MAKNA KHALIFAH DALAM AL- QUR’AN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM ( Analisis QS. al-Baqarah ayat 30-35 )
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Oleh : Anik Risalati NIM : 3103247
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008
i
ABSTRAK Anik Risalati (NIM: 3103247). Makna Khalifah dalam al-Qur’an Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam (Analisis QS. al-Baqarah ayat 30-35). Skripsi. Semarang: Program Strata I Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Walisongo. 2008 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35; 2) relevansi makna khalifah dalam QS.al-Baqarah ayat 3035 dengan tujuan pendidikan Islam. Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan Metode Riset Kepustakaan (library research), dengan Teknik Analisis Deskriptif Kualitatif. Data penelitian yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Maudhu’i dan Interpretasi. Dalam penelitian ini penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa makna khalifah tidak hanya dapat dipahami sebagai penggantian atau pewarisan. Berdasarkan tafsir-tafsir QS. al-Baqarah ayat 30-35, khalifah berarti wakil Allah dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya di bumi. Hal ini adalah sebuah penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia karena ia adalah makhluk yang paling sempurna. Khalifah adalah manusia yang aktif dalam tatanan alam semesta, seorang khalifah adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keimanan dan amal saleh. Khalifah adalah manusia kritis, kreatif serta dinamis yang mampu membangun dunia ini sesuai dengan ketetapanNya. Secara operasional tugas kekhalifahan dapat dijabarkan melalui: pertama, tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri yakni menuntut ilmu dan menghiasi diri dengan akhlak mulia. Kedua, tugas kekhalifahan terhadap keluarga, menyangkut tugas membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah mawaddah warahmah). Ketiga, tugas kekhalifahan dalam masyarakat, meliputi tugas mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab terhadap amar ma’ruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk fakir miskin serta anak yatim. Keempat, tugas kekhalifahan terhadap alam, menyangkut tugas mengkulturkan alam, menaturalkan kultur dan mengislamkan kultur Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik manusia perlu diberikan pendidikan. Melalui proses pendidikan, manusia akan dapat mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya yang selanjutnya akan menjadi bekal bagi dirinya untuk dapat menjalankan tugasnya. Karena pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan dan panca indera. Dengan tercapainya kepribadian manusia yang seimbang, manusia akan dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Namun sebaliknya, tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal.
ii
Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi sumbangan bagi khazanah ilmu pengetahuan dan bahan informasi serta masukan bagi para praktisi pendidikan pada umumnya dan civitas akademika di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
iii
PERNYATAAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian pula skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan rujukan.
Semarang, 15 Januari 2008 Deklarator
Anik Risalati NIM: 3103247
iv
Musthofa Rahman, M.Ag
Ikrom, M.Ag
Jl. Karonsih Selatan IX/863
Tugurejo RT.02/I No 38
Ngalian Semarang
Tugu Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks. Hal
: Naskah Skripsi a.n. Sdri. Anik Risalati
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari : Nama : Anik Risalati NIM
: 3103247
Judul : Makna Khalifah Dalam Al-Qur’an Relevansinya Dengan Tujuan Pendidikan Islam ( Analisis QS. Al-Baqarah Ayat 3035)
Dengan ini, saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqasyahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Musthofa Rahman, M. Ag NIP. 150 276 925
Ikrom, M. Ag NIP. 150 268 786
v
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS TARBIYAH Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Telp./fax ( 024) 7601295, 7615387 PENGESAHAN Nama
: Anik Risalati
NIM
: 3103247
Jurusan
: PAI
Judul Skripsi : Makna Khalifah dalam al-Qur’an Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam (Analisis QS. al-Baqarah ayat 30-35) Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal : 24 Januari 2008 dan dapat diterima sebagi kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan Studi Program sarjana Strata 1 ( S1) guna memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Tarbiyah. Semarang, 30 Januari 2008
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dra. Hj. Nur Uhbiyati, M.Pd NIP. 150 170 474
Siti Tarwiyah, S. S. M. Hum NIP. 150 290 932
Penguji I
Penguji II
Dra. Siti Mariam, M.Pd NIP. 150 257 372
Dra. Muntholi’ah, M.Pd NIP. 150 263 166
Pembimbing I
Pembimbing II
Musthofa Rahman, M.Ag NIP. 150 276 925
Drs. Ikhrom, M.Ag NIP. 150 268 786
vi
MOTTO
߉šøム⎯tΒ $pκÏù ã≅yèøgrBr& (#þθä9$s% ( Zπx‹Î=yz ÇÚö‘F{$# ’Îû ×≅Ïã%y` ’ÎoΤÎ) Ïπs3Íׯ≈n=yϑù=Ï9 š•/u‘ tΑ$s% øŒÎ)uρ Ÿω $tΒ ãΝn=ôãr& þ’ÎoΤÎ) tΑ$s% ( y7s9 â¨Ïd‰s)çΡuρ x8ωôϑpt¿2 ßxÎm7|¡çΡ ß⎯øtwΥuρ u™!$tΒÏe$!$# à7Ïó¡o„uρ $pκÏù ∩⊂⊃∪ tβθßϑn=÷ès? Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi “. Mereka berkata : “ mengapa Engkau hendak menjadikan ( khalifah ) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. al-Baqarah: 30 )
vii
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
1. Ayah dan ibu tercinta 2. Suamiku tercinta 3. Saudara-saudaraku terkasih 4. Teman-teman seperjuangan
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat taufiq, hidayah dan inayah-Nya. Sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada beliau Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat-sahabatnya serta orang-orang mukmin yang senantiasa setia jadi pengikutnya. Dengan pertolongan Allah SWT jualah penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Namun penulis yakin bahwa disepanjang pembahasan skripsi ini terdapat berbagai kelemahan, baik yang menyangkut metodologis maupun analisisnya. Hal ini dikarenakan akibat dari kemampuan dari penulis yang sangat terbatas. Selanjutnya dengan segenap kerendahan hati dan penuh kesadaran, penulis sampaikan bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga atas jasa beliau semua yang telah memberikan secara ikhlas baik berupa tenaga, pikiran, bimbingan dan saran-saran sebagai sesuatu yang sangat berguna bagi penulis dalam mencari kesempurnaan dari penulisan skripsi ini. Dan beliau yang penulis maksud antara lain : 1. Prof. Dr. H. Ibnu Hadjar, M.Ed selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 2. Musthofa Rahman, M.Ag selaku pembimbing I dan Drs. Ikhrom, M.Ag selaku pembimbing II dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan pengarahan langsung kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
ix
3. Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ayah, Bunda serta saudara-saudaraku tercinta yang senantiasa memberikan motivasi baik secara moral maupun material kepada penulis yang semua itu telah terbukti menunjang keberhasilan studi penulis sejak awal hingga saat diselesaikannya penulisan skripsi ini. 5. Suamiku tercinta yang telah setia mendampingi dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Sahabat-sahabat karibku semua yang ikut berperan dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas jasa-jasa beliau semua ini, penulis tidak mampu untuk membalasnya, kecuali dengan berdo’a semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda. Penulis berharap kehadiran skripsi ini dihadapan para pembaca budiman akan memberikan manfaat terutama kepada diri penulis dan para pembaca pada umumnya. Amin ya Robal ‘alamin.
Semarang, 15 Januari 2008
Penulis
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN ABSTRAK ..................................................................................
ii
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................
ix
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................
v
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
vi
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii KATA PENGANTAR .....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xi
BAB
I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B.
Penegasan Istilah........................................................................
5
C.
Perumusan Masalah ...................................................................
7
D.
Tujuan Penelitian .......................................................................
7
E.
Manfaat Penelitian ....................................................................
7
F.
Kajian Pustaka ...........................................................................
8
G.
KerangkaTeori...........................................................................
9
H.
Metodologi Penelitian ................................................................ 11
BAB II MAKNA KHALIFAH DALAM QS. AL-BAQARAH AYAT 3035 A.
Pengertian Khalifah.................................................................... 13
B.
Deskripsi QS. al-Baqarah Ayat 30-35........................................ 18
C.
Khalifah Sebagai Manusia Terdidik.......................... ................ 28
BAB III KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
xi
A.
Tahap-Tahap Tujuan Pendidikan Islam .................................... 33
B.
Ruang Lingkup Tujuan Pendidikan Islam ................................. 35
C.
Tujuan Pendidikan Islam........................................................... 39
BAB IV RELEVANSI MAKNA KHALIFAH DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM A.
Hubungan Makna Khalifah dengan Tujuan Pendidikan Islam........................................................................................... 46
B.
Urgensi Makna Khalifah dalam Tujuan Pendidikan Islam........................................................................................... 49
C.
Tujuan Pendidikan Islam Berdasarkan Makna Khalifah ........... 53
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan ............................................................................... 57
B.
Saran-Saran .............................................................................. 58
C.
Penutup ..................................................................................... 58
LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
1
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Dalam Islam, manusia dianggap sebagai khalifah di bumi dan seluruh ciptaan lainnya tunduk kepadanya. Menurut al-Qur’an (2: 30-31), setelah menciptakan manusia pertama Adam, Allah SWT mengajarkan kepadanya namanama segala benda.13 Dengan kebesaran-Nya, Allah SWT menciptakan segalanya dari tiada menjadi ada. Kehendaknya adalah sumber ciptaan dan setiap unsur dalam ciptaan memanifestasikan kekuasaan Allah SWT. Karena itu setiap objek dalam ciptaan menunjukkan kualitas dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memberitahukan kepada Adam nama-nama benda, berarti membuatnya sadar akan esensi ciptaan. Dengan kata lain membuat sadar akan sifat-sifat Tuhan dan hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Ini bukanlah semata-mata kesadaran intelektual yang terpisah dari kesadaran spiritual. Ini adalah kesadaran spiritual yang mengontrol, membimbing, dan mempertajam intelek, dengan menanamkan dalam diri nabi Adam perasaan ta’dhim dan hormat kepada Tuhan dan membuatnya mampu menggunakan pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan umat manusia.14 Akan tetapi banyak sekali diantara umat Islam yang memaknai khalifah sebagai khilafah. Dari hari kehari wacana khilafah Islamiyah makin kencang dilontarkan oleh sebagian kelompok umat Islam, lebih-lebih setelah jatuhnya khilafah Islamiyah Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret 1924. Khilafah Utsmaniyah berakhir sejalan dengan kencangnya tuntutan kemerdekaan di berbagai Negara kolonial yang berpenduduk mayoritas seperti Negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, Afrika Utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain. Negara-negara kolonial melihat bahwa kekuasaan Turki Usmani yang kuat yang 1
Soenarjo, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: Departemen Agama RI, 1971), hlm.13-14 Ali Asraf, Horison Baru Pendidikan Islam, pen. Sori Siregar, (Jakarta: Puataka Firdaus, 1996), hlm.1-2. 2
2
menguasai Timur Tengah dan Negara-negara “Eropa Timur” karena kekuatan khalifah yang amat tinggi. Khusus kekuatan Sekularisme didukung oleh kekuatan intern di Turki waktu itu, mengurangi kekuasaan khalifah dari ranah kekuasaan politik.15 Sejak merosotnya umat Islam menjelang serbuan tantara Tar-tar nampak sekali bahwa umat Islam telah gagal merespon kehendak Tuhan karena telah lalai mengkaji isi al-Qur’an maupun hadist Rasul secara total dan komprehensif. Umat Islam sampai hari ini pun masih terjebak dalam sekat-sekat penjara parsial dan hanya mengambil sepenggal-sepenggal untuk kepentingan diri sendiri saja sehingga gambaran besar yang ada dalam al-Qur’an tentang cara-cara hidup di bumi yang selaras dengan tuntunan Allah diabaikan. Akibatnya pengetahuan Tuhan pun seolah lenyap dari umat Islam dan muncul kembali di Eropa untuk membuka zaman baru disana sebagai Era Renaissance yang mengubah banyak hal. Meskipun era tersebut mengawali lahirnya sekularisme, namun Tuhan Maha Adil, sehinnga Dia pun menepati janji bahwa siapapun yang selaras dengan kehendak-Nya, harmonis dengan diri-Nya sebagai Rabbul Alamin akan menerima manfaat yang diperoleh dari seluruh pengetahuan yang telah disampaikan Nabi Adam. Karena kenyataan demikian, kekhalifahan itu harus dikembalikan kepada makna dasar yang lebih elementer karena menyangkut kemampuan individual sebagai manusia berpengetahuan atau khalifah yang unggul, yang bisa menjadi pembimbing bagi manusia lainnya atau bagi kaumnya. Jadi, secara individual semua umat Islam harus mempunyai akhlak dan pengetahuan yang benar dahulu dalam koridor Islam sebagai adab hamba di hadapan pencipta-Nya, yang akhirnya dari keberadabannya itu akan memberikan rahmat sebelum membangun sistem kekhalifahan sebagai suatu identitas global.16
3
M. Abdurrahman Assegaf, “Konsep Khilafah Islamiyah”, http//www.persis.co.id/15112007/, hlm.1 Suryaningsih,”Umat Islam dan Tantangan Untuk Menciptakan Transformasi Besar”, http//suryaningsih.wordpress.com/26122007/, hlm.2-3 4
3
Manusia diciptakan Allah SWT dalam struktur yang paling baik diantara makhluk lain. Ia juga dilahirkan dalam keadaan fitrah, bersih, dan tidak ternoda. Pengaruh-pengaruh yang datang kemudianlah yang akan menentukan seseorang dalam mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, sebagaimana Nabi Muhammad bersabda :
ﻮ ِﺩ ﻮﹸﻟ ﻣ ﻦ ﺎ ِﻣﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮ ﻳﺮ ﺓ ﺃﻧﻪ ﻛﺎ ﻥ ﻳﻘﻮ ﻝ ﻗﺎﻝ ﺭ ﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻲ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻣ 17 ( ﺎ ِّﻧ ِﻪ ) ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﺠﺴ ِ ﻤ ﻳﻭ ﺍِﻧ ِﻪﺼﺮ ِّ ﻨﻭﻳ ﺍِﻧ ِﻪﻬ ِّﻮﺩ ﻳ ﻩ ﺍﺑﻮﺮ ِﺓ ﹶﻓﹶﺄ ﻰ ﺍﹾﻟ ِﻔ ﹾﻄ ﻠ ﻋﻮﹶﻟﺪ ِﺍﻻﱠ ﻳ “Dari Abu Hurairah katanya : Bersabda Rasulullah Saw. Tiap-tiap anak dilahirkan dengan keadaan putih bersih maka dua ibu bapaknya yang meYahudikan atau me-Nasranikan atau me-Majusikan”. (HR. Muslim). Allah memberikan anugrah berupa potensi kepada manusia yang harus dikembangkan dan harus diaktualisasikan agar dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidupnya. Sebagai khalifah ia haruslah memiliki kekuatan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya. Sebagai ‘abd ia harus melaksanakan seluruh usaha dan aktifitasnya dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Dengan pandangan yang terpadu ini maka sebagai khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan. Berdasarkan pengakuan Islam terhadap fitrah dan potensi manusia maka dalam pendidikan Islam, manusia perlu dididik sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam. Menurut Achmadi dalam buku yang berjudul Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan menyatakan bahwa: “yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang berusaha memelihara dan megembangkan fitrah serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam”.6
5
Imam Abi Husain Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Juz IV,(Beirut : Darul al-Kutub, tt).hlm.2047. 6 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media,1992),hlm.20.
