PROSIDING 20 13© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
ARSITEKTUR VERNAKULAR KAWASAN AMMATOA KAJANG SEBAGAI KARYA ARSITEKTUR SYARAT MAKNA Syarif Beddu & Rahmi Amin Ishak Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea – Makassar, 90245 Telp./Fax: (0411) 586265/(0411) 587707 e-mail:
[email protected]
Abstrak Arsitektur vernakular adalah suatu karya arsitektur yang lahir dan berkembang secara lokal (setempat), dengan penggunaan material yang berada pada lingkungan sekitarnya. Teknik dan cara membangunnya pun sangat sederhana, namun nalar cerdas dan logika tetap ia aplikasikan dengan baik. Pengetahuan tentang teori-teori estetika akan lebih terinspirasi oleh bentukan alam; alam menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan pola kehidupan dan penghidupan mereka. Masyarakat Ammatoa Kajang merupakan salah satu komunitas yang ber-arsitektur vernakular, dan bermukim secara eksklusif di dalam kawasan terisolir dengan lingkungan alam hutan yang masih terjaga habitat keasliannya. Bahan material untuk ramuan rumah kesemuanya diperoleh dari hutan sekitarnya (hutan rakyat). Sedangkan hutan adat sangat dijaga kelestariannya, sistem pengelolaan hutan diatur dalam “pasang” (nasehat/aturan adat) yang tidak boleh dilanggar. Pasang yang telah menjadi pegangan (pedoman hidup) di lingkungan masyarakat Ammatoa Kajang, sangat syarat makna yang dipahami menjadi suatu “aturan” yang ikut mengatur kehidupan mereka. Hampir setiap kegiatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, termasuk dalam ber-arsitektur (membangun/mendirikan rumah) kesemuanya diatur oleh (pasang) dengan makna-makna tertentu. Metoda penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologis dan kegiatan eksploratif, sifat penelitian secara kualitatif; di mana peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual arsitektural hunian serta lingkungan binaannya. Lokasi penelitian ditentukan dan ditetapkan secara sengaja (purposive) karena didasari obyektifitas daripada materi penelitian, yang terbentuk dan terpola di kawasan pemukiman Ammatoa Kajang, Desa Tana Toa Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kata Kunci: arsitektur vernakular sebagai karya arsitektur syarat makna
PENDAHULUAN Model bangunan atau rumah yang telah dihuni oleh berbagai suku (etnik) di Indonesia, masing-masing memiliki nilai spesifik (keunikan) dalam berbagai corak, ragam, warna yang sangat khas sebagai wujud pencerminan budaya sendiri. Rumah yang ia miliki mewatakkan mental dan jiwa para pembuatnya “arsiteknya”, sehingga rumah tersebut menjadi hidup, lestari dan menjadi ruang “mikrokosmos” pada alam jagad raya ini. Arsitektur vernakular Indonesia merangkum keragaman besar, gaya dan teknologi, (sesuai zamannya), sejumlah persamaan konsep dan tema dapat dijumpai di lapangan. Karya arsitektur vernakular yang lahir dan tercipta umumnya di daerah terpencil, yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian perkotaan. Arsitektural bangunannya selalu mengisyaratkan “finishing” yang sederhana, alami, apa adanya, serta natural (rustic). Kemampuan “membangun” dan “merancang” diperoleh secara generalis dari generasi ke generasi, melalui prosesi “transfer” pengetahuan secara lisan (intangible). Kelahiran arsitektur vernakular yang telah disandang oleh bangunan-bangunan hunian masyarakat Ammatoa Kajang, dilatarbelakangi norma-norma budaya, agama, tradisi serta keadaan dan kondisi geografis setempat. Masyarakat Ammatoa Kajang dapat dianggap fenomenal dalam mempertahankan kesederhanaan, yang masih “terbungkus rapih”. Perwujudan kesederhanaan (kamase-mase) dapat dilihat dari berbagai sudut pandang (sosial, politik, budaya dan ekonomi) serta tingkah laku yang kesemuanya bersandarkan prinsip “pasang” (pesan nasehat) yang telah menjadi pegangan teguh sampai saat ini.
