perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MAKNA DIFERENSIASI KARYA SENI LUKIS “PASREN” DI KABUPATEN KLATEN
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Gelar Magister Program Studi Kajian Budaya Minat Utama : Seni Rupa
Oleh Waluya NIM. S701008016
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012 i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MAKNA DIFERENSIASI KARYA SENI LUKIS “PASREN” DI KABUPATEN KLATEN
TESIS
Oleh : Waluya NIM. S701008016
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Pembimbing I
Prof. Dr. Nanang Rizali, M.SD NIP. 19500709 198003 1 003
.........................
21-11-2012
Pembimbing II
Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si NIP. 19650521 199003 1 003
..........................
21-11-2012
Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal 30 Nopember 2012
Ketua Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana UNS
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum NIP. 19640918 commit to198903 user 1 001 ii
Tanggal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MAKNA DIFERENSIASI KARYA SENI LUKIS “PASREN” DI KABUPATEN KLATEN
TESIS
Oleh : Waluya NIM. S701008016
Tim Penguji : Jabatan
Nama
Tanggal
Ketua
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum. NIP.19640918 198903 1 001
............................
12-12-2012
Sekretaris
Dr. Nooryan Bahari, M.Sn. NIP.19650220 199003 1 001
.............................
12-12-2012
Anggota I
Prof. Dr. Nanang Rizali, M.SD NIP.19500709 198003 1 003
.............................
1 2-12-2012
Anggota II
Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si NIP.19650521 199003 1 003
............................
12-12-2012
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat pada tanggal 26 Desember 2012
Direktur Program Pascasarjana UNS
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS. NIP. 19610717 198660 1 001
Ketua Program Studi Kajian Budaya
Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum. NIP. 19640918 198903 1 001 commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SURAT PERNYATAAN
Nama
: Waluya
NIM
: S701008016
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul Makna Diferensiasi Karya Seni Lukis “Pasren” Di Kabupaten Klaten adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar akademik yang saya peroleh.
Surakarta, 1 Desember 2012 Penulis,
Waluya NIM. S701008016
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO:
”Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (urusan dunia), bersungguh-sungguhlah dalam beribadah dan hanya kepada Tuhanmulah berharap”. (TQS.Al-Insyiraah: 6-8) ”Adat bersendi syara’. Syara’ bersendi kitabullah” (local genius: Minangkabau) ”Degus tibus non est dispustandun” artinya: Soal perbedaan rasa tak dapat diperdebatkan. (Pepatah dalam bahasa Latin)
PERSEMBAHAN:
Karya Tulis ini kupersembahkan kepada yang tercinta: Kedua orangtua yang mengasihiku dari kecil hingga dewasa Mufarida, istriku tercinta yang senantiasa memberi semangat kerja Angelia Esa Kalingga, putri semata wayangku sebagai penyemangat hidupku yang senantiasa membantu dalam tulisan ini
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Waluya, S701008016. 2012. Makna Diferensiasi Karya Seni Lukis “Pasren” di Kabupaten Klaten. Tesis Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. “Pasren” (Paguyuban Senirupawan Klaten) adalah organisasi kesenian yang beranggotakan para seniman seni rupa yang berasal dari berbagai latar belakang sosial-budaya, pendidikan dan pekerjaan di Kabupaten Klaten. Ideologi, pemikiran dan filosofi dengan latar belakang diferensiasi kehidupan sosial-budaya yang melingkupi kehidupan pelukis “Pasren” mungkin dapat melahirkan corak dan gaya pada karya seni lukis berbeda-beda. Perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” tersebut mungkin juga memiliki makna-makna tertentu untuk dipahami. Namun, tingkat pemahaman makna dan pengetahuan masyarakat awam mengenai seni lukis masih terbatas akibatnya apresiasi masyarakat tampaknya belum banyak memberikan simpati, empati, atau pun penghargaan yang signifikan. Padahal karya seni lukis merupakan bahasa komunikasi antara seniman dan masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian adalah, (1) Apa yang melatarbelakangi pemikiran, ideologi dan filosofi keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”? (2) Bagaimana perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis para anggota “Pasren”? (3) Bagaimana makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”? Sesuai permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengkaji kejelasan yang melatarbelakangi pemikiran, ideologi dan filosofis keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”. (2) Untuk mengkaji perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” yang memiliki makna dan (3) Untuk memaknai keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” Penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma Tafsir Kebudayaan. Sesuai hakikat keilmuan, Tafsir Kebudayaan sebagai teori yang dianut oleh Clifford Geertz, adalah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna. Penelitian bersifat terbuka, perubahan dianggap sebagai nilai tambah, bukan kegagalan. Oleh karena itu, penelitian tidak menggunakan hipotesis dan variabel yang dirinci secara eksplisit, maka menggunakan teori pendukung yang lain. Teori pendukung yang digunakan adalah teori Semiotika; suatu teori formal yang disesuaikan dengan hakikat objek, yakni seni lukis yang dianalogikan sebagai teks bahasa (baca: bahasa rupa) dan sebagai sistem tanda dan simbol yang perlu dimaknai. Sesuai hakikat metode analisis penelitian kualitatif, maka penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika. Pendekatan ini memungkinkan seseorang bebas menafsirkan karya seni lukis menurut pemahamannya sendiri secara kritis. Ruang lingkup penelitian meliputi seluruh anggota “Pasren”. Namun, untuk memberikan gambaran keperbedaan dalam keragaman lukisan, maka sesuai diambil sampel purposif yang diidentifikasi berdasarkan corak dan gaya yang dikaitkan dengan latar belakang sosial-budaya dari pelukis anggota „Pasren‟. Secara garis besar pengumpulan data lapangan dalam penelitian ini menggunakan empat teknik, yaitu: a), wawancara commit to user mendalam b), observasi langsung, c) analisis dokumen, dan d) teknik cuplikan. vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Teknik analisis data mencakup tiga langkah, yakni reduksi, kategorisasi, sintesisasi, dan menyusun „hipotesis kerja‟. Hasil analisis data disajikan secara informal; secara deskriptif yaitu melalui kata-kata, kalimat, dan bentuk-bentuk narasi yang lain. Penyajian secara formal; baik melalui diagram maupun tabel hanya bersifat sebagai pelengkap. Hasil penelitian mendapatkan temuan berupa keberagaman bentuk kehidupan sosial-budaya masyarakat Klaten berpengaruh dalam konsep berkarya yang melahirkan keragaman corak dan gaya hasil karya seni lukis “Pasren”. Corak dan gaya karya seni lukis tersebut menjadi simbol komunikasi budaya dan bahasa rupa antara pelukis dan pengamatnya. Setelah dilakukan analisis terhadap sejumlah hasil karya seni lukis “Pasren” dapat diketahui adanya perbedaan proses dan teknik berkarya yang menyebabkan terjadinya keperbedaan corak dan gaya yang masingmasing memiliki nilai estetis, struktur dan makna yang berbeda pula. Namun, berdasarkan hasil pemaknaan terhadap beberapa karya seni lukis “Pasren”, menunjukkan adanya keterkaitan dan kesamaan makna antara karya seni lukis satu dengan lainnya yang terbentuk oleh adanya latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofis pelukis “Pasren” dalam berkarya seni lukis yang berwujud corak dan gaya misalnya: Naturalisme, Realisme, Impresionisme, Romantisme, Ekspresionisme, Surealisme, Kubisme dan Kubisme yang terangkum dalam perwujudan makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni makna ma’rifat, makna kehidupan dan makna sosial-budaya. Setelah dilakukan pemaknaan dan diteruskan dengan penafsiran terhadap keperbedaan dalam keragaman karya sen lukis “Pasren”, maka ditemukan bentuk konsep trilogifiguratif yang berupa struktur tiga bidang dwimatra (horizontal) dalam wujud bidang segi tiga mendatar (trimandala) dan trimatra (vertikal) dalam wujud limas segitiga ke atas (triloka). Keduanya sebagai lambang atau simbol trihitakarana. Trihitakarana berarti tiga hubungan keselarasan, yakni keselarasan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan konsep trilogifiguratif itu, maka dapat ditafsirkan sebuah korelasi antara tiga makna simbolis terhadap keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni makna ma’rifat, makna kehidupan, dan makna sosial-budaya dengan latar belakang konsep penciptaan seni lukis “Pasren” yang terdiri dari tiga hal, yakni latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofi yang berpusat pada dzat Ghoib (Allah). Saran yang disampaikan adalah dapat membuka mata masyarakat dan pihak terkait, bahwa karya seni lukis itu tidak sekedar bentuk visual semata, tetapi lebih dari itu memiliki makna tertentu, sebagai salah satu alterantif komunikasi budaya dan dapat menumbuhkan kesadaran bersama dalam memberikan memberikan simpati, empati dan apresiasi terhadap karya seni lukis sebagai salah satu unsur kebudayaan yang ilmiah dan berkemajuan. Kata Kunci: Makna, Diferensiasi, Seni Lukis, Pasren.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhkanallahu Wata’alla, karena atas rahmat dan hidayah-Nya Tesis dengan judul Makna Diferensiasi Karya Seni Lukis “Pasren” di Kabupaten Klaten
akhirnya dapat diselesaikan dengan
lancar. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan meraih Gelar Magister Program Studi Kajian Budaya Minat Utama Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta tahun 2012. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. Rafik Kasidi, M.Pd., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum., Ketua Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Bapak Dr. Nooryan Bahari, M.Sn., Sekretaris Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Bapak Prof. Dr. Nanang Rizali, M.SD selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan penelitian ini. 6. Bapak Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan penelitian ini. 7. Saudara Ansori selaku Ketua Paguyuban Senirupawan Klaten (Pasren) yang telah banyak memberikan informasi tentang keorganiasasian dan seluruh kegiatan “Pasren”. 8. Saudara Drs. Suwardi Harris
selaku Ketua Bagian Humas Paguyuban
Senirupawan Klaten (Pasren) sebagai informan pangkal yang telah banyak commit to user memberikan berbagai informasi penting berkaitan dengan penulisan ini. viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Bapak Drs. Harsono selaku Ketua Dewan Kesenian Klaten. 10. Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Klaten. 11. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan masukan dan dorongan sehingga dapat memperlancar penulisan ini. 12. Para pelukis “Pasren” dan berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Kami menyadari dalam penulisan tesis ini masih ada kekurangan, maka kritik dan saran membangun dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga dunia pragmatika kebudayaan.
Klaten, 1 Desember 2012 Penulis,
Waluya NIM.S701008016
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL ..........................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................
ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ..................................................................
iii
PERNYATAAN ............................................................................................
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................
v
ABSTRAK.....................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................
viii
DAFTAR ISI .................................................................................................
x
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xvi
DAFTAR FOTO ...........................................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................
1
1.2 Masalah ....................................................................................................
9
1.2.1 Identifikasi Masalah .........................................................................
9
1.2.2 Pembatasan Masalah ........................................................................
10
1.2.3 Perumusan Masalah ..........................................................................
12
1.3 Tujuan.......................................................................................................
12
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................................
12
1.3.2 TujuaKhusus ....................................................................................
13
1.4 Manfaat .....................................................................................................
13
1.4.1 Manfaat Bagi Keilmuan ....................................................................
13
1.4.2 Manfaat Bagi Pihak Terkait ..............................................................
14
1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat .................................................................
14
1.4.4. Manfaat Bagi Peneliti ...................................................................... commit to user 1.5 Susunan Penulisan.....................................................................................
14
x
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN KEBUDAYAAN DAN SENI LUKIS DALAM KEBERAGAMAN MAKNA...........................................................
18
2.1 Ruang Lingkup Kebudayaan .....................................................................
18
2.1.1 Pengertian Kebudayaan ....................................................................
18
2.1.2 Wujud Kebudayaan ..........................................................................
22
2.1.2.1 Gagasan (Wujud Ideal) .........................................................
22
2.1.2.2 Aktivitas (Wujud Tindakan) ..................................................
23
2.1.2.3 Artefak (Wujud Karya) ........................................................
23
2.1.3 Diferensiasi Sosial-Budaya ...............................................................
24
2.1.4 Ideologi Budaya dan Keberagaman Karya Budaya ..........................
26
2.1.5 Kajian Budaya dan Keberagaman Karya Budaya ..............................
29
2.2 Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan .......................................................
33
2.2.1 Pengertian Seni.................................................................................
35
2.2.2 Wujud Karya Seni ............................................................................
39
2.2.2.1 Keberagaman Seni Rupa .......................................................
40
2.2.2.2 Seni Rupa Murni (Fine Art) ..................................................
42
2.2.2.3 Seni Terapan/ Desain (Applide Art/ Design) ..........................
43
2.2.2.4 Kriya (Craft) .........................................................................
44
2.3 Keberagaman Seni Lukis ...........................................................................
46
2.3.1 Wujud Keberagaman Seni Lukis.......................................................
46
2.3.1.1 Nilai Estetis dalam Seni Lukis ..............................................
47
2.3.1.2 Corak dan Gaya dalam Seni Lukis ........................................
50
2.3.2 Peranan Seni Lukis dalam Kehidupan Masyarakat ............................
59
2.3.2.1 Seni Lukis Sebagai Media Ekspresi.......................................
61
2.3.2.2 Seni lukis Sebagai Media Komunikasi ..................................
63
2.3.2.3 Seni Lukis Sebagai Pengirim Tanda ......................................
65
2.3.3 Keberadaan Seni Lukis dalam Kajian Ilmiah ....................................
68
2.4 Pemaknaan Seni Lukis Melalui Tafsir Kebudayaan ...................................
73
2.4.1 Proses Simbolik ................................................................................
77
2.4.2 Seni Lukis Sebagai Ungkapan Simbolik ........................................... to user 2.4.2.1 Konsep Penciptaancommit Seni Lukis ..............................................
79
xi
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.4.2.2 Proses Penciptaan Seni Lukis .................................................
83
2.4.2.3 Struktur Karya Seni Lukis ......................................................
87
2.4.3 Makna Seni Lukis dalam Kehidupan Sosial Budaya ..........................
98
2.4.3.1 Kajian Makna dalam Seni Lukis ............................................
100
2.4.3.2 Makna Seni Lukis dan Pengaruh Kehidupan Sosial Budaya ...
104
BAB III METODE PENELITIAN ..............................................................
108
3.1 Jenis Penelitian dan Pendekatan ................................................................
108
3.1.1 Jenis Penelitian .................................................................................
108
3.1.2 Pendekatan .......................................................................................
109
3.2 Metode Penelitian .....................................................................................
110
3.2.1 Lokasi Penelitian ..............................................................................
112
3.2.2 Bentuk dan Strategi Penelitian ..........................................................
112
3.2.3 Sumber Data.....................................................................................
115
3.2.3.1 Informan ...............................................................................
115
3.2.3.2 Arsip/ Dokumen....................................................................
116
3.2.3.3 Tempat Kegiatan ...................................................................
117
3.2.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................
117
3.2.4.1 Wawancara Mendalam (In-Depth Interviewing) ....................
117
3.2.4.2 Observasi Langsung ..............................................................
118
3.2.4.3 Analisis Dokumen (Content Analis) ......................................
118
3.2.4.4 Teknik Cuplikan ...................................................................
119
3.2.4.5 Validasi Data ........................................................................
120
3.2.4.6 Teknik Analisis .....................................................................
121
3.2.5. Teknik Penyajian Hasil Analisis .......................................................
123
BAB IV KEBERAGAMAN DAN PEMAKNAAN KARYA SENI LUKIS “PASREN” DI KABUPATEN KLATEN .......................................
124
4.1 Gambaran Umum Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Klaten ..............
124
4.1.1 Profil Kabupaten Klaten ................................................................... to user 4.1.2 Kehidupan Sosial-Budayacommit Masyarakat Klaten ..................................
124
xii
132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.1.2.1 Kehidupan Pertanian ..............................................................
133
4.1.2.2 Kehidupan Perkebunan ..........................................................
135
4.1.2.3 Kehidupan Industri Kerajinan Rakyat ....................................
139
1) Industri Kerajinan Tenun Lurik ........................................
140
2) Industri Kerajinan Payung Kertas .....................................
143
3) Kerajinan Batik ...................................................................
148
4) Industri Pengecoran Besi ..........................................................
148
5) Kerajinan Pande Besi .......................................................
149
6) Kerajinan Tanduk .............................................................
149
7) Kerajinan Bambu ..............................................................
150
8) Kerajinan Gerabah ............................................................
151
4.1.2.4 Kehidupan Keagamaan/ Aliran Kepercayaan .........................
154
4.1.2.5 Kehidupan Pendidikan ...........................................................
159
4.1.2.6 Kehidupan Perdagangan.........................................................
162
4.1.2.7 Kehidupan Adat-Istiadat ........................................................
163
4.1.3 Peninggalan-peninggalan Kebudayaan..............................................
166
4.1.4 Keberadaan “Pasren” Sebagai Organisasi Kesenian ..........................
171
4.1.5 Sejarah Singkat dan Aktivitas Organisasi “Pasren” ...........................
177
4.1.6 Sekitar Organisasi “Pasren” ..............................................................
185
4.2 Aspek Keberagaman Karya Seni Lukis “Pasren” .......................................
190
4.2.1 Keberagaman Objek Lukisan Karya Pelukis “Pasren”.......................
190
4.2.2 Konsep Penciptaan Karya Seni Lukis “Pasren” .................................
201
4.2.3 Jenis Corak dan Gaya Karya Seni Lukis “Pasren” .............................
207
4.3 Keberagaman Karya Seni Lukis dan Penafsirannya ...................................
218
4.3.1 Latar Belakang Pemikiran, Ideologi dan Filosofis Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” ...........
218
4.3.2 Perwujudan Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” ..............................................................
236
4.3.3 Makna Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” .............................................................. commit to user 4.3.3.1 Makna Ma’rifat ................................................................... xiii
267 270
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.3.2 Makna Kehidupan ...............................................................
278
4.3.3.3 Makna Sosial-Budaya ..........................................................
289
4.3.4 Pemaknaan Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” ..............................................................
308
4.3.4.1 Konsep Trilogifiguratif ........................................................
317
4.3.4.2 Penafsiran Makna Trilogifiguratif........................................
320
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
332
5.1 Kesimpulan ...............................................................................................
332
5.2 Saran.........................................................................................................
333
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
335
LAMPIRAN ..................................................................................................
341
DAFTAR ISTILAH ......................................................................................
380
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel IV.1 Peninggalan Kebudayaan Purbakala di Klaten ...............................
169
Tabel IV.2 Daftar Tokoh Apresiator Karya Seni Lukis “Pasren” .....................
175
Tabel IV.3 Daftar Kolektor Karya Seni Lukis “Pasren” ...................................
176
Tabel IV.4 Pemaknaan Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” ............................................................
309
Tabel IV.5 Korelasi Makna dalam Konsep Trilogifiguratif..............................
323
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar II.1
Limas Citra Manusia ...............................................................
85
Gambar III.1 Diagram Model Penelitian .......................................................
114
Gambar III.2 Bagan Metode Interaktif ..........................................................
115
Gambar IV.1 Foto Makam Kyai Melati, Cikal Bakal Klaten .........................
126
Gambar IV.2 Peta Letak Kabupaten Klaten di Propinsi Jawa Tengah ............
129
Gambar IV.3 Peta Geografis Wilayah Kabupaten Klaten...............................
130
Gambar IV.4 GM. Sudarta, Kartunis/ Pelukis “Pasren” .................................
177
Gambar IV.5 Ansori, Ketua “Pasren” di Galerinya ........................................
182
Gambar IV.6 Patung Ki Nartosabdo, Dalang Kondang Sebagai Simbol Budaya Klaten .............................................................
185
Gambar IV.7 Lukisan “Pemandangan Alam Tanah Toraja” (2006) Karya: Joko SP. (47 th) ............................................................
238
Gambar IV.8 Lukisan “Joged” (2004) Karya: Winarno GN. (63 th) ..............
239
Gambar IV.9 Lukisan”Hutan” (2005) Karya: Karang Sasongko (49 th) .........
240
Gambar IV.10 Lukisan “Pekundi” (2005) Karya: Joko Temin (33 th)..............
241
Gambar IV.11 Lukisan “Milihi Mbako” (2005) Karya: Cak Min (39 th) ..........
242
Gambar IV.12 Lukisan“Lembah Merapi”(2007) Karya: Kus Indra (43 th) ......
244
Gambar IV.13 Lukisan “Pesona Merapi” (2007) Karya: Kapten Suwarto (55 th).................................................
245
Gambar IV.14 Lukisan “Bapa, Ibu lan Putra Kinasih” (2007) Karya: GM. Sudarta .................................................................
247
Gambar IV.15 Lukisan “Operasi Semar” (2007) Karya: Jaya Adi (51 th) ........
248
Gambar IV.16 Lukisan “Bima Melawan Naga Nemburnawa” (2004) Karya: Sugito Slamet (50 th) ....................................................
249
Gambar IV.17 Lukisan “Walk Together” (2003) Karya: Samina (40 th) ..........
250
Gambar IV.18 Lukisan “Ndonga” (2003) Karya: Yoyok WD. Besur (40 th) .............................................
252
Gambar IV.19 Lukisan “Nganyam Rotan” (2003) Karya: Rosana (37 th) ........
253
Gambar IV.20 Lukisan “ Sebuah Harapan” (2003) to user Karya: Sigid GP. (49commit th) ..........................................................
254
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.21 Lukisan “Menyatu” (2004) Karya: Phepen Parjimin ................
255
Gambar IV.22 Lukisan “Tak Ada Gading yang Tak Retak” (2005) Karya: Hery Cahyono (34 th) ...................................................
257
Gambar IV.23 Lukisan “Panglima Sudirman” (2007) Karya: Ansori (51 th) ...............................................................
258
Gambar IV.24 Lukisan “Ular Tangga” (2001) Karya: Budi Budek‟s (38 th) ....................................................
259
Gambar IV.25 Lukisan “Pengorbanan” (2006) Karya: Suwardi Harris (57 th) ..................................................
260
Gambar IV.26 Lukisan “Pencarian” (2010) Karya: Adi Prawito ......................
262
Gambar IV.27 Lukisan “Power”(2007) Karya: Bambang Pujiono (52 th)........
263
Gambar IV.28 Lukisan “Potret Nagari” (2005) Karya: Pitut Saputra (33 th) .....................................................
264
Gambar IV.29 Lukisan “Dini” (2005) Karya: Satya Budi Santosa ...................
266
Gambar IV.30 Lukisan “Gari Samegaring Payung” (2011) Karya: Ibnu Wibowo ...............................................................
300
Gambar IV.31 Contoh Analisis Konsep Tiga Titik (Trimandala) pada Corak dan Gaya Karya Seni Lukis “Pasren” ....................
309
Gambar IV.32 Proses Pembentukan Konsep Triloka .......................................
318
Gambar IV.33 Bagan Alur Pemaknaan Konsep Trilogifiguratif.......................
319
commit to user xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR FOTO
Halaman Foto 1 Makam Kyai Melati, cikal bakal Klaten ..........................................
354
Foto 2 GM.Sudarta, Kartunis/ Pelukis Indonesia Asal Klaten/ Anggota “Pasren” ..............................
354
Foto 3 Ansori, Ketua “Pasren” di Galerinya ..................................................
355
Foto 4 Ibnu WibowoPelukis dan Kolektor Benda-benda Antik Tokoh Penggagas Berdirinya Organisasi “Pasren” ..............................
355
Foto 5 Karang Sasongko Putra dari Pelukis Nasional Alm. Rustamadji/ Tim pendiri “Pasren” ..........................................................................
356
Foto 6 Penulis sedang mengamati lukisan “Pasren” dalam rangkaian penelitian pada pameran Yaaqowwiyyu di Aula Padepokan Ash-Shomad Internasional, Jatinom, Klaten ..........
356
Foto 7 Keikutsertaan “Pasren” dalam Agenda Budaya Grebeg Sapar Yaaqowwiyyu 2012 di Makam Ki Ageng Gribig, Kecamatan Jatinom, Klaten ................................................................
357
Foto 8 Spanduk Pameran Seni Lukis “Pasren” satu tahun terakhir Sehari menjelang pembukaan di Aula Kecamatan Klaten Selatan .......
357
Foto 9 Penulis berpose dengan I Wayan Pasek (Pemangku Adat dan Pemandu Wisata Budaya di Denpasar Bali.........................................................
358
Foto 10 Logo Organisasi “Pasren” ................................................................
358
Foto 11 Logo Dewan Kesenian Klaten ............................................................
358
Foto 12 Logo Pemda Kabupaten Klaten ..........................................................