4
Karena besarnya peranan manusia di muka bumi dengan segala aspek kehidupannya, pendidikan Islam sangat perlu dan penting sekali. Dengan terbinanya seluruh potensi manusia secara sempurna maka diharapkan mampu untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Atas dasar ini Quraish Shihab berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu melaksanakan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.7 Pendidikan merupakan suatu usaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan serta melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, dan pendidikan akan mengarahkan kepada sumber daya manusia yang berkualitas.8 Selain itu dalam Islam, pendidikan bertujuan menumbuhkan keseimbangan pada kepribadian manusia melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, spiritual, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencari kebaikan dan kesempurnaan. Pada gilirannya tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah SWT pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya.9 Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik, manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Ini menunjukkan konsep khalifah dalam al-Qur’an erat kaitannya dengan pendidikan.
7
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,2007),hlm.173. Marasudin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun: Tinjauan Fenomenologis, dalam Rusman Thoyyib, Darmu’in, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999),hlm.16. 9 Ali Asraf, op. cit.,hlm.2. 8
5
B. Penegasan Istilah Untuk mengurangi kekaburan dan untuk nenghindari kesalahan pengertian atau penafsiran bagi para pembaca, maka penulis perlu memberikan penegasan istilah terhadap masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. a. Makna Khalifah dalam QS. Al-Baqarah Ayat 30 -35 Makna dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti arti atau maksud pembicara atau penulis. Jadi makna adalah arti atau maksud dari suatu obyek yang dikaji.10 Khalifah adalah kata yang berelemen huruf kha’, lam dan fa’ bermakna mengganti, mewakili, generasi dan belakang.11 Sedangkan dalam tafsir Alqur’anul Majid An Nur disebutkan bahwa pengangkatan manusia sebagai khalifah meliputi pengangkatan seluruh manusia pada posisi diatas makhluk lain dengan diberi kekuatan akal.12 Al-Qur’an biasa didefinisikan sebagai “firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai redaksi-Nya kepada Nabi Muhammad SAW dan diterima oleh umat Islam secara mutawattir dan membacanya merupakan ibadah.”13 Dengan definisi ini, kalamullah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain nabi Muhammad, tidak dinamakan al-Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa dan Injil yang diturunkan kepada nabi Isa. Sedangkan yang diteliti disini adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30-35 b. Relevansi Tujuan Pendidikan Islam. Relevansi berasal dari bahasa Inggris relevance yang berarti bersangkut paut atau bisa disebut juga hubungan.14 Dalam kamus popular dijelaskan bahwa makna relevansi adalah hubungan, keterkaitan atau pertalian.15 Sedangkan dalam penelitian ini diartikan dengan hubungan yaitu adanya hubungan antara satu hal
10
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,1995),hlm.619. 11 A.Mustain Syafi’i, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Koran,(Surabaya: Harian Bangsa,2004),hlm.163. 12 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nur,(Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,2000),hlm.71. 13 M.Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an,(Bandung: Mizan,2005),hlm.43. 14 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1993),hlm.475. 15 M.D.J. Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,(Bandung: CV. Pustaka Setia,2000),hlm.261.
6
dengan hal lain yang dapat berguna secara langsung untuk menambah atau melengkapi satu sama lain. Tujuan menurut Zakiyah Daradjat adalah sesuatu yang diharapkan tercapainya setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Selain itu tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang
yang
melaksanakan suatu kegiatan. Karena itu tujuan pendidikan Islam yaitu sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan Islam.16 Menurut Achmadi tujuan pendidikan Islam terbagi menjadi tiga tahapan 17
yaitu:
a. Tujuan akhir: pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah yaitu menjadi hamba Allah yang bertakwa, mampu menjadi khalifah di bumi dan memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. b. Tujuan umum: tujuan ini berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian peserta didik sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang utuh. c. Tujuan khusus : tujuan ini bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama masih tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi. Dari penegasan istilah diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud judul skripsi Makna Khalifah dalam al-Qur’an Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam (Analisis QS. al-Baqarah Ayat 30-35) adalah hubungan makna khalifah yang tersurat dalam surat al-Baqarah ayat 30-35 dengan tujuan pendidikan Islam, artinya unsur kesamaan yang ada antara keduanya dapat dikaji dalam rangka merealisasikan pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW dalam rangka beribadah kepada Allah. 16
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat pendidikan Islam,(Bandung: CV. Pustaka Setia,2001),hlm.68. 17 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005),hlm.28-29.
7
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di muka, maka ada beberapa masalah yang dikaji dalam penelitian ini, permasalahan tersebut antara lain: 1. Bagaimana makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35 ? 2. Bagaimana relevansi makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35 dengan tujuan pendidikan Islam ?
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi 1. Tujuan penelitian skripsi Berpijak dari permasalahan tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35. b. Untuk mengetahui relevansi makna khalifah dalam QS.al-Baqarah ayat 30-35 dengan tujuan pendidikan Islam. 2. Manfaat penelitian skripsi a. Dengan meneliti dan mengkaji makna khalifah yang terkandung dalam QS.al-Baqarah ayat 30-35, maka diharapkan akan dapat meningkatkan wawasan serta pemahaman yang lebih komprehensif tentang makna khalifah dari berbagai sudut pandang para mufassir. b. Dari hasil kajian dan pemahaman ayat di atas, diharapkan dapat membantu usaha penghayatan sekaligus pengamalan terhadap isi, kandungan dan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an baik yang tersirat maupun tersurat dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35. c. Kajian ini dilakukan sebagai salah satu acuan dalam mengarahkan peserta didik untuk dapat mengoptimalkan potensi diri agar dapat berperan sebagai khalifah dalam kehidupan bermasyarakat.
8
d. Dengan melakukan kajian ini diharapkan dapat merumuskan tujuan pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat membantu peserta didik menjalankan fungsinya sebagai khalifah.
E. Kajian Pustaka Kajian tentang manusia dan tujuan pendidikan Islam kaintannya dengan al-Qur’an telah banyak dilakukan, bahkan terdapat beberapa karya ilmiah dan buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang dikaji telah memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam rangka mengkaji dan memahami permasalahan yang dikaji, sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif. Diantara karya ilmiah yang mendukung kajian ini adalah sebagai berikut: Pertama, Tujuan Pendidikan Islam Relevansinya dengan Fungsi Manusia Menurut al-Qur’an (kajian filosifis) yang diteliti oleh Nur Imamah.18 Skripsi ini berisi tentang tujuan pendidikan yang pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, kemudian dikaitkan dengan fungsi manusia menurut al-Qur’an yakni sebagai khalifah dan ‘abdullah yang pada akhirnya menuju terbentuknya insan kamil. Kedua, Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam yang dikaji oleh Syamsu.19 Penelitian ini berisikan tentang manusia secara eksistensial adalah makhluk Allah yang diberi tugas sebagai khalifah di muka bumi, makhluk pribadi yang terdiri dari dwi matra yaitu jiwa dan raga. Pengenalan tentang manusia merupakan langkah pertama yang harus diperhatikan para pakar atau pelaksana pendidikan, karena manusia dalam pendidikan dipandang sebagai subyek dan obyek pendidikan.
18
Nur Imamah, 3100224, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2005, Judul Skripsi : “Tujuan Pendidikan Islam Relevansinya dengan Fungsi Manusia Menurut al-Qur’an (kajian filosifis)”, ( Semarang : 2005), td. 19 Syamsu, 3100056, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2005, Judul Skripsi : “Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam”,( semarang: 2005), td.
9
Ketiga, Makna Ibadah dalam al-Qur’an Surat az-Dzariyat ayat 56 Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam yang dikaji oleh Ali Usman.20 Skripsi ini menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam dan makna ibadah mempunyai hubungan atau keterkaitan dalam ramgka mewujudkan tujuan hidup manusia yaitu sebgai ‘abd dan khalifatullah yang diwujudkan melalui pendidikan. Berbeda dengan beberapa penelitian di atas, maka penelitian ini memfokuskan untuk mengetahui makna khalifah yang terkandung dalam surat alBaqarah ayat 30-35 kaitannya dengan tujuan pendidikan Islam. Dengan harapan agar makna khalifah tersebut dapat menjadi dasar untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam.
F. Kerangka teori Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik dari aspek jasmaniah maupun ruhaniahnya. Karena kesempurnaannya itulah maka untuk dapat memahami, mengenali secara dalam dan totalitas dibutuhkan keahlian yang spesifik. Dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melalui studi yang panjang dan hati-hati tentang manusia melalui al-Qur’an dan sudah tentu di bawah bimbingan dan petunjuk Allah serta berparadigma kepada proses pertumbuhan dan perkembangan eksistensi diri yang terdapat pada para Nabi, Rasul dan khususnya nabi Muhammad SAW. Dalam
sejarah
penciptaan
manusia,
dijelaskan
bahwa
sebelum
diciptakannya manusia, Tuhan telah menyampaikan rencana penciptaan ini kepada para malaikat, agar makhluk ini (manusia) menjadi khalifah (kuasa atau wakil) Tuhan di bumi (QS 2: 30). Dari sini jelas pula bahwa hakikat wujud manusia dalam kehidupan ini adalah melaksanakan tugas kekhalifahan: membangun dan mengolah dunia ini sesuai dengan kehendak Ilahi. Berangkat dari misi al-Qur’an sebagai petunjuk dari Allah dan sebagai pedoman hidup 20
Ali Usman, 3100150, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2005, Judul Skripsi : “Makna Ibadah dalam al-Qur’an Surat az-Dzariyat ayat 56 Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam”, (Semarang : 2004), td.
10
seluruh manusia, maka tugas umat adalah mengkaji dan memahaminya. Tidak sedikit ayat al-Qur’an yang berbicara tentang manusia. Bahkan manusia adalah makhluk pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian wahyu Tuhan yang pertama (QS. 96 : 1- 5 ).21 Allah juga telah menyuruh seluruh manusia untuk menyadari dirinya sendiri, merenungkan dan memikirkan hakikat hidupnya, dari mana asalnya dan hendak kemana dia serta bagaimana ia hidup di dunia ini. Sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzariyat: 21 “Dan (juga) pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan”.22 Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut dengan baik, manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, keterampilan, pengalaman serta sarana pendukung lainnya. Hal ini menunjukkkan bahwa konsepsi manusia dalam alQur’an erat kaitannya dengan pendidikan, khususnya pendidikan Islam.karenanya pembicaraan apapun yang berkenaan dengan pendidikan, pastilah mengupas tentang manusia terlebih dahulu. Sebab manusia merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan. Dalam artian bahwa aktivitas pendidikan berkaiatan dengan proses “humanizing of human being“ proses “memanusiakan manusia“ atau upaya membantu subyek (individual atau satuan sosial) berkembang normatif lebih baik. Ini tentunya dimulai dengan merumuskan hakekat subyek didik (manusia). Dari sini disusunlah sistematika tentang bagaimana seharusnya proses dilaksanakan.23 Persoalan manusia merupakan tema sentral dan titik tolak dalam memaknai pendidikan Islam, termasuk di dalamnya adalah untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam pada dasaranya ingin mengantarkan manusia menuju ke kemanusiaan sejati. Dalam pendidikan Islam,
21
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan , 2007), hlm. 233 22 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan terjemahnya, ( Bandung : Gema Risalah Press , 1992 ), hlm. 13-14 23 A. Noerhadi Djamal, Epistemologi Pendidikan Islam : Suatu Telaah Reflektif Qur’any, dalam Habib Thoha (eds), Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, ( Yogya : Pustaka Pelajar, 1996 ) , hlm. 283
11
pemikiran tentang manusia berdasarkan pada sumber–sumber ajaran Islam diharapkan dapat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
G. Metodologi penelitian 1. Metode pengumpulan data Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan kepustakaan atau literature baik berupa buku laporan ataupun catatan hasil penelitian terdahulu.24 Secara garis besar, sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Sumber primer Sumber primer adalah sumber informasi yang lansung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data lansung pada subyek sebagai informasi yang dicari.25 Dalam skripsi ini, sumber primernya adalah al-Qur’an serta tafsir-tafsirnya, terutama tafsir al-Misbah, tafsir Ibnu Katsir, tafsir alQur’anul Majid An-Nur dan tafsir al-Maraghi. b. Sumber sekunder Sumber sekunder adalah sumber informasi secara tidak langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab atau yang berkaitan dengan tema tersebut.26 Dalam hal ini adalah buku-buku yang relevan dengan pembahasan dalam penelitian ini, diantaranta adalah buku Membumikan al-Qur’an dan bukubuku tentang Filsafat Pendidikan Islam. 2. Metode analisis data a. Metode Maudhu’i Metode yang digunakan adalah metode tafsir maudhu’i. Tafsir maudhu’i ini mempunyai dua macam bentuk kajian. Pertama, pembahasan mengenai satu 24
M. Iqbal Ihsan, Pokok-pokok Materi MetodologiPenelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 11 25 Syaifuddin Azwar, Metode Penelitian , ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001 ) hlm, 90 26 Ibid, hlm..90
12
surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang samasama membicarakan satu masalah tertentu, ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’i.27 Kedua bentuk metode tafsir maudhu’i tersebut digunakan dalam penelitian ini adalah agar mendapat penjelasan makna khalifah dalam alQur’an terutama dalam surat al-Baqarah ayat 30-35 secara komprehensif. b. Metode Interpretatif Metode ini berperan untuk mencari makna yang merupakan upaya untuk menangkap dibalik yang tersurat, selain itu juga mencari makna yang tersirat serta mengaitkan dengan hal-hal yang terkait yang sifatnya logik teoritis dan transendental.28 Metode digunakan dalam rangka mencari kandungan surat alBaqarah ayat 30-35 tentang khalifah relevansinya dengan tujuan pendidikan Islam.
27
Abd. Al-Hay Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Sebuah Pengantar ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994 ), hlm. 35-36 28 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, ( Yogyakarta: Rake Surasin, 1996 ), hlm. 65.