Volume 7 : Desember 2013
Group Teknik Arsitektur TA5 - 1
ISBN : 978-979-127255-0-6
Arsitektur Vernakular Kawasan Ammatoa… Arsitektur Elektro Geologi
Mesin
Syarif Beddu & Rahmi Amin Ishak Perkapalan Sipil
Arsitektur vernakular Ammatoa Kajang, dapat dipandang sebagai pengembangan arsitektur “alam” dari suatu wilayah/kawasan yang dikondisikan oleh iklim, budaya dan bahan material bangunan yang dimiliki. Menurut Wiranto (1999) dalam Bruce Allsopp (1999) bahwa arsitektur vernakular merupakan pengembangan dari arsitektur rakyat atau “folk architecture”. Arsitektur vernakular yang lahir dan berkembang di Ammatoa Kajang (bumi kamase-mase), memang terlahir dari karya nenek moyang mereka ratusan tahun yang lampau. Selaku arsitektur rakyat rumah Kajang pada umumnya berbentuk panggung, berdiri kokoh, kuat, melawan terpaan kondisi alam sekitarnya. Kehadiran arsitektur vernakular Ammatoa Kajang di bumi “kamase-mase” tempatnya komunitas orang-orang berbaju hitam, melalui proses yang berlangsung cukup lama dari waktu ke waktu, serta melewati perjalanan panjang dengan pengalaman “trial and error” yang dilandasi kemauan dan kemampuan untuk melahirkan ruang hunian untuk bermukim. Dan pada gilirannya mendapat “pengakuan” (confess) dari masyarakat komunitasnya sebagai wujud nyata karya arsitektur rakyat Kajang, yang dirancang-bangun oleh dan untuk masyarakat yang bersangkutan, sehingga membentuk nilai dan jatidiri yang unik bersahaja hingga pada zaman yang global ini. Karya arsitektur vernakular Ammatoa Kajang yang bermakna etnik dan berkarakter “rastic”, sudah selayaknya menjadi “museum alam” bagi pengembangan dan perkembangan masyarakat arsitektur vernakular Indonesia. Tidak sedikit karya-karya arsitektur vernakular di tengah-tengah masyarakat dewasa ini yang telah tiada dan pupus diterjang oleh derasnya arus globalisasi. Hal ini ditengarai oleh lemahnya bangsa kita dalam studi “Antropologi-Arsitektural” untuk menggali dan meneliti setiap situs-situs benda cagar budaya. Di samping itu pencatatan sejarah arsitektural pada umumnya dilakukan secara lisan (non tulisan), yang mungkin saja terjadi bias pada saat terjadi alih pengetahuan. Membahas arsitektur vernakular kawasan Ammatoa Kajang, perlu pendekatan secara “Intangible” (tidak teraga) dan “Tangible” (teraga). Pendekatan intangible dengan menggunakan “frame” dari makna “pasang” yang mengatur atau menuturkan filisofis-filosofis tentang bermukim, mendirikan rumah, memilih material rumah, mengatur orientasi rumah dan lain sebagainya yang kesemuanya bersifat non teknis. Sedangkan pendekatan secara tangible dengan menggunakan prinsip-prinsip keterbangunan, dengan tetap mengaplikasikan makna-makna pasang dalam membangun atau mendirikan rumah. Hal ini dapat dimulai dari tata cara pemilihan jenis material, ukurannya, dimensinya, bentuk fisik material, cara pengerjaannya, termasuk finishing-nya; dan lain sebagainya, kesemuanya ini bersifat teknis. Pada umumnya membangun rumah bagi masyarakat tradisional, selalu disertai dengan rangkaian ritual atau upacara-upacara adat dan melibatkan seorang “Uragi” (Kajang),atau “Panrita Balla” (Makassar), “Panrita Bola” (Bugis), “Sanro Bola” (Mandar) dan “Pande Banua” (Toraja). Kesemua orang-orang tersebut di atas yang memegang kendali dalam proses membangun rumah di daerahnya masing-masing. Kemampuannya secara tidak teraga lalu diwujudkan ke dalam bentuk teraga pada sebuah fisik rumah. Menurut Sukman (1993) membangun sebuah rumah, bagi masyarakat Ammatoa (dan komunitas tradisional lainnya), bukan hanya sekedar mendirikan/ “merakit” rumah, melainkan mendirikan rumah