358
commit to user xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Daftar Wawancara........................................................................
341
Lampiran 2 Profil Narasumber/ Informan ........................................................
342
Lampiran 3 Panduan Wawancara ....................................................................
346
Lampiran 4 Daftar Pertanyaan Wawancara .....................................................
350
Lampiran 5 Daftar Foto Pendukung ................................................................
354
Lampiran 6 Data-data/ Katalog Pameran “Pasren” ..........................................
359
Lampiran 7 Data-data dari Disbudparpora .......................................................
366
Lampiran 8 Surat-surat Perijinan Penelitian ....................................................
375
commit to user xix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kebudayaan adalah suatu kondisi sosial-budaya yang majemuk, karena terbentuk dengan bermodalkan berbagai kebudayaan lokal atau lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman sejarah, tantangan intervensi dan proses sosialisasi akan memberikan perubahan bentuk (shape) dan warna kepada kepribadian yang muncul dari lingkungan wilayah kebudayaan. Oleh karena itu, ketika sekumpulan masyarakat lama akhirnya berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk bisa mengatasi keterbelakangan kondisi itu ialah dengan membuat suatu kesatuan yang disebut budaya baru. Walaupun kadang-kadang mengalami perbenturan ideologis, tetapi juga ada yang malah saling mengisi di antara kebudayaan tersebut. Budaya baru dapat terbentuk apabila terjadi interaksi kepentingan bersama antar individu (Kayam, 1981: 52). Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial pada hakikatnya setiap individu ingin berkomunikasi dengan sesamanya. Untuk menyampaikan suatu maksud agar bisa diterima orang lain, maka secara konsensus dapat dilakukan melalui simbol-simbol tertentu
dalam
berkomunikasi. Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan sendiri-sendiri yang berlaku pada kesatuan hidup yang terkecil seperti kampung, klan, suku bangsa, hingga kesatuan hidup yang lebih luas yang dinamakan bangsa. Kebudayaan yang dimaksudkan adalah sistem ide, gagasan, nilai-nilai, pandangan hidup, kesenian dan commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepercayaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam sibernetika sistem sosial menurut Talcot Parson (dalam Waseno, 1998: 1), kebudayaan menjadi dasar bagi sistem-sistem yang lebih rendah tingkatannya, yaitu sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem organis. Berbeda dengan sistem sosial lainnya, kebudayaan sifatnya jauh lebih abstrak dan sulit diamati secara langsung. Dengan demikian yang dapat diamati hanyalah gejalanya yang tercermin juga dalam sistem sosial dan sistem kepribadian dari sejumlah individu yang menganut atau tercakup dalam suatu kebudayaan tertentu. Begitu juga karya seni sebagai produk kebudayaan dapat dimaknai sebagai gejala perwujudan status kepribadian dalam masyarakat. Berdasarkan keanekaragaman karya seni yang dikenal di dalam masyarakat sepanjang zaman, maka seperti yang diperkirakan Sedyawati (2006: 125), bahwa posisi seni dalam masing-masing masyarakat tersebut dapat berbeda-beda. Ada masyarakat yang menempatkan kesenian betul-betul merupakan suatu pranata „mandiri‟ sebagai sarana pemenuhan salah satu kebutuhan hidup manusia yang dikenali sebagai kebutuhan tersendiri, sementara dalam masyarakat lain mungkin kesenian adalah sesuatu yang bersifat „pendukung‟ saja terhadap pranata tertentu, misalnya pranata agama. Kajian tentang sistem kesenian, baik sebagai pranata tersendiri maupun sebagai sistem pendukung dalam pranata lain, memerlukan dukungan ilmu dasar antropologi budaya. Konsep-konsep dasar mengenai struktur dan makna simbolis dalam rangka studi mengenai masyarakat seni, yang masingmasing ditandai oleh latar belakang budayanya tersendiri, telah dikembangkan dalam ilmu tersebut. commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Usaha pengembangan dalam keilmuan tersebut tidak lain adalah untuk dapat memaknai objek seni sebagai bagian dari kebudayaan. Sebagaimana dikatakan Poespowardojo (1989: 121), bahwa usaha ini terlaksana dengan memberikan makna manusiawi kepada materi atau benda seni yang diolahnya dan membuat tata kehidupan masyarakat menjadi manusiawi pula. Dengan kata lain, karya seni pada hakikatnya adalah manifestasi kehidupan masyarakat itu sendiri dan proses perkembangannya, di samping juga sebagai manifestasi kepribadian suatu masyarakat. Artinya, identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya. Kebudayaan sebagai akar seni telah menumbuh kembangkan cabang-cabang seni seperti seni rupa, seni musik, seni tari, seni teater dan seni sastra. Seni rupa termasuk salah satu cabang seni dapat ditempatkan sebagai substansi kajian budaya. Seni rupa hanyalah bagian dari unsur seni yang keberadaannya sama dengan cabangcabang seni lainnya. Ia bukan sekedar objek yang terpisah dengan subjeknya (perupa) apalagi latar subjeknya. Dengan demikian seni rupa tidak hanya diposisikan sebagai teks, namun jika ingin dianalisis untuk mengetahui kenyataan mengenainya secara utuh dan secara sosiologis harus ditempatkan pada konteksnya. Seni penuh nilai dan makna; bukan kuantitas tetapi kualitas, posisinya ada dalam wilayah kebudayaan (Subiyantoro, 2010: 83). Peran subjek atau perupa sangat dominan sebagai penguasa objek dalam proses kreatifnya, yakni dalam menciptakan, commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membangun, mengubah, melestarikan, dan bahkan mengembangkan karyanya diwujudkan dalam bahasa simbol-simbol tertentu. Sebagai salah satu ranting seni rupa, seni lukis beserta segala aspeknya sangat menarik untuk topik pembahasan, karena tidak akan habis-habisnya di bicarakan baik dari segi nilai estetis, struktur dan makna simbolik yang terkandung didalamnya. Seni lukis hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk visual. Proses penciptaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan sosial budaya. Pengaruh lingkungan dan deferensiasi sosial-budaya dari pelukisnya tampaknya dapat melahirkan beranekaragam corak dan gaya pada hasil karya lukisnya. Seni lukis ditujukan sebagai tolok ukur nilai estetika, tanpa mengurangi fungsi sebagai bahasa rupa untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Dengan demikian setiap corak dan gaya lukisan tersebut dapat memberikan stimulan dan motivasi bagi pengamatnya untuk mengetahui, meneliti, dan mengungkap makna simbolis dari karya tersebut. Berdasarkan kenyataan di atas, manusia sebagai anggota masyarakat memerlukan bahasa dalam tatanan simbolis untuk menjalin interaksi dengan sesamanya. Bahasa merupakan simbolisasi hasrat dalam suatu pencarian kendali tiada akhir. Simbol merupakan salah satu istilah yang sangat banyak digunakan dalam ilmu humaniora (Ratna,2007: 176). Dengan cara masuk ke dalam tatanan simbolis inilah subjek terbentuk. Di luar tatanan simbolis hanya ada psikosis. Menurut Lacan (dalam Chris Baker, 2000: 91), simbolis adalah suatu struktur bahasa dan makna sosial yang diterima yang bersifat melingkupi. commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Beberapa wilayah kebudayaan di Indonesia, seperti Jawa Tengah, telah mendapatkan kesempatan perkembangan sosial-budaya, baik dalam bidang hubungan sosial masyarakat maupun simbol-simbol budayanya. Artinya, komunikasi antar budaya sangat diperlukan untuk dapat memaknai simbol-simbol tersebut. Liliweri (2003: 5) menyebutnya „komunikasi sebagai aktivitas simbolis‟, karena aktivitas berkomunikasi menggunakan simbol-simbol bermakna yang diubah ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan atau simbol „bukan kata-kata‟ (nonverbal) untuk „diperagakan‟. Simbol komunikasi itu dapat berbentuk tindakan dan aktivitas manusia, atau tampilan objek yang mewakili makna tertentu. Analogi yang sama dapat dicontohkan
pada seorang pelukis yang mengalihkan
percakapannya pada pengamatnya melalui karya lukisnya sebagai simbol komunikasi. Sebagai bagian dari kawasan wilayah kebudayaan di propinsi Jawa Tengah, Klaten merupakan wilayah kabupaten yang termasuk ke dalam wilayah eks. karesidenan Surakarta. Kabupaten Klaten termasuk kawasan straegis, karena terletak di lintasan antara dua “kota budaya” Yogyakarta dan Solo (Surakarta) tentu saja memiliki karakteristik budaya yang tersendiri dari pada daerah lain. Pemandangan alam pedesaan yang indah, yang didominasi lahan pertanian diapit oleh gunung Merapi di sebelah utara dan pegunungan seribu sebelah selatan. Untuk menambah khazanah budaya, secara historis, Klaten memiliki peninggalan hasil kebudayaan masyarakat tempo dulu, seperti candi Merak di kecamatan Karangnongko, candi Plaosan, candi Bubrah, candi Loro Jonggrang di Kecamatan Prambananan dan lain sebagainya. Di samping itu, terdapat pula desa wisata budaya, seperti desa wisata commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Soran dan desa wisata Melikan. Keduanya menyuguhkan atraksi-atraksi wisata budaya lokal, seperti praktek menggarap sawah secara tadisional, pertunjukan wayang kulit, wayang orang, kethoprak, tari lesung, tari gambyong, dan permainan musik tradisional „laras madya‟. Penduduk Kabupaten Klaten merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beberapa kelompok suku (etnis), antara lain: suku Jawa, yang merupakan mayoritas penduduk asli dan suku etnis pendatang, yaitu suku Cina, suku Arab, suku Sunda, suku Irian, dan kelompok suku yang lain yang telah memiliki kewarganegaraan Indonesia. Mereka memiliki adat budaya dan menganut agama yang berbeda-beda. Namun demikian dalam kehidupan bersosial budaya dan beragama masyarakat Klaten terjadi hubungan yang harmonis; saling bertoleransi. Kondisi latar belakang keindahan alam, kekayaan produk kebudayaan, kehidupan sosial-budaya dan agama seperti itulah memungkinkan terbentuknya kreativitas dan aktivitas kebudayaan masyarakat Kabupaten Klaten. Ketika suatu kelompok individu bertemu dalam persamaan profesi dan persepsi, maka mereka berkeinginan untuk membangun suatu simbol identitas kelompok yang biasa disebut organisasi. Berkaitan dengan organisasi ini, Ferdinand Tonnies (dalam Setiadi, 2006: 85) mengemukakan, bahwa pembagian masyarakat dengan sebutan masyarakat gemainschaft dan geselschaft. Masyarakat gemainschaft atau disebut juga paguyuban, adalah kelompok masyarakat yang anggotanya sangat terikat secara emosional dengan yang lainnya. Masyarakat geselschaft atau yang disebut patembeyan adalah ikatan-ikatan di antara anggotanya kurang kuat dan bersifat rasional. Dengan demikian, terbentuknya organisasi yang dilandasi atas commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepentingan bersama untuk mewujudkan tujuan tertentu dapat disebut paguyuban. Paguyuban kesenian merupakan bentuk organisasi dan simbol profesi manusia untuk berinteraksi sosial melalui hasil karya seni. Artinya, sebagai pengikat kebersamaan dalam berkarya para seniman membentuk organisasi kesenian. Salah satunya adalah “Pasren” (Paguyuban Senirupawan Klaten), yaitu organisasi kesenian yang beranggotakan para seniman seni rupa yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, agama, pekerjaan, dan asal daerah di Kabupaten Klaten. Paguyuban ini berdiri pada tahun 1991 diprakarsai oleh Rustamaji (almarhum), pelukis asli Klaten. Sebagai organisasi kesenian, “Pasren” telah diakui eksistensinya oleh Dewan Kesenian Klaten di bawah perlindungan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Klaten. Setidaknya organisasi ini telah memberikan kontribusi dalam perkembangan dan pembangunan di bidang kebudayaan. Sebagai contoh, memprakarsai pendirian monumen dan patung Ki Nartosabdo (dalang kondang sekaligus budayawan asli Klaten). Selain itu “Pasren” juga menyelenggarakan berbagai lomba melukis dalam event kedaerahan dan nasional, seperti peringatan HUT Kabupaten Klaten dan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia. Keberagaman asal daerah para seniman yang berdomisili di Klaten dan seniman asli daerah yang berada di luar Kabupaten Klaten sangat mewarnai diferensiasi karya seni lukis yang mereka tampilkan. Pengalaman estetis seniman yang dipengaruhi oleh endapan empiris kebudayaan yang bersifat kedaerahan itu melahirkan objek dan gaya dalam lukisan yang berbeda-beda. Dalam kajian seni rupa, keperbedaan itu justru merupakan suatu keunikan tersendiri dan menarik commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perhatian. Berangkat dari keragaman tersebut terjadi akumulasi pengaruh ideologi terhadap idea atau gagasan manusia dalam penciptaan karya seni yang disebut ideoantropologi visual. Secara ideoantropologis setiap individu memiliki paradigma dan ideologi masing-masing sebagaimana paparan Althusser (dalam Chris Baker, 2000 : 60) berikut. “Ideologi adalah pengalaman yang dijalani. Disisi lain, ideologi juga dipahami sebagai seperangkat makna rumit yang menjelaskan dunia (suatu diskursus ideologi) dengan cara melakukan misrecognize (salah mengenali) dan misrepresent (salah mempresentasikan) kekuasaan dan relasi kelas. Ideologi dikatakan mempresentasikan hubungan imajiner individu dengan kondisi eksistensi nyata mereka”. Dengan
demikian
setiap
karya
lukis
seniman
cenderung
akan
mempresentasikan pemaknaan atas keadaan dan peristiwa yang mereka alami, misalnya pemaknaan sebab-akibat kebijakan pemerintah, lingkungan hidup, sosial budaya, keagamaan, dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris tersebut, karya seni lukis bisa ditempatkan sebagai objek kajian budaya, maka dapat dianalisis dengan menggunakan teori budaya untuk mengkaji makna simbolisnya. Teori-teori budaya yang bisa ditawarkan mestinya disesuaikan dengan kebutuhan setiap jenis, corak dan gaya seni lukis. Misalnya, untuk melihat keindahan bentuk struktur bagian luar sebuah objek seni lukis membutuhkan teori estetika dan apabila seni lukis dipandang sebagai tanda, maka teori yang dibutuhkan adalah teori semiotika. Namun demikian, struktur dan tanda pada seni lukis tidak memiliki arti, jika tidak diiringi dengan teori tafsir untuk mengungkap makna simbolis yang terdapat di balik karya seni lukis tersebut. Dalam hal ini, Clifford Geertz (2004: 11) mengemukakan, bahwa analisis ibarat menata struktur-struktur pemaknaan. Dengan demikian, kajian tentang
commit to user
makna-makna yang terdapat pada karya seni lukis “Pasren” tampaknya terjadi keraguan
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan menggunakan teori tafsir apabila tidak didukung oleh teori-teori budaya yang lain, seperti teori estetika dan semiotika. Oleh karena itu, dalam penelitian kajian budaya rupa ini akan dianalisis objek karya seni lukis “Pasren”menggunakan teori tafsir yang didasarkan informasi dari pelukisnya. Artinya, pengkajian karya seni lukis “Pasren” tetap dengan menempatkan posisi pelukisnya sebagai penguasa objek lukisan.
1.2 Masalah 1.2.1 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dijabarkan ke dalam identifikasi masalah sebagai berikut.
1) Diferensiasi sosial-budaya yang melingkupi kehidupan para pelukis akan melahirkan corak dan gaya hasil karya seni lukis. Corak dan gaya karya seni lukis tersebut dapat menjadi simbol komunikasi budaya antara pelukis dan pengamatnya. Akan tetapi, corak dan gaya karya seni lukis sebagai simbol tidak akan bernilai apa-apa atau bermakna ketika pengamatnya tidak bisa untuk mengungkapnya. 2) Secara kelembagaan, eksistensi “Pasren” telah diakui oleh pemerintah daerah setempat sebagai organisasi kesenian yang memiliki karakter kesenirupaan yang potensial. Namun, pemaknaan terhadap karya seni lukis “Pasren” tampaknya belum mendapatkan hasil yang diharapkan, maka akibatnya tidak banyak memberikan simpati, empati, atau pun penghargaan yang signifikan. 3) Karya seni lukis “Pasren” dapat menjadi bahasa rupa sebagai media komunikasi antara pelukis dan pengamatnya, namun tampaknya terindikasi commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada hambatan-hambatan komunikasi, sehingga pemahaman terhadap corak dan gaya karya lukis “Pasren” tidak sesuai yang diharapkan. 4) Setiap corak dan gaya karya seni lukis “Pasren” sebenarnya memiliki nilai estetis, struktur, dan makna berbeda-beda yang perlu diungkap dengan cara menafsirkan. Namun, cara menafsirkan dan memahami karya seni lukis “Pasren” tersebut mengalami kesulitan. 5) Ada keterkaitan antara nilai estetis, struktur dan maknanya, baik yang terdapat pada corak dan gaya salah satu karya seni lukis “Pasren” maupun jika ditransformasikan dengan karya seni lukis yang lain. Namun, kenyataannya banyak orang meragukan tentang keterkaitan tersebut. Berdasarkan penjabaran kelima butir identifikasi masalah tersebut di atas, dapat dirangkum menjadi inti pokok masalah, bahwa perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” yang dilatarbelakangi oleh diferensiasi kehidupan sosial-budaya masyarakat di Kabupaten Klaten memiliki makna tertentu namun belum terungkap, maka perlu pemaknaan agar karya seni lukis itu dapat dipahami maksud dan nilai yang terkandung di dalamnya.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Kreativitas seseorang sepanjang sejarah meliputi banyak kegiatan, di antaranya beraktivitas dalam bidang sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Dalam bidang kesenian, seni lukis termasuk salah satu karya seni yang perlu dimaknai. Oleh karena itu, penelitian ini akan memusatkan perhatian pada makna keperbedaan dalam keberagaman karya seni lukis “Pasren”, yaitu pada commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari yang bernilai simbolis. Bentuk simbolis yang dimaksud itu meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos dan bahasa (Kuntowijoyo, 2006:3). Sedemikian luasnya bentuk-bentuk simbolis, maka dalam penelitian ini perlu membatasi pada beberapa hal yang terjangkau dalam bahasan sosiologi dan antropologi kesenian. Berdasarkan inti pokok masalah yang berkaitan dengan karya seni lukis “Pasren” maka dalam penelitian ini akan membatasi masalah makna tertentu yang terdapat pada keberagaman corak dan gaya lukisan yang teridentifikasi memiliki persamaan dan perbedaannya. Karya seni lukis yang akan dianalisis sebanyak delapan jenis corak dan gaya beserta pelukisnya. Adapun pertimbangan sebanyak itu, karena pada karya-karya pelukis “Pasren” yang termasuk ke dalam kedelapan jenis corak dan gaya itu, berdasarkan data awal telah diteliti memiliki keunikan tersendiri menurut nilai estetis, penanda dan mengundang interpretasi. Untuk menggali lebih dalam makna tersebut, akan ditentukan sejumlah informan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Ruang lingkup penelitian difokuskan pada penggalian informasi mengenai makna tertentu pada hasil karya pelukis anggota “Pasren”, baik yang berada di dalam sekretariat “Pasren” maupun di rumah-rumah anggota “Pasren” di lingkungan wilayah kabupaten Klaten. Berhubung umur organisasi “Pasren” masih relatif muda, maka dalam penelitian ini tidak memerlukan periodisasi, tetapi akan menganalisis objek penelitian sejak berdirinya “Pasren” tahun 1991 sampai sekarang.
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.2.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan menjadi beberapa identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat diungkapkan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1) Apa yang melatarbelakangi pemikiran, ideologi dan filosofis keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”? 2) Bagaimana perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”? 3) Bagaimana makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”?
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Sesuai dengan identifikasi masalah, maka tujuan umum dalam penelitian ini secara keseluruhan adalah untuk mengetahui perwujudan keperbedaan dalam keragaman
karya seni “Pasren” itu memiliki makna-makna yang dilatarbelakangi oleh diferensiasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Kabupaten Klaten dan untuk untuk mengetahui cara memaknai keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengkaji kejelasan yang melatarbelakangi pemikiran, ideologi dan filosofis keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”. commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Untuk mengkaji perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” yang memiliki makna tertentu. 3) Untuk memaknai keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”
1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Bagi Keilmuan Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kajian budaya. Lebih khusus lagi mengenai analisis seni lukis sebagai bagian dari kajian budaya dan seni rupa. Secara ideoantropologi visual, maka diharapkan hasil penelitian ini nanti dapat mendukung kebenaran teori-teori budaya dan dapat pula memberikan data empiris tambahan bagi teori-teori yang sudah ada seperti teori strukturalisme, semiotika dan teori tafsir simbolis dalam rangka mengungkap makna simbolis yang terdapat pada corak dan gaya karya seni lukis secara optimal. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan menambah referensi penelitian-penelitian berikutnya atau sebagai pembanding dalam penelitian budaya yang lain.
1.4.2 Manfaat Bagi Pihak Terkait Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan,
antara
lain Pemerintah Kabupaten Klaten melalui Dinas
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga dalam memberikan pembinaan commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
organisasi-organisasi kebudayaan umumnya dan seni rupa pada khususnya. Bagi Dewan Kesenian Klaten, dapat membantu dalam memfasilitasi dan memberikan penyuluhan teknis pelaksanaan kegiatan kesenian demi perkembangan organisasi kesenian di Kabupaten Klaten. Demikian juga, bagi organisasi “Pasren” dapat menjadi dokumen dan rujukan bagi para pelukisnya untuk meningkatkan kreativitas dalam berkarya seni.
1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat Dari hasil penelitian ini dapat membuka mata masyarakat, bahwa karya seni lukis itu tidak sekedar bentuk visual semata, tetapi lebih dari itu memilki makna teertentu. Oleh karena itu, diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat meningkatkan rasa apresiasi seni masyarakat terhadap karya seni lukis dewasa ini demi membantu kemajuan dan perkembangan seni rupa pada umumnya.
1.4.4 Manfaat Bagi Peneliti Secara pribadi, penelitian ini bermanfaat sebagai dasar pijakan keilmuan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Di samping itu, dapat menambah wawasan seni dan pengalaman bermakna, bahwa pada keberagaman karya seni lukis “Pasren” itu memiliki makna-makna tertentu. Dari pengalaman bermakna itu, penulis merasa bertanggung jawab sebagai insan civitas akademika merasa bangga dan berkewajiban untuk menyumbangkan hasil penelitian ini pada masyarakat dalam menambah cakrawala persenilukisan. commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.5 Susunan Penulisan Penyajian hasil dari penelitian merupakan suatu uraian mengenai susunan penulisan yang dibuat secara teratur dan terinci. Susunan penulisan yang dimaksud bertujuan untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh dengan jelas dari penelitian tersebut. Oleh karena itu susunan penulisan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Bab I menjelaskan dasar pemikiran yang menjadi titik tolak perlunya dilakukan penelitian karya seni lukis “Pasren” dan merupakan landasan bagi pembahasan bab-bab selanjutnya. Pembahasannya mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pematasan masalah, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian baik tujuan umum maupun tujuan khusus, manfaat penelitian yang berguna bagi dunia keilmuan, pihak-pihak terkait, berguna bagi masyarakat dan bagi peneliti sebagai tanggung jawab akademis. 2) Bab II memaparkan dan menjelaskan teori-teori atau konsep-konsep sebagai teori utama (grand theory) dan didukung oleh teori-teori lain yang relevan dengan masalah yang diteliti. Disamping itu, juga menguraikan data-data sekunder yang diperoleh dari jurnal-jurnal ilmiah atau hasil penelitian pihak lain yang terkait dan tidak kontradiktif dengan lingkup keilmuan yang dapat dijadikan pertimbangan, kaidah-kaidah teoristis atau asumsi-asumsi yang memungkinkan untuk menjawab masalah penelitian. 3) Bab III secara umum menjabarkan tentang metode penelit ian untuk memberikan garis besar kerangka pemikiran serta gambaran rinci commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan runtut mengenai prosedur penelit ian dengan memperhat ikan masalah penelit ian. Di dalamnya menjelaskan mengenai objek atau variabel penelitian, jenis, paradigma dan pendekatan penelitian, lokasi penelitian,
jenis dan sumber data,
instrumen penelitian, teknik
pengumpulan data dan teknik analisis data. Disamping itu, juga menguraikan secara umum prosedur penelitian dan proses analisis data yang dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data dan penyajian data dan verifikasi (penyimpulan). 4) Bab 1V memaparkan gambaran umum mengenai fenomena budaya yang terjadi
di
organisasi
“Pasren”
dan
yang
melatarbelakanginya.
