LAPORAN PENELITIAN PF
MAKNA BENTUK PADA ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK DENGAN PRINSIP INKULTURASI
Oleh : Ir. Joyce M.Laurens, M.Arch. IAI
ARSITEKTUR/FTSP UNIVERSITAS KRISTEN PETRA SURABAYA Juli, 2014
Halaman Pengesahan 1
Judul Penelitian
2
Ketua Peneliti: a. Nama Lengkap dan Gelar b. Jenis Kelamin c. NIP d. Jabatan Fungsional e. Jurusan/Fakultas/Pusat Studi f. Telepon kantor & HP g. E-mail h. Alamat Rumah Jumlah Anggota Peneliti a. Nama Anggota Peneliti I Fakultas/Jurusan b. Nama Anggota Peneliti II Fakultas/Jurusan Lokasi Penelitian Institusi lain yang bekerjasama Jangka Waktu Penelitian Biaya yang diusulkan a. Sumber dari UK Petra b. Sumber lainnya Total
3
4 5 6 7
: Makna Bentuk Arsitektur Gereja Katolik dengan Prinsip Inkulturasi : ir.Joyce M.Laurens, M.Arch., IAI : L/P : 99035 : Lektor Kepala : Arsitektur/FTSP : 031-298 3382 :
[email protected] : Puri Indah J-03, Sidoarjo :: : : : : Surabaya :: 4 bulan : Rp. 3.900.000,:: Rp. 3.900.000,-
Surabaya, 15 Juli 2014
Mengetahui, Ketua Jurusan
Ketua Peneliti
(Eunike Kristi Julistiono, ST. M.Des.Sc.) NIP: 04001
(ir.Joyce M.L., M.Arch.) NIP: 99035
Menyetujui: Dekan Fakultas
(Timoticin Kwanda, BsC., MRP., PhD.) NIP: 88002
Ringkasan Sejak masuknya arsitektur gereja ke Indonesia pada abad 7, bentuk arsitektur gereja telah mengalami perubahan yang signifikan. Melalui proses inkulturasi, arsitektur gereja di Indonesia mengalami transformasi. Interaksi yang terjadi antara agama Kristen dengan budaya masyarakat setempat, mempengaruhi pertumbuhan arsitektur gereja sehingga semakin meninggalkan bentuk arsitektur Gotik dan semakin bernafaskan arsitektur setempat. Arsitektur Gotik yang selama ini menjadi rujukan penting dalam perancangan arsitektur gereja, sarat dengan makna yang berkaitan dengan misi dan hakekat agama Katolik di satu sisi, dan di sisi lain pengaruh dan perkembangan budaya masyarakat barat. Bangunan gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran, adalah satu bentuk perwujudan lahiriah dari proses inkulturasi dalam agama Katolik, di mana Gereja belajar dari budaya setempat dan memperkaya diri dengan nilai-nilai setempat. Penelitian ini bertujuan
mengungkap dinamika makna yang terkandung dalam arsitektur religius dengan kasus studi Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran, dalam bentuknya yang dipengaruhi oleh budaya setempat. Studi ini diharapkan dapat memberi manfaat pada pengetahuan teori arsitektur religius, khususnya arsitektur gereja di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif, analitis dan interpretatif berdasarkan pada bukti empiris yang ditemukan pada kasus studi. Pendekatan yang akan digunakan berlandas pada teori relasi bentuk-fungsi dan makna. Kata kunci: arsitektur gereja, bentuk, makna, inkulturatif
DAFTAR ISI Lembar Judul …...…………………………………………………………………….
i
Halaman pengesahan …………………………………………………………………
ii
Ringkasan …………………………………………………………………………….
iii
Daftar isi ……………………………………………………………………………..
iv
Bab I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang …………………………………………………………….
1
2. Premis ……………………………………………………………………....
2
3. Pertanyaan Penelitian ……………………………………………………….
3
4. Lingkup Penelitian dan Kasus Studi ………………………………………...
3
5. Tujuan Penelitian …………………………………………………………...
4
6. Manfaat Penelitian …………………………………………………………..
4
Bab II. TINJAUAN PUSTAKA 1. State of the art …………………………………………………………..…...
5
2. Inkulturasi dalam Gereja Katolik ……………………………………………
6
3. Relasi Bentuk-Fungsi-Makna ……………………………………………...
10
4. Makna Ruang Sakral ………………………………………………………. 15 Bab III. METODE PENELITIAN 1. Alur Pikir …………………………………………………………………... 17 2. Metode Penelitian ………………………………………………………….. 18 Bab IV. DISKUSI DAN PEMBAHASAN 1. Sejarah Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran …………….. 19 2. Ruang Luar Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran ………. 20 3. Massa bangunan Asitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran ….... 23 4. Makna Sakral Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran ……... 28 Bab V. RANGKUMAN ……………………………………………………………... 31 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 32 DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………. 34
Halaman Pengesahan 1
Judul Penelitian
2
Ketua Peneliti: a. Nama Lengkap dan Gelar b. Jenis Kelamin c. NIP d. Jabatan Fungsional e. Jurusan/Fakultas/Pusat Studi f. Telepon kantor & HP g. E-mail h. Alamat Rumah Jumlah Anggota Peneliti a. Nama Anggota Peneliti I Fakultas/Jurusan b. Nama Anggota Peneliti II Fakultas/Jurusan Lokasi Penelitian Institusi lain yang bekerjasama Jangka Waktu Penelitian Biaya yang diusulkan a. Sumber dari UK Petra b. Sumber lainnya Total
3
4 5 6 7
: Makna Bentuk Arsitektur Gereja Katolik dengan Prinsip Inkulturasi : ir.Joyce M.Laurens, M.Arch., IAI : L/P : 99035 : Lektor Kepala : Arsitektur/FTSP : 031-298 3382 :
[email protected] : Puri Indah J-03, Sidoarjo :: : : : : Surabaya :: 4 bulan : Rp. 3.900.000,:: Rp. 3.900.000,-
Surabaya, 15 Juli 2014
Mengetahui, Ketua Jurusan
Ketua Peneliti
(Eunike Kristi Julistiono, ST. M.Des.Sc.) NIP: 04001
(ir.Joyce M.L., M.Arch.) NIP: 99035
Menyetujui: Dekan Fakultas
(Timoticin Kwanda, BsC., MRP., PhD.) NIP: 88002
Ringkasan Sejak masuknya arsitektur gereja ke Indonesia pada abad 7, bentuk arsitektur gereja telah mengalami perubahan yang signifikan. Melalui proses inkulturasi, arsitektur gereja di Indonesia mengalami transformasi. Interaksi yang terjadi antara agama Kristen dengan budaya masyarakat setempat, mempengaruhi pertumbuhan arsitektur gereja sehingga semakin meninggalkan bentuk arsitektur Gotik dan semakin bernafaskan arsitektur setempat. Arsitektur Gotik yang selama ini menjadi rujukan penting dalam perancangan arsitektur gereja, sarat dengan makna yang berkaitan dengan misi dan hakekat agama Katolik di satu sisi, dan di sisi lain pengaruh dan perkembangan budaya masyarakat barat. Bangunan gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran, adalah satu bentuk perwujudan lahiriah dari proses inkulturasi dalam agama Katolik, di mana Gereja belajar dari budaya setempat dan memperkaya diri dengan nilai-nilai setempat. Penelitian ini bertujuan
mengungkap dinamika makna yang terkandung dalam arsitektur religius dengan kasus studi Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran, dalam bentuknya yang dipengaruhi oleh budaya setempat. Studi ini diharapkan dapat memberi manfaat pada pengetahuan teori arsitektur religius, khususnya arsitektur gereja di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif, analitis dan interpretatif berdasarkan pada bukti empiris yang ditemukan pada kasus studi. Pendekatan yang akan digunakan berlandas pada teori relasi bentuk-fungsi dan makna. Kata kunci: arsitektur gereja, bentuk, makna, inkulturatif
DAFTAR ISI Lembar Judul …...…………………………………………………………………….
i
Halaman pengesahan …………………………………………………………………
ii
Ringkasan …………………………………………………………………………….
iii
Daftar isi ……………………………………………………………………………...
iv
Bab I. PENDAHULUAN 7. Latar Belakang ……………………………………………………………..
1
8. Premis ……………………………………………………………………....
2
9. Pertanyaan Penelitian ……………………………………………………….
3
10. Lingkup Penelitian dan Kasus Studi ………………………………………...
3
11. Tujuan Penelitian …………………………………………………………...
4
12. Manfaat Penelitian …………………………………………………………..
4
Bab II. TINJAUAN PUSTAKA 5. State of the art …………………………………………………………..…...
5
6. Inkulturasi dalam Gereja Katolik ……………………………………………
6
7. Relasi Bentuk-Fungsi-Makna ……………………………………………...
10
8. Makna Ruang Sakral ………………………………………………………. 15 Bab III. METODE PENELITIAN 3. Alur Pikir …………………………………………………………………... 17 4. Metode Penelitian ………………………………………………………….. 18 Bab IV. DISKUSI DAN PEMBAHASAN 5. Sejarah Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran …………….. 19 6. Ruang Luar Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran ………. 20 7. Massa bangunan Asitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran ….... 23 8. Makna Sakral Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran ……... 28 Bab V. RANGKUMAN ……………………………………………………………... 31 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 32 DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………. 34
BAB I PENDAHULUAN I.1.
Latar Belakang Perubahan selalu terjadi di manapun manusia berada, termasuk pada arsitektur.