merupakan suatu proses “ritual” dan kegiatan penting dalam kehidupan bermasyarakat dan berkebudayaan. Apabila memperhatikan perkampungan-perkampungan rumah tradisional atau vernakular, yang banyak bertebaran di pelosok negeri pada umumnya masih berdiri kokoh; dengan berbahan bangunan lokal setempat. Prosesi perancangan dan pembangunannya selalu penuh pemaknaan yang terkadang irasional, apabila dipandang dari sudut rekayasa dan logika. Namun hal itu pun banyak terjadi dalam bingkai “intangible” dan “tangible”. Jadi makna-makna fisik dan non fisik yang terkandung dalam setiap karya-karya arsitektur vernakular, di masa lalu dan masa kini masih tetap mewarnai bangunan-bangunan mereka. Seperti yang terjadi di kawasan Ammatoa Kajang, dan dapat disaksikan sampai saat ini; bahwa fenomena ritual dan maknanya masih tetap dijalankan oleh masyarakat Ammatoa Kajang. Kriteria lain dalam menilai keaslian rumah-rumah tradisional umpamanya kebiasaan-kebiasaan yang menjadi suatu “peraturan yang tidak tertulis” saat rumah itu didirikan ataupun mulai dihuni (Wiwik, 2000). Ada ritualritual tertentu misalnya; upacara pemancangan tiang pertama, selamatan/kenduri dan penentuan waktu yang tepat untuk menghuni rumah tersebut, arah/orientasi yang tepat ke mana rumah harus menghadap, bentuk,
ISBN : 978-979-127255-0-6
Group Teknik Arsitektur TA5 - 2
Volume 7 : Desember 2013
PROSIDING 20 13© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
warna, motif hiasan, bahan bangunan yang digunakan, sesajen, doa atau mantera yang harus dibaca dan sebagainya kesemuanya ini erat kaitannya dengan prosesi yang terjadi pada bangunan tradisional. Sedangkan menurut Frick (1998) mengemukakan bahwa rumah tradisional sebagai karya arsitektur bukan hanya sekedar susunan material dan struktur bangunan yang terletak di suatu site/lokasi, namun lebih merupakan suatu manifestasi aspek-aspek ritual, kultural, sosial, materialisasi, teknik, keahlian, dan perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa rumah dibuat berdasarkan serangkaian tujuan yang kompleks, karena hampir semua komunitas masyarakat tradisional dapat dijumpai upacara ritual yang berhubungan dengan konstruksi bangunan, misalnya; perletakan batu pertama, tata letak pintu masuk dan lain sebagainya. Pengertian kata “vernacular” menurut Kamus Umum Lengkap (bahasa Inggris-Indonesia dan IndonesiaInggris) oleh Wojowasito (1982), menyebutkan “vernacular” artinya “bahasa daerah setempat atau bahasa bumi putera”. Jadi apabila dirangkaikan dengan kata “arsitektur”, maka secara sederhana arsitektur vernakular adalah karya arsitektur yang lahir atau tercipta pada daerah/lokal setempat dengan material yang ada ditempat tersebut. Apabila membicarakan arsitektur “vernakular” maka tak lepas dari konteks kepulauan Nusantara, ataupun Negara Asia pada umumnya dan akan lebih spesifik bila melihat kawasan Asia Tenggara termasuk Negara Indonesia. Hampir setiap wilayah Negara kita memiliki keberagaman karya arsitektur lokal yang memiliki karakter dan ciri tersendiri (genius local) yang masih bertahan sampai saat ini. Lahirnya karya “genius” ini merupakan hasil adaptasi masyarakat lokal terhadap alam sekitarnya kemudian mewujudkan bangunan “permukiman” yang nyaman secara termal menanggulangi iklim setempat serta kuat secara struktural membentuk konstruksi sederhana. Istilah arsitektur vernakular juga telah diungkap oleh Rapoport (1969) dalam bukunya “House Form and Culture”, yang membuat 3 (tiga) kategorisasi mengenai arsitektur “rumah tinggal” dalam hubungannya dengan keberadaan suatu wujud kebudayaan. Kategorisasi itu didasarkan