13
BAB II MAKNA KHALIFAH DALAM Q.S AL-BAQARAH AYAT 30-35 A. Pengertian Khalifah Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam al-Qur’an yaitu dalam al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Sedangkan dalam bentuk plural ada dua bentuk yang digunakan yaitu: (a) khalaif yang terulang sebanyak empat kali terdapat dalam surah al-An’am ayat 165, Yunus ayat 14 dan 73 dan Fathir ayat 39; (b) khulafa’ terulang sebanyak tiga kali pada surah al-A’raf ayat 69 dan 74 dan al-Naml ayat 62. Keseluruhan kata tersebut pada berakar dari kata khalafa yang pada mulanya berarti “di belakang”. Dari sini kata khalifah sering kali diartikan sebagai “pengganti”.1 Manusia di dunia ini memiliki kedudukan yang istimewa. Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Al-Qur’an menyatakan :
( ٣٠ :)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ...... ﺧﻠِﻴ ﹶﻔ ﹰﺔ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ِﻋ ﹲﻞ ﻓِﻲ ﹾﺍ َﻷﻲ ﺟﻼِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ِﺇﻧﻚ ِﻟ ﹾﻠﻤ ﺑﺭ ﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, bahwa sesungguh-Nya aku akan menjadikan di bumi seorang Khalifah …. (QS. alBaqarah : 30 ) 2 Menurut Quraish Shihab, kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini kata khalifah ada yang memahami dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, namun hal ini bukan berarti Allah tidak mampu atau menjadikan manusia
1
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,(Bandung: Mizan, 2007) hlm. 157 2 Soenarjo dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama Islam, 1971), hlm.13
14
berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan.3 Dalam Lisanul Arab disebutkan:
ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻻﺛﲑ ﺍﳋﻠﻴﻔﺔ ﻣﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺬﺍﻫﺐ ﻭﻳﺴﺪ ﻣﺴﺪﻩ ﻭﲨﻌﻪ ﺍﳋﻠﻔﺄ Ibnu Atsir berkata Al Khalifah ( ) اﻟﺨﻠﻴﻔﺔartinya adalah orang yang mengambil alih posisi orang lain yang “pergi” dan melanjutkan tugasnya. Dan jamaknya adalah khulafa’ ﺧﻠﻔﺄ4 Asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa yang menggantikan itu boleh jadi menyangkut waktu ataupun tempat. Ayat ini dapat berarti pergantian antara sesama makhluk manusia dalam kehidupan dunia ini, tetapi dapat juga berarti kekhalifahan manusia yang diterimanya dari Allah. Namun asy-Sya’rawi tidak memahaminya dalam arti bahwa manusia yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya, akan tetapi ia memahami kakhalifahan tersebut berkaitan dengan reaksi dan ketundukan bumi kepada manusia yang dianugerahkan Allah kepada manusia.5 Al Maraghi berpendapat bahwa khalifah berarti jenis lain dari makhluk sebelumnya, disamping itu bisa juga diartikan sebagai pengganti Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap manusia. Sebagian mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan khalifah
di sini adalah sebagai
pengganti Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya kepada manusia. Oleh sebab itu istilah yang mengatakan “manusia adalah khalifah Allah di bumi”, sudah sangat popular.6
3
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan , Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol 1 ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ) hlm. 142 4 Ibnu Manzur Jamaluddin al-Anshary, Lisanul Arab, (Mesir: Darul Misriyah, tt.,), hlm. 437. 5 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Vol 4 ( Jakarta : Lentera Hati, 2001 ) hlm. 363- 364 6 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Beirut: Darul Kutub, tt.,) hlm. 134.
15
Sebagai dalilnya adalah firman Allah kepada nabi Daud :
(٢٦ :ﺹ ) …ﺽ ِ ﺭ ﺧﻠِﻴ ﹶﻔ ﹰﺔ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻙ ﺎﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﺎﺩ ِﺇﻧ ﻭ ﺍﺎ ﺩﻳ Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di bumi… (QS. Shad: 26) 7 Kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud a.s. berkaitan dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini diperoleh Daud berkat anugerah ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan.8 Pengangkatan khalifah ini menyangkut juga pengertian pengangkatan sebagian manusia yang di beri wahyu oleh Allah tentang syari’at-syari’at-Nya. Kemudian juga mencakup seluruh makhluk (manusia) yang berciri memiliki kemampuan berpikir yang luar biasa.9 Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa khalifah dalam surat alBaqarah ayat 30 berarti kaum yang silih berganti menghuni dan meliputi kekuasaan dan pembangunan nya.10 Sebagaimana firman Allah dalam surah alAn’am ayat 165:
(١٦٥: )ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ... ﺽ ِ ﺭ ﻒ ﹾﺍ َﻷ ﻼِﺋﻢ ﺧ ﻌﹶﻠﻜﹸ ﺟ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻭﻫ Dialah Allah yang menjadikan kalian silih berganti menghuni dan menguasai bumi… (QS. al-An’am: 165)11 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menambahkan bahwa Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah meliputi:12 a) Pengangkatan sebagian anggota masyarakat manusia dengan mewahyukan syari’at-Nya kepada mereka untuk menjadi khalifah. 7
Soenarjo, op. cit., hlm. 736 Quraish Shihab, op. cit., hlm. 157 9 Ahmad Musthofa Al Maraghi, op. cit., hlm. 134 10 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1987), hlm. 80 11 Sunarjo, op. cit., hlm. 217 12 Tengku Muhammad Hasybi Ash Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, ( Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000 ), hlm 71 8
16
b) Pengangkatan seluruh manusia pada posisi diatas makhluk lain dengan diberi kekuatan akal. Sebagian tanda hikmah Allah yang sangat nyata adalah dijadikannya manusia sebagai khalifah di bumi dengan memiliki kemampuan yang luar biasa yang menampakkan keajaiban dan rahasia-rahasia yang terpendam dalam ciptaan Allah. Makna term khalifah memunculkan banyak pendapat. Perbedaan pendapat juga muncul dalam pembicaraan mengenai siapa yang mengganti atau mengikuti siapa, dalam hal ini terdapat tiga pendapat yang berbeda.13 Pendapat pertama mengatakan bahwa manusia merupakan spesies yang menggantikan spesies lain yang lebih dahulu hidup di bumi. Menurut pendapat ini, yang mendahului manusia hidup di bumi adalah jin. Dengan demikian manusia menurut pendapat ini merupakan khalifah jin di atas bumi. Pendapat kedua mengatakan bahwa tiada makhluk lain di bumi yang digantikan manusia. Istilah khalifah bagi kelompok ini menunjuk kepada sekelompok manusia yang mengganti kelompok lain. Salah satu ayat yang digunakan sebagai penguat pendapat ini adalah :
... ﺽ ِ ﺭ ﺧﹶﻠﻔﹶﺎ َﺀ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻢ ﻌﻠﹸﻜﹸ ﺠ ﻳﻭ ﻮ َﺀ ﺍﻟﺴﺸﻒ ِ ﻳ ﹾﻜﻭ ﻩ ﺎﺩﻋ ﺮ ِﺇﺫﹶﺍ ﻀ ﹶﻄ ﻤ ﺐ ﺍﹾﻟ ﻳﺠِﻴ ﻦ ﻣ ﹶﺃ (٦٢:)ﺍﻟﻨﻤﻞ Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi… (QS. alNaml: 62)14 Sedangkan pendapat ketiga menjelaskan bahwa khalifah bukanlah sekedar menunjuk pengertian seorang mengganti atau mengikuti orang lain, namun
13
Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory, A Quranic Outlook, terj. Mutammam, ( Bandung : CV. Diponegoro, 1991), hlm. 68-69 14 Soenarjo, op. cit. hlm. 601
17
khalifah disini adalah khalifah Allah. Mulanya Allah kemudian datang khalifahNya yang berperilaku dan berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran-Nya. Ar-Razi, atThabari, Thabathaba’i dan Qurthubi condong dengan penafsiran yang ketiga ini. Dengan mengkaji ketiga penafsiran tersebut menunjukkan bahwa secara umum
ketiganya
memiliki
titik
singgung,
meskipun
diekspresikan masing-masing tampak sekali. Makna dalam
ketiga
penafsiran
tersebut.
Dinamakan
perbedaan
yang
term khalifah tercakup khalifah
adalah
karena
menggantikan yang lain apakah Allah, kelompok manusia lain atau makhluk selain manusia seperti jin. Dalam hal ini dua penafsiran pertama terasa tidak tepat. Keduanya tidak mengisyaratkan peran yang dimainkan oleh khalifah. Dengan menyatakan bahwa pengertian sebenarnya adalah khalifah Allah, penafsiran ketiga memberikan makna lebih dalam terhadap term khalifah. Penafsiran yang ketiga ini nampak adanya hubungan antara manusia dengan Allah, bukan hanya antara manusia dengan manusia atau manusia dengan makhluk lain. Kata khulafa dalam surat al-A’raf menggambarkan manusia sebagai yang melakukan interaksi dengan lingkungan fisiknya, mereka membangun gununggunung dan dataran. Sedangkan dalam surat al-An’am menerangkan bahwa khalaif diberi status demikian adalah untuk menguji mereka, sedangkan dalam surah Fathir manusia diberi status khalifah agar mereka bertanggung jawab terhadap perbuatan mereka yang salah. Makna yang sama juga dinyatakan dalam ayat berikut 15:
(١٤:ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ )ﻳﻮﻧﺲ ﻌ ﺗ ﻒ ﻴﺮ ﹶﻛ ﻨﻈﹸﻨﻢ ِﻟ ﻌ ِﺪ ِﻫ ﺑ ﻦ ﺽ ِﻣ ِ ﺭ ﻒ ﻓِﻲ ﹾﺍ َﻷ ﻼِﺋ ﺧ ﹶ ﻢ ﺎ ﹸﻛﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﹸﺛﻢ Kemudian Kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami perhatikan bagaimana kalian berbuat. (QS. Yunus: 14) 16 Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa semua manusia dipilih menjadi khalifah atau khulafa adalah dalam kondisi tertentu. Pemegang 15 16
Abdurrahman Saleh Abdullah, op. cit., hlm. 71 Soenarjo, op. cit., hlm. 307
18
jabatan khalifah ini tidak lepas dari pengawasan Allah dalam melaksanakan fungsinya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapakah khalifah itu atau apakah terdapat lebih dari satu khalifah di muka bumi? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa gelar khalifah adalah khusus diberikan kepada Adam, tidak kepada yang lain. Pendapat kedua tidak menolak gelar khalifah bagi Adam tetapi mereka tidak membatasi gelar khalifah hanya untuk Adam yang diangkat sebagai khalifah oleh Allah dihadapan para malaikat. Dengan demikian gelar khalifah tidak khusus milik Adam namun berlaku untuk seluruh manusia. Penafsiran ini menjelaskan dan membawa kepada pemahaman langsung ayat-ayat yang berbicara mengenai khulafa atau khalaif atau Daud sebagai khalifah. Penafsiran ini memberikan prestis tinggi kepada manusia tanpa mengurangi hak Adam.17 Pendapat kedua ini diperkuat oleh Abdullah Assegaf bahwa yang dimaksud khalifah adalah khalifah Allah SWT yang secara hakiki mewakili dalam penyampaian, penghantaran, dan perwujudan hukum-hukum Allah yaitu Zat dimana kekhalifahan itu berasal. Dengan demikian, makna khalifah tidaklah dinisbatkan kepada Adam saja melainkan seluruh manusia. Adapun ayat yang menguatkan pernyataan bahwa makna khalifah itu umum, tersurat dalam alA’raf:69, Yunus:14, dan al-Naml:62. ini merupakan penegasan Allah SWT bahwa khalifah yang diturunkan Allah adalah al-insan.18
B. Deskripsi QS. al-Baqarah Ayat 30 -35
ﺎ ﻓِﻴﻬﺴﺪ ِ ﹾﻔﻦ ﻳ ﻣ ﺎﻌﻞﹸ ﻓِﻴﻬ ﺠ ﺗﺧﻠِﻴ ﹶﻔ ﹰﺔ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﹶﺃ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ِﻋ ﹲﻞ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻲ ﺟﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ِﺇﻧ ﻚ ِﻟ ﹾﻠ ﺑﺭ ﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻮ ﹶﻥﻌﹶﻠﻤ ﺗ ﺎ ﻟﹶﺎ ﻣﻋﹶﻠﻢ ﻲ ﹶﺃﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﻧ ﺱ ﹶﻟ ﺪ ﹶﻘﻭﻧ ﻙ ﻤ ِﺪ ﺤ ﺢ ِﺑ ﺴﺒ ﻧ ﺤﻦ ﻧﻭ ﺎ َﺀﺪﻣ ﺍﻟﺴ ِﻔﻚ ﻳﻭ
( ٣٠ : )ﺍﻟﺒﻘﺮ ﺓ
17 18
Abdurrahman Saleh Abdullah, op. cit. hlm. 72 Abdullah Assegaf , “ Khalifah “, http// www.12-imam.com/05102007/, hlm. 1
19
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi “. Mereka berkata : “ mengapa Engkau hendak menjadikan ( khalifah ) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. al-Baqarah: 30 )19 Dalam ayat ini Allah menyampaikan keputusan-Nya kepada para malaikat tentang rencana penciptaan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting, karena malaikat akan di bebani sekian tugas menyangkut manusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya dan sebagainya. Penyampaian ini bisa jadi setelah penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk di huni manusia pertama (Adam) dengan nyaman.20 Mendengar rencana tersebut para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian atau bisa juga berdasarkan asumsi bahwa karena yang ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih mensucikan Allah SWT. Mendengar pertanyaan mereka, Allah menjawab singkat tanpa membenarkan atau menyalahkan, karena memang akan ada diantara yang diciptakannya itu berbuat seperti yang diduga malaikat. Allah hanya menjawab singkat, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.21 Menurut Muhammad Abduh ayat ini mengisyaratkan bahwa setelah menciptakan bumi, mengelola dan mengaturnya, memberikan kekuatan-kekuatan 19
Soenarjo, op.cit,. hlm. 13 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,( Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), hlm. 141 21 Ibid. hlm. 142 20
20
rohani yang dikehendakinya yang menjadi penegak bumi, serta menjadikan semacam kekuatan bagi masing-masing yang senantiasa berada padanya, Allah pun menciptakan manusia dengan dilengkapi kekuatan yang mampu membuat mereka
dapat
mengelola
dan
menata
segala
bentuk
kekuatan
serta
menundukkanya untuk kemakmuran bumi.22 Dengan kemampuan akal, manusia bisa mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan. Manusia dapat berkreasi, mengolah pertambangan, tumbuhtumbuhan, dapat menyelidiki lautan, daratan dan udara serta dapat merubah wajah bumi yang tandus menjadi subur dan bukit yang terjal bisa menjadi dataran atau lembah yang subur. Dengan kemampuan akalnya, manusia juga dapat merubah jenis tanaman baru sebagai hasil cangkok, sehingga tumbuh pohon yang sebelumnya belum pernah ada. Semuanya ini diciptakan Allah yang maha kuasa untuk kepentingan umat manusia.23 Hal ini menunjukkan bahwa manusia dianugerahi oleh Allah dengan bakat-bakat dan keistimewaan dalam dirinya. Sehingga ia akan mampu melaksanakan funfsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan segala kemampuannya, manusia akan dapat mengungkapkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah.