Sejarah menunjukkan bahwa arsitektur di Indonesia telah membuka diri terhadap pengaruh budaya lain. Tekanan dari luar seperti globalisasi, merupakan tantangan jaman yang bersifat ancaman sekaligus peluang. Global paradox [1], menunjukkan semakin kuat tekanan global, semakin kuat pula potensi lokal. Perkembangan kekuatan arsitektur lokal juga terlihat pada bentuk arsitektur gereja Katolik di Indonesia. Pada awal kehadirannya di Indonesia, bentuk bangunan gereja merujuk pada bentuk arsitektur Romanesk, Gotik, Renaisans dan Barok di Eropa Barat dan Tengah, -dengan bentuk atap yang pipih, lancip menjulang tinggi, tampil mencolok di tengah lingkungannya-. Namun dalam perkembangannya kini semakin banyak arsitektur Gereja Katolik di Indonesia yang meninggalkan ciri-ciri arsitektur Gotik tersebut; dan semakin bernafaskan arsitektur setempat. Evolusi dari bentuk langgam arsitektur gereja ini tidak selalu berada dalam garis lurus dari jaman ke jaman. Seperti halnya rumah yang berbeda satu sama lain karena iklim, budaya, jaman, kebutuhan penghuni, kemampuan ekonomi penghuni, dsb., demikian pula dengan arsitektur gereja. Keragaman budaya terekspresikan dalam keragaman langgam arsitektur, bentuk karya seni gereja dan sampai batas tertentu dalam bentuk ritus liturgial dengan sejumlah adaptasi budaya. Tradisi Katolik yang sungguh katolik, yaitu universal, menunjukkan adanya keragaman langgam. Setelah kebangkitan Kristus, para pengikutnya berkumpul di rumah-rumah untuk merayakan upacara “pemecahan roti”. Rumah-rumah itu kemudian menjadi tempat peribadatan di abad kedua dan ketiga. Kemudian lahir bentuk Basilika sebagai arsitektur gereja di jaman Romawi dan Byzantine, yang segera menjadi bentuk rujukan bagi arsitektur gereja di Eropa barat, bahkan bentuk tersebut masih banyak dijadikan standard arsitektur gereja dewasa ini, meskipun berbagai bentuk baru muncul di era modern dan pasca modern. Sebagai sebuah artefak, arsitektur adalah produk budaya yang berkembang melalui proses dalam waktu yang panjang, sesuai dengan konteks setempat. Pada setiap
jaman, gereja dibangun sebagai respons komunitas Kristen dalam mengekspresikan dirinya dalam peribadatan. Ekspresi ini berubah sejalan dengan perubahan jaman, yang kemudian
juga
mempengaruhi
bentuk
ruang
peribadatan.
Arsitektur
Gotik
menggambarkan kondisi masyarakatnya pada saat itu, yaitu saat masa kegelapan telah digantikan
oleh
kemapanan
dan
kesejahteraan,
sehingga
arsitektur
Gotik
menggambarkan kegembiraan dan pengabdian tanpa pamrih pada Tuhan dan Gereja. Dalam setiap jaman, kerapkali muncul keinginan para jemaat atau komunitas Kristen untuk mempunyai arsitektur gereja yang merujuk pada langgam arsitektur gereja pada era sebelumnya. Tentu kita harus belajar dari masa lalu, namun dengan pemahaman yang diperbarui mengenai cara orang mengalami kehadiran Kristus dalam liturgi dan berpartisipasi dalam misteri keselamatanNya, kita disadarkan pada kenyataan bahwa tidak setiap langgam arsitektur gereja mendukung dan meningkatkan pemahaman kita saat ini pada derajat yang sama. Kondisi masyarakat Indonesia tentu berbeda dengan kondisi masyarakat Eropa di jaman Gotik tersebut sehingga menjadi hal yang menarik untuk ditelaah lebih dalam mengenai hubungan makna dengan bentuk arsitektur gereja Katolik di Indonesia pada masa setelah Konsili Vatikan II, dengan dicanangkan mengenai inkulturasi oleh institusi Gereja Katolik sebagai proses di mana Gereja Katolik belajar dari budaya setempat dan memperkaya diri dengan nilai-nilai setempat. Inkulturasi dalam arsitektur gereja, sejalan dengan pernyataan bahwa keunikan lokal yang tersingkir dari wacana arsitektur modern, mulai mendapat perhatian dari para praktisi dan teoretisi di bidang arsitektur, karena tradisi lokal dianggap memiliki tata nilai dan makna yang sangat kaya [2]. I.2.
Premis Pemahaman mengenai makna yang diterima dan dikenali seseorang dalam
sebuah lingkungan arsitektur, menjadi penting karena keberhasilan sebuah karya arsitektur tidak dapat dilepaskan dari bagaimana seseorang memaknai lingkungan yang dialaminya tersebut, dan memahami makna yang ada di balik wujud arsitektur tersebut. Kenyataan yang ada, proses inkulturasi telah terjadi pada arsitektur Gereja Katolik di Indonesia. Inkulturasi adalah sebuah proses yang berjalan terus tanpa henti, sepanjang masyarakat hidup dan bereaksi menyikapi perkembangan lingkungan hidupnya.
Berangkat dari kenyataan ini, maka premis dalam penelitian ini adalah bahwa makna yang diterima dan dikenali seseorang dari bentuk inkulturasi arsitektur Gereja Katolik terkait dengan bentuk yang bernafaskan arsitektur setempat, dan nilai sakral arsitektur Gereja Katolik. I.3.
Pertanyaan Penelitian Penelitian ini diawali dengan pertanyaan: a. Apakah yang dimaksud dengan inkulturasi dan bagaimana kaitannya dengan bentuk dan fungsi arsitektur Gereja Katolik?
Penlusuran arti istilah inkulturasi, penelaahan sejarah inkulturasi dalam gereja Katolik, akan mengantar pada pemahaman proses inkulturasi dalam bentuk arsitektur gereja Katolik di Indonesia. Makna arsitektur gereja tidak terlepas dari fungsi dan bentuknya, sehingga pertanyaan selanjutnya adalah: b. Bagaimana cara memahami berbagai makna yang ada di balik bentuk arsitektur Gereja Katolik yang inkulturatif tersebut? Interaksi manusia dengan lingkungan arsitektur melibatkan pemikiran yang abstrak, dan pengalaman tubuh yang konkrit, yang diyakini akan mempengaruhi pembentukan berbagai makna arsitektur Gereja Katolik. Setelah mendapatkan pemahaman mengenai proses pemaknaan arsitektur secara umum, dan berbagai kategori makna yang ada di balik bentuk arsitektur Gereja Katolik secara umum, pertanyaan berikutnya adalah: c. Apa makna di balik bentuk arsitektur Gereja Katolik pada kasus studi? Gereja Katolik selalu melibatkan unsur teologi iman Katolik yang berasal dari kebudayaan barat, dan hal-hal praktis yang terkait dengan konteks kesetempatan, lingkungan fisik maupun kebudayaan masyarakat setempat; dengan demikian berbagai makna yang ada di balik bentuk arsitektur pada objek studi, akan ditelaah dari hal ini. I.4.
Lingkup Penelitian dan Kasus Studi Penelaahan mengenai makna bentuk arsitektur Gereja Katolik dengan prinsip
inkulturasi ini, akan difokuskan pada perihal pemaknaan, bagaimana pengalaman tubuh dan kesadaran intelektual pada pemaknaan bentuk inkulturasi arsitektur Gereja Katolik dapat berjalan bersama dalam konteks ruang sakral, dan konteks budaya masyarakat setempat. Penelitian ini bersifat deskriptif, analitis dan interpretatif, berdasarkan data empiris yang ditemukan pada kasus studi. Meskipun penelitian ini tidak dimaksudkan
untuk menelaah aspek teologis Gereja Katolik, ataupun kebudayaan Jawa, namun lingkup paparan pada fungsi arsitektur Gereja Katolik akan melibatkan aspek teologi Gereja Katolik, serta kebudayaan masyarakat Yogyakarta dan kondisi geografis Yogyakarta. Sebagai kasus studi dipilih arsitektur gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran, Yogyakarta, yang sangat kuat memperlihatkan tatanan dan bentuk dengan ciri arsitektur lokal, yang dibangun dengan semangat inkulturasi. I.5.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengungkap lebih dalam mengenai simpanan pengetahuan
arsitektur lokal tersebut, khususnya mengenai makna pada arsitektur Gereja Katolik di Indonesia, dikaitkan dengan bentuk arsitekturnya yang dipengaruhi oleh arsitektur lokal. I.6.
Manfaat Penelitian Manfaat dan kontribusi penelitian ini adalah pengembangan pengetahuan teoritis
mengenai relasi makna dengan bentuk inkulturasi arsitektur untuk keberlanjutan pengembangan arsitektur setempat dan keberlanjutan arsitektur Gereja Katolik sesuai misi dan hakekat Gereja Katolik, yang meliputi: a. Pemahaman akan bentuk dan makna bentuk inkulturasi arsitektur Gereja Katolik pada kasus studi dalam konteks liturgi dan simbolisasi agama Katolik. b. Pemahaman akan konsep makna bentuk inkulturasi arsitektur Gereja Katolik, dalam konteks arsitektur sakral. Semangat dan proses inkulturasi juga mewujud dalam perencanaan dan desain bentuk arsitektur Gereja Katolik. Pengetahuan tentang hubungan antara bentuk dan makna arsitektur gereja, sebagai bangunan religious merupakan hal penting untuk menentukan arah perkembangan arsitektur gereja di Indonesia, yang tidak lagi mengacu pada arsitektur Gotik, tetapi merujuk pada arsitektur lokal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1.