Menguraikan secara singkat profil lembaga organisasi “Pasren” beserta gambaran lokasi tempat dilakukannya penelitian. Demikian juga menggambarkan
cakupan
objek
penelitian
atau
variabel
dan
menyampaikan hasil temuan-temuan umum dan khusus. Berdasarkan temuan yang diperoleh, selanjutnya dibahas dan dianalisis dengan menggunakan teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti sebagaimana disebutkan pada bab II. 5) Bab V menutup pembahasan dengan menarik kesimpulan yang menguraikan hasil pembahasan mulai pendahuluan hingga hasil penelitian dan memaparkan pembahasan yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan singkat dan padat yang mengacu atau menjawab masalah penelitian seperti yang diungkapkan pada rumusan masalah sekaligus sebagai upaya pencapaian tujuan. Di samping itu, berupaya memaparkan temuan-temuan dart hasil commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian sesuai permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini. Beberapa saran-saran berupa anjuran, rekomendasi serta temuan-temuan kendala dengan memperhatikan manfaat penelitian menyangkut manfaat penelitian yang menyangkut aspek kebijakan, konseptual maupun operasional.
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN KEBUDAYAAN DAN SENI LUKIS DALAM KEBERAGAMAN MAKNA
2.1 Ruang Lingkup Kebudayaan 2.1.1 Pengertian Kebudayaan Kata ”kebudayaan” berasal dari bahasa Latin, yaitu colere dan bahasa Inggris culture yang keduanya merujuk pada arti pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman atau ternak (Simon, 2008: 2). Pengertian tersebut berubah menjadi gagasan tentang keunikan adat adat kebiasaan suatu masyarakat. Selanjutnya,
istilah-istilah
tersebut
menjadi
multidimensi
bersama
dengan
munculnya berbagai pendapat tentang apa makna perbedaan dan keunikan-keunikan itu dalam memahami manusia umumnya. Dalam bahasa Indonesia, kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-budaya-an itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan akal yang berwujud cipta, rasadan karsa (Koentjaraningrat, 1993: 9). Maka, sebagai suatu konsep, Koentjaraningrat memberikan arti kebudayaan adalah “keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”. Banyak sekali pengertian kebudayaan, dan bahkan A.L. Kroeber dan C. Kluchohn sempat mengumpulkan sebanyak 179 definisi tentang kebudayaan. commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian dianalisis dan diklasifikasikan ke dalam tipe-tipe tertentu untuk kepentingan penelitian tertentu (Koentjaraningrat, 1993: 10). Setiap definisi yang disampaikan menurut sudut pandang masing-masing orang berdasarkan pola pikir dan kepentingannya. Sekelompok orang menganggap kebudayaan sebagai bentuk perilaku sosial masyarakat. Sementara kelompok lainnya beranggapan, bahwa kebudayaan bukanlah bentuk perilaku, melainkan ide atau gagasan dari perilaku itu sendiri. Sebagian orang lain lagi, menganggap benda-benda buatan manusia seperti kapak batu, kapak logam, candi, istana raja, tembikar, perhiasan, dan lain-lain sebagai kebudayaan. Namun, ada orang lagi yang menganggap, bahwa benda-benda itu bukanlah kebudayaan, melainkan hasil dari kebudayaan.
Dengan demikian,
kebudayaan adalah sesuatu yang sangat kompleks berasal dari manusia, seperti yang dikemukakan oleh E.B. Taylor, 1958 (dalam Bahari, 2008: 27), bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Pengertian kebudayaan menurut E.B. Taylor itu dipersoalkan oleh Peursen (1989: 10), karena dianggapnya pengertian tersebut, bahwa kebudayaan meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia hanya yang berbudi luhur dan yang bersifat
rohani
saja.
Ciri
khas
dari
pendapat-pendapat
itu
dianggapnya
mendikotomikan antara “bangsa-bangsa berbudaya” (yang beradab tinggi) dengan “bangsa-bangsa alam” (yang dianggap lebih primitif). Oleh karena itu, Peursen mengartikan kebudayaan sebagai manifestasi setiap orang dan setiap kelompok orang; berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah dia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah dia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiahnya, dan justru itulah yang dinamakan kebudayaan. Itulah sebabnya tidak terdapat manusia-manusia yang semata-mata terbenam dalam alam sekitarnya. Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kematian dan membuat upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu; demikian juga mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan, pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat kehidupan, pakaian, cara-cara menghiasi rumah dan badannya. Semua itu termasuk kebudayaan, seperti juga kesenian, ilmu pengetahuan dan agama. Justru dari kehidupan “bangsabangsa alam” itu menjadi kentara, bagaimana pertanian, kesuburan (baik dari ladang, maupun dari wanita), erotis, ekspresi kesenian dan mitos-mitos religius merupakan satu keseluruhan yang tak dapat dikotak-kotak (Peursen 1989: 11). Jadi, menurut pandangan ini kebudayaan adalah suatu proses perkembangan kehidupan manusia dan ruang lingkupnya sangat diperluas lagi. Karena demikian luasnya ruang lingkup kebudayaan, maka untuk kepentingan analisis konsep kebudayaan itu perlu dipecah ke dalam unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur
kebudayaan
tersebut
bersifat
universal.
Dalam
hal
ini,
Koenntjaraningrat (1993: 2) membagi unsur-unsur universal menjadi tujuh, sebagi berikut. commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
digilib.uns.ac.id
Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem mata pencaharian hidup, dan Sistem teknologi dan peralatan.
Dari ketujuh unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi menjadi sub unsur-unsurnya. Demikian ketujuh unsur kebudayaan universal tadi memang mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia di manapun juga di dunia, dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya. Ketika kebudayaan telah menjadi sistem pengetahuan, secara terus- menerus dan setiap saat bila ada rangsangan, dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa dan benda-benda yang ada dalam lingkungannya, sehingga kebudayaan itu juga dimiliki oleh masyarakat di mana dia hidup. Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk membaca dan memahami serta mengintepretasi secara tepat berbagai gejala dan peristiwa yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka. Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya kebudayaan yang berisikan model-model kognitif yang mempunyai peranan sebagai kerangka pegangan untuk pemahaman. Dengan kebudayaan ini, manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan kelakuan tertentu sesuai dengan rangsangan-rangsangan yang ada atau sedang dihadapinya. Dalam memahami kebudayaan harus dimulai dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri, bukan sebagai kebudayaan generik; yang merupakan pedoman
yang
diturunkan,
tetapi
sebagai
kebudayaan
diferensial;
yang
to user dinegosiasikan dalam keseluruhancommit interaksi sosial. Kebudayaan bukanlah suatu
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
warisan yang secara turun-tumurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu (Abdullah, 2006: 9). Dengan demikian, sifat kebudayaan berubah dan berkembang; dapat dimodifikasi seiring kebutuhan dan pemikiran manusia. Pendek kata, kebudayaan pada hakikatnya adalah manifestasi kehidupan masyarakat kehidupan masyarakat itu sendiri dan proses perkembangannya. Oleh karena itu, tepatlah seperti yang dikatakan Poepowardojo (1989: 121), bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian suatu masyarakat sebagai suatu identitas. Artinya, identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai perikehidupannya.
2.1.2 Wujud Kebudayaan Merujuk pendapat J.J. Hoenigman (dalam Mujiyanto, dkk., 2010: 11) dan Koentjaraningrat (1993: 5), wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu gagasan, aktivitas dan artefak.
2.1.2.1 Gagasan (Wujud Ideal) Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya absraks; tidak dapat diraba, disentuh atau di foto. Wujud kebudayaan ini terletak di dalam kepalacommit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat teresebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
2.1.2.2 Aktivitas (Wujud Tindakan) Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati dan didokumenkan.
2.1.2.3 Artefak (Wujud Karya) Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumenkan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan tersebut. Dalam kenyataannya kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Contoh, wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan ketiga wujud kebudayan itu apabila dikaitkan dengan karya seni, maka banyak kalangan membedakan wujud kebudayaan menjadi dua, yaitu berwujud fisik (bewujud; tampak mata dan dapat diraba) biasa disebut dengan istilah tangible dan non fisik (tidak berwujud; tidak tampak mata atau abstrak) yang disebut dengan istilah intangible. Namun, tampaknya Sedyawati (2006: 164) mengkritisi kedua istilah tersebut telah terjadi kekeliruan dalam memaknai. Dia menjelaskan, bahwa pengertian itu tidak selamanya benar, karena ada aspek budaya intagible itu bersifat absrak, seperti konsep dan nilai. Adapula yang bersifat konkrit, seperti musik, tari, upacara, dan sebagainya. Bahkan suatu pergelaran yang nyata, yang umumnya juga mempunyai bentuk dan struktur tertentu tetapi tidak dapat dikatakan “tak berwujud”. Oleh karena itu, dia memberikan pengertian tangible artinya dapat disentuh atau diraba dan intangible artinya “tak benda” atau tidak dapat disentuh. Artinya, keduanya merupakan aspek budaya yang bersifat “kebendaan” atau “kerabaan”. Sebagai contoh, misalnya peristiwa budaya masa lampau seperti permainan musik, tari, cerita, dan sebagainya yang dilukiskan pada artefak-artefak. Contoh yang lain, adalah lukisan sumberdaya manusia berupa peristiwa budaya seperti lukisan gotong royong, pengairan irigasi, pejamuan agung di istana, dan sebagainya yang juga dipahatkan pada artefak peninggalan sejarah.
2.1.3 Diferensiasi Sosial-Budaya Secara etimologis kata “diferensiasi” merupakan kata serapan berasal dari bahasa Inggris difference yang berarti perbedaan, pertentangan, pertikaian (Shadily, 2007: 181). Dikaitkan dengan teori sosiologi dan antropologi, maka diferensiasi commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat dimaknai ketidaksamaan atau keperbedaan status sosial masyarakat yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya masing-masing individu. Menurut Wahyuni dan Yusniati (2007: 14), berdasarkan bentuknya, diferensiasi sosial dapat dibedakan sebagai berikut. 1) Diferensiasi sosial berdasarkan ras: Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan ras yang dimiliki seseorang. 2) Diferensiasi sosial berdasarkan agama : Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan agama yang dianut oleh seseorang. 3) Diferensiasi sosial berdasarkan klan: Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan perbedaan latar belakang kekerabatan seseorang yang terdiri atas satu nenek moyang dilihat melalui garis keturunan. 4) Diferensiasi sosial berdasarkan jenis kelamin: Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang dimiliki seseorang 5) Diferensiasi sosial berdasarkan profesi: Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan profesi atau pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang. 6) Diferensiasi sosial berdasarkan suku: Suatu bentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan perbedaan suku bangsa yang dimiliki seseorang. Namun keperbedaan bentuk diferensiasi tersebut di atas tidak perlu dipertentangkan, apalagi menjadikan pertikaian, tetapi justru akan melahirkan keragaman sosial-budaya masyarakat. Keragaman sosial-budaya masyarakat ini dalam perkembangan yang dewasa ini justru mewarnai dinamika kehidupan sehingga muncul beragam pandangan-pandangan tentang berbagai ragam kehidupan. Keragaman budaya dalam fenomena kehidupan telah menimbulkan berbagai ragam persoalan, baik yang menyangkut persoalan yang bersifat eksternal maupun yang bersifat internal. Persoalan eksternal muncul ketika elemen-elemen di luar kehidupan manusia masuk dan terlebur ke dalamnya. Elemen-elemen itu dapat berupa kemajuan commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
teknologi, karya sastra, seni lukis, musik dan sebagainya. Sedangkan aspek internal dapat berupa gagasan. Ide atau konsep-konsep yang dimunculkan oleh para pelaku budaya itu sendiri. Dengan demikian, yang dimaksud diferensiasi adalah bentuk keperbedaan dalam keragaman latar belakang sosial-budaya masyarakat berupa suku, ras, agama, klan, garis keturunan, jenis kelamin, maupun profesi yang berpengaruh pada terciptanya karya budaya yang berbeda-beda. Dengan keperbedaan hasil karya ini juga akan melahirkan keragaman bentuk-bentuk sistem sosial budaya yang memiliki beaneka ragam simbol budaya.
2.1.4 Ideologi Budaya dan Keberagaman Karya Budaya Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Poewodarminto (1982: 334), Kata “ideologi” berarti paham, teori dan tujuan yang dimiliki seseorang atau konsep bersistem yang dijadikan sebagai landasan berpendapat yang memberikan arah dan tujuan hidup. Kaplan dan Manners, (2002: 154) menggunakan istilah ideologi untuk mengacu kepada kawasan ideasional dalam suatu budaya. Dengan demikian, istilah ideologi dalam penggunaannya meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Kata ideologi dalam masyarakat sering dikaitkan dengan konsep yang direduksi sebagai pemikiran politik dalam tindakan praktis dan berkonotasi negatif, karena di dalamnya berisi pemikiran yang acapkali memaksakan kehendak kepada masyarakat. Tetapi, seiring perkembangan jaman, maka pemahaman tentang ideologi mengalami perubahan. Seperti juga pada fenomena bahasa pada umumnya, commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pergeseran sebuah kata bisa terjadi apabila tindakan praktis berubah. Lelland (2005: 24) mengatakan, bahwa yang membuat sebuah ide menjadi ideologis adalah karena ia menyembunyikan sifat yang sebenarnya dari hubungan sosial dan ekonomi dan kemudian digunakan untuk menjusdifikasi distribusi sumber daya sosial ekonomi yang tidak merata dalam masyarakat. Tidak semua ide adalah ideologi, tetapi hanya ide-ide yang digunakan untuk menjusdifikasi suatu kepentingan tertentu. Dengan demikian, apabila ideologi dihubungkan dengan berbagai fenomena kebudayaan, maka pengertian ideologi memiliki karakter dengan sudut pandang yang berbeda, sebagaimana dikatakan Althusser (dalam Barker, 2009: 60), bahwa ideologi memiliki karakter dua ujung. Di satu sisi, dia adalah kondisi nyata kehidupan manusia, dia meliputi pandangan dunia yang menjadi landasan orang untuk hidup dan menyelami dunia ini. Dalam hal itu, ideologi tidak palsu karena dia membentuk kategori dan sistem representasi yang membuata kelompok sosial dapat memahami dunia ini. Ideologi adalah pengalaman yang dialami. Di sisi lain, ideologi juga dipahami sebagai seperangkat makna rumit yang menjelaskan dunia. Sementara Meliono-Budiono (2004: vii) mensinyalir, bahwa ideologi dilihat sebagai sebuah gagasan, pemikiran, ataupun ide-ide yang berada pada kebudayaan materialistis. Di dalam kebudayaan meterialistis, kebudayaan tidak beroperasional secara fisik melainkan berada di dalam kepala, di dalam kematangan jiwa, keluasan pengalaman dan kedalaman pikiran suatu masyarakat. Oleh karenanya kedalam pikiran masyarakatlah yang berperan dalam mewujudkan ideologi tersebut. Dengan kata lain ideologi budaya berada pada pola pikir kolektif masyarakat. Artinya, ideologi budaya sangat erat dengan keberadaannya manusia sebagai makhluk individu dan sosial commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
yang
digilib.uns.ac.id
berbudaya, baik sebagai penghasil maupun pemakai dan pemakna hasil
kebudayaan itu sendiri. Dalam kajian budaya pemahaman semacam itu disebut ideoantopologi. Kata ideoantropologi merupakan gabungan dari kata „ideologi‟ dan „antropologi‟. Ideologi adalah suatu bentuk empiris berasal dari pengaruh lingkungan pada jamannya bersifat abstrak di dalam alam pikir manusia yang kemudian terserap menjadi idea atau gagasan untuk berkarya seni. Antropologi diserap dari bahasa Latin anthropos berarti manusia dan logos artinya ilmu. Jadi antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia yang sangat kompleks, menyangkut sebagai makhluk individu maupun sosial masyarakat (Koentjaraningrat, 1996: 8). Berdasarkan penggabungan kedua terminologi tersebut, maka yang dimaksud ideoantroplogi adalah suatu paparan analisis karya-karya budaya manusia baik sebagai makhluk individu maupun anggota masyarakat yang ditinjau dari segi pengaruh ideologinya. Pengaruh ideologi yang melandasi pola pikir masing-masing individu tentunya akan melahirkan keragaman sosial-budaya budaya dan karya budaya masyarakat pula. Ketika ideologi besentuhan dengan keragaman sosial dan kemudian dikaitkan dengan penciptaan karya budaya, maka persentuhan tersebut akan menjadi kekayaan ide gagasan manusia dalam proses berkarya dan pada akhirnya juga menambah keunikan tersendiri pada hasil karyanya. Bisa jadi ideologi yang bersentuhan dengan adanya keberagaman sosial-budaya ini akan memungkinkan terjadi saling mempengaruhi teknik, corak dan gaya dalam berkarya, tetapi masing-masing subjeknya tetap memiliki karakter tersendiri dalam karyanya. commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setiap produk kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat, baik suatu komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, suatu organisasi paguyuban dan sebagainya, memiliki suatu karya budaya dengan corak dan gaya yang khas, yang terutama tampak oleh orang yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. Warga kebudayaan itu sendiri biasanya tidak menyadari dan melihat corak dan gaya yang khas tersebut. Sebaliknya, mereka dapat melihat corak dan gaya yang khas kebudayaan lain, terutama apabila corak dan gaya yang khas itu mengenai unsurunsur yang perbedaannya sangat menyolok dibandingkan dengan kebudayaannya sendiri. Suatu kebudayaan dapat memiliki suatu karya budaya dengan corak dan gaya yang khas itu karena berbagai sebab, yaitu antara lain karena adanya suatu unsur kecil dalam bentuk unsur kebudayaan fisik yang khas dalam kebudayaan tersebut, atau kebudayaan itu memiliki pranata-pranata dengan suatu pola khusus, atau mungkin juga karena warga kebudayaan menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak dan gaya yang khas mungkin pula disebabkan karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar, sehingga tampak berbeda dari kebudayaankebudayaan lain.
2.1.5 Kajian Budaya dan Keberagaman Karya Budaya Dalam rangka menganalisis dan menjelaskan representasi keberagaman suatu karya budaya, baik dari ditinjau sisi ideologi, latar belakang sosial-budaya dan makna simbolis, maka perlu pengkajian terhadap karakteristik subjektivitas dan identitas manusia sebagai penghasil produk kebudayaan. Sebagaimana dikatakan Barker (2009: 173), sebagai berikut. commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Konsep subjektivitas dan identitas terkait erat dan secara virtual tak dapat dipisahkan. Namun, kita bisa memandang subjektivitas mengacu pada kondisi menjadi seorang pribadi dan proses di mana kita menjadi seorang pribadi, yaitu bagaimana kita dibentuk sebagai subjek. Sebagai subjek, yaitu sebagai pribadi, kita „terikat kepada‟ proses-proses sosial yang menciptakan kita sebagai „subjek untuk‟ diri kita dan orang lain. Konsepsi yang kita yakini tentang diri kita bisa disebut dengan identitas-diri, sementara itu harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Keduanya membentuk narasi atau menyerupai cerita”.
Berdasarkan pendapat itu, dapat dimaknai, bahwa identitas subjek tebentuk oleh adanya pengaruh dari luar diri subjek. Begitu seseorang sebagai subjek harus dapat menempatkan diri pada kondisi sebagai pribadi individu dan menjadi harapan orang lain sebagai makhluk sosial. Untuk mewujudkan sebuah narasi konsepsi subjektifitas dan identitas tidak cukup dengan hanya menggunakan satu teori kajian. Dalam hal ini, sesuai sifatnya, maka kajian budaya dapat digunakan sebagai tali simpul terhadap ilmu-ilmu atau teori-teori yang lain. Kajian budaya (cultural studies) sering disebut sebagai wilayah lintas- disiplin, multi-disiplin, pasca-disiplin, atau bahkan malahan anti-disiplin. Dalam konteks ini, kajian budaya dikaitkan dengan pengkajian terhadap sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar-disiplin. Semua ini tentulah baik adanya, karena dari sudut pandang nominalis „disiplin‟ sebenarnya hanyalah merupakan istilah untuk melegitimasi dan melembagakan metode dan medan minat sebuah kajian. Tetapi sering luput dan tidak hadir dalam perbincangan tentang lintas disiplin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, adalah bahwa gagasan lintas disiplin dalam kajian budaya juga melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dan tindakan. Inilah pokok persolalan sesungguhnya yang membedakan commit to user kajian budaya denagan disilpin lainnya, yaitu hubungan kajian budaya dengan soal-
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
soal kekuasaan dan politik, dengan keinginan akan perubahan dan representasi dan untuk kelompok sosial yang terpinggirkan terutama kelompok kelas, gender, dan ras, begitu juga kelompok usia, kecacatan, kebangsaan, dan sebagainya. “Kajian budaya merupakan bangunan teori yang dihasilkan oleh pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik politik” (Mujiyanto, dkk, 2010: 23). Dengan demikian, pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai fenomena netral atau objektif, melainkan sebagai persoalan posisionalitas, persoalan dari mana, kepada siapa dan dengan tujuan apa seseorang berbicara. Arti “budaya” dalam kajian budaya adalah medan nyata di mana praktikpraktik, representasi-representasi, bahasa, dan kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat tertentu berpijak. Budaya juga adalah bentuk-bentuk kontradiktif akal sehat yang sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari (Hall, 1996: 439). Budaya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang makna-makna sosial, yaitu beragam cara yang digunakan untuk memahami dunia. Namun demikian, maknamakna tidak menari-nari „di luar sana‟, melainkan muncul melalui tanda-tanda, terutama tanda-tanda bahasa. Kajian budaya memegang argumen, bahwa bahasa bukan sebuah media yang netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan tentang suatu objektivitas dan independen yang „ada‟ di luar bahasa. Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak oleh bahasa dan menjadi bisa dipahami melalui istilah-istilah yang digariskan oleh bahasa. Proses-proses produksi makna ini disebut praktik-praktik
penandaan (signifying
commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
practices), dan mempelajari kebudayaan sama artinya meneliti bagaimana makna diproduksi secara simbolis dalam bahasa „sistem penandaan‟. Posisi teori dalam kajian budaya bisa dipahami sebagai narasi yang bertujuan untuk memilah-milah dan menguraikan ciri-ciri umum yang mendeskripsikan, mendefinisikan dan menjelaskan kejadian-kejadian yang terus-menerus muncul. Bagaimanapun, teori tidak memotret dunia secara akurat; ia adalah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia melalui mekanisme deskripsi, definisi,
prediksi
dan control. Konstruksi teori adalah usaha diskursif yang sadar diri (self-reflextive) yang bertujuan untuk menafsirkan dan mengintervensi dunia (Mujiyanto, dkk, 2010: 24). Pengkajian teoritis bisa dianggap sebagai peta-peta kultural yang menjadi panduan. Kajian budaya menolak klaim para empirisis, bahwa pengetahuan hanyalah masalah mengumpulkan fakta yang digunakan untuk mendeduksi atau menguji teori. Teori dipandang sudah selalu implicit dalam penelitian empiris melalui pemilihan topik, fokus, riset, dan konsep-konsep yang dipakai untuk mendiskusikan dan menafsirkannya. Dengan kata lain, „fakta‟ tidaklah netral dan tidak ada tumpukan „fakta‟ yang bisa menghasilkan kisah tentang sesuatu tanpa teori. Bahkan, teori adalah kisah tentang kemanusiaan yang mempunyai implikasi untuk tindakan dan penilaian-penilaian tentang konsekuensi. Kajian budaya sangat memerankan peranan penting untuk menunjukkan karakter yang terkonstruksi teks-teks kebudayaan, berbagai mitos dan ideologi yang tertanam di dalamnya, dengan harapan bisa melahirkan posisi-posisi subjek, dan subjek-subjek sungguhan, yang mampu melawan subordinansi. Sebagai sebuah teori commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang politis, kajian budaya diharapkan dapat mengorganisisr kelompok-kelompok oposisi yang berserakan menjadi suatu aliansi politik kebudayaan. Meski demikian, Bennet (1992, dalam Mujiyanto, dkk, 2010: 25) mengatakan, bahwa kebanyakan politik tekstual yang dihasilkan kajian budaya (a) tidak berkaitan dengan banyak orang dan (b) mengabaikan dimensi institusional kekuasaan kultural. Ia mendorong kajian budaya untuk mengadopsi pendekatan yang lebih pragmatis, bekerja dengan para produser kebudayaan dalam konstruksi dan penerapan kebijakan kultural, di samping juga dengan memperluas referensi.
2.2 Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan Sebagai unsur budaya, kesenian memiliki peranan penting untuk memenuhi kebutuhan estetis manusia. Dalam memenuhi kebutuhan estetis ini, kesenian menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dengan kebudayaan. Kesenian merupakan unsur pengikat yang mempersatukan pedoman-pedoman dalam bertindak yang berbeda menjadi suatu desain yang utuh, menyeluruh, dan operasional serta dapat diterima sebagai sesuatu yang bernilai (Bahari, 2008: 45). Dengan demikian, seni adalah bagian langsung dari kehidupan manusia yang sama pentingnya dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Seni lahir dan berkembang sejalan dengan lahir dan berkembangnya umat manusia di muka bumi ini. Seni selalu berperan dari jaman ke jaman, diwariskan dari generasi ke generasi sebagai suatu lambang peradaban manusia yang paling berharga. Manusia selalu berusaha mengembangkan seni, baik secara kualitas maupun kuantitas (Rasjoyo, 1994: 1). Artinya, kualitas seni sangat ditentukan oleh commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perkembangan masyarakat yang berwawasan luas tentang seluk-beluk seni, maka akan muncul karya-karya seni yang bermutu tinggi. Kesenian dalam segala wujudnya merupakan sebagian dari kebudayaan yang merupakan pencerminan dari peradaban yang pada suatu kurun waktu tertentu yang akan dikenang dan dipelihara, baik sebagai objek peninggalan sejarah maupun sebagai objek penelitian (Dharmawan, 1988: 13). Dengan demikian, dapat diartikan juga, bahwa seni merupakan hasil karya budaya yang mengimplementasikan dari daya upaya manusia yang melibatkan akal, fikiran, budi dan perasaan yang dilatar belakangi kehidupan sosial-budaya. Seperti halnya kehidupan manusia, maka seni begitu tidak konsisten dan tidak menentu dan tidak menentu untuk diperas menjadi suatu ide yang sempit. Seni sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan yang telah memiliki sistem dan logikanya sendiri. Ilmu pengetahuan harus bekerja secara pasti pada acuannya supaya mendapatkan hasil yang objektif yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, seni tidak demikian halnya, seni kerap kali membuat kejutan-kejutan yang tak pernah terfikirkan oleh akal dan logika manusia. Hal ini, karena seni lebih mengedepankan perasaan daripada akal atau logika dalam proses penciptaannya. Oleh karena itu, untuk memaknai sebuah karya seni membutuhkan kajian tersendiri agar seni memiliki nilai-nilai dan makna-makna dalam kehidupan manusia. Karena kompleksitas dan kedalaman tentang makna seni, maka orang berusaha membuat
batasan-batasan
mengenai
seni.
Usaha
ini
dimaksudkan
untuk
mempermudah memahami, memaknai dan menilai karya seni. Konsep-konsep yang muncul itu sangat bervariasi sesuai dengan pemahaman, penghayatan, dan commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pandangan seseorang terhadap seni. Dengan demikian, tidaklah salah kalau Masunah, dkk. (1999: 23) tidak ingin mendefinisikan secara utuh pengertian seni pada masa kini, tetapi kiranya juga tidak salah kalau dikemukakan berbagai pemikiran serta persoalan agar pengertian istilah seni
dibiarkan terlalu umum
pengertian konvensionalnya, sehingga akhirnya istilah seni hampir tidak mempunyai makna lagi.
2.2.1 Pengertian Seni Istilah “seni” secara etimologis merupakan padanan kata art dalam bahasa Inggris dan ars dalam bahasa Latin, yang berarti ketangkasan atau kemahiran dalam mengerjakan sesuatu (Sachari, 2004: 2). Namun, di Indonesia sendiri asal-usul istilah “seni” masih merupakan dugaan-dugaan. Sejak kapan istilah seni itu muncul belum bisa dipastikan. Diperkirakan kata “seni” muncul pada jaman Jepang, dalam bukubuku sastra pada waktu itu yang berarti halus, tipis, kecil dan tinggi. Kata itu dipakai dalam pengertian sehari-hari dan masih umum, belum merupakan istilah khusus seperti sekarang ini.
Misalnya, dalam buku Sejarah Melayu, dijumpai kalimat:
“…maka, perdana menteri pun menyuruh melengkapi sebuah pilu diisinya dengan jarum yang „seni‟ yang terkarat”. Dalam buku Salah Asuhan, karya Abdul Muis, terdapat kalimat: Syafei sedang menggapai-gapaikan tangannya, sedang jeritnya semakin „seni‟. Sinonim kata “seni” dalam bahasa Sansekerta ialah cilpa, yang artinya berwarna, semua keahlian dan semua bakat seni. Ada dugaan lain, tetapi disanggah, yakni kata “seni” diduga berasal dari bahasa Sansekerta sani, yang berarti commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
persembahan, pelayanan dan pemberian. Agaknya pada waktu itu karena seni bertalian erat dengan upacara keagamaan, misalnya orang membuat sesaji, berarti mempersembahkan
sesuatu
dengan
kegiatan
ritual.
Kegiatan
itu
dalam
perkembangan selanjutnya disebut “kesenian”. Ada lagi dua kata yang juga diduga merupakan asal-usul kata “seni”. yakni: (1) Sani, berasal dari bahasa Arab, yang berarti pencipta. (2) Genie, dari bahasa Belanda yang artinya adalah orang yang mempunyai jasa yang agung, suatu daya cipta yang luar biasa dan orang yang mempunyai keunggulan yang menajubkan. Maka, muncul kata genius, artinya, orang yang sejak kelahirannya mempunyai keunggulan yang menakjubkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwodarminto, 1982: 696) kata “seni” artinya keahlian membuat karya bermutu; karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa (misalnya lukisan . tulisan, tarian, lagu, dan sebagainya). Berdasarkan penelusuran beberapa asal-usul arti kata “seni” tersebut di atas, maka pengertian seni setiap saat bisa mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan jaman dan peradaban manusia. Setiap individu berpendapat tentang pengertian seni berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masing-masing untuk apa pengertian itu dibuat. Beberapa pengertian seni menurut para ahli, seperti yang dikutip Sachari (2004: 2-3) sebagai berikut. (1) Seni adalah suatu penjelajahan manusia dalam menciptakan realitas baru di luar kemampuan akal serta menyajikannya dalam bentuk perlambangan (Kahler, 1964). Pendapat ini menunjukkan, bahwa seni sebagai lambang-lambang agar dapat dipahami oleh orang lain. Lambang-lambang itu dapat berbagai bentuk dan karya seni, seperti tersebut pada kutipan nomor (2) Seni adalah kegiatan untuk menciptakan sesuatu yang dapat commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dipahami oleh perasaan manusia; bentuknya dapat berupa lukisan, patung, arsitektur, musik, drama, tari, film, dan sebagainya (Langer, 1964) dan (3) Seni adalah suatu wujud yang terindera atau merupakan benda yang dapat dilihat, didengar atau keduanya (Sumardjo, 2000). Oleh karena itu, seni itu memiliki nilai tersendiri, yakni Seni adalah ekspresi sebuah pengalaman yang nyata dan memiliki nilai yang berdiri sendiri yang dapat ditangkap oleh pancaindera (Parker, 1964). Namun demikian, dalam dunia filsafat, seni memiliki arti luas, yakni pertama, wujud utama dari kebudayaan manusia atau pun bangsa yang memiliki makna. Kedua, kemahiran seseorang dalam mengungkapkan atau mengkomunikasikan perasaannya, baik secara individual maupun sosial. Pendapat lain tentang seni adalah seperti yang dikutip oleh Dharmawan (1988: 13) antara lain: (1) Seni adalah emosi yang menjelma menjadi suatu ciptaanyang konkret. (2) Seni adalah hasil getaran jiwa dan keselarasan dari perasaan serta pikiran yang diwujudkan sesuatu yang indah dan murni. (3) Seni adalah pengalaman estetis yang diwujudkan melalui kegiatan kreatif yang menghasilkan karya pesona Ketiga pendapat seni itu menunjukkan, bahwa seni memiliki peranan penting dalam menyelaraskan antara cipta, rasa dan karsa. Dalam arti lain, karya seni sebaiknya memiliki wujud yang konkret sehingga pengalaman estetis seniman yang berupa emosi atau getaran jiwa yang berwujud abstrak dapat mempesona dan dipahami oleh pengamatnya. Senada dengan pengertian ini, tampaknya Rasjoyo (1994: 3) juga mengutip pengertian seni dari beberapa tokoh, yakni (1) Seni merupakan perbuatan manusia commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang timbul dari perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan manusia (Ki Hajar Dewantara). (2) Seni adalah kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitas ke dalam suatu karya. Bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam batin penerimanya (Achdiat Kartamihardja). (3) Seni mempunyai cakupan yang cukup luas. Seni adalah kemahiran membuat dan melakukan sesuatu yang dipakai sebagai perangsang pengalaman estetis yang memuaskan. Yang dimaksud kemahiran bukan sekedar membuat dan melakukan, namun juga harus memuaskan. Sedangkan memuaskan
tidak
harus
indah,
dapat
juga
mengharukan,
menegangkan,
menggalakkan, menyedihkan, dan sebagainya (Dr. Sujoko). Dari ketiga pendapat beberapa tokoh tersebut dapat dimaknai, bahwa seni memiliki tiga sifat, yakni seni merupakan aktivitas rohani manusia, seni bersifat indah yang berasal dari pengalaman batin dan seni diharapkan dapat memuaskan orang lain. Berdasarkan beberapa asal-usul kata dan berbagai pendapat para tokoh tentang seni tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa seni adalah hasil karya cipta manusia bersumber dari pengalaman estetis yang merefleksikan realitas kehidupan dan diwujudkan melalui ketrampilan teknik berkarya, sehingga dapat merangsang pengamat untuk memaknainya.
2.2.2 Wujud Karya Seni Seni sebagai ungkapan perasaan, emosi, ataupun pengalaman estetis seseorang dapat tampil dalam berbagai bentuk, tergantung pada kemampuan dan keahlian senimannnya. Setiap bentuk karya seni tersebut memiliki kelebihan sendiri-sendiri, commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baik dari segi aturan, nilai dan dimensinya. Oleh karena itu, keindahan yang ditampilkan oleh seni rupa baik itu lukisan atau patung akan berbeda dengan keindahan yang ditampilkan oleh seni musik, seni tari, seni sastra atau seni drama. Berdasarkan penampilan dan cara penanggapannya, maka karya seni dapat dibagi menjadi beberapa kelompok. Menurut Oswald Kuple (Dharmawan, 1988: 18-19), berdasarkan penampilan dan cara penanggapannya, wujud karya seni secara rinci dapat dikelompokkan ke dalam cabang-cabang seni, sebagai berikut. A. Seni yang ditanggapi oleh indera pendengar (Auditory Art), terdiri dari: 1. Dengan nada: seni musik a. Dihasilkan oleh satu alat musik, misalnya gitar, biola, piano dan lain-lain. b. Dihasilkan oleh banyak alat musik, misalnya orkes symphony, band, dan lain-lain. 2. Dengan kata-kata: seni sastra a. Tak berirama: prosa b. Berirama: puisi B. Seni yang ditanggapi oleh indera penglihat (Visual Art), terdiri dari: 1. Bentuk Dwimatra (dua dimensi), dengan memanfaatkan unsur-unsur garis, warna, bentuk, irama dan cahaya: a. Tanpa gerak: seni rupa (seni lukis dan seni gambar) b. Dengan gerak: seni film 2. Bentuk Trimatra (tiga dimensi): a. Tanpa gerak: seni rupa (seni patung) b. Dengan gerak: seni pantomim C. Seni yang ditanggapi oleh indera pendengaran dan penglihatan (AudiotoryVisual Art), terdiri dari: 1. Dengan gerak dan nada: seni tari 2. Dengan gerak, kata dan pemandangan: seni drama 3. Sengan gerak, kata, pemandangan dan nada: seni opera.
Seiring dengan perkembangan di dunia akademis, maka untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pasar seni (art market), beberapa perguruan tinggi seni, seperti Institut Seni Indonesia (ISI) dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) pengelompokan seni tersebut di atas disatukan ke dalam bentuk kelompok besar. commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagai contoh, ISI Yogyakarta pada saat ini membagi wujud seni ke dalam tiga fakultas, yakni seni pertunjukan (performance art), seni rupa dan desain (fine art and design) dan seni media (medium art) atau media rekam. Seni pertunjukan, merupakan kumpulan dari berbagai karya seni yang dipertunjukkan secara langsung pada penonton, misalnya: tari, karawitan, musik, dan teater (drama). Seni rupa, terdiri dari seni murni (seni lukis, seni patung, dan seni grafis), kriya (kriya kayu, kriya logam, kriya tekstil, kriya kulit, dan kriya keramik) dan desain (desain interior dan desain komunikasi visual). Seni media atau media rekam, merupakan karya seni yang dimanfaatkan untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan dari keseluruhan hasil karya seni. Sebagai contoh karya seni yang termasuk dalam seni media ini, yaitu karya fotografi, video dan televisi.
2.2.3 Keberagaman Seni Rupa Pandangan stereotip, bahwa karya seni rupa adalah sebuah lukisan yang tergantung di dinding telah lama ditinggalkan orang. Pandangan demikian ini tidaklah salah, tetapi menjadikan pandangan terhadap seni kemudian terkucil dalam bingkai masyarakat sosial yang sempit. Pandangan-pandangan, bahwa seni rupa adalah high art (seni tinggi) telah lama mencair, digantikan dengan pandangan, bahwa seni rupa adalah segala wujud karya manusia yang bernilai. Lingkup seni rupa meluas menjadi sebuah „budaya rupa‟ tersendiri tanpa meninggalkan status dan perannya sebagai cabang seni. Keberagaman karya seni rupa sebagai „budaya rupa‟ bisa terlihat di sepanjang jalan, seperti beraneka jenis kendaraan: sepeda, becak, sepeda motor, kereta kuda, dan mobil; rumah-rumah, commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gedung-gedung, pertokoan, papan iklan, model pakaian, dan lain sebagainya. Ketika seseorang memasuki rumah, kemudian duduk di atas sofa yang indah, di sampingnya terdapat lampu hias dan sejumlah keramik bermotif bunga. Kemudian membukabuka majalah bergambar sambil menonton televisi, sekilas matanya menatap sebuah lukisan yang dipajang di ruang tamu. Semua benda-benda yang tampak mata itu adalah produk seni rupa sebagai hasil karya budaya rupa. Namun demikian, akrabnya seseorang dengan benda-benda seni rupa itu, akhirnya tidak pernah menyadari, bahwa benda-benda yang dilihat dan gunakannya itu adalah hasil karya seni rupa, apalagi mengenal siapakah seniman atau perancang dan bagaimana benda-benda itu dibuat. Berdasarkan keberagaman benda-benda hasil karya seni rupa tersebut di atas, maka Bahari (2008: 81-87) menggolongkan karya seni rupa berdasarkan fungsi atau kegunaannya, dimensi, media yang digunakan, gaya penciptaan, dan aspek kesejarahannnya. Dari sudut pandang fungsi atau kegunaannya, karya seni rupa terbagi dalam beberapa kategori, yaitu seni rupa murni (fine art), seni terapan/ desain (applied art/ design) dan kriya (craft) yang diuraikan sebagai berikut.
2.2.3.1 Seni Rupa Murni (Fine Art) Seni murni (pure art; fine art) adalah ranting seni rupa yang terlepas dari unsur-unsur praktis. Seni rupa murni lebih mengkhususkan diri pada penciptan karya seni rupa yang berdasarkan kreativitas dan ekspresi yang sangat pribadi. Namun, dalam hal tertentu karya seni rupa murni itu dapat diperjualbelikan atau memilki fungsi sebagai benda pajang dalam suatu ruangan (Sachari, 2004: 10). commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selanjutnya Bahari (2008: 81) kembali menegaskan, bahwa seni rupa murni adalah seni yang diciptakan khusus untuk mengkomunikasikan nilai-nilai estetis dari karya seni rupa itu sendiri. Seni rupa murni disebut juga seni ekspresif atau seni estetis, karena mengabaikan fungsi ekonomi dan kegunan praktis. Sebagai media ekspresi murni, seni rupa murni dapat menumbuhkan rasa senang, rasa haru, dan empati yang ditimbulkan, karena adanya keterpaduan dari unsur-unsur bentuk yang menunjang wujud utuh dari karya tersebut. Unsur-unsur yang dimaksud adalah seperti komposisi warnanya, unsur garis yang digunakan, berbagai bentuk bidang, kemiripan bentuk dengan acuannya atau justru menghadirkan bentuk baru yang tidak ada di alam, aspek tematik yang diungkapkan, keunikan, tekstur, dan lain-lain. Secara garis besar, seni rupa murni dibagi menjadi seni lukis, seni patung dan seni grafis.
2.2.3.2 Seni Terapan/ Desain (Applide Art/ Design) Istilah seni terapan atau seni pakai dapat dipadankan dengan desain. Kedua istilah tersebut berasal dari kata dalam bahasa Inggris, Applide Art dan Design, yang artinya „seni guna‟ dan „rencana‟. Jadi seni terapan atau desain adalah karya seni rupa yang dibuat dengan perencanaan untuk suatu kegunaan tertentu. Sebagai contoh sebuah kursi. Kursi dibuat dari awal sudah direncanakan untuk kursi tamu atau kursi makan. Misalnya untuk kursi tamu tentunya kemiringan sandarannya tidak akan sama dengan kursi makan. Kemiringan sandaran disesuaikan dengan sikap duduk orang yang sedang bertamu atau sedang makan. Agar kursi itu dapat dikatakan commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai karya seni dan enak dipandang mata, maka perlu sentuhan keindahan seperti model, ukiran, warna, dan sebagainya. Kata desain diberi makna dalam bahasa Inggris pada abad ke-17, semakna dengan kata craft. Atas jasa Morris dan Ruskin, tokoh antiidustri di Inggris pada abad ke-19, kata desain mempunyai makna sebagai art and craft, yaitu paduan antara seni dan ketrampilan (Bahari, 2008: 84). Namun, sejak awal abad ke-20 sejalan dengan dengan berkembangnya idustrialisasi, istilah desain mengalami perluasan makna, yaitu sebagai kegiatan manusia yang berupaya untuk memecahkan masalah kebutuhan fisik (Sachari, 2004: 13). Di jaman modern, segala benda dan bangunan yang dibutuhkan manusia, umumnya merupakan karya desain, baik dengan pendekatan estetis maupun pendekatan fungsional. Berbeda dengan seni rupa murni, desain merupakan suatu aktivitas seni rupa yang bertitik tolak dari unsur-unsur objektif. Unsur-unsur objektif suatu karya desain adalah adanya unsur guna, ekonomi, produksi, promosi, dan kebutuhan masyarakat. Karya desain dapat merupakan bagian dari ilmu kesenirupaan, karena wujud akhir suatu desain harus tetap indah, berguna, dan dapat diterima oleh masyarakat. Desain juga dapat dipahami sebagai kegiatan seni rupa yang lebih praktis, terutama untuk membuat peralatan kebutuhan sehari-hari, seperti membuat pakaian, menata rumah, membuat rak buku, merancang iklan, ataupun membuat pernik-pernik hiasan. Dengan banyaknya produk karya desain yang digunakan untuk berbagai kebutuhan manusia, maka di lingkup kesenirupaan desain dapat dibagi menjadi beberapa cabang, antara lain: desain interior (tata ruang dalam), desain arsitektur (bangunan), commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
desain grafis atau desain komunikasi visual (diskomvis), desain produk idustri, dan desain tekstil.
2.2.3.3 Kriya (Craft) Secara etimologis kata “kriya” berasal dari bahasa Sansekerta kra, kemudian dilafalkan menjadi kriya, yang berarti ketekunan, kerajinan, kepiawaian atau keahlian. Dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Poerwodarminto (2001: 601), kata kriya artinya karya; pekerjaan tangan. Sementara dalam bahasa Inggris kata kriya disamakan dengan craft yang artinya keahlian atau keprigelan (Echols dan Shadily, 2007: 153). Dengan demikian, istilah “kriya” merupakan kata khas Indonesia yang berarti hasil karya pekerjaan tangan yang membutuhkan keahlian atau ketekunan dalam proses pembuatannya. Kriya adalah cabang seni rupa berwujud dua atau tiga dimensi, baik yang memiliki guna praktis maupun guna hias, yang dapat dibuat dengan aneka bahan (Sachari, 2004: 12). Namun, sulit untuk mengetahui letak cabang yang mana dalam pohon ilmu seni rupa saat ini. Bahari (2008: 86) mengatakan, bahwa seni kriya terletak pada „daerah abu-abu‟ antara seni murni dan seni terapan. Kriya tak hanya mengolah bahan-bahan yang kerap dipakai dalam seni patung dan seni keramik, tetapi juga banyak menggunakan bahan-bahan lainnya, Misalnya, tekstil, benang, pewter, kulit, bambu, perak, emas, pandan, mendong, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, seni kriya dapat pula memiliki fungsi praktis, seperti halnya kursi berukir rumit, pintu berukir, perhiasan emas dengan berbagai ragam hias, atau kain batik tulis dengan motif hiasan tertentu. Pembagian jenis seni kriya commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
biasanya berdasarkan bahan dan teknik pembuatannya. Misalnya, kriya kayu dengan teknik pahat atau ukir, kriya logam dengan teknik wudulan dan tuang atau cor, kriya bambu menggunakan teknik ukir dan anyam, kriya rotan dengan teknik ikat atau anyam, kriya tekstil dengan teknik tenun, batik dan sablon, kriya kulit menggunakan teknik pahat atau anyam, dan lain-lain (Bahari, 2008: 87). Besar kecil manfaatnya seni kriya sangat tergantung pada cara dan bagaimana kita menerapkan „benda pakai‟, baik yang dituangkan sebagai pemercantik ruangruang tertentu maupun untuk memenuhi kebutuhan hidup (Toekio M, 2000: 11). Cara membuat ukiran tidak dapat terlepas dari enam langkah desain, seperti yang disampaikan oleh Syafei dan Tjetjep Rohedi, 1987 (dalam Rais dan Suherman, 2000: 63), antara lain (1) merumuskan perkiraan masalah. Kegiatan awal ini menggagas benda apa yang akan dibuat dan berfungsi untuk apa. (2) Mengenal, menghimpun dan mengelompokkan masalah awal, (3) Proses kreatif; merupakan penemuan kriyawan kemungkinan-kemungkinan penciptaan, termasuk produk baru atau memodifikasi bentuk yang sudah ada, (4) Pemilihan kemungkinan yang tepat; berupa gambar-gambar desain sebelum sebelum diterapkan pada bahan yang diukir, (5) Pradesain; merupakan langkah pemilihan pemberian gambar tertentu untuk bagianbagian suatu alat atau perabot jadi, agar mendapatkan keutuhan suatu bentuk desain, dan (6) Desain terpilih; merupakan perwujudan bentuk awal dari gambar desain setelah melaui proses pembuatan. Dengan demikian, kriya memerlukan penanganan tersendiri daripada cabang seni rupa yang lain, yakni harus tetap mempertimbangkan ketekunan kerja dan pemanfaatannya. Berkaitan dengan cara pendesainan sebuah karya kriya, misalnya karya ukir memerlukan langkah-langkah kerja yang harus commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diikuti agar menghasilkan karya ukir yang bernilai guna dan tetap indah dipandang mata.
2.3 Keberagaman Seni Lukis dan Hubungannya dalam Sosial-Budaya 2.3.1 Wujud Keberagaman Seni Lukis Munculnya keberagaman seni lukis dapat dilihat dari berbagai sudut pandang terhadap seni lukis sebagai objek kajian budaya. Misalnya, ada suatu ruangan yang dihiasi dengan pajangan beberapa karya seni lukis dengan beraneka ragam jenis objek dalam lukisan itu; ada yang berobjek bunga, potret diri, wanita cantik, pemandangan keindahan alam, hiruk-pikuk suasana kota atau pasar, sampai objek lukisan abstrak yang tidak karuan, dan lain sebagainya. Dari sejumlah lukisan itu terlihat dikerjakan oleh pelukisnnya dengan media, teknik dan gayanya masing-masing. Ada lukisan yang dibuat dengan media cat minyak di atas kanvas, ada yang menggunakan cat air di atas kertas, dan ada pula yang dikerjakan dengan media campuran cat air dan pastel. Ketika dilihat dan diraba permukaannya, lukisan-lukisan itu ada yang digoreskan dengan halus dan ada pula yang kasar. Namun, dengan adanya perbedaan teknik menggoreskan kuas atau alat lukis lain itu justru memperlihatkan gaya lukisan dari masing-masing pelukisnya. Berdasarkan contoh keragaman karya seni lukis di atas, dapat tentunya tidak memiliki nilai dan makna apa-apa, apabila karya-karya seni lukis itu hanya dipandang sebagai benda seni untuk penghias sebuah ruangan. Agar karya-karya lukis tersebut memiliki nilai dan makna, maka perlu pengkajian seni tersendiri, baik secara objektif maupun subjektif; instrinsik maupun esktrinsik. Cara objektif dan commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
instrinsik biasanya digunakan menggali nilai estetis yang terdapat dalam seni lukis. Sementara subjektif dan ekstrinsik untuk menggali nilai-nilai sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya corak dan gaya dalam seni lukis melalui sejumlah informan yang teridentifikasi.
2.3.1.1 Nilai Estetis dalam Seni Lukis Dalam sudut pandang keilmuan, estetika merupakan salah satu cabang filsafat yang berhubungan dengan gejala keindahan pada alam dan seni. Kata “estetika” berasal dari bahasa Yunani aisthetika berarti hal-hal yang dapat dicerap oleh pancaindera. Oleh karena itu, estetika sering diartikan sebagai persepsi indera (sense of perception) dan ada pula yang menyebut estetika sebagai „teori cita rasa‟ (Ratna, 2007: 6). Kemudian Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filosof dari Jerman adalah orang yang pertama kali memperkenalkan kata aisthetika, sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz (1646-1716). Baumgarten memilih kata estetika, karena ia mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui atau the perfection of sentient knowledge (Dharsono, 2007:3). Pengalaman estetis dalam seni ternyata berdasarkan pengalaman inderawi, sekaligus seluruh manusia ikut terbawa oleh pengamatan itu, jiwa-raga, dengan segala indera dan kemampuan-kemampuan lainnya; bagaikan terikat dan terpikat hatinya (Sutrisno SJ, 1993: 14). Pengalamnan estetis itu bisa diumpamakan, dalam pengalaman tentang keindahan karya seni, seperti lukisan, patung, candi, musik, tari dan sastra. Dengan demikian, pengertian estetika telah mengalami proses commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyempitan makna sejak munculnya tulisan Alexander Baumgarten, yakni dari persepsi inderawi berangsur menyempit pada pengalaman keindahan dan lebih sempit lagi pada keindahan seni. Sementara berbicara mengenai nilai estetis, harus menghubungkan lagi ke ranah penilaian terhadap keindahan itu. Demikian juga, karena karya seni lukis dianggap memiliki nilai estetis, maka akan terjadi aktivitas penilaian keindahan terhadap karya seni lukis itu. Dalam hal ini, keindahan dapat dianggap searti dengan nilai estetis. Oleh karena itu, nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Persoalanpersoalan tentang nilai ditelaah oleh salah satu cabang filsafat yang disenut axiology atau kini sering disebut theory of value (teori nilai). Masalah pokok yang dubahas dan sampai sekarang masih belum ada kesatuan paham ialah mengenai ragam nilai (tyipe of value) dan kedudukan metafisis dari nilai (metaphysical of value). Mengenai berbagai ragam dari nilai estetis, ada yang membedakan antara nilai objektif dan nilai subjektif. Herbert Read dan Santo Agustinus adalah tokoh pendukung teori objektif berpendapat, bahwa keindahan adalah kesatuan bentuk (Soedarso Sp, 1975: 54). Kesatuan bentuk yang dimaksud adalah keindahan atau ciri-ciri yang mencitrakan nilai estetis bersifat kualitas keindahan yang telah melekat pada bendanya atau objeknya; terlepas dari orang yang mengamati. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkap sifat-sifat indah yang sudah ada pada objeknya dan sama sekali tidak terpengaruh untuk mengubahnya. Dalam dunia commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesenirupaan, nilai-nilai keindahan kerap dikaitkan dengan kualitas karya seni rupa atau seni lukis yang mengadung kesatuan (unity), keseimbangan (balance), dan irama (ritme) baik yang selaras (harmony) maupun kontras (contrast) sehingga menimbulkan perasaan haru, sedih, senang, nyaman, nikmat, bahagia, agung, getar, dan sebagainya. Dalam konteks ini, bahwa keindahan sebuah karya seni lukis sangat ditentukan oleh tingkat pemahaman pribadi terhadap karya seni lukis lukis tersebut. Semakin tinggi tingkat pemahaman tentang nilai-nilai karya seni, maka akan semakin tinggi pula kualitas nilai estetis karya seni lukis tersebut. Sementara teori subjektif didukung oleh Socrates yang berpendapat, bahwa keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi keinginan pribadi (Soedarso Sp, 1975: 55). Pendapat ini menunjukkan tidak ada lagi ukuran nilai estetis lagi secara jelas terhadap karya seni lukis. Nilai keindahan karya seni lukis hanya sekedar untuk kepuasan pribadi tanpa didukung oleh tingkat pemahaman tentang karya seni lukis. Oleh karena itu, teori ini sangat lemah jika dijadikan dasar pengkajian nilai estetis karya seni. Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda, tergantung relativitas pemahaman estetis yang dimiliki, maka lebih bijak jika kedua teori keindahan tersebut digabungkan menjadi sebuah teori hubungan untuk mendapatkan nilai estetis pada karya seni lukis yang berkuaitas dan sesuai keinginan pribadi. Dengan demikian, penghayat seni lukis akan merasa puas setelah menghayati karya seni lukis
atau dengan kata lain penghayat seni lukis tersebut dapat dikatakan
memperoleh kepuasan estetis. Kepuasan estetis merupakan hasil interaksi antara karya seni lukis dengan penghayatnya. Interaksi tersebut tidak akan terjadi tanpa commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adanya suatu kondisi yang mendukung dalam usaha menangkap nilai-nilai estetis yang terkandung di dalam karya seni lukis; yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional. Kondisi semacam ini seperti yang dikatakan Feldman, 1981 (dalam Dharsono, 2007: 12), bahwa apresiasi bukanlah proses bukanlah proses pasif, tetapi merupakan proses aktif dan kreatif, yaitu untuk mendapatkan pengalaman estetis yang dihasilkan dari proses hayatan.
2.3.1.2 Corak dan Gaya dalam Seni Lukis Istilah corak dan gaya dalam seni lukis sudah tidak asing lagi, namun pada kenyataannya ketika dicermati, kedua istilah itu masih menjadi perdebatan arti di kalangan masyarakat seni. Ada sebagian kalangan menyamakan arti kedua istilah itu, tetapi ada pula yang membedakannya. Dalam buku Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa oleh Mike Susanto (2002: 44-45) disebutkan, gaya adalah corak; langgam, style yang berurusan dengan bentuk luar/ fisik suatu karya seni. Misalnya, dekoratif adalah gaya, karena istilah ini dipakai untuk menamai lukisan yang sifatnya dekorasi. Sebagai contoh lainnya adalah Abstrak-Ekspresionisme. Abstrak adalah gaya lukisan, sedangkan Ekspresionisme adalah goresan-goresannya merupakan curahan jiwa adalah aliran seni lukis, karena di belakang kata terdapat akhiran “isme”. Berdasarkan kedua contoh istilah tersebut, menunjukkan istilah corak dan gaya dapat disinonimkan atau dipersamakan, bahkan kedua istilah itu dapat diubah menjadi istilah aliran atau paham dalam seni lukis, jika di belakang
kata ditambahkan
akhiran “isme”. commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di sisi lain, ada sebagian kalangan membedakan kedua istilah itu. Hal ini seperti yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Poerwodarmito (1982: 147) menyebutkan, bahwa “corak” artinya bergambar atau bermotif, bersifat atau berpaham dan “gaya” artinya gerakan, sikap, atau ragam (cara, rupa, bentuk). Melukis berarti beragam cara menghadirkan bentuk rupa sebuah lukisan. Berdasarkan pemahaman arti kedua istilah itu, dapat disimpulkan, bahwa istilah corak dan gaya berbeda, namun tetap memiliki keterkaitannya. Gaya memberikan arti predikat dan corak merupakan hasilnya. Artinya, dengan gaya seorang pelukis beraktivitas atau bercipta karya seni dan hasilnya adalah sebuah lukisan yang memiliki corak atau bisa jadi berpaham pada aliran tertentu. Banyak corak dan gaya dalam karya lukis yang telah berkembang menjadi paham atau aliran persenilukisan di Indonesia. Aliran-aliran seni lukis diawali berkembang di Barat dan selanjutnya berpengaruh ke seluruh dunia. Begitu pula di Indonesia perkembangan seni lukis dipengaruhi corak dan gaya seni lukis dari Barat. Nooryan Bahari (2008: 116-140) dalam bukunya Kritik Seni sedikitnya mencatat 19 aliran dalam corak dan gaya seni lukis yang berkembang di Barat, antara lain: gaya Barok, gaya Racoco, Naturalisme, Realisme, Romantisme, Impresionisme, PostImpresionisme, Ekspresionisme, Fauvisme, Suprematisme, Kubisme, Futurisme, Dadaisme, Surealisme, Abstrakisme, Konstruksionisme, Minimalisme, Op-Art, dan Pop-Art. Aliran-aliran inilah yang kemudian mempengaruhi perkembangan seni lukis di Indonesia dan bahkan aliran-aliran tersebut menjadi barometer seni lukis modern di Indonesia. Namun, dalam perkembangannya di Indonesia tidak bisa memunculkan commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aliran baru dalam persenilukisan di luar aliran-aliran Barat tersebut. Dengan kata lain, para pelukis di Indonesia hanya sebagai pengikut aliran-aliran dari Barat itu. Mengingat banyaknya aliran seni lukis di Barat tersebut, dalam tulisan ini tidak akan menjelaskan seluruhnya, namun hanya diberikan beberapa contoh penjelasan yang berkaitan dengan objek kajian yang sarat makna simbolis. Beberapa contoh aliran seni lukis Barat yang dimaksud antara lain: Naturalisme kelahirannya diidentifikasikan oleh perbedaan lukisan karya Courbet yang sangat sosialistis dan menyangkut masalah moral, dengan karya-karya Manet yang sangat objektif, tanpa pesan moral, karena tidak ambil pusing dengan apa yang dilukisnya. Namun dalam perkembangannya, aliran Naturalisme menjadi sebuah aliran yang hanya melukiskan bentuk-bentuk keindahan atau kecantikan, kadang kala cenderung tanpa pesan apaapa. Di Indonesia, perkembangannya mencapai puncak pada masa Mooi Indie (India Molek) yang bersifat turistik pada masa penjajahan Belanda (Susanto, 2002: 78). Istilah Naturalisme berasal dari kata nature dalam yang artinya alam. Maka, dalam lukisan Naturalisme segala sesuatu dilukiskan sesuai dengan keadaan alam. Manusia beserta fenomenanya diungkapkan sebagaimana adanya seperti tangkapan mata, sehingga karya yang dilukiskan seperti hasil foto atau tangkapan lensa kamera. Jika yang dilukiskan sebuah pohon kelapa, maka lukisan tersebut tersebut berusaha menggambarkan secara persis pohon seperti pohon kelapa yang ada di alam dengan susunan, perbandingan, perspektif, tekstur, pewarnaan dan lain-lain disamakan setepat mungkin sesuai dengan pandangan mata ketika melihat pohon kelapa tersebut apa adanya (Bahari, 2008: 119). Pelukis Indonesia yang konsisten dengan aliran Naturalisme ini ialah Wahdi. Namun, masih banyak pelukis di Indonesia pengikut commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aliran Naturalisme yang lain, misalnya Saleh, Basuki Abdullah, Djayeng Asmara, Trubus, Gambir Anom, Sugeng Darsono, dan Dullah. Realisme adalah aliran yang lahir sejalan dengan tumbuhnya sosialisme di Eropa. Sesuai dengan asal katanya, real yang artinya nyata, maka yang dimaksud Realisme adalah gaya atau corak yang melukiskan kenyataan (Dharmawan, 1988: 110). Dengan kata lain, aliran Realisme memandang dunia ini tanpa ilusi, apa adanya, tanpa menambah atau mengurangi objek. Proklamator dari aliran Realisme ialah Gustave Courbet (1819-18770) pada tahun 1855 di Perancis, dengan slogannya “Tunjukkan malaikat padaku dan aku akan melukisnya” (Susanto, 2002: 95). Perbedaan menyolok antara aliran Naturalisme dengan Realisme adalah kalau Naturalisme melukiskan objek keindahan atau kecantikan, maka Realisme melukiskan objek berupa orang-orang biasa, rakyat jelata yang miskin, kenyataan, penderitaan dan kepahitan hidup akibat kebijakan penguasa negara yang tidak adil, hiruk-pikuk kota atau pelabuhan, dan sebagainya. Penganut aliran Realisme selain Courbet adalah George Hendrik Breitner (1857-1923), di Belgia aliran ini diwakili oleh Henry de Braekeleer (1840-1880) dan Jan Stobbaerts (1838-1914). Kemudian diikuti oleh pelukis-pelukis di Indonesia, seperti S. Soedjojono, Affandi, Hendra, Trubus, dan lain-lain pada jaman kemerdekaan. Romantisme, merupakan contoh aliran seni lukis yang berikutnya. Istilah Romantisme berasal dari perkataan dalam bahasa Perancis, roman yang artinya cerita. Sejak semula aliran ini selalu melukiskan cerita-cerita yang romantis tentang perbuatan-perbuatan besar, tragis dan dahsyat, kejadian-kejadian yang dramatis yang diceritakan dalam buku, yang berkembang pada awal abad ke-19. (Susanto, 2002: commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98). Romantisme adalah gaya atau aliran seni yang menitikberatkan pada curahan perasaan, reaksi emosional terhadap fenomena alam dan penolakan terhadap Realisme. Dalam seni lukis gerakan ini menghasilkan kebebasan baru dalam menata komposisi, melahirkan citra goresan kuas terbuka, pembaharuan dan tingkatan warna yang lembut hampir tidak kentara (Bahari, 2008: 120). Tokoh Romantisme pertama kali adalah Theodore Gericault (1791-1824) dengan karyanya berjudul “Rakit Medussa” (1818). Ia adalah murid Jaques Louis David tokoh aliran Neoklasik. Seniman lainnya ialah Eugene Delacroix, Antoine Jean Gross dan Rousseau. Aliran selanjutnya adalah Impresionisme. Dalam bahasa Indonesia arti impression adalah kesan (Bahari, 2008: 120). Impresionisme merupakan sebuah aliran atau paham yang melukiskan kesan atau pengaruh pada perasaan. Secara khusus kesan yang dilukiskan adalah kesan cahaya yang jatuh atau memantul pada suatu objek atau benda kasat mata, terutama cahaya matahari karena memiliki kekayaan warna yang tidak terbatas (Susanto, 2002: 54). Pelopor aliran ini adalah Manet yang ditandai dengan munculnya nama Impressionisme pada tahun 1874. Tokoh-tokoh Impresionisme lainnya antara lain: Claude Monet, Augusto Renoir, Frederick Brazille, Edgar Degas, Mary Cassatt, Henry Toulouse Lautrec dan kemudian didukung pula oleh kelompok pelukis berasal dari studio Suisse seperti Camille Pissaro, Armand Guillaumin dan Paul Cezanne. Contoh berikutnya adalah Ekspresionisme. Aliran ini merupakan aliran yang bertujuan untuk mengungkapkan emosi seseorang dalam bidang lukis. Para seniman Ekspresionisme menerima segala kejadian dan pengalaman dari luar tidak hanya dengan panca indera saja, tetapi juga dengan jiwa. Jiwa mereka mencerna dan commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengolah pengalaman-pengalaman itu kemudian diekspresikan kembali dalam bentuk lukisan. Misalnya anggapan „meja itu adalah meja‟ itu tidak berlaku bagi para penganut Ekspresionisme. Mereka menganggap dibalik meja itu terdapat suatu problema lain dan problema itulah yang kemudian diekspresikan dalam bidang lukis. (Dharmawan, 1988: 112). Dengan kata lain aliran ekspresionisme berusaha untuk melukiskan aktualitas yang sudah didistorsi kearah suara kesedihan, kekerasan atau tekanan batin yang berat. Karya lukis Ekspresionisme umumnya bertendensi individualisasi dan fragmentasi; pada pribadi-pribadi tidak ditumbuhkan nilai sosialnya melainkan justru dikembangkan kesadaran akan isolasi dan keterpisahannya (Susanto, 2002: 36). Tokoh-tokoh Ekspresionisme yang muncul pada abad ke-19 di Jerman dipelopori oleh kelompok Die Brucke dan kelompok Der Blauwe Reiter (penunggang kuda biru). Ekspresionisme di Perancis sering disebut Fauvisme yang berarti binatang jalang dengan pelopornya Henry Mattise. Tokoh-tokoh lainnya yang paling menonjol adalah Vincent van Gogh, Gauguin, Edwared Munch (Nurwegia), Kandensky dan Jaulensky dari Rusia. Di Indonesia tokoh pengikut Ekspresionisme yang terkenal ialah Affandi dan S. Soedjojono. Aliran
kubisme
Arsitektonisme-Cessane.
merupakan Bilsa
perkembangan Sesame
yang
radikal
menyederhanakan
dari
gaya
bentuk
dan
mengalihkannya kepada garis-garis tegas untuk memberikan dasar kepada lukisannya, maka para seniman kubisme melukis lepas dari sifat pandangan optis, pengaruh pandangan menghasilkan bentuk-bentuk yang lain daripada apa yang terlihat. Kata kubisme sendiri sebenrnya berasal dari ucapan pelukis Henry Mattise commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketika mencela lukisan karya George Braque sebagai Top de Cubisme atau “terlalu berbentuk kubus”. Kubisme yang berdasarkan pada teori Cessane, dalam perkembangannya dikenal pula dua tingkatan kubisme, yaitu: (1) Kubisme Analitik, ialah kubisme tahap pertama. Benda-benda yang akan dilukis dengan gaya ini diuraikan sampai menjadi kubus-kubus dan kemudian menyerupai susunan balok-balok dalam bentuk semacam patung yang berkesan tiga dimensi. (2) Kubisme Sintetik, adalah kubisme tahap kedua. Setelah objek tersebut diuraikan ke dalam bentuk-bentuk paling dasar, kemudian dijelmakan kembali pada suatu struktur. Struktur ini mungkin mirip dengan objek semula, atau mungkin juga tidak. Sesudah itu objek tersebut dilukis secara realistis dalam susunan komposisi tertentu, kesan lukisan ini akhirnya berbentuk dua dimensional (Dharmawan, 1988: 116). Tokoh-tokohnya ialah George Braque (Perancis), Pablo Picasso (Spanyol), Leo Getle dan Otto van Rees serta Jan Sluyter (Belanda), Juan Gress dan Fernand Leger. Keunikan aliran Surealisme, adalah aliran ini lahir pada tahun 1924 yang berusaha menyatukan dunia nyata dengan dunia tidak nyata yang didasari oleh ajaran psikoanalistis dari Freud (seorang ahli ilmu jiwa) dalam teknik pengungkapan objeknya (Dharmawan. 1988: 123). Dalam kreativitas seninya, kaum surealis berusaha membebaskan diri dari kontrol kesadaran, menghendaki kebebasan besar, sebebas orang bermimpi (Bahari, 2008: 126). Surealisme juga dapat dikatakan sebagai Dadaisme yang radikal. Jika Dadaisme memandang semua peradaban manusia sebagai lelucon, maka Surealisme sangat memandang rendah peradaban commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manusia dan menyatakan, bahwa manusia barulah benar-benar sempurna apabila sudah dapat melepaskan diri peradaban dan moral. Menurut bentuk dan coraknya, dikenal dua macam ungkapan Surealisme yaitu (1) Surealisme Fotografis; objek-objeknya dituangkan dalam gaya ini masih dapat dikenali walaupun sudah tidak dalam bentuk yang wajar dan alamiah, karena itu pelukisnya harus memiliki keterampilan melukis realistis yang tinggi. Tokohtokohnya antara lain: Salvador Dali (Spanyol), Max Ernst (Jemran), Odilon Redon (Perancis), March Chagall (Rusia). Pablo Picasso juga pernah melukis dengan gaya ini. (2) Surealisme Amorphic; lukisan paham ini hampir mendekati hasil lukisan bergaya abstrak, karena tidak memanfaatkan ingatan sebagai sumber atau tempat objek. Pada karya Andre Masson (Perancis) dapat dilihat bahwa lukisan itu tampak seperti tulisan-tulisan yang keluar secara otomatis tanpa dipengaruhi oleh pikirannya. Pelukis dengan gaya ini ialah Joan Miro yang terkenal dengan objek siluet binatang berbentuk abstrak tanpa arti, komposisinya bebas, dengan kombinasi warna-warna gelap dan kuat atau cut line yang manis dan artistik. Abstrakisme merupakan contoh aliran yang terakhir. Abtrakisme ini mulai berkembang sekitar tahun 1919. Seniman dalam aliran ini berusaha menggali suatau kenyataan yang ada dalam batin para seniman. Mungkin dapat disebut dengan istilah fantasi, imagi kreatif , intuisi atau istilah lainnya. Disebabkan hadir dari dunia batin atau dunia dalam, maka akan muncul bentuk yang tidak ada identifikasinya dalam dunia optis yang orang lain bisa mengontrolnya. (Bahari, 2008: 127). Terdapat dua pengertian dalam Abstrakisme, yaitu (1) Abstrak menurut ajaran Kubisme, ialah mengabstraksi atau mengambil suatu unsur atau bagian dan suatu commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
objek sebagai suatu satu kesatuan untuk mengkomposisi atau memperkaya tema. (2) Abstrak non-objektivisme atau abstrak yang tidak menghubungkan objek nyata. Pengertian ini terbagi pula kedalam dua paham, yakni: (a) Abstrak Ekpresionisme. Menurut paham ini, seni lukis haruslah secara murni ungkapan perasaan yang mempergunakan kesatuan garis, warna-warna, bidang dan unsur seni rupa lainnya. Mereka membuang sama sekali, bentuk-bentuk dari alam. Aliran ini dipelopori oleh Washilly Kadinsky, orang Rusia yang menetap di Muinchen tahun 1911 dan (b) Abtraksionisme Geometric. Para penganut aliran ini menampilkan keahlian lukis dengan warna, garis, bentuk dan bidang yang dibuat dalam bentuk geometris. Mereka juga melepaskan diri dari bentuk-bentuk alamiah dan menolak pemakaian perspektif serta bentuk-bentuk tiga dimensi. Kesan gerak tidak terdapat dalam lukisan ini karena gerak dianggap sesuatau yang mengganggu. Berdsarakna aturan diatas maka gambar-gambar yang dihasilkan oleh seniman-seniman penganut aliran ini berupa gmbar-gambar abstrak dan datar saja yang didominasi oleh garis-garis melitang dan tegak. Pelopor aliran ini ialah Piet Mondrian (1872-1945) dan Van der Reec, Theo van Doiusburg, dan Mallevich.