pada proses dan ujud dari arsitektur tersebut, yang pada prinsipnya mengandung pengertian bahwa arsitektur vernakular adalah arsitektur yang lahir dari suatu komunitas tertentu, dibuat oleh dan untuk suatu masyarakat dan atau kebudayaan tertentu pula. Ketiga kategorisasi vernakular tersebut selanjutnya diistilahkan sebagai; “primitive, pre-industrial, dan modernvernakular”. Menurut Yulianto (1997) bahwa arsitektur “vernacular” artinya adalah bahasa setempat, dalam arsitektur istilah ini untuk menyebut bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan termasuk iklim setempat diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah, struktur, detail-detail bagian ornamen dan lain-lain. Dengan batasan tersebut maka arsitektur tradisional dalam bentuk permukiman maupun unit-unit bangunan di dalamnya dapat dikategorikan dalam vernakular murni, terbentuk oleh tradisi turun-temurun, tanpa pengaruh luar. Menurut Budihardjo (1997) bahwa pengetahuan arsitektur vernakular dapat dilihat secara langsung melalui bangunan-bangunan arsitektur rakyat yang menggunakan teknologi sederhana dan tepat guna. Kesederhanaan justru menjadi ciri utama yang memberikan nilai lebih berupa estetika khas arsitektur vernakular dan tradisional. Kesederhanaan dalam penggunaan material, menjadi cermin dari tingkat kematangan desain dan bagaimana menggunakan material secara wajar dan tidak berlebihan. Pendapat beberapa ahli tersebut di atas, maka arsitektur vernakular dapat disimpulkan sebagai karya “genius” oleh masyarakat lokal dengan menggunakan material setempat, cara membangunnya sangat sederhana (teknologi tepat guna) termasuk alat pertukangan yang dipakai semua serba manual. Karya arsitektur vernakular ini lahir dan tercipta dengan cara “trial and error” serta banyak mengadopsi (menganalisa) alam lingkungan sekitarnya untuk mewujudkan bentuk, pola dan tatanan permukimannya. Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, maka permasalahan arsitektur vernakular Ammatoa Kajang sebagai karya masyarakat Kajang sendiri yang dilandasi konsep yang syarat makna, adalah sebagai berikut: - Bagaimana menemukenali arsitektur vernakular Ammatoa Kajang, sebagai bentuk arsitektur yang “indigenous” dengan karya alami dan dibalut budaya spiritual yang syarat akan makna (pesan/nasehat) yang masih kental. - Bagaimana menemukenali pengejawantahan konsep filosofi yang syarat makna, dalam bentuk menghuni dan berperilaku serta menghargai lingkungan alam sekitarnya.
Volume 7 : Desember 2013
Group Teknik Arsitektur TA5 - 3
ISBN : 978-979-127255-0-6
Arsitektur Vernakular Kawasan Ammatoa… Arsitektur Elektro Geologi
Mesin
Syarif Beddu & Rahmi Amin Ishak Perkapalan Sipil
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui arsitektur vernakular Ammatoa Kajang di kawasan adat Ammatoa Kajang, dengan pendekatan konsep “kamase-mase” yang syarat akan pemaknaan terhadap hunian serta lingkungan pemukimannya. Dan untuk mengetahui makna-makna, konsep perancangan dan pembangunan/pendirian bangunan di kawasan Ammatoa Kajang di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Manfaat akademis dari penelitian ini adalah memberikan masukan (kontribusi) terhadap dunia ilmu pengetahuan di bidang arsitektur vernakular Ammatoa Kajang, yang lahir dengan konsep filosofi dan makna kamase-mase. Manfaat lain akan menjadikan kawasan Ammatoa Kajang menjadi Desa Adat, Desa Budaya, Desa Pelestarian Lingkungan Hidup dan Desa Wisata. Penelitian ini akan menjadi sumber referensi khususnya bagi peneliti/penulis sejenis (relevan), dengan konteks kajian arsitektur vernakular Ammatoa Kajang.