State of the Art Usaha inkulturasi oleh Gereja Katolik merupakan fenomena budaya yang
menggambarkan pengaruh timbal balik antara Gereja setempat dengan kebudayaan setempat. Studi dan penelitian yang banyak dilakukan terkait permasalahan ini adalah inkulturasi dari sudut pandang teologi Gereja Katolik, sebagai bagian dari aktivitas ritual umat Katolik. Sejumlah penelitian yang menelusuri pengaruh inkulturasi dari aspek budaya, seperti penempatan atau penggunaan ornamen dekorasi bangunan maupun interior arsitektur gereja Kristen dan Katolik, atau penggunaan seni setempat dalam pelaksanaan upacara ritual gerejani-, telah dilakukan. Beberapa penelitian mengenai inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia, pasca Konsili Vatikan II, pada umumnya merupakan penelitian/studi dalam aspek liturgi Gereja, dan bidang seni liturgi, seperti penelitian Sukatmi mengenai unsur-unsur kesenian Jawa dalam inkulturasi Gereja Katolik, sebuah kajian aksiologi mengenai seni pertunjukan dan seni rupa dalam liturgi [3]. Penelitian inkulturasi arsitektur masih sangat terbatas; beberapa penelitian yang ditemukan terkait dengan arsitektur Gereja Katolik di Indonesia adalah: a. “Dominasi Makna Pragmatik YB Mangunwijaya dalam Penerapan Konsep Konsili Vatikan II” [4]. Penelitian ini memfokuskan penelaahan satu bentuk makna pada arsitektur Gereja karya YB Mangunwijaya b.
“Pola Inkulturasi Arsitektur pada Gereja-gereja Katolik dan Protestan di Bali dan Jawa Tengah” [5]. Penelitian ini merujuk pada empat tahapan inkulturasi dalam teori Crollius untuk mendapatkan pola inkulturasi arsitektur.
c.
“Studi Ikonologi Panofsky pada Arsitektur dan Interior Gereja Katolik Inkulturatif Panguruan” [6]. Penelitian ini menelaah makna karya seni Gereja Panguruan lewat ikonografi.
d. “Konsep Ruang Sakral Gereja Katolik dan Perwujudannya dalam Inkulturasi Arsitektur Gereja Katolik di Bali” [7]. Penelitian ini menelaah penerapan konsep sakral masyarakat Bali pada arsitektur Gereja Katolik Penelitian-penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa bentuk arsitektur Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II telah mendapat perhatian, namun penelitian yang menelaah secara mendalam mengenai dinamika makna dari arsitektur gereja Katolik yang inkulturatif sebagai makna yang diterima dan dikenali pengguna berdasarkan pengalamannya atas bentuk inkulturasi arsitektur Gereja Katolik di Indonesia, belum ditemukan. Karena itu penelitian ini diharapkan dapat mengisi studi mengenai makna bentuk arsitektur Gereja Katolik, khususnya pada objek kasus studi gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran. II.2.
Inkulturasi Dalam Gereja Katolik Inkulturasi merupakan istilah populer di kalangan agama Katolik, semenjak
bergulirnya Konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965, yang diwarnai semangat memperbaharui Gereja sesuai tuntutan dunia di masa depan. Proses inkulturasi yang menjadi perhatian utama Gereja Katolik ini merupakan perubahan yang dialami masyarakat dan Gereja, di mana Gereja Katolik dituntut untuk tidak hanya berkontribusi pada kebudayaan setempat, melainkan belajar dari budaya setempat dan memperkaya diri dengan nilai-nilai setempat, agar tidak melahirkan alienasi bentuk gereja yang tidak berakar pada lingkungannya [5]. a. Pengertian Akulturasi Dalam antropologi kebudayaan terdapat dua istilah teknis yang mempunyai akar kata sama yaitu “akulturasi” dan “enkulturasi”. Kata “akulturasi”, cukup lama diartikan sama dengan kata “inkulturasi”, namun sesungguhnya pengertian kedua kata ini berbeda. A.Shorter mengatakan bahwa akulturasi adalah pertemuan antara satu budaya dengan budaya lain, atau pertemuan antara dua budaya (juxtaposition) dengan dasar saling menghormati dan toleransi. Pengertian ini menunjukkan bahwa terjadi “kontak budaya”, yaitu perpaduan kebudayaan apabila sekelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan asing yang berbeda sehingga unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaannya sendiri, tanpa menghilangkan karakter kebudayaan asalnya, atau tidak terjadi dominasi atas salah satu kebudayaan [8],
melainkan terjadi proses penggabungan yang memunculkan kebudayaan baru, namun baru pada tahap dasar eksternal atau kontak luaran [9]. b. Pengertian Inkulturasi Kata “enkulturasi” (atau “inkulturasi”; “en” atau “in” dalam bahasa Yunani, berarti ke dalam, menunjuk pada proses inisiasi seseorang ke dalam kebudayaan sezaman dan setempat). GL Barney, adalah misionaris Protestan yang pertama kali menggunakan kata enculturation, dalam missiology di tahun 1973. Karena bahasa Latin tak ada awalan enmaka dipilih in-, jadilah inculturatio. Barney mengatakan bahwa di tanah misi nilainilai Injil yang adi budya (mengatasi kultur) dan mau diwartakan kepada orang-orang setempat, haruslah diinkulturasikan dalam budaya orang setempat itu sehingga dapat terbentuk satu budaya baru yang bersifat kristen. Secara khusus istilah inkulturasi ini dipakai dalam bidang katekese ketika pada tahun 1975 para anggota sidang umum Serikat Yesus berdiskusi mengenai metode pewartaan. Arrupe, seorang pemimpin umum Serikat Yesus, menggunakan istilah itu dalam bidang katekese ketika beliau berbicara tentang katekese dan inkulturasi di depan para uskup yang membuat sinode tentang katekese pada tahun 1977 di kota Roma. Maka sinode itu memakai istilah inkulturasi dalam dokumen resminya yang berjudul “Pesan kepada umat Allah”. Ditegaskan bahwa warta kristiani harus berakar dalam kebudayaan setempat. Dari uraian di atas, menjadi jelaskan bahwa kata “inkulturasi” mempunyai pengertian yang berbeda dari kata ”akulturasi”. Perbedaan ini pertama-tama karena hubungan antara Gereja dan sebuah budaya tertentu tidak sama dengan kontak antarbudaya, sebab Gereja “berkaitan dengan misi dan hakekatnya, tidak terikat pada suatu bentuk budaya tertentu”. Kecuali itu, proses inkulturasi bukan sekedar suatu jenis „kontak‟, melainkan sebuah penyisipan mendalam, yang dengannya Gereja menjadi bagian dari sebuah masyarakat tertentu. Dengan demikian pengertian “inkulturasi” dalam sebuah agama adalah usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat; merupakan suatu proses “penyisipan mendalam”, proses pengintegrasian pengalaman iman ke dalam kebudayaan setempat sedemikian rupa sehingga pengalaman tersebut tidak hanya
mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan dan memperbaharui kebudayaan bersangkutan. Melalui proses ini Gereja sebagai bagian dari masyarakat setempat, dan kebudayaan dimaknai secara baru dengan kacamata iman Katolik [10]. Paus Yohanes Paulus II menjelaskan inkulturasi sebagai suatu refleksi di mana kebudayaan yang diangkat dari tradisi hidup masyarakat setempat, ekspresi orisinal kehidupan, upacara dan pemikiran Kristen ditransformasikan dan diregenerasi oleh Injil. Kemudian Schineller [11] menambahkan bahwa inkulturasi merupakan transformasi intim dari nilai-nilai kebudayaan autentik melalui integrasinya ke dalam kekristenan serta keberadaan kekristenan dalam berbagai kebudayaan manusia. c. Inkulturasi dalam Gereja Katolik Dalam konteks Gereja Katolik, fenomena inkulturasi terangkat ke permukaan sekitar pertengahan abad ke-20. Gereja Katolik Roma, -yang sempat menuai kritik pasca Konsili Vatikan I karena dinilai anti perubahan-,
melalui Konsili Vatikan II. mendorong proses
inkulturasi, yaitu upaya strukturisasi metodologis yang mengubah keseragaman universal dalam kehidupan meng-Gereja. Gereja dituntut untuk belajar dari budaya setempat dan memperkaya diri dengan nilai-nilai setempat, tidak lagi hanya mengikuti tata atur dunia barat. Dalam konsili tersebut, dibentuk undang-undang Gereja yang baru, yang mendorong terbentuknya Gereja yang melibatkan peran aktif umat melalui liturgi yang mengangkat budaya setempat, yang dimengerti dan dihayati umat. Gereja harus mengakar pada masyarakat pendukungnya
sedemikian rupa sehingga
pengintegrasian pengalaman iman Katolik ke dalam kebudayaan setempat menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan dan memperbaharui kebudayaan yang bersangkutan, seolah-olah menjadi satu ciptaan baru, satu kebudayaan yang dimaknai secara baru dengan kacamata iman Katolik. Dalam kajian teologi agama Katolik, “inkulturasi” kerap disamakan dengan istilah indigenisasi, kontekstualisasi atau inkarnasi [10]. Indigenisasi berarti menjadi dan membaur dengan unsur setempat, sehingga komunitas setempatlah yang memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan ajaran dan praktek agama karena komunitas itulah yang memahami budaya setempat.
Pada tahun 1970 an, D.S.Amalorpavadass menjelaskan bahwa sejarah indigenisasi yang berasal dari kata indigeuous berarti pribumi. Indianisasi meliputi 3 tahap yaitu menciptakan tatanan India untuk peribadatan dengan memperkenalkan tata gerak, bentuk penghormatan, benda suci dan keheningan; membuat terjemahan yang memadai dan menciptakan lagu liturgis baru; menggunakan tempat buku suci India dalam liturgi Sabda. Kontekstualisasi adalah menyatukan ajaran agama ke dalam situasi khusus dalam konteks budaya setempat. World Council of Churches menjelaskan bahwa hidup dan misi Gereja perlu menjadi relevan dengan kondisi masyarakat kontemporer di sekitarnya. Konteks hidup Gereja mencakup pergulatan kebebasan politik, ekonomi, budaya. Konsep perjuangan demi keadilan-sosial memasuki liturgi, dalam bahasa dan simbol lain. Konteks adalah ekspresi vibran dari kebudayaan manusia Inkarnasi bertolak dari ayat Yohanes 1:14, yang berbunyi “sabdaNya telah menjadi daging dan tinggal di dalam kita”. Inkarnasi Gereja lokal mengacu pada inkarnasi Yesus. Hal ini lebih tepat sebagai dasar teologis daripada sinonim untuk adaptasi liturgis. Liturgi tak hanya diadaptasikan tapi juga diinkarnasikan, yang berarti bersatu dengan tradisi dan budaya Gereja lokal. Liturgi baru Konsili Vatikan II, pada akhirnya juga mempengaruhi perancangan arsitektur gereja [12], seperti tercantum dalam pasal 124 Sacrosanctum Concilium:....dalam mendirikan gereja-gereja hendaknya diusahakan dengan saksama, supaya gedung-gedung itu memadai untuk menyelenggarakan upacara-upacara Liturgi dan memungkinkan umat beriman ikutserta secara aktif. Meskipun dokumen ini tidak secara langsung menunjuk pada bentuk arsitektur, namun pada kenyataannya, semangat inkulturasi mempengaruhi bentuk arsitektur Gereja di Indonesia [5, 7, 9].
BUDAYA RELIGIOUS Masyarakat Setempat Arsitektur Setempat
INKULTURASI DALAM ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK
BUDAYA BARAT dalam Agama Katolik Arsitektur Gotik
Gambar 1. Inkulturasi dalam Arsitektur Gereja Katolik
Prinsip keterbukaan dan universal yang diusung Gereja, - bahwa Gereja Katolik tidak identik dengan budaya Eropa-, terlihat pada tatanan liturgis dan juga desain arsitektur gereja, dengan semakin ditinggalkannya ciri-ciri arsitektur Gotik, dan semakin bernafaskan arsitektur setempat. Arsitektur tidak pernah terlepas dari adanya tiga aspek utama yaitu fungsi, bentuk dan makna. II.3.
Relasi Bentuk, Fungsi dan Makna Tatanan ruang aktivitas atau fungsi, keteknikan, dan bentuk merupakan tiga
unsur dalam komposisi arsitektur yang tidak dapat dilepaskan dari konteks tempat. a. Bentuk Arsitektur Gereja Dalam kajian teori arsitektur, Capon dan Salura [13, 14] menempatkan aspek fungsi, bentuk dan makna sebagai aspek yang utama dalam arsitektur. Setiap bentukan arsitektur selalu diawali dengan adanya aktivitas manusia yang menjadi penggerak lahirnya wadah aktivitas tersebut. Hubungan antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya, atau antara satu kelompok aktivitas dengan kelompok aktivitas lainnya terstruktur dalam satu tatanan ruang. Tatanan ini, secara tiga dimensional merupakan aspek bentuk arsitektur. Meskipun tidak ada teori koheren yang menjelaskan dengan gamblang sumber pemberi bentuk arsitektur, namun secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga kelompok teori bentuk. Pertama, teori deterministik yang menekankan pentingnya kekuatan informasi eksternal yang ditangkap oleh perancang. Di sini perancang berperan pasif dalam menemukan kekuatan tersebut. Dalam pandangan ini sebuah bangunan arsitektur dibentuk oleh berbagai tuntutan fungsi fisik, sosial, psikologis, maupun fungsi simbolik yang harus diakomodasikannya, seperti kekuatan nilai-nilai sosial budaya, ekonomi setempat, atau bahkan ditentukan oleh prinsip tatanan yang sudah ada berdasarkan logika geometris. Kelompok kedua adalah kelompok behavioristik yang menekankan pentingnya kondisi transpersonal perancang, di mana perancang berperan secara aktif mengekspresikan imajinasinya untuk kemudian membentuk kesesuaian dengan kondisi lingkungan di luar dirinya. Penganut paham strukturalis mempunyai pandangan yang berlawanan dengan kelompok pertama yang lebih deterministik maupun kelompok behavioristik. Mereka berpendapat bahwa perancang tidak secara pasif menerima informasi eksternal tetapi secara aktif mengolah
informasi eksternal tersebut untuk mendapatkan solusi bagi tuntutan desain dalam tatanan ruang. Bentuk arsitektur Gereja Katolik selalu dilandasi gagasan teologis agama Katolik, yang juga menjadi dasar penerimaan dan penolakan teori atau pemahaman tertentu lainnya. Dalam perwujudannya, arsitektur Gereja Katolik selalu merupakan pencampuran antara hal-hal orthodoxies, yang terkait dengan konsep teologis agama Katolik tersebut, dan hal-hal praktis yang berperan sebagai kekuatan pembentuk perwujudan fisik bangunan gereja.
KONSEP FUNGSI-BENTUK INKULTURASI ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK
LITURGI
SIMBOLISASI
KONTEKS LOKAL
Gereja Katolik
Misi-hakekat agama Katolik
Budaya setempat Iklim-geografis Teknologi, ekonomi
- Pengertian liturgi - Ritus liturgi - Persyaratan wadah liturgi - Perlengkapan liturgi - Inkulturasi liturgikonsili Vatikan II
- Sejarah-simboliasi dalam Gereja Katolik - Pengertian misihakekat agama - Simbolisasi liturgi - Konsep ruang sakral
- Simbol budaya Jawa - Konsep sakral budaya Jawa - Alam-lingkungan DIY - Teknolgi di DIY
Gambar 2. Faktor Pembentuk Arsitektur Gereja Katolik
b. Fungsi Arsitektur Gereja Umat Kristen perlu berhimpun agar bisa beribadat sebagai jemaat, agar bisa memuliakan Allah “dalam roh dan kebenaran” (Yoh 4:21). Liturgi dalam peribadatan merupakan landasan utama penataan ruang dan bentuk arsitektur gereja Katolik. Aktivitas utama yang harus diakomodasi dalam sebuah bangunan Gereja Katolik adalah aktivitas perayaan liturgis, sebagai perayaan iman umat Kristen. Dasar Liturgi (leitourgia) dalam agama Katolik yang berarti “karya publik”, diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya keselamatan Allah. Bentuk wujud kesatuan dengan Kristus yang paling nyata di dunia ini adalah melalui perayaan Ekaristi kudus, umat Katolik menyambut Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Ilahian Kristus, sehingga olehNya kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal.
Dalam Katekismus Gereja Katolik, dan Lumen Gentium 11, “Ekaristi adalah sumber dan puncak seluruh hidup kristiani”. Ekaristi, berasal dari kata Yunani (eucharista) digunakan untuk arti “syukur ”. Dengan demikian, Liturgi merupakan karya bersama antara Kristus-Sang Kepala, dan Gereja yang adalah TubuhNya, sehingga Liturgi Ekaristi menjadi perayaan ritual tertinggi dalam Gereja Katolik. Selain fungsi liturgial, arsitektur gereja juga berperan dalam mengekspresikan misi dan hakekat agama Katolik melalui simbol-simbol keagamaan [15]. Arsitektur gereja harus mampu membawa umat pada keyakinan bahwa mereka memasuki sebuah tempat yang istimewa; yang menyadarkan orang pada kenyataan bahwa mereka memasuki area sakral, di mana Tuhan tinggal (domus Dei = rumah Tuhan), bukan memasuki rumah tinggal biasa, melainkan ruang yang memiliki nilai kosmologis berupa titik pusat orientasi dan berkaitan dengan pengalaman religius, mengandung nilai spiritual, kesucian dan ritual. Hakekat agama Katolik untuk menciptakan komunitas dan rasa kebersamaan, kerukunan membuat gereja harus mampu membentuk keterbukaan dan berperan sebagai media ”katekisasi-tanpa-kata”, atau pembelajaran iman [15]. Simbolisasi kekristenan ini tidak selalu ditampilkan dengan cara yang sama di setiap bangunan gereja Katolik. Transformasi simbolis terjadi melalui adanya pengalaman yang sejalan dengan sosial-budaya masyarakat pendukungnya atau masyarakat setempat dan pada periode tertentu. Di dalamnya terdapat pembentukan simbol-simbol ekspresif yang sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan budaya, namun tidak menyimpang dari kaidah-kaidah gerejani. Kendati landasan liturgi gereja Katolik selalu sama, namun ritusnya sendiri maupun konteks setempat tidak selalu sama, bahkan di tempat yang sama pun, konteksnya tidak pernah statis. Inkulturasi menguatkan peran faktor kontekstual bagi perwujudan bentuk dan makna arsitektur gereja Katolik; sehingga menjadi kekuatan yang berpengaruh dalam pembentukan keanekaan bentuk arsitektur. Faktor konteks kesetempatan meliputi alam, teknologi dan ekonomi, serta budaya. Di lokasi dengan faktor sosial budaya masyarakat yang bersifat lebih homogen dan menganut budaya lokal yang kuat, proses inkulturasi berjalan lebih kuat dibandingkan dengan di lokasi dengan faktor sosial budaya masyarakat yang lebih heterogen seperti di kota-kota besar.
c. Makna dalam Arsitektur Gereja Aspek fungsi selalu berkaitan dengan konteks, aspek bentuk berkaitan dengan struktur dan makna berhubungan dengan interpretasi dari fungsi dan bentuk arsitektur. Dalam uraiannya, Salura [14] menjelaskan bahwa yang membedakan karya arsitektur yang satu dengan lainnya adalah dominasi kepentingan dari salah satu aspeknya. Makna menjadi bagian yang fundamental dalam hidup manusia, karenanya manusia selalu membubuhkan makna pada apapun yang diberikan kepadanya; manusia tidak pernah mendapatkan dalam kesadarannya sesuatu yang tidak bermakna dan dirujuk di luar dirinya. Sebagai bangunan religius, arsitektur gereja mengandung makna-makna keagamaan yang dihasilkan suatu peradaban manusia selama ratusan bahkan ribuan tahun, sehingga arsitektur gereja mempunyai arti lebih dari sekedar ruang pertemuan di mana sejumlah kegiatan diakomodasi, karena ia juga merupakan simbol kehadiran Kristus di dunia dan pengharapan umat di dunia. Gereja ditujukan untuk mengantarkan kebenaran, keyakinan dan membawa para penganutnya kepada tindakan yang diharapkan sesuai hakekat agama Katolik, sehingga arsitektur gereja selalu menjadi simbol kesakralan, ekspresi konsep teologi, membawa makna atau berperan langsung dalam pembentukan sebuah makna bagi komunitas Kristen [16,17]. Makna-makna ini tertuang baik dalam wujud arsitekturnya secara keseluruhan, maupun dalam elemen-elemen simbolik yang ada pada objek arsitekturnya. Bentuk dan tatanan yang masih kuat berlandas pada tradisi merupakan ekspresi dari makna, nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat pada waktu tertentu [18]. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam arsitektur lokal, tema utama terejawantahkan dalam konsep bentuk dan makna serta hubungan saling mempengaruhi di antara keduanya. Perubahan yang terjadi pada masyarakat maupun lingkungannya akan mempengaruhi hubungan bentuk dan makna yang ada. Dalam studi tentang makna, JJ.Gibson [19] menyatakan bahwa makna dikomunikasikan dalam proses persepsi secara langsung, tanpa mediasi. Makna dianggap sudah terkandung dalam stimuli lingkungan, tersedia bagi manusia untuk menyerapnya. Sedangkan Hershberger [20] berpendapat bahwa makna diperoleh melalui mediasi, yaitu dalam proses persepsi dibentuk representasi yang kemudian melahirkan repsons afektif penggunanya. Dari kedua pandangan ini, makna dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Makna pragmatik/fungsional, yang dapat dirasakan umat apabila tatanan ruang
memungkinkan dirinya mengikuti ibadat dengan baik, seperti tatanan ruang ketika umat berdoa, bernyanyi, paduan suara dan musik, yang mampu membawa umat pada suasana kekhusukan beribadat. b. Makna simbolik, terkait dengan simbol kekristenan yang mengandung nilai-nilai sesuai ajaran Katolik, melambangkan misi dan hakekat agama Katolik. Perannya menjembatani hal yang konkrit dengan hal yang transcendental [21]. Makna simbolik yang selalu menjadi bagian pada arsitektur Gereja Katolik, dapat dirasakan umat melalui persepsinya dan keterkaitan dengan simpanan pengetahuannya. Refleksi kebudayaan Jawa, yang dalam semangat inkulturasi mewarnai bentuk arsitektur Gereja Katolik, dan sejalan dengan ajaran Gerejani, akan lebih mudah diterima dan dikenali oleh umat dengan latar belakang kebudayaan setempat. c. Makna poetik. Pada tingkatan ini, arsitektur gereja dapat merepresentasikan makna terdalam kehidupan beragama, yaitu pengalaman mistik, sebuah pengalaman yang menggetarkan sekaligus mengagumkan, ketika umat bersentuhan dengan yang Ilahi dalam liturgi. Struktur alami lingkungan berupa tatanan spasial merupakan makna alami yang secara eksistensial mudah diterima dan dikenali oleh manusia sebagai bentuk artefak, dan dapat diterima dan dikenali secara universal, tanpa terikat pada agama yang dianutnya. Namun, makna yang merupakan produk sosial atau kesepahaman yang berlandaskan budaya, akan mempunyai keterbatasan lingkup penerimaan dan pengenalannya, sehingga lebih dipahami oleh komunitas tertentu. Makna yang melibatkan pengalaman seseorang dalam berarsitektur, terasa pada bangunan yang sarat makna seperti arsitektur Gereja Katolik. Orang dapat mengalami suasana religius sebagai konsekuensi langsung dari pengalamannya yang diasosiasikan dengan kesakralan bangunan gereja dengan semua elemen simboliknya [17, 19].
II.3.
Makna Ruang Sakral Perkembangan bentuk arsitektur Gereja Katolik di berbagai tempat juga
mendapat perhatian dari Paus Benediktus XVI, sebagai pimpinan umat Katolik. Desakralisasi arsitektur Gereja Katolik, merupakan hal yang menjadi keprihatinan lembaga Gereja Katolik [23] terutama pada bentuk arsitektur Gereja dengan langgam modern. Fenomena desakralisasi ini tidak dapat dilepaskan dari perlunya pemahaman akan makna yang ada di balik wujud arsitektur tersebut, karena pemaknaan merupakan hal yang mempengaruhi tindakan manusia dan melibatkan perasaan/emosi manusia. Kata sakral yang berasal dari sacrum (Latin) terkait dengan Tuhan dan kekuatan kuasaNya. Dalam kata ini juga terkandung makna spasial yang menunjuk pada area tertentu. Area sakral merupakan ruang yang memiliki nilai kosmologis berupa titik pusat orientasi dan berkaitan dengan pengalaman religious, mengandung nilai spiritual, kesucian dan ritual. Mircea, membedakan ruang sakral dari ruang profan, pada kepekaan kultural dalam menanggapi kehadiran kekuatan Ilahi [24]. Konsep ini menyatakan bahwa sebuah ruang disebut sakral karena yang Ilahi atau kekuatan supernatural berdiam di dalamnya, dan menggerakkan masyarakat setempat untuk mengorientasikan dirinya pada tempat tersebut. Kesakralan di tempat tersebut berarti kehadiran kekuatan Ilahi yang menggerakkan komunitas untuk mengorientasikan dirinya secara vertikal dan horizontal pada tempat tersebut. Thomas [22] mendefinisikan teori arsitektur sakral, -dalam hal ruang dan tempat-, sebagai pemikiran teologis terstruktur mengenai realitas alam semesta. Teori ini berkaitan dengan konsep mengenai alam dan Tuhan, dogma mengenai hubungannya dengan manusia; yang membawa dampak pada cara orang berpikir tentang ruang dan tempat di dunia ini. Konsep Mircea tersebut dapat dikelompokkan pada teori dasar Sakralis, yang menganggap bangunan dan tempat religius adalah tempat yang suci, sedangkan konsep Thomas termasuk teori dasar Kosmologis, yang memandang bangunan atau tempat tertentu sebagai simbol dari tatanan alam semesta, baik sebagian atau keseluruhannya. Selain kedua kelompok tersebut terdapat teori Sekularis, yang menganggap semua tempat adalah sama, tidak ada perbedaan. Pemikiran Kristen lebih mengacu pada kedua teori dasar pertama.
Dalam pemikiran sakralisme klasik terdapat kategori “sakralisme ritual” yaitu terbentuknya tempat sakral karena adanya ritual sakral, dan “sakralisme penampakan” (theophany) yaitu terbentuknya ruang/tempat sakral karena adanya suatu peristiwa sakral seperti misalnya penampakan Bunda Maria yang terjadi di Lourdes. Kemudian, berkembang pula pemahaman “sakralisme asosiasional”, yang menganggap
ruang
sakral tidak terikat pada tempat tertentu, tetapi pada keberadaan komunitas yang melakukan penyembahan, sehingga kesakralan ruang bersifat temporer. Dalam gereja Katolik, titik pusat orientasi adalah perayaan Ekaristi Kudus [24]. Karena peristiwa ekaristi Kudus adalah peristiwa sakral, maka Sanctuary, tempat di mana Ekaristi Kudus dipersembahkan menjadi pusat ruang sakral dalam tatanan gereja. Umat mengikuti perayaan Ekaristi Kudus di bagian tengah gereja (nave), yang membentang dari area pintu masuk (narthex) ke bagian mimbar di area sanctuary. Melalui ritual liturgi gereja ini lah terjadi pembentukan hirarki kesakralan ruang. Arsitektur gereja selalu menjadi simbol kesakralan, ekspresi konsep teologi, membawa makna atau berperan langsung dalam pembentukan sebuah makna bagi komunitas Kristen [22, 24].
BAB III METODE PENELITIAN
III.1. Alur pikir Langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Gambar 3 Kerangka penelitian a. Langkah 1: Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka dilakukan penelaahan mengenai pemahaman tentang arti inkulturasi, sejarah inkulturasi dan hubungannya dengan arsitektur gereja Katolik b. Langkah 2: Melakukan penelaahan mengenai pemaknaan dalam arsitektur secara umum melalui literatur yang relevan, meliputi landasan teoritik proses pemaknaan arsitektur, pengertian relasi makna dengan bentuk dan fungsi arsitektur. Kemudian mengidentifikasi pemahaman ini pada obyek arsitektur Gereja Katolik yang dijadikan objek studi c. Langkah 3: Membangun kerangka analisis untuk membaca makna bentuk inkulturasi
arsitektur
Gereja
Katolik
secara
menyeluruh.
Kemudian
menerapkannya dalam pengujian obyek kasus studi, melalui analisis teoritis dan data empiris. d. Langkah 4: Membuat interpretasi hasil temuan terkait makna bentuk obyek kasus studi dengan mengacu pada tujuan dan pertanyaan penelitian.. III.2. Metode Penelitian Kajian mengenai makna arsitektural religious pada arsitektur gereja ini akan berpumpun pada faktor pengaruh, proses keterkaitan dan konteks budaya yang merupakan rujukan bagi perancangan bentuk dan pemaknaan arsitektur gereja Katolik. Metode yang akan digunakan bersifat deskriptif, analitis dan interpretatif berdasarkan bukti empiris yang ditemukan pada objek studi melalui paparan kondisi lingkungan fisik, latar belakang kesejarahan, pelaksanaan upacara liturgial dan pengaruh-pengaruh luar lain.
BAB IV DISKUSI DAN HASIL PEMBAHASAN
IV.1.
Sejarah Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran Gereja Hati Kudus Yesus, terletak di kabupaten Bantul, 17 km selatan kota
Yogyakarta. Gereja ini memiliki 8000 umatyang tersebar di 27 wilayah yang teriri atas 54 lingkungan. Gereja ini dibangun pada tahun 2009 di atas lahan seluas 2.5 ha. Di atas lahan ini juga terdapat bangunan pastoran, ruang pertemuan, candi dan pelataran terbuka, dikenal sebagai Mandala Hati Kudus Tuhan Yesus Berawal dari sebuah gereja kecil yang dibangun pada 16 April tahun 1924 oleh keluarga Schmutzer, manager pabrik gula Ganjuran Gondanglipuro, sebagai ungkapan syukur mereka kepada Hati Kudus Yesus, dan sebagai bentuk pelaksanaan ajaran sosial Gereja (rerum novarum) oleh keluarga Schmutzer, dengan memperlakukan buruhburuh pekerja pabrik gula sebagai rekan/sahabat mereka, berbagi hasil kerja dan menyediakan fasilitas bagi mereka, termasuk fasilitas peribadatan [25]. Pada tahun 1927 mulai dibangun sebuah candi sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan yang melimpah; menggambarkan kedamaian dan keadilan Tuhan atas tanah itu. Di dalam candi ditempatkan patung Hati Kudus Yesus dan sekaligus Kristus Raja, dan dinamakan candi Hati Kudus Yesus (seperti tertulis dalam candi “Sampeyan Dalem Maha Prabu Yesus Kristus Pangeraning para Bangsa”, Engkaulah Kristus Raja Tuhan segala bangsa). Berbeda dengan candi yang dibangun dengan mengadopsi langgam HinduJawa, bentuk bangunan arsitektur gereja pada awal pendiriannya itu mengacu pada bentuk arsitektur gereja di Eropa barat, tempat keluarga Schmutzer berasal. Selama perang militer kedua antara Indonesia dan Belanda, pabrik gula Ganjuran Gondanglipuro dibumi-hanguskan, akan tetapi candi dan gereja Hati Kudus Yesus masih tersisa dan masih tumbuh bersama dengan anggota jemaat Gereja sampai sekarang. Sesuai dengan perkembangan umat, bangunan gereja sempat mengalami perluasan-pengembangan sebelum rusak total akibat gempa bumi pada tahun 2006, dan dibangun kembali pada tahun 2009 dengan bentuk arsitektur yang samasekali berbeda
dari bentuk asalnya. Bentuk gereja yang baru ini mengambil sosok arsitektur setempat/arsitektur Jawa (Gambar 4).
Gambar 4 Tampak Gereja Sebelum dan Sesudah Gempa Bumi tahun 2006 Sumber: Dokumentasi Gereja Ganjuran
IV.2.
Ruang Luar Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran Tatanan arsitektur dibentuk oleh elemen-elemen geometris yang secara visual
dapat ditangkap/dikenali penggunanya melalui penginderaannya, dan juga oleh prinsipprinsip tatanan (formal abstract), baik pada tatanan ruang luarnya maupun massa bangunannya. Gereja Hati Kudus Yesus dibangun dengan konteks yang tidak terkait dengan bentuk desa setempat, dan lebih merupakan prakarsa individu keluarga Schmutzer, pemilik pabrik gula Gondanglipuro di mana Gereja Katolik Hati Kudus Yesus tersebut didirikan, sebagai bentuk pelayanan ajaran sosial yang dilakukan keluarga Schmutzer bagi karyawan pabrik gula miliknya. Pemilihan lokasi gereja bukan karena dipengaruhi oleh nilai-nilai lokal melainkan karena alasan kepemilikan lahan. Dalam pemahaman masyarakat Jawa, diperlukan batas yang jelas antara bangunan rumah dan halaman sebagai mikrokosmos dengan bagian luar sebagai makrokosmos dan oleh karenanya pembatas memiliki peran yang penting sebagai penanda peralihan antara bagian dalam dan luar bangunan.
Gambar 5 Tapak Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran, Yogyakarta Sumber: http://www.google.maps
Di dalam kompleks Gereja Hati Kudus Yesus (Gambar 5), selain gedung gereja juga terdapat sejumlah fungsi lain yang berkaitan dengan kegiatan gereja seperti candi hati Kudus Yesus sebagai tempat peziarah berdoa, pastoram, dan ruang kegiatan sosial gereja; maupun fungsi yang tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan liturgi seperti rumah sakit St. Elizabeth, dan makam. Terdapat sejumlah pintu masuk ke dalam kompleks ini, namun bentuk pintu gerbang utama yang langsung menuju ke pelataran gereja Hati Kudus Yesus, mempunyai bentuk yang lebih erat kaitannya dengan bentuk candi Hati Kudus Yesus, yang dipengaruhi oleh arsitektur Hindu, daripada arsitektur Jawa; kecuali tulisan berbahasa Jawa (“Berkah Dalem”) yang nampak dicantumkan pada dinding gerbang (Gambar 6). Pelataran depan gereja berperan terutama sebagai ruang publik, di mana umat dapat saling bertegur sapa sebelum dan sesudah mengikuti liturgi. Pelataran juga menjadi ruang terbuka yang mempunyai akses langsung ke pelataran candi Hati Kudus Yesus di sisi timur, di mana umat melakukan ziarah, berdoa dan menjalankan berbagai prosesi seperti ibadat „jalan salib‟.
Gambar 6 Gerbang Masuk ke Pelataran Gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran
Sejak memasuki kompleks Gereja Hati Kudus Yesus ini, umat diantar untuk merasakan pengalaman ruang yang terkait dengan ritus keagamaan; yaitu menuju ke bangunan gereja untuk mengikuti berbagai upacara liturgial, menuju ke candi untuk berziarah, ataupun ke gua Maria untuk berdoa. Kegiatan arak-arakan seperti saat perayaan minggu Palma, Paskah, ataupun devosi sakramen MahaKudus dilakukan dari luar menuju ke dalam gereja. Prosesi “jalan salib” dapat dilaksanakan di luar gereja, yang ditandai dengan deretan stasi pemberhentian yang terpasang di sepanjang sisi pelataran candi, serta keberadaan gua Maria. Makna pragmatis dari tatanan ruang luar gereja akan semakin dapat dirasakan umat, ketika seluruh kegiatan keagamaan tersebut dapat dilakukannya dengan kekhusukan tanpa gangguan yang berarti.
Gambar 7 Candi dan Sumber Air ”Perwitasari” Sumber: http://www.google.maps
Gambar 8 Upacara di Pelataran Candi Hati Kudus Yesus Sumber: http://www.google.maps
IV.3.
Masa Bangunan Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran Bentuk arsitektur gereja Hati Kudus Yesus sangat dipengaruhi bentuk arsitektur
keraton Yogyakarta, dalam hal bentuk geomteris, maupun elemen-elemennya. a. Geometri massa bangunan Arsitektur gereja Hati Kudus Yesus yang diposisikan seperti pendopo (pendhopo) pada rumah Jawa dengan bentuk Joglo Lambangsari [26] dengan skala, proporsi yang menjadikannya tampil dominan dalam kompleks gereja. Dominasi bentuk dasar arsitektur barat pada konfigurasi denah gereja yang umumnya berbentuk salib, tidak nampak pada gereja Hati Kudus Yesus, sebaliknya digunakan pola dasar denah sebuah bangunan pendopo. Demikian pula bentuk arsitektur Gotik dengan ciri-ciri atap pipih meruncing yang menjulang dengan dinding massif tidak lagi tampak
Gambar 9 Geometri Ruang Penunjang dan Gereja Katolik Hati Kudus Yesus
b. Elemen Pembentuk Ruang Seperti halnya sebuah pendopo yang berupa denah terbuka, gereja Hati Kudus Yesus yang berbentuk pednopo ini tidak memiliki gerbang formal sebagai pintu masuk ke dalam bangunan. Keterbukaan ruang sangat dominan, atau derajat keterlingkupan ruang gereja sangat rendah dengan hanya memiliki bidang masif pada sisi utara, sedangkan pada sisi lain hampir seluruhnya terbuka. Empat buah tiang penyangga (soko guru) pada Rumah Joglo yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api dan udara, dan keempatnya dipercaya orang Jawa akan memperkuat rumah secara fisik maupun mental penghuni rumah tersebut, juga ditemui pada gereja Hati Kudus Yesus (Gambar 10). Batas ruang gereja adalah peninggian lantai berundak, jajaran kolom dan naungan teritisan, yang membentuk pelingkup ruang secara maya. Meskipun tidak terdapat pintu gerbang masuk secara formal, namun penempatan „cawan air suci‟, -yang digunakan umat saat memasuki ruang gereja-, pada posisi tertentu di sisi selatan dan timu, serta penyusunan kursi dalam ruang gereja, secara fungsional membatasi akses ke dalam ruang pendopo dan membentuk jalan masuk ke dalam gereja.
Gambar 10 Ruang Dalam Gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran Langit-langit gereja, mempunyai pola menyerupai pola langit-langit Rumah Joglo Lambangsari, yaitu mengikuti kemiringan atap pada sisi bawah, dan datar pada bagian tengah di atas pilar-pilar (soko guru). Langit-langit (uleng-ulengan) pada pendopo keraton Yogyakarta disangga oleh balok tumpangsari lima tingkat, dilengkapi dengan banyak hiasan ukiran dan warna yang mengandung makna simbolik. Demikian pula pada gereja Hati Kudus Yesus, keberadaan tumpang sari dilengkapi dengan hiasan dan warna-waran simbolis yang melambangkan kebenaran sejati.
c. Ornamen bangunan. Seperti halnya pada pendopo keraton Yogya, ornamen di gereja Hati Kudus Yesus juga ditemukan pada berbagai elemen bentuk arsitektur, yang mengandung makna-makna simbolik, menurut kebudayaan Jawa maupun agama Katolik [27] seperti misalnya pada atap, terdapat wuwung kembang turen dan banyu tumetes. Wuwung kembang turen melambangkan kewibawaan yang tinggi; dimaknai sebagai visi hidup umat kristen, menggunakan rencana Tuhan karena hanya Allah sendiri yang Mahabijaksana (seperti tertulis dalam Kitab Amsal bab 24 ayat 5. ….jangan iri kepada orang jahat, jangan ingin bergaul dengan mereka. Orang yang bijak lebih berwibawa daripada orang kuat, juga orang yang berpengetahuan daripada orang yang tegap kuat). Hiasan banyu tumetes pada papan lis (listplank) menggambarkan tetesan yang memberikan rejeki pada umat; dimaknai sebagai tuntunan, bahwa nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas. Apa yang kamu inginkan dari orang lain maka kamu harus berbuat lebih dulu. (seperti tertulis dalam Kitab Amsal 22 ayat 9. …..orang yang baik hati akan diberkati karena ia membagi rejekinya dengan si miskin) (Gambar 11).
Gambar 11 Detail Ornamen pada Atap Bangunan Pendopo Sumber: Dokumentasi 85 tahun Gereja Ganjuran
Pada kolom soko guru, ornamen terdapat hiasan padma dan probo. Hiasan bunga Padma pada kaki kolom andesit melambangkan keabadian dan kelanggengan; pada gereja Hati Kudus Yesus, umpak dimaknai sebagai Iman. (seperti tertulis dalam Matius 16:16-18 tentang orang Parisi dan Saduki meminta tanda. …… maka jawab Simon Petrus “Engkau adalah Mesias Anak Allah yang Hidup”. Kata Yesus kepadanya “Berbahagialah Engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakannya itu kepadamu, melainkan Bapakku di Surga”. Dan Aku berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini aku akan mendirikan jemaatku dan alam maut tidak akan menguasainya)
Sabda Allah itu yang menjadi kekuatan dasar gereja dan ornamen probo di atas dan di bawah pilar melambangkan sabda Allah yang menjadi dasar kekuatan Gereja (Gambar 12).
Gambar 12 Detail Ornamen pada Kolom Bangunan Pendopo Sumber: Dokumentasi 85 tahun Gereja Ganjuran
Probo pada bagian atas dan bawah kolom melambangkan Nur Ilahi, sinar Ilahi; dalam gereja dimaknai sebagai Sinar Tuhan Yesus sebagai terang dunia. (Seperti tertulis dalam Lukas bab 2:9-11 tentang Kelahiran Yesus. … Tiba-tiba berdirilah seorang Malaikat Tuhan di dekat mereka dan Kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar bagi seluruh bangsa. Hari ini telah lahir bagimu kesukaan besar yaitu Kristus) Tumpang Sari melambangkan keindahan; dalam Gereja dimaknai sebagai Kebenaran sejati; panggilan surgawi dari Allah dalam Yesus, karena karunia surga itu anugerah bagi orang yang melaksanakan perintah Allah. Bahwa untuk mendapatkan surga, yang harus dilakukan adalah saling mengkait dan tumpang sari dalam ajaran Tuhan seperti jujur, mulia dll. (seperti tertulis dalam surat Santo Petrus pada umat Filipi bab 3: 13-16 …. Saudara-saudara aku sendiri tidak menganggap bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku. Dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam
Kristus Yesus. Karena itu marilah kita, yang sempurna berpikir demikian dan jikalau lain pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah kepadamu. Tetapi baiklah tingkat pengertian yang telah kita capai kita lanjutkan menurut jalan yang telah kita tempuh) Nanasan pada tumpangsari, melambangkan perjuangan hidup, bahwa untuk menikmati kehidupan yang manis, seseorang harus berjuang. Dalam Gereja dimaknai sebagai berani mengalami kesulitan demi Kristus Sang Penyelamat dan berjuang dalam hidup dengan Iman dan Kasih (seperti tertulis dalam Injil Markus 8:35 ….karena barang siapamau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Inji ia akan menyelamatkannya). (Gambar 13)
Gambar 13 Detail Ornamen pada Soko Guru Bangunan Pendopo Sumber: Dokumentasi 85 tahun Gereja Ganjuran
Warna dalam semua ornament arsitektural melambangkan makna-makna tertentu. Simbolisasi warna pare anom dan gula kelapa, yaitu hijau, kuning, merah dan putih, yang terdapat pada keraton Yogyakarta, juga terdapat pada gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran. Warna tersebut serupa dengan warna liturgi gereja Katolik; makna simbolik warna-warna tersebut adalah hijau sebagai masa pengharapan, kuning sebagai warna keagungan, putih melambangkan kesucian dan merah menunjukkan keberanian membela kebenaran untuk mempertahankan darah martir sampai mati. Selain ornamen yang melekat pada elemen bangunan, obyek koleksi liturgial yang berada dalam gedung gereja maupun di pelataran gereja, juga berperan bagi keberfungsian gereja dalam mewadahi kegiatan liturgial gereja Hati Kudus Yesus.
IV.4.
Makna Sakral Arsitektur Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran Seperti diuraikan pada bagian terdahulu, liturgi Ekaristi Kudus merupakan
perayaan ritual tertinggi, peristiwa tersakral dan titik pusat orientasi yang melandasi bentuk arsitektur gereja Katolik. Ruang sakral dalam Gereja Katolik adalah “wadah fisik” bagi kehadiran Tuhan dalam perayaan liturgi Ekaristi Kudus. Tuhan yang “transenden, tidak kelihatan” menjadi bisa “di-indera-kan” oleh umat Katolik melalui simbol-simbol sakral yang terwujud dalam tatanan sakral. Sanctuary, tempat di mana Ekaristi Kudus dipersembahkan menjadi pusat ruang sakral dalam tatanan ruang gereja. Umat mengikuti perayaan Ekaristi Kudus di bagian tengah gereja (nave), yang membentang dari area pintu masuk (narthex) ke bagian mimbar di area sanctuary. Melalui ritual liturgi gereja ini lah terjadi pembentukan ruang sakral atau hirarki kesakralan ruang.
Gambar 14 Hirarki Ruang Sakral dalam Gereja
Elemen bangunan gereja seperti kolom pendopo, lantai berundak, teritisan, menjadi pembatas maya ruang sakral gereja Hati Kudus Yesus. Sanctuary sebagai pusat perayaan Ekaristi Kudus ditempatkan pada lantai tertinggi dan terlingkupi, setelah ruang nave yang terbuka. Area narthex sebagai daerah yang „kurang sakral‟, daerah peralihan dari pelataran gereja ke ruang dalam gedung gereja, tidak terwujud dengan jelas pada bentuk ruang pendopo yang terbuka ini Meskipun tidak membentuk sumbu linier simetris, tetapi pendopo yang terbuka menciptakan kemenerusan visual dari area publik di luar gereja ke ruang paling sakral/sanctuary.
Penciptaan kesakralan ini menjadi ciri khas ruang sakral Gereja Katolik. Arsitektur Gereja Katolik berperan untuk memberi wadah berupa tatanan fisik yang membantu terciptanya pemusatan seluruh indera umat Katolik pada inti perayaan liturgi tersebut. Pemusatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran akan kehadiran yang Ilahi pada altar di area sanctuary tempat liturgi Ekaristi tersebut berlangsung, yang diperoleh dengan prinsip konsentrasi terpusat Pada gereja Hati Kudus Yesus, konsentrasi yang diharapkan terpusat pada sanctuary, diwujudkan bukan semata-mata karena kekuatan sumbu vertikal pada soko guru dan tumpangsarinya, melainkan diwujudkan dengan peninggian lantai, penambahan cahaya langit (skylight), dan ornament simbolik di seputar altar. Kubah pada skylight diberi lukisan simbol Tritunggal Mahakudus, empat penulis Injil, Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes. Demikian pula ornamen di seputar altar diberi simbol burung pelikan yang mengorbankan diri hingga berdarah-darah untuk memberi makan anak-anaknya sebagaimana Kristus mengorbankan diriNya secara total untuk manusia. Area sanctuary merupakan area yang paling mendapat pengolahan ornamen arsitektur agar fokus perhatian umat tertuju ke sanctuary. (Gambar 15)
Gambar 15 Konsentrasi Terpusat pada Ruang Sakral dalam Gereja
Hirarki ruang sakral melingkupi seluruh kompleks gereja, sehingga dinding batas lahan dan gerbang masuk merupakan pembatas area sakral dengan area profan atau area di luar kompleks gereja Hati Kudus Yesus. Berbagai prosesi dalam liturgi, seperti ibadat „jalan salib‟, perarakan Hati Kudus Yesus, perayaan minggu palmaPaskah dimulai atau dilakukan di pelataran depan gereja atau pelataran candi sebagai ruang publik menuju ke ruang dalam gereja, dari area „kurang sakral‟ ke area tersakral.
Keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan diartikan bahwa manusia mempunyai hubungan spiritual dengan Tuhan sebagai penguasa semesta alam; dan hubungan ini bersifat individual. Latar belakang budaya dan pengalaman religius seseorang mewarnai kepekaan dan ingatan kulturalnya akan bentuk arsitektur dan makna simboliknya. Simbol selalu menunjuk pada sesuatu di luar dirinya sendiri, sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi dan memiliki daya kekuatan yang melekat. Simbolisasi diperlukan untuk menandai hal-hal sosial yang penting, dan membawa orang menyesuaikan diri dalam mengenali nilai-nilai yang harus dianutnya dalam hidup; simbol juga diperlukan untuk menggambarkan dan menjembatani perasaan-perasaan manusia yang terdalam yang berkaitan dengan makna sakral. Karenanya simbol mempunyai peran yang besar dalam arsitektur gereja Katolik. Liturgi Katolik menggunakan tanda-tanda dan simbol-simbol berdasarkan budaya, sejak masa Perjanjian Lama. Beberapa tanda-tanda dan simbol datang dari dunia penciptaan semesta (cahaya, air, api, roti, anggur, minyak), yang lain dari kehidupan dalam masyarakat (penyucian, pembaptisan, pemecahan roti), serta dari sejarah suci Perjanjian Lama (ritus Paskah, pengorbanan, penumpangan tangan, pengudusan orang dan objek). Ketika seorang inividu dapat merasakan makna pragmatik dari arsitektur gereja, -yaitu saat mengikuti semua ritus liturgi dengan khusuk-, menemukan dan menghayati makna-makna simbolik dalam setiap elemen arsitektur, maka sakralitas ruang gereja dimungkinkan semakin dapat dirasakannya.
BAB V RANGKUMAN
Inkulturasi adalah sebuah proses perubahan, yang dalam sebuah agama merupakan usaha agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat; merupakan suatu proses pengintegrasian pengalaman iman ke dalam kebudayaan setempat sedemikian rupa sehingga pengalaman tersebut tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsurunsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan dan memperbaharui kebudayaan bersangkutan. Melalui proses ini, bentuk Gereja Katolik tidak lagi merujuk pada bentuk gereja dari Eropa Barat, tetapi mengaju pada arsitektur setempat. Dalam kasus Gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran, patron yang digunakan adalah arsitektur Jawa, khususnya keraton Yogyakarta. Pembentukan makna arsitektur gereja Katolik dipengaruhi oleh lingkungan dan bentuk arsitektur gereja tersebut, dan juga latar belakang yang dimiliki pengamatnya. Tatanan spasial arsitektur Gereja sebagai sebuah artefak mengandung makna alami yang secara eksistensial mudah diterima pengamat tanpa terikat pada agama yang dianutnya. Namun, makna yang merupakan produk sosial atau kesepahaman yang berlandaskan budaya, akan mempunyai keterbatasan lingkup penerimaannya, baik makna fungsional, simbolik maupun makna poetik. Dalam objek kasus studi, makna pragmatik dapat dirasakan umat di pelataran gereja dan candi, maupun di dalam bangunan gereja, terutama saat menjalani upacara liturgial. Hubungan timbal balik antara arsitektur gereja dan tempat; hubungan antara batas-batas spasial dan aktivitas sosial; lintasan yang dilalui tubuh dan pandangan; interaksi ruang dengan ikonografi; kekuatan teks, sejarah dan memori, seluruhnya berakumulasi dalam membentuk kesakralan ruang. Arsitektur Gereja Katolik selalu dibangun dengan landasan teologis yang kuat, dan mempunyai peran mengeskpresikan misi dan hakekat agama Katolik, sehingga proses inkulturasi yang mengangkat peran arsitektur setempat tidak berarti dengan serta merta memindahkan bentuk arsitektur ataupun ornamen arsitektur setempat sebagai bagian dari arsitektur gereja Katolik, tetapi diperlukan pemurnian setiap bentuk dan simbol dari arsitektur setempat terhadap agama Katolik.
DAFTAR PUSTAKA 1. Naisbitt, J. 1994. Global Paradox. New York: Breadly Pub. 2. Rendra, W. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia 3. Sukatmi, S. 2012. „Unsur-unsur Kesenian Jawa dalam Inkulturasi Gereja Katolik Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta: Perspektif Aksiologi. Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta 4. Kusbiantoro, K. 2003. “Dominasi Makna Pragmatik YB Mangunwijaya dalam Penerapan Konsep Konsili Vatikan II”. Tesis Master Arsitektur (tidak dipublikasi). Bandung: Universitas Katolik Parahyangan 5. Martana, S. P., 2010. „Pola Inkulturasi Arsitektur pada Gereja-gereja Katolik dan Protestan di Bali dan Jawa Tengah‟. Disertasi. Tidak dipublikasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. 6. Sitinjak, R.H. 2012. “Studi Ikonologi Panofsky pada Arsitektur dan Interior Gereja Katolik Inkulturatif Panguruan”, Jurnal Dimensi Interior, 9(2), pp. 119-136. 7. Srisadono, Y.D. 2012. “Konsep Sacred Space dalam Arsitektur Gereja Katolik”. Jurnal Melintas, 28.2.2012 [182-206] 8. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 9. Ujan, Boli, SVD. (n.d). “Sakramen dan Liturgi‟. (diakses Juli 2013) 10. Sinaga, A.B. 1984. Gereja dan Inkulturasi. Kanisius, Yogyakarta. 11. Schineller, P. 1990. A Handbook on Inculturation. Paulist Press, New York. 12. Hardawiryana, R., SJ. (penerjemah) 1990. Sacrosanctum Concilium (Konsili Suci). Seri Dokumen Gerejani no.9. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI 13. Capon, D.S., 1999. Architectural Theory: The Vitruvian Fallacy, New York: John Wiley & Son 14. Salura, P., Fauzy, B. 2012. “The Ever-rotating Aspects of Function-Form-Meaning in Architecture.” Journal of Basic and Applied Scientific Research, 2(7)7086-7090, 2012 . Ada di http://www.textroad.com (diakses 20 April 2012) 15. McGuire, D., (n.d). „Church Architecture and Sacred Space‟. Theology -University of Great Falls. Ada di (http://www.straphaelparish.net/.../Church%20Architectu...), diakses tanggal 2 Juni 2013 16. Sutrisno, M., Verhaak C. 1983. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius
17. Gavril, I., 2012. “‟Archi-Texts‟ for Contemplation in Sixth-Century Byzantium: The Case of the Church of Hagia Sophia in Constantinople”. D.Ph. Thesis. University of Sussex-Art History. 18. Rapoport, A. 1982. The Meaning of Built Environment. New Delhi: Sage Pub. 19. Gibson, J.J. 1979. An Ecological Approach to Visual Perception. Boston: Houghton Mifflin. 20. Hershberger, R. 1986. “A Study of Meaning and Architecture.” Institute of Environmental Studies. University of Pennyslvania. Proceeding EDRA 01:89-100 21. Dillistone, F.W. 2002. The Power of Symbols (terjemahan Daya Kekuatan Simbol). Yogyakarta: Kanisius 22. Thomas, J.A. 1994. “Theory, Meaning & Experience in Church Architecture.” Thesis for the Degree of Doctor of Philosophy. Ada di etheses.whiterose.ac.uk/3004/ (diakses 27 September 2013) 23. Schoedler, 2012. “Domus Dei, Quae Est Ecclesia Dei Vivi: The Mtyh of the Domus Ecclesiae”. Journal of Sacred Architecture, issue 21-2012 24. Mircea, E., 2002. The Sacred and Profane: The nature of Religion (terjemahan Sakral dan Profan). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru 25. Utomo, G. 1999. Gereja Hati Kudus Yesus di Ganjuran. Yogyakarta: Unggul Jaya 26. Ismunandar K. 1987. Joglo Arsitekur Rumah Tradisional Jawa. Semarang: Dahara Prize 27. n.d). “Gereja Berkat dan Perutusan”. Dokumen 85 tahun Gereja Ganjuran
DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 1 - Inkulturasi Dalam Gereja Katolik ………………………………….
9
2. Gambar 2 - Faktor Pembentuk Arsitektur Gereja Katolik ……………………..
11
3. Gambar 3 - Kerangka Penelitian .………………………………………………. 16 4. Gambar 4 - Tampak Gereja Sebelum dan Sesudah Gempa Bumi tahun 2006 …. 19 5. Gambar 5 - Lokasi Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Ganjuran ……………… 20 6. Gambar 6 - Gerbang Masuk ke Pelataran Gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran ... 21 7. Gambar 7 - Candi dan Sumber Mata Air Perwitasari ………………………….. 21 8. Gambar 8 - Upacara di Pelataran Candi Hati Kudus Yesus …………………….. 22 9. Gambar 9 - Geometri Bangunan Penunjang dan Gereja Hati Kudus Yesus ……. 22 10. Gambar 10- Ruang Dalam Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran ………………… 23 11. Gambar 11- Detail Ornamen pada Atap Gereja Hati Kudus Yesus ……………. 24 12. Gambar 12- Detail Ornamen pada Kolom Bangunan Pendopo ………………… 25 13. Gambar 13- Detail Ornamen pada Soko Guru Gereja Hati Kudus Yesus………. 26 14. Gambar 14- Hirarki Ruang Sakral dalam Gereja Hati Kudus Yesus ...…………. 27 15. Gambar 15- Konsentrasi Terpusat pada Area Ruang Sakral ……………………. 28