2.3.2 Peranan Seni Lukis dalam Kehidupan Masyarakat Seni lukis termasuk salah satu ranting dari seni rupa murni. Peranan seni lukis dalam kehidupan masyarakat secara umum tidak begitu kelihatan. Namun apabila dicermati, sebenarnya seni lukis sangat berperan untuk memberikan perenungan, pembelajaran, kritik sosial, motivasi, dan etos kerja pada masyarakat, karena seni lukis merupakan simbol refleksi dari keseluruhan perilaku kehidupan di masyarakat. commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagaimana dikemukakan Soedarso Sp. (1975: 43), “seni lukis adalah suatu pengekspresian pengalaman artistik manusia yang dituangkan dalam bidang dua dimensional dengan menggunakan unsur-unsur seperti garis, warna, bidang, tekstur, dan sebagainya”. Pengalaman artistik yang dimaksud pengertian di atas adalah pengalaman seni yang ide dan gagasan seniman itu diperoleh dari pencerapan pengalaman dalam praktik-praktik kehidupan masyarakat yang kemudian diwujudkan dalam bentuk simbol berupa karya seni lukis. Agar ide atau gagasan dalam jiwa dapat disampaikan lewat lukisan secara efektif, maka gagasan tersebut hendaklah dilandasi tujuan yang jelas. Oleh karena itu, ketika hendak melukis, langkah yang paling baik adalah menetapkan apa sebenarnya tujuan yang hendak dicapai. Setelah tujuan itu dapat ditemukan, langkah selanjutnya adalah menggali manfaat darinya. Melukis pada dasarnya adalah proses untuk mengekspresikan sesuatu yang terpendam di dalam jiwa lewat media tertentu. Sebagaimana dikatakan pelukis ekspresionisme, Soedjojono ( dalam Alamhudi, 2000: 32), bahwa sebuah lukisan merupakan „jiwa yang tampak‟ dari pribadi kreatornya. Lewat media apa pun, suatu karya seni lukis senantiasa mengambarkan apa yang terdeteksi, tergagas atau bergolak dalam dada seorang kreator yang dipengaruhi oleh kehidupannya dalam masyarakat. Secara umum, seni lukis dikenal melalui sapuan kuas dengan cat berbasis minyak yang disapukan pada permukaan kain kanvas. Sedangkan medium lainnya adalah cat berbasis air yang dibuat pada permukaan kertas. Dalam perkembangan selanjutnya, medium karya seni lukis tidak lagi terbatas pada cat minyak dan cat air commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
saja, tetapi dengan berbagai bahan pewarna dan elemen-elemen lainnya sesuai dengan ide atau gagasan penciptanya, sehingga batasan seni lukis yang bersifat dua dimensional menjadi kabur, karena pemanfaatan teknik kolase dan campuran (mix media) yang menghadirkan bentuk tiga dimensional secara nyata, tanpa ilusi ruang (Bahari, 2008: 82). Dengan demikian, seni lukis telah bersentuhan dengan wilayah multidimensi ruang, sehingga seni lukis dapat berkolaborasi dengan cabang-cabang seni yang lain, misalnya seni tari, seni musik, fotografi, film, tata cahaya, dan lainlain. Persentuhan seni lukis dengan berbagai cabang seni yang lain itu dapat terwujud dengan memanfaatkan teknologi, seperti karya seni lukis instalasi art, performance art, dan sebagainya, yang bersifat temporer. Berdasarkan paparan di atas, bahwa seni lukis dapat diposisikan sebagai hasil karya budaya sekaligus sebagai sub unsur kebudayaan tidak sekedar dipandang sebagai fungsi individu; bagi pelukisnya sendiri, tetapi seni lukis memiliki keterbukaan fungsi bagi orang lain. Artinya, seni lukis secara internal merupakan jejaring seni yang mengahasilkan karya seni lukis multidimensi dan secara eksternal, seni lukis dapat berfungsi sebagai cermin perilaku kehidupan bagi masyarakat.
2.3.2.1 Seni Lukis Sebagai Media Ekspresi Kata “ekspresi” berasal dari bahasa Inggris to expression yang arti harfiahnya ialah pencerminan, pengungkapan, atau pernyataan emosi dan perasaan melalui ucapan, tindakan dan kegiatan lainnya (Shadily, 2007: 226). Dalam hubungannya dengan masalah seni lukis, maka pengungkapan perasaan itu tentulah melalui media atau karya-karya seni lukis. Jadi, “melukis” dapat diartikan sebagai pengungkapan commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
emosi dan perasaan yang timbul akibat dari pengalaman-pengalaman dari luar bidang lukis. Emosi dan perasaan pada seseorang tentu tidak timbul begitu saja, seseorang merasa sedih, gembira, atau marah pasti ada sebabnya, yakni adanya rangsangann dari luar dirinya yang menyebabkan munculnya emosi dan perasaan. Rangsangan itu biasanya berupa pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik yang langsung menimpa dirinya atau tidak. Pengalaman-pengalaman yang dimaksud di atas tidak hanya ditanggapi dengan pancaindera saja, tetapi juga dengan jiwa sehingga menimbulkan getaran pada batin dan menyebabkan timbulnya emosi dan perasaan. Dalam proses penanggapan ini, terlibat aspek-aspek rohani lainnya, seperti karakter, cara berfikir, keluhuran akal budi, dan sebagainya yang kemudian akan terungkap di atas bidang lukis. Hal ini pula yang kemudian akan menjadi ciri khas dari karya-karya seseorang. Emosi dan perasaan kadang-kadang datangnya hanya seketika kemudian hilang tanpa meninggalkan bekas apapun. Untuk dapat merekam emosi dan perasaan dalam waktu sangat singkat itu diperlukan penguasaan teknik yang mantap, dalam waktuyang sesaat itu kadang-kadang tak sempat lagi untuk berfikir dan merencanakan bentuk ataupun rupa. Garis-garis akan tergores secara spontan, bidang dan ruang akan tertuang seiring getaran jiwa. Warna-warna muncul begitu saja mengisi bidangbidang dan ruang. Dalam hal ini tidak mutlak lagi, bahwa langit harus berwarna biru, rambut harus berwarna hitam atau dedaunan berwarna hijau. Warna-warna yang tampil adalah mutlak ungkapan emosi dan perasaan yang menggelora (Dharmawan, 1988: 129). Dengan demikian, otoritas pelukis untuk mengolah dan mengekspresikan objek lukisannya sangat bebas sesuai kehendak hatinya. Namun, paham commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ekspresionisme pada lukisan ini menolak paham „art pour art‟ (seni untuk seni). Hal ini bisa dilihat pada lukisan karya pelukis asal Belanda Van Gogh dan karya Affandi. Karya lukis kedua tokoh ini, walaupun dia bebas mengekpresikan bentuk, warna, dan teknik melukis secara bebas, tetapi tetap menampilkan objek lukisannya yang bisa dipahami oleh pengamatnya. Sebagaimana dikatakan pelukis Affandi sendiri (dalam Iskandar, 2000: 66) sebagai berikut. “Beberapa kritikus di Barat menyebut lukisan-lukisan saya sebagai suatu jalan baru dalam ekspresionisme. Tapi bagi saya, aliran saya adalah humanisme. Artinya, saya melukis berdasarkan perikemanusiaan. Itu semboyan hidup saya. Jika saya tidak menjadi pelukis, tetapi jadi dokter atau tukang becak umpamanya, kemanusiaan itu tetap menjadi tujuan saya. Artinya, saya akan bertindak atas dasar perikemanusiaan. Karena itu, saya tidak bisa bersemboyan „seni untuk seni‟. Bagi saya, seni adalah untuk perikemanusiaan”.
Berdasarkan paparan di atas, maka terlepas dari bentuk, warna objek dan teknik penciptaannya, seni lukis merupakan alat mengekspresikan emosi perasaan yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang terakumulasikan ke dalam ide dan gagasan seniman untuk disampaikan kepada pengamatnya.
2.3.2.2 Seni lukis Sebagai Media Komunikasi Kata “komunikasi” merupakan kata serapan dari bahasa Inggris communication yang berarti hubungan atau alat hubungan (Shadily, 2007: 131). Dalam konteks seni lukis sebagai media komunikasi, maka seni lukis sebagai alat hubungan untuk menyampaikan pesan antara pelukis kepada orang lain.
commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Liliweri (2003: 3-5), banyak definisi tentang komunikasi, namun dalam konteks seni lukis sebagai alat komunikasi, maka dapat dipetik tiga pengertian komunikasi sebagai berikut. 1) “Komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya secara lisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah pesan” (Hybels dan Weafer, II, 1992: 6). 2) “Komunikasi adalah transmisi informasi dari seorang individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lain. Komunikasi merupakan dasar semua bentuk interaksi sosial. Dalam konteks tatap muka, komunikasi tidak saja diperlihatkan melalui penggunaan bahasa semata-mata, tetapi menggunakan juga tanda-tanda tubuh yang membutuhkan interpretasi tentang apa yang dikatakan dan dibuat oleh orang lain. Dengan berkembangnya media tulisan, seni dan elektronik, seperti radio, televisi, atau computer, komunikasi mengubah relasi tatap muka dengan cepat” (Carey, 1989). 3) “Komunikasi harus dipahami sebagai interaksi antar pribadi yang menggunakan sistem simbol linguistik, misalnya meliputi verbal, paraverbal; berupa kata-kata) dan non verbal; berupa gambar atau lukisan” (Karlfried Knapp, 1998). Berdasarkan ketiga pengertian di atas, maka komunikasi antara seseorang kepada orang lain itu membutuhkan alat penghubung berupa bahasa penyampaian. Bahasa penyampaian dapat berbentuk bahasa lisan, tulisan dan rupa (visual). Dengan commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
demikian, seni lukis termasuk bahasa rupa dapat menjadi alat bantu untuk menyampaikan pesan dari seorang pelukis kepada orang lain, agar mereka mendapat respon atas karya-karya lukisan yang dihadirkan. Apapun bentuk corak dan gaya dalam seni lukis yang dihadirkan tersebut, sebagai bagian dari kesenian tidak dapat terlepas dari masyarakat pendukungnya. Sebagaimana Umar Kayam (1981: 38) menyatakan: “Kesenian tidak pernah lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan dengan demikian juga kesenian mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi”. Oleh karena itu, interaksi antara seniman dengan pemirsanya sangat dibutuhkan demi peningkatan karya lanjutannya. Interaksi ini dapat berbentuk kritik atau apresiasi. Sebagaimana dikatakan Sedyawati (2000: 129), “Bagi seniman, kritik adalah suatu imbalan atas jerih payahnya. Alangkah sia-sianya suatu usaha terasa, jika tiada satu patah kata pun diucapkan pujian maupun celaan, dapat diharapkan untuk merangsang percobaan-percobaan selanjutnya”.
2.3.2.3 Seni Lukis Sebagai Pengirim Tanda Berkaitan dengan komunikasi, seperti telah disinggung sebelumya, dapat dipahami, bahwa seorang pelukis sebagai makhluk sosial pada hakikatnya adalah manusia ingin berkomunikasi dengan sesamanya. Untuk menyampaikan suatu maksud agar bisa diterima orang lain, maka secara konsensus dapat dilakukan melalui simbol-simbol tertentu dalam berkomunikasi melalui karya-karya lukis yang diciptakannya. Dengan melihat tanda-tanda yang terdapat pada bingkai karya commit to user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seninya, maka dapat diketahui makna simbolis yang terkandung di balik keindahan dan keunikan karya seni itu, setidaknya berupa nilai pesan yang ingin disampaikan. Karya seni lukis Indonesia yang bernilai simbolis pertama kali ditemukan pada jaman batu tengah (messolithikum) berupa lukisan “Babi Hutan yang Kena Panah” dan lukisan “Cap-cap Tangan” di dinding gua Leang-leang di Sulawesi Selatan (Soekmono, 1973: 48). Lukisan dinding gua dari Sulawesi Selatan itu rupanya bukan satu-satunya dari jaman mesolithikum yang terdapat di Indonesia, misalnya lukisan yang menggambarkan lambang-lambang nenek moyang pada dinding-dinding gua di Irian Jaya (Yudoseputro, 2008: 34). Di samping itu, lukisan yang berupa pahatan serta hiasan pada bagian-bagian rumah adat dan barang kerajinan seperti pada tembikar mulai didibuat pada jaman batu muda atau neolithikum dan jaman batu besar atau megalithikum (Dharmawan, 1988: 146). Setelah terjadi kontak budaya dan agama Hindu dan Budha dari India melalui jalur perdagangan, maka seni lukis berkembang dengan pengaruh kedua agama tersebut dalam bentuk seni feodal yang dikuasai oleh raja atau kaum bangsawan, misalnya lukisan-lukisan (relief) yang dipahatkan pada dinding candi, ornamen-ornamen yang dilukiskan pada bangunan istana raja atau bangsawan, dan sebagainya. Demikian
juga,
dengan
hadirnya
agama
Islam di
Indonesia
telah
memperkenalkan suatu pandangan religius monotheisme yang berdampak munculnya seni lukis bernafaskan Islam, yang menjadi kekuatan pembebasan spiritual terhadap bentuk ketahayulan dan kemusyrikan (Rizali, 2000: 2), misalnya ragam hias motif Islam yang dilukiskan pada kain batik, lukisan kaligrafi Arab yang dipahatkan pada bangunan masjid dan sebagainya. Akhirnya, ketika seni lukis bersentuhan dengan commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
budaya Barat melalui penjajahan bangsa Belanda, maka munculah corak dan gaya seni lukis modern. Corak dan gaya seni lukis modern inilah yang menjadi pijakan perkembangan persenilukisan di Indonesia sampai sekarang. Dengan demikian, sejak jaman prasejarah hingga sekarang dapat diketahui, bahwa tanda-tanda yang terdapat pada setiap karya seni lukis yang diciptakan seniman sebenarnya merupakan bentuk simbolis untuk berkomunikasi kepada pengamatnya. Berkomunikasi yang dimaksud artinya memperhatikan keadaan ekstra-semiotis. Fakta, bahwa keadaan itu dapat diterjemahkan ke dalam term-term semiotis, tidak menyingkirkan kesinambungan kehadirannya dalam berbagai latar belakang fenomena yang meliputi produksi tanda. Dengan kata lain, signifikasi dilawankan dengan kerangka jejaring umum kondisi-kondisi material, ekonomis, biologis, dan fisik yang sementara komunikasi terjadi di dalam kondisi-kondisi itu (Eco, 2009: 236-237). Artinya, bahwa fakta-fakta yang terjadi di masyarakat akan memberikan kontribusi terbentuknya suatu tanda. Dalam hal ini, seorang pelukis akan mengaktualisasikan fenomena budaya yang dilihat dan amatinya melalui goresan ekspresi di atas kanvas. Berdasarkan
pengamatan
terhadap
fenomena
budaya
tersebut
dapat
memunculkan permasalahan, mengapa hasil karya seni lukis dapat menjadi tandatanda simbolis kehidupan masyarakat dan diperlukan teori tafsir sebagai upaya cara memaknai tanda-tanda simbolis tersebut. Oleh karena itu, secara khusus dalam kajian budaya, untuk menganalisis sebuah karya seni lukis dibutuhkan teori tentang tanda yang disebut semiotika. Semiotika adalah suatu model dari ilmu pengetahuan sosial commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk memahami dunia sebagai sitem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut „tanda‟ (Hamdani, 2008: 87).
2.3.3 Keberadaan Seni Lukis dalam Kajian Ilmiah Penelitian tentang diferensiasi karya seni lukis yang didasarkan atas dua dimensi keperbedaan dalam keberagaman, yaitu (1) keperbedaan corak dan gaya seni lukis dan (2) keperbedaan latar belakang sosial-budaya dalam penciptannya antara pelukis yang satu dengan pelukis yang lainnya. Oleh karena itu kedua dimensi ini dapat dijadikan tumpuan kajian pustaka dan secara lebih khusus perhatian penelusuran diarahkan pada konsep diferensiasi dan karya seni lukis. Selain itu, juga perhatian penelusuran pada kajian pustaka ini disesuaikan dengan permasalahan yang hendak diungkap dalam penelitian ini, antara lain sebab dan
proses terjadinya
diferensiasi karya seni lukis terhadap relitas kehidupan para pelukisnya. Dengan demikian, dalam penulisan mengenai kajian budaya para peneliti dituntut melakukan studi ilmiah penelusuran berbagai sumber pustaka. Studi ilmiah ini bertujuan sebagai pembanding dan pembeda yang dapat menunjukkan orisinalitas, bahwa setiap karya karya tulis mengenai kajian budaya itu memiliki karakteristik penulisan masing-masing. Tema dan topik bisa sama, namun permasalahan yang diangkat bisa berbeda. Demikian juga dalam hal pendekatan dan paradigma dapat berbeda antara tulisan yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan penelusuran pada beberapa perpustakaan, studi ilmiah tentang diferensiasi yang berlatar belakang keberagaman sosial-budaya, baik yang mengambil lokasi penelitian di Provinsi Jawa Tengah maupun di Kabupaten Klaten commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hingga kini belum banyak dilakukan. Lebih-lebih terhadap tema diferensiasi karya seni lukis dalam khazanah kajian budaya. Bahkan dapat dikatakan, bahwa data sekunder yang dapat menunjang penelitian ini masih terbatas. Walaupun demikian, dalam penelusuran berbagai sumber pustaka telah ditemukan beberapa tulisan ilmiah mengenai kajian seni lukis sebagai berikut. (1) Penelitian yang dilakukan Sujatmiko (2006) dipusatkan pada penelitian perbedaan teknik melukis anak binaan pada Sanggar Bambu di Yogyakarta dengan mengajukan rumusan masalah bagaimana teknik melukis anak binaan Sanggar Bambu dan adakah perbedaannya antar anggota sanggar?. Dalam paradigma aksiologi teknik melukis, teori strukturalisme, teori intelektualitas, dan teori persepsi Sujatmiko (2006) memperoleh temuan, yakni (a) Walaupun teknik melukis pada Sanggar Bambu telah diberikan secara sama, namun pada kenyataannya telah terjadi perbedaan teknik melukis antara pelukis yang satu dengan yang lainnya. (b) Perbedaan kebanyakan disebabkan oleh tingkat pemahaman dan ketrampilan mengolah media lukis. Rumusan masalah dan temuan penelitian tersebut digunakan untuk melihat pentingnya saran dan rekomendasi yang disampaikan Sujatmiko (2006: 238) khususnya yang terakhir, yaitu meminta supaya Sanggar Bambu mempelajari lagi teori perkembangan anak dan tidak memaksakan teknik atau gaya melukis yang dimiliki oleh pengajarnya.Rumusan masalah, temuan penelitian, serta saran dan rekomendasi tersebut telah menunjukkan pentingnya pembelajaran teknik melukis binaan suatu Sanggar Lukis khususnya lagi Sanggar Bambu Yogyakarta sebaiknya commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didasarkan pada tingkat perkembangan psikologis anak dan disesuaikan dengan spesifikasi talentanya. (2) Kajian ilmiah yang dilakukan Pramono (2008) mahasiswa ISI Yogyakarta ini yang berjudul Seni Poster: Nilai Komunikasi dan Konsumtif lebih terfokus pada kasus-kasus keragaman harga karya poster pada Bengkel Reklame “Andi‟s Advertising” di Bantul Yogyakarta. Perbedaan harga disebabkan oleh faktor ketepatan menyampaikan obyek iklan, sesuai permintaan konsumen dan presentasi penawaran karya. Paradigma Materialisme yang dipakai dalam penelitian ini sangat cocok untuk menggali latar belakang keperbedaan harga setiap karya poster di Bengkel Reklame “Andi‟s Advertising tersebut. Permasalahan yang disampaikan adalah bagaimana meningkatkan nilai komunikasi dan harga terhadap karya poster Bengkel Reklame “Andi‟s Advertising” di Bantul? Jawaban rumusan masalah, temuan-temuan metode penelitian, dan saran yang disampaikan menunjukkan pentingnya lobi penawaran pada konsumen atas hasil karya poster yang dibuat oleh seorang seniman poster. Kualitas karya poster tidak menjamin berharga mahal, kalau si konsumen tidak menyukainya dan tidak bisa berkomunikasi pada orang lain. (3) Karya ilmiah berjudul Penelitian Seni Dengan Pendekatan Semiotik yang ditulis Dharsono (1996) dosen ISI Surakarta bertujuan ingin mengenalkan, bahwa teori semiotika dapat dijadikan pendekatan terhadap kajian seni. Walaupun rumusan masalahnya tidak begitu jelas, dapat diketahui fokus kajiannya adalah menganalisis empat karya seni lukis yang berbeda-beda corak dan gayanya. commit to user
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ruang lingkup penelitian ini berkisar pada masalah hasil penciptaan karya seni sebagai objek nyata dengan menitikberatkan pada jenis tanda, jenis informasi serta makna atau pesan yang disampaikan seniman lewat hasil karya seninya. Pada perluasan semakin mendalam, pendekatan semiotika juga mampu melihat kondisi dan latar belakang seniman pada jamannya. Setelah selesai menganalisis empat sampel karya seni lukis, pada bagian akhir menyimpulkan, bahwa untuk membahas sebuah karya seni, peneliti atau penghayat secara bebas menafsirkan sesuai dengan kemampuan masing-masing, sesuai dengan daya sensitivitas dan kreativitasnya. Dengan demikian, pemaknaan terhadap tandatamda yang terdapat pada karya seni lukis itu secara arbitrer atau
tidak
menggunakan teori tafsir yang telah ada. (4) Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh V.Kristanti Putri Laksmi (2009) yang juga seorang dosen ISI Surakarta, berjudul Kajian Makna Simbolis Motif Batik Sidowirasat Surakarta ini mengangkat dua masalah, yakni bagaimana bentuk motif batik Sidowirasat Surakarta dan bagaimana makna simbolis gari pola-pola batik pembentuk motif batik Sidowirasat tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori Ernest Cassier yang menjelaskan, bhawa manusia adalah animal symbolicum, makhluk yang dapat mengerti dan menggunakan simbol-simbol (tanda-tanda). Cara penelitian V. Kristanti menggunakan cara kualitatif. Penelitian kualitatif ini sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi dari satu objek, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Dalam menganalisis objek penelitian kualitatif menggunakan analisis tekstual dan kontekstual. Analisis tekstual dipakai untuk mengetahui bagaimana bentuk dan fungsi serta maknanya. Kesimpulan yang commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam menjawab masalah adalah, bahwa motif Sidowirasat merupakan salah satu motif batik yang digunakan atau dipakai pada upacara perkawinan, baik di dalam maupun di luar Kraton. Berdasarkan temuan beberapa penelitian mengenai kajian seni rupa atau lebih khusus seni lukis di atas, apabila diperbandingkan dengan penelitian yang sedang dilakukan saat ini menunjukkan adanya persamaan dalam hal metodologi penelitian, misalnya: objek yang diteliti, pendekatan dan paradigmanya. Namun, dari segi fokus, substansi dan permasalahan yang diangkat tetap berbeda. Misalnya, pada penelitian yang ditulis oleh Sujatmiko terdapat persamaan fokus penelitian berupa karya seni lukis, tetapi tetap berbeda dalam hal rumusan masalahnya yang mengangkat teknik melukis. Begitu juga paradigma dan teori untuk menganalisinya tetap berbeda. Apalagi pada penelitian Pramono, walaupun meneliti tentang seni rupa, namun hampir seluruhnya berbeda, mulai dari jenis objeknya sampai pada kesimpulan berbeda sama sekali. Hal ini dikarenakan tulisan Pramono lebih menekankan pada fungsi konsumerisme seni rupa terapan, yakni seni reklame sebagai media komunikasi untuk menghasilkan uang. Sementara pada penelitian Darsono, terdapat kesamaan pendekatan teori Semiotika, tetapi penelitian itu tidak mengupas tentang kehidupan sosial-budaya sebagai latar belakang penciptaan seni lukis. Darsono hanya konsentrasi pada kajian seni lukis sebagai benda nyata, seperti jenis tanda, jenis informasi dan makna. Sedangkan pemaknaannya secara semena-mena (arbitrer) dan tidak menggunakan teori tafsir yang sudah ada. Sebagai pembanding yang terakhir adalah penelitian V. Kristanti Putri Laksmi. Terdapat persamaan penulisan dengan cara kualitatif. commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara objek penelitiannya berbeda, karena berupa seni batik yakni batik Sidowirasat Surakarta. Pengkajian difokuskan motifnya yang dianalisis berdasarkan makna simbolis. Oleh karena itu, cara menganalisisnya pun berbeda, yaitu dengan cara tekstual dan kontekstual. Dengan
memperhatikan
perbandingan
beberapa
penelitian
dari
hasil
penelusuran kepustakaan di atas, penelitian terhadap diferensiasi karya seni lukis “Pasren” ini memiliki perbedaan tersendiri dan baru kali pertama dilakukan, khususnya di wilayah Kabupaten Klaten. Namun, berdasarkan beberapa temuan dalam penelusuran perpustakaan tersebut di atas dan beberapa pernyataan dalam buku-buku rujukan dalam penelitian ini dapat dijadikan kajian pustaka dan diupayakan berkaitan dengan proses pengambilan data awal, membangun konsep, memperoleh metoda, membangun atau memperoleh teori, dan untuk memposisikan penelitian
ini
sebagai
kajian
ilmiah
yang
orisinalitasnya
serta
dapat
dipertanggungjawabkan.
2.4 Pemaknaan Seni Lukis Melalui Tafsir Kebudayaan Kebudayaan adalah sesuatu hal yang semiotis; hal-hal yang berhubungan dengan simbol yang tersedia di depan umum dan dikenal oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Simbol adalah sesuatu yang perlu ditangkap (baca: ditafsir) maknanya dan pada giliran berikutnya dibagikan oleh dan kepada warga masyarakat, diwariskan kepada anak cucu (Geertz, 2002: vii). Seni lukis termasuk salah satu dari produk kebudayaan, sejak dahulu sampai sekarang sebenarnya merupakan ungkapan simbolis dari pelukisnya. Berkaitan dengan seni lukis sebagai simbol, Hassan (1989: commit to user
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151) mengatakan, bahwa setiap kreativitas seniman menunjukkan ciri peka dan tanggap tehadap berbagai situasi yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai kemasyarakatan. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna simbolis pada setiap karya seni lukis itu diperlukan teori tafsir atau biasa disebut tafsir kebudayaan. Tafsir kebudayaan dalam rangka mengungkap makna simbolis suatu karya seni lukis membutuhkan teori yang tepat untuk mengobservasi objek penelitian, membahas dan memecahkan masalah yang diteliti. Teori adalah tindak kreatif yang lahir dari pikiran yang menggenggam informasi dan berdisiplin. Seperti ditekankan oleh Frankel, pada hakikatnya pemahaman dan kemungkinan dipahami adalah proses psikologis, dan berbeda-beda antara seseorang dengan orang lain (Kaplan dan Manners, 2002: 37). Hal ini didukung oleh Widyamartaya (1993: 23), bahwa kepercayaan, peasaan dan pengalaman bersifat relatif. Artinya, tidak kontradiksi dalam mengatakan, bahwa orang yang berbeda-beda mempunyai pengalaman yang berbeda-beda pula tentang sesuatu. Dengan menggunakan pendekatan teori tafsir dalam kajian budaya atau khususnya kajian seni lukis akan didapatkan suatu pemahaman makna dan tidak terjerumus pada pendapat pribadi semata. Oleh karena itu, seorang peneliti harus memiliki kompetensi dan peranan penting dalam menganalisis objek yang dikaji menggunakan teori yang dipakai untuk memecahkan masalahnya. Maka, karya seni lukis sebagai objek kajian budaya harus ditempatkan sebagai dua sisi kajian ditinjau secara objektif pula. Untuk mengawali suatu kajian karya seni lukis dan membantu mendapatkan objektivitas mengenai bentuk visual perlu melihat struktur yang commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terdapat di dalam bingkai lukisan itu. Struktur objek sebuah karya lukis membutuhkan pendekatan teori tersendiri. Secara etimologis kata “struktur” berasal dari bahasa Inggris stucture yang berarti “susunan atau kerangka” bangunan/ gedung, sosial, masyarakat, ekonomi, dan atom (Shadily, 2007: 563). Selanjutnya diserap ke dalam Kamus Besar Poerwodarminto (1982: 721) menjadi “struktur” yang berarti susunan; bangunan yang disusun dengan pola tertentu. Jadi yang dimaksud struktur adalah suatu bentuk susunan atau kerangka bangunan dengan pola tertentu. Dengan demikian, seni lukis dapat dikatakan merupakan suatu struktur bangunan yang terbentuk dari susunan dari unsur-unsur seni seni lukis, seperti garis, bidang, warna tekstur, gelap-terang dan sebagainya bersifat kasat mata. Artinya, seni lukis secara objektif memiliki bentuk struktur luar. Struktur luar ini tampaknya dipengaruhi teori tanda yang perkembangannya telah dipopulerkan lebih dahulu oleh Ferdinannd de Saussure (1857–1913) dengan konsep kunci penanda (signifier, signifiant) dan petanda (signified, signifie). Dengan demikian, seni lukis merupakan tanda yang dibuat oleh pelukisnya yang berfungsi sebagai pengirim tanda. Pada karya seni lukis, komposisi merupakan tanda pertama yang pokok dilihat penonton dalam karya seni lukis, sebab dapat dapat mengkomunikasikan visi pelukis melalui karya seninya kepada pengamat. Untuk mengenal tanda-tanda yang terdapat pada sebuah karya seni lukis membutuhkan teori semiotika. Tinjauan semiotis pada dasarnya untuk mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Namun, Humberto Eco mengingatkan, jangan terlalu percaya pada bentuk tanda itu, karena di dalam tanda ada sesuatu commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri, maka dia menyebutnya tanda sebagai „teori kebohongan‟ (Eco, 2009: 6). Oleh karena itu, kita sebagai pengkaji budaya dan seni mesti arif untuk untuk memadukan dengan teoriteori tafsir yang lain untuk mendapatkan makna simbolis dari tanda-tanda dari sebuah objek seni yang kita hadapi. Ilmu tafsir yang dimaksud, kita bisa pinjam teorinya Cliffort Geertz. Teori simbolis Clifford Geertz mengasumsikan, bahwa kebudayaan adalah jaringan simbol-simbol yang bisa dianalogikan sebagai teks. Dengan demikian sangatlah tepat untuk menguraikan makna secara utuh menyeluruh, melalui interpretasi atau penafsiran-penafsiran. Langkah menemukan makna dengan cara menafsir-nafsir merupakan usaha memperjelas dalam memahami sebuah fenomena budaya atau simbol tertentu. Ini juga seperti yang dikatakan oleh Ahimsa Putra, bahwa untuk memaknai suatu simbol, bukamn terletak pada simbol itu sendiri, melainkan simbol harus dimaknai oleh manusia sebagai penafsirnya, sehingga dapat dipahami maknanya (Subiyantoro, 2010: 183). Dalam konteks ini, keragaman corak dan gaya seni lukis sebagai karya budaya manusia juga dapat ditempatkan sebagai fenomena budaya yang musti dimaknai sebagai simbol. Dalam teori itu menempatkan simbol sebagai suatu yang lentur dan tak terbatas untuk dimaknai, sebab dari tafsir atas simbol masih bisa ditafsir kembali dan seterusnya ditafsir secara terus-menerus hingga ditemukan makna yang paling dalam. Sedangkan tingkat kemajuan analisis simbolis bukan terletak pada kesempurnaan suatu kesepakatan, melainkan terletak pada rasional perdebatan yang diajukan (Geertz, 1992: v). Kemudian untuk lebih memperdalam lagi dalam memaknai simbol commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suatu karya seni lukis, yang bahkan sampai menyentuh roh dari karya tersebut diperlukan suatu kajian hemeneutika, seperti yang disarankan Friederich August Wolf (dalam Poepoprodjo, 2004: 21), bahwa untuk mendapatkan pemaknaan mendalam tentang arti sebuah simbol, perlu diciptakan komunikasi sesempurna mungkin melalui teori hermeneutika. Disebutnya, hermeneutika sebagai ilmu tentang aturan-aturan untuk mengenali makna (die Bedeutung) tanda-tanda. Sementara tujuan hermeneutika adalah “menangkap pikiran-pikiran seseorang yang tertulis atau tergambar, bahkan yang diucapkan sebagaimana orang tersebut menghendaki untuk ditangkapnya. Dengan ini, Wolf merancangkan hermeneutika yang praktis, faktual, dan bersifat regional untuk semua objek (sejarah, hukum, teologi, karya sastra, seni dan sebagainya) mempunyai aturannya sendiri. Ini artinya seperti yang diisyaratkan dalam analisisnya Ludwig Wittgenstein yang ditulis oleh Thomas Mc Carthy, bahwa imajinasi harus berasal dari pengalaman dan memorinya sendiri tentang bagaimana cara ekspresi digunakan secara aktual (Habermas, 2008: 221-222).
2.4.1 Proses Simbolik Kata simbol berasal dari bahasa Yunani, symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta (1982: 710) disebutkan, bahwa simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Herusatoto (2000: 10), mengatakan, bahwa “simbol adalah tanda buatan yang bukan berwujud kata-kata untuk mewakili sesuatu dalam bidang logika saja, karena dalam kebudayaan simbol commit to user
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat berupa kata-kata dan sesuatu hal atau keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap objek”. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional. Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah simbol-simbol, yang berekuivalensi dengan pendapat Sausser tentang tanda (Budiman, 2004: 33). Kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak kegiatan, di antaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan proses simbolis. Penelitian ini akan memusatkan perhatian pada proses simbolis, yaitu pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari. Proses simbolis meliputi bidangbidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos dan bahasa (Kuntowijoyo, 2006: 3). Sedemikian luasnya bentuk-bentuk simbolis, sehingga perlu membatasi pada beberapa hal yang terjangkau dalam bahasan sosiologi dan antropologi kesenian. Proses simbolis pada dasarnya adalah untuk mencari hubungan antara simbol dan masyarakat sebagai penyangga kebudayaan. Mannheim (dalam Kuntowijoyo, 2006: 3) mencoba mencari hubungan antara suatu kelompok kepentingan tertentu dalam masyarakat dan pikiran serta modus berpikir yang mendasari sosiologi pengetahuannya. Dengan berbagai variasinya, pembicaraan mengenai hubungan antara masyarakat dan sistem nilai, pikiran, dan simbol, pada awalnya didorong oleh pikiran Marx mengenai struktur (structure) dan superstruktur (superstructure) yang masih berpengaruh secara kuat, baik di kalangan ilmuwan Marxis maupun nonMarxis. Misalnya, pembahasan mengenai novel sejarah atau karya seni lukis dapat meneliti interaksi antara perkembangan ekonomi, sosial dan budaya dengan pandangan dan bentuk artistik yang dilahirkannya. Dengan mencari basis sosial dari pemisahan dan penyatuan genre, timbul dan tenggelamnya elemen-elemen baru commit to user
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam proses interaksi yang pelik. Abell (1977: 113-114) menyiratkan pendapatnya, bahwa proses simbolis itu merupakan mata rantai yang menghubungkan antara kondisi ekonomi dan superstruktur budaya itu ialah psikologi. Kesadaran psikologi merupakan kompleksitas kejiwaan yang terlibat dalam pembentukan imajinasi. Dengan demikian, proses simbolis itu bersifat psikologis. Artinya, proses simbolis merupakan derajat otonomi kejiwaan dan ketergantungan produk-produk spiritual berbeda-beda tergantung kodratnya, sehingga terjadi suatu keterhubungan antara struktur dan superstruktur di dalam diri seseorang.
2.4.2 Seni Lukis Sebagai Ungkapan Simbolis Seni lukis sebagai Ungkapan Simbolis setidaknya harus memiliki tiga kriteria dalam perwujudannya, yaitu: (1) konsep penciptaan, (2) proses penciptaan, dan (3) struktur karya seni lukis. Dari ketiga kriteria itu tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lain, tetapi merupakan kesatuan yang utuh menjadi wujud karya seni lukis. Latar belakang sosial-budaya sebagai konsekuensi seorang pelukis yang senantiasa bersentuhan dengan lingkungannya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dengan demikian, latar belakang sosial-budaya itu akan memberikan pengaruh terhadap corak dan gaya dalam berkarya yang menjadi identitas pelukisnya. Sementara konsep penciptaan seni lukis adalah kemampuan seorang pelukis dalam menangkap objek yang didasarkan pada latar belakang lingkungannya kemudian dijadikan ide atau gagasan dalam berkarya yang ditunjang oleh ketersediaan sarana yang memadai. commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah menguasai konsep penciptaan, maka untuk mewujudkannya menjadi sebuah karya, seorang pelukis melakukan proses penciptaan. Proses penciptaan karya seni lukis merupakan serangkaian langkah kerja seorang pelukis yang ditunjang keterampilan berkarya, yang diawali dari penghyatatan terhadap objek lukisan sebagai sampai melahirkan sebuah karya seni lukis. Akhirnya, karya seni lukis yang dihasilkan akan memiliki struktur seni yang mengacu pada kaidah-kaidah seni rupa. Kaidah-kaidah seni rupa merupakan ketentuan yang sebaiknya diikuti dalam mengolah unsur-unsur seni rupa sehigga menandi sebuah karya seni lukis yang memiliki nilai estetis dan menarik perhatian.
2.4.2.1 Konsep Penciptaan Seni Lukis Agar dapat menghasilkan sebuah karya seni lukis, terlebih dulu seorang pelukis memiliki ide atau gagasan yang hendak diungkapkan ke atas bidang lukisnya. Syarat kedua, harus memiliki keterampilan berkarya seni lukis. Tidak jarang seorang pelukis merasa kecewa dan tidak puas dengan karya yang dibuatnya, karena ternyata ia kurang terampil untuk menghasilkan lukisan yang sesuai dengan yang dibayangkan. Dengan demikian, yang menggerakkan seorang pelukis untuk berkarya pada umumnya, perlama-tama ia harus mempunyai gagasan, pikiran, atau perasaan yang hendak diungkap, sama seperti hendak menulis, orang harus nempunyai masalah yang hendak ditulisnya. Ide atau gagasan dapat terbentuk karena rangsangan dari luar, misalnya oleh pemandangan yang indah. Peristiwa di sekeliling seorang pelukis juga dapat memberi penghayatan yang mengesankan jika ia peka terhadapnya. Penghayatan commit to user
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang sejati merupakan hasil dorongan hati yang bercipta atau kreatif. Penghayatan, kata Dewey adalah hasil, tanda, dan ganjaran interaksi antara manusia dan lingkungannya; jika berlangsung dengan tuntas, maka interaksi itu akan berubah, wujudnya menjadi keikutsertaan dan komunikasi (Sakri, 1990: 17). Kepekaan seorang pelukis terhadap lingkungannya membuat interaksi dengan peristiwa yang sederhana menjadi penghayatan yang sejati baginya. Ia dapat tergugah hatinya oleh peristiwa yang bagi kebanyakan orang tidak menarik; misalnya oleh seekor kucing yang sedang tidur, atau bangkai ayam yang tergeletak pada tumpukan sampah. Ide atau gagasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsangan yang datangnya dari dalam diri sendiri. Dalam hal itu, pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam ingatan digunakan sebagai bahan untuk melahirkan gagasan baru, baik berupa bentuk yang meniru alam maupun yang sama sekali khayalan dari dunia impian. Namun, gagasan saja belum cukup untuk menghasilkan sebuah karya seni lukis. Untuk berkarya lukis diperlukan adanya desakan batin yang mendorong seorang pelukis untuk beraktivitas, yakni untuk melahirkan gagasan menjadi sebuah karya seni lukis. Penghayatan mengenai gagasan itu harus cukup kuat, sehingga desakan batin tidak dapat dibendung dan mendorong seorang pelukis untuk menghasilkan karya-karya lukis yang berkualitas dan berkarakter. Tanpa desakan batin tersebut gagasan akan tetap tersimpan dalam otak untuk beberapa lamanya, kemudian menghilang dan terlupakan. Selama berkarya, akan terjadi pergumulan antara pelukis dengan subject matter karya yang sedang dikerjakannya. Karya yang diciptanya akan commit to user
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merangsang penghayatan baru padanya. Sebagai jawaban atas rangsangan itu, seorang pelukis kemudian memberikan tanggapannya yang berupa perbaikan dan penyempumaan pada karyanya. Perubahan dan perbaikan itu nnembangkitkan rangsangan baru kepadanya, dan kembali ia menanggapinya. Demikianlah komunikasi antara karya dan pelukisnya berlangsung timbal-balik. Interaksi timbal- balik itu akan berakhir, ketika rangsangan dan tanggapan telah menjadi sama.
Ia
menilai
dan
mengupas
karyanya
sendiri,
memperbaikinya,
mengupasnya kembali, dan seterusnya sampai karya itu dianggapnya selesai karena
ia
merasa puas. Ketika seorang pelukis sudah merasa puas dengan
karyanya, maka ia tidak melihat atau merasa lagi adanya hal yang masih perlu diperbaiki atau disempurnakan. Proses itu menimbulkan kenikmatan seni atau kenikmatan estetis bagi si penciptanya. Biasanya seorang pelukis sudah menentukan sebelumnya proses yang akan dipakainya untuk berkarya. Demikian pula ia sudah memilih bahan bakunya. Pengolahan bahan akan menampilkan sifat bahan itu, yang dikendalikan oleh pikiran dan perasaannya. Bahan itu pun berubah menjadi perantara bagi pelukis, yang menayangkan perasaannya. Bahan dari kayu akan tetap tampak sebagai kayu, tetapi bagi seorang pelukis tidak lagi seperti wujudnya yang semula, melainkan berubah sebagai objek kayu yang mengandung getaran jiwanya. Namun demikian, pengolahan bahan baku itu tidak akan menjadi sebuah karya lukisan yang baik dan bernilai diperlukan sarana penunjang untuk mengekspresikannya. Jadi, salah satu faktor yang mempengaruhi proses kreatif ialah faktor sarana, fasilitas alat-perkakas commit dan segala to userhal yang berhubungan dengan
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemudahan-kemudahan dalam pekerjaan seorang pelukis. Hanya dengan tersedianya sarana dan fasilitas yang baiklah maka akan terwujud suatu karya seni lukis yang baik, bernilai dan menarik. Oleh karena itu, dengan segala kemampuannya, maka seorang pelukis pada akhirnya akan menentukan sarana apa yang akan dipakai untuk menyelenggarakan proses kreatifnya, ketetapan pilihan ini terjadi karena seluruh sistem mekanisme yang dimilikinya memang mengarahkan begitu. Dengan demikian, perwujudan ide atau gagasan yang bersumber dari kepekaan terhadap lingkunggannya dan mengolah bahan baku yang ditunjang oleh sarana yang memadai tersebut, maka akan menghasilkan sebuah karya seni lukis memuaskan seorang pelukis dalam berkarya.
2.4.2.2 Proses Penciptaan Seni Lukis Sebetulnya kata penciptaan perlu dibubuhi tanda kutip, menjadi proses “penciptaan”, karena pada hakikatnya mencipta bukanlah kemampuan manusia, mencipta adalah kemampuan Tuhan yang telah menciptakan jagat raya beserta seluruh isinya. Sedangkan kemampuan manusia hanya terbatas pada meniru, baik meniru alam maupun meniru “ciptaan” manusia lainnya yang sudah pernah ada sebelumnya. Seorang pelukis membuat sehuah lukisan, karena sebelum dia telah ada pelukis lain dan karya lukisan lainnya. Dengan demikian, maka pengertian dari proses 'penciptaan' yang dilakukan seorang pelukis lebih menjurus pada usaha modifikasi dari sesuatu yang telah to user ada sebelumnya, dengan segalacommit kemampuannya seorang pelukis berusaha
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menampilkan keunikakeunikan karya lukisnya dari apa yang sudah ada sehingga melahirkan suatu realitas baru yang kemudian diakui sebagai hasil ciptaannya. Kemampuan seorang pelukis dalam „mencipta' karya-karyanya ini telah membedakan manusia dengan binatang atau mesin. Begitu juga telah menjadikannya sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi ini, kemampuan tersebut telah memungkinkan manusia untuk mengembangkan kebiasaan hidup, mampu saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan mampu menyimpan pengalaman atau pengetahuan untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Dengan kemampuannya itu, maka seorang pelukis adalah manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan. Pada dasarnya seorang pelukis sebagai manusia memiliki tiga kemampuan utarna, yaitu kemampuan fisik, kemampuan rasio dan kemampuan kreatif (Dharmawan, 1988: 128). Perimbangan antara ketiga kemampuan tersebut berbeda-beda pada tiap manusia, karenanya tidak ada dua manusia yang persis sama. Dalam kemampuan fisik, manusia mungkin kalah dengan binatang karena banyak binatang yang jauh lebih kuat dari manusia. Sedangkan dalam kemampuan rasio, manusia masih kalah oleh mesin pintar atau komputer. Tetapi baik binatang maupun mesin tidak memiliki kemampuan kreatif, dan yang satu ini rnerupakan keunggulan manusia dan yang telah menyebahkan manusia mampu untuk „mencipta‟. Hubungan antara ketiga kemampuan tersebut kemudian mernbentuk 'Limas Citra Manusia” dalam proses „penciptaan‟ seperti terlihat berikut ini. commit to user
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
: Gambar II.1 Limas Citra Manusia (Dharmawan, 1988: 128) Dari limas tersebut kemampuan fisik, rasio dan kreatif merupakan rusukntsuk utama yang kemudian membentuk kemampuan perasaan, gerak dan imajinasi sebagai rusuk alasnya. Sekarang bisa dilihat limas tersebut sebagai suatu kebulatan dimana heberadaan satu rusuk ditentukan oleh fungsi rusuk lainnya. Jadi terbentuknya perasaan hukan hanya karena adanya kemampuan kreatif dan kemampuan fisik tapi juga karena adanya kemampuan imajinasi dan kemampuan gerak. Terbentuknya kemampuan imajinasi hukan hanya karena adanya kemampuan kreatif dan kemarnpuan rasio, tetapi juga karena adanya kemampuan perasaan dan kemampuan gerak, dan seterusnya. Puncak limas sebagai integrasi dari ketiga rusuk utamanya membentuk Intuisi (I). Titik-titik sudut alasnya adalah G (goodness; baiknya) tindak manusia sebagai
integrasi
kemampuan kreatif-perasaan-imajinasi;
C (correctness,
betulnya) tindak manusia sebagai integrasi kemampuan rasio-imajinasi-gerak; F (fitness, serasinya) tindak manusia sebagai integrasi kemampuan fisik-gerak-commit to user
84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perasaan. Demikianlah integrasi keseimbangan dinamis dari “baiknya” (kreatifperasaan-imajinasi), “betulnya” (rasio-imajinasi-gerak) dan “serasinya” (fisikgerak-perasaan) akan melebur dan meningkat ke dalam intuitifnya Intuisi, yang dikenal sebagai proses kreasi atau sering juga disebut sebagai penghayatan. Seorang seniman atau pelukis dapat mencapai ketinggian mutu intuisi apabila ketiga kemampuan utamanya dibina secara bersamaan, dan akan terjadi sebaliknya apabila pembinaan salah satu kemampuan itu dilalaikan. Kehilangan kreativitas akan menurunkan kualitas intuisi hingga seniman atau pelukis hanya akan menjadi robot semata-mata, kehilangan rasio akan menurunkan kualitas intuisi sehingga seniman atau pelukis hanya jadi pelamun-pelamun yang tak pernah memasuki dunia realita atau menghasilkan karya apa-apa, dan kehilangan fisik berarti seniman atau pelukis itu telah mati. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kegiatan “penciptaan” sebuah lukisan yang dilakukan seorang pelukis merupakan hasil perpaduan semua kemampuannya. Kemampuan kreatif memegang peranan yang dominan, dengan demikian maka proses “penciptaan” tak lain yang disebut “proses kreatif”. Proses kreatif adalah rangkaian kegiatan yang selalu menyibukkan seorang pencipta, seniman atau pelukis. Seorang seniman atau pelukis adalah orang yang selalu memiliki keinginan untuk membentuk dan selalu berada dalam kegiatan kreatif. Rangkaian kegiatan dalam proses kreatif ini meliputi beberapa tahapan, yaitu periode persiapan, pengeraman, inspirasi dan pengolahan penyelesaian (Dharmawan, 1988: 129-130). commit to user
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan pendapat itu, maka dapat disimpulkan bahwa seorang seniman atau pelukis adalah manusia-manusia yang dapat memanfaatkan potensialitasnya dengan sebaik-baiknya ke dalam bidang seni atau lukisan, adapun potensialitas manusia itu disebutkan sebagai akal, rasa dan iman. Melalui proses kreatif yang didasari oleh akal, rasa dan iman itu, maka lahirlah karya-karya seni lukis.
2.4.2.3 Struktur Karya Seni Lukis Setiap karya seni lukis, baik yang bercorak Naturalis, Realis atau Abstrak sekali pun pasti memiliki struktur seni. Keberadaan struktur seni itu merupakan bagian yang melekat pada karya seni lukis sebagai tolok ukur nilai estetis. Kata“struktur” berasal dari kata dalam bahasa Inggris structure yang berarti susunan. Kata itu dapat disinonimkan dengan kata composition kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “komposisi” yang artinya juga susunan. Namun, penggunaan dalam kesenian lebih popular dengan istilah „komposisi‟ seni. Dalam proses penciptaan suatu karya seni, komposisi memegang peranan yang sangat panting dan hanyak menentukan berhasil atau tidaknya karya seni tersebut. Karena sangat pentingnya struktur atau komposisi dalam penciptaan karya seni, maka komposisi ini sampai menjadi „prinsip seni‟ dalam penciptaan seni lukis. Dalam hubungannya dengan bidang seni rupa termasuk seni lukis, maka komposisi dapat diartikan sebagai susunan dari unsur-unsur seni rupa dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu sehingga membentuk suatu karya seni. Kaidahkaidah komposisi itu meliputi kesatuan (unity), keseimbangan (balance) dan commit to user
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
irama (rhytm). Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur seni rupa ialah: garis, bidang, ruang, tekstur (barik), warna, kesan gelap-terang dan keselarasan (Dharmawan, 1988: 27). Unsur-unsur seni rupa itu akan membentuk suatu karya seni, maka harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat tampil dengan baik, wajar dan saling mendukung, karena itu kesalahan dalam membuat komposisi akan merusak penampilan karya seni itu secara keseluruhan. Agar lebih baik dan menarik lagi dalam tampilan karya seni lukis, maka di samping ketiga kaidah komposisi di atas, Dharsono (2007: 86) menambahkan tiga kaidah lagi, yakni kesederhanaan (simplicity), aksentuasi (emphasis) dan proporsi. Kesatuan (unity) di dalam suatu karya seni lukis yang baik, apabila unsurunsur seni rupa tidak tampil secara sendiri-sendiri melainkan tampil dalam suatu kesatuan. Maksud dari kesatuan itu bukanlah penjumlahan secara kuantitatif dari nilai-nilai unsur-unsur tersebut tetapi kesatuan yang „padu‟, kesatuan yang lebih dari sekedar penjumlahan nilai unsur-unsurnya. Misalnya suatu lukisan terdiri dari unsur-unsur garis (misalnya bernilai 5), bidang (bernilai 4), tekstur (benilai 4), warna (bernilai 6) dan kesan gelap-terang (bernilai 3) maka kesatuan dari unsur-unsur tersebut tidak berarti memiliki nilai: 5+4+4+6+3=22. Bukan seperti itu nilai suatu kesatuan yang baik harus lebih dari itu, bahkan sampai tak terhingga karena setiap unsur akan mendukung penampilan unsur lainnya, saling melengkapi dan saling mengisi membentuk suatu kesatuan yang utuh, bermakna dan karenanya jadi menarik. Dengan demikian, kesatuan itu dapat diibaratkan sebuah sepeda yang semua unsurnya saling berkaitan, sekali pun unsur terkecil seperti „pentil dop‟ roda akan berpengaruh pada kenyamanan pemakaian sepeda. commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jadi, kesatuan dapat disimpulkan adalah suatu sistem, antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya saling kait-mengkait. Pengertian keseimbangan (balance) dapat kita pelajari dalam kehidupan sehari-hari,
seperti
misalnya
ketika
kita
menimbang
sesuatu
dengan
mempergunakan neraca-ukur. Dalam kejadian itu, apabila kita menghendaki keadaan seimbang, yaitu apabila posisi tangan neraca tersebut mendatar, maka beban di sebelah kiri neraca harus sama berat dengan beban di sebelah kanannya. Dalam bidang seni rupa, pengertian keseimbangan tersebut tidak jauh berbeda, hanya saja kita tidak mempergunakan neraca ukur untuk mendapatkan keseimbangan itu tetapi mempergunakan kepekaan estetis, sedangkan sebagai pengganti beban atau batu penimbangnya ialah menggunakan unsur-unsur seni rupa itu sendiri. Selain itu,
jangkauannya pun lebih luas, tidak lagi hanya
mencari keseimbangan antara bagian kiri dan kanan tetapi berusaha mencapai keseimbangan dalam keseluruhan karya yang dibuat. Dengan kata lain, suatu keseimbangan
adalah
suatu
karya
seni
rupa
dapat
dicapai
dengan
mempertentangkan unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur yang dipertentangkan itu tidak harus selalu sama persis, seperti garis dengan garis atau warna dengan warna, unsur-unsur yang berbeda pun dapat dipertentangkan dan akan menghasilkan keseimbangan yang baik karena setiap unsur itu dapat mengungkapkan maksud yang sama, misalnya kesan 'garang' dapat dicapai dengan garis, tekstur maupun warna, jadi keseimbangan di sini tergantung dari nilai estetisnya dan bukan dart jenis unsurnya.
commit to user
88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara teknis, prinsip keseimbangan tersebut dapat dicapai dengan berhagai kemungkinan, antara lain: (a) Simetris, merupakan prinsip keseimbangan yang paling sederhana. Caranya ialah seperti ketika kita bercermin, maka kita akan mendapatkan bentuk, rupa maupun jarak yang persis sama antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. (b) Asimetris, merupakan prinsip keseimbangan yang agak kompleks dan memerlukan kepekaan estetis untuk memahaminya. Keseimbangan asimetris ini dapat terjadi karena bentuk, warna, tekstur dan sebagainya.
(c)
Keseimbangan
karena
kesan
tertentu,
adalah
prinsip
keseimbangan yang lebih kompleks lagi, pemahamannya mutlak memerlukan kepekaan estetis yang lebih baik pula. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan memperbandingkan kesan tertentu yang dihasilkan oleh warna, garis, bidang, tekstur dan sebagainya. Misalnya kesan „luas' selain dapat dicapai dengan perbandingan ukuran juga bisa dicapai dengan penggunaan warna. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa keseimbangan dalam suatu karya seni rupa ialah pertentangan antara unsur-unsur seni rupa yang memiliki kesamaan nilai. Pemahaman mengenai irama (rhytm) akan lebih mudah dipelajari dalam seni musik, misalnya dalam sebuah lagu kita akan segera merasakan adanya pengulangan nada-nada tertentu secara teratur, adanya reffrain dan sebagainya. Irama sifatnya abstrak, tidak bisa dilihat atau diraba, irama hanya dapat dirasakan dan dipahami oleh perasaan yang memiliki kepekaan estetis. Dalam suatu karya seni lukis, irama dapat dibentuk melalui pengulangan (repetition) dan gerakan (movement) dari unsur-unsur seni rupa yang bersifat commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut maka didapat tiga kemungkinan pembentukan irama, yaitu dengan pengulangan bidang atau bentuk yang sama pada jarak tertentu secara teratur. Namun, keteraturan irama dalam seni lukis cenderung memberikan bentuk monotone yang berkesan membosankan, maka diperlukan bentuk irama bervariasi. Kaidah kesederhanaan (simplicity), walaupun tidak mutlak bisa diperlukan, khususnya untuk jenis lukisan yang menyampaikan pesan kepada orang awam seni lukis. Kesederhanaan struktur seni artinya suatu komposisi yang baik dapat dicapai melalui penerapan struktur yang sederhana, dalam arti sesuai dengan ide, pola, fungsi dan efek yang dikehendaki (Dharsono, 2007: 86). Kaidah kesederhanaan itu banyak dijumpai pada karya seni lukis yang becorak Naturalisme, Realisme, dan Impresionisme. Aksentuasi (emphasis) disebut juga pusat perhatian (center of interest). Titik berat dan tujuan aksentuasi itu adalah untuk menarik perhatian (Dharsono, 2007: 86). Aksentuasi dapat dilihat pada pengulangan unsur-unsur seni rupa, baik itu berupa pengulangan garis, bidang atau pun warna, sehingga tampak dominan dibandingkan dengan unsur seni rupa yang lain. Ada pula aksentuasi tidak berupa pengulangan unsur, tetapi malahan satu unsur seni rupa yang dibuat nyleneh (berbeda) dengan unsur-unsur seni rupa yang lainnya. Proporsi adalah perbandingan ukuran. Oleh karena itu, proporsi
dapat
dimanfaatkan untuk memahami ukuran objek dalam lukisan dengan cara membandingkan ukuran dalam commit bagiantoobjek user atau membandingkan dengan
90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ukuran objek yang lain dalam lukisan itu. Misalnya, ada sebuah lukisan alam benda dengan ojek seperangkat alat minum di atas nampan yang terdiri dari teko dengan tutupnya terletak di samping bawah, kemudian di sebelahnya terletak gelas dan di sampingnya lagi terletak sendok. Lukisan tersebut dianggap baik dari segi proporsi apabila perbandingan ukuran keseluruhan objek dalam lukisan itu sesuai dengan ukurannya masing-masing. Apakah tutup tekonya terlalu besar atau terlalu kecil. Begitu juga jika dibandingkan dengan gelasnya atau sendoknya. Unsur-unsur seni rupa ialah semua bagian yang mendukung terwujudnya suatu karya seni lukis, unsur-unsur tersebut dapat bersifat fisik yang dipahami secara visual seperti garis, bidang, ruang, bentuk, tekstur, warna dan kesan gelapterang (kontras) atau dapat pula bersifat psikis, seperti perasaan, pandangan, pemikiran, gagasan, atau karakter yang terungkap dalam karya seni rupa tersebut. Unsur yang bersifat psikis ini tidak bisa dipahami secara visual melainkan hanya dapat dirasakan saja. Dalam suatu karya seni lukis, unsur-unsur tersebut di atas disusun dan dipadukan menurut kaidah-kaidah tertentu seperti kesatuan, keseimbangan dan irama seperti yang telah diterangkan di muka sehingga mampu mengekspresikan perasaan, pandangan, gagasan dan karakter pembuatnya dalam suatu sajian yang menarik. Berikut ini dijelaskan unsur-unsur seni rupa yang bersifat fisik atau visual saja. Garis merupakan unsur seni rupa yang paling utama karena dengan garis commit user menarnpilkan gerak, juga karena dapat membentuk beraneka bidang, sertatodapat
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adanya perbedaan-perbedaan garislah maka karya seni rupa menjadi menarik. Selain itu, garis juga dapat mencerminkan sifat dan karakter pembuatnya. Nilai dari suatu garis banyak ditentukan oleh iramanya serta kemampuannya dalam mewujudkan bentuk atau massa dengan kemungkinan yang hampir tak terbatas dalam perpaduannya dengan unsur-unsur seni rupa lainnya. Penggunaan atau pemanfaatan
garis
pun
dapat
bermacam-macam
tergantung pada kemampuan dan keperluan pelukisnya. Misalnya, ada pelukis yang memanfaatkan garis sebagai pembentuk kesan trimatra dengan arsiranarsiran dan sebagainya, ada pula pelukis yang berusaha menggunakan garis sedikit sekali tetapi mampu menghadirkan objek yang ekspresif, selain itu ada juga yang menggunakan garis sebagai penjelmaan objek yang sesungguhnya serta masih banyak lagi cara pemanfaatan lainnya. Berdasarkan perwujudannya, ada dua jenis garis dalam seni rupa, yaitu: (1) Garis Nyata, adalah garis yang kehadirannya mudah ditangkap secara visual, sedangkan bentuknya dapat berupa garis lurus, garis lengkung, garis patah-patah, garis bergelombang dan sebagainya, dan (2) Garis Khayal yang sifatnya imajinatif, kehadirannya hanya bisa dirasakan dan tidak bisa ditangkap secara visual. Garis seperti ini dapat hadir dengan sendirinya sebagai pembatas bidang atau bentuk yang biasa disebut gatas atau outline, sebagai batas objek, warna, ruang dan sebagainya. Bidang atau disebut juga shape (bangun). Shape adalah bidang kecil yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah contour (garis pinggir) dan dibatasi oleh commit user adanya warna yang berbeda atau oleh to gelap-terang pada arsiran, kuasan atau
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karena adanya tekstur. Dalam karya seni lukis, shape dapat digunakan sebagai simbol perasaan pelukisnya dalam menggambarkan objek hasil subject matter. Maka, tidaklah mengherankan apabila seseorang kurang dapat menangkap atau mengetahui secara pasti tentang objek hasil pengolahannya, karena kadangkadang shape tersebut mengalami beberapa perubahan
penampilan atau
transformasi sesuai corak dan gaya pelukisnya (Dharsono, 2007: 71). Berdasarkan pengertian itu, maka bidang atau shape memiliki beberapa jenis raut bidang, antara lain: (a) Bidang Geometris, yakni bidang yang ukuran panjang- lebarnya jelas atau tertentu dan biasanya dibuat secara matematis, (b) Bidang Organik. Raut bidang seperti ini dibatasi oleh garis-garis lengkung bebas yang mengesankan pertumbuhan, biasanya didapat pada bentuk-bentuk alami, (c) Bidang Bersudut, dibatasi oleh beberapa garis lurus yang tidak pasti, (d) Raut Bidang tak teratur, dibatasi oleh beberapa garis lurus dan lengkung yang tidak matematis, (e) Raut Bidang Hasil Coretan Bebas, rautnya bisa teratur tapi tidak rapi, dibuat dengan sapuan kuas atau alat lainnya, dan (f) Raut Bidang Secara Kebetulan, dibuat tanpa sengaja dan sangat dipengaruhi oleh proses serta bahannya. Ruang, merupakan bentuk atau gubahan dua dan tiga-dimensi, dapat pula merupakan kesan batas yang dibentuk oleh bidang positif dan negatif. Dalam karya seni rupa atau seni lukis dua-dimensi, pada umumnya ruang ini bersifat semu atau khayal dan bisa ditampilkan antara lain dengan menggunakan teknik perspektif. Karena bersifat ruang semu, maka sebagian kalangan seniman dan kritikus seni menyebutnya dengan istilah Berbeda dengan karyacommit to „keruangan‟. user
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karya seni rupa tiga-dirnensi, seperti patung, ruang merupakan ukuran yang nyata karena karya-karya itu pada umumnya memiliki volume sebagai wujud ruang yang sebenarnya. Tekstur (barik) adalah salah satu unsur seni rupa ternyata memiliki keunikan tersendiri yang penting artinya dalam perwujudan suatu karya seni lukis. Tekstur dapat diartikan sebagai “tampak rupa” atau “tampang permukaan” dari suatu benda, karena permukaan setiap benda memiliki sifatnya yang khas, misalnya polos atau bercorak, licin atau kasar, kusam, lunak atau keras. Tekstur banyak sekali terdapat di alam bebas dengan jenis serta corak yang tak terbatas, misalnya tekstur kayu tekstur batu, daun, kulit kerang dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi seorang pelukis yang kreatif akan dapat memperoleh berbagai jenis tekstur dari satu jenis bahan saja dengan cara pengolahan dan penyelesaian tertentu yang berbeda-beda, yakni dengan cara meniru atau membuatnya di atas kanvas. Berdasarkan sifat permukaannya maka tekstur dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu tekstur raba dan tekstur lihat. Tekstur raba mempunyai sifat permukaan yang dapat dirasakan atau diraba dengan tangan, jadi tidak hanya sekedar rupa saja. Misalnya, permukaan ampelas, bulu domba, kulit kayu, permukaan batu padas dan sebagainya. Tekstur lihat atau tekstur semu seperti tercermin, maka jenis tekstur ini hanya dapat diserap oleh indra penglihatan, walaupun dapat pula membangkitkan pengindraan raba, jadi sifatnya mutlak dua dimensi. commitlihat, to user Terdapat beberapa jenis tekstur antara lain: tekstur hias, sifatnya
94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hanya merupakan tambahan yang dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi rupa keseluruhan bendanya, tekstur semerta, yakni tekstur tercipta tidak disengaja dan tidak dapat diulang,
dan tekstur mekanis ialah tekstur yang dihasilkan oleh
peralatan mekanis, seperti butiran fotografi atau raster. Warna, merupakan unsur seni rupa yang selalu dihubungkan dengan estetika, karena selain dapat dihayati secara intelektual wama juga dapat dihayati secara emosional atau dengan menggunakan kepekaan perasaan manusia. Secara intelektual dinyatakan, bahwa warna merupakan gelombang-gelombang cahaya tertentu, kita dapat mengenali suatu warna apahila gelombang cahaya itu menyentuh retina mata, kemudian oleh jaringan syaraf yang rumit gelombang cahaya tadi disampaikan ke otak yang kemudian mencernanya sehingga seseoran dapat mengenali gelombang cahaya tersebut sebagai suatu warna. Secara emosional, warna dianggap memiliki sifat-sifat yang sanggup menimbulkan efek psikologis, sehingga mampu menimbulkan kesan panas, dingin, cerah, murung dan sebagainya. Sebagai unsur tambahan, adalah kesan gelap-terang dan kselrasan. Istilah gelapterang mengacu pada kesan pencahayaan pada suatu objek lukisan. Artinya, kesan cahaya yang mengenai pada objek lukisan itu dapat ditampilkan dengan berbagai teknik dalam seni lukis. Sedangkan istilah harmoni atau keselarasan akan lebih mudah dihayati dalam seni musik, nada-nada musik yang sama bila diletakkan pada tempat tertentu yang herbeda-beda dan dimainkan bersama-sama dengan alat musik yang lain akan melahirkan suatu lagu yang harmonis atau selaras. Namun, di dalam seni commit rupa, keselarasan ini bersifat abstrak, artinya to user
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hanya bisa dirasakan dan tidak bisa dilihat. Keselarasan dalam seni rupa atau seni lukis dihasilkan oleh perpaduan dari berbagai unsur seni rupa yang disusun menurut kaidah-kaidah komposisi, walaupun ada unsur-unsur yang dipertentangkan tetapi tidak berarti yang satu unsure mengalahkan yang lainnya, yang terjadi justru pertentangan itu menghasilkan keseimbangan. Unsur-unsur yang ditampilkan harus saling mendukung satu unsur dengan lainnya sehingga melahirkan kesatuan ungkapan, karena itu pemilihan unsur-unsur pun harus diperhatikan, artinya hanya unsurunsur yang benar-henar diperlukan saja yang digunakan, sedangkan unsur yang sekiranya hanya akan mengganggu sebaiknya tidak digunakan.
2.4.3 Makna Seni Lukis dalam Kehidupan Sosial-Budaya Makna simbolis pada suatu karya seni itu ditentukan oleh penafsirnya sendiri melalui relasi-relasi. Ada latar belakang kehidupan sosial budaya dari hal itu, bahwa makna itu bersifat relasional. Kekosongan berarti apa saja dalam kekosongannya itu sendiri dan segala sesuatunya baru bermakna, karena adanya suatu relasi sejenis yang dilekatkannya atau dimaknainya (Berger, 2005: 205). Hubungan atau relasi itu dapat bersifat tersurat maupaun tersirat, tetapi dengan satu atau lain cara hubungan itu pasti ada. Oleh karena itu, untuk mengkaji objek seni lukis sebagai tanda atau simbol, sama artinya mengganggapnya sebagai komponen dari bahasa, yakni bahasa rupa. Bahasa sendiri merupakan komponen dari sosial dan kebudayaan. Objek seni lukis dalam hal ini, adalah komponen dari kebudayaan benda (material culture). Untuk memaknainya sebagai atau simbol, sama artinya dengan committanda to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempelajari kebudayaan, di mana objek seni lukis itu berada. Objek seni lukis, dalam hal ini dapat dikaji sebagai unit kebudayaan. Dengan demikian, ia berfungsi sebagai tanda atau simbol, yang mempunyai referensinya pada fenomena kultural (Piliang, 2003: 222). Maka, dengan memandang objek seni lukis, bisa dilihat, bahwa ia merupakan pengejawantahan dari sistem sosial-budaya milik lingkungan tertentu, kelompok masyarakat tertentu, tradisi tertentu, dan cara berfikir tertentu. Dapat dikatakan, bahwa objek seni menyatakan pertalian atau dengan sesuatu melalui bentuknya. Oleh karena itu, untuk memaknai objek seni sebagai tanda atau simbol adalah bertujuan untuk menemukan kode-kode yang mengaturnya yang ada pada satu komunitas, kebudayaan dan ruang tertentu. Memaknai nilai simbolis pada sebuah karya seni lukis sebagai ranting kebudayaan, memerlukan cara menafsir dengan baik. Sebagaimana dikatakan Geertz (1992: vi), bahwa untuk menangkap yang disebut makna kebudayaan, perlulah mengetahui lebih dahulu cara menafsir simbol-simbol yang setiap saat dan tempat dipergunakan orang dalam kehidupan umum. Pendayagunaan makna dari simbol sesungguhnya tidaklah terbatas pada upacara, mitos, cerita, legenda, kesenian dan lain-lain yang dianggap resmi atau yang adiluhung saja. Dalam hal ini, Geertz juga memperingatkan, bahwa kaitannya dengan manusia dengan kebudayaan adalah ibarat binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna yang dia tenun sendiri. Di sisi lain, untuk memaknai pada karya seni lukis sebagai tanda atau simbol, para ahli semiotika menyarankan agar tidak berpegang pada makna primer (denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan berusaha untuk medapatkan makna sekunder (konotatif) yang juga dipunyai oleh tanda itu (Zoes, 1992: 3). Maka, umtuk commit to user
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memperluas dan memperdalam pemaknaan simbolis tersebut perlu menambahkan penggunaan konsep psikoanalisisnya Freud dan konsep sosiologisnya Marxis. Begitu juga untuk sampai pada interpretasi semacam itu, analisis semiotik yang bertitik tolak pada suatu karakteristik struktural yang dianggap sebagai ikon diagramatik, telah dipakai sebagai alat heuristik (Zoes, 1992: 17). Olek karena itu, penggunaan konsep ikon diagramatik memungkinkan untuk menemukan maknamakna dalam karya seni lukis sebagai teks, tetapi tidak hanya di dalam teks (instrinsik), melainkan juga di luar teks (ekstrinsik).
2.4.3.1 Kajian Makna dalam Seni Lukis Untuk memaknai karya seni lukis sebagai sebagai objek kajian budaya bisa dikaji dengan menggunakan beberapa model kajian seni rupa, antara lain: model kajian historis, model kajian semiotika, model kajian tranformasi budaya, model kajian strategi, model kajian estetik, model kajian sosial, dan model kajian multidisiplin (Sachari, 2005: 43-152). Dalam model kajian historis, karya seni lukis diposisikan sebagai artefak; hasil peninggalan sejarah. Model kajian ini didasarkan pada dua tinjauan historis. Pertama, berdasarkan sejarah perkembangan jenis seni lukis sesuai dengan aktivitas budaya yang mendasarinya dalam kurun waktu tertentu secara berurutan dan kedua, berdasarkan perubahan-perubahan serta unsur-unsur „luar‟ untuk yang mempengaruhi, untuk kemudian menggagas karya baru. Kedua tinjauan itu tampaknya seperti tumpang tindih, tetapi kalau dicermati terdapat pembedanya, yakni pada tinjauan pertama itu bersifat statis; hanya sebatas peninggalan budaya masa lalu saja. Sementara yang kedua bersifat dinamis, karena commit to user
98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang diamati hanya bentuk perubahannya saja; tidak harus berkronologis, tetapi bisa bersifat tematik, tanpa mempertimbangkan urutan jaman. Artinya, sejarah hanya didasarkan penggalan sejarah dan pada bentuk perubahan corak atau gaya yang melekat pada karya seni lukis yang dipengaruhi oleh faktor dari luar. Model kajian semiotika menempatkan seni lukis sebagai suatu bahasa yang lebih spesifik dikenal sebagai bahasa rupa. Karya seni lukis dapat dipandang sebagai sebuah „prosa‟ atau „puisi‟ yang sarat dengan pesan dan tanda konotatif maupun denotatif. Walaupun kajiannya belum sematang pada kajian linguistik atau sastra, namun dapat membuka peluang teori semiotika ini dapat digunakan untuk membedah karya-karya seni lukis sebagai suatu kajian budaya. Sementara model kajian tranformasi budaya secara garis besar merupakan pengamatan perubahan dan pergeseran fenomena seni lukis dalam suatu rentang waktu tertentu. Dalam rentang waktu tersebut dicatat dan diamati faktor-faktor yang menjadi ciri utama perubahan, serta proses akulturasi dan inkulturasi yang terjadi. Secara umum, tranformasi budaya diawali oleh adanya unsur keterbukaan, baik yang dipaksakan maupun yang dikarenakan oleh karakter khas kebudayaan tertentu yang mudah menerima kehadiran kebudayaan asing. Pergeseran-pergeseran yang terjadi antara setiap sub budaya kerap bejalan tidak sejalan, ada yang secara „rupa‟ sangat cepat, namun secara teknologis agak tertinggal, ada pula yang secara keseluruhan fisik telah bergeser jauh ke depan, tetapi secara mentalitas masih terbelakang. Dengan demikian, mengamati fenomena budaya pada seni lukis, proses tranformasi juga dapat diamati melalui pergeseran nilai estetisnya. Pergeseran nilai commit to user
99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
estetis tersebut memiliki keterkaitan secara langsung dengan proses transformasi budaya suatu bangsa yang dipicu oleh adanya keterbukan budaya. Dalam model kajian strategi, karya seni tidak bisa dipisahkan dengan bagaimana membangun peradaban suatu bangsa, mulