap
111
hari Kamis. Jamaah pria bertempat di ruang utama mesjid bangunan tengah, dan jamaah wanita bertempat di pawestren (tempat khusus wanita). [b] Ruang dalam bangunan utara Bentuk Ruang dalam mesjid bangunan utara, lantainya dari keramik warna krem yang ditutup karpet warna hijau bermotif gambar mesjid. Posisi lantai ruang dalam sama rata dengan serambi. Di dalam ruang dalam terdapat 16 kolom batu bulat berdiameter 60 cm, tingginya 4,5 meter. Pada bagian atas kolom-kolom dihubungkan dengan balok-balok. Di atas kolom-kolom dan balok-balok tersebut terdapat kolom-kolom segi empat ukuran 25 cm x 25 cm dengan ketinggian 3 meter, sebagai kolom-kolom penyambung. Pada bagian atas kolom-kolom segi empat ini dihubungkan dengan balok-balok yang ukurannya lebih kecil. Di atas sebagian balok-balok ini terdapat kolom-kolom segi empat ukuran 20 cm x 20 cm, dengan ketinggian 3 meter sebagai kolom-kolom penyambung. Pada bagian bawah kolom bulat (kolom bagian bawah) dilapis keramik warna coklat muda, dan pada bagian atasnya dicat warna hijau muda. Kolom-kolom segi empat di atasnya dan semua balok-balok penghubung kolom-kolom dicat warna hijau muda. Empat kolom bulat yang ditengah merupakan tumpuan konstruksi kolom dan balok di atasnya. Semua kolom penopang konstruksi atap tajug tumpang posisinya tidak menerus. Empat kolom segi empat pertama (di atas kolom bulat) menopang atap tajug tumpang pertama pada bagian atasnya, dan menopang atap tajug tumpang kedua pada bagian bawahnya.
112
Pada bagian bawah konstruksi atap tajug tumpang pertama ditopang oleh dinding-dinding pelingkup ruangan. Kolom-kolom segi empat kedua (di atas kolom-kolom segi empat pertama) menopang atap tajug tumpang ketiga pada bagian bawahnya, dan menopang atap tajug tumpang kedua pada bagian atasnya. Atap penutup ruang dalam adalah atap tajug tumpang tiga pada bagian depan dan atap dak pada bagian belakang. Di antara tumpang-tumpangnya terdapat lubang-lubang berkaca. Penutup atap tajug tumpang tiga dari bahan genteng kodok warna merah bata. Pada puncak atap tajug tumpang ketiga terdapat memolo dari bahan kuningan. [Gambar 3.35].
a. Perspektif mesjid bangunan utara b. Interior mesjid bangunan utara
c. Key plan
Sudut pengambilan gambar (b)
Ruang dalam
Ruang lantai bawah
d. Potongan ruang dalam mesjid, bangunan utara
Gambar 3.35 Ruang dalam mesjid Sunan Giri, bangunan utara.
113
Fungsi Ruang dalam bangunan utara berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat. [4] Pawestren Bentuk Bangunan pawestren mesjid Sunan Giri merupakan pengembangan dari mesjid wedok, terdiri dari ruang pawestren, mesjid wedok dan selasar. Ruang pawestren luasnya sekitar 105,75 m2. Mesjid wedok luasnya sekitar 81 m2. Selasar luasnya sekitar 62,25 m2. Lantai pawestren posisinya lebih tinggi 1,5 meter dari pelataran. Di bagian tengah terdapat satu buah kolom batu bulat berdiameter 70 cm, tinggi 4,5 meter. Kolom ini sebagai konstruksi utama bangunan pawestren. Dalam arsitektur Jawa, kolom ini dinamakan soko tunggal. Atap pawestren berbentuk tajug tumpang dua. Atap tajug tumpang pertama, pada bagian bawahnya ditopang oleh dinding-dinding pada keempat sisinya. Atap tajug tumpang kedua ditopang oleh empat kolom batu berukuran 20 cm x 20 cm yang masing-masing berdiri di atas dua balok melintang miring. Keempat kolom ini juga sebagai penopang atap tajug tumpang pertama pada bagian atasnya. Di antara atap tajug tumpang pertama dan kedua bangunan pawestren terdapat lubang berkaca. Penutup atap dari bahan genteng kodok warna merah bata, dan pada puncaknya terdapat memolo dengan bahan kuningan. Mesjid wedok dianggap sebagai cikal bakal Mesjid Sunan Giri. Mesjid wedok lantainya tertutup karpet warna hijau motif bintik-bintik dan bergaris, posisinya seperti pada bangunan pawestren lebih tinggi 1,5 meter dari pelataran. Di bagian tengah terdapat empat kolom kayu yang masing-masing berukuran 20 cm x 20 cm,
114
tingginya 3 meter, berjarak 2 meter pada sisi depan dan belakang, dan berjarak 3 meter pada sisi kanan dan kiri. Kolom-kolom ini dicat warna hijau. Empat kolom yang menyangga bangunan mesjid Wedok adalah soko guru. Pada bagian atas soko guru terdapat empat balok, dua di antaranya, yaitu pada bagian depan dan belakang, memanjang dari kiri ke kanan, yang ujung-ujungnya ditumpu oleh kolom batu besar. Plafon mesjid wedok dari bahan multipleks dicat warna putih. Di bagian tengah dibuat lebih tinggi, dan pada keempat bidangnya terdapat ornamen tulisan Jawa dan Arab. [Gambar 3.36].
a. Perspektif mesjid (tampak belakang)
b. Interior mesjid wedok
c. Key plan
Sudut pengambilan gambar (b) pawestren mesjid wedok
soko tunggal
d. Potongan bangunan pawestren
Gambar 3.36 Pawestren mesjid Sunan Giri.
115
Atap mesjid wedok berbentuk tajug tumpang dua. Atap tajug tumpang pertama ditopang oleh keenam kolom besar pada sisi kanan, kiri, dan depan, dan ditopang dinding pada sisi belakang, pada bagian bawahnya. Atap tajug tumpang kedua ditopang oleh empat kolom kayu, masing-masing berukuran 15 cm x 20 cm yang berdiri di atas dua balok yang menghubungkan soko guru pada sisi kanan dan sisi kiri. Antara atap tajung tumpang satu dan tumpang dua terdapat lubang kaca untuk pencahayaan. Pada puncak atapnya terdapat memolo. Fungsi Pawestren berfungsi sebagai wadah bagi kaum wanita melakukan shalat Lima Waktu dan shalat Sunat. [5] Bentuk bangunan dalam area makam Mesjid Sunan Giri menjadi satu kompleks dengan area makam yang terletak di sebelah barat. Kompleks mesjid dan makam dikelilingi oleh pagar tembok setinggi 2 m. Area makam Sunan Giri luasnya sekitar 2.497 m2. Bentuk Pada pagar yang mengelilingi area makam, sisi selatan terdapat gapura paduraksa sebagai pintu gerbang area makam dari arah selatan. Pada sisi timur terdapat gapura paduraksa sebagai pintu penghubung ke mesjid. Makam Sunan Giri memiliki cungkup dengan atap bentuk tajug. Sekarang ini cungkup dinaungi oleh bangunan besar beratap bentuk kampung. [Gambar 3.37]. Fungsi Bangunan gapura berfungsi sebagai gerbang masuk ke area makam dan sebagai penghubung antara area makam dengan area mesjid. Kegiatan ziarah ke
116
makam Sunan Giri mencapai jumlah terbanyak pada saat penyelenggaraan haul Sunan Giri, yang jatuh pada hari Jumat kedua bulan Rabi’ul Awwal.
bangunan besar menaungi cungkup
cungkup makam S. Giri
Gapura selatan Gapura timur
b. Key plan
a. Makam dan mesjid Sunan Giri
Sudut pengambilan gambar (d)
c. Gapura sebelah selatan
d. Gapura sebelah timur
e. Cungkup makam Sunan Giri (sebelum dinaungi bangunan besar)
Gambar 3.37 Bentuk bangunan dalam area makam Sunan Giri.
3.5 Mesjid Menara Kudus 3.5.1 Lokasi Mesjid Menara Kudus berada di Desa Kauman, Kecamatan Kota. Lokasi kompleks mesjid Menara Kudus dapat dicapai dengan kendaraan roda dua dari alun-alun kota
117
Kudus, ke arah barat melewati sungai Gelis. Areal parkir kendaraan roda empat terletak sekitar 3 km di sebelah utara. [Gambar 3.38 dan Gambar 3.39].
Kudus
Lokasi Mesjid
Alun-alun
Gambar 3.38 Peta lokasi mesjid Menara Kudus dalam lingkup kota. Sumber: Wikimapia [2015]
Area Makam Mesjid Menara Kudus
a
b
Gambar 3.39 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Menara Kudus. Sumber: Wikimapia [2015]
3.5.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah Mesjid Menara Kudus, dibangun kemungkinan pada tahun 1549 Masehi, sesuai keterangan inskripsi yang ada di atas mihrab mesjid. Pada awalnya, mesjid berbentuk payung, seluas 20 m2 dengan satu tiang di tengah. Mesjid yang semula sederhana, kemudian mengalami beberapa kali perluasan untuk menampung
118
jamaah yang semakin meningkat jumlahnya. Pada tahun 1919, mesjid diperluas hingga ke pintu gapura paduraksa pertama dengan penutup atap berbentuk atap tajug tumpang tiga. Di samping kirinya juga dibangun madrasah. Pada tahun 1925, mesjid diperluas lagi, dan tahun 1933 ditambah serambi sampai halaman paling depan (serambi luar), hingga menaungi pintu gapura paduraksa kedua. Penutup serambi ini berupa atap kampung dan pada bagian paling timur berupa atap berbentuk kubah (serambi paling luar). Atap kampung memanjang arah barat-timur, ditopang dengan beberapa tiang kayu. Pada bagian barat, atap kampung bertemu dengan atap limasan, dan pada bagian timur bertemu dengan atap kubah. Pada keliling kubah sisi dalam terdapat tulisan Arab namanama sahabat Nabi Muhammad SAW. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan telah menghilangkan bentuk awal mesjid Menara Kudus. [Gambar 3.40].
makam
b.bentuk mesjid 1919-1925
c.bentuk mesjid 1933
2016
a.bentuk mesjid 1549?
makam
makam
1919 - Mesjid diperluas 1549 - Bentuk tidak diketahui
1925 - Mesjid diperluas lagi
1933 - Mesjid diperluas lagi sampai ke timur
Gambar 3.40 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Menara Kudus.
119
3.5.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang Eksplanasi bentuk dan fungsi arsitektur mesjid Menara Kudus pada masa sekarang meliputi menara, tempat wudlu, serambi, ruang utama dan ruang dalam, pawestren, dan bangunan-bangunan yang berada di area makam. Berikut penjelasan bentukbentuk arsitektur mesjid Menara Kudus dan fungsi-fungsi yang diwadahinya. [1] Menara Bentuk Bangunan menara terletak di sebelah tenggara bangunan mesjid. Bentuk bangunan menara sekilas mirip dengan bentuk candi. Secara keseluruhan, bentuk bangunan dari tampak ketiga sisi: timur, selatan, dan utara, terlihat sama. [Gambar 3.41].
Sudut pengambilan gambar (c)
b. Key plan
a. Potongan menara
c. Menara
Gambar 3.41 Bentuk menara mesjid Menara Kudus.
120
Di sisi barat bangunan menara, terdapat trap-trap anak tangga menuju ke dasar bilik menara yang terletak lebih kurang pada pertengahan badan menara. Trap-trap anak tangga dari bahan tegel, dan di sisi kanan dan kirinya terdapat balustrade berupa dinding tembok dari bahan bata merah tanpa plesteran. Bagian dasar kaki bangunan menara memiliki denah bujur sangkar. Dari bagian dasar kaki bangunan hingga bagian atas kaki bangunan, bentuk denahnya menjadi lebih kecil. Pada bagian badan bangunan menara mengalami dua kali pengecilan bentuk. Sampai pada ketinggian ini, sruktur bangunan menggunakan sistim masif. Di ketinggian ini pula terdapat bilik berpintu kayu. Dari sini, badan bangunan mengecil lagi hingga bagian atas badan bangunan menara, kurang lebih pada ketinggian 12 m, dengan ukuran denah 5 m x 5 m. Dari ketinggian 7 m hingga 12 m terdapat lubang di bagian tengah badan bangunan sebagai sarana untuk mencapai puncak menara. Di ruangan ini terdapat tangga kayu yang posisinya hampir vertikal, sebagai sarana untuk naik sampai bagian atas menara. Pada bagian kepala bangunan menara tersusun atas struktur dan konstruksi yang berbeda dengan bagian kaki dan badan bangunan, yaitu menggunakan struktur rangka dengan konstruksi kayu, yang sekaligus berfungsi sebagai atap bangunan menara. Konstruksi bagian kepala bangunan terdiri dari 4 buah tiang di tengah dan 12 buah di keempat sisinya, dengan ketinggian kurang lebih 2,5 m. Di atas tiang-tiang ditempatkan konstruksi atap tajug tumpang dua. Bahan penutup atap dari bahan sirap. Di bagian atas ini ditempatkan kentongan dan beduk. Pada bagian puncak diberi memolo atau mustoko dari bahan logam alumunium.
121
Secara keseluruhan bangunan Menara Kudus memiliki ketinggian kurang lebih 17 m (tanpa memolo). Fungsi Menara mesjid Menara Kudus berfungsi sebagai wadah kegiatan pemukulan beduk pada saat menjelang shalat Lima Waktu dan shalat Jumat. [2] Tempat wudlu Bentuk Tempat wudlu pria letaknya di sebelah selatan bangunan mesjid, sementara untuk wanita di sebelah utara bangunan mesjid. Tempat wudlu pria dan wanita, lantai dan dinding bagian bawah dari bahan homogenious tile, plafonnya dari bahan kayu lambrisering, warna plituran kayu. [Gambar 3.42].
Tempat wudlu wanita
b. Key plan a. Tempat wudlu pria
c. Pancuran air di tempat wudlu pria
Tempat wudlu pria
Sudut pengambilan gambar (a)
d. Tempat wudlu wanita
Gambar 3.42 Bentuk tempat wudlu mesjid Menara Kudus.
122
Tempat wudlu memiliki kekhasan yaitu bangunan untuk tempat pancuran air dari bahan batu bata merah tanpa plesteran, pada bagian bawahnya terdapat ornamennnya. Salah satunya adalah pancuran air yang bentuknya seperti bentuk kepala makara. Fungsi Tempat wudlu mesjid Menara Kudus berfungsi sebagai wadah kegiatan bersuci, yang terpisah antara tempat untuk kaum pria dan wanita. [3] Serambi Bentuk Serambi mesjid Menara Kudus terdiri atas serambi depan (timur), serambi kanan (selatan), dan serambi kiri (utara). Serambi depan (timur) paling luas dibandingkan dengan kedua serambi lainnya. Serambi depan luasnya sekitar 443,8 m2. Serambi kanan luasnya sekitar 41,4 m2. Serambi kiri luasnya sekitar 172,5 m2. Serambi mesjid Menara Kudus, lantainya dari bahan tegel teraso, posisinya 1,2 meter lebih tinggi dari pelataran. Di sisi depan dan samping kiri terdapat trap anak tangga. Serambi tanpa dinding penyekat. Di serambi depan (timur), yang dekat dengan gerbang masuk berbentuk gapura bentar, terdapat 18 kolom batu bulat berdiameter 40 cm, dan tingginya 3,5 m, dicat warna krem. Pada bagian bawahnya terdapat umpak setinggi 40 cm dilapis bahan teraso. Pada bagian atas kolom-kolom ini disambung dengan kolom-kolom segi empat, masing-masing berukuran 40 cm x 40 cm, tingginya 1,8 m. Total tinggi kolom 5,3 m. Di atas kolom-kolom ini terdapat konstruksi dinding keliling dengan tinggi 1 meter. Kedelapan belas kolom menopang atap dak dan kubah. Pada sisi barat ruang yang dinaungi kubah terdapat gapura paduraksa dari bahan bata merah
123
tanpa plesteran. Pada ketiga sisi (timur, utara dan selatan) di bawah atap dak terdapat lubang-lubang berkaca (glass in looth), berbentuk gabungan segi empat dan segitiga. [Gambar 3.43].
a. Serambi depan (timur) beratap bentuk kampung
b. Key plan
d. Serambi kiri c. Serambi depan (paling timur) beratap bentuk (utara) kubah Sudut pengambilan gambar (a)
Serambi depan
e. Potongan bangunan mesjid Menara Kudus
Gambar 3.43 Bentuk serambi mesjid Menara Kudus.
Atap kubah yang menaungi serambi depan (timur) menggunakan konstruksi baja, penutup atap dari bahan alumunium. Kubah memiliki diameter 6,5 meter dan
124
tinggi 7 meter. Pada puncak atap terdapat memolo dengan tinggi 1,5 meter. Tinggi serambi sampai atap dak adalah 6,3 meter, ditambah dengan atap kubah tingginya menjadi 13,3 meter (tanpa memolo). Di sekeliling atap kubah bagian bawah terdapat tulisan Arab nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW, dan para imam. Di sisi paling luar dari serambi depan (timur) ini terdapat dua menara batu bulat, di samping kanan dan kiri trap anak tangga. Dua menara ini bentuk dan ukurannya sama, dengan diameter 1 meter pada bagian bawah dan mengecil pada bagian atas. Pada bagian paling atas menara berbentuk kubah kecil. Serambi depan (luar) memiliki dua bentuk atap yang berbeda, yang satu berbentuk atap kubah, dan yang lainnya berbentuk atap kampung. Bentuk atap kubah sudah dijelaskan di atas. Menyambung bentuk atap kubah ke arah barat, serambi depan dinaungi atap berbentuk kampung. Atap kampung ditopang oleh jejeran 8 kolom kayu segi empat dengan ukuran 20 cm x 20 cm, tingginya 5,2 meter, dicat warna hijau muda. Kolom-kolom ini menopang atap bentuk kampung tumpang dua. Atap bentuk kampung tumpang pertama dari bahan seng berwarna coklat, dan atap kampung tumpang kedua dari bahan alumunium berwarna putih. Di antara atap kampung tumpang pertama dan kedua terdapat lubang-lubang berkaca. Di samping kanan dan kiri atap kampung tumpang ditambahkan konstruksi atap auwning. Plafon atap kampung tumpang menggunakan bagan multipleks dicat warna putih. Atap serambi kanan (selatan) dan serambi kiri (utara) merupakan atap sorsoran dari atap tajuk dan limasan yang menaungi ruang utama dan ruang dalam mesjid. Lantai serambi kanan dan kiri, bahannya sama dengan lantai serambi depan
125
(timur). Serambi kanan bisa dicapai dari gerbang berbentuk gapura paduraksa yang menghubungkannya dengan area makam. Serambi kiri bisa dicapai dari gerbang yang berbentuk paduraksa yang menghubungkannya dengan perkampungan Kauman. Fungsi Serambi mesjid Menara Kudus berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat bagi para peziarah, berdoa, berdzikir, dan pengajian ilmu agama. Fungsi atau kegiatan pengajian ilmu agama meliputi kegiatan mingguan dan tahunan. Kegiatan pengajian ilmu agama mingguan diadakan pada setiap bakda shalat subuh hari Jumat. Jamaah kaum pria di bagian kanan, dan kaum wanita di bagian kiri. Kegiatan pengajian ilmu agama tahunan dilaksanankan dalam rangka memperingati hari-hari besar agama Islam, yaitu nuzulul Al-qur’an (17 Ramadhan), hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabi’ul Awwal), dan kegiatan dalam rangka haul Sunan Kudus (1-10 Muharam). [4] Ruang utama dan ruang dalam Mesjid Menara Kudus memiliki ruang utama dan ruang dalam. Ruang utama mesjid Menara Kudus luasnya sekitar 436,8 m2, sedangkan ruang dalam luasnya sekitar 199,5 m2. Ruang utama dinaungi atap berbentuk tajuk tumpang tiga, dan ruang dalam yang berada di sebelah timurnya, dinaungi atap berbentuk limasan. [a] Ruang dalam Bentuk Ruang dalam, dilingkupi oleh dinding di ketiga sisinya, yaitu sisi timur, utara dan selatan. Ruang dalam, lantainya dari bahan marmer ditutup dengan karpet
126
warna hijau tua. Di dalam ruang utama sisi timur terdapat 12 kolom kayu segi empat berukuran 20 cm x 20 cm, dengan tinggi 4,8 meter, warna coating kayu. Kedua belas kolom menopang atap bentuk limasan, memanjang dari utara ke selatan. Pada dinding sisi timur ruang dalam terdapat lima lubang berbentuk lengkungan besar, dengan tinggi 4 meter, berpintu kaca geser. Pada sisi utara dan selatan masing-masing terdapat dua lubang dengan bentuk yang sama. Plafon ruang utama sisi timur menggunakan bahan kayu lambrisering. Penutup atap bentuk limasan dari bahan genteng kodok warna merah bata. Fungsi Ruang dalam mesjid Menara Kudus berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat bagi para peziarah, berdoa, dan berdzikir. Fungsi ruang dalam sama dengan fungsi ruang utama. [b] Ruang utama Bentuk Ruang utama dilingkupi oleh dinding pembatas ruangan pada sisi utara, selatan dan barat. Ruang utama, lantainya dari bahan marmer ditutup dengan karpet warna merah motif mesjid. Di ruang utama, pada bagian tengah ruangan terdapat 4 kolom kayu berbentuk segi delapan, dengan diameter (jarak ujung lancip) 60 cm, tingginya 6 meter, warna coating kayu. Keempat kolom ini dinamakan soko guru. Di atas masing-masing kolom soko guru ditambahkan kolom-kolom berbentuk segi empat berukuran 25 cm x 25 cm, tingginya 7 meter. Total tinggi keempat kolom yang di tengah menjadi 13 meter. Pada sisi-sisi luar keempat kolom soko guru terdapat 4 kolom lagi, yang masing-masing bentuk dan ukuran sama dengan keempat kolom soko guru, namun tingginya 5 meter. Semua kolom pada bagian
127
bawahnya memiliki umpak, bentuk segi delapan dan tingginya 50 cm. Plafon ruang utama dari bahan multipleks dicat warna putih. [Gambar 3.44].
Ruang utama
Ruang dalam
b. Key plan a. Interior ruang utama
d. Interior ruang dalam
c. Konstruksi soko guru ruang utama
Sudut pengambilan gambar (c)
Ruang utama Ruang dalam
Gapuro paduraksa Soko guru
e. Potongan ruang utama dan ruang dalam mesjid Menara Kudus
Gambar 3.44 Ruang utama dan ruang dalam mesjid Menara Kudus.
128
Pada dinding sisi utara dan selatan terdapat lubang berpintu dari bahan kayu jati, ukuran lebar 1,4 meter dan tinggi 3,2 meter. Pada bagian atas pintu terdapat glass in looth. Jumlah lubang pintu, di sisi utara 5 buah dan di sisi selatan 5 buah. Pintu-pintu di sisi utara sebagai penghubung ruang utama dengan pawestren, sementara pintu-pintu di sisi selatan sebagai penghubung ruang utama dengan serambi kiri (selatan). Pada dinding sisi barat terdapat 4 buah jendela besar berukuran lebar 1,4 meter dan tinggi 2,8 meter. Ruang utama dinaungi atap berbentuk tajug tumpang tiga. Penutup atap menggunakan bahan genteng kodok warna merah bata. Pada puncak atap terdapat memolo dari bahan logam kuningan. Di antara tumpang satu dengan lainnya terdapat lubang-lubang berkaca. Fungsi Ruang utama mesjid Menara Kudus berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat, berdoa, dan berdzikir. [5] Pawestren Bentuk Pawestren mesjid Menara Kudus, luasnya sekitar 357 m2. Lantai pawestren dari bahan homogenious tile (granito tile). Plafonnya menggunakan bahan kayu lambrisering, warna coating kayu. Di dalam ruang pawestren sisi kiri terdapat 3 kolom batu segi delapan dengan diameter 60 cm, tingginya 5 meter, dicat warna putih. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 50 cm. Ketiga kolom bersama dengan dinding di sebelah kanan menopang atap bentuk limasan tumpang dua. Di antara tumpang pertama dan tumpang kedua terdapat lubang-lubang berkaca. Penutup atap dari bahan genteng kodok warna merah bata. [Gambar 3.45].
129
b. Key plan a. Interior pawestren
Sudut pengambilan gambar (a)
teras
c. Potongan pawestren
Gambar 3.45 Pawestren mesjid Menara Kudus.
Fungsi Pawestren mesjid Menara Kudus berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Sunat bagi kaum wanita. [6] Bentuk bangunan dalam area makam Mesjid Menara Kudus menjadi satu kompleks dengan area makam. Kompleks mesjid Menara Kudus dikelilingi pagar tembok bata setinggi sekitar 2,5 meter. Area
130
makam luasnya sekitar 2.044,2 m2. Area makam letaknya di belakang (barat) area mesjid, memanjang dari selatan ke utara. [Gambar 3.46].
a. Cungkup c. Key plan Sudut pengambilan gambar (a) b. Gapura paduraksa
Gambar 3.46 Bentuk bangunan dalam area makam Sunan Kudus.
Bentuk Di area makam sisi selatan terdapat bangunan tajug, tanpa dinding. Di area makam sisi utara terdapat bangunan cungkup makam Sunan Kudus, beratap bentuk tajug. Ruangan di sekeliling cungkup dinaungi oleh atap berbentuk limasan. Dalam area makam terdapat enam gapura paduraksa dan satu gapura bentar. Dinding-dinding pembatas (penyengker) di area makam tingginya 3 meter. Fungsi Bangunan gapura paduraksa dan bentar berfungsi sebagai gerbang masuk ke bagian-bagian area makam. Para peziarah harus melewati beberapa gapura paduraksa dan gapura bentar sebelum mereka sampai di cungkup makam Sunan Kudus.
131
3.6 Mesjid Sunan Kalijaga 3.6.1 Lokasi Lokasi mesjid Sunan Kalijaga terletak di Kelurahan Kadilangu, Kecamatan Kota, Kabupaten Demak. Lokasi mesjid Sunan Kalijaga dapat dicapai dari alun-alun kota Demak dengan kendaraan roda empat, sekitar 1,8 km ke arah tenggara. Di dekat pintu gerbang disediakan area parkir kendaraan. [Gambar 3.47 dan 3.48].
Demak
Alun-alun Lokasi mesjid
Gambar 3.47 Peta lokasi mesjid Sunan Kalijaga dalam lingkup kota. Sumber: Wikimapia [2015]
Mesjid Sunan Kalijaga Area makam
Area parkir Pendopo Notobratan
a
b
Gambar 3.48 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Sunan Kalijaga. Sumber: Wikimapia [2015]
132
Dengan menyusuri lorong yang di kanan kirinya dipenuhi kios-kios para pedagang, sejauh 175 meter, sampailah di depan pintu masuk area makam. Pintu masuk ini berbentuk semar tinandu. Di sebelah timur area makam berdiri mesjid Sunan Kalijaga. Di sebelah tenggara mesjid, sekitar 300 meter, terdapat bangunan bersejarah pendopo notobratan.
3.6.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah Bentuk awal mesjid Sunan Kalijaga tidak diketahui secara pasti, termasuk waktu pendiriannya. Berdasarkan prasasti yang ada dan tersimpan di mesjid, diketahui bahwa mesjid Sunan Kalijaga direnovasi pertama kali pada tahun 1564 Masehi oleh Pangeran Wijil. Menurut cerita, mesjid Sunan Kalijaga ini semula adalah langgar atau surau yang dibangun oleh Sunan Kalijaga sendiri sebelum ia ikut mendirikan mesjid Agung Demak. Pada zaman Pangeran Wijil, langgar Sunan Kalijaga itu dikembangkan menjadi sebuah mesjid karena tuntutan jumlah jamaah. Sejak berdirinya (oleh Pangeran Wijil) hingga sekarang, mesjid dengan bangunan induk yang asli telah mengalami beberapa kali perbaikan dan perluasan. Pada tahun 1970 dilakukan perluasan dengan menambah beberapa bangunan serambi yang cukup luas, di bagian depan dan samping. Bangunan induk masih tetap dipertahankan bentuk dan luasannya, termasuk keberadaan keempat kolom soko guru. Pada tahun 1990, pengurus mesjid Sunan Kalijaga kembali melakukan pembangunan fisik meliputi tempat shalat dan tempat wudhu putri yang terpisah dengan pria. Secara fisik, kompleks mesjid Sunan Kalijaga lokasinya terpisah dengan area makam Sunan Kalijaga. [Gambar 3.49].
133
b.bentuk mesjid 1970
c.bentuk akhir mesjid
2016
a.bentuk mesjid 1564?
1564 - Bentuk tidak diketahui
1970 - Mesjid diperluas dengan serambi
1990 - Menambah tempat wudlu
Gambar 3.49 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Sunan Kalijaga.
3.6.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang Eksplanasi bentuk arsitektur mesjid Sunan Kalijaga dan fungsi-fungsi yang diwadahinya, pada masa sekarang, meliputi tempat wudlu, serambi, ruang utama, dan pawestren. Berikut penjelasan bentuk-bentuk arsitektur mesjid Sunan Kalijaga.
[1] Tempat wudlu Bentuk Tempat wudlu pria dan wanita terpisah. Tempat wudlu pria berada di sebelah barat laut bangunan mesjid, dan tempat wudlu wanita berada di sebelah barat daya bangunan mesjid. Tempat wudlu, lantai dan dinding bagian bawah dari bahan
134
keramik. Plafon dari bahan multipleks dicat warna putih. Tempat wudlu pria lebih luas dibandingkan dengan tempat wudlu wanita. [Gambar 3.50].
Sudut pengambilan gambar (a)
Tempat wudlu pria
a. Tempat wudlu pria
Tempat wudlu wanita
b. Key plan
Gambar 3.50 Bentuk tempat wudlu mesjid Sunan Kalijaga.
Fungsi Tempat wudlu mesjid Sunan Kalijaga berfungsi sebagai wadah kegiatan bersuci, yang terpisah antara tempat pria dan wanita. [2] Serambi Bentuk Serambi mesjid Sunan Kalijaga terdiri atas serambi depan (timur) dan serambi kiri (utara). Serambi depan dan serambi kiri, lantainya dari bahan keramik warna putih, posisinya lebih tinggi 40 cm daripada pelataran. Serambi depan dinaungi dua atap, yaitu sama-sama berbentuk limasan. Serambi yang posisinya dekat dengan gerbang masuk, memiliki 24 kolom batu segi empat berukuran 45 cm x 45 cm, dicat warna putih. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 40 cm. Delapan kolom yang di tengah tingginya 6,5 meter, dan enam belas kolom di sisi luarnya memiliki ketinggian 5 meter. Delapan kolom bertindak sebagai soko guru dan enam belas
135
kolom sebagai soko pengarak. Semua kolom menopang atap bentuk limasan. Antara kolom satu dengan lainnya dihubungkan oleh balok-balok. Konstruksi bangunan menggunakan konstruksi batu (beton bertulang). Penutup atap dari bahan metal roof warna hitam. Plafon serambi dari bahan multipleks dicat warna putih. Di serambi ini terdapat dua pasang kentongan dan beduk. Serambi depan yang posisinya dekat dengan ruang utama, memiliki 16 kolom berbentuk segi empat, yang menopang atap bentuk limasan. Delapan kolom kayu yang di tengah berukuran 20 cm x 20 cm dengan ketinggian 6 meter, dicat warna kuning. Kedelapan kolom ini dinamakan soko guru. Empat kolom di sisi barat, bentuk dan warnanya sama dengan soko guru, tingginya 5,5 meter. Pada bagian bawah 12 kolom ini terdapat umpak setinggi 20 cm. Keempat kolom di sisi barat dihubungkan dengan soko guru oleh balok-balok. Di atas balok-balok ini terdapat kolom-kolom yang menopang konstruksi atap limasan bagian bawah. Pada sisi timur terdapat empat kolom batu berukuran 45 cm x 45 cm, tingginya 5,5 meter, dicat warna putih. Keempat kolom ini bertindak sebagai soko pengarak. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 40 cm. Pada sisi utara dan selatan terdapat dinding-dinding yang menopang bagian bawah konstruksi atap limasan. Serambi kiri terletak di sebalah kiri (utara) ruang utama. Di serambi kiri terdapat 6 kolom batu dengan ukuran 45 cm x 45 cm, tingginya 5,5 meter, dicat warna putih. Keenam kolom ini menopang konstruksi atap limasan. Konstruksi bangunan serambi kiri (utara) menggunakan konstruksi batu (beton bertulang). Plafon serambi menggunakan bahan multipleks dicat warna putih. Penutup atap menggunakan bahan metal roof warna hitam. [Gambar 3.51].
136
b. Key plan a. Serambi depan dengan atap konstruksi kayu
Sudut pengambilan gambar (a)
Serambi depan
c. Potongan bangunan mesjid Sunan Kalijaga
Gambar 3.51 Bentuk serambi mesjid Sunan Kalijaga.
Fungsi Serambi mesjid Sunan Kalijaga berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat, berdoa, berdzikir, dan pengajian agama. Fungsi atau kegiatan pengajian ilmu agama meliputi kegiatan pengajian mingguan dan tahunan. Kegiatan pengajian mingguan diadakan pada setiap bakda shalat subuh hari Jumat. Jamaah kaum pria di bagian kiri, dan jamaah kaum wanita di bagian kanan. Kegiatan pengajian tahunan dilaksanankan dalam rangka memperingati
137
hari-hari besar agama Islam, yaitu tahun baru Islam (1 Muharam), nuzulul Alqur’an (17 Ramadhan), hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (12 Rabi’ul Awwal), dan kegiatan dalam rangka gerebeg besar (10 Dzulhijjah), [3] Ruang utama Bentuk Mesjid Sunan Kalijaga memiliki hanya ruang utama. Ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, luasnya sekitar 120 m2. Ruang utama, lantainya dari bahan marmer ditutup karpet warna merah motif gambar mesjid, posisinya lebih tinggi 10 cm daripada serambi dan pawestren. Di dalam ruang utama terdapat 4 kolom kayu segi empat ukuran 40 cm x 40 cm, tingginya 13 meter. Keempat kolom ini dinamakan soko guru. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak yang tingginya 50 cm. Pada ketinggian 8 m, 11 m dan 13 m, masing-masing kolom dihubungkan satu sama lain oleh balok-balok. Pada ketinggian 8 meter ditutup plafon dari bahan kayu lambrisering dicat warna kuning. Ruang utama dinaungi atap tajug tumpang tiga. Konstruksi soko guru menopang atap tajug tumpang pertama, kedua dan ketiga. Pada bagian atap tajug tumpang ketiga terdapat ander tingginya 3,5 meter. Pada bagian paling bawah, konstruksi atap ditopang oleh dinding-dinding keliling ruangan, tingginya 6 meter dan tebal dindingnya 50 cm. Sor-soran atap tajug tumpang pertama bagian bawah ditopang oleh 3 kolom besi diameter 10 cm dan 2 kolom kayu segi empat ukuran 20 cm x 20 cm. Kolomkolom ini berada di serambi kanan dan pawestren. Pada sisi timur sor-soran ditopang oleh 4 kolom kayu di serambi kedua. Kolom-kolom penopang sor-soran tingginya 5,5 meter, dicat warna kuning. Plafon ruang utama menggunakan bahan
138
kayu lambrisering warna coating kayu. Penutup atap dari bahan sirap warna hitam. Pada bagian puncak atap terdapat memolo dari bahan logam warna hitam. Pada dinding sisi timur terdapat satu pintu masuk ukuran lebar 2 meter dan tinggi 4,5 meter, dengan kusen berukuran 25 cm x 25 cm, dari bahan kayu jati, dicat warna kuning. Daun pintu kupu-kupu memiliki ketebalan 5 cm, dari bahan kayu jati, dicat warna kuning. Pada bagian atas pintu terdapat ornamen. Di kanan dan kiri pintu terdapat jendela, masing-masing berukuran lebar 1,6 meter dan tinggi 2 meter, dengan kusen berukuran 20 cm x 20 cm, dari bahan kayu jati, warna coating kayu. Pada dinding sisi utara terdapat dua pintu, yaitu di ujung sisi timur dan barat. Pintu di ujung sisi timur berukuran lebar 1,2 meter, tinggi 3,5 meter, dengan kusen ukuran 25 cm x 25 cm, dari bahan kayu jati, dicat warna kuning. Pada bagian atas pintu terdapat ornamen. Daun pintu kupu-kupu memiliki ketebalan 5 cm, dari bahan kayu jati, dicat warna kuning. Pintu di ujung sisi barat berukuran lebar 1 meter, tinggi 2,5 meter, dengan kusen ukuran 20 cm x 20 cm, dari bahan kayu jati dicat warna kuning. Daun pintu memiliki ketebalan 5 cm, dari bahan kayu jati, dicat warna kuning. Di antara dua pintu ini terdapat dua jendela masing-masing berukuran lebar 1,6 meter dan tinggi 2 meter, dengan kusen berukuran 20 cm x 20 cm, dari bahan kayu jati, warna coating kayu. Pada dinding sisi selatan terdapat dua pintu dan dua jendela. Posisi, ukuran dan jenis bahannya sama dengan pintu dan jendela yang terdapat pada dinding sisi utara. Hanya saja kedua pintu pada sisi selatan jarang dibuka karena di sebelahnya adalah pawestren. [Gambar 3.52].
139
c. Key plan a. Interior ruang utama mesjid
b. Mimbar
Sudut pengambilan gambar (a)
Ruang utama
d. Potongan ruang utama mesjid
Gambar 3.52 Ruang utama mesjid Sunan Kalijaga.
Pada dinding sisi barat, di bagian tengah terdapat mihrab dan di dekatnya terdapat mimbar. Di samping kanan dan kiri mihrab terdapat jendela yang masingmasing ukurannya lebar 1,6 meter dan tinggi 2 meter, dengan kusen berukuran 20 cm x 20 cm, dari bahan kayu jati, warna coating kayu. Dinding mihrab tidak menonjol keluar karena di kanan dan kirinya terdapar gudang dan ruang teknis. Dari tampak barat, dinding mesjid rata.
140
Fungsi Ruang utama mesjid Sunan Kalijaga berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat bagi peziarah, berdoa, dan berdzikir. [4] Pawestren Bentuk Pawestren mesjid Sunan Kalijaga, luasnya sekitar 120,75 m2. Pawestren letaknya di sebelah selatan ruang utama, lantai dari bahan keramik warna putih, posisi peilnya sama rata dengan serambi. [Gambar 3.53].
b. Key plan
a. Interior pawestren Sudut pengambilan gambar (a)
c. Potongan pawestren
Gambar 3.53 Pawestren mesjid Sunan Kalijaga.
Fungsi Pawestren mesjid Sunan Kalijaga berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Sunat.
141
3.7 Mesjid Sunan Muria 3.7.1 Lokasi Mesjid Sunan Muria terletak di lereng gunung Muria, di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Dari kaki gunung Muria, lokasi kompleks mesjid Sunan Muria dapat dicapai dengan berjalan kaki menaiki jalan setapak berupa anak tangga sejauh sekitar 1600 meter, atau dengan bantuan ojek melalui jalan memutar. Di sisi kanan dan kiri jalan setapak yang naik ke atas ini terdapat para pedagang kaki lima. [Gambar 3.54 dan 3.55].
G. Muria
Lokasi mesjid
Gambar 3.54 Peta lokasi mesjid Sunan Muria di atas gunung Muria. Sumber: Wikimapia [2015]
Jalur ojek
Mesjid Sunan Muria
Area parkir Jalur jalan kaki
a
b
Gambar 3.55 Peta lingkungan sekitar [a] dan tapak [b] mesjid Sunan Muria. Sumber: Wikimapia [2015]
142
3.7.2 Perkembangan bentuk dalam latar sejarah Menurut cerita, mesjid Sunan Muria dibangun sendiri oleh Sunan Muria bersamaan dengan pembangunan pesantrennya yang lokasinya berada di atas bukit Muria. Tidak ada catatan sejarah tentang kapan mesjid Sunan Muria mulai dibangun. Mesjid itu kemudian mengalami pemugaran hingga menghilangkan bentuk aslinya. Kondisi awal yang sempat terekam pada tahun 1960-an, yaitu bangunan mesjid lama beratap bentuk tajug tumpang dua, di depannya (timur) terdapat serambi beratap bentuk limasan memanjang arah utara-selatan, di samping kanannya (utara) terdapat pawestren beratap bentuk limasan memanjang arah timur-barat, dan di belakangnya terdapat cungkup makam Sunan Muria beratap tajug tumpang dua. Pintu masuk ke mesjid melalui serambi dari arah utara. Pintu masuk ke cungkup makam dari arah barat. Cungkup menghadap ke barat, meskipun pencapaiannya dari arah selatan. Di sebelah selatan cungkup terdapat jejeran 17 nisan (tepat di sebelah barat mihrab mesjid), tanpa naungan atap. Pada tahun 1983, serambi diperbesar dengan bentuk atap limasan memanjang arah timur-barat, dan ruang diangkat menjadi lantai atas. Di bagian bawah bangunan terdapat tempat wudlu. [Salam, 1960; Hasyim, 1983]. Rehabilitasi besar-besaran terjadi setelah terbentuknya Yayasan Mesjid dan Makam Sunan Muria (YM2SM) pada tahun 1998. Pada tahun 2000 dilakukan rehabilitasi kompleks makam, jejeran 17 nisan dinaungi atap bentuk joglo dan cungkup makam diganti atapnya berbentuk joglo, lantainya dari bahan marmer. Pintu masuk dipindah dari sisi barat ke sisi selatan. Sekarang ini, kondisi kompleks
143
mesjid dan makam Sunan Muria cukup padat, karena lahan yang sempit di atasnya dibangun beberapa bangunan. [Gambar 3.56].
m a k a m
m a k a m
b.Bentuk mesjid 1960-an
c.bentuk mesjid 1998-2006
2016
a.bentuk mesjid awal?
1983 - Perluasan serambi 1960-an - Mesjid beratap tajuk tumpang dua
2000 - Mesjid direnovasi besar-besaran 1998 - Mesjid mulai direnovasi besar-besaran
2006 - Pembangunan pawestren baru 2003 - Rehab regol
Gambar 3.56 Periodisasi waktu perkembangan bentuk mesjid Sunan Muria.
Pada tahun 2003 dilakukan rehabilitasi regol (pintu masuk) makam beserta jalan keluar para peziarah. Pada tahun 2006 dilakukan rehabilitasi mesjid dan pembangunan pawestren baru menggantikan bangunan lama. Bangunan mesjid diangkat menjadi dua lantai. Lantai atas untuk kegiatan ritual mesjid dan syiar, lantai bawah untuk tempat wudlu dan untuk sirkulasi ritual makam. Atap limasan untuk menaungi perluasan ruang utama dibuat memanjang utara-selatan. Pintu masuk dirubah yang semula dari arah utara sekarang dari arah
144
timur. Sirkulasi peziarah berada di bawah ruang utama dan pawestren. Setelah ini dilakukan pula rehabilitasi dan pembangunan fasilitas perkantoran. Pada tahun 2012 dibangun kios-kios permanen di sepanjang sisi utara kompleks mesjid yang bangunannya berbentuk lengkung, menikung ke arah timur. [Widodo, 2014].
3.7.3 Bentuk dan fungsi arsitektur mesjid pada masa sekarang Eksplanasi bentuk arsitektur mesjid Sunan Muria dan fungsi-fungsi yang diwadahinya, pada masa sekarang meliputi tempat wudlu, ruang utama dan ruang dalam, pawestren, dan bentuk bangunan dalam area makam. Mesjid Sunan Muria tidak memiliki Menara. Bangunan mesjid Sunan Muria menjadi satu dengan cungkup makam Sunan Muria. Berikut eksplanasi bentuk dan fungsi arsitektur mesjid Sunan Muria. [1] Tempat wudlu Bentuk Tempat wudlu pria berada di bawah tangga utama, sementara tempat wudlu wanita berada di bawah pawestren, di dekat tangga pawestren. Tempat wudlu pria dan wanita terlalu kecil, sehingga orang-orang harus antri. Tempat wudlu pria tidak direncanakan tersendiri, melainkan memanfaatkan ruang di bawah tangga utama mesjid, sehingga sangat sempit untuk sebuah tempat bersuci. [Gambar 3.57]. Fungsi Tempat wudlu mesjid Sunan Muria berfungsi sebagai wadah kegiatan bersuci, yaitu membersihkan sebagian anggota badan, yang merupakan syarat sahnya shalat. Tata cara bersuci, yaitu dimulai dari membersihkan telapak tangan hingga membasuh kedua kaki.
145
Tempat wudlu wanita
a. Tempat wudlu pria Tempat wudlu pria
b. Key plan
Sudut pengambilan gambar (a) c. Tempat wudlu wanita
Gambar 3.57 Bentuk tempat wudlu mesjid Sunan Muria.
[2] Ruang utama dan ruang dalam Mesjid Sunan Muria memiliki ruang utama dan ruang dalam. Ruang utama mesjid Sunan Muria, luasnya sekitar 144 m2. Ruang dalam luasnya sekitar 176 m2. Ruang utama dinaungi atap bentuk tajuk tumpang, dan ruang dalam yang berada di sebelah timurnya dinaungi atap bentuk limasan. [a] Ruang dalam Bentuk Ruang dalam, lantainya dari bahan homogenious tile warna krem, posisinya lebih tinggi 3 meter daripada pelataran. Di ruang dalam terdapat 8 kolom kayu segi empat (batu dilapis kayu) ukuran 50 cm x 50 cm. Dua kolom tingginya 3,5 meter,
146
enam kolom yang lain tingginya 5,5 meter. Semua kolom warnya coating kayu. Kolom-kolom ini menopang atap bentu limasan. Pada bagian bawah kolom terdapat umpak setinggi 20 cm. Dinding bagian bawah dilapis batu andesit bakar jenis rtm (rata mesin) dan pada bagian atas dicat warna putih. Pada sisi timur terdapat pintu masuk ukuran lebar 2 m tinggi 2,1 meter. Di samping kanan dan kiri pintu terdapat empat jendela, di sisi selatan ada dua jendela, dan di sisi utara ada tiga jendela. Masing-masing jendela berukuran lebar 1 meter dan tinggi 3 meter, pada bagian atasnya dibuat melengkung setengah lingkaran. Pada sisi barat terdapat pintu berjeruji kayu ukuran lebar 4 meter dan tinggi 2,1 meter, yang membatasinya dengan ruang utama. Plafon dari bahan kayu lambrisering dan gypsum warna putih. Penutup atap dari bahan sirap. Di ruang dalam, di sisi selatan terdapat kentongan dan beduk. Pada bagian atas (gawang) beduk terdapat ornamen bentuk naga. Fungsi Ruang dalam mesjid Sunan Muria berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat, berdoa, berdzikir, dan pengajian ilmu agama. Fungsi atau kegiatan pengajian agama meliputi kegiatan pengajian bulanan (selapanan) dan tahunan. Kegiatan pengajian bulanan (selapanan) diadakan pada setiap bakda shalat subuh hari Jumat Legi, hanya khusus jamaah pria. Pengajian tahunan dilaksanankan dalam rangka haul Sunan Muria (11-15 Muharam). [b] Ruang utama Bentuk Ruang utama, lantainya dari bahan teraso ditutup karpet warna hijau motif mesjid, posisinya sama dengan lantai ruang dalam. Di dalam ruang utama terdapat
147
empat kolom soko guru berukuran 30 cm x 30 cm, tingginya 8,5 meter. Pada bagian bawah terdapat umpak setinggi 80 cm berbentuk dua buah waloh yang ditumpuk. Pada permukaan kolom dipenuhi ornamen sulur-suluran. . [Gambar 3.58].
a. Interior ruang utama mesjid
b. Interior ruang dalam mesjid
Ruang dalam Ruang utama
Sudut pengambilan gambar (a) Ruang utama
c. Key plan
Ruang dalam
d. Potongan ruang utama dan ruang dalam mesjid
Gambar 3.58 Ruang utama dan ruang dalam mesjid Sunan Muria.
Keempat kolom soko guru menopang atap bentuk tajug tumpang dua. Di antara konstruksi tumpang pertama dengan tumpang kedua terdapat lubang-lubang berkaca. Soko guru menopang atap tumpang kedua pada bagian bawahnya dan
148
menopang atap tumpang pertama pada bagian atasnya. Atap tumpang pertama bagian bawah ditopang oleh dinding-dinding yang mengelilingi ruangan. Pada dinding sisi barat terdapat mihrab yang menonjol ke dalam, bukan menonjol keluar lazimnya keberadaan mihrab. Di dekat mihrab terdapat mimbar. Plafon pada bagian tengah dari bahan papan kayu warna coating kayu, dan pada bagian lainnya dari bahan multipleks dicat warna putih. Penutup atap dari bahan sirap. Pada bagian puncak atap terdapat memolo dari bahan logam Fungsi Ruang utama mesjid Sunan Muria berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Jumat, shalat Sunat bagi para peziarah, berdoa, dan berdzikir. Dalam peringatan haul Sunan Muria, kegiatan penggantian luwur makam Sunan Muria dimulai dari ruang utama mesjid. [3] Pawestren Bentuk Pawestren mesjid Sunan Muria, luasnya sekitar 421,75 m2. Pawestren terletak di sebelah utara ruang utama mesjid, lantainya dari bahan keramik warna putih, posisinya sama rata dengan ruang utama mesjid. Dalam pawestren terdapat kolom-kolom yang letaknya tidak teratur. Kolomkolom terdiri dari kolom kayu (batu dilapis kayu) dan batu. Kolom kayu jumlahnya 8 buah, ukuran 50 cm x 50 cm, tingginya 4 meter. Kolom batu jumlahnya 13 buah, ukuran 50 cm x 50 cm, tingginya 2,1 meter. Kolom-kolom batu menopang atap dak dan kolom-kolom kayu menopang atap bentuk limasan. Plafon pawestren dari bahan gypsum dicat warna putih. Penutup atap limasan menggunakan bahan alumunium. [Gambar 3.59].
149
a. Interior pawestren
b. Key plan
Sudut pengambilan gambar (a)
c. Potongan pawestren
Gambar 3.59 Pawestren mesjid Sunan Muria.
Fungsi Pawestren mesjid Sunan Muria berfungsi sebagai wadah kegiatan shalat Lima Waktu, shalat Sunat, berdoa, berdzikir, dan pengajian ilmu agama, khusus untuk kaum wanita. [4] Bentuk bangunan dalam area makam Mesjid Sunan Muria menjadi satu kompleks dengan area makam. Luas total kompleks sekitar 3.780 m2. Makam Sunan Muria berada tepat di sebelah barat bangunan mesjid. Luas area makam sekitar 216 m2. Sirkulasi para peziarah makam Sunan Muria melewati ruang-ruang di bawah bangunan mesjid.
150
Bentuk Di sebelah selatan area makam terdapat regol pintu masuk berupa gapura paduraksa. Cungkup makam Sunan Muria dinaungi atap berbentuk joglo. Konstruksi atap ditopang oleh 4 kolom soko guru. Konstruksi atap joglo memiliki tumpang sari. [Gambar 3.60]. Fungsi Bangunan di area makam yang berupa regol berfungsi sebagai gerbang masuk ke cungkup makam Sunan Muria.
Makam Sunan Muria
b. Key Plan a. Potongan area makam Sudut pengambilan gambar (c)
c. Interior area makam
d. Regol pintu masuk
Gambar 3.60 Bentuk bangunan dalam area makam Sunan Muria.
151
Eksplanasi bentuk dan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga pada masa sekarang dapat dipetakan berikut ini [Tabel 3.1].
Tabel 3.1 Bentuk dan Fungsi Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga pada Masa Sekarang Kasus Studi 1 Mesjid Sunan Ampel
Bentuk Arsitektur Menara Tempat Wudlu Serambi Bangunan Selatan Serambi Bangunan Tengah Serambi Bangunan Barat Ruang Dalam Bangunan Selatan Ruang Dalam Bangunan Tengah Ruang Utama Bangunan Barat Makam
Fungsi Arsitektur tempat loud speaker bersuci shalat 5 waktu, Jumat, Sunat, berdoa, pengajian shalat 5 waktu, shalat Jumat shalat 5 waktu, shalat Jumat shalat 5 waktu, Jumat, Sunat, berdoa, pengajian shalat 5 waktu, shalat Jumat shalat 5 waktu, shalat Jumat ziarah
2 Mesjid Agung Demak
Menara Tempat Wudlu Serambi Ruang Utama Pawestren Makam
tidak berfungsi bersuci shalat 5 waktu, Jumat, Sunat, berdoa, pengajian shalat 5 waktu, shalat Jumat, Sunat, berdoa shalat 5 waktu, shalat Sunat ziarah
3 Mesjid Agung Sang Cipta rasa
Tempat Wudlu Serambi Ruang Utama
bersuci shalat 5 waktu, shalat Jumat, pengajian shalat Jumat, shalat Sunat, berdoa
Tempat Wudlu Serambi Bangunan Tengah Serambi Bangunan Utara Ruang Utama Bangunan Tengah Ruang Dalam Bangunan Utara Pawestren Makam
bersuci shalat 5 waktu, shalat Jumat, Sunat, berdoa shalat 5 waktu, shalat Jumat shalat 5 waktu, Jumat, Sunat, berdoa, pengajian shalat 5 waktu, shalat Jumat shalat 5 waktu, shalat Sunat ziarah
Menara Tempat Wudlu Serambi Ruang Dalam Ruang Utama Pawestren Makam
pemukulan beduk bersuci shalat 5 waktu, Jumat, Sunat, berdoa, pengajian shalat 5 waktu, shalat Jumat, Sunat, berdoa shalat 5 waktu, shalat Jumat, Sunat, berdoa shalat 5 waktu, shalat Sunat ziarah
6 Mesjid Sunan Kalijaga
Tempat Wudlu Serambi Ruang Utama Pawestren
bersuci shalat 5 waktu, Jumat, Sunat, berdoa, pengajian shalat 5 waktu, shalat Jumat, Sunat, berdoa shalat 5 waktu, shalat Sunat
7 Mesjid Sunan Muria
Tempat Wudlu Ruang Dalam Ruang Utama Pawestren Makam
bersuci shalat 5 waktu, Jumat, Sunat, berdoa, pengajian shalat 5 waktu, shalat Jumat, Sunat, berdoa shalat 5 waktu, shalat Sunat, berdoa ziarah
4 Mesjid Sunan Giri
5 Mesjid Menara Kudus
152
Periodisasi waktu perkembangan dapat dipetakan berikut ini [Gambar 3.61].
Mesjid Sunan Ampel Mesjid Agung Demak Mesjid Agung Sang Cipta Rasa Mesjid Sunan Giri Mesjid Menara Kudus Mesjid Sunan Kalijaga
Periodisasi Waktu Perkembangan Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga
Mesjid Sunan Muria Berdiri bangunan selatan 1450 Berdiri bangunan utama 1477 Berdiri bangunan utama 1489 Pemindahan mesjid wedok dari Giri Kedaton ke tempat sekarang 1544 Berdiri bangunan awal 1549 Penyempurnaan bangunan awal 1564 Penambahan serambi Ke-17 Data awal bangunan utama 1710 Perluasan dan perbaikan 1789 Penambahan serambi 1845 Soko guru diperkuat 1848 Perluasan dan perbaikan 1919 Penambahan gerbang semar tinandu 1920 Ganti penutup atap sirap
1924 1925 Perluasan utara & perbaikan
Perluasan serambi dan perbaikan
1926
Penambahan menara
1932 1933
Perluasan serambi dan perbaikan Perluasan utara & perbaikan Perluasan dan perbaikan Mesjid pertama kali terekam
1954 1957 1960-an
Penambahan serambi Pembongkaran gerbang semar tinandu Perluasan serambi dan perbaikan Perluasan barat & perbaikan
1965 1966 1970 1974
Pembangunan tempat wudlu baru Perluasan barat & perbaikan Perluasan serambi & perbaikan Perluasan dan perbaikan besar-besaran Pembangunan pawestren baru Penggantian lantai pelataran batu andesit dgn granit
1990 1993 1983 1998 2006 2015
Gambar 3.61 Periodisasi waktu perkembangan arsitektur mesjid-mesjid Walisanga.
BAB 4 ANALISIS DAN INTERPRETASI MAKNA SINKRETISME BENTUK PADA ARSITEKTUR MESJID – MESJID WALISANGA
Pemahaman makna, berdasarkan elaborasi pendekatan hermeneutika Ricoeur, dapat dilakukan melalui dua tahap, yaitu pertama, tahap eksplanasi, dan kedua, tahap analisis dan interpretasi. Pada bagian ini dilakukan analisis dan interpretasi makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan berdasarkan kerangka konseptual terbangun [Gambar 2.25]. Langkah-langkah untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga adalah sebagai berikut: [1] melepaskan fungsi-fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga pada masa sekarang, dari pelakuknya, proses kegiatan dilakukan, dan konteks mengapa dan dimana kegiatan dilakukan, dengan cara menentukan fungsi-fungsi konseptual; [2] menentukan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang dianalisis dan dinterpretasi; [3] melepaskan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga pada masa sekarang, dari pendirinya, proses pendirian dan perkembangannya, dan konteks awalnya, dengan cara membuka pelingkup bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; [4] membandingkan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan bentuk-bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan;
153
154
[5] menganalisis dan menginterpretasi langkah ke-4, untuk memahami sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; [6] merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan fungsi-fungsi konseptual; dan [7] menginterpretasi langkah ke-6, untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga.
4.1 Menentukan Fungsi-Fungsi Konseptual Fungsi-fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, sebagaimana dijelaskan pada Bab 3, berdasarkan pendekatan otonomi teks Ricoeur, dilepaskan dari orang-orang yang melakukan kegiatan, proses bagaimana kegiatan dilakukan, dan mengapa dan dimana kegiatan dilakukan. Hasil analisis dan interpretasi terhadap fungsi-fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dapat menghasilkan fungsi-fungsi konseptual. Berdasarkan eksplanasi pada Bab 3, fungsi-fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga adalah sebagai berikut:
pemukulan beduk, dilakukan sebelum shalat Lima Waktu dan shalat Jumat,
adzan, dilakukan setelah pemukulan beduk,
bersuci, sebagai syarat sahnya shalat,
shalat Lima Waktu (sifatnya fardlu atau wajib),
shalat Jumat (sifatnya fardlu atau wajib bagi kaum pria),
shalat Sunat (sifatnya utama dikerjakan),
berdoa dan berdzikir, yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat Sunat,
pengajian ilmu agama,
ziarah, yang didahului dan disudahi dengan shalat Sunat dan berdoa.
155
Fungsi-fungsi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam fungsi-fungsi konseptual, yang berkaitan dengan ritual mesjid, syiar, dan ritual makam. Pemukulan beduk, adzan, bersuci, shalat Lima Waktu dan shalat Jumat berkaitan dengan ritual mesjid, sehingga dapat dinamakan fungsi ritual mesjid. Shalat Sunat, berdoa, berdzikir, dan ziarah berkaitan dengan ritual makam, sehingga dapat dinamakan fungsi ritual makam. Kegiatan shalat Sunat, berdoa dan berdzikir pada umumnya dilakukan oleh para peziarah setelah atau sebelum melakukan ziarah ke makam tokoh yang dihormati, yang terletak di dalam atau dekat dengan kompleks mesjid. Pengajian ilmu-ilmu agama Islam berkaitan dengan syiar agama Islam, sehingga dapat dinamakan fungsi syiar. [Tabel 4.1]. Fungsi ritual mesjid dapat didefinisikan sebagai kegiatan ibadah yang dilakukan oleh jamaah dan pengurus DKM (Dewan Kemakmuran Mesjid) seharihari. Fungsi ritual mesjid meliputi kegiatan-kegiatan, yaitu pemukulan beduk, adzan (panggilan untuk shalat), wudlu (bersuci), dan shalat (shalat Lima Waktu dan shalat Jumat). Fungsi-fungsi ini saling berkaitan. Pemukulan beduk dilakukan menjelang tibanya waktu shalat Lima Waktu (Subuh, Dhuhur, Asar, Maghrib, dan Isya), dan shalat Jumat. Kegiatan shalat Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha) tidak diuraikan, karena secara prinsip tata cara pelaksanaannya sama dengan kegiatan shalat Jumat. Setelah pemukulan beduk dilakukan, beberapa saat kemudian, suara adzan dikumandangkan. Tidak lama setelah adzan dikumandangkan, maka kegiatan shalat Lima Waktu dan shalat Jumat berjamaah dilaksanakan. Sebelum melaksanakan kegiatan shalat, setiap muslim harus melaksanakan kegiatan wudlu. Fungsi syiar dapat didefinisikan sebagai kegiatan pengajian atau pengajaran ilmu-ilmu agama yang dilakukan oleh jamaah dan pengurus DKM (Dewan
156
Kemakmuran Mesjid), yang bertujuan selain memberikan tambahan wawasan ilmu-ilmu agama, juga menyiarkan kegiatan agama Islam di sekitar lingkungan mesjid. Fungsi ritual makam dapat didefinisikan sebagai kegiatan ziarah makam wali dan tokoh yang dihormati. Fungsi ritual makam merupakan petunjuk bahwa dalam kompleks mesjid-mesjid Walisanga terdapat makam wali atau tokoh yang dihormati, sehingga perlu diziarahi. Dalam hal ini, mesjid bukanlah tempat berziarah, namun para peziarah pada umumnya, setelah atau sebelum berziarah di makam, melakukan shalat Sunat dan berdoa di mesjid. Kegiatan shalat Sunat dan berdoa para peziarah yang dilakukan di mesjid dimasukkan ke dalam kelompok fungsi ritual makam karena kegiatan-kegiatan tersebut berkaitan dengan kegiatankegiatan ziarah makam.
Tabel 4.1 Fungsi-Fungsi Konseptual Fungsi-Fungsi Bentuk Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga Pemukulan beduk Adzan Wudlu Shalat Lima Waktu Shalat Jumat
Fungsi-Fungsi Konseptual
Pengajian ilmu-ilmu agama Islam
Fungsi Syiar
Shalat Sunat Berdoa Berdzikir Ziarah
Fungsi Ritual Mesjid
Fungsi Ritual Makam
Langkah-langkah pemahaman makna sinkretisme bentuk sebagaimana disebutkan sebelumnya, mulai langkah ke-2 hingga ke-7, dilakukan terhadap masing-masing kasus studi, yang kemudian diperbandingkan kasus studi satu dengan kasus studi lainnya.
157
4.2 Mesjid Sunan Ampel 4.2.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi Penentuan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang dianalisis dan diinterpretasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa kompleks mesjid-mesjid Walisanga memiliki banyak bentuk arsitektur. Dalam penelitian ini, untuk keperluan analisis dan interpretasi, ditentukan hanya satu bentuk arsitektur. Penentuan bentuk arsitektur berdasarkan kriteria, yaitu memiliki: [a] dimensi keluasan yang lebih besar; [b] dimensi ketinggian yang lebih besar; dan [c] fungsi yang lebih lengkap (fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam). Kriteria yang berdasarkan dimensi ketinggian menjadi pertimbangan utama, karena pada sebuah bangunan peribadatan, unsur keIlahian, merupakan unsur paling penting dalam kegiatan peribadatan; ia bersifat transenden, yang selalu dihubungkan dengan sesuatu yang di atas, atau di tempat yang tinggi. Penentuan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang dianalisis dan diinterpretasi, dilakukan berdasarkan pada penjelasan Bab 3 dan penjelasan sebelumnya. Kompleks mesjid Sunan Ampel, berdasarkan posisinya, terbagi menjadi tiga bangunan, yaitu bangunan selatan, bangunan tengah, dan bangunan barat. Total luasnya sekitar 5.231 m2. Bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel, memiliki ruang-ruang, yaitu ruang dalam, serambi, dan tempat wudlu pria. Luas ruang dalam, yaitu 1.296 m2, serambi, yaitu 224 m2, dan tempat wudlu pria, yaitu 19,6 m2. Tinggi ruang dalam, yaitu 19 m, serambi, yaitu 8 m, tempat wudlu, yaitu 5 m. Ruang dalam dan serambi
158
bangunan selatan mesjid Sunan Ampel memiliki fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam. [Gambar 4.1].
Area makam
Bangunan selatan
Bangunan tengah
Bangunan barat
a. Perspektif kompleks mesjid Sunan Ampel
E B
C
Keterangan A. Bangunan selatan B. Bangunan tengah C. Bangunan barat D. Area makam E. Tempat wudlu wanita F. Tempat wudlu pria 1. Gapuro poso 2. Gapuro ngamal 3. Gapuro madep 4. Gapuro paneksen 5. Makam Sunan Ampel
5
4 D A 3 2 F 1 b. Denah kompleks mesjid Sunan Ampel
Gambar 4.1 Kompleks mesjid Sunan Ampel.
159
Bangunan tengah, mesjid Sunan Ampel, terdiri atas ruang dalam, serambi, dan tempat wudlu wanita. Luas ruang dalam, yaitu 1.568 m2, serambi, yaitu 447 m2, dan tempat wudlu wanita, yaitu 19,6 m2. Tinggi ruang dalam, yaitu 10 m, serambi, yaitu 7 m, tempat wudlu, yaitu 5 m. Ruang dalam dan serambi bangunan tengah mesjid Sunan Ampel memiliki fungsi ritual mesjid. Bangunan barat, mesjid Sunan Ampel, terdiri atas ruang utama dan serambi. Luas ruang utama, yaitu 750 m2, dan serambi, yaitu 571 m2. Tinggi ruang utama, yaitu 22 m, serambi, yaitu 8,5 m, dan menara, yaitu 24 m. Bangunan barat memiliki fungsi ritual mesjid. Berdasarkan uraian sebelumnya, kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan pada bentuk arsitektur ruang dalam bangunan selatan mesjid Sunan Ampel [Tabel 4.2; Gambar 4.2; dan Gambar 4.3].
Tabel 4.2 Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Ampel yang Dianalisis dan Diinterpretasi Mesjid Sunan Ampel
Luas (m2)
Tinggi (m)
Fungsi (Kegiatan)
Bangunan Selatan
Ruang Dalam Serambi Tempat Wudlu Pria Menara Luas Total (tidak termasuk menara)
1.296 224 19,6 9,6 1.539,6
19 8 5 24
ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid ritual mesjid
Bangunan Tengah
Ruang Dalam Serambi Tempat Wudlu Wanita Luas Total
1.568 447 19,6 2.034,6
10 7 5
ritual mesjid ritual mesjid ritual mesjid
Bangunan Barat
Ruang Utama Serambi Menara Luas Total (tidak termasuk menara)
750 571 9,6 1.321
22 8,5 24
ritual mesjid ritual mesjid ritual mesjid
160
Orientasi ke arah Kiblat
utara
A Key plan
Ruang dalam Teras
Pintu masuk utama
A
Tempat wudlu
a. Denah
Ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel
b. Potongan A
c. Tampak A
Gambar 4.2 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Sunan Ampel, bangunan selatan.
161
Bangunan selatan: ruang dalam dan pelingkupnya adalah bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
Perspektif kompleks mesjid Sunan Ampel
Gambar 4.3 Bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel yang dianalisis dan diinterpretasi.
4.2.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel dilakukan terhadap bangunan selatan, yaitu terdiri atas [Gambar 4.4 dan Gambar 4.5]: [a] pelingkup bawah, berupa lantai yang berorientasi ke arah kiblat; [b] pelingkup samping, berupa dinding tebal dengan elemen pintu dan jendela besar; dan [c] pelingkup atas, berupa atap dengan bentuk tajuk tumpang (bersusun) dua.
a.Perspektif kompleks mesjid Sunan Ampel
b.Ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel
Gambar 4.4 Bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel.
162
Pelingkup Atas
Pelingkup Samping
Bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel
Pelingkup Bawah
Gambar 4.5 Pelingkup bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel.
4.2.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan Bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel diperbandingkan dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya, yaitu pelingkup bawah, samping, dan atas. Berdasarkan telaah Bab 2, bentuk-bentuk arsitektur acuan, yaitu pertama, bentuk arsitektur acuan lokal, yang meliputi bangunan tajuk, bangunan limasan, dan kedua, bentuk arsitektur acuan non lokal, yang meliputi candi Hindu/Budha, mesjid Nabawi Awal, gereja kolonial, mesjid Pan Islamisme, dan mesjid modern. Khusus untuk bentuk arsitektur acuan gereja kolonial adalah gereja kolonial yang lokasinya berada dekat dengan kasus studi, yaitu gereja Kepanjen, Surabaya. Pelingkup bawah, yang berupa lantai bangunan mesjid Sunan Ampel, memiliki acuan bentuk, yaitu denah lantai, sebagai pelingkup bawah, bangunan mesjid Nabawi Awal. Kedua bentuk sama-sama berorientasi ke arah kiblat.
163
Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan mesjid Nabawi awal (abad ke-7 Masehi) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Ampel (diduga tahun 1926 ketika terjadi perluasan dan perbaikan), sehingga bentuk arsitektur bangunan yang pertama dapat mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan yang kedua. Hal ini dimungkinkan terjadi karena orientasi bentuk mesjid Nabawi (mesjid pertama dalam kebudayaan Islam) menjadi acuan mesjid-mesjid di seluruh dunia. Pelingkup samping, yang berupa dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar pada bangunan mesjid Sunan Ampel, memiliki acuan bentuk, yaitu dinding, sebagai pelingkup samping, bangunan gereja Kepanjen Surabaya. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan gereja Kepanjen Surabaya (didirikan tahun 1815) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Ampel (perluasan dan perbaikan tahun 1926), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Hal ini dimungkinkan terjadi karena lokasi keberadaan keduanya berdekatan, masih dalam satu lingkup kota. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang dua bangunan mesjid Sunan Ampel, memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk atap bangunan cungkup makam Sunan Bonang. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan cungkup makam Sunan Bonang (dibangun abad ke-16 M) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Ampel (perluasan dan perbaikan tahun 1926 diduga juga meliputi penguatan konstruksi atap tajuk tumpang dua yang sudah ada sebelumnya), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. [Gambar 4.6].
164
Kondisi bentuk bangunan sekarang diduga hasil renovasi tahun 1926
Bangunan Tajuk Cungkup Sunan Bonang (abad ke-16) Bangunan Limasan Cungkup Fatimah (abad ke-15) Candi Hindu/Budha Candi Plumbangan (abad ke-14)
Pelingkup atas
Mesjid Nabawi Awal (abad ke-7) Pelingkup samping Gereja Kolonial Gereja Kepanjen (tahun 1815) Mesjid Pan Islamisme Mesjid Agung Tuban (tahun 1894)
Pelingkup bawah Pelingkup bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel
Mesjid modern Mesjid Salman ITB (tahun 1960-an) Bentuk arsitektur acuan
DETAIL Bentuk arsitektur acuan: gereja kolonial, berupa dinding tebal, dengan pintu berukuran besar
Pintu masuk mesjid Sunan Ampel
Pintu masuk gereja Kepanjen
Gambar 4.6 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel.
Pelingkup bawah, yang berupa lantai bangunan, memiliki ketinggian sekitar 0,75 meter dari pelataran. Pelingkup samping, yang berupa dinding bangunan, memiliki ketinggian sekitar 5 meter. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang dua, memiliki ketinggian sekitar 14 meter. [Gambar 4.7]. Hal ini
165
menunjukkan bahwa pelingkup atas dominan terhadap pelingkup samping dan pelingkup bawah.
14 m
5m 0,75 m Potongan bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel
Gambar 4.7 Dimensi bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel.
4.2.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan Bentuk arsitektur mesjid Sunan Ampel yang menjadi fokus analisis dan interpretasi adalah bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan. Bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel, terbangun oleh dua bentuk arsitektur, yaitu bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Bentuk arsitektur lokal direpresentasikan oleh bentuk atap tajuk tumpang dua yang menjadi pelingkup atas. Bentuk arsitektur atap tajuk yang melingkupi ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel, mengacu pada atau dipengaruhi oleh bentuk arsitektur bangunan tajuk. Bentuk arsitektur non lokal direpresentasikan oleh bentuk denah ruang dalam, yang berorientasi ke arah kiblat, dan menjadi pelingkup bawah. Bentuk denah yang berorientasi ke arah kiblat mengacu pada bentuk denah mesjid Nabawi awal. Kedua
166
bentuk memiliki orientasi yang sama, yaitu ke arah kiblat, bangunan Kabah di Masjidil Haram, di Arab Saudi. Bentuk arsitektur non lokal juga direpresentasikan oleh bentuk dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar, yang menjadi pelingkup samping. Bentuk dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar mengacu pada bentuk dinding bangunan gereja kolonial. Arsitektur lokal memiliki satu bentuk arsitektur, dan arsitektur non lokal memiliki dua bentuk arsitektur. Bentuk atap tajuk acuan, yang dijumpai pada bangunan cungkup makam Sunan Bonang, keadaannya tidak bertingkat (tumpang), namun terdapat patahan padanya. Pada bagian atas bentuk atap tajuk cungkup makam, lebih curam kemiringannya dibandingkan dengan bagian bawah. Bagian atas atap menyatu dengan bagian bawah. Sementara bentuk atap tajuk yang melingkupi ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel, keadaannya bertingkat (tumpang), artinya bagian atap tajuk kedua diangkat dan berada di atas bagian atap tajuk pertama. Bentuk atap tajuk tumpang dua, pelingkup ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel, adalah hasil penambahan atap berbentuk tajuk, yang telah mengalami pengubahan bentuk, pada denah ruang dalam yang berbentuk segi empat dan berorientasi ke arah kiblat. Pengubahan bentuk yang terjadi, yaitu pengubahan bentuk dari bentuk atap tajuk tidak tumpang menjadi atap tajuk tumpang dua. Berdasarkan uraian sebelumnya, proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel, dengan konsep pengubahan bentuk. [Gambar 4.8].
167
Bentuk atap tajuk tumpang dua yang melingkupi ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel Bentuk atap tajuk tidak tumpang yang melingkupi cungkup makam Sunan Bonang
lokal
non lokal
1A
2A
2B
non lokal
Ilustrasi grafis konsep pengubahan bentuk
Gambar 4.8 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel: pengubahan bentuk.
Ekspresi bentuk eksterior pelingkup atas yang berupa atap tajuk tumpang dua memperlihatkan dominasi bentuk terhadap pelingkup bawah, yang berupa bentuk denah segi empat mendekati bujur sangkar, dan pelingkup samping, yang berupa dinding tembok tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar. Dominasi bentuk arsitektur pelingkup atas diperlihatkan oleh ketinggiannya. Berdasarkan dimensi luasan, ketiga pelingkup memiliki luasan yang sama. Berdasarkan dimensi ketinggian, pelingkup atas, yaitu atap tajuk tumpang dua, memiliki ketinggian yang paling besar. Sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel, terjadi dengan cara adaptasi. Hal ini diperlihatkan oleh adanya dominasi bentuk arsitektur lokal (bentuk arsitektur bangunan tajuk) terhadap bentuk arsitektur non lokal (bentuk arsitektur mesjid Nabawi awal dan gereja kolonial). [Gambar 4.9].
168
lokal Pelingkup atas (lokal)
non lokal 2A
1A Pelingkup samping (non lokal) 2B Pelingkup bawah (non lokal)
non lokal
Ilustrasi grafis konsep adaptasi
Pelingkup bentuk arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel
Gambar 4.9 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel: adaptasi.
4.2.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel dengan fungsi-fungsi konseptual Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel, berdasarkan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, direlasikan dengan fungsi-fungsi konseptual: fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, untuk memahami maknanya. [a] Sinkretisme bentuk Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Ampel terjadi melalui proses pengubahan bentuk dan adaptasi. Pengubahan bentuk terjadi pada bentuk atap, dari bentuk atap tajuk tidak tumpang (yang direpresentasikan oleh bentuk atap bangunan cungkup makam Sunan Bonang) menjadi bentuk atap tajuk tumpang dua. Adaptasi terjadi pada bentuk atap, yang mana bentuk atap dominan terhadap dinding (yang direpresentasikan oleh bentuk dinding gereja kolonial) dan lantai (yang direprentasikan oleh denah lantai mesjid Nabawi awal).
169
[b] Fungsi konseptual Fungsi konseptual pada arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel adalah fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam. [c] Relasi fungsional Ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel mewadahi dengan baik fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, yang menunjukkan adanya relasi harmonis antara bentuk dan fungsi.
4.2.6 Menginterpretasi relasi Ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel, yang mewadahi fungsifungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam, dibentuk oleh ketiga pelingkupnya, yaitu pelingkup atas berupa atap, pelingkup samping berupa dinding, dan pelingkup bawah berupa lantai. Masing-masing pelingkup dibentuk oleh elemen-elemennya. Elemen pembentuk pelingkup atas, adalah sebagai berikut: * konstruksi jendela kaca di antara tumpang pertama dan kedua, dapat berfungsi memasukkan cahaya ke dalam ruang, yang merupakan respon terhadap perkembangan teknologi bangunan; * adanya memolo pada puncak atap bentuk tajuk memperlihatkan betapa penting keberadaannya, yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai titik penghubung yang sempurna antara manusia dengan Tuhannya, dan merupakan simbol sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang; dan * konstruksi kayu soko guru dan pembalokan blandar – pengerat dan sunduk – kili-kili yang terpapar mempertegas adanya dominasi elemen lokal pada sistem konstruksi atap, sebagai sebuah bentuk adaptasi.
170
Elemen pembentuk pelingkup samping, adalah sebagai berikut: * konstruksi pintu dan jendela kayu yang berukuran besar pada dinding tebal merupakan respon terhadap gaya arsitektur kekinian yang banyak diterapkan pada bangunan keagamaan (gereja kolonial) saat itu; Elemen pembentuk pelingkup bawah, adalah sebagai berikut: * lantai berbentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat mengambil orientasi bentuk denah mesjid Nabawi awal, yang merupakan bukti sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang. Relasi harmonis antara bentuk (sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel, dengan proses pengubahan bentuk dan adaptasi) dan fungsi (fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam), dapat dimaknai sebagai respon, toleransi, dan adaptasi masyarakat muslim Jawa. Respon terhadap gaya arsitektur kekinian dan kemajuan teknologi bangunan, toleransi terhadap agama atau kepercayaan lain, dan adaptasi terhadap sistem konstruksi dan bentuk bangunan lokal.
4.3 Mesjid Agung Demak 4.3.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi Penentuan bentuk arsitektur mesjid Agung Demak yang dianalisis dan diinterpretasi, dilakukan berdasarkan pada penjelasan sebelumnya. Penentuan bentuk arsitektur berdasarkan kriteria, yaitu memiliki: [a] dimensi keluasan yang lebih besar; [b] dimensi ketinggian yang lebih besar; dan [c] fungsi yang lebih lengkap (fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam).
171
Kriteria yang berdasarkan dimensi ketinggian menjadi pertimbangan utama, karena pada sebuah bangunan peribadatan, unsur keIlahian, merupakan unsur paling penting dalam kegiatan peribadatan; ia bersifat transenden, yang selalu dihubungkan dengan sesuatu yang di atas, atau di tempat yang tinggi. Kompleks mesjid Agung Demak memiliki ruang-ruang atau bagian-bagian, yaitu ruang utama, serambi, pawestren, tempat wudlu pria, dan tempat wudlu wanita. Luas ruang utama, yaitu 585,64 m2, serambi, yaitu 513,24 m2, pawestren, yaitu 174,24 m2, tempat wudlu pria, yaitu 108 m2, dan tempat wudlu wanita, yaitu 54 m2. Tinggi ruang utama, yaitu 19 m, serambi, yaitu 9 m, pawestren, yaitu 6 m, tempat wudlu pria, yaitu 7 m, dan tempat wudlu wanita, yaitu 7 m. Ruang utama mesjid dan pawestren memiliki fungsi ritual mesjid dan ritual makam. Serambi mesjid memiliki fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam. Berdasarkan uraian sebelumnya, kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan terhadap ruang utama mesjid Agung Demak [Tabel 4.3; Gambar 4.10; Gambar 4.11; dan Gambar 4.12].
Tabel 4.3 Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Agung Demak yang Dianalisis dan Diinterpretasi Mesjid Agung Demak
Luas (m2)
Tinggi (m)
Fungsi (Kegiatan)
Ruang Utama Serambi Pawestren Tempat Wudlu Pria Tempat Wudlu Wanita
585,64 513,24 174,24 108 54
19 9 6 7 7
ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid ritual mesjid
172
a. Perspektif kompleks mesjid Agung Demak
5 4
2
1
3
7 6
b. Denah kompleks mesjid Agung Demak
Gambar 4.10 Kompleks mesjid Agung Demak.
Keterangan: 1. Ruang Utama 2. Serambi 3. Pawestren 4. Makam Sultan Trenggono 5. Tempat Wudlu Pria 6. Tempat Wudlu Wanita 7. Menara
173
Orientasi ke arah Kiblat
utara Pintu masuk utama
A Ruang utama Serambi
Key plan
a. Denah
A Ruang utama mesjid Agung Demak menjadi bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
b. Potongan A Menampilkan bentuk ekspresi yang dominan. Ruang utama mesjid Agung Demak menjadi bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
c. Tampak A
Gambar 4.11 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Agung Demak.
174
Menara dengan konstruksi baja
Ruang utama dan pelingkupnya adalah bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
Perspektif kompleks mesjid Agung Demak
Gambar 4.12 Bentuk arsitektur mesjid Agung Demak yang dianalisis dan diinterpretasi.
4.3.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur mesjid Agung Demak dilakukan terhadap bangunan ruang utama, yaitu sebagai berikut [Gambar 4.13; dan Gambar 4.14]: [a] pelingkup bawah, berupa lantai dengan bentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat, yaitu Kabah di Masjidl Haram, Mekah, Arab Saudi. Hal ini diperkuat dengan keberadaan mihrab; [b] pelingkup samping, berupa dinding tebal dengan bentuk yang menonjolkan lubang-lubang, dan elemen pintu dan jendela besar; dan [c] pelingkup atas, berupa atap dengan bentuk tajuk tumpang (bersusun) tiga dengan memolo di puncaknya.
175
a.Perspektif kompleks mesjid Agung Demak
b.Ruang utama mesjid Agung Demak
Gambar 4.13 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak.
Pelingkup Atas
Pelingkup Samping Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak
Pelingkup Bawah
Gambar 4.14 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak.
4.3.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Agung Demak dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan Berdasarkan telaah Bab 2, bentuk-bentuk arsitektur acuan, yaitu pertama, bentuk arsitektur acuan lokal, yang meliputi bangunan tajuk, bangunan limasan, dan kedua, bentuk arsitektur acuan non lokal, yang meliputi candi Hindu/Budha, mesjid Nabawi Awal, gereja kolonial, mesjid Pan Islamisme, dan mesjid modern. Khusus untuk bentuk arsitektur acuan gereja kolonial adalah gereja kolonial yang lokasinya berada dekat dengan kasus studi, yaitu gereja Blenduk, Semarang.
176
Pelingkup bawah, yang berupa bentuk lantai memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk lantai bangunan mesjid Nabawi Awal. Kedua bentuk sama-sama berorientasi ke arah kiblat. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan mesjid Nabawi awal (abad ke-7 Masehi) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Agung Demak (data awal berupa gambar kuno tahun 1710), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Hal ini dimungkinkan terjadi karena orientasi bentuk mesjid Nabawi (mesjid pertama dalam kebudayaan Islam) menjadi acuan mesjidmesjid di seluruh dunia. Pelingkup samping, yang berupa dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar pada bangunan mesjid Agung Demak, memiliki acuan bentuk, yaitu dinding bangunan gereja Blenduk Semarang. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan gereja Blenduk Semarang (didirikan tahun 1753) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Agung Demak (diduga hasil perbaikan dan perkuatan tahun 1848), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Hal ini dimungkinkan terjadi karena lokasi keberadaan keduanya berdekatan, masih dalam satu lingkup regional pantai utara Jawa Tengah. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang tiga bangunan mesjid Sunan Agung Demak, memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk atap bangunan cungkup makam Sunan Bonang. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan cungkup makam Sunan Bonang (dibangun abad ke-16 M) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Agung Demak (perkuatan konstruksi atap lama tahun 1848),
177
sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. [Gambar 4.15].
Kondisi bentuk bangunan sekarang diduga hasil renovasi tahun 1848
Bangunan Tajuk Cungkup Sunan Bonang (abad ke-16) Bangunan Limasan Cungkup Fatimah (abad ke-15) Candi Hindu/Budha Candi Plumbangan (abad ke-14)
Pelingkup atas
Mesjid Nabawi Awal (abad ke-7)
Pelingkup samping
Gereja Kolonial Gereja Blenduk (tahun 1753) Mesjid Pan Islamisme Mesjid Agung Tuban (tahun 1894)
Pelingkup bawah Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak
Mesjid modern Mesjid Salman ITB (tahun 1960-an) Bentuk arsitektur acuan
DETAIL Bentuk arsitektur acuan: gereja kolonial, berupa pintu berukuran besar
Pintu masuk mesjid Agung Demak
Pintu masuk gereja Blenduk
Gambar 4.15 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak.
Pelingkup bawah, yang berupa lantai bangunan, memiliki ketinggian sekitar 0,4 meter dari pelataran. Pelingkup samping, yang berupa dinding bangunan, memiliki ketinggian sekitar 5 meter. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang tiga, memiliki ketinggian sekitar 14 meter. [Gambar 4.16]. Hal ini
178
menunjukkan bahwa pelingkup atas dominan terhadap pelingkup samping dan pelingkup bawah.
14 m
5m 0,4 m Potongan bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak
Gambar 4.16 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak.
4.3.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak, terbangun oleh dua bentuk arsitektur, yaitu bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Bentuk arsitektur lokal direpresentasikan oleh bentuk atap tajuk tumpang tiga yang menjadi pelingkup atas. Bentuk arsitektur atap tajuk mengacu pada bentuk bangunan tajuk. Bentuk arsitektur non lokal direpresentasikan oleh bentuk denah ruang utama, yang berorientasi ke arah kiblat, dan menjadi pelingkup bawah. Bentuk denah yang berorientasi ke arah kiblat mengacu pada bentuk denah mesjid Nabawi awal. Bentuk arsitektur non lokal juga direpresentasikan oleh bentuk dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar, yang menjadi pelingkup samping. Bentuk dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar mengacu pada
179
bentuk dinding bangunan gereja kolonial. Arsitektur lokal memiliki satu bentuk arsitektur, dan arsitektur non lokal memiliki dua bentuk arsitektur. Bentuk atap tajuk acuan, yang dijumpai pada bangunan cungkup makam Sunan Bonang, keadaannya tidak bertingkat (tumpang). Sementara bentuk atap tajuk yang melingkupi ruang utama mesjid Agung Demak, keadaannya bertingkat (tumpang) tiga, artinya bagian atap tajuk kedua dan ketiga diangkat. Bentuk atap tajuk tumpang tiga, pelingkup ruang utama mesjid Agung Demak, adalah hasil penambahan atap berbentuk tajuk, yang telah mengalami pengubahan bentuk. Pengubahan bentuk yang terjadi, yaitu pengubahan bentuk dari bentuk atap tajuk tidak tumpang menjadi atap tumpang tiga. Proses terjadinya sinkretisme bentuk arsitektur mesjid Agung Demak, melalui pengubahan bentuk. [Gambar 4.17].
Bentuk atap tajuk tumpang tiga yang melingkupi ruang utama mesjid Agung Demak Bentuk atap tajuk tidak tumpang yang melingkupi cungkup makam Sunan Bonang
lokal
non lokal
1A
2A
2B
non lokal
Ilustrasi grafis konsep pengubahan bentuk
Gambar 4.17 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak: pengubahan bentuk.
Ekspresi bentuk eksterior pelingkup atas yang berupa atap tajuk tumpang tiga memperlihatkan dominasi bentuk terhadap pelingkup bawah, yang berupa bentuk denah segi empat mendekati bujur sangkar, dan pelingkup samping, yang berupa
180
dinding tembok tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar. Dominasi bentuk arsitektur pelingkup atas diperlihatkan oleh ketinggiannya. Berdasarkan dimensi ketinggian, pelingkup atas, yaitu atap tajuk tumpang tiga, memiliki ketinggian yang paling besar. Sinkretisme bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak, terjadi dengan cara adaptasi. Hal ini diperlihatkan oleh adanya dominasi bentuk arsitektur lokal (bentuk arsitektur bangunan tajuk) terhadap bentuk arsitektur non lokal (bentuk arsitektur mesjid Nabawi awal dan gereja kolonial). [Gambar 4.18].
lokal Pelingkup atas (lokal)
non lokal 2A
1A Pelingkup samping (non lokal) 2B Pelingkup bawah (non lokal) Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak
non lokal
Ilustrasi grafis konsep adaptasi
Gambar 4.18 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak: adaptasi.
4.3.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak dengan fungsi-fungsi konseptual Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak, berdasarkan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, direlasikan dengan fungsi-fungsi konseptual: fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, untuk memahami maknanya.
181
[a] Sinkretisme bentuk Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Demak terjadi melalui proses pengubahan bentuk dan adaptasi. Pengubahan bentuk terjadi pada bentuk atap, dari bentuk atap tajuk tidak tumpang (yang direpresentasikan oleh bentuk atap bangunan cungkup makam Sunan Bonang) menjadi bentuk atap tajuk tumpang tiga. Adaptasi terjadi pada bentuk atap, yang mana bentuk atap dominan terhadap dinding (yang direpresentasikan oleh bentuk dinding gereja kolonial) dan lantai (yang direprentasikan oleh denah lantai mesjid Nabawi awal). [b] Fungsi konseptual Fungsi konseptual pada arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak adalah fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam. [c] Relasi fungsional Ruang utama mesjid Agung Demak mewadahi dengan baik fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam, yang menunjukkan adanya relasi harmonis antara bentuk dan fungsi.
4.3.6 Menginterpretasi relasi Ruang utama mesjid Agung Demak, yang mewadahi fungsi ritual mesjid dan ritual makam, dibentuk oleh ketiga pelingkupnya, yaitu pelingkup atas berupa atap, pelingkup samping berupa dinding, dan pelingkup bawah berupa lantai. Masingmasing pelingkup dibentuk oleh elemen-elemennya. Elemen pembentuk pelingkup atas, adalah sebagai berikut: * adanya memolo pada puncak atap bentuk tajuk memperlihatkan betapa penting keberadaannya, yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai titik
182
penghubung yang sempurna antara manusia dengan Tuhannya, dan merupakan simbol sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang; dan * konstruksi kayu soko guru dengan empat tiang utama, mempertegas adanya dominasi elemen lokal pada sistem konstruksi atap, sebagai sebuah bentuk adaptasi. Elemen pembentuk pelingkup samping, adalah sebagai berikut: * konstruksi pintu dan jendela kayu yang berukuran besar pada dinding tebal merupakan respon terhadap tantangan gaya arsitektur kekinian yang hadir saat itu dan banyak diterapkan pada bangunan keagamaan (gereja kolonial); Elemen pembentuk pelingkup bawah, adalah sebagai berikut: * lantai berbentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat mengambil orientasi bentuk denah mesjid Nabawi awal, yang merupakan bukti sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang. Relasi harmonis antara bentuk (sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Agung Demak, melalui pengubahan bentuk dan adaptasi) dan fungsi (fungsi ritual mesjid dan ritual makam), dapat dimaknai sebagai respon, toleransi, dan adaptasi masyarakat muslim Jawa. Respon terhadap gaya arsitektur kekinian yang harus dihadapi, toleransi terhadap agama atau kepercayaan lain, dan adaptasi terhadap sistem konstruksi dan bentuk bangunan lokal.
4.4 Mesjid Agung Sang Cipta Rasa 4.4.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi Penentuan bentuk arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang dianalisis dan diinterpretasi, dilakukan berdasarkan pada penjelasan sebelumnya.
183
Kompleks mesjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki ruang-ruang atau bagianbagian, yaitu ruang utama, serambi, dan tempat wudlu (pria dan wanita menjadi satu). Luas ruang utama, yaitu 320 m2, selasar, serambi, yaitu 1.336,8 m2, tempat wudlu, yaitu 29 m2. Ketinggian masing-masing ruang atau bagian mesjid Agung Sang Cipta Rasa adalah sebagai berikut. Tinggi ruang utama, yaitu 16 m, serambi, yaitu 7 m, dan tempat wudlu, yaitu 5,5 m. Ruang utama mesjid memiliki fungsi ritual mesjid dan ritual makam. Serambi mesjid memiliki fungsi ritual mesjid dan syiar. [Tabel 4.4; Gambar 4.19; Gambar 4.20; dan Gambar 4.21].
Tabel 4.4 Penentuan bentuk arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang dianalisis dan diinterpretasi Mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Luas (m2)
Tinggi (m)
Fungsi (Kegiatan)
Ruang Utama Selasar Serambi Tempat Wudlu (Pria dan Wanita)
320 544 1.336,8 29
16 5 7 5,5
ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid, syiar ritual mesjid, syiar ritual mesjid
Ruang utama dan pelingkupnya mesjid Agung Sang Cipta Rasa menampilkan ekspresi bentuk arsitektur yang dominan
Perspektif kompleks mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Gambar 4.19 Bentuk arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang dianalisis dan diinterpretasi.
184
a. Perspektif kompleks mesjid Agung Sang Cipta Rasa
4
2 1
3
Keterangan: 1. Ruang Utama 2. Selasar 3. Serambi 4. Tempat Wudlu Pria dan Wanita
b. Denah kompleks mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Gambar 4.20 Kompleks mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
Berdasarkan uraian sebelumnya, kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan terhadap ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa, beserta pelingkup atas
185
berupa atap limasan tumpang tiga, karena memenuhi kriteria ketinggian, keluasan, dan fungsi.
Selasar
Pintu masuk utama
Orientasi ke arah Kiblat
utara
A Ruang utama
Serambi
Key plan
a. Denah
A Ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa menjadi bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
b. Potongan A Tampilan ruang utama dan pelingkupnya menjadi bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
c. Tampak A
Gambar 4.21 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
186
4.4.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa dilakukan terhadap bangunan ruang utama, yaitu sebagai berikut [Gambar 4.22; dan Gambar 4.23]: [a] pelingkup bawah, berupa lantai dengan bentuk segi empat dan berorientasi ke arah kiblat, yang diperkuat dengan keberadaan mihrab; [b] pelingkup samping, berupa dinding tebal dengan bentuk yang menonjolkan lubang-lubang, dan elemen pintu dan jendela berukuran kecil; dan [c] pelingkup atas, berupa atap dengan bentuk limasan tumpang (bersusun) tiga.
a.Perspektif kompleks mesjid Agung Sang Cipta Rasa
b.Ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Gambar 4.22 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
Pelingkup Atas Pelingkup Samping
Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Pelingkup Bawah
Gambar 4.23 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
187
4.4.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan Berdasarkan telaah Bab 2, bentuk-bentuk arsitektur acuan, yaitu pertama, bentuk arsitektur acuan lokal, yang meliputi bangunan tajuk, bangunan limasan, dan kedua, bentuk arsitektur acuan non lokal, yang meliputi candi Hindu/Budha, mesjid Nabawi Awal, gereja kolonial, mesjid Pan Islamisme, dan mesjid modern. Khusus untuk bentuk arsitektur acuan gereja kolonial adalah gereja kolonial yang lokasinya berada dekat dengan kasus studi, yaitu gereja Santo Yusuf, Cirebon. Pelingkup bawah, yang berupa bentuk lantai memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk lantai bangunan mesjid Nabawi Awal. Kedua bentuk sama-sama berorientasi ke arah kiblat. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan mesjid Nabawi awal (abad ke-7 Masehi) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Agung Sang Cipta Rasa (bangunan lama ditambahkan serambi pada abad ke-17), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Pelingkup samping, yang berupa dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran kecil pada bangunan mesjid Agung Sang Cipta Rasa, memiliki acuan bentuk, yaitu lubang pintu masuk pada dinding bangunan candi Hindu/Budha, salah satunya adalah candi Arjuna di dataran tinggi Dieng. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan candi Arjuna (didirikan pada abad ke-8) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Agung Sang Cipta Rasa (diduga memiliki bentuk seperti sekarang ini ketika terjadi penambahan serambi pada abad ke-17), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua.
188
Pelingkup atas, yang berupa atap limasan tumpang tiga bangunan mesjid Sunan Agung Sang Cipta Rasa, memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk atap cungkup makam Fatimah binti Maimun. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, cungkup makam Fatimah (abad ke-15 M) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Agung Sang Cipta Rasa (diduga sudah memiliki bentuk seperti sekarang ini pada abad ke-17), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. [Gambar 4.24].
Kondisi bentuk bangunan sekarang diduga sudah ada sebelum abad ke-17
Bangunan Tajuk Cungkup Sunan Bonang (abad ke-16) Bangunan Limasan Cungkup Fatimah (abad ke-15) Candi Hindu/Budha Candi Arjuna (abad ke-8)
Pelingkup atas
Pintu-pintu masuk
Mesjid Nabawi Awal (abad ke-7)
Pelingkup samping
Gereja Kolonial Gereja Santo Yusuf (tahun 1878) Mesjid Pan Islamisme Mesjid Agung Tuban (tahun 1894)
Pelingkup bawah
Mesjid modern Mesjid Salman ITB (tahun 1960-an)
Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Bentuk arsitektur acuan DETAIL Bentuk arsitektur acuan: candi Hindu/Budha, berupa lubang masuk candi
Lubang masuk (pintu) mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Lubang masuk candi Arjuna, Dieng
Gambar 4.24 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
189
Pelingkup bawah, yang berupa lantai bangunan, memiliki ketinggian sekitar 0,1 meter dari pelataran. Pelingkup samping, yang berupa dinding bangunan, memiliki ketinggian sekitar 3,5 meter. Pelingkup atas, yang berupa atap limasan tumpang tiga, memiliki ketinggian sekitar 12,5 meter. Pelingkup atas (atap) dominan terhadap pelingkup samping (dinding) dan pelingkup bawah (lantai). . [Gambar 4.25].
12,5 m
3,5 m 0,1 m Potongan bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa
Gambar 4.25 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
4.4.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan Bentuk arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang menjadi fokus analisis dan interpretasi adalah bentuk ruang utama. Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa, terbangun oleh dua bentuk arsitektur, yaitu bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Bentuk arsitektur lokal direpresentasikan oleh bentuk atap limasan tumpang tiga yang menjadi pelingkup atas. Bentuk arsitektur atap limasan mengacu pada bentuk arsitektur bangunan limasan. Bentuk arsitektur non lokal direpresentasikan oleh bentuk denah ruang utama, yang berorientasi ke arah kiblat, dan menjadi pelingkup bawah.
190
Bentuk denah yang berorientasi ke arah kiblat mengacu pada bentuk denah mesjid Nabawi awal. Bentuk arsitektur non lokal juga direpresentasikan oleh bentuk dinding bata merah tanpa plester dengan pintu berukuran kecil, yang menjadi pelingkup samping. Bentuk dinding bata tanpa plester dengan pintu berukuran kecil mengacu pada bentuk dinding dengan lubang masuk bangunan candi. Arsitektur lokal memiliki satu bentuk arsitektur, dan arsitektur non lokal memiliki dua bentuk arsitektur. Bentuk atap limasan acuan, yang dijumpai pada bangunan cungkup makam Fatimah, keadaannya tidak tumpang. Bentuk atap limasan tumpang tiga, pelingkup ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa, adalah hasil pengubahan bentuk. Pengubahan bentuk yang terjadi, yaitu pengubahan bentuk dari bentuk atap limasan tidak tumpang menjadi atap limasan tumpang tiga. Berdasarkan uraian sebelumnya, proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa, dengan konsep pengubahan bentuk. [Gambar 4.26].
Bentuk atap limasan tumpang tiga yang melingkupi ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa
non lokal
lokal
2A
1A
Bentuk atap limasan tidak tumpang yang melingkupi cungkup makam Fatimah
2B
non lokal
Ilustrasi grafis konsep pengubahan bentuk
Gambar 4.26 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa: pengubahan bentuk.
191
Ekspresi bentuk eksterior pelingkup atas yang berupa atap limasan tumpang tiga memperlihatkan dominasi bentuk terhadap pelingkup bawah, yang berupa bentuk denah segi empat, dan pelingkup samping, yang berupa dinding bata tanpa plester dengan pintu berukuran kecil. Dominasi bentuk arsitektur pelingkup atas diperlihatkan oleh ketinggiannya. Sinkretisme bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa, terjadi dengan cara adaptasi. Hal ini diperlihatkan oleh adanya dominasi bentuk arsitektur lokal (bentuk arsitektur bangunan limasan) terhadap bentuk arsitektur non lokal (bentuk arsitektur mesjid Nabawi awal dan candi). [Gambar 4.27].
Pelingkup atas (lokal)
lokal non lokal
Pelingkup samping (non lokal)
1A
Pelingkup bawah (non lokal) Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa
2A
2B
non lokal
Ilustrasi grafis konsep adaptasi
Gambar 4.27 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta rasa: adaptasi.
4.4.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa dengan fungsi-fungsi konseptual Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa, berdasarkan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, direlasikan dengan
192
fungsi-fungsi konseptual: fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, untuk memahami maknanya. [a] Sinkretisme bentuk Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Agung Sang Cipta Rasa terjadi melalui proses pengubahan bentuk dan adaptasi. Pengubahan bentuk terjadi pada bentuk atap, dari bentuk atap limasan tidak tumpang (yang direpresentasikan oleh bentuk atap bangunan cungkup makam Fatimah binti Maimun) menjadi bentuk atap limasan tumpang tiga. Adaptasi terjadi pada bentuk atap, yang mana bentuk atap dominan terhadap dinding (yang direpresentasikan oleh bentuk dinding candi) dan lantai (yang direprentasikan oleh denah lantai mesjid Nabawi awal). [b] Fungsi konseptual Fungsi konseptual pada arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa adalah fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam. Fungsi ritual makam pada arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa berbeda dengan fungsi ritual pada mesjid-mesjid Walisanga lainnya, yang selalu dikaitkan dengan kegiatan ziarah ke makam wali atau tokoh yang dihormati yang letaknya menjadi satu tapak dengan atau tidak jauh dari bangunan mesjidnya. Mesjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki kegiatan berdiam diri dan berdoa di ruang utama mesjid. Setiap harinya, kegiatan ini dijalankan oleh sedikitnya 200 orang. Pada hari Kamis Wage malam Jumat Kliwon jumlahnya mencapai 5.000 orang, dan mencapai puncaknya saat perayaan haul Sunan Gunung Jati yang jatuh pada tanggal 12 Dzulhijjah, jumlahnya mencapai 15.000 orang. Pada umumnya, mereka yang datang dan melakukan kegiatan berdiam diri dan berdoa mengharapkan terkabulnya segala apa yang diinginkannya.
193
Kegiatan berdiam diri dan berdoa di sebuah ruang yang sunyi dan remangremang (ruang utama mesjid dalam keadaan tidak terlalu terang di siang dan malam hari) ini lebih mirip tapa dalam tradisi Kejawen, yaitu laku prihatin dan tirakat (seperti puasa) untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. [c] Relasi fungsional Ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa mewadahi dengan baik fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam, yang menunjukkan adanya relasi harmonis antara bentuk dan fungsi.
4.4.6 Menginterpretasi relasi Ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa, yang mewadahi fungsi ritual mesjid dan ritual makam, dibentuk oleh ketiga pelingkupnya, yaitu pelingkup atas berupa atap, pelingkup samping berupa dinding, dan pelingkup bawah berupa lantai. Masing-masing pelingkup dibentuk oleh elemen-elemennya. Elemen pembentuk pelingkup atas, adalah sebagai berikut: * konstruksi jendela kaca glass in lood di antara tumpang pertama dan kedua, dan di antara tumpang kedua dan ketiga, dapat berfungsi memasukkan cahaya ke dalam ruang, meskipun terlalu minim cahaya yang masuk karena lubang-lubang cahayanya kecil, namun itu merupakan respon terhadap kehadiran teknologi kaca glass in lood pada saat itu; * konstruksi kayu soko guru dan pembalokan blandar – pengerat dan sunduk – kili-kili, mempertegas adanya dominasi elemen lokal pada sistem konstruksi atap, sebagai sebuah bentuk adaptasi. Elemen pembentuk pelingkup samping, adalah sebagai berikut:
194
* konstruksi pintu dan jendela kayu yang berukuran kecil pada dinding tebal bata tanpa plester merupakan bukti toleransi masyarakat muslim Jawa terhadap keberadaan bangunan keagamaan lain yang jauh lebih tua, dan sudah ada berabadabad sebelum agama Islam datang; Elemen pembentuk pelingkup bawah, adalah sebagai berikut: * denah lantai berbentuk segi empat dan berorientasi ke arah kiblat mengambil orientasi bentuk denah mesjid Nabawi awal, yang merupakan bukti sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang. Relasi harmonis antara bentuk (sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa, melalui pengubahan bentuk dan adaptasi) dan fungsi (fungsi ritual mesjid dan ritual makam), dapat dimaknai sebagai respon, toleransi, dan adaptasi masyarakat muslim Jawa. Respon terhadap tantangan kemajuan teknologi kaca, toleransi terhadap agama atau kepercayaan yang berlainan dan tempat peribadatannya, dan adaptasi terhadap sistem konstruksi dan bentuk bangunan lokal.
4.5 Mesjid Sunan Giri 4.5.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi Penentuan bentuk arsitektur mesjid Sunan Giri yang dianalisis dan diinterpretasi, dilakukan berdasarkan pada penjelasan sebelumnya. Kompleks mesjid Sunan Giri, berdasarkan posisinya, terbagi menjadi tiga bangunan, yaitu bangunan selatan, bangunan tengah, dan bangunan utara. Total luasnya (lantai dasar) sekitar 1.152 m2. [Gambar 4.28].
195
bangunan pelindung makam Sunan Giri
Bangunan utara Bangunan tengah Bangunan selatan
a. Perspektif kompleks mesjid Sunan Giri Keterangan A. Bangunan selatan B. Bangunan tengah C. Bangunan utara D. Area makam 1, 2, 3. Gapura paduraksa
cungkup makam Sunan Giri
C
B D A
3
2 1 b. Denah kompleks mesjid Sunan Giri
Gambar 4.28 Kompleks mesjid Sunan Giri.
Bangunan selatan, mesjid Sunan Giri, memiliki ruang-ruang atau bagianbagian, yaitu mesjid wedok, pawestren, dan tempat wudlu wanita. Luas ruang mesjid wedok, yaitu 81 m2, pawestren, yaitu 105,75 m2, dan tempat wudlu wanita, yaitu 15 m2. Tinggi mesjid wedok, yaitu 7 m, pawestren, yaitu 10 m, dan tempat wudlu wanita, yaitu 2,5 m. Pawestren bangunan selatan memiliki fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam.
196
Bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, terdiri atas ruang utama, serambi, dan tempat wudlu pria. Tempat wudlu pria berada di bawah serambi (basement). Luas ruang utama, yaitu 296 m2, serambi, yaitu 148 m2, dan tempat wudlu pria (kanan dan kiri), yaitu 20 m2. Tinggi ruang utama, yaitu 14 m, dan serambi, yaitu 7 m. Ruang utama dan serambi bangunan tengah memiliki fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam. Bangunan utara, mesjid Sunan Giri, terdiri atas ruang dalam dan serambi. Luas ruang dalam, yaitu 346,5 m2, dan serambi, yaitu 57,75 m2. Tinggi ruang dalam, yaitu 12 m, dan serambi, yaitu 7 m. Ruang dalam dan serambi bangunan utara memiliki fungsi ritual mesjid. Berdasarkan uraian sebelumnya, kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan terhadap bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri. [Tabel 4.5; Gambar 4.29; dan Gambar 4.30].
Tabel 4.5 Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Giri yang Dianalisis dan Diinterpretasi Mesjid Sunan Giri
Bangunan Selatan
Mesjid Wedok Pawestren Tempat Wudlu Wanita Luas Total
Bangunan Tengah
Ruang Utama Serambi Tempat Wudlu Pria Luas Total
Bangunan Utara
Ruang Dalam Serambi Luas Total
Luas (m2)
Tinggi (m)
Fungsi (Kegiatan)
81 105,75 15 201,75
7 10 2,5
ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid
296 148 20 464
14 7 0
ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid
346,5 57,75 404,25
12 7
ritual mesjid ritual mesjid
197
Pintu masuk utama
Orientasi ke arah Kiblat
utara
A
A
Key plan
Ruang utama Teras
Tempat wudlu pria
a. Denah
Ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri
b. Potongan A Ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri
c. Tampak A
Gambar 4.29 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Sunan Giri, bangunan tengah.
198
Bangunan tengah: ruang utama dan pelingkupnya adalah bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
Perspektif kompleks mesjid Sunan Giri
Gambar 4.30 Bentuk arsitektur mesjid Sunan Giri yang dianalisis dan diinterpretasi.
4.5.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur Pada bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, dilakukan pembukaan pelingkup bentuk arsitekturnya, yaitu terdiri atas [Gambar 4.31 dan Gambar 4.32]: [a] pelingkup bawah, berupa lantai dengan bentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat. Hal ini diperkuat dengan keberadaan mihrab; [b] pelingkup samping, berupa dinding tebal dengan bentuk yang menonjolkan jendela besar, dan pintu masuk dengan bentuk gapura paduraksa; dan [c] pelingkup atas, berupa atap dengan bentuk tajuk tumpang (bersusun) tiga.
a.Perspektif kompleks mesjid Sunan Giri
b.Ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri
Gambar 4.31 Bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri.
199
Pelingkup Atas
Pelingkup Samping Bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri
Pelingkup Bawah
Gambar 4.32 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri.
4.5.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sunan Giri dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan Berdasarkan telaah Bab 2, bentuk-bentuk arsitektur acuan, yaitu pertama, bentuk arsitektur acuan lokal, yang meliputi bangunan tajuk, bangunan limasan, dan kedua, bentuk arsitektur acuan non lokal, yang meliputi candi Hindu/Budha, mesjid Nabawi Awal, gereja kolonial, mesjid Pan Islamisme, dan mesjid modern. Khusus untuk bentuk arsitektur acuan gereja kolonial adalah gereja kolonial yang lokasinya berada dekat dengan kasus studi, yaitu gereja Kepanjen, Surabaya. Pelingkup bawah, yang berupa bentuk lantai memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk lantai bangunan mesjid Nabawi Awal. Kedua bentuk sama-sama berorientasi ke arah kiblat. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan mesjid Nabawi awal (abad ke-7 Masehi) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Giri (dipindahkan dari Giri Kedaton ke tempatnya sekarang pada
200
tahun 1544), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Pelingkup samping, yang berupa dinding tebal dengan pintu berupa gapura paduraksa pada bangunan mesjid Sunan Giri, memiliki acuan bentuk, yaitu gapura paduraksa pada candi Hindu/Budha, yaitu candi Plumbangan di Blitar. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan candi Plumbangan (didirikan pada abad ke-14) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Giri (bangunan tengah dibangun pada tahun 1789), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang tiga bangunan mesjid Sunan Giri, memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk atap cungkup makam Sunan Bonang. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, cungkup makam Sunan Bonang (abad ke-16 M) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Giri (diduga sudah memiliki bentuk seperti sekarang ini pada tahun 1789), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. [Gambar 4.33]. Pelingkup bawah, yang berupa lantai bangunan, memiliki ketinggian sekitar 1,5 meter dari pelataran. Pelingkup samping, yang berupa dinding bangunan, memiliki ketinggian sekitar 5 meter. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang tiga, memiliki ketinggian sekitar 9 meter. Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa pelingkup atas (atap) dominan terhadap pelingkup samping (dinding) dan pelingkup bawah (lantai) [Gambar 4.34].
201
Kondisi bentuk bangunan sekarang diduga hasil pembangunan tahun 1789
Bangunan Tajuk Cungkup Sunan Bonang (abad ke-16) Bangunan Limasan Cungkup Fatimah (abad ke-15) Candi Hindu/Budha Candi Plumbangan (abad ke-14)
Pelingkup atas
Mesjid Nabawi Awal (abad ke-7) Pelingkup samping Gereja Kolonial Gereja Kepanjen (tahun 1815)
Paduraksa
Mesjid Pan Islamisme Mesjid Agung Tuban (tahun 1894)
Pelingkup bawah Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri DETAIL Bentuk arsitektur acuan: candi Hindu/Budha pada pelingkup samping (dinding), berupa pintu masuk berbentuk gapura paduraksa
Mesjid modern Mesjid Salman ITB (tahun 1960-an) Bentuk arsitektur acuan
Gapura paduraksa candi Plumbangan , Blitar
Pintu masuk mesjid Sunan Giri
Gambar 4.33 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Giri.
9m
5m 1,5 m Potongan bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri
Gambar 4.34 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri.
202
4.5.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan Bentuk arsitektur mesjid Sunan Giri yang menjadi fokus analisis dan interpretasi adalah bentuk ruang utama, bangunan tengah. Bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri terbangun oleh dua bentuk arsitektur, yaitu bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Bentuk arsitektur lokal direpresentasikan oleh bentuk atap tajuk tumpang tiga yang menjadi pelingkup atas. Bentuk arsitektur atap tajuk tumpang mengacu pada bentuk arsitektur bangunan tajuk. Bentuk arsitektur non lokal direpresentasikan oleh bentuk denah ruang utama, yang menjadi pelingkup bawah. Bentuk denah lantai ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri berorientasi ke arah kiblat, yang mengacu pada bentuk denah mesjid Nabawi awal. Bentuk arsitektur non lokal juga direpresentasikan oleh bentuk dinding dengan pintu berupa gapura paduraksa, yang menjadi pelingkup samping. Bentuk dinding dengan pintu berbentuk gapura paduraksa mengacu pada gapura paduraksa bangunan candi. Arsitektur lokal memiliki satu bentuk arsitektur, dan arsitektur non lokal memiliki dua bentuk arsitektur. Bentuk atap tajuk acuan, yang dijumpai pada bangunan cungkup makam Sunan Bonang, keadaannya tidak tumpang. Bentuk atap tajuk tumpang tiga, pelingkup ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, adalah hasil pengubahan bentuk. Pengubahan bentuk yang terjadi, yaitu pengubahan bentuk dari bentuk atap tajuk tidak tumpang menjadi atap tajuk tumpang tiga. Berdasarkan uraian sebelumnya, proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, dengan konsep pengubahan bentuk. [Gambar 4.35].
203
Bentuk atap tajuk tumpang tiga yang melingkupi ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri Bentuk atap tajuk tidak tumpang yang melingkupi cungkup makam Sunan Bonang
lokal
non lokal
1A
2A
2B
non lokal
Ilustrasi grafis konsep pengubahan bentuk
Gambar 4.35 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Giri: pengubahan bentuk.
Ekspresi bentuk eksterior pelingkup atas yang berupa atap tajuk tumpang tiga memperlihatkan dominasi bentuk terhadap pelingkup bawah, yang berupa bentuk denah segi empat mendekati bujur sangkar, dan pelingkup samping, yang berupa dinding dengan pintu masuk berbentuk gapura paduraksa. Dominasi bentuk arsitektur pelingkup atas diperlihatkan oleh ketinggiannya. Berdasarkan dimensi ketinggian, pelingkup atas, yaitu atap tajuk tumpang tiga, memiliki ketinggian yang paling besar. Sinkretisme bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, terjadi dengan cara adaptasi. Hal ini diperlihatkan oleh adanya dominasi bentuk arsitektur lokal (bentuk arsitektur bangunan tajuk) terhadap bentuk arsitektur non lokal (bentuk mesjid Nabawi awal dan bentuk arsitektur candi). [Gambar 4.36].
204
Pelingkup atas (lokal)
Pelingkup samping (non lokal)
lokal
non lokal
1A
2A
2B
Pelingkup bawah (non lokal) Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri
non lokal
Ilustrasi grafis konsep adaptasi
Gambar 4.36 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Giri: adaptasi.
4.5.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Giri dengan fungsi-fungsi konseptual Sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, berdasarkan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, direlasikan dengan fungsi-fungsi konseptual: fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, untuk memahami maknanya. [a] Sinkretisme bentuk Sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, terjadi melalui proses pengubahan bentuk dan adaptasi. Pengubahan bentuk terjadi pada bentuk atap, dari bentuk atap tajuk tidak tumpang (yang direpresentasikan oleh bentuk atap bangunan cungkup makam Sunan Bonang) menjadi bentuk atap tajuk tumpang tiga. Adaptasi terjadi pada bentuk atap, yang mana bentuk atap dominan terhadap dinding (yang direpresentasikan oleh pintu
205
masuk gapura paduraksa bangunan candi) dan lantai (yang direprentasikan oleh denah lantai mesjid Nabawi awal). [b] Fungsi konseptual Fungsi konseptual pada arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, adalah fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam. [c] Relasi fungsional Ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, mewadahi dengan baik fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, yang menunjukkan adanya relasi harmonis antara bentuk dan fungsi.
4.5.6 Menginterpretasi relasi Ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, yang mewadahi fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam, dibentuk oleh ketiga pelingkupnya, yaitu pelingkup atas berupa atap, pelingkup samping berupa dinding, dan pelingkup bawah berupa lantai. Masing-masing pelingkup dibentuk oleh elemen-elemennya. Elemen pembentuk pelingkup atas, adalah sebagai berikut: * konstruksi jendela kaca di antara tumpang pertama dan kedua, dan di antara tumpang kedua dan ketiga, dapat berfungsi memasukkan cahaya ke dalam ruang, sebagai respon terhadap kehadiran teknologi kaca pada saat itu; * konstruksi kayu soko guru dan pembalokan blandar – pengerat dan sunduk – kili-kili, mempertegas adanya dominasi elemen lokal pada sistem konstruksi atap, sebagai sebuah bentuk adaptasi. Elemen pembentuk pelingkup samping, adalah sebagai berikut:
206
* konstruksi pintu berbentuk gapura paduraksa pada dinding ruang utama mesjid, merupakan bukti toleransi masyarakat muslim Jawa terhadap keberadaan bangunan keagamaan lain yang jauh lebih tua, dan sudah ada berabad-abad sebelum agama Islam datang; Elemen pembentuk pelingkup bawah, adalah sebagai berikut: * denah lantai berbentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat mengambil orientasi bentuk denah mesjid Nabawi awal, yang merupakan bukti sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang. Relasi harmonis antara bentuk (sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri, melalui pengubahan bentuk dan adaptasi) dan fungsi (fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam), dapat dimaknai sebagai respon, toleransi, dan adaptasi masyarakat muslim Jawa. Respon terhadap tantangan kemajuan teknologi kaca, toleransi terhadap agama atau kepercayaan yang berlainan dan tempat peribadatannya, dan adaptasi terhadap sistem konstruksi dan bentuk bangunan lokal.
4.6 Mesjid Menara Kudus 4.6.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi Penentuan bentuk arsitektur mesjid Menara Kudus yang dianalisis dan diinterpretasi, dilakukan berdasarkan pada penjelasan sebelumnya. Kompleks mesjid Menara Kudus memiliki ruang-ruang atau bagian-bagian, yaitu ruang utama, ruang dalam, serambi, pawestren, tempat wudlu pria, dan tempat wudlu wanita. Luas ruang utama, yaitu 436,8 m2, ruang dalam, yaitu 199,5 m2,
207
serambi, yaitu 657,7 m2, pawestren, yaitu 357 m2, tempat wudlu pria, yaitu 48 m2, dan tempat wudlu wanita, yaitu 60 m2. [Gambar 4.37].
Cungkup makam Sunan Kudus
a. Perspektif mesjid Menara Kudus
4
1
2
3
b. Denah kompleks mesjid Menara Kudus
Keterangan: 1. Ruang Utama 2. Ruang Dalam 3. Serambi Depan 4. Pawestren
Gambar 4.37 Kompleks mesjid Menara Kudus.
Ruang utama dan ruang dalam mesjid memiliki fungsi ritual mesjid dan ritual makam. Serambi mesjid memiliki fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam.
208
Tinggi ruang utama, yaitu 13,75 m, ruang dalam, yaitu 6,5 m, serambi (yang paling tinggi beratap kubah), yaitu 10 m, pawestren, yaitu 12 m, tempat wudlu pria, yaitu 3 m, dan tempat wudlu wanita, yaitu 3 m. Berdasarkan uraian sebelumnya, kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan terhadap ruang utama mesjid Menara Kudus, beserta pelingkup atas berupa atap tajuk tumpang tiga. [Tabel 4.6; Gambar 4.38; dan Gambar 4.39].
Tabel 4.6 Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Menara Kudus yang Dianalisis dan Diinterpretasi Mesjid Menara Kudus
Luas (m2)
Tinggi (m)
Fungsi (Kegiatan)
Ruang Utama Ruang Dalam Serambi Pawestren Tempat Wudlu Pria Tempat Wudlu Wanita
436,8 199,5 657,7 357 48 60
13,75 6,5 10 12 3 3
ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid ritual mesjid
Ruang utama dan pelingkupnya adalah bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
Perspektif kompleks mesjid Menara Kudus
Gambar 4.38 Bentuk arsitektur mesjid Menara Kudus yang dianalisis dan diinterpretasi
209
Gapura berbentuk paduraksa
Orientasi ke arah Kiblat
utara
A Key plan Ruang utama
Ruang Dalam Pintu masuk utama
a. Denah
A Ruang utama mesjid Menara Kudus
b. Potongan A Ruang utama mesjid Menara Kudus
c. Tampak A
Gambar 4.39 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Menara Kudus.
4.6.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur Pada bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus, dilakukan pembukaan pelingkup bentuk arsitekturnya, yaitu terdiri atas [Gambar 4.40 dan Gambar 4.41]: [a] pelingkup bawah, berupa lantai dengan bentuk mendekati bujur sangkar dan
210
berorientasi ke arah kiblat. Hal ini diperkuat dengan keberadaan mihrab; [b] pelingkup samping, berupa dinding tebal dengan bentuk yang menonjolkan pintu dan jendela besar, dan keberadaan gapura paduraksa; dan [c] pelingkup atas, berupa atap dengan bentuk tajuk tumpang (bersusun) tiga.
a.Perspektif kompleks mesjid Menara Kudus
b.Ruang utama mesjid Menara Kudus
Gambar 4.40 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus.
Pelingkup Atas
Pelingkup Samping
Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus
Pelingkup Bawah
Gambar 4.41 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus.
4.6.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Menara Kudus dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan Berdasarkan telaah Bab 2, bentuk-bentuk arsitektur acuan, yaitu pertama, bentuk arsitektur acuan lokal, yang meliputi bangunan tajuk, bangunan limasan, dan kedua,
211
bentuk arsitektur acuan non lokal, yang meliputi candi Hindu/Budha, mesjid Nabawi Awal, gereja kolonial, mesjid Pan Islamisme, dan mesjid modern. Khusus untuk bentuk arsitektur acuan gereja kolonial adalah gereja kolonial yang lokasinya berada dekat dengan kasus studi, yaitu gereja Blenduk, Semarang. Pelingkup bawah, yang berupa bentuk lantai memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk lantai bangunan mesjid Nabawi Awal. Kedua bentuk sama-sama berorientasi ke arah kiblat. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan mesjid Nabawi awal (abad ke-7 Masehi) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Menara Kudus (data paling awal berupa renovasi tahun 1919), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Pelingkup samping, yang berupa dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar, dan keberadaan gapura paduraksa di dalam ruang, pada bangunan mesjid Menara Kudus, memiliki acuan bentuk, yaitu pintu dan jendela besar pada dinding tebal gereja kolonial, yaitu gereja Blenduk, dan gapura paduraksa pada candi Hindu/Budha, yaitu candi Plumbangan di Blitar. Gapura paduraksa yang berada di dalam ruang utama mesjid Menara Kudus tidak difungsikan sebagai pintu masuk, melainkan dibiarkan begitu saja. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan gereja Blenduk (berdiri tahun 1753) dan bangunan candi Plumbangan (didirikan pada abad ke-14) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Menara Kudus (diduga bentuk arsitektur ruang utama mesjid yang sekarang ini adalah hasil renovasi tahun 1919), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama dan kedua bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan ketiga.
212
Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang tiga bangunan mesjid Menara Kudus, memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk atap cungkup makam Sunan Bonang. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, cungkup makam Sunan Bonang (abad ke-16 M) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Menara Kudus (diduga sudah memiliki bentuk seperti sekarang ini pada tahun 1919), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. [Gambar 4.42].
Kondisi bentuk bangunan sekarang diduga hasil renovasi tahun 1919
Bangunan Limasan Cungkup Fatimah (abad ke-15) Candi Hindu/Budha Candi Plumbangan (abad ke-14)
Pelingkup atas Paduraksa Pelingkup samping
Mesjid Nabawi Awal (abad ke-7) Gereja Kolonial Gereja Blenduk (tahun 1753) Mesjid Pan Islamisme Mesjid Agung Tuban (tahun 1894)
Pelingkup bawah Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus DETAIL Bentuk arsitektur acuan: candi di dalam pelingkup samping (dinding), berupa gapura paduraksa
Bangunan Tajuk Cungkup Sunan Bonang (abad ke-16)
Gapura paduraksa di dalam mesjid Menara Kudus
Mesjid modern Mesjid Salman ITB (tahun 1960-an) Bentuk arsitektur acuan
Gapura paduraksa candi Plumbangan, Blitar
Gambar 4.42 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Menara Kudus.
213
Pelingkup bawah, yang berupa lantai bangunan, memiliki ketinggian sekitar 1,2 meter dari pelataran. Pelingkup samping, yang berupa dinding bangunan, memiliki ketinggian sekitar 5 meter. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang tiga, memiliki ketinggian sekitar 8,75 meter. Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa pelingkup atas (atap tajuk tumpang tiga) dominan terhadap pelingkup samping (dinding) dan pelingkup bawah (lantai) [Gambar 4.43]:
8,75 m
5m 1,2 m Potongan bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus
Gambar 4.43 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus.
4.6.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan Bentuk arsitektur mesjid Menara Kudus yang menjadi fokus analisis dan interpretasi adalah bentuk ruang utama, yang terbangun oleh dua bentuk arsitektur, yaitu bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Bentuk arsitektur lokal direpresentasikan oleh bentuk atap tajuk tumpang tiga yang menjadi pelingkup atas. Bentuk arsitektur atap tajuk tumpang mengacu pada bentuk arsitektur bangunan tajuk.
214
Bentuk arsitektur non lokal direpresentasikan oleh bentuk denah ruang utama, yang menjadi pelingkup bawah. Bentuk denah lantai ruang utama berorientasi ke arah kiblat, yang mengacu pada bentuk denah mesjid Nabawi awal. Bentuk arsitektur non lokal juga direpresentasikan oleh bentuk dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar, dan juga keberadaan gapura paduraksa di dalam ruangan, yang menjadi pelingkup samping. Bentuk dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar mengacu pada dinding dengan pintu dan jendela bangunan gereja kolonial. Gapura paduraksa mengacu pada bangunan candi. Arsitektur lokal memiliki satu bentuk arsitektur, dan arsitektur non lokal memiliki tiga bentuk arsitektur. Bentuk atap tajuk acuan, yang dijumpai pada bangunan cungkup makam Sunan Bonang, keadaannya tidak tumpang. Bentuk atap tajuk tumpang tiga, pelingkup ruang utama mesjid Menara Kudus, adalah hasil pengubahan bentuk. Pengubahan bentuk yang terjadi, yaitu pengubahan bentuk dari bentuk atap tajuk tidak tumpang menjadi atap tajuk tumpang tiga. Berdasarkan uraian sebelumnya, proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus, dengan konsep pengubahan bentuk. [Gambar 4.44]. Berdasarkan kriteria ketinggian, pelingkup atas yang berupa atap tajuk tumpang tiga memperlihatkan dominasi bentuk terhadap pelingkup bawah, yang berupa bentuk denah berorientasi ke kiblat, dan pelingkup samping, yang berupa dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar. Sinkretisme bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus, terjadi dengan cara adaptasi. Hal ini diperlihatkan oleh adanya dominasi bentuk arsitektur
215
lokal (bentuk arsitektur bangunan tajuk) terhadap bentuk arsitektur non lokal (bentuk mesjid Nabawi awal, gereja kolonial, dan arsitektur candi). [Gambar 4.45].
2C Bentuk atap tajuk tumpang tiga yang melingkupi ruang utama mesjid Menara Kudus
Bentuk atap tajuk tidak tumpang yang melingkupi cungkup makam Sunan Bonang
non lokal
lokal
non lokal
1A
2A
2B
non lokal
Ilustrasi grafis konsep pengubahan bentuk
Gambar 4.44 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Menara Kudus: pengubahan bentuk.
2C
non lokal
Pelingkup atas (lokal)
Pelingkup samping (non lokal)
lokal
non lokal
1A
2A
Pelingkup bawah (non lokal) 2B Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus
non lokal
Ilustrasi grafis konsep adaptasi
Gambar 4.45 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Menara Kudus: adaptasi.
216
4.6.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Menara Kudus dengan fungsi-fungsi konseptual Sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus, berdasarkan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, direlasikan dengan fungsi-fungsi konseptual: fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, untuk memahami maknanya. [a] Sinkretisme bentuk Sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus, terjadi melalui proses pengubahan bentuk dan adaptasi. Pengubahan bentuk terjadi pada bentuk atap, dari bentuk atap tajuk tidak tumpang (yang direpresentasikan oleh bentuk atap bangunan cungkup makam Sunan Bonang) menjadi bentuk atap tajuk tumpang tiga. Adaptasi terjadi pada bentuk atap, yang mana bentuk atap dominan terhadap dinding (yang direpresentasikan oleh dinding tebal dengan pintu dan jendela bangunan gereja kolonial, dan pintu masuk gapura paduraksa bangunan candi) dan lantai (yang direprentasikan oleh denah lantai mesjid Nabawi awal). [b] Fungsi konseptual Fungsi konseptual pada arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus, adalah fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam. Seperti halnya pada mesjid-mesjid Walisanga lainnya (kecuali mesjid Agung Sang Cipta Rasa), fungsi ritual makam berkaitan dengan kegiatan ziarah ke makam wali atau tokoh terhormat yang letaknya satu kompleks atau berdekatan dengan bangunan mesjid. Kegiatan ziarah pada mesjid-mesjid Walisanga, keadaannya hampir sama di tempat yang satu dengan lainnya. Area makam menjadi satu kompleks dengan mesjid Menara Kudus. Kegiatan ritual makam meliputi kegiatan harian, bulanan (selapanan) dan tahunan, yaitu berupa kegiatan ziarah ke makam Sunan Kudus. Pada hari-hari biasa
217
jumlah peziarah mencapai 1000 orang. Pada setiap hari Kamis Wage malam Jumat Kliwon jumlah peziarah mencapai 3.000 orang. Pada bulan-bulan tertentu dalam kalender Islam seperti Muharram, Rabiul Awwal (Maulud), Rajab, dan Sya’ban jumlah peziarah mencapai 20.000. Pada upacara haul Sunan Kudus, para peziarah mencapai 30.000 orang. Kegiatan ziarah makam didahului atau disudahi dengan doa dan dzikir di serambi, ruang dalam, dan ruang utama mesjid Menara Kudus. Pada waktu jamaah membludak, area makam tidak bisa menampung, sehingga para peziarah melakukan doa dan dzikir di serambi, ruang dalam, dan ruang utama mesjid. [c] Relasi fungsional Ruang utama mesjid Menara Kudus, mewadahi dengan baik fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, yang menunjukkan adanya relasi harmonis antara bentuk dan fungsi.
4.6.6 Menginterpretasi relasi Ruang utama mesjid Menara Kudus, yang mewadahi fungsi ritual mesjid dan ritual makam, dibentuk oleh ketiga pelingkupnya, yaitu pelingkup atas berupa atap, pelingkup samping berupa dinding, dan pelingkup bawah berupa lantai. Masingmasing pelingkup dibentuk oleh elemen-elemennya. Elemen pembentuk pelingkup atas, adalah sebagai berikut: * adanya memolo pada puncak atap bentuk tajuk memperlihatkan betapa penting keberadaannya, yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai titik penghubung yang sempurna antara manusia dengan Tuhannya, dan merupakan simbol sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang;
218
* konstruksi jendela kaca di antara tumpang pertama dan kedua, dan di antara tumpang kedua dan ketiga, dapat berfungsi memasukkan cahaya ke dalam ruang, sebagai respon terhadap kehadiran teknologi kaca pada saat itu; * konstruksi kayu empat tiang soko guru, mempertegas adanya dominasi elemen lokal pada sistem konstruksi atap, sebagai sebuah bentuk adaptasi. Elemen pembentuk pelingkup samping, adalah sebagai berikut: * konstruksi pintu dan jendela kayu yang berukuran besar pada dinding tebal merupakan respon terhadap tantangan gaya arsitektur kekinian yang hadir saat itu dan banyak diterapkan pada bangunan keagamaan (gereja kolonial); * konstruksi gapura paduraksa candi yang berada di dalam ruangan utama mesjid, merupakan bukti toleransi masyarakat muslim Jawa terhadap keberadaan bangunan keagamaan lain yang jauh lebih tua, dan sudah ada berabad-abad sebelum agama Islam datang; Elemen pembentuk pelingkup bawah, adalah sebagai berikut: * lantai berbentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat mengambil orientasi bentuk denah mesjid Nabawi awal, yang merupakan bukti sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang. Relasi harmonis antara bentuk (sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Menara Kudus, melalui pengubahan bentuk dan adaptasi) dan fungsi (fungsi ritual mesjid dan ritual makam), dapat dimaknai sebagai respon, toleransi, dan adaptasi masyarakat muslim Jawa. Respon terhadap tantangan gaya arsitektur kekinian yang harus dihadapi, toleransi terhadap agama atau kepercayaan lain, dan adaptasi terhadap sistem konstruksi dan bentuk bangunan lokal.
219
4.7 Mesjid Sunan Kalijaga 4.7.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi Penentuan bentuk arsitektur mesjid Sunan Kalijaga yang dianalisis dan diinterpretasi, dilakukan berdasarkan pada penjelasan sebelumnya. Kompleks mesjid Sunan Kalijaga memiliki ruang-ruang atau bagian-bagian, yaitu ruang utama, serambi, pawestren, tempat wudlu pria, dan tempat wudlu wanita. Luas ruang utama, yaitu 120 m2, serambi, yaitu 480,75 m2, pawestren, yaitu 120,75 m2, tempat wudlu pria, yaitu 112 m2, dan tempat wudlu wanita, yaitu 42 m2. Luas total bangunan mesjid Sunan Kalijaga, yaitu 875,5 m2. Ruang utama mesjid memiliki fungsi ritual mesjid dan ritual makam. Serambi mesjid memiliki fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam. Ketinggian masing-masing ruang atau bagian mesjid Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut. Tinggi ruang utama, yaitu 16 m, serambi, yaitu 9 m, pawestren, yaitu 7,5 m, tempat wudlu pria, yaitu 6 m, dan tempat wudlu wanita, yaitu 6 m. Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan terhadap ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, beserta pelingkup atas berupa atap tajuk tumpang tiga [Tabel 4.7; Gambar 4.46; Gambar 4.47; dan Gambar 4.48].
Tabel 4.7 Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Kalijaga yang Dianalisis dan Diinterpretasi Mesjid Sunan Kalijaga
Luas (m2)
Tinggi (m)
Fungsi (Kegiatan)
Ruang Utama Serambi Pawestren Tempat Wudlu Pria Tempat Wudlu Wanita
120 480,75 120,75 112 42
16,75 9 7,5 6 6
ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid ritual mesjid
220
a. Perspektif kompleks mesjid Sunan Kalijaga
4
1
5
2
3
Keterangan: 1. Ruang Utama 2. Serambi Depan 3. Pawestren 4. Tempat Wudlu Pria 5. Tempat Wudlu Wanita
b. Denah kompleks mesjid Sunan Kalijaga
Gambar 4.46 Kompleks mesjid Sunan Kalijaga.
utara
Orientasi ke arah Kiblat
221
Pintu masuk utama
A
Ruang utama
Key plan
Serambi
a. Denah
A Ruang utama mesjid Sunan Kalijaga menjadi bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
b. Potongan A Menampilkan bentuk ekspresi yang dominan. Ruang utama mesjid Sunan Kalijaga menjadi bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
c. Tampak A
Gambar 4.47 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Sunan Kalijaga.
222
Ruang utama dan pelingkupnya adalah bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
Perspektif kompleks mesjid Sunan Kalijaga
Gambar 4.48 Bentuk arsitektur mesjid Sunan Kalijaga yang dianalisis dan diinterpretasi.
4.7.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur Pada bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, dilakukan pembukaan pelingkup bentuk arsitekturnya, yaitu terdiri atas [Gambar 4.49 dan Gambar 4.50]: [a] pelingkup bawah, berupa lantai dengan bentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat. Hal ini diperkuat dengan keberadaan mihrab. [b] pelingkup samping, berupa dinding tebal dengan bentuk yang menonjolkan pintu dan jendela besar. [c] pelingkup atas, berupa atap dengan bentuk tajuk tumpang (bersusun) tiga.
a.Perspektif kompleks mesjid Sunan Kalijaga
b.Ruang utama mesjid Sunan Kalijaga
Gambar 4.49 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga.
223
Pelingkup Atas
Pelingkup Samping Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga
Pelingkup Bawah
Gambar 4.50 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga.
4.7.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sunan Kalijaga dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan Berdasarkan telaah Bab 2, bentuk-bentuk arsitektur acuan, yaitu pertama, bentuk arsitektur acuan lokal, yang meliputi bangunan tajuk, bangunan limasan, dan kedua, bentuk arsitektur acuan non lokal, yang meliputi candi Hindu/Budha, mesjid Nabawi Awal, gereja kolonial, mesjid Pan Islamisme, dan mesjid modern. Khusus untuk bentuk arsitektur acuan gereja kolonial adalah gereja kolonial yang lokasinya berada dekat dengan kasus studi, yaitu gereja Blenduk, Semarang. Pelingkup bawah, yang berupa bentuk lantai memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk lantai bangunan mesjid Nabawi Awal. Kedua bentuk sama-sama berorientasi ke arah kiblat. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan mesjid Nabawi awal (abad ke-7 Masehi) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Kalijaga (data paling awal berupa penyempurnaan bangunan tahun 1564), sehingga bentuk
224
arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Pelingkup samping, yang berupa dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar, pada bangunan mesjid Sunan Kalijaga, memiliki acuan bentuk, yaitu pintu dan jendela besar pada dinding tebal gereja kolonial, yaitu gereja Blenduk. Namun, berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, mesjid Sunan Kalijaga (diduga bentuk arsitektur ruang utama mesjid yang sekarang ini adalah hasil penyempurnaan tahun 1564) lebih dulu dibandingkan dengan bangunan gereja Blenduk (berdiri tahun 1753), sehingga bentuk arsitektur bangunan gereja kolonial tidak mungkin bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan mesjid Sunan Kalijaga. Hal ini dapat diinterpretasi bahwa pada kurun waktu 1564 – 1970 (tahun di mana kegiatan perluasan dan perbaikan pertama terekam), telah terjadi perbaikan-perbaikan pada ruang utama mesjid. Perbaikan-perbaikan ini, yang diduga meliputi juga penggantian dinding kayu dengan dinding bata tebal, terjadi tidak jauh waktunya dengan tahun-tahun perbaikan dan perkuatan bangunan mesjid Agung Demak, mengingat lokasi keduanya berdekatan, berjarak sekitar 1,7 km. Jika ini dianggap benar maka perbaikan yang melibatkan penggantian dinding kayu menjadi dinding bata tebal dengan pintu dan jendela besar terjadi pada sekitar abad ke-19 M. Dengan demikian, bangunan gereja kolonial (gereja Blenduk) bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk mesjid Sunan Kalijaga. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang tiga bangunan mesjid Sunan Kalijaga, memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk atap cungkup makam Sunan Bonang. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, cungkup makam Sunan Bonang (abad ke-16 M) sezaman dengan mesjid Sunan Kalijaga (diduga sudah memiliki
225
bentuk atap seperti sekarang ini pada tahun 1564), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama dan kedua kemungkinan besar bisa saling mempengaruhi atau menjadi acuan. [Gambar 4.51].
Kondisi bentuk bangunan sekarang diduga hasil penyempurnaan tahun 1564 atau perbaikan abad ke-19 M?
Bangunan Tajuk Cungkup Sunan Bonang (abad ke-16) Bangunan Limasan Cungkup Fatimah (abad ke-15) Candi Hindu/Budha Candi Plumbangan (abad ke-14)
Pelingkup atas
Mesjid Nabawi Awal (abad ke-7) Pelingkup samping Gereja Kolonial Gereja Blenduk (tahun 1753) Mesjid Pan Islamisme Mesjid Agung Tuban (tahun 1894)
Pelingkup bawah Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga DETAIL Bentuk arsitektur acuan: gereja kolonial, berupa dinding tebal, dengan pintu berukuran besar
Pintu masuk mesjid Sunan Kalijaga
Mesjid modern Mesjid Salman ITB (tahun 1960-an) Bentuk arsitektur acuan
Pintu masuk gereja Blenduk
Gambar 4.51 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Kalijaga.
Pelingkup bawah, yang berupa lantai bangunan, memiliki ketinggian sekitar 1,2 meter dari pelataran. Pelingkup samping, yang berupa dinding bangunan,
226
memiliki ketinggian sekitar 5 meter. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang tiga, memiliki ketinggian sekitar 8,75 meter. Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa pelingkup atas (atap tajuk tumpang tiga) dominan terhadap pelingkup samping (dinding) dan pelingkup bawah (lantai) [Gambar 4.52].
11,75 m
5m 0,4 m Potongan bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga
Gambar 4.52 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga.
4.7.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan Bentuk arsitektur mesjid Sunan Kalijaga yang menjadi fokus analisis dan interpretasi adalah bentuk ruang utama, yang terbangun oleh dua bentuk arsitektur, yaitu bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Bentuk arsitektur lokal direpresentasikan oleh bentuk atap tajuk tumpang tiga yang menjadi pelingkup atas. Bentuk arsitektur atap tajuk tumpang mengacu pada bentuk arsitektur bangunan tajuk. Bentuk arsitektur non lokal direpresentasikan oleh bentuk denah ruang utama, yang menjadi pelingkup bawah. Bentuk denah lantai ruang utama berorientasi ke arah kiblat, yang mengacu pada bentuk denah mesjid Nabawi awal. Bentuk
227
arsitektur non lokal juga direpresentasikan oleh bentuk dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar, yang menjadi pelingkup samping. Bentuk dinding tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar mengacu pada dinding dengan pintu dan jendela bangunan gereja kolonial. Arsitektur lokal memiliki satu bentuk arsitektur, dan arsitektur non lokal memiliki dua bentuk arsitektur. Bentuk atap tajuk acuan, yang dijumpai pada bangunan cungkup makam Sunan Bonang, keadaannya tidak tumpang. Bentuk atap tajuk tumpang tiga, pelingkup ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, adalah hasil pengubahan bentuk. Pengubahan bentuk yang terjadi, yaitu pengubahan bentuk dari bentuk atap tajuk tidak tumpang (bentuk arsitektur acuan: bentuk atap cungkup makam Sunan Bonang) menjadi atap tajuk tumpang tiga. Berdasarkan uraian sebelumnya, proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, dengan konsep pengubahan bentuk. [Gambar 4.53].
Bentuk atap tajuk tumpang tiga yang melingkupi ruang utama mesjid Sunan Kalijaga Bentuk atap tajuk tidak tumpang yang melingkupi cungkup makam Sunan Bonang
lokal
non lokal
1A
2A
2B
non lokal
Ilustrasi grafis konsep pengubahan bentuk
Gambar 4.53 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Kalijaga: pengubahan bentuk.
228
Ekspresi bentuk eksterior pelingkup atas yang berupa atap tajuk tumpang tiga memperlihatkan dominasi bentuk terhadap pelingkup bawah, yang berupa bentuk denah segi empat mendekati bujur sangkar, dan pelingkup samping, yang berupa dinding tembok tebal dengan pintu dan jendela berukuran besar. Dominasi bentuk arsitektur pelingkup atas diperlihatkan oleh ketinggiannya. Berdasarkan dimensi ketinggian, pelingkup atas, yaitu atap tajuk tumpang tiga, memiliki ketinggian yang paling besar, dibandingkan dengan ketinggian dinding, sebagai pelingkup samping, dan lantai, sebagai pelingkup bawah. Sinkretisme bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, terjadi dengan cara adaptasi. Hal ini diperlihatkan oleh adanya dominasi bentuk arsitektur lokal (bentuk arsitektur rumah tipe tajuk) terhadap bentuk arsitektur non lokal (bentuk arsitektur mesjid Nabawi awal dan gereja kolonial). [Gambar 4.54].
Pelingkup atas (lokal)
lokal non lokal 2A
1A Pelingkup samping (non lokal) 2B Pelingkup bawah (non lokal) Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga
non lokal
Ilustrasi grafis konsep adaptasi
Gambar 4.54 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Kalijaga: adaptasi.
229
4.7.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan kalijaga dengan fungsi-fungsi konseptual Sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, berdasarkan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, direlasikan dengan fungsi-fungsi konseptual: fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, untuk memahami maknanya. [a] Sinkretisme bentuk Sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, terjadi melalui proses pengubahan bentuk dan adaptasi. Pengubahan bentuk terjadi pada bentuk atap, dari bentuk atap tajuk tidak tumpang (yang direpresentasikan oleh bentuk atap bangunan cungkup makam Sunan Bonang) menjadi bentuk atap tajuk tumpang tiga. Adaptasi terjadi pada bentuk atap, yang mana bentuk atap dominan terhadap dinding (yang direpresentasikan oleh dinding tebal dengan pintu dan jendela bangunan gereja kolonial) dan lantai (yang direprentasikan oleh denah lantai mesjid Nabawi awal). [b] Fungsi konseptual Fungsi konseptual pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, adalah fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam. Seperti halnya pada mesjid-mesjid Walisanga lainnya (kecuali mesjid Agung Sang Cipta Rasa), fungsi ritual makam berkaitan dengan kegiatan ziarah ke makam wali atau tokoh terhormat yang letaknya satu kompleks atau berdekatan dengan bangunan mesjid. Kegiatan ziarah pada mesjid-mesjid Walisanga, keadaannya hampir sama di tempat yang satu dengan lainnya. Area makam Sunan Kalijaga terpisah oleh jalan lingkungan dari kompleks mesjid Sunan Kalijaga.
230
Kegiatan ziarah makam didahului atau disudahi dengan doa dan dzikir di serambi dan ruang utama mesjid Sunan Kalijaga. Pada waktu jamaah membludak, area makam tidak bisa menampung, sehingga para peziarah melakukan doa dan dzikir di serambi dan ruang utama mesjid. [c] Relasi fungsional Ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, mewadahi dengan baik fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam, yang menunjukkan adanya relasi harmonis antara bentuk dan fungsi.
4.7.6 Menginterpretasi relasi Ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, yang mewadahi fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam, dibentuk oleh ketiga pelingkupnya, yaitu pelingkup atas berupa atap, pelingkup samping berupa dinding, dan pelingkup bawah berupa lantai. Masing-masing pelingkup dibentuk oleh elemen-elemennya. Elemen pembentuk pelingkup atas, adalah sebagai berikut: * adanya memolo pada puncak atap bentuk tajuk memperlihatkan betapa penting keberadaannya, yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai titik penghubung yang sempurna antara manusia dengan Tuhannya, dan merupakan simbol sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang; * konstruksi kayu empat tiang soko guru, mempertegas adanya dominasi elemen lokal pada sistem konstruksi atap, sebagai sebuah bentuk adaptasi. Elemen pembentuk pelingkup samping, adalah sebagai berikut:
231
* konstruksi pintu dan jendela kayu yang berukuran besar pada dinding tebal merupakan respon terhadap tantangan gaya arsitektur kekinian yang hadir saat itu dan banyak diterapkan pada bangunan keagamaan (gereja kolonial); Elemen pembentuk pelingkup bawah, adalah sebagai berikut: * lantai berbentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat mengambil orientasi bentuk denah mesjid Nabawi awal, yang merupakan bukti sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang. Relasi harmonis antara bentuk (sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, melalui pengubahan bentuk dan adaptasi) dan fungsi (fungsi ritual mesjid dan ritual makam), dapat dimaknai sebagai respon, toleransi, dan adaptasi masyarakat muslim Jawa. Respon terhadap tantangan gaya arsitektur kekinian yang harus dihadapi, toleransi terhadap agama atau kepercayaan lain, dan adaptasi terhadap sistem konstruksi dan bentuk bangunan lokal.
4.8 Mesjid Sunan Muria 4.8.1 Menentukan bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi Penentuan bentuk arsitektur mesjid Sunan Muria yang dianalisis dan diinterpretasi, dilakukan berdasarkan pada penjelasan sebelumnya. Kompleks mesjid Sunan Muria memiliki ruang-ruang atau bagian-bagian, yaitu ruang utama, ruang dalam, pawestren, tempat wudlu pria, dan tempat wudlu wanita. Luas ruang utama, yaitu 144 m2, ruang dalam, yaitu 176 m2, pawestren, yaitu 421,75 m2, tempat wudlu pria, yaitu 13,5 m2, dan tempat wudlu wanita, yaitu 28 m2. Ruang utama mesjid dan pawestren memiliki fungsi ritual mesjid dan ritual makam. Ruang
232
dalam mesjid memiliki fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam. [Gambar 4.55].
a. Perspektif kompleks mesjid Sunan Muria
3
5
4
1
2
Keterangan: 1. Ruang Utama 2. Ruang Dalam 3. Pawestren 4. Makam Sunan Muria 5. Kios Cideramata
b. Denah lantai atas kompleks mesjid Sunan Muria
Gambar 4.55 Kompleks mesjid Sunan Muria.
233
Ketinggian masing-masing ruang atau bagian mesjid Sunan Muria adalah sebagai berikut. Tinggi ruang utama, yaitu 11 m, ruang dalam, yaitu 9 m, pawestren, yaitu 8 m, tempat wudlu pria, yaitu 2,5 m, dan tempat wudlu wanita, yaitu 2,5 m. Berdasarkan uraian diatas, kegiatan analisis dan interpretasi dilakukan terhadap ruang utama mesjid Sunan Muria, beserta pelingkup atas berupa atap tajuk tumpang tiga, karena memenuhi kriteria ketinggian, keluasan, dan fungsi. [Tabel 4.8; Gambar 4.56; dan Gambar 4.57].
Tabel 4.8 Penentuan Bentuk Arsitektur Mesjid Sunan Muria yang Dianalisis dan Diinterpretasi Mesjid Sunan Muria
Luas (m2)
Tinggi (m)
Fungsi (Kegiatan)
Ruang Utama Ruang Dalam Pawestren Tempat Wudlu Pria Tempat Wudlu Wanita
144 176 421,75 13,5 28
11 9 8 2,5 2,5
ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid, syiar, ritual makam ritual mesjid, ritual makam ritual mesjid ritual mesjid
Ruang utama dan pelingkupnya adalah bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
Perspektif kompleks mesjid Sunan Muria
Gambar 4.56 Bentuk arsitektur mesjid Sunan Muria yang dianalisis dan diinterpretasi.
234
utara
Orientasi ke arah Kiblat
Pintu masuk utama
A Ruang utama
Ruang dalam
Key plan a. Denah
A Ruang utama mesjid Sunan Muria menjadi bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi
b. Potongan A
c. Tampak A
Gambar 4.57 Gambar denah, potongan, dan tampak mesjid Sunan Muria
235
4.8.2 Pembukaan pelingkup bentuk arsitektur Pada bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria, dilakukan pembukaan pelingkup bentuk arsitekturnya, yaitu terdiri atas pelingkup bawah, pelingkup samping, dan pelingkup atas [Gambar 4.58 dan Gambar 4.59].
a.Perspektif kompleks mesjid Sunan Muria
b.Ruang utama mesjid Sunan Muria
Gambar 4.58 Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria.
Pelingkup Atas
Pelingkup Samping Bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria
Pelingkup Bawah
Gambar 4.59 Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria.
[a] pelingkup bawah, berupa lantai dengan bentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat. Hal ini diperkuat dengan keberadaan mihrab pada dinding ruang utama sisi barat.
236
[b] pelingkup samping, berupa dinding tidak tebal dengan bentuk yang menonjolkan pintu dan jendela transparan (kaca) standar, dan berupa mihrab dengan bentuk seperti lubang mirip pintu masuk bangunan candi. [c] pelingkup atas, berupa atap dengan bentuk tajuk tumpang (bersusun) dua. Ekspresi eksterior bentuk atap ruang utama hampir tidak bisa dilihat, karena jarak pandang yang terlalu dekat.
4.8.3 Membandingkan bentuk arsitektur mesjid Sunan Muria dengan bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkupnya dan periodisasi waktu keberadaan Berdasarkan telaah Bab 2, bentuk-bentuk arsitektur acuan, yaitu pertama, bentuk arsitektur acuan lokal, yang meliputi bangunan tajuk, bangunan limasan, dan kedua, bentuk arsitektur acuan non lokal, yang meliputi candi Hindu/Budha, mesjid Nabawi Awal, gereja kolonial, mesjid Pan Islamisme, dan mesjid modern. Khusus untuk bentuk arsitektur acuan gereja kolonial adalah gereja kolonial yang lokasinya berada dekat dengan kasus studi, yaitu gereja Blenduk, Semarang. Pelingkup bawah, yang berupa bentuk lantai memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk denah lantai bangunan mesjid Nabawi Awal. Kedua bentuk denah lantai sama-sama berorientasi ke arah kiblat. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan mesjid Nabawi awal (abad ke-7 Masehi) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Muria (data paling awal terekam tahun 1960-an), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Pelingkup samping, yang berupa dinding dengan pintu dan jendela transparan (kaca) berukuran standar, pada bangunan mesjid Sunan Muria, memiliki acuan
237
bentuk, yaitu pintu dan jendela pada dinding mesjid modern, yaitu mesjid Salman ITB Bandung1. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, bangunan mesjid Salman (tahun 1960-an) sezaman dengan mesjid Sunan Muria (diduga bentuk arsitektur ruang utama mesjid yang sekarang ini adalah bentuk awal yang terekam tahun 1960-an), sehingga antara bentuk arsitektur mesjid Salman dan mesjid Sunan Muria bisa saling mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur pelingkup samping (dinding). Mihrab pada dinding sisi barat ruang utama yang bentuknya menyerupakai lubang masuk bangunan candi, memiliki acuan, yaitu candi Arjuna di dataran tinggi Dieng, Wonosobo. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, candi Arjuna (berdiri abad ke-8 M) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Muria (diduga mesjid sudah memiliki bentuk dinding dengan mihrab di sisi barat seperti sekarang ini pada tahun 1960-an), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang dua bangunan mesjid Sunan Muria, memiliki acuan bentuk, yaitu bentuk atap cungkup makam Sunan Bonang. Berdasarkan periodisasi waktu keberadaannya, cungkup makam Sunan Bonang (abad ke-16 M) lebih dulu dibandingkan dengan mesjid Sunan Muria (diduga sudah memiliki bentuk atap seperti sekarang ini pada tahun 1960-an), sehingga bentuk arsitektur bangunan pertama bisa mempengaruhi atau menjadi acuan bentuk arsitektur bangunan kedua. [Gambar 4.60].
1
Mesjid Salman ITB Bandung dan mesjid Istiqlal Jakarta adalah pelopor mesjid-mesjid bergaya modern, yang kemudian diikuti oleh mesjid-mesjid di seluruh wilayah Indonesia.
238
Bangunan Tajuk Cungkup Sunan Bonang (abad ke-16)
Kondisi bentuk bangunan sekarang diduga sudah ada pada tahun 1960-an
Bangunan Limasan Cungkup Fatimah (abad ke-15) Candi Hindu/Budha Candi Arjuna (abad ke-8)
Pelingkup atas
Mesjid Nabawi Awal (abad ke-7)
Mihrab Pelingkup samping
Gereja Kolonial Gereja Blenduk (tahun 1753) Mesjid Pan Islamisme Mesjid Agung Tuban (tahun 1894)
Pelingkup bawah
Mesjid modern Mesjid Salman ITB (tahun 1960-an)
Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria
Bentuk arsitektur acuan
DETAIL Bentuk arsitektur acuan: candi Hindu/Budha, berupa lubang masuk candi
Mihrab mesjid Sunan Muria
Lubang masuk candi Arjuna, Dieng
Gambar 4.60 Proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Muria.
Pelingkup bawah, yang berupa lantai bangunan, memiliki ketinggian sekitar 3 meter dari pelataran. Pelingkup samping, yang berupa dinding bangunan, memiliki ketinggian sekitar 4 meter. Pelingkup atas, yang berupa atap tajuk tumpang dua, memiliki ketinggian sekitar 7 meter.
239
Berdasarkan uraian sebelumnya, menunjukkan bahwa pelingkup atas (atap) dominan terhadap pelingkup samping (dinding) dan pelingkup bawah (lantai) [Gambar 4.61].
7m
4m 3m Potongan bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria
Gambar 4.61 Dimensi bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria.
4.8.4 Menganalisis dan menginterpretasi hasil perbandingan Bentuk arsitektur mesjid Sunan Muria yang menjadi fokus analisis dan interpretasi adalah bentuk ruang utama, yang terbangun oleh dua bentuk arsitektur, yaitu bentuk arsitektur lokal dan bentuk arsitektur non lokal. Bentuk arsitektur lokal direpresentasikan oleh bentuk atap tajuk tumpang dua yang menjadi pelingkup atas. Bentuk arsitektur atap tajuk tumpang mengacu pada bentuk arsitektur bangunan tajuk. Bentuk arsitektur non lokal direpresentasikan oleh bentuk denah ruang utama, yang menjadi pelingkup bawah. Bentuk denah lantai ruang utama berorientasi ke arah kiblat, yang mengacu pada bentuk denah mesjid Nabawi awal. Bentuk arsitektur non lokal juga direpresentasikan oleh bentuk dinding dengan pintu dan
240
jendela transparan (kaca) berukuran standar, dan mihrab pada dinding sisi barat ruang utama yang bentuknya mirip lubang candi, yang menjadi pelingkup samping. Bentuk dinding dengan pintu dan jendela transparan (kaca) berukuran standar mengacu pada dinding dengan pintu dan jendela bangunan mesjid modern. Dinding dengan mihrab di sisi barat ruang utama mengacu pada lubang masuk bangunan candi. Arsitektur lokal memiliki satu bentuk arsitektur, dan arsitektur non lokal memiliki tiga bentuk arsitektur. Bentuk atap tajuk acuan, yang dijumpai pada bangunan cungkup makam Sunan Bonang, keadaannya tidak tumpang. Bentuk atap tajuk tumpang dua, pelingkup ruang utama mesjid Sunan Muria, adalah hasil pengubahan bentuk. Pengubahan bentuk yang terjadi, yaitu pengubahan bentuk dari bentuk atap tajuk tidak tumpang menjadi atap tajuk tumpang dua. Berdasarkan uraian sebelumnya, proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria, dengan konsep pengubahan bentuk. [Gambar 4.62]. Ekspresi bentuk eksterior pelingkup atas yang berupa atap tajuk tumpang dua memperlihatkan dominasi bentuk terhadap pelingkup bawah, yang berupa bentuk denah segi empat mendekati bujur sangkar, dan pelingkup samping, yang berupa dinding dengan pintu dan jendela berukuran standar, dan keberadaan mihrab. Dominasi bentuk arsitektur pelingkup atas diperlihatkan oleh ketinggiannya. Sinkretisme bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Kalijaga, terjadi dengan cara adaptasi. Hal ini diperlihatkan oleh adanya dominasi bentuk arsitektur lokal (bentuk arsitektur rumah tajuk) terhadap bentuk arsitektur non lokal (bentuk arsitektur candi, mesjid Nabawi awal, dan mesjid modern). [Gambar 4.63].
241
non lokal
2C Bentuk atap tajuk tumpang dua yang melingkupi ruang utama mesjid Sunan Muria
non lokal
lokal
2A
1A Bentuk atap tajuk tidak tumpang yang melingkupi cungkup makam Sunan Bonang
non lokal
2B
Ilustrasi grafis konsep pengubahan bentuk
Gambar 4.62 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Muria: pengubahan bentuk.
2C
non lokal
Pelingkup atas (lokal) lokal
non lokal
1A
2A
Pelingkup samping (non lokal)
Pelingkup bawah (non lokal) 2B Pelingkup bentuk arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria
non lokal
Ilustrasi grafis konsep adaptasi
Gambar 4.63 Sinkretisme bentuk dalam arsitektur mesjid Sunan Muria: adaptasi.
4.8.5 Merelasikan sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid Sunan Muria dengan fungsi-fungsi konseptual Sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria, berdasarkan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, direlasikan dengan
242
fungsi-fungsi konseptual: fungsi ritual mesjid, fungsi syiar, dan fungsi ritual makam, untuk memahami maknanya. [a] Sinkretisme bentuk Sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria, terjadi melalui proses pengubahan bentuk dan adaptasi. Pengubahan bentuk terjadi pada bentuk atap, dari bentuk atap tajuk tidak tumpang menjadi bentuk atap tajuk tumpang dua. Adaptasi terjadi pada bentuk atap, yang mana bentuk atap dominan terhadap dan lantai. [b] Fungsi konseptual Fungsi konseptual pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria, adalah fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam. Seperti halnya pada mesjid-mesjid Walisanga lainnya (kecuali mesjid Agung Sang Cipta Rasa), fungsi ritual makam berkaitan dengan kegiatan ziarah ke makam wali atau tokoh terhormat yang letaknya satu kompleks atau berdekatan dengan bangunan mesjid. Kegiatan ziarah pada mesjid-mesjid Walisanga, keadaannya hampir sama di tempat yang satu dengan lainnya. Area makam Sunan Muria menjadi satu bangunan dengan mesjid Sunan Muria. Pencapaian ke makam haris melewati lantai dasar mesjid. Pada waktu jamaah membludak (pada waktu hari-hari libur sekolah, jumlah peziarah mencapai 20 ribu), area makam tidak bisa menampung, sehingga para peziarah melakukan doa dan dzikir ruang utama dan pawestren mesjid, secara bergantian. [c] Relasi fungsional Ruang utama mesjid Sunan Muria, mewadahi dengan baik fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam, yang menunjukkan adanya relasi harmonis antara bentuk dan fungsi.
243
4.8.6 Menginterpretasi relasi Ruang utama mesjid Sunan Muria, yang mewadahi fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam, dibentuk oleh ketiga pelingkupnya, yaitu pelingkup atas berupa atap, pelingkup samping berupa dinding, dan pelingkup bawah berupa lantai. Masingmasing pelingkup dibentuk oleh elemen-elemennya. Elemen pembentuk pelingkup atas, adalah sebagai berikut: * adanya memolo pada puncak atap bentuk tajuk memperlihatkan betapa penting keberadaannya, yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai titik penghubung yang sempurna antara manusia dengan Tuhannya, dan merupakan simbol sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang; * konstruksi jendela kaca di antara tumpang pertama dan kedua, dapat berfungsi memasukkan cahaya ke dalam ruang, sebagai respon terhadap tantangan perkembangan yang sangat pesat teknologi kaca di zaman modern ini; * konstruksi kayu empat tiang soko guru dengan umpak berbentuk buah waluh, mempertegas adanya dominasi elemen lokal pada sistem konstruksi atap, sebagai sebuah bentuk adaptasi. Elemen pembentuk pelingkup samping, adalah sebagai berikut: * konstruksi pintu dan jendela kaca transparan berukuran standar pada dinding merupakan respon terhadap tantangan gaya arsitektur modern yang menjadi kebutuhan bagi masyarakat modern, yang banyak diterapkan pada mesjid. Elemen pembentuk pelingkup bawah, adalah sebagai berikut: * lantai berbentuk mendekati bujur sangkar dan berorientasi ke arah kiblat mengambil orientasi bentuk denah mesjid Nabawi awal, yang merupakan bukti sikap toleran masyarakat Jawa terhadap agama Islam yang datang.
244
Relasi harmonis antara bentuk (sinkretisme bentuk pada arsitektur ruang utama mesjid Sunan Muria, melalui pengubahan bentuk dan adaptasi) dan fungsi (fungsi ritual mesjid dan ritual makam), dapat dimaknai sebagai respon, toleransi, dan adaptasi masyarakat muslim Jawa. Respon terhadap tantangan gaya arsitektur kekinian dan perkembangan pesat teknologi bangunan yang harus dihadapi, toleransi terhadap agama atau kepercayaan lain, dan adaptasi terhadap sistem konstruksi dan bentuk bangunan lokal.
4.9 Interpretasi Makna Sinkretisme Bentuk pada Arsitektur Mesjid-Mesjid Walisanga Berdasarkan insterpretasi makna sinkretisme bentuk pada masing-masing kasus studi, dapat dibangun makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Sinkretisme bentuk yang selalu terjadi pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, selama keberadaanya, mulai dari awal berdiri hingga sekarang ini, dengan perubahan-perubahannya mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan, merupakan ungkapan makna strategi berarsitektur para Walisanga dan penerusnya, dalam berusaha, pertama, merespon tantangan gaya arsitektur bangunan keagamaan kekinian dan kemajuan teknologi bangunan yang harus dihadapi, sebagai perwujudan sikap kemajuan berfikir, kedua, menoleransi bentuk-bentuk arsitektur bangunan keagamaan berbeda, sebagai perwujudan sikap keterbukaan, dan ketiga, mengadaptasi bentuk-bentuk arsitektur bangunan keagamaan lokal, sebagai perwujudan sikap kearifan.
BAB 5 TEMUAN DAN KESIMPULAN PENELITIAN
Temuan penelitian adalah hasil dari proses analisis dan interpretasi. Berdasarkan analisis dan interpretasi pada Bab 4, maka dapat dikemukakan temuan-temuan penelitian sebagai berikut: [1] metode baru untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; [2] konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; dan [3] dominasi sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Kesimpulan penelitian merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian, yang meliputi tentang dua hal, yaitu pertama, tentang sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga; dan kedua, tentang makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Dalam kesimpulan juga dijelaskan tentang kontribusi penelitian dan penelitian lanjutan.
5.1 Temuan Penelitian 5.1.1 Metode baru untuk memahami makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisang Makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid walisanga dapat dipahami dengan menggunakan kerangka konseptual, sebagai alat baca, yang melibatkan pendekatan interpretasi hermeneutika dan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur, dan hasil elaborasi konsep-konsep: bentuk arsitektur acuan, sinkretisme agama Islam Kejawen, dan akulturasi.
245
246
Operasional kerangka alat baca tersebut adalah sebagai berikut: [a] bentuk dan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dieksplanasi, dan kemudian ditentukan bentuk-bentuk arsitektur yang dianalisis dan diinterpretasi, berdasarkan kriteria: kelengkapan fungsi, dimensi keluasan, dan dimensi ketinggian; [b] bentuk-bentuk arsitektur tersebut, dengan menggunakan pendekatan interpretasi hermeneutika Ricoeur, harus dibuka menurut ketiga pelingkupnya, yaitu pelingkup bawah (lantai), pelingkup samping (dinding), dan pelingkup atas (atap); [c] ketiga pelingkup bentuk arsitektur dibandingkan dengan bentuk-bentuk arsitektur acuan yang terdiri atas: bangunan tajuk, bangunan limasan, candi Hindu/Budha, mesjid Nabawi awal, gereja kolonial, mesjid Pan Islamisme, dan mesjid modern; [d] proses perbandingan diinterpretasi untuk memahami sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dengan menggunakan bantuan konsepkonsep hasil elaborasi konsep-konsep sinkretisme agama Islam Kejawen dan akulturasi, yaitu adisi, pengubahan bentuk, kreasi baru, adopsi, adaptasi, dan sinergi. [e] bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang sinkretis, dinterpretasi untuk dipahami maknanya, dengan bantuan pendekatan relasi fungsibentuk-makna dalam arsitektur. Bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang sinkretis, direlasikan dengan fungsi arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang sinkretis meliputi: ruang dalam, bangunan selatan, mesjid Sunan Ampel; ruang utama mesjid Agung Demak;
247
ruang utama mesjid Agung Sang Cipta Rasa; ruang utama, bangunan tengah, mesjid Sunan Giri; ruang utama mesjid Menara Kudus; ruang utama mesjid Sunan Kalijaga; dan ruang utama mesjid Sunan Muria. Fungsi-fungsi arsitektur mesjidmesjid Walisanga meliputi: fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam. Dari relasi fungsi dan bentuk ini kemudian diinterpretasi untuk memahami maknanya.
5.1.2 Konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga Konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang dihasilkan melalui kegiatan elaborasi konsep-konsep sinkretisme agama Islam Kejawen dan akulturasi, adalah sebagai berikut: adisi, pengubahan bentuk, kreasi baru, adopsi, adaptasi, dan sinergi. Konsep-konsep adisi, pengubahan bentuk, dan kreasi baru, berkaitan dengan proses terjadinya sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Konsep-konsep adopsi, adaptasi, dan sinergi, berkaitan dengan dominasi sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Konsep adisi terjadi apabila dalam percampuran antara bentuk lokal dan non lokal, pada bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, bentuk-bentuk campuran tersebut berasal dari bentuk-bentuk aslinya, baik yang lokal maupun non lokal. Konsep pengubahan bentuk terjadi apabila dalam percampuran antara bentuk lokal dan non lokal, pada bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, bentukbentuk campuran tersebut berasal dari bentuk-bentuk hasil pengubahan, baik yang lokal maupun non lokal, dengan tidak mengubah bentuk-bentuk dasarnya. Konsep kreasi baru terjadi apabila dalam percampuran antara bentuk lokal dan non lokal, pada bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, bentuk-bentuk
248
campuran tersebut berasal dari bentuk-bentuk hasil pengubahan, baik yang lokal maupun non lokal, dengan mengubah bentuk-bentuk dasarnya. Konsep adopsi terjadi apabila dalam percampuran antara bentuk lokal dan non lokal, pada bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, bentuk non lokal dominan terhadap bentuk lokal. Konsep adaptasi terjadi apabila dalam percampuran antara bentuk lokal dan non lokal, pada bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, bentuk lokal dominan terhadap bentuk non lokal. Konsep sinergi terjadi apabila dalam percampuran antara bentuk lokal dan non lokal, pada bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, bentuk lokal dan bentuk non lokal tidak saling mendominasi.
5.1.3 Dominasi sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga Dalam sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga terjadi dominasi bentuk. Berdasarkan kriteria ketinggian bentuk bangunan, maka pada seluruh kasus studi, pelingkup atas (atap) dominan terhadap pelingkup samping (dinding) dan pelingkup bawah (lantai). Atap sebagai pelingkup atas bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga merupakan elemen arsitektur yang dianggap penting. Bisa dipahami bahwa mesjidmesjid dengan atap berbentuk tajuk dan atau limasan tumpang menjadi pilihan utama para Walisanga dan masyarakat muslim Jawa. Atap tumpang (susun) pada mesjid-mesjid Walisanga mengekspresikan bentuk yang tinggi, yang mendekati tempat bersemayamnya Tuhan yang tunggal dan transenden.
249
Para wali, oleh masyarakat muslim Jawa dianggap sosok-sosok yang paling dekat kedudukannya dengan Tuhan, sehingga makamnya pun dibuat sedemikian rupa sehingga ia bisa melambangkan ketinggian. Lambang ketinggian bisa diwujudkan dengan lokasi makam mereka di tempat-tempat yang tinggi, seperti gunung dan bukit, atau dengan penambahan bangunan cungkup di atas makamnya. Pada umumnya bangunan cungkup makam para wali memiliki atap berbentuk tajuk. Oleh para Walisanga, atap tajuk bangunan cungkup dijadikan acuan dalam perencanaan dan perancangan arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dan kemudian bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga tersebut menjadi acuan bagi perencanaan dan perancangan mesjid-mesjid di seluruh wilayah Indonesia pada masa-masa berikutnya, hingga sekarang ini.
5.2 Kesimpulan Penelitian 5.2.1 Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang dihasilkan melalui proses perbandingan bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga (seluruh kasus studi) dengan bentuk-bentuk arsitektur acuan berdasarkan pelingkup bentuk arsitekturnya, yaitu terjadi dengan cara pengubahan bentuk dan adaptasi. Pengubahan bentuk pada sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga terjadi dengan cara mengubah bentuk arsitektur acuan, yaitu atap tidak tumpang (tidak bersusun), menjadi atap tumpang. Pada mesjid Sunan Ampel dan mesjid Sunan Muria, terjadi pengubahan bentuk dari bentuk arsitektur acuan, yaitu dari bentuk atap tajuk tidak tumpang menjadi bentuk atap tajuk tumpang dua. Pada mesjid mesjid Agung Demak; Sunan
250
Giri, Menara Kudus, dan mesjid Sunan Kalijaga, terjadi pengubahan bentuk dari bentuk arsitektur acuan, yaitu dari bentuk atap tajuk tidak tumpang menjadi bentuk atap tajuk tumpang tiga. Pada mesjid Agung Sang Cipta Rasa terjadi pengubahan bentuk dari bentuk arsitektur acuan, yaitu dari bentuk atap limasan tidak tumpang menjadi bentuk atap limasan tumpang tiga. Atap tumpang pada mesjid-mesjid Walisanga mengekspresikan bentuk atap bertingkat, yang mengindikasikan adanya cahaya matahari masuk ke dalam ruangan di bawahnya melalui celah-celah di antara bagian-bagian atap tumpang. Dari seluruh kasus studi, lima di antaranya, yaitu mesjid Sunan Ampel, Agung Sang Cipta Rasa Sunan Giri, Menara Kudus, dan mesjid Sunan Muria memiliki plafon yang menutup bidang atap bagian dalam (mengikuti bentuk atap tumpang), sehingga cahaya bisa masuk ke dalam ruangan melalui celah-celah di antara bagianbagian atap tumpang. Sementara, pada mesjid mesjid Agung Demak dan mesjid Sunan Kalijaga memiliki plafon yang menutup bidang pamidhangan (bidang di antara soko guru), sehingga ruang di bawah atap tajuk tumpang tidak mendapatkan cahaya matahari secara maksimal, karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah di antara bagian atap tajuk tumpang kedua dan ketiga tidak bisa masuk ke dalam ruangan. Adaptasi pada sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, pada seluruh kasus studi, terjadi oleh karena pada proses percampuran, bentuk arsitektur lokal, yang direpresentasikan oleh pelingkup atas (atap), dominan terhadap bentuk arsitektur non lokal, yang direpresentasikan oleh pelingkup samping (dinding) dan pelingkup bawah (lantai).
251
Dominasi bentuk atap terhadap dinding dan lantai diperlihatkan pula oleh ekspresi interiornya. Pada lima kasus studi, yaitu mesjid Sunan Ampel, Agung Sang Cipta Rasa; Sunan Giri, Menara Kudus, dan Sunan Muria, memiliki plafon yang menutup bidang bawah atap (mengikuti bentuk atap tumpang), sehingga ruang di bawahnya mengesankan ketinggian dan keagungan. Ekspresi interior dominasi bentuk atap dipertegas dengan konstruksi penyangga atapnya, yaitu konstruksi soko guru dan pembalokan blandar – pengerat dan sunduk – kili-kili. Fenomena yang menarik adalah seluruh kasus studi (mesjid-mesjid walisanga) beratap tumpang, baik yang berbentuk tajuk maupun limasan. Hal ini bisa dijelaskan berdasarkan hasil analisis dan interpretasi pada Bab 4, yaitu dengan beberapa alasan. Alasan penting yang pertama adalah dalam rangka pengoptimalan sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan. Hal ini diperlihatkan dengan adanya konstruksi jendela kaca di antara tumpang-tumpangnya. Alasan penting yang kedua adalah dalam rangka penerapan teknologi konstruksi bangunan. Bangunan mesjid merupakan fasilitas peribadatan komunal bagi masyarakat muslim, sehingga dibutuhan luasan ruang yang relatif besar. Struktur bangunan adalah salah satu faktor penting. Semakin besar luasan ruangan yang dinaungi atap, akan semakin tinggi puncak atapnya; apalagi sudut kemiringan atap relatif curam. Hal ini pulalah yang mungkin menyebabkan konstruksi atap bangunan dibuat berlapis; untuk mengerjakan lapis atap berikutnya, para tukang menggunakan lapis atap di bawahnya sebagai pijakan. Semua elemen-elemen pembentuk struktur bangunan meneruskan gaya ke tiang-tiang utama yang berjumlah empat buah. Tiang-tiang ini yang kemudian disebut soko guru merupakan struktur utama bangunan mesjid. Presisi sambungan-
252
sambungan kayu pada konstruksi atap telah menjamin kelangsungan “hidup” mesjid-mesjid Walisanga dalam waktu yang panjang. Alasan penting yang ketiga adalah dalam rangka mendapatkan simbol ketuhanan. Hal ini ditunjang oleh fungsi mesjid-mesjid Walisanga. Pada seluruh kasus studi, bagian-bagian atau ruang-ruang yang dinaungi atap berbentuk tajuk atau limasan tumpang mewadahi fungsi-fungsi ritual mesjid dan ritual makam. Bagi sebagian masyarakat muslim Jawa, kedua fungsi tersebut adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada dan mendapatkan berkah ketenangan hidup dari Tuhan. Tuhan selalu disimbolkan dengan segala sesuatu yang memiliki sifat ketinggian. Pada zaman dulu, gunung dianggap sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kemudian bentuk gunung direpresentasikan ke dalam bentuk atap tajuk.
5.2.2 Makna Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga Makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dapat dipahami dengan bantuan pendekatan relasi fungsi-bentuk-makna dalam arsitektur. Makna diungkap dengan cara menginterpretasi relasi sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga dengan fungsi-fungsinya. Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, pada seluruh kasus studi, terjadi dengan cara pengubahan bentuk dan adaptasi. Dalam proses sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, pengubahan bentuk terjadi pada bentuk arsitektur acuan, yaitu atap tidak tumpang (pada cungkup makam Sunan Bonang dan makam Fatimah binti Maimun) menjadi bentuk atap tumpang. Adaptasi terjadi oleh dominasi bentuk pelingkup atas (atap) terhadap pelingkup samping (dinding) dan pelingkup bawah (lantai).
253
Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, dengan pengubahan bentuk dan adaptasi, memperlihatkan bahwa elemen pelingkup atas, yaitu bentuk atap tumpang memiliki kedudukan yang penting. Proses pengubahan bentuk dan adaptasi dipertegas oleh konstruksi penopang atap tumpang yang tetap menggunakan konstruksi atap tradisional Jawa, yaitu sistem konstruksi soko guru dan pembalokan blandar – pengerat dan sunduk – kili-kili. Fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan yang diwadahi oleh bentuk-bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga terdiri atas: fungsi ritual mesjid, syiar, dan ritual makam. Pada seluruh kasus studi, fungsi-fungsi yang selalu ada pada bentukbentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga yang dianalisis dan diinterpretasi, adalah fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam. Masyarakat muslim Jawa masih menempatkan kegiatan ziarah makam para wali pada posisi yang penting dalam kehidupan keagamaannya, yang sama pentingnya dengan kegiatan ibadah di mesjid. Sosok para wali, oleh masyarakat muslim Jawa, ditempatkan pada posisi yang tinggi, setinggi mereka menempatkan tuhan mereka. Keduanya ditemukan pada mesjid-mesjid Walisanga. Hal ini ditunjukkan oleh dua fungsi yang selalu ada pada mesjid-mesjid Walisanga, yaitu fungsi ritual mesjid dan fungsi ritual makam. Fungsi ritual mesjid bertujuan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Tinggi melalui serangkaian kegiatan ibadah. Fungsi ritual makam bertujuan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Tinggi melalui perantara para wali yang kedudukannya sangat ditinggikan dan dimuliakan. Sehingga tidak mengherankan apabila mesjid-mesjid Walisanga, kehadirannya yang sudah sejak lima abad yang lalu, masih diterima oleh masyarakat muslim Jawa.
254
Sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, yang selalu terjadi, selama keberadaanya, yang selalu diterima oleh masyarakat muslim Jawa pendukungnya, dapat dianggap sebagai makna strategi berarsitektur para Walisanga dan penerusnya. Strategi berarsitektur yang diwujudkan dengan respon, toleransi, dan adaptasi. Respon terhadap tantangan gaya arsitektur bangunan keagamaan kekinian dan kemajuan teknologi bangunan yang harus dihadapi, sebagai perwujudan sikap kemajuan berfikir. Toleran terhadap bentuk-bentuk arsitektur bangunan keagamaan berbeda, sebagai perwujudan sikap keterbukaan. Adaptasi terhadap bentuk-bentuk arsitektur bangunan keagamaan lokal, sebagai perwujudan sikap kearifan.
5.3 Kontribusi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi dalam kegiatan perencanaan dan perancangan arsitektur mesjid di Indonesia, wilayah yang begitu luas dengan potensi lokal yang sangat besar, sebagai sebuah upaya menghasilkan arsitektur mesjid yang selalu bisa diterima oleh masyarakat muslim pendukungnya sepanjang waktu. Di era globalisasi yang ditandai dengan hadirnya bentuk-bentuk mesjid yang beraneka ragam, konsep-konsep sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid dapat menjadi pilihan penting dalam kegiatan perencanaan dan perancangan mesjid di Indonesia. Konsep-konsep perencanaan dan perancangan mesjid yang melibatkan dan menempatkan bentuk-bentuk arsitektur lokal di atas bentuk-bentuk arsitektur non lokal (yang datang dari luar), sudah seharusnya menjadi pilihan utama. Dengan
255
demikian akan hadir bentuk-bentuk arsitektur mesjid yang memiliki dan menonjolkan nilai-nilai lokal, yang menjadi ciri khas karya anak bangsa Indonesia. Kerangka konseptual terbangun, sebagai alat baca, yang digunakan untuk memahami makna bentuk sinkretisme dalam arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, yang melibatkan: konsep-konsep bentuk arsitektur acuan, sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid, dan pendekatan interpretasi hermeneutika dan relasi fungsibentuk-makna dalam arsitetur, dapat digunakan dalam penelitian-penelitian lainnya yang memiliki tema dan kasus serupa dalam bidang arsitektur, baik yang sifatnya lokal maupun global.
5.4 Penelitian Lanjutan Penelitian ini, dengan tujuh kasus studi (mesjid-mesjid Walisanga) yang masingmasing memiliki bentuk dan elemen arsitektur yang khas, masih memberikan peluang besar pada kajian-kajian lanjutan. Kajian lanjutan dapat dilakukan dengan melibatkan aspek ornamen dan ragam hias bangunan, yang dalam penelitian ini tidak termasuk dalam cakupan studi, yang diharapkan dapat memperjelas makna sinkretisme bentuk pada arsitektur mesjid-mesjid Walisanga. Pelingkup atas bentuk arsitektur mesjid-mesjid Walisanga, yang berupa atap, dengan ditopang konstruksi soko guru dan konstruksi pembalokan blandar – pengerat dan sunduk – kili-kili, yang dilengkapi dengan ornamen dan ragam hiasnya, menjadi ladang kajian yang menarik. Pada tiang-tiang dan balok-balok kayu konstruksi atap tumpang mesjid-mesjid Walisanga, terdapat ukiran dan ornamen yang sarat makna. Ukiran dan ornamen terdapat pada bagian kaki, badan, dan kepala tiang (soko), dan pada bagian ujung-ujung dan bagian tengah balok-
256
balok. Begitu pula dengan pelingkup samping, yang berupa dinding dengan konstruksi pintu dan jendela, beserta ornamen dan ragam hiasnyanya, dan pelingkup bawah, yang berupa lantai, dengan peil yang naik turun (kasus mesjid Sunan Muria), sungguh sangat menarik untuk dilakukan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aazam, Ziad (2007), “The Social Logic of the Mosque: A Study in the Relationships between Building Typology and Urban Morphology”, Proceedings, 6th International Space Syntax Symposium, Istambul, 2007. Abel, Chris (1997), Architecture & Identity: Responses to Cultural and Technological Change, Architectural Press, Oxford. Abimanyu, Petir (2014), Mistik Kejawen: Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa, Palapa, Yogyakarta. Aboebakar (1955), Sedjarah Mesdjid dan Amal Ibadah Dalamnja, Fa.Adil & Co., Djakarta. Adorno, Theodor W. (1997), “Functionalism Today”, Rethinking Architecture: A Reader in Cultural Theory, Leah, Neil (editor), Routledge, London. Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2006), Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Kepel, Yogyakarta. Akkach, Samer (2005), Cosmology and Architecture in Premodern Islam, State University of New York Press, New York. Al Faruqi, Ismail R. and Al Faruqi, Lois Lamya (1986), The Cultural Atlas of Islam, Macmillan Publishing Company, New York. Al Ghazaliy, Muhammad ( tt ), Fiqhus Sirah, Al-Ma’arif, Bandung. Ali, Asif (2013), “Syncretic Architecture of Fatehpur Sikri: A Symbol of Composite Culture”, Journal of Islamic Architecture, Volume 2 Issue 3 June 2013, pp.101-105. Amin, Darori (2002),”Sinkretisme dalam Masyarakat Jawa”, Islam & Kebudayaan Jawa, Amin, Darori (editor), Gama Media, Yogyakarta. Amirmasoud, Dabagh (2014), “The Reflection of Semiotics Theories in the Architectural Reading of the Contemporary Mosque of Tehran”, Indian Journal of Fundamental and Applied Life Sciences, ISSN: 2231-6345. Anderson, Stanford (1987), “The Fiction of Function”, Assemblage, No. 2 (Feb., 1987), pp. 18-31. Antariksa (2002), “Study on the Philosophy and Architecture of Zen Buddhism in Japan”, Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 30 No.1, Juli 2002:54-60.
257
258
------ (2010), “Tipologi Wajah Bangunan dan Riasan dalam Arsitektur Kolonial Belanda”, (http://antariksaarticle.blogspot.com/2010/05/tipologi-wajahbangunan-dan-riasan.html, diakses 1 Juni 2013). Ardalan, Nader (1979), “The Visual Language of Symbolic Form: A Preliminary Study of Mosque Architecture”, Architecture as Symbol and Self-Identity, Proceedings of Seminar, Fez, Marocco, Oktober 9-12, 1979. Aryanti, Tutin (2006), “The Center vs The Periphery in Central – Javanese Mosque Architecture”, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 34, No. 2, Desember 2006:73-80. Ascott, Roy (2009), “Syncretic Reality: Art, Process, and Potentiality”, Edicao, 2/2009 – ISSN 1984-3585. Atmodarminto, R. (2000), Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politik, Millennium Publisher, Jakarta. Azhim, Abdul bin Badawi Al-Khalafi (2011), Al-Wajiz: Ensiklopedia Fiqih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah As-Shahihah, Pustaka As-Sunnah, Jakarta. Bailey, Gauvin Alexander (2010), The Andean Hybrid Baroque. Convergent Cultures in the Churches of Colonial Peru, Notre Dame, University of Notre Dame Press. Barthes, Roland (2012), Elemen-Elemen Semiologi, IRCiSoD, Yogyakarta. Beatty, Andrew (2001), Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Bentley, Jerry (1993), Old World Encounters: Cross-Cultural Contacts and Exchanges in Pre-Modern Times, (http://www.ithaca.edu/faculty/ Oconnell/encounters/readingexcerpts.htm, diakses 26 Januari 2013). Bernbaum, Edwin (2006), “Sacred Mountains of The World: An Overview”, Proceedings of The Tokyo Symposium, UNESCO-MAB. Berry, John W. (1997), “Immigration, Acculturation, and Adaptation”, Applied Psychology: An International Review, 1997.46(1). 5-68. ------ (2005), “Acculturation: Living successfully in two cultures”, International Journal of Intercultural Relations, 29 (2005) 697–712. Blau, Judith (1980), “A Framework of Meaning in Architecture”, Signs, Symbols, and Architecture, Broadbent, Geoffrey, John Wiley & Sons, New York.
259
Bonta, Juan (1980), “Notes for a Theory of Meaning in Design”, Signs, Symbols, and Architecture, Broadbent, Geoffrey, John Wiley & Sons, New York. Broadbent, Geoffrey (1977), Design in Architecture, John Willey & Sons, London. Brolin, Brent C. (1976), The Failure of Modern Architecture, Macmillan Publishing, New York. Bullough, Nigel (1995), Historic East Java, Remains in Stone, Nigel Bullough, Singapura. Capon, David Smith (1999), The Vitruvian Fallacy: Architectural Theory Volume One, John Willey & Sons, New York. Carman, Taylor (1999), “The Body in Husserl and Merleau-Ponty”, Philosophical Topics, Vol. 27, No. 2, Fall 1999. Chandler, Daniel (2007), Semiotics the Basics, Rouledge, New York. Chaubet, Francois (2015), Globalisasi Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta. Ching, Francis DK (1979), Architecture: Form, Space & Order, Van Nostrand Reinhold Company, New York. Cizgen, Gultekin (2012), “Rethinking the Role of Context and Contextualism in Architecture and Design”, Thesis, Eastern Mediterranean University, Gazimugusa, North Cyprus. Cobley, Paul dan Jansz, Litza (1997), Introducing Semiotics, Totem Books, New York. Copeland, Roger (1983), “Postmodern Dance Postmodern Architecture Postmodernism”, Performing Arts Journal, Vol. 7, No. 1 (1983), pp. 27-43. Coyne, Richard (1997), “Creativity as Commonplace”, Journal of Design Studies, Vol. 18, No. 2, April 1997. Crowell, Steven Galt (1990), “Husserl, Heidegger, and Transcendental Phlosophy: Another Look at The Encyclopaedia Britannica Article, Philosophy and Phenomenological Research, Vol. L, No. 3, March 1990. Dahabreh, Saleem M. (2014), “A Conceptual Framework for Understanding Architectural Works”, Journal of Scientific Research and Essays, Vo. 9(8), 30 April 2014. Dakung, Sugiarto (ed.) (1998), Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta.
260
Damami, Muhammad (2002), Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, LESFI, Yogyakarta. de Graaf, H.J. (1949), Geschiedenis van Indonesia’s, Gravenhage. ------ dan Pigeaud, Th. G. Th. (1985), Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Demes, Kali A. dan Geeraert, N. (2014), “Measure Matter: Scales for Adaptation, Cultural Distance, and Acculturation Orientation Revisited”, Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 45(1) 91 – 109. Denhere, Tichaona C. (2010), “Syncretism Urban Church”, Tesis. Master of Architecture at the University of Witwatersrand Johannesburg, South Africa. Derrida, Jacques (1997), “Architecture Where the Desire May Live (Interview)”, Rethinking Architecture: A Reader in Cultural Theory, Leah, Neil (editor), Routledge, London. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Ditjen Kebudayaan Depdikbud (1998), Masjid Kuno Indonesia, Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, Jakarta. Drewes, G.W.J. (1978), An Early Javanese Code of Muslim Ethics, The HagueMartinus Nijhoff, Ned. Eco, Umberto (1980), “Function and Sign: The Semiotics of Architecture”, Signs, Symbols, and Architecture, Broadbent, Geoffrey, John Wiley & Sons, New York. ------ (2009), Teori Semiotika: Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi – Tanda, Kreasi Wacana, Bantul. Edginton, Carole N. (2008), “Syncretism: A Study of Toshodai-ji Wayo Architectural and Cultural Elements. Tesis. Master of Art. Iowa State University, Iowa. Eliade, Mircea (1959), The Sacred and The Profane: The Nature of Religion, Harcourt, Brace & World, New York. Endraswara, Suwardi (2013), Memayu Hayuning Bawana, Narasi, Yogyakarta. ------ (2015a), Etnologi Jawa, CAPS, Yogyakarta. ------ (2015b), Agama Jawa, Narasi, Yogyakarta. Fanani, Achmad (2009), Arsitektur Masjid, Bentang, Yogyakarta.
261
Franck, Karen A. dan Schneekloth, Linda H. (1994), Ordering Space: Types in Architecture and Design. Van Nostrand Reinhold, New York. ------ dan Lepori, R. Bianca (2000), Architecture Inside Out, Wiley-Academy, U.K. Fruin-Mess, W. (1920). Geschiedenis van Java II, Ruygrok & Co, Batavia. Gadamer, Hans-Georg (1975), Truth and Method, The Seabury Press, New York. Gawlikowska, Anna P. (2013), “From Semantics to Semiotics. Communication of Architecture”, Architecturae et Artibus, 1/2013. Gazalba, Sidi (1962), Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta. Geertz, Clifford (1960), The Religion of Java, The Free Press, London. Gennep, Arnold van (1960), The Rites of Passage, Routledge and Kegan Paul, London. Ghani, Izham (2007), “Function Defies Form: A Thought For Architecture in the New Information Age”, Archnet-IJAR, International Journal of Architectural Research - Volume 1 - Issue 3 - November 2007. Ghasemi, A., Taghinejad, M., Kabiri, A., dan Imani, M. (2011), “Ricoeur’s Theory of Interpretation: A Method for Understanding Text (Course Text)”, World Applied Sciences Journal, 15 (11): 1623 – 1629, 2011. Gnanasekaran, R. (2015), “Review An Introduction to Derrida, Deconstruction and Post-Structuralism”, International Journal of English Literature and Culture, Vol. 3 (7), pp. 211-214, July 2015. Groeneveldt, W.P. (1960), “Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese Sources, Bhratara, Djakarta. Guy, Simon dan Moore, Steven A. (2007), “Sustainable Architecture and the Pluralist Imagination”, Journal of Architectural Education, ACSA. Habermas, Jurgen (1997), “Modern and Postmodern Architecture”, Rethinking Architecture: A Reader in Cultural Theory, Leah, Neil (editor), Routledge, London. Habraken, N.J. (1998), The Structure of the Ordinary, Graphic Composition Inc., USA. Hale, Jonathan A. (2000), Building Ideas: An Introduction to Architectural Theory, John Wiley & Sons Ltd, Chichester.
262
Haliadi (2000), “Buton Islam dan Islam Buton: Islamisasi, Kolonialisme, dan Sinkretisme Agama”, Tesis, Program Studi Sejarah, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, UGM. Hall, Edward T. (1969), The Hidden Dimension. Garden City, Doubleday, New York. Hamid, Abdul Ghani (1990), Seni Indah Masjid di Singapura. Hamka (1994), Sejarah Umat Islam, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura. Handa, Rumiko (1996), “Beyond Meaning: In Search of Meaningfulness in Architecture”, 84th ACSA Annual Meeting, Regional Paper. ------ (1999), “Against Arbitrariness: Architectural Signification in the Age of Globalization”, Journal of Design Studies, Vol. 20, No. 4, July 1999. Handinoto (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi, Andi Offset, Yogyakarta. Hardjowirogo, Marbangun (1983), Manusia Jawa, Yayasan Idayu, Jakarta. Harisah, A., Sastrosasmito S., dan Hatmoko, A.U. (2007), Eklektisisme dan Arsitektur Eklektik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hariwijaya, M. (2004), Islam Kejawen, Gelombang Pasang, Yogyakarta. Harris, Jessica (2013), “Tradition, Identity and Adaptation: Mosque Architecture in South-East Queensland”, Proceedings of the Society of Architectural Historians, Australia and New Zealand: 30, Open (http://www.griffith. Edu.au/conference/sahanz-2013, diakses 7 September 2014). Hasyim, Umar (1979), Sunan Giri, Menara Kudus, Kudus. ------ (1983a), Sunan Muria Antara Fakta dan Legenda, Menara Kudus, Kudus. ------ (1983b), Sunan Kalijaga, Menara Kudus, Kudus. Hasymy, A. (1989), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung. Hatley, R., Schiller, J., Lucas, A., dan Martin-Schiller, B. (1984), Other Javas Away From The Kraton, Monash University.
263
Haviland, William A. (1993), Antropologi jilid 2, Erlangga, Jakarta. Hefner, Robert W. (1985), Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princenton University Press, Princenton. Heidegger, Martin (1971), Poetry, Language, Thought, Harper & Row, New York. Herusatoto, Budiono (2001), Simbolisme dalam Budaya Jawa, Hanindita Graha Widia, Yogyakarta. Heynen, Hilde (1999), Architecture and Modernity, MIT Press, Cambridge, Massachusetts. Hidayat, Asep Ahmad (2006), Filsafat Bahasa : Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda, Remaja Rosdakarya, Bandung. Hillenbrand, Robert (1999), Islamic Art and Architecture, Thames and Hudson, London. Hoed, Benny H. (2011), Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, Komunitas Bambu, Jakarta. Hoop, A.N.J.Th.a.Th. Van Der (1949), Indonesische Siermotieven, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia. Hoskins, Janet (2014), “From Colonial Syncretism to Transpacific Diaspora. ReOrienting Caodaism from Vietnam to California”, Dorisea Working Paper, Issu 7, 2014, ISSN: 2196-6893. Howard, Roy J. (1982), Three Faces of Hermeneutics: An Introduction to Current Theories of Understanding, University of California Ltd, Berkeley. Hurgronje, Snouck (1973), Islam di Hindia Belanda, Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Husein, Huri Yasin (2011), Fikih Masjid, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Ibrahim, Mohammed H. (1997), “A Typology of Building Forms”, J. King Saud Univ., Vol. 9, Arch. &Planning, pp. 1-30 (A.H. 1417/1997). Ikhwanuddin (2005), Menggali Pemikiran Posmodernisme dalam Arsitektur, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ismudiyanto dan Atmadi, Parmono (1987), " Demak-Kudus-Jepara Mosque: A Study of Architectural Syncretism ", Research Report, Dept. of Architecture, Engineering Faculty, Gadjah Mada University.
264
Ismunandar K, R. (1990), Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Dahara Prize, Semarang. Israr, C. (1978), Sejarah Kesenian Islam, Jilid I & II, Bulan Bintang, Jakarta. Jahnke, Marcus (2011), “Towards a Hermeneutics Perspective on Design Practice”, Paper to be presented at EGOS 2011, Sub Theme 14 – Art, Design and Organization. Jencks, Charles (1980), Late Modern Architecture, Academy Editions, London. ------ (1977), The Language of Post-Modern Architecture, Rizzoli, New York. Johnson, Paul-Alan (1994), The Theory of Architecture, Van Nostrand Reinhold, New York. Jones, Lindsay (2000), The Hermeneutics of Sacred Architecture Volume One, Harvard University Press, Cambridge. Jung, Carl G. (1964), Man and His Symbols, Aldus Books, London. Juodinyte-Kuznetsova, Kristina (2011), “Architectural Space and Greimassian Semiotics”, Societal Studies, 2011, 3(4), p. 1269-1280. Kafle, Narayan Prasad (2011), “Hermeneutic Phenomenological Research Method Simplified”, Bodhi: An Interdisciplinary Journal, 5, 2011, ISSN: 2091-0479. Kaelan, M.S. (2009), Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, Paradigma, Yogyakarta. Kempers, A.J. Bernet (1959), Ancient Indonesian Art, Harvard University Press, Massachusetts. Khalil, Kadhim Fathel dan Wahid Julaihi (2013), “The Proportional Relations Systems of Islamic Architecture”, International Journal of Scientific and Reseacrh Publications, Vol. 3, Issues 1, Januari 2013. Khan, Majid Ali (1985), Muhammad SAW Rasul Terakhir, Pustaka, Bandung. Kidder, Paul (tt), “Philosophical Hermeneutics and the Ethical Function of Architecture”,(http://www.contempaesthetics.org/newvolume/pages/article. php?articleID=618, diakses 7 September 2014). Klassen, Winand (1990), Architecture and Philosophy: Phenomenology, Hermeneutics, Deconstruction, University of San Carlos, Cebu City.
265
Koch, Daniel (2014), “Changing Building Typologies: The Typological Question and The Formal Basis of Architecture”, The Journal of Space Syntax, ISSN: 2044-7507 Year: 2014 volume: 5 issue: 2. Koentjaraningrat (1984), Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta. ------ (1993), “Asas-asas Ritus, Upacara dan Religi”, Ritus Peralihan di Indonesia, Koentjaraningrat, Balai Pustaka, Jakarta. Kostof, Spiro (1995), A History of Architecture: Settings and Rituals, Second ed. Oxford University Press, New York. Krier, Rob (1983), Elements of Architecture, Academy Editions, London. Kurniawan (2001), Semiologi Roland Barthes, IndonesiaTera, Magelang. Kurokawa, Kisho (1991), Intercultural Architecture: The Philosophy of Symbiosis, Academy Editions, London. Kusno, Abidin (2012), “Di Bawah Bayangan Bung Karno: Arsitektur Modernis dan Sejarah Kita”, Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Lang, John (1987), Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design, Van Nostrand Reinhold, New York. Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Malang & Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri (2014), Sejarah Perjuangan dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri, Pustaka Luhur, Malang. Levinskaya, Irina A, (1993), “Syncretism – The Term and Phenomenon”, Tyndale Bulletin. 44.1 pp. 117-128. Leupen, B., Grafe, C., Kornig, N., Lampe, M., Zeeuw, P. (1997), Design and Analysis, Van Nostrand Reinhold, New York. Lindenfeld, David (2008), “Syncretism”, the Board of Trustees of the University Of Illinois (http://worldhistoryconnected.press.illinois.edu/4.1/lindenfeld. html, diakses 26 Januari 2013). Lubis, Akhyar Yusuf (2014a), Postmodernisme : Teori dan Metode, RajaGrafindo Persada, Jakarta. ------ (2014b), Filsafat Ilmu : Klasik Hingga Modern, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
266
Madrazo, Leandro (1995), “The Concept of Type in Architecture: An Inquiry into the Nature of Architectural Form”,Dissertation, School of Architecture and Urban Planning, University of California, Los Angeles. Mahawesh, Mohammad Issa (2014), “The Socio-Semiotic Theory of Language and Translation: An Overview”, International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 4, No. 8; June 2014. Mandel, Grabiele (1979), How to Recognize Islamic Art, Penguin Books, New York. Martin, Wallace (1972), “The Hermeneutic Circle and The Art of Interpretation”, Comparative Literature, Vol. 24, No. 2, pp 97-117, University of Oregon (http://uwch4.humanities.washington.edu/Tautegory/EBOOKS/MARTIN/M artin-Hermeneutic Circle, diakses 9 Maret 2015). Moedjanto, G. (1993), The Concept of Power in Javanese Culture, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Moinifar, Heshmat dan Mousavi, Narges Sadat (2013), “Taj Mahal as a Mirror of Multiculturalism and Architectural Diversity in India”, Journal of Subcontinent Researches, University of Sistan and Baluchestan, Vol. 5, No. 15, Summer 2013 (pp. 123-134). Mokhtar, Ros Aiza Mohd dan Sa’ari, Che Zarrina (2014), “A Preliminary Study on Factors that Lead Muslim Kedayan to Continue Performing the Syncretic Culture”, International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 4, No. 6, November 2014. Moran, Dermot (2000), Introduction to Phenomenology, Routledge, London. Morgan, Morris Hicky (1914), VITRUVIUS: The Ten Books on Arcitecture, Harvard University Press, Cambridge. Motonaka, Makoto (2006), “Sacred Sites and Pilgrimage routes in the Kii Montain Range”, Proceedings of The Tokyo Symposium, UNESCO-MAB. Mubah, A. Safril (2011), “Revitalisasi Identitas Kultural Indonesia di Tengah Upaya Homogenisasi Global”, Jurnal Global & Strategis, Edisis Khusus, Desember. Muhaimin, A.G. (1996), “God and Spiritual Beings in the Cirebon-Javanese Belief System: A Reluctant Contribution Against the Syncretics Argument”, Jurnal Studia Islamika, Vol. 3, No. 2. Mulder, Niels (1996), Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
267
Nakamura, Mitsuo (1983), The Crescent Arises over the Banyan Tree: a Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nas, Peter J.M. (2009), Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Needham, Rodney (1979), Simbolic Classification, Goodyear Publishing Inc., Santa Monica, California. Nekby, L., Rodin, M., dan Ozcan, G. (2007), “Acculturation Identity and Educational Attainment”, Discussion Paper, No. 3172, November 2007. Noble, Jonathan (tt), “Architecture, Hybridity, and Post-Apartheid Design”, Collection electroniques de I’INHA, (http://inha.revues.org/pdf/1707, diakses 24 Oktober 2015). Norberg-Shulz, Christian (1965), Intention in Architecture, The M.I.T. Press, Massachusetts. ------ (1971), Existence, Space & Architecture, Praeger Publishers, New York. ------ (1980a), Genius Loci: Towards A Phenomenology of Architecture, Rizzoli, New York. ------ (1980b), Meaning in Western Architecture, Rizzoli, New York. ------ (1988), Architecture : Meaning and Place, Electa/Rizzoli, New York. Norris, Christoper (2002), Deconstruction, Rouledge, New York. Noth, Winfried (1995), Handbook of Semiotics, Indiana University Press, Indianapolis. Ossenbruggen, F.D.E. van. (1975), Asal-Usul Konsep Jawa Tentang Mancapat dalam Hubungannya dengan Sistem-Sistem Klasifikasi Primitif, Bhratara, Jakarta. Padilla, Amando M. dan Perez, W. (2003), “Acculturation, Social Identity, and Social Cognition: A New Perspective”, Hispanic Journal of Behavioral Sciences, Vo. 25, No. 1, Februari 2003. Pace, David (1978), “Structuralism in History and the Social Sciences”, American Quarterly, Volume 30, Issue 3, 282-297. Paeni, Mukhlis (Ed.) (2009), Sejarah Kebudayaan Indonesia: Arsitektur, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
268
Palmer, Richard E. (2005), Hermeneutika, Teori Baru mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Permata, Ahmad Norma (2012), “Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur”, Belajar Hermeneutika, Mulyono, Edi (Editor), IRCiSoD, Yogyakarta. Pevsner, Nikolaus (1976), A History of Building Types, Thames and Hudson Ltd, London. Pijper, G.F. (1992), Empat Penelitian tentang Agama Islam di Indonesia 19301950, UI Press, Jakarta. Prijotomo, Josef (1988), Ideas and Forms of Javanese Architecture, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. ------ dan Rachmawati, Murni (1995), Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Prochazka, Amjad Bohumil (1986), “Introduction to Islamic Architecture”, Architecture of The Islamic Cultural Sphere, MARP, Zurich, Switzerland. Pursal (2010), Arsitektur yang Membodohkan, CSS Publishing, Bandung. Puspatarini, Retno Ayu (2014), “Exploring Dance in Architecture through the Concept of Being-in-the-World”, International Journal of Education and Reseacrh, Vol. 2, No. 7, July 2014. Raap, Olivier Johannes (2015), Kota di Djawa Tempo Doeloe, KPG, Jakarta. Raffles, Thomas Stamford (1965), The History of Java, Oxford University Press, London. Ranggasutrasna, Ngabei (1991), Centhini: Tambangraras-Amongraga Jilid 1 – 4, Balai Pustaka, Jakarta. Rapoport, Amos (1982), The Meaning of the Built Environment: A Nonverbal Communication Approach, Sage Publication, Beverly Hills. Ricoeur, Paul (1981), Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation, Cambridge University Press, Cambridge. ------ (1996), The Hermeneutics of Action, Kearney, R. (editor), Sage Publications, London. ------ (2012), Teori Interpretasi, IRCiSoD, Yogyakarta.
269
Rochym, Abdul (1983a), Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan, Angkasa, Bandung. ------ (1983b), Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, Angkasa, Bandung. Roesmanto, Totok (2007), Pemanfaatan Potensi Lokal dalam Arsitektur Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Rossi, Aldo (1982), The Architecture of the City, The MIT Press, Cambridge. Roth, Leland M. dan Clark, Amanda C. Roth (2014), Understanding Architecture: Its Elements, History, and Meaning, Third ed. Westview Press, Colorado. Rusbiantoro, Dadang (2001), Bahasa Dekonstruksi ala Foucault dan Derrida, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Rusmana, Dadan (2014), Filsafat Semiotika, Pustaka Setia, Bandung. Saksono, Widji (1995), MengIslamkan Tanah Jawa, Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, Mizan, Bandung. Salam, Solichin (1960), Sekitar Walisongo, Menara Kudus, Kudus. ------ (1967), Dja’far Shadiq Sunan Kudus, Menara Kudus, Kudus. ------ (1977), Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam, Menara Kudus, Kudus. ------ (1994), Kudus Selayang Pandang, Menara Kudus, Kudus. Salura, Purnama (2007), Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda, Cipta Sastra Salura, Bandung. ------ dan Fauzy, Bachtiar (2012), ”The Ever-rotating Aspects of Function-FormMeaning in Architecture”, Journal of Basic and Applied Scientific Research, TextRoad Publication, 2(7)7086-7090. ------ (2015), Sebuah Kritik : Arsitektur Yang Membodohkan, Gakushudo, Jakarta. Santosa, Iman Budhi (2012), Spiritualisme Jawa, Memayu Publishing, Yogyakarta. Sebeok, Thomas A. (2001), Sign: An Introduction to Semiotics, University of Toronto Press, Toronto. Shirazi, M. Reza (2014), Towards an Articulated Phenomenological Interpretation of Architecture, Routledge, New York.
270
Simon, Hasanu (2008), Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Simuh (1995), Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Bentang Budaya, Yogyakarta. ------ (1988), Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, UI-Press, Jakarta. Siwalatri, Ni Ketut Ayu, Prijotomo, J., Setijanti, P. (2013), “Universalitas Versus Lokalitas untuk Identitas Sebuah Tempat”, Prosiding Seminar Nasional "Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara", Universitas Udayana, Kamis 10 Oktober 2013. Smeets, Rieks (2006), “Sacred Sites as Cultural Spaces”, Proceedings of The Tokyo Symposium, UNESCO-MAB. Smithies, K.W. (1981), Principles of Design in Architecture, Van Nostrand Reinhold Company, New York. Sobur, Alex (2013), Filsafat Komunikasi : Tradisi dan Metode Fenomenologi, Remaja Rosdakarya, Bandung. Soderqvist, Lisbeth (2011), “Structuralism in Architecture”, Journal of Aesthetics & Culture, Vol. 3, 2011. Soekmono (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan 1 – 3, Kanisius, Yogyakarta. Soesilo (2002), Ajaran Kejawen: Philosofi dan Perilaku, Yayasan Yusula, Jakarta. Sofwan, Ridin (2004), “Para Wali Mengislamkan Tanah Jawa”, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Anasom (editor), Gama Media, Yogyakarta. Stutterheim, W.F. (1927), ”Moskee-Onderzoek in den Archipel”, Djawa, 7 de jrg, Surakarta. Sudjana, T.D. (2003), Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan Mistiknya, Humaniora Utama Press, Bandung. Sujamto (1992), Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Dahara Prize, Semarang. Sulendraningrat, P.S. (1985), Sejarah Cirebon, Balai Pustaka, Jakarta. Sumalyo, Yulianto (2000), Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
271
Sumaryono, E., (1999), Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta. Sunyoto, Agus ( tt ), Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa Abad 14 - 15, LPLI-Sunan Ampel, Surabaya. ------ (2011), Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Transpustaka, Jakarta. Sutiyono (2013), Poros Kebudayaan Jawa, Graha Ilmu, Yogyakarta. ------ ( tt ), “Tradisi Masyarakat sebagai Kekuatan Sinkretisme di Trucuk, Klaten”, (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131808675/Humaniora-UNY.pdf, diakses 26 Juni 2013). Suwaryadi, P. (1981), Sejarah Indonesia Lama, Krida, Solo. Syafwandi (1985), Menara Masjid Kudus dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur, Bulan Bintang, Jakarta. Syamlawi, Ichsan (1983), Keistimewaan Masjid Agung Demak, Saudara Salatiga, Salatiga. Taghizadeh, Ali (2013), “A Theory of Literary Structuralism (in Henry James)”, Theory and Practice in Language Studies, Vol. 3, No. 2, pp. 285-292, February 2013, ISSN 1799-2591. Teske, Raymond H.C. dan Nelson, Bardin H. (1974), “Acculturation and Assimilation: A Clarification”, Journal of American Ethnologist, Vo. 1, No. 2, May 1974, 351-367. The New American Library (1957), On Love, The Family, and The Good Life: Selected Essays of Plutarch. The College Board (2013), What is an example of Syncretism in world history? (https://squalicum.bellinghamschools.org/sites/default/files/squalicum/akisr/ diakses 18 Oktober 2015). Thibault, Paul J. (1997), Re-reading Saussure: The Dynamics of Signs in Social Life, Routledge, London. Tjahjono, Gunawan (1989), “Cosmos, Center, and Duality in Javanese Architectural Tradition : The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kota Gede and Surroundings”, Laporan Disertasi. University of California, Berkeley. Tjandrasasmita, Uka (2000), Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Menara Kudus, Kudus.
272
Trachtenberg, Marvin dan Hyman, Isabelle (1986), Architecture: From Prehistory to Post-Modernism, Academy Editions, London. Trancik, Roger (1986), Finding Lost Space, Van Nostrand Reinhold Company, New York. van de Ven, Cornelis (1991), Ruang dalam Arsitektur. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Venturi, Robert (1977), Complexity and Contradiction in Architecture, The Museum of Modern Art, New York. von Henneberg, Krystyna (1996), “Imperial Uncertainties: Architectural Syncretism and Improvisation in Fascist Colonial Lybia”, Journal of Contemporary History, Vol. 31 (1996), 373-395). Vuckovic, Slavica Stamatovic (2013), “ Architectural Communication: Intra and Extra Activity of Architecture”, Spatium International Review, UDC 7201: No. 29, July 2013, pp. 68-74. Whyte, William (2006), “How do Building Mean ? Some Issues of Interpretation in the History of Architecture”, Journal of History and Theory Volume 45 (May 2006) 153-177, Wesleyan University. Widodo, Sutedjo K., Alamsyah, M., Indrahti, S., Maziyah, S., dan Amaruli, R.J. (2014), Sunan Muria Today, Tigamedia Pratama, Semarang. Wirjosuparto, Sutjipto (1962), “Sejarah Bangunan Mesjid di Indonesia”, Almanak Muhammadiyah, Tahun 1381 H, No. XXI, Majelis Taman Pustaka, Jakarta. Wiryapanitra (1993), Babad Tanah Jawa, Dahara Prize, Semarang. Wiryoprawiro, Zein M. (1986), Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, Bina Ilmu, Surabaya. Woodward, Mark R. (1989), Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, University of Arizona Press, Tucson. Yahya, Ismail (2009), Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam, Inti Medina, Jakarta. Yegen, Ceren dan Abukan, Memet (2014), “Derrida and Language: Deconstruction”, International Journal of Linguistics, ISSN 1948-5425, 2014, Vol. 6, No. 2. Yudoseputro, Wiyoso (1986), Pengantar Seni Rupa Islam di Indonesia, Angkasa, Bandung.
273
Zevi, Bruno (1957), Architecture as Space, Horizon Press, New York. Zoest, Aart van (1993), Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya, Yayasan Sumber Agung, Jakarta. Zoetmulder, P.J. (1990), Manunggaling Kawula Gusti:Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Al-Rodhan, Nayef R.F. 2006. Definitions of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed Definition. Geneva Centre for Security Policy, pp. 1-21. https://www.wh.agh.edu.pl/(accessed Oktober 14, 2015). Bacchetta, Mark and Jansen, Marion. 2011. Making Globalization Socially Sustainable. Geneva: ILO and WTO. Mrak, Mojmir. 2000. Globalization: Trends, Challenges and Opportunities for Countries in Transition. Vienna: United Nations Industrial Development Organization. https://www.mgimo.ru/ (accessed Oktober 14, 2015). Wardhono, Uniek Praptiningrum. 2011. Fenomena Pemilihan Bahan Bangunan Pada Hunian di Surabaya dan Permukiman di Kali Code. Jurnal Arsitektur KOMPOSISI. Vol. No. 1 April 2011. Wirawati, Sylvie. 2011. Penggunaan Teknologi Bahan Inovatif pada Pembangunan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional AVoER ke-3. Palembang, 26-27 Oktober 2011.
274