METODE PENELITIAN Metoda penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologis dan kegiatan eksploratif, sifat penelitian secara kualitatif, di mana peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual arsitektural hunian serta lingkungan binaannya. Lokasi penelitian ditentukan dan ditetapkan secara sengaja (purposive) karena didasari obyektifitas daripada materi penelitian, yang terbentuk dan terpola di kawasan pemukiman Ammatoa Kajang, Desa Tana Toa Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian cukup refresentatif karena komunitas penghuninya memiliki karakter yang sangat khas, budaya, spiritual, tingkah laku, religius kesemuanya membentuk panorama “rastik” yang dipertahankan sampai sekarang. Dengan pola dasar serta tata cara berkehidupan yang sederhana atau sering disebut “kamase-masea” telah lama berurat-berakar dalam lingkup kawasan Ammatoa Kajang. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh rumah adat Kajang khususnya dalam kawasan Ammatoa Kajang, sedangkan populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Apabila ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi menurut Arikumto (1998). Untuk pengambilan sampel yang refresentatif tergantung dari kondisi populasi. Jika populasi penelitian homogen, maka sampelnya cukup diambil 5% saja, akan tetapi manakala populasinya heterogen maka jumlah sampelnya harus dinaikkan menjadi lebih besar sekitar 10 -20%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Penelitian Peta Provinsi Sulawesi Selatan
Peta Kecamatan Kajang
Peta Kabupaten Bulukumba
Kawasan Tana Toa Ammatoa Kajang
Gambar 1. Peta Administratif Desa Kajang (Tana Toa), Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba
ISBN : 978-979-127255-0-6
Group Teknik Arsitektur TA5 - 4
Volume 7 : Desember 2013
PROSIDING 20 13© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
Lokasi penelitian di Desa Kajang atau sering disebut Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Pengambilan sampel dikhususkan pada kawasan adat Ammatoa Kajang. Alasan pemilihan kawasan Ammatoa Kajang sebagai lokasi pengambilan sampel, didasari oleh karena perkampungan Ammatoa Kajang merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat Kajang; yang relatif belum banyak mengalami perubahan. Konsep dari wujud pemukiman sangat dimaknai sehingga dipantangkan (kajang : Kasipalli) oleh pasang, sebagaimana dikemukakan oleh seorang Uragi; Puto Bekkong (Benteng/1993) bahwa wujud rumah;”anre’ nakulle niroba-roba” (tidak boleh diubah). Kemudian diperkuat oleh Ammatoa bahwa; “kamma tosi tuhunan’ta, ada’ta, pakean’ta, balla’ta” (sudah demikianlah adanya; keturunan kami, adat kami. pakaian kami, juga rumah kami) (Sukman, 1993).
Gambar 2. Model Prototype Rumah Masyarakat Kajang di Kawasan Ammatoa (Sumber: Dokumentasi penulis, 2012)
Beberapa Contoh Pemaknaan Konsep “kamase-mase” (sederhana, prihatin dan bersahaja) sebagai konsepsi hidup komunitas Ammatoa, yang diterima sebagai suatu kewajiban dan dilaksanakan dengan ikhlas secara jujur, tegas, sabar dan pasrah (kajang: “appa’ paggentunna langi’ appa pattongko’na lino”), mewujud dalam sistem rancang bangun arsitektur rumah yang ada “sederhana”. Kesederhanaan yang dimaksud dapat dilihat dalam hal pola, bentuk dan fungsi ruang, serta sistem struktur dan konstruksi yang relatif sederhana dan “standardized”, namun semuanya syarat makna (Akib, 2008). a. Hari Baik dan Hari Buruk/Naas (Prosesi Penentuan Memulai Kegiatan) Seorang Uragi (konseptor bangunan Kajang) dalam praktek “peng-uragi-annya” ia berpatokan pada hari “baik” (keberuntungan) dan menghindari hari “buruk” (naas); hari baik akan menjadi acuan/referensi untuk memulai sesuatu kegiatan/pekerjaan. Cara menghitung hari baik dan hari buruk; ia berpatokan tahun Islam (Hijriah) selama satu tahun berjalan. Misalnya pada tahun 2012 (1 Muharram 1434 H) jatuh pada hari “Kamis”. Maknanya; adalah hari rabu (sehari sebelum kamis), hari kamis sendiri dan hari jumat (sehari setelah kamis), maka ketiga hari tersebut dianggap hari buruk (naas); sedangkan hari baik jatuh pada sabtu, minggu, senin dan selasa. b. Pemilihan Material (Bahan Bangunan Rumah) Material yang baik menurut Uragi, apabila pohon tersebut daunnya rindang (pertanda subur, sehat), tidak memiliki banyak percabangan (pasu). Pada saat pemilihan kayu di hutan yang mau ditebang, Uragi sudah menentukan dan mengetahui di mana pohon tersebut akan diposisikan pada saat rumah tersebut didirikan. Maknanya; beberapa pemaknaan untuk memilih bahan bangunan yang baik dan buruk sebagai berikut: - Pohon tersebut saat ditebang, menimpah makhluk hidup/apalagi manusia dan ia cedera/mati; bermakna, bahan tersebut belum digunakan telah menelan korban. - Pohon yang telah disambar petir (hangus terbakar); bermakna, pohon tersebut mati tidak sewajarnya, dan kayunya pun terbakar akibat sambaran petir. - Pohon saat tumbuh di hutan dirambati/dililit oleh jenis tanaman merambat; bermakna, pohon tersebut tersiksa pertumbuhannya karena dibelit, sehingga bekas lilitan tersebut memperlemah kayu. - Pohon saat tumbuh di hutan ranting/cabang yang saling bergesekan, sehingga menimbulkan “luka” pada kulit pohon; bermakna, pohon tersebut kurang kuat, karena mengalami cacat “gesek”. - Pohon tersebut memiliki lubang “pasu mati” akibat aus proses alami sehingga biasanya menjadi tempat burung bersarang; makna, pohon tersebut cacat karena ada perlubangan dan tidak struktural.
Volume 7 : Desember 2013
Group Teknik Arsitektur TA5 - 5
ISBN : 978-979-127255-0-6
Arsitektur Vernakular Kawasan Ammatoa… Arsitektur Elektro Geologi
Mesin
Syarif Beddu & Rahmi Amin Ishak Perkapalan Sipil
c. Ukuran dan Dimensi material (ukuran non metric) Khusus di kawasan Ammatoa Kajang, para Uragi dan tukang ia lebih akrab menggunakan ukuran-ukuran “non metrik”, yaitu mengambil ukuran berdasarkan anggota badannya (human dimension) atau sering disebut “antropometrik”. Misalnya; satu depa (sirappa), satu siku (lappa), satu jengkal (silame) dan satu genggam (kangkang). Ukuran-ukuran tersebut di atas selalu berada pada angka ganjil. Maknanya; pertama, mengambil dasar dari ukuran badan manusia pertanda bahwa rumah tersebut akan menyatu dengan manusia (penghuninya); kedua, ukuran dengan angka ganjil pertanda bahwa yang ganjil itu adalah milik manusia sedangkan genap milik yang maha kuasa. d. Pasu Hidup dan Pasu Mati (Bekas Percabangan) Untuk melihat kelayakan secara struktural sebatang kayu, menurut Uragi, maka lihatlah “mata kayunya” (pasu kayu). Karena semakin banyak bekas percabangan menandakan kayu tersebut memiliki banyak cabang/ ranting, sehingga seratnya tidak sejajar dan agak sulit diolah menjadi ramuan rumah. Pasu “hidup” pada batang kayu apabila pasu tersebut cukup mampu secara struktural memikul beban, sedangkan pasu “mati” adalah pasu yang telah mengalami kehancuran (menimbulkan lubang) sehingga tidak kuat memikul beban. Maknanya; pasu hidup masih layak digunakan secara struktural sedangkan pasu mati tidak layak dipakai. e. Struktur dan Konstruksi (prinsip pembebanan) Menurut penuturan Uragi, bahwa rumah-rumah Kajang sejak jaman dulu sampai sekarang tidak mengenal perkuatan dengan cara pemakuan. Namun perkuatan dilakukan dengan “ikatan” atau “tog” (pa’pasa), di samping itu cara pemilihan struktur tiang (benteng), ia lebih dominan menggunakan tiang-tiang yang bengkok, sehingga kalau diperhatikan tampak rumah Kajang; terlihat tiang-tiang tersebut “ngangkang”. Maknanya; yaitu dengan menggunakan tiang-tiang yang bengkok, maka rumah Kajang akan semakin kuat secara konstruksi dan lebih stabil dari segi structural (tiang bengkok menandakan kesederhanaan). f. Prosesi Pengerjaan Rumah (tahap rancang bangun) Prosesi pengerjaan rumah akan dipantau langsung oleh Uragi, sedangkan pelaksanaan lapangan akan ditangani langsung oleh tukang. Peralatan yang dipakai semuanya serba manual dan ia pantangkan peralatan pertukangan elektrik. Dengan alat yang sederhana mereka mampu mengerjakan rumah Kajang. Maknanya; prosesi pengerjaan rumah selalu dikaitkan dengan rencana kehidupan yang lebih baik, serta peralatan seadanya terkait dengan pola hidup sederhana “kamase-mase” (kebersahajaan/prosperty). Dan kebersahajaan tampilan rumahnya memperlihatkan kesan “rastic’. g. Prosesi Memasuki Rumah Baru (naik rumah baru) Tahapan penghunian merupakan puncak prosesi dari sekian rangkaian mendirikan rumah Kajang, penyajian makan minum menghindari penganan yang “asam, kecut dan asin”, sebaliknya mengharuskan menyajikan penganan yang manis-manis dan lezat (sebanyak lima jenis atau tujuh jenis). Dan dilanjutkan dengan acara pemotongan hewan (Kajang : “accera balla”) serta mengundang semua keluarga. Maknanya; menghindari penganan “asam, kecut dan asin” simbolisasi dari ketidak-senangan orang-orang sekitar; dan menyajikan penganan “manis dan lezat” simbolisasi dari kesenangan dan kebaikan orang-orang yang ada di sekitar kita. Sedangkan pemotongan hewan sebagai simbolisasi dari harapan semoga rumah tersebut (termasuk penghuninya) pada masa penghunian (pascahuni), hanya akan mengenal “darah hewan”, artinya penghuni rumah diharapkan selamat menghuni rumah tersebut. h. Bentuk Denah dan Fasade Rumah (layout denah) Ukuran denah rumah Kajang berbentuk persegi panjang (sekitar 7 x 10 m), lebar rumah 7 m dan panjang rumah 10 m. Ukuran tersebut menarik hampir menyamai rumus “The golden section”. Rumah selalu dianalogikan sebagai sesuatu yang hidup “punya roh”, rumah Kajang memiliki empat sisi fasade atau dinding.
ISBN : 978-979-127255-0-6
Group Teknik Arsitektur TA5 - 6
Volume 7 : Desember 2013
PROSIDING 20 13© Arsitektur
Elektro
Geologi
Mesin
HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK Perkapalan Sipil
Maknanya; bentuk denah persegi panjang menandakan suatu bentuk yang sempurna, yang memiliki empat sisi (empat unsur kehidupan) yaitu; api, angin, air dan tanah, dalam konsep Bugis disebut “sulapa eppa”. i. Tata Layout Ruang Dalam (Interior) Tata ruang dalam (interior) rumah Kajang sangat sederhana namun fungsional, penyekatan ruang hanya terjadi antara ruang tidur orang tua (tala-tala) dengan ruang-ruang lainnya. Apabila memasuki rumah yang pertama dijumpai adalah dapur ‘tungku’, tempat terima tamu, istirahat, makan dan lain sebagainya. Maknanya; dapur berada di depan (dekat pintu masuk), menandakan bahwa si pemilik rumah sangat terbuka, melihat orang/tamu yang datang, mengawasi sekeliling pekarangan. Dan yang paling penting adalah bila bertamu kemudian tungku dinyalakan, ini pertanda bahwa akan disuguhi makanan. j. Arah (Orientasi) Rumah Orientasi rumah di kawasan Ammatoa Kajang pada umumnya menghadap ke arah barat (menghadap kiblat) setelah dilakukan pengukuran dengan GPS, maka orientasi rumah menyimpang sekitar 10o ke arah utara garis equator. Dan ternyata orientasi rumahnya tidak seragam (hal ini dimaklumi karena mereka mendirikan bangunan ia hanya berpatokan pada arah lintasan matahari. Maknanya; orientasi rumah menghadap ke barat, karena diyakini bahwa leluhur mereka turun pertama kali di bumi pada suatu tempat di dalam hutan adat ‘Topalo”. Sering disebut “pa’rasangan iraya” (ada perkampungan di sebelah barat). k. Proporsi Rumah Vertikalis/Horisontalis (Skala Standardized) Proporsi rumah Kajang secara vertikalis/horisontalis memperlihatkan kekuatan proporsional yang kuat. Hal ini tentunya tidak terjadi sekejap mata, akan tetapi melalui proses yang sangat panjang dengan cara “trial and error” (mengalami evolusi). Maknanya; proporsi secara vertikalis dan horisontalis, terbentuk skala dimensional yang manusiawi dan tetap proporsional terhadap penghuni serta lingkungannya.
SIMPULAN Arsitektur vernakular di kawasan Ammatoa Kajang, lahir dan terbentuk bersama alam lingkungannya. Prinsip “kamase-mase” (kesederhanaan, bersahaja/prosperty), menjadi acuan hidupnya dan “pasang” (nasehat, petuah, petunjuk, dan aturan) menjadi sistem nilai serta menjadi pedoman tertinggi bagi komunitas Ammatoa Kajang; dalam kehidupan yang berorientasi keduniaan maupun keakhiratan. Berdasarkan makna “pasang” sehingga hampir semua tata nilai kehidupan (fisik dan non fisik) serta (makro dan mikrokosmos), melahirkan pemaknaan yang bersifat “tangible” (teraga) dan “intangible” (tidak teraga); bagi komunitas Ammatoa Kajang.
Volume 7 : Desember 2013
Group Teknik Arsitektur TA5 - 7
ISBN : 978-979-127255-0-6
Arsitektur Vernakular Kawasan Ammatoa… Arsitektur Elektro Geologi
Mesin
Syarif Beddu & Rahmi Amin Ishak Perkapalan Sipil
DAFTAR PUSTAKA Proceedings, 1999. Naskah Arsitektur Nusantara, Jelajah Penalaran Reflektif Arsitektural. Surabaya: Arsitektur ITS. Sukman, 1993. Arsitektur Vernakular Ammatoa-Kajang di Sulawesi Selatan (karakteristik dan beberapa aspek simbolik dalam perwujudan rumah tinggal). Tesis Jurusan Arsitektur UGM. Wiwik, Wahidah, 2000. Karakteristik dan Aturan adat pada Tatanan Rumah Tinggal & Pemukiman” studi kasus : Permukiman Ammatoa Kajang. Tesis Jurusan Arsitektur ITS Frick, Heinz dan FX. Bambang Suskiyatno,1998. Dasar-dasar eko-arsitektur, konsep arsitektur berwawasan lingkungan serta kualitas dan bahan bangunan untuk rumah sehat dan dampaknya atas kesehatan manusia. Yogyakarta : Kanisius. Rapoport, Amos, 1969. House Form and Culture, Prentice Hall. New Jersey : Englewood Clifft. Yulianto, Sumalyo, 1997, Arsitektur Modern akhir abad xix dan abad xx. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Budihardjo, Eko, 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Jakarta : Djambatan. Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Bappeda Bulukumba, 2012. Peta Kabupaten Bulukumba dan Peta Kecamatan Kajang. Akib, Yusuf. 2008. Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam. Makassar : Pustaka Refleksi.
ISBN : 978-979-127255-0-6
Group Teknik Arsitektur TA5 - 8
Volume 7 : Desember 2013