ﺆﻟﹶﺎ ِﺀ ﻫ ﺎ ِﺀﺳﻤ ﻧِﺒﺌﹸﻮﻧِﻲ ِﺑﹶﺄﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﻢ ﺿﻬ ﺮ ﻋ ﺎ ﹸﺛﻢﺎ َﺀ ﹸﻛﱠﻠﻬﺳﻤ ﻡ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﺩ ﻢ َﺁ ﻋﻠﱠ ﻭ ﻢ ﻌﻠِﻴ ﺖ ﺍﹾﻟ ﻧﻚ ﹶﺃ ﻧﺎ ِﺇﺘﻨﻤ ﻋﱠﻠ ﺎﺎ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣﻢ ﹶﻟﻨ ﻚ ﻟﹶﺎ ِﻋ ﹾﻠ ﻧﺎﺒﺤﺳ ﹶﻗﺎﻟﹸﻮﺍ.ﲔ ﺎ ِﺩِﻗﻢ ﺻ ﺘﻨِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ (٣٢–٣١:ﻢ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﺤﻜِﻴ ﺍﹾﻟ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama ( benda-benda ) seluruhnya, kemudian mengemukakannya pada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
22 23
Teuku M. Hasbi As-Shidiqie, op. cit; hlm. 73 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, op. cit.,hlm. 134
21
ajarkan kepada Kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah: 31-32)24 Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda. Misalnya fungsi api, angin, air dan sebagainya. Dia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan di mulai denghan kata kerja, tetapi mengajarkannya terlebih dahulu nama-nama. Sebagian ulama ada yang memahami pengajaran nama-nama kepada Adam dalam arti mengajarkan kata-kata. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ketika dipaparkan nama-nama benda itu, pada saat yang sama beliau mendengar suara yang menyebut nama benda itu pada saat dipaparkannya, sehingga beliau memiliki kemampuan untuk memberi kepada masing-masing benda nama-nama yang membedakannya dari benda yang lain. Pendapat ini lebih baik dari pendapat pertama. Ia pun tercakup oleh kata mengajar karena mengajar tidak selalu dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata atau ide, tetapi dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta didik sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat melahirkan aneka pengetahuan. Dengan
demikian
salah
satu
keistimewaan
manusia
adalah
kemampuannya mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya menagkap bahasa sehingga ini mengantarkannya untuk “mengetahui”. Di sisi lain kemampuan manusia merumuskan ide dan memberi nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan. 25 Di samping itu nama-nama segala benda yang oleh para ahli tafsir diartikan sifat segala sesuatu serta ciri-cirinya yang lebih dalam, segala sesuatu disini termasuk juga perasaan. Ciri-ciri dan perasaan tertentu yang berada di luar 24 25
Soenarjo, op.cit,.hlm.14 M.Quraish Shihab, op.cit,. hlm.146-147
22
para malaikat oleh Tuhan diberikan pada sifat manusia. Dengan demikian manusia mampu menggunakan cinta kasih dan memahami arti cinta kasih dan dengan ini manusia membuat rencana serta berinisiatif, sesuai kedudukannya sebagai khalifah.26 Setelah
mengajari
Adam
tentang
segala
macam
nama,
Allah
mengemukakan hal itu kepada para malaikat dengan itu mereka mengetahui bahwa Adam (manusia) mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang tidak mereka ketahui dan manusia sanggup memegang kekhalifahan di bumi. Karakternya sebagai penumpah darah seperti dikhawatirkan malaikat tidak menghilangkan hikmah Allah menjadikan Adam (manusia) sebagai khalifah. Ucapan malaikat “Maha Suci Engkau“ yang mereka kemukakan sebelum menyampaikan ketidaktahuan mereka, menunjukkan betapa mereka tidak bermaksud membantah atau memprotes ketetapan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, sekaligus sebagai pertanda “penyesalan“ mereka atas ucapan atau kesan yang ditimbulkan oleh pertanyaan itu.27
ﻋﹶﻠﻢ ﻲ ﹶﺃﻢ ِﺇﻧ ﻢ ﹶﺃﹸﻗ ﹾﻞ ﹶﻟﻜﹸ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃﹶﻟ ﺎِﺋ ِﻬﺳﻤ ﻢ ِﺑﹶﺄ ﺒﹶﺄﻫﻧﺎ ﹶﺃﻢ ﹶﻓﹶﻠﻤ ﺎِﺋ ِﻬﺳﻤ ﻢ ِﺑﹶﺄ ﻬ ﻧِﺒﹾﺌ ﹶﺃﺩﻡ ﺎ َﺁﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻳ ِ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﺎﻭﺴﻤ ﺐ ﺍﻟ ﻴﹶﻏ ( ٣٣ :ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺘﻤﺗ ﹾﻜ ﻢ ﺘﻨﺎ ﹸﻛﻭﻣ ﺪﻭ ﹶﻥ ﺒﺗ ﺎ ﻣﻋﹶﻠﻢ ﻭﹶﺃ ﺽ Allah berfirman, “Hai Adam beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahu rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?. (QS. alBaqarah: 33)28 Dalam ayat sebelumnya Allah telah mengajarkan nama-nama benda pada Adam. Kemudian dalam ayat ini Allah membuktikan kemampuan khalifah (Adam) kepada malaikat. Allah memerintahkan Adam untuk memberitahukan nama-nama benda kepada malaikat. 26
Abdullah Yusuf Ali, Terjemah The Holy Qur’an,( Jakarta, Pustaka Firdaus: 1993 ), hlm. 24 M.Quraish Shihab, op.cit,. hlm.147 28 Soenarjo, loc. cit,. 27
23
Hikmah Tuhan mengajarkan nama-nama kepada Adam dan kemudian mengajarkannya kepada para malaikat adalah untuk memuliakan Adam dan mengutamakannya, sehingga malaikat tidak membanggakan diri dengan ilmu dan makrifatnya. Selain itu juga untuk menunjukkan rahasia ilmu yang tersimpan dalam perbendaharaan ilmu Allah yang Maha Luas dengan perantaraan lisan seorang hamba yang dikehendaki-Nya.29 Meskipun malaikat merupakan makhluk-makhluk suci yang tidak mengenal dosa, tetapi mereka tidak wajar menjadi khalifah, karena yang bertugas menyangkut
sesuatu
harus
memiliki
pengetahuan
tentang
aspek-aspek
pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya. Khalifah yang akan bertugas di bumi, harus mengenal apa yang ada di bumi, paling sedikit nama-namanya atau bahkan potensi yang dimilikinya. Hal ini tidak diketahui oleh malaikat, tetapi Adam mengetahuinya. Karena itu, dengan jawaban para malaikat sebelum ini dan penyampaian Adam kepada mereka terbuktilah kewajaran makhluk yang diciptakan Allah itu untuk menjadi khalifah di dunia. Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah SWT, yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama untuk mengolah
bumi
ini.
Tanpa
pengetahuan
atau
pemanfaatan
potensi
berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal meskipun seandainya dia tekun ruku’, sujud dan beribadah kepada Allah. Melalaui kisah ini, Allah SWT bermaksud menegaskan bahwa bumi dikelola bukan semata-mata hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi juga dengan amal ilmiah dan ilmu amaliah.30
29 30
Teuku M. Hasbi As-Shidiqie, op. cit; hlm. 76 M. Quraish Shihab, op.cit.,hlm. 150-151
24
ﻦ ﻭﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﻣ ﺮ ﺒﺘ ﹾﻜﺳ ﺍﻰ ﻭﺲ ﹶﺃﺑ ﺑﻠِﻴﻭﺍ ِﺇﻟﱠﺎ ِﺇﺠﺪ ﺴ ﻡ ﹶﻓ ﺩ ﻭﺍ ِﻟ َﺂﺠﺪ ﺳ ﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ﺍ ﺎ ِﻟ ﹾﻠﻭِﺇ ﹾﺫ ﹸﻗ ﹾﻠﻨ ( ٣٤:ﻦ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﺍﹾﻟﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. alBaqarah: 34 )31 Setelah Allah membuktikan kemampuan Adam kepada para malaikat, selanjutnya Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam sebagai penghormatan kepada sang khalifah yang dianugerahi ilmu dan mendapat tugas mengelola bumi. Ini adalah penghormatan dalam bentuk paling tinggi kepada makhluk yang akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Akan tetapi manusia diberi rahasia yang bisa mengangkat derajatnya lebih tinggi daripada malaikat. Mereka diberi rahasia makrifat sebagaimana mereka diberi rahasia iradah yang merdeka untuk memilih jalan hidup. Berbagai macam tabiat dan kemampuannya untuk mengendalikan iradahnya dalam menghadapi jalan yang sulit dan keseriusannya mengemban amanah hidayah ke jalan Allah dengan usahanya yang khusus. Semua ini adalah sebagian rahasia penghormatan kepada mereka.32 Sujud secara bahasa berarti tunduk. Ungkapan paling kongkrit dari sujud ini adalah meletakkan kening di lantai (tanah). Ada dua makna sujud. Pertama, sujud penyembahan (sujud ibadah), yakni sujud yang hanya dilakukan seorang hamba kepada pencipta-Nya. Sujud ini hanya khusus kepada Allah saja. Kedua, sujud penghormatan (sujud takrim), yaitu sebuah sikap penghargaan dari makhluk kepada sesama makhluk yang mempunyai kelebihan. Sebagaimana sujud para malaikat kepada Adam.33
31
Soenarjo, loc.cit,. Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. As’ad Yasin dkk,( Jakarata : Gema Insani Press, 2000 ), hlm. 97 33 A. Mustain Syafi’i, Tafsir Qur’an Bahasa Koran,( Surabaya : Harian Bangsa, 2004 ) , hlm. 195 32
25
Mengenai sujud kepada Adam, ada beberapa pendapat:34 1. Sujud untuk memuliakan Adam, bukan menyembahnya. 2. Sujud tahiyyah kepada Adam, sebaigama dikatakan Ibnu Anbar bahwa sujud malaikat kepada Adam merupakan sujud tahiyyah bukan sujud ibadah. 3. Sujud memuliakan Adam atas nama ibadah kepada Allah. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa firman ini bermakna sujudlah bagi Adam dengan perintah Allah dan ketetapan-Nya. Ayat ini dapat menjadi dasar tentang kewajiban menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan, sebagaimana ayat 35 yang mempersilahkan Adam dan isterinya bertempat tinggal di surga. Hal ini menjadi syarat atas kewajaran ilmuan dan keluarganya mendapat fasilitas, yang tentu saja antara lain agar ia dapat lebih dapat mengembangkan ilmunya.
ﺎﺮﺑ ﺗ ﹾﻘ ﻭﻟﹶﺎ ﺎﺘﻤﻴﺚﹸ ِﺷﹾﺌﺣ ﺍﺭ ﹶﻏﺪ ﺎﻨﻬﻭ ﹸﻛﻠﹶﺎ ِﻣ ﻨ ﹶﺔﺠ ﻚ ﺍﹾﻟ ﻭﺟ ﺯ ﻭ ﺖ ﻧﻦ ﹶﺃ ﺳ ﹸﻜ ﺍﺩﻡ ﺎ َﺁﺎ ﻳﻭﹸﻗ ﹾﻠﻨ ﻦ ﺍﻟﻈﱠﺎِﻟ ِﻤ ﺎ ِﻣﺘﻜﹸﻮﻧﺮ ﹶﺓ ﹶﻓ ﺠ ﺸ ﻫ ِﺬ ِﻩ ﺍﻟ ( ٣٥ :ﲔ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim. (QS. al-Baqarah: 35)35 Ayat ini berhubungan dengan kandungan ayat 30 sampai dengan ayat 34. seluruh ayat ini menguraikan satu episode dari kisah Adam. Dalam ayat ini Allah berfirman sebagai pemberitahuan mengenai perkara yang dengannya Adam dimuliakan Allah. Allah membolehkannya untuk mendiami surga dimana saja yang disukainya dan memakan yang diinginkannya dengan sepuas-puasnya yaitu berupa makanan yang menyenangkan, banyak dan baik.36
34
Teuku M. Hasby As-Shidiqie, Tafsir al-Bayan I ( Semarang : Thoha Putra, 1977 ), hlm. 193 Soenarjo, loc.cit,. 36 M. Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terj. Shihabuddin ( Jakarta : Gema Insani Press, 2001 ) , hlm. 111 35
26
Ada dua statemen dalam ayat ini yang diperuntukkan buat Adam dan pasangannya. Pertama, perintah bersakinah, mendiami secara damai dan menikmati segala fasilitas surga. Kedua, larangan mendekati pohon khusus. Ini adalah dasar semua aturan yang ada di dunia yakni perintah dan larangan. Seorang hamba disebut sebagai taat dan berbakti jika telah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.37 1. Perintah hidup sakinah, dalam perintah ini terdapat dua item : 38 a. “Uskun anta wa zaujuk”, yaitu hidup rukun bersama istri. Perintah ini diawali dengan menunjuk dhamir khitab mufrad mudzakar, “anta” yang artinya kaum lelaki, Adam, suami adalah isyarat bahwa menciptakan rumah tangga yang sakinah itu diawali dari suami terlebih dahulu. Seorang suami adalah pencipta dan pengendali rumah-rumah sakinah. Hal ini menunjukkan bahwa tugas seorang khalifah diantaranya adalah membina keluarga sakinah. b. Puas makan “Wa kula minha raghadan haitsu syi’tuma”. Dalam ayat ini terdapat korelasi yang positif antara perintah menciptakan kedamaian dalam rumah tangga dengan makan yang lezat dan puas. Hal ini tersirat dalm pesan Allah tentang rumah tangga Adam dan Hawa di surga, bahwa kedamaian keluarga terkait dengan datangnya rizki yang cukup sehingga dapat makan yang lezat dan nikmat. Kata “raghadan“ menunjuk nilai makanan yang tinggi baik kualitas maupun kuantitas. Ini adalah lambang kemapanan ekonomi dan banyaknya rejeki. 2. Jangan melanggar”Wala taqraba hadzih al-syajarah”. Sesungguhnya di dunia ini tidak ada kebebasan mutlak. Jangankan di dunia, di surga sekalipun tetap ada aturan termasuk aturan yang melarang Adam untuk mendekati pohon terlarang. Tuhan menghendaki hidup berumah tangga iru ibarat menempati surga, atau dengan kata lain menciptakan surga di rumah sendiri. Agar 37 38
A. Mustain Syafi’i, op.cit,. hlm. 203 Ibid, hlm. 203 -207
27
suasana surga tetap menghiasi rumah, maka anggota keluarga itu jangan sampai ada yang melanggar aturan.39 Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman hidup di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini yang meliputi kecukupan sandang, pangan dan papan, serta rasa aman sekaligus arah terakhir bagi kehidupan akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis dengan akibat yang fatal itu adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bagi manusia bahwa jangankan yang belum masuk, yang sudah masuk ke surga pun bila mengikuti rayuan Iblis akan terusir dari surga.40 Dengan demikian manusia harus dapat mengambil hikmah dari pengalaman hidup Adam dan Hawa di surga ini, agar dalam menjalankan hidupnya ia akan berhati-hati dengan godaan Iblis yang dapat menggelincirkannya untuk tidak mematuhi perintah-perintah Allah SWT. Berdasarkan deskripsi surat al-Baqarah ayat 30-35, maka makna khalifah tidak hanya dapat dipahami sebagai penggantian atau pewarisan. Khalifah disini berarti wakil Allah dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya di bumi. Hal ini adalah sebuah penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia karena ia adalah makhluk yang paling sempurna. Isyarat yang paling jelas dalam kisah Adam ini ialah nilai terbesar yang diberikan oleh tashawwur Islam mengenai manusia dan peranannya di muka bumi, kedudukannya di dalam tatanan alam semesta dan nilai-nilai yang dijadikan timbangan serta hakikat hubungannya dengan janji Allah SWT. Berdasarkan pandangan terhadap manusia yang demikian, dapat diambil pelajaran yang bernilai tinggi: pertama, manusia adalah khalifah, sayid (majikan) di bumi, karena itu segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia. Kedua, manusia memegang peranan utama di bumi, merekalah yang membuat perubahan-perubahan dan memodifikasi bentuk dan tatanannya. Pandangan al39
Ibid, hlm. 209 M. Quraish Shihab, Wawasan al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, ( Bandung : Mizan, 1994 ), hlm. 283 40
28
Qur’an menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi sebagai pihak yang aktif dalam tatanan alam semesta ini. Ketiga, pandangan Islam yang luhur terhadap hakikat manusia dan tugasnya melahirkan sikap menjunjung tinggi nilai kesopanan, menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan dan nilai-nilai akhlak, nilai iman, kesalehan di dalam kehidupannya. Inilah nilai-nilai yang menjadi tumpuan pelaksanaan janji kekhalifahannya. Keempat, pandangan Islam menjunjung tinggi iradah manusia yang merupakan tempat bergantungnya perjanjian dengan Allah, tempat bergantungnya penugasan dan pembalasan. Ia mengangkat derajat manusia, mengendalikan kehendaknya, dan mengalahkan gangguan yang menggodanya. Selanjutnya peristiwa peperangan yang digambarkan oleh kisah ini yaitu antara manusia dan setan terdapat peringatan. Peperangan ini merupakan peperangan antara pelaksanaan perjanijian Allah dan penyelewengan setan.41 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah manusia yang aktif dalam tatanan alam semesta, seorang khalifah adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keimanan dan amal saleh serta manusia kreatif yang mampu membangun dunia ini sesuai dengan ketetapanNya.
C. Khalifah Sebagai Manusia Terdidik Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, ia diciptakan demikian agar dapat berperan sebagai khalifah di muka bumi. Manusia sebagai khalifah merupakan cita ideal. Manusia ideal memiliki tiga aspek, yaitu: kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia mempunyai pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas. Dalam kerangka ini kekhalifahan manusia di bumi nampaknya relatif berhasil. Misalnya Tuhan telah menciptakan matahari guna menerangi rumah
41
Sayyid Quthb, op. cit.,hlm.102-103
29
manusia. Dengan kreatifitasnya manusia telah mampu membawa sinar surya itu ke dalam rumah melalui PLTS ( Pembangkit Listrik Tenaga Surya )42 . Sebagai khalifah, manusia bertugas mengatur dunia ini. Dalam melaksanakan tugas ini sesungguhnya ia akan diuji apakah akan melaksanakan tugasnya dengan baik atau sebaliknya. Mengurus dengan baik adalah mengurus dunia ini sesuai dengan kehendak Allah, sesuai dengan pola yang ditentukan-Nya agar kemanfaatan alam semesta dan segala isinya dapat dinikmati oleh manusia dan makhluk lainnya. Kalau sebaliknya, pengurusan itu tidak baik, artinya tidak sesuai dengan pola yang ditetapkan oleh Allah SWT. Untuk dapat melaksanakan tugasnya menjadi khalifah Allah, manusia diberi akal pikiran dan kalbu yang tidak diberikan kepada makhluk lain. Dengan akal pikirannya, manusia mampu mengamati alam semesta. Menghasilkan dan mengembangkan ilmu yang benihnya telah “disemaikan“ Allah sewaktu mengajarkan nama-nama (benda) kepada manusia asal, waktu Allah menjadikan manusia (Adam) menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini dahulu. Dengan akal dan pikirannya yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia diharapkan mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah. Dengan mengabdi kepada Allah dan mengemban amanah sebagai khalifahnya di bumi, manusia diharapkan akan dapat mencapai tujuan hidupnya memperoleh keridha’an ilahi di dunia ini, sebagai bekal mendapatkan keridha’an Allah di akhirat nanti. Manusia sebagai khalifah di bumi bertugas untuk memakmurkan bumi. Tugas memakmurkan bumi artinya mensejahterakan kehidupan di dunia ini. Untuk itu manusia wajib bekerja, beramal shaleh yaitu berbuat baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya, serta menjaga
42
Widodo Supriyono, Filsafat Manusia Dalam Islam,dalam Reformulasi Pendidikan Islam. Peny. Chabib Thoha, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ).hlm.183
30
keseimbangan alam dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntunan yang diberikan Allah melalui agama.43 Sebagai khalifah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas tugasnya dalam menjalankan mandat Allah. Adapun mandat yang dimaksud adalah:44 1. Patuh dan tunduk sepenuhnya pada titah Allah serta menjauhi laranganNya. 2. Bertanggung jawab atas kenyataan dan kehidupan di dunia sebagai pengemban amanah Allah. 3. Berbekal diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, hidayah agama dan kitab suci. 4. Menerjemahkan segala sifat-sifat Allah SWT pada perilaku kehidupan seharihari dalam batas-batas kemanusiaannya (kemampuan manusia) atau melaksanakan sunah-sunah yang diridhai-Nya terhadap alam semesta. 5. Membentuk “ummah“,
masyarakat yaitu
suatu
Islam
yang
masyarakat
ideal
yang
yang
sejumlah
disebut
dengan
perseorangannya
mempunyai keyakinan dan tujuan yang sama. 6. Mengembangkan fitrahnya sebagai khalifatullah yang mempunyai kehendak, komitmen dengan tiga dimensi yaitu: kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas. Ketiga kehendak ditopang oleh ciri idealnya, yaitu: kebenaran, kebajikan dan keindahan. 7. Menjadi penguasa untuk mengatur bumi dengan upaya memakmurkan dan mengelola negara untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dijanjikan kepada seluruh masyarakat yang beriman bukan kepada seseorang atau suatu kelas tertentu. 8. Mengambil bumi dan isinya sebagai alat untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dalam semua aspek kehidupan, serta dalam rangka mengabdi kepada Allah. 43
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta : Rajawali Pers, 1997 ), hlm15-16 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, ( Jakarta : Trigenda Karya, 1993 ), hlm. 61 44
31
9. Membentuk suasana aman, tentram, dan damai di bawah naungan ridha Allah SWT, sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’an, yaitu negara Saba’ sebagai negara yang memiliki predikat “Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”. Manusia sebagai khalifah, bertanggung jawab atas segala perbuatannya yang dinilai dengan pahala dan dosa. Tanggung jawab ini bersifat pribadi, tidak dapat dibebankan kepada orang lain atau diwariskan. Apabila amanah dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan iman dan amal saleh menurut ketentuanketentuan yang telah ditetapkan-Nya, jadilah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang mulia dan sempurna. Sebagai pemegang amanah yang bertanggung jawab, manusia sebagai khalifah memang mempunyai kemerdekaan untuk memilih apa yang diyakini atau yang tidak diyakininya, merdeka untuk berkehendak, berbuat, berpikir, berpendapat atau mengembangkan krearifitasnya. Namun kemerdekaan itu harus dipertanggung jawabkan kelak, karena kemerdekaan yang diberikan oleh Allah itu tidak boleh melampaui batas-batas amanah dan tanggung jawab yanag telah ditentukan-Nya baik yang terdapat dalam alam semesta maupun yang terkandung dalam firman-firman-Nya dalam al-Qur’an.45 Dengan demikian hakekat makna khalifah adalah bahwa: 1. Manusia sebagai khalifah harus sadar, bahwa dia sebagai pemegang mandat dari Allah yang wajib mengikuti apa yang diinginkan oleh sang pemberi mandat (Allah) dan tidak boleh mengabaikannya. 2. Manusia sebagai khalifah, harus berusaha menghiasi diri dengan ilmu karena tidak mungkin ia dapat melaksanakan amanah tanpa ilmu. Allah mengajarkan atau memberikan kemampuan pada manusia untuk memformulasikan apa yang ada di muka bumi atau alam semesta ini. 3. Menjadi khalifah bukan sekedar pekerjaan rutin tetapi harus siap menghadapi problematika kehidupan yang senantiasa mengalami perubahan karena tidak 45
Muhammad Daud Ali, op.cit,.hlm.17
32
selamanya kehidupan manusia selalu mulus. Karena di balik kesenangan juga tersimpan kesedihan dan di balik kesuksesan terkandung juga sebuah kegagalan. 4. Manusia sebagai khalifah harus mengetahui bahwa kekhalifahan itu amanah yang harus dipertahankan. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia. Dengan memperoleh pendidikan manusia akan memiliki berbagai macam pengetahuan yang akan dapat menjadi bekal bagi dirinya untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah. Karena hanya manusia terdidiklah yang dapat mengemban anamat dari Allah, apabila sebaliknya yaitu tanpa pendidikan, tugas kekhalifahan yang diemban manusia itu akan gagal.
33
BAB III KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM A. Tahap-Tahap Tujuan Pendidikan Islam Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Apabila pendidikan kita anggap sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir dari pendidikan. Karena pendidikan merupakan sebuah usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan, maka tujuannya juga bertahap dan bertingkat. Pencapaian tujuan pendidikan Islam tidak mungkin dilakukan sekaligus secara serentak. Pencapaian tujuan harus dilakukan secara bertahap dan berjenjang. Meskipun demikian, setiap tahap dan jenjang memiliki hubungan dan keterkaitan sesamanya karena adanya landasan yang sama serta tujuan yang tunggal. Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany membagi tujuan pendidikan Islam menjadi tiga tahap, yaitu:1 1. Tujuan tertinggi atau terakhir adalah tujuan yang tidak diatasi oleh tujuan lain. Tujuan tertinggi tidak terbatas pelaksanaannya pada institusi-institusi tertentu melainkan wajib dilaksanakan oleh semua institusi-institusi masyarakat. 2. Tujuan umum yaitu perubahan-perubahan yang dikehendaki yang diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dapat dikaitkan dengan institusi pendidikan tertentu. 3. Tujuan khas yaitu perubahan-perubahan yang diingini yang bersifat cabang atau bagian yang termasuk di bawah tujuan umum pendidikan atau dengan kata lain gabungan pengetahuan, keterampilan, pola-pola tingkah laku, sikap yang terkandung dalam tujuan tertinggi atau tujuan umum. 1
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1979 ), hlm. 405
34
Ahmadi menambahkan bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi menjadi tiga tahapan yaitu: 2 1. Tujuan akhir: pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu menjadi hamba Allah yang bertakwa, mengantarkan subyek didik menjadi khalifatullah di bumi dan memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 2. Tujuan umum: tujuan ini berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang utuh. 3. Tujuan khusus: tujuan ini bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan, selama masih berpijak pada kerangka tujuan tertinggi, terakhir dan umum. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tertinggi atau terakhir diperlukan upaya yang tidak pernah berakhir, sedangkan tujuan umum sebagai proses realisasi diri juga terus berlangsung selama hayat masih dikandung badan dari sinilah dalam Islam dikenal konsep pendidikan sepanjang hayat. Sedangkan Zakiyah Daradjat membagi tujuan pendidikan Islam menjadi empat tahap, yaitu:3 a. Tujuan umum, yakni tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar pada pribadi seseorang yang sudah dididik. b. Tujuan akhir, tujuan akhir pendidikan Islam dapat dipahami sebagai upaya untuk kembali kepada Allah dalam keadaan takwa dan berserah diri kepada-Nya. Insan kamil yang mati dalam keadaan takwa kepada Tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam.
2 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam,Paradigma Humanisme Teosentris,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.95-101 3 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1996 ), hlm.30-32
35
c. Tujuan sementara, adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. d. Tujuan operasional, yaitu tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu yang disebut tujuan operasional. Sedangkan di lembaga sekolah formal dikembangkan istilah tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional, tujuan semester, tujuan catur wulan, tujuan kelas dan sebagainya. Namun semua itu dapat dikualifikasikan sebagai tujuan perantara bila diukur dari tujuan pendidikan Islam yang identik dengan tujuan hidup manusia.4 Pentahapan tujuan pendidikan ini hanya merupakan cara untuk dapat mencapai tujuan akhir atau tertinggi pendidikan Islam. Tujuan akhir pendidikan Islam tidak dapat tercapai secara instan melainkan melaui proses. Sepanjang hidupnya manusia akan terus berusaha mencapai tujuan hidupnya, selama inilah proses pendidikan akan terus berlangsung.
B. Ruang LingkupTujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam mengacu pada tujuan yang dapat dilihat dalam berbagai dimensi. Dari sudut pandang yang demikian, maka tujuan pendidikan Islam memiliki karakteristik yang ada kaitannya dengan sudut pandang tertentu. Secara garis besarnya tujuan pendidikan Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama. Setiap dimensi mengacu kepada tujuan pokok yang khusus. Atas dasar pandangan yang demikian, maka tujuan pendidikan Islam mencakup ruang lingkup yang luas. Adapun dimensi tersebut adalah :5 1. Dimensi hakikat penciptaan manusia. Berdasarkan dimensi ini, tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pencapaian target yang berkaitan dengan hakikat penciptaan manusia oleh 4 5
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 29 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), hlm. 91 -98
36
Allah SWT. Dari sudut pandang ini, maka pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing perkembangan peserta didik secara optimal agar menjadi pengabdi kepada Allah yang setia. Mengacu kepada tujuan tersebut pendidikan Islam dipandang sebgai upaya untuk menempatkan manusia pada statusnya sebagi makhluk yang diciptakan oleh Allah. 2. Dimensi tauhid Mengacu pada dimensi ini, tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada upaya pembentukan sikap takwa. Kepatuhan kepada Allah dalam dimensi tauhid ini dinyatakan sebagi kepatuhan yang mutlak dengan menempatkan Allah sebagai dzat yang tunggal. Prinsip tersebut menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku baik secara lahir maupun batin. 3. Dimensi moral Dalam dimensi ini manusia dipandang sebagai sosok individu yang memiliki potensi fitriyah. Maksudnya bahwa sejak dilahirkan pada diri manusia sudah ada sejumlah potensi bawaan yang diperoleh secara fitrah. Manusia pada dasarnya cenderung untuk senang dengan yang benar, yang baik dan yang indah. Dalam hubungan dengan dimensi moral ini, maka pelaksanaan pendidikan ditujukan kepada upaya pembentukan manusia sebagai pribadi yang bermoral. 4. Dimensi perbedaan individu. Secara umum manusia memiliki sejumlah persamaan, namun di balik itu sebagai individu manusia juga memiliki berbagai perbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Sehubungan dengan kondisi itu, maka tujuan pendidikan diarahkan pada usaha membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, dengan tidak mengabaikan adanya faktor perbedaan individu serta menyesuaikan perkembangannya dengan kadar kemampuan dari potensi yang dimiliki masing-masing.
37
5. Dimensi sosial Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang memiliki dorongan untuk hidup berkelompok secara bersama-sama. Oleh karena itu dimensi sosial mengacu kepada kepentingan sebagai makhluk sosial yang didasarkan pada pemahaman bahwa manusia hidup bermasyarakat. Sejalan dengan hal itu, maka tujuan pendidikan diarahkan kepada pembentukan manusia yang memiliki kesadaran akan kewajiban, hak dan tanggung jawab sosial serta sikap toleran, agar keharmonisan hubungan antar sesama manusia dapat berjalan dengan harmonis. 6. Dimensi profesional. Setiap manusia memiliki kadar kemampuan yang berbeda. Berdasarkan perkembangan kemampuan yang dimiliki itu manusia diharapkan dapat menguasai keterampilan profesional. Adanya perbedaan dalam bidang kemampuan tersebut menyebabkan profesi manusia jadi beragam. Dalam hubungan dengan dimensi profesional tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan bakatnya masing-masing. Dengan demikian diharapkan mereka dapat memiliki keterampilan yang serasi dengan bakat yang dimiliki hingga keterampilan itu dapat digunakannya untuk mencari nafkah sebagai penopang hidupnya. 7. Dimensi ruang dan waktu Dimensi ini sejalan dengan tataran pendidikan Islam yang prosesnya terentang dalam lintasan ruang dan waktu yang cukup panjang. Dengan demikian secra garis besarnya tujuan yang harus dicapai pendidikan Islam harus merangkum semua tujuan yang terkait dalam rentang ruang dan waktu tersebut. Sejalan dengan petunjuk al-Qur’an bahwa dalam kaitan dengan dimensi ruang dan waktu ini, pendidikan Islam diarahkan pada dua tujuan utama, yaitu upaya untuk memperoleh keselamatan hidup di dunia dan kesejahteraan hidup di akhirat.
38
Dengan demikian ruang lingkup pendidikan Islam meliputi segenap aspek kehidupan manusia dalam rangka mengembangkan segenap potensi manusia untuk menjadi insan kamil yang bahagia di dunia dan akhirat. Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yaitu harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspek yang diantaranya adalah:6 1. Tujuan dan tugas hidup manusia Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia, ia hidup dengan membawa tujuan dan tugas tertentu. Yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. 2. Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia. Yaitu konsep tentang manusia bahwa ia diciptakan sebagai khalifah Allah di bumi dan untuk beribadah kepada-Nya dibekali dengan berbagai macam fitrah yang berkecenderungan pada al-Hanif (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam. 3. Tuntutan masyarakat. Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupaun pemenuhan terhadap
tuntutan
kebutuhan
hidupnya
dalam
mengantisipasi
perkembangan dan tuntutan dunia modern. 4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam Dimensi
kehidupan
ideal
Islam
mengandung
nilai
yang
dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia, untuk mengelola dan memanfaatkan
dunia sebagai
bekal kehidupan
di
akhirat,
serta
mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki. Dimensi ini dapat memadukan antara kepentingan kehidupan duniawi dan ukhrowi. 6
Muhaimin dan Abdul Mujib,Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Jakarta: Trigenda Karya, 1993), hlm. 153-154
39
Pada dasarnya tujuan pendidikan Islam memiliki berbagai macam ciriciri sebagai berikut:7 a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan. b. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahanya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. c. Mengarahkan
manusia
agar
berakhlak
mulia
sehingga
ia
tidak
menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya. d. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya. e. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia yang dapat memiliki ciri-ciri tersebut di atas secara umum adalah manusia yang baik. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa para ahli pendidikan Islam pada hakikatnya sependapat bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terbentuknya manusia yang baik, yaitu manusia yang beribadah kepada Allah dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifahan di muka bumi.
C. Tujuan pendidikan Islam. Pendidikan Islam merupakan kebutuhan manusia, karena sebagai makhluk pedagogis, manusia dilahirkan dengan membawa potensi untuk dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi. Untuk mencapai hal itu, maka diperlukan adanya pendidikan, baik pendidikan keluarga, pendidikan formal maupun pendidikan masyarakat. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi 7
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hlm. 53-54
40
manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriyahnya. Pendidikan juga diarahkan pada perubahan tingkah laku seseorang dalam segala aspek kehidupan, sebagaimana hal ini di kemukakan oleh MC. Donald, bahwa pendidikan adalah: “A process or an activity which is directed at producing desirable changes in the behaviour of human beings”.8 Bahwa pendidikan adalah suatu proses atau aktivitas yang mengarahkan pada perubahan tingkah laku seseorang. Dalam menetapkan tujuan pendidikan, Islam mempertimbangkan posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik (at-Tin: 4) dan sebagai khalifah fil ardl (Yunus: 14). Begitu pula tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamin atau universal, mengandung ajaran-ajaran yang kongkrit dan dapat disesuaikan dengan situasi setempat serta kebutuhan zaman. Para pakar pendidikan Islam telah merumuskan beberapa tujuan pendidikan Islam antara lain: Mohammad Athiyah Al-Abrasy mengemukakan bahwa, “The first and highest goal of Islamic education is moral refinement and spiritual training, and all the teacher must be connected by the moral”.9 Bahwa tujuan utama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah mendidik kehalusan budi pekerti (moral) serta latihan jiwa dan guru harus menghubungkan pendidikan itu dengan moral. Secara praktis Mohammad Athiyah Al-Abrasy, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas lima sasaran, yaitu:10 Pertama, Membentuk akhlak mulia, pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang mulia adalah tujuan pendidikan Islam. Kedua, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, pendidikan Islam tidak hanya memberikan perhatian pada segi keagamaan saja atau hanya segi keduniaan saja, melainkan kedua-duanya harus berjalan secara proporsional.
hlm. 4
8
F.J. MC. Donald, Educational Psychology, ( California : Wadsworth Publishing Company, 1959 ),
9
Mohammad Athiyah Al-Abrasy, Education In Islam, ( Cairo : tp. 1963 ), hlm. 11 Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, op. cit,. hlm. 416-417
10
41
Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat agama atau akhlak atau spiritual semata tetapi juga memberikan perhatian pada segi pemanfaatan pada tujuan-tujuan kurikulum dan aktivitasnya. semangat ilmiah di kalangan
Keempat, menumbuhkan
peserta didik, pendidikan Islam juga
memperhatikan sains, sastra, kesenian dalam berbagai jenisnya.
Kelima,
mempersiapkan tenaga profesional yang terampil, pendidikan Islam tidaklah lupa
mempersiapkan peserta didik untuk mencari rejeki demi memenuhi
kebutuhan hidupnya yang berguna demi kelangsungan hidupnya. Ahmad Marimba berpendapat, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia yang berkepribadian muslim, tujuan terakhir pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah SWT, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.11 Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam menurut al-Qur’an meliputi: (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluk Allah yang lain dengan tanggung jawab dalam kehidupan ini (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta (4) menjelaskan hubungannya dengan khaliq sebagai pencipta alam semesta.12 Selanjutnya menurut Hasan Langgulung, bila berbicara tentang tujuan pendidikan, tidak bisa dipisahkan dengan tujuan hidup. Sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Tujuan hidup ini menurutnya tercermin dalam ayat 162 surat al-An’am yang artinya “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku dan ibadahku, seluruh hidup dan matiku, semuanya untuk Allah, Tuhan semesta alam”.13
11
Achmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, ( Bandung : Al-Ma’arif, 1989 ), hlm.46 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, ( Jakarta : Ciputat Press, 2002 ), hlm. 36 13 Abuddin Nata, op. cit,. hlm. 49 12
42
Quraish Shihab berpendapat, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.14 Sejalan dengan pendapat di atas, M. Nastir mengatakan bahwa penghambaan kepada Allah yang menjadi tujuan hidup dan menjadi tujuan pendidikan, bukanlah suatu penghambaan yang memberi keuntungan kepada yang disembah, melainkan penghambaan yang mendatangakan kebahagiaan kepada yang menyembah, penghambaan yang memberi kekuatan kepada yang menghambakan dirinya. Orang yang menghambakan dirinya, segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah untuk kemenangan dirinya dengan arti seluasluasnya, itulah tujuan manusia di dunia.15 Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam diklasifikasikan kepada: pertama, membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT; kedua, membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.16 Ibnu Khaldun merumuskan bahwa tujuan Islam terbagi menjadi dua macam, pertama tujuan yang berorientasi ukhrowi yaitu membentuk seorang hamba agar melakukan kewajiban kepada Allah. Kedua, tujuan yang berorientasi duniawi yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain.17 Sedangkan A. Fatih Syuhud menyatakan, bahawa tujuan dari pendidikan Islam adalah menciptakan manusia yang baik dan bertakwa yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur
14 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, ( Bandung : Mizan, 2007 ), hlm. 15 Abuddin Nata, op.cit,. hlm.50
16
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm.22 17
Muhaimin dan Abdul Mujib, op. cit,. hlm.160-161
43
pribadinya sesuai dengan syari’at Islam serta melaksanakan segenap aktivitas kesehariaannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.18 Dari berbagai pendapat para pakar tentang tujuan pendidikan Islam di atas sebenarnya tidak ada pertentangan satu sama lain. Jika terlihat ada perbedaan, maka perbedaan terserbut hanyalah segi penekananya saja. Ada yang mengemukakan tujuan pendidikan Islam secara global, dan ada yang mengemukakan secara spesifik. Akan tetapi para pakar pendidikan Islam dalam konferensi pendidikan Islam pada tahun 1977 telah merumuskan tujuan pendidikan Islam antara lain sebagai berikut :19 1. Menumbuhkan
dan
mengembangkan
ketakwaan
kepada
Allah,
sebagaimana firman Allah :
ﻮ ﹶﻥﺴِﻠﻤ ﻣ ﻢ ﺘﻧﻭﹶﺃ ِﺇﻟﱠﺎﺗﻦﻮﺗﻤ ﻭﻟﹶﺎ ﺗﻘﹶﺎِﺗ ِﻪ ﻖ ﺣ ﻪ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻮﺍ ﺍﻣﻨ ﻦ َﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ( ١٠٢ : ) ﺃﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran: 102) 2. Menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
(٥٦:ﻭ ِﻥ ) ﺃﻟﺪﺍﺭﻳﺎﺕﺒﺪﻌ ﻴﺲ ِﺇﻟﱠﺎ ِﻟ ﻧﺍﹾﻟِﺈﻦ ﻭ ﺠ ِ ﺍﹾﻟﺧﹶﻠ ﹾﻘﺖ ﺎﻭﻣ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. adz-Dzariyat: 56) 3. Membina dan memupuk akhlak karimah, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW yang artinya: Bahwasannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. al-Bukhari).
2004 ) 103
18
A. Fatih Syuhud, “ Tantangan Pendidikan Islam di era Globalisasi”, ( http// Sidogiri. Online, 13 Juli
19
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ), hlm. 101-
44
4. Menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa yang selalu amar ma’ruf nahi munkar. Sebagiaman firman Allah:
(٣٠:)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ...... ﺧﻠِﻴ ﹶﻔ ﹰﺔ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ِﻋ ﹲﻞ ﻓِﻲ ﹾﺍ َﻷﻲ ﺟﻼِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ِﺇﻧﻚ ِﻟ ﹾﻠﻤ ﺑﺭ ﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (QS. al-Baqarah: 30) 5. Menumbuhkan kesadaran ilmiah melalui kegiatan penelitian, baik terhadap kehidupan manusia, alam maupun kehidupan makhluk Allah diseluruh semesta alam. Sebagaiaman dalam firman Allah :
ﺏ ِ ﺎﺕ ِﻟﺄﹸﻭﻟِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﹾﻟﺒ ٍ ﺎﺎ ِﺭ ﹶﻟ َﺂﻳﻨﻬﺍﻟﻴ ِﻞ ﻭﻑ ﺍﻟﻠﱠ ِ ﺧِﺘﻠﹶﺎ ﺍﺽ ﻭ ِ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﺎﻭﺴﻤ ﺧ ﹾﻠ ِﻖ ﺍﻟ ِﺇﻥﱠ ﻓِﻲ ﺧ ﹾﻠ ِﻖ ﻭ ﹶﻥ ﻓِﻲﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳﻭ ﻢ ﻮِﺑ ِﻬﺟﻨ ﻋﻠﹶﻰ ﻭ ﺍﻮﺩﻭﻗﹸﻌ ﺎﺎﻣﻪ ِﻗﻴ ﻭ ﹶﻥ ﺍﻟﻠﱠﻳ ﹾﺬ ﹸﻛﺮ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺎ ِﺭﺏ ﺍﻟﻨ ﻋﺬﹶﺍ ﺎﻚ ﹶﻓ ِﻘﻨ ﻧﺎﺒﺤﺳ ﺎ ِﻃﻠﹰﺎﻫﺬﹶﺍ ﺑ ﺖ ﺧﹶﻠ ﹾﻘ ﺎﺎ ﻣﺑﻨﺭ ﺽ ِ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄﺕ ﻭ ِ ﺍﺎﻭﺴﻤ ﺍﻟ (١٩١ -١٩٢ : ) ﺃﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imron: 190-191) Sedangkan rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilakan dari seminar pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad sebagaimana ditulis dalam buku Pemikiran Pendidikan Islam adalah :20 “Education aims at the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect, the rational self, feeling and bodily sense. Education should, therefor, catter for the growth of man in all aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection.The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission
20
Muhaimin dan Abdul Mujib, op.cit,. hlm. 163
45
to Allah on the level of individual the community and humanity at large”. Bahwa pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan dan panca indera. Oleh karena itu pendidikan seharusnya memberikan pelayanan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, linguistik. Baik secara individu maupaun secara kolektif, di samping memotifasi semua aspek tersebut ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan bertumpu pada terealisasinya ketundukan kepada Allah SWT secara total baik dalam level individu, komunitas dan manusia secara luas. Kalau dicermati, bahwa tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah SWT. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarga, masyarakat, negara dan umat manusia secara keseluruhan. Setelah mengkombinasikan
beberapa pandangan para para pakar
pendidikan Islam tentang tujuan pendidikan Islam, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam terfokus pada tiga hal berikut yaitu: terbentuknya manusia sempurna (insan kamil) yang memiliki wujud qur’ani, terciptanya manusia utuh yang memiliki dimensi-dimensi religius, dimensi budaya, dan dimensi ilmiah, penyadaran fungsi dan peran manusia sebagai hamba dan khalifah Allah serta sebagai pewaris nabi dan memberikan bekal yang memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut. Dengan
demikian
pendidikan
Islam
bertugas
di
samping
menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai Islam, juga mengembangkan peserta didik agar mampu mengamalkan ilmu-ilmu itu secara dinamis dan fleksibel. Hal ini berarti pendidikan Islam secara maksimal harus bisa mendidik peserta didik agar memiliki kecerdasan atau kematangan dalam beriman, bertakwa dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperolehnya, sehingga menjadi pemikir sekaligus pengamal ajaran Islam yang dialogis terhadap perkembangan zaman.
46
46
BAB IV RELEVANSI MAKNA KHALIFAH DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM A. Hubungan Makna Khalifah Dengan Tujuan Pendidikan Islam Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan Islam adalah aspek tujuan, semua aktifitas dari gerak manusia menjadi terarah dan bermakna. Tanpa tujuan, semua aktifitas manusia akan kabur dan terombang-ambing. H. M Arifin menjelaskan bahwa tujuan proses pendidikan Islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islami yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam.1 Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan, hal ini disebabkan oleh fungsi-fungsi yang dipikulnya: Pertama, tujuan pendidikan mengakhiri usaha pendidikan; kedua, tujuan pendidikan mengarahkan perbuatan mendidik. Fungsi ini menunjukkan pentingnya perumusan dan pembahasan tujuan pendidikan secara jelas. Tanpa tujuan yang jelas, proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan efisien. Ketiga, suatu tujuan dapat pula merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Baik merupakan tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Keempat, tujuan pendidikan
memberi semangat dan dorongan untuk melaksanakan
pendidikan.2 Menurut Oemar Muhammad al Taumy al Syaebani bahwa tujuan pendidikan ialah perubahan yang diingini, yang diusahakan dalam proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkat individu dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar dimana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses 1
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, suatu Tinjauan Teoritis dan praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner ( Jakarta : Bumi Aksara, 2000 ) hlm. 224 2 Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan.( Bandung : Al-Ma’arif, 1989 ), hlm.45-46
47
pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan berbagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat.3 Ketika membicarakan masalah tujuan pendidikan Islam, tidak akan terlepas dari masalah nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena realisasi nilai-nilai itulah yang pada hakikatnya menjadi dasar-dasar tujuan pendidikan Islam. Dengan kata lain pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai Islam yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku khalifah di muka bumi, yakni sebagai berikut : (a) menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya, (b) membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras dan seimbang dengan masyarakatnya, (c) mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memenfaatkan kekayaan alam bagi kepentingan kesejahteraan hidunya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepada Allah dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis pula.4 Islam melalui ayat-ayat al-Qur’an, telah mengisyaratkan tentang kesempurnaan diri manusia, seperti antara lain dalam fiman Allah:
ﲔ ﺎِﻓِﻠﺳ ﹶﻔ ﹶﻞ ﺳ ﻩ ﹶﺃ ﺎﺩﻧ ﺩ ﺭ ﺗ ﹾﻘ ِﻮ ٍﱘ ﹸﺛﻢ ﺴ ِﻦ ﺣ ﺎ ﹶﻥ ﻓِﻲ ﹶﺃﻧﺴﺎ ﺍﹾﻟِﺈﺧﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﺪ ﹶﻟ ﹶﻘ ( ٦ –٤ : ﻥ ) ﺍ ﺍﻟﺘﲔ ٍ ﻮﻤﻨ ﻣ ﻴﺮﺮ ﹶﻏ ﺟ ﻢ ﹶﺃ ﻬ ﺕ ﹶﻓﹶﻠ ِ ﺎﺎِﻟﺤﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼ ﻭ ﻮﺍﻣﻨ ﻦ َﺁ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian. Kemudian kami kembalikan ia ke derajat yang serendahrendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. (QS. at Tiin: 4-6)5
3
Oemar Muhammad Al-Taumy Asy-Syaibany,Filsafat Pendidikan Islam. Terj Hasan Langgulung, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1979 ) hlm. 399 4 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hlm.121 5 Soenarjo,Al-Qur’an dan Terjemahnya, , ( Jakarta : Departemen Agama RI, 1971 ), hlm.1076
48
Kesempurnaan demikian membuat manusia menempati kedudukan tertinggi diantara makhluk, yakni menjadi khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi, seperti diisyaratkan oleh surat al-Baqarah ayat 30. Kendati manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran dari kesempurnaan citra ilahi, tetapi kemudian ketika ia terjatuh dari prototip ketuhanan, maka kesempurnaan itu semakin berkurang. Untuk itu, jalan satusatunya mencapai kesempurnaan itu ialah kembali kepada Tuhan dengan iman dan amal saleh.6 Dengan demikian makna khalifah secara lebih dalam adalah berpuncak pada insan kamil. Insan kamil membawa misi moral dan intelektual. Dengan dilengkapi akal dan kemampuan mengkonseptualisasikan, manusia diberi petunjuk melalui wahyu Tuhan dalam terma-terma keutamaan moral. Kehidupannya di alam raya ini baginya adalah wahana ujian baginya. Oleh karena itu, manusia memegang tanggung jawab kekhalifahan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.7 Kedudukan manusia dalam sistem penciptaanya adalah sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah di bumi ini. Kedudukan itu berhubungan dengan peranan yang ideal. Yaitu pola perilaku yang di dalamnya terkandung hak, kewajiban, dan tugas manusia yang terkait dengan kedudukannya di hadapan Allah sebagai pencipta. Dengan demikian, manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya pertanggung jawaban kepada pencipta-Nya, melainkan manusia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Fakta moral yang tertanam dalam inilah yang merupakan tantangan abadi manusia dan yang membuat hidupnya sebagai perjuangan moral yang tidak berkesudahan. Dalam perjuangan ini, Allah berpihak kepada pada manusia asalkan ia melakukan usaha-usaha yang diperlukan. Manusia harus melakukan 6
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi,(Jakarta: Paramadina, 1997),hlm.2-3 Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil, Paket Pelatihan Seni Menata Diri, (Semarang: CV. Bima Sejati, 2006), hlm.70 7
49
usaha-usaha ini karena diantara ciptaan-ciptaan Tuhan, ia memiliki posisi yang unik. Yaitu diberikannya kebebasan berkehendak agar ia dapat menyempurnakan misinya sebgai khalifah Allah di atas muka bumi. Misi ini merupakan perjuangan untuk menciptakan tata sosial yang bermoral di atas dunia.8 Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi memberikan arti penting yaitu membangun dan memakmurkan bumi, maka Allah membekali manusia dengan potensi yang menopang terwujudnya jabatan khalifah tersebut.9 Agar potensi-potensi tersebut dapat berkembang secara optimal maka manusia perlu diberikan pendidikan. Setelah melalui proses pendidikan, manusia akan memiliki pengetahuan yang cukup dan keterampilan yang memadai untuk dapat mengolah dan memakmurkan bumi sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan tujuan akhir pendidikan Islam yaitu mengantarkan manusia menjadi khalifah Allah di bumi yang bertaqwa kepada Allah SWT serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam dan makna khalifah mempunyai hubungan atau keterkaitan dalam rangka mewujudkan tujuan hidup manusia, yaitu sebagai ‘abd dan khalifatullah fil ardl, yang dapat diwujudkan melalui pendidikan dengan mengembangkan potensipotensi yang ada dalam diri manusia sehingga terbentuk insan kamil.
B. Urgensi Makna Khalifah Dalam Tujuan Pendidikan Islam Dalam pandangan Islam, manusia memiliki peran utama. Yaitu sebagai khalifatullah dan ‘abd. Kedua peran ini sejalan dengan dua tahapan kehidupan, yaitu kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Sesuai dengan doktrin tauhid, Allah adalah pencipta dan pemilik alam semesta ini. Allah juga menentukan perjalanan
hlm. 27
8
Fazlur Rahman, Major Time of The Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, ( Bandung : Pustaka, 1983),
9
Mansur Isna,Diskursus Pendidikan Islam,(Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), hlm.155
50
manusia, yang tidak hanya berakhir pada kehidupan dunia semata, melainkan berlanjut pada kehidupan akhirat. Sementara itu, manusia sendiri telah diberi peran sebagai khalifatullah fil ardl, yakni peran yang terbatas di dunia. Agar peran tadi dapat memiliki keterkaitan dengan kelangsungan hidupnya di akhirat, manusia dituntut untuk bersikap pasrah secara mutlak kepada Allah, yang disebut ibadah, sesuai firmanNya.
( ٥٦ :ﻭ ِﻥ )ﺍﻟﺬﺭﻳﺎﺕﺒﺪﻌ ﻴﺲ ِﺇﻻﱠ ِﻟ ﻧﺍﹾﻟِﺄﻦ ﻭ ﺠ ِ ﺍﹾﻟﺧﹶﻠ ﹾﻘﺖ ﺎﻭﻣ Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Ku. (QS. Ad-Dzariyat: 56)10 Manusia tidak akan dapat menanggung beban tugasnya sebagai khalifah jika dalam dirinya tidak terbentuk perasaan tunduk (ibadah) yang total kepada Allah.11 Berkaitan dengan tugas hidup manusia tersebut, Widodo Soepriyono mengemukakan bahwa tujuan manusia diciptakan adalah: Pertama, manusia sebagai khalifah
(khalifatullah fil ardl) yang merupakan ciri ideal; kedua.
manusia diberi beban beribadah (‘abid) kepada-Nya; ketiga, berperan sebagai Warosatul Anbiya.12 Sedang menurut Ahmadi, bahwa tujuan diciptakanya manusia oleh Allah terdiri dari: pertama, tujuan utama penciptaanya ialah agar manusia beribadah kepada-Nya. Kedua, manusia diciptakan untuk berperan sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl). Ketiga, manusia diciptakan untuk membentuk masyarakat, manusia yang saling mengenal hormat-menghormati dan tolong
10 11
hlm. 36
12
Soenarjo, op.cit ., hlm.862 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya ( Jakarta, Logos wacana Ilmu, 1999),
Widodo Soepriyono, Filsafat Manusia Dalam Reformulasi Pendidikan Islam (peny) M. Chabib Thoha ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ) hlm. 183
51
menolong antar yang satu dengan yang lain dalam rangka menunaikan tugas kekhalifahannya.13 Secara operasional tugas kekhalifahan tersebut dapat dijabarkan melalui bentuk; pertama, tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri : (1) Menuntut ilmu pengetahuan, karena manusia itu adalah makhluk yang dididik dan mendidik.(2) Menjaga dan memelihara diri dari segala sesuatu yang menimbulkan bahaya dan kesengsaraan.(3) Menghiasi diri dengan akhlak mulia . Kedua, tugas kekhalifahan terhadap keluarga, menyangkut tugas membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah mawaddah warahmah). Ketiga, tugas kekhalifahan dalam masyarakat, meliputi tugas mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab terhadap amar ma’ruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk fakir miskin serta anak yatim. Keempat, tugas kekhalifahan terhadap alam, menyangkut tugas mengkulturkan alam, menaturalkan kultur dan mengislamkan kultur.14 Beranjak dari pemahaman makna yang termuat di dalamnya, barangkali akan jelas bagaimana peran yang harus dilaksanakan manusia menurut statusnya selaku khalifah Allah, setidaknya peran yang harus dilaksanakan manusia terdiri dari dua jalur, yaitu jalur horisontal dan jalur vertikal. Peran menurut jalur yang pertama, mengacu kepada bagaimana dapat mengatur hubungan baik dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Hubungan yang dibina adalah hubungan yang sejajar dan sama antar sesama makhluk Allah serta hubungan yang ramah dan saling menguntungkan, bukan malah sebaliknya. Adapun hubungan yang vertikal menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandataris Allah, dalam peran ini manusia penting menyadari 13
hlm. 41
14
Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006 ),
Muhaimin, et al, Paradigma Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pandidikan Agama Islam di Sekolah, ( Bandung : PT. Remaja Rosda Karya , 2002 ) hlm. 23 -24
52
bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan sesama manusia adalah karena penugasan dari penciptaan-Nya, dengan demikian tugas itu mencakup cara bagaimana manusia dapat berperan sebagai pengemban amanat tersebut dengan sebaik mungkin. Dari peran itu diharapkan manusia dapat menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis di muka bumi. Tugas hidup berikutnya adalah manusia sebagai ‘abdullah. Ini dapat dipahami bahwa segala aktivitas dan perilakunya ditujukan hanya untuk Allah, manusia sebagai ‘abdullah merupakan realisasi dari pemberian amanah dalam arti memelihara tugas-tugas dari Allah yang harus di patuhi. Jika pengertian ibadah ini dihubungkan dengan pengertian khalifah sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa esensi seorang khalifah adalah kebebasan dan kreatifitas sedangkan seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan. Dengan demikian kedudukan manusia di alam raya ini, di samping sebagai khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengelola alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya juga sebagai ‘abd, yaitu seluruh usaha dan aktivitasnya harus dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Allah. Dengan pandangan terpadu ini, maka sebagai seorang khalifah tidak akan melakukan sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau pertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik, manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, ketrampilan, pengalaman, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Ini menunjukkan bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah dalam al-Qur’an erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia dapat melaksanakan fungsi-fungsinya yang demikian itulah yang diharapkan muncul dari kegiatan usaha pendidikan.15 Untuk teraktualisasinya potensi yang dimiliki manusia, sesuai dengan nilai–nilai ilahiyah, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media yang 15
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hlm. 40 - 41
53
menstimuli bagi pertumbuhan dan perkembangan fitrah manusia ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai abd dan khalifah fil ardl.16 Untuk tujuan tersebut, pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pentransferan ilmu kebudayaan atau kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Akan tetapi lebih dari itu, pendidikan Islam merupakan satu bentuk proses pengaktualisasian sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya yang meliputi pengembangan jasmani, rasioanlitas, intelektual, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian paripurna bagi kemaslahatan seluruh umat manusia.
C. Tujuan Pendidikan Islam Berdasarkan Makna Khalifah Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusiinstitusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusiinstitusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Karena, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi upaya meraih gelar yang dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai 16
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam ( Jakarta : Media Pratama, 2001 ) hlm. 137
54
keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Tujuan pendidikan Islam diharapkan lebih bersifat problematis, strategis, antisipatif, serta menyentuh aspek aplikasi. Artinya, pendidikan Islam harus berupaya membangun manusia dan masyarakat secara utuh dan menyeluruh (insan kamil) dalam semua aspek kehidupan yang berbudaya dan berperadaban yang tercermin dalam kehidupan manusia yang bertakwa dan beriman, berpengetahuan, berakhlak mulia, berkemampuan kompetitif dan kooperatif dalam era global dan berpikir lokal dalam rangka memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.17 Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya sama dan sesuai dengan tujuan diturunkannya agama Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk manusia muttaqin yang rentangannya berdimensi infinitum (tidak terbatas menurut jangkauan manusia), baik secara linier atau secara algoritmik (berurutan secara logis) berada dalam garis mukmin, muslim dan muhsin.18 Dalam rangka mewujudkan tujuan hidup manusia, maka diperlukan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam. Maka penting dirumuskan tujuan pendidikan Islam yang berdasarkan makna khalifah. Penentuan tujuan dalam proses pendidikan merupakan bagian sentral dan penting dalam rangka menentukan arah, isi dan langkah pendidikan yang dikembangkan. Untuk melihat dan mencermati tujuan pendidikan Islam, pada umumnya tercermin dalam makna yang diberikan terhadap pendidikan Islam. Menurut Azyumardi Azra, pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW. Melalui proses pendidikan seperti itu 17
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat Madani Indonersia, ( Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2003 ), hlm .157 18 Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, ( Jakarta : Gema Insani Press, 1995 ), hlm .96
55
individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi supaya ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi dan berhasil mewujudkan kebahagian di dunia dan akhirat.19 Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam diarahkan dalam rangka menjadikan manusia sebagai khalifatullah yang mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan di muka bumi ini, mampu beribadah sebagai hamba Allah, mampu berakhlak mulia dan mampu mengembangkan segenap potensi kehidupannya. Karena manusia dalam perjalanan hidupnya pada dasarnya mengemban amanah atau tugas-tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan Allah kepada manusia agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Tugas manusia sebagai khalifah Alllah merupakan realisasi dari pengemban amanah dalam arti memelihara, memanfaatkan atau mengoptimalkan penggunaan segala anggota badan, alat-alat potensial (indera dan akal) atau potensi-potensi dasar manusia
guna menegakkan keadilan, kemakmuran dan
kebahagiaan hidupnya.20 Pandangan dunia Islam bersifat humanis teosentris. Maka sifat humanis teosentris sebagai pandangan dunia dalam Islam akan menjadi konsep dasar dari pemikiran pendidikan Islam. Sifat ini terlihat pada watak dasarnya yang tidak pernah terlepas dari konsep khalifah sebagai mabda’nya dan konsep abd’ sebagai maqshad al-a’dham. Artinya konsep pendidikan Islam haruslah berpijak pada konsep khalifah baik sebagai titik awal, proses maupun produk. Sebagi titik awal, artinya dalam pendidikan subyek didik haruslah dipandang sebagai manusia yang berfungsi sebagai khalifatullah yang mempunyai misi untuk memakmurkan bumi. Sebagai proses, artinya agar subyek didik mampu mengemban amanah Allah yang dibebankan kepadanya, yakni sebgai khalifatullah. Maka ia harus diproses dalam dunia pendidikan dengan cara menanamkan niulai-nilai ke dalam dirinya.
19
Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektualisme Muslim dan Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999 ), hlm. 6 20 Muhaimin, et.al, op. cit.,hlm. 23
56
Pengertian nilai-nilai di sini bukan hanya sebatas pada pentransferan ilmu pengetahuan, budaya, moral, etika dan sopan santun. Namun nilai-nilai itu juga mempunyai daya motivator yang tinggi bagi subyek didik untuk bersikap kreatif dan pro aktif dalam memecahkan problematika hidup dan merubah tatanan sosial yang dianggapnya tidak baik. Sedangkan sebagai produk, artinya setelah subyek didik mengalami proses pendidikan, ia diharapkan mampu untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang didapat dari proses pendidikan sehingga dalam produknya ia benar-benar menjadi khalifatullah. Kemudian konsep ‘abd sebagai maqshad al-a’dham, artinya segala prilaku yang merupakan produk dari pendidikan itu harus bertujuan untuk mengabdi pada Allah semata, bukan kepada selainnya. 21 Itulah terjemahan dari sifat humanis teosentris dalam konsep pendidikan. Apabila pendidikan Islam benar-benar berpijak pada konsep khalifah sebagai mabda’ dan konsep ‘abd sebagai maqshad al-a’dham, maka pendidikan Islam akan mampu mencetak generasi muslim yang dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah yaitu menjadi manusia yang berbudaya, berperadaban berkualitas, kreatif yang dapat membangun dunia ini serta dapat menghadapi tantangan era global serta mampu menjadi hamba Allah yang senantiasa menghiasi dirinya dengan iman dan takwa. Dengan memahami konsep tersebut manusia akan mampu merealisasikan tujuan hidupnya di muka bumi yaitu tugas untuk senantiasa melestarikan tatanan kehidupan yang harmonis, sebagaimana yang telah diciptakan oleh Allah SWT.
21
301-302
Ismail SM. (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001 ) hlm.
57
BAB V PENUTUP
Dari berbagai uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat penulis simpulkan sebagai berikut : 1. Khalifah dapat dipahami sebagai pengganti atau makhluk yang menganti spesies lain yang ada sebelumnya. Akan tetapi juga dapat berarti sebagai makhluk yang mendapatkan mandat dari Allah untuk memelihara dan memakmurkan bumi. Gelar khalifah, walaupun pada mulanya hanya untuk Adam semata. Tetapi pada hakekatnya adalah untuk manusia secara umum. Berdasarkan tafsir-tafsir QS. al-Baqarah ayat 30-35, khalifah disini berarti wakil Allah dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya di bumi. Hal ini adalah sebuah penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia karena ia adalah makhluk yang paling sempurna. Khalifah adalah manusia yang aktif dalam tatanan alam semesta, seorang khalifah adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keimanan dan amal saleh serta khalifah adalah manusia kreatif yang mampu membangun dunia ini sesuai dengan ketetapan-Nya. Pada hakikatnya manusia sebagai khalifah harus
sadar, bahwa dia sebagai
pemegang mandat dari Allah yang wajib mengikuti apa yang diinginkan oleh sang pemberi mandat (Allah) dan tidak boleh mengabaikannya, karena amanat yang dilimpahkan padanya akan dipertanggungjawabkan kelak. Sebagai khalifah yang mendapatkan amanah pengelolaan bumi, manusia harus berusaha menghiasi diri dengan ilmu karena tidak mungkin ia dapat melaksanakan amanah tanpa ilmu. Secara operasional tugas kekhalifahan dapat dijabarkan melalui: pertama, tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri yakni menuntut ilmu dan menghiasi diri dengan akhlak mulia. Kedua, tugas kekhalifahan terhadap keluarga, menyangkut tugas membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah mawaddah warahmah). Ketiga, tugas kekhalifahan dalam masyarakat, meliputi tugas
58
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab terhadap amar ma’ruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk fakir miskin serta anak yatim. Keempat, tugas kekhalifahan terhadap alam, menyangkut tugas mengkulturkan alam, menaturalkan kultur dan mengislamkan kultur. 2. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik manusia perlu diberikan pendidikan. Melalui proses pendidikan, manusia akan dapat mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya yang selanjutnya akan menjadi bekal bagi dirinya untuk dapat menjalankan tugasnya. Karena pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan dan panca indera. Dengan tercapainya kepribadian manusia
yang
seimbang,
manusia
akan
dapat
melaksanakan
fungsi
kekhalifahannya. Namun sebaliknya, tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal. Pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses penstranferan ilmu pengetahuan, namun pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualisasian segenap potensi peserta didik. Sehingga mampu menciptakan individu muslim yang memiliki kepribadian sempurna bagi kemaslahatan seluruh manusia yang sesuai dengan perannya sebagai khalifah di muka bumi.
B. Saran – saran 1. Pendidikan Islam menjadi sebuah keharusan bagi setiap muslim, dengan memperoleh pendidikan, segenap potensi yang ada dalam diri manusia akan dapt berkembang dengan optimal sehingga akan terbentuk kepribadian yang mulia. 2. Pendidikan Islam seharusnya mengarahkan peserta didik untuk dapat mengoptimalkan potensi diri agar dapat berperan sebagai khalifah dalam kehidupan bermasyarakat.
59
C. Penutup Dengan berakhirnya skripsi ini, penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan pertolonganNya lah penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan kerendahan hati tentunya dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis mengharapkan ridha Allah semoga skripsi ini dapt menambah khasanah ilmiah umat Islam dan bermanfaat bagi penulis pada khususnya serta bagi pembaca pada umunya.
60
MOTTO
$pκÏù ߉šøム⎯tΒ $pκÏù ã≅yèøgrBr& (#þθä9$s% ( Zπx‹Î=yz ÇÚö‘F{$# ’Îû ×≅Ïã%y` ’ÎoΤÎ) Ïπs3Íׯ≈n=yϑù=Ï9 š•/u‘ tΑ$s% øŒÎ)uρ ∩⊂⊃∪ tβθßϑn=÷ès? Ÿω $tΒ ãΝn=ôãr& þ’ÎoΤÎ) tΑ$s% ( y7s9 â¨Ïd‰s)çΡuρ x8ωôϑpt¿2 ßxÎm7|¡çΡ ß⎯øtwΥuρ u™!$tΒÏe$!$# à7Ïó¡o„uρ Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi seorang Khalifah”, mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah)dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkankan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau”. Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”( QS. Al-Baqarah : 30 )1
1
Soenarjo. dkk, AlQur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta : Departemen Agama RI, 1971) hlm. 13
61
MAKNA KHALIFAH DALAM AL-QUR’AN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
( Analisis QS. al-Baqarah Ayat 30-35 ) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Oleh : Anik Risalati NIM: 3103247.
62
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. _______, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, 1992. Abdullah, Abadurrahman Saleh, Educational Theory, A Quranic Outlook, terj. Mutammam, Bandung: CV. Diponegoro, 1991. Al-Abrasy, M. Athiyah, Education in Islam, Cairo: tp.,1963. Al-Anshary, Ibnu Manzur Jamaluddin, Lisanul Arab, Mesir: Darul Misriyah, tt. Al-Bary, M.D.J, Kamus Ilmiah Populer, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000. Al-Farmawy, Abd al-Hay, Metode Tafsir Maudhu’i:Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi 1, terj. Bahrun Abu Bakar, Beirut: Darul Kutub, tt. Ali, Abdullah Yusuf, terjemah the Holy Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Ali, M. Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1997. Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Paramadina, 1997. Al-Taumy, Oemar M, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang , 1979. Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Perss, 2002. Arifin, Muzayyin, Manusia Citra Ilahi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Arrifai, M. Nashir, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terj. Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 2001 Asshidiqie, Tafsir al Qur’anul Majid An Nur, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000. _________, Tafsir al Bayan I, Semarang: Al Ma’arif, 1977. Ashraf, Ali, Horizon Baru Pendidikan Islam, peny. Sori Siregar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Assegaf,
M. Abdurrahman, http//www.persis.co.id/15112007/
“Konsep
Khilafah
Islamiyyah”,
Azra, Azyumardy, Esei-Esei Intelektualisme Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987. Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Djamal, A. Noerhadi, Epistimologi Pendidikan Islam: Suatu Telaah Reflektif Qur’any, dalam Chabib Thoha (eds), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 1996. Donald, F.J.MC., Educational Psychology, California: Wadsworth Publishing Company, 1959. Echols, John M, dan hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1999. Faisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Ibnu Hajjaj, Imam abi Husain Muslim, Shahih Muslim, Juz. IV, Beirut: Darul Kutub, tt. Ihsan, Hamdani, dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001. Isna, Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001. Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Al-Ma’arif, 1989. Muhaimin, dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Jakarta: Trigenda Karya, 1993. Muhaimin et al, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis Teoritis dan praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2000. ________, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Media Pratama, 2001.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,Di Bawah Lindungan al-Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Rahman, Fazlur, Major Time of The Quran, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: tp. 1983. Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2007. ________, Mu’jizat al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2005. ________, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.I, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Siregar, Marasudin, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun: Tinjauan Fenomenologis, dalam rusman Thoyyib, Darmu’in, Pemikiran Pendidikan Islam:Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. SM, Ismail (eds), Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Soenarjo,dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1971. Soepriyono, Widodo, Filsafat Manusia dalam Islam, dalam Reformulasi Pendidikan Islam,peny. Chabib Thoha, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Suryaningsih, “Umat Islam dan Tantangan untuk Menciptakan Transformasi Besar”, http//suryaningsih.word press.com/26122007/ Syafi’i, A Mustain, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Koran, Surabaya: Harian Bangsa, 2004. Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. Syuhud,
A. Fatih, “Tantangn Pendidikan http//sidogiri.online/13122007/
Islam
di
Era
Globalisasi”,
Syukur, Amin, dan Fatimah Usman, Insan Kamil,Paket Pelatihan seni Menata Hati, Semarang: CV. Bima Sejati, 2006. Thoha, M Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama
: Anik Risalati
Tempat/Tgl Lahir
: Demak, 04 Oktober 1983
Alamat Asal
: Jln. TPI Lama RT. 02/ VIII Sabetan Barat Wedung Demak
Jenjang Pendidikan 1. SD Negeri Ngawen I
lulus tahun 1995
2. MTs NU RAUM Wedung
lulus tahun 1998
3. MANU RAUM Wedung
lulus tahun 2001
4. IAIN Walisongo Semarang
angkatan tahun 2003
Semarang,
Januari 2008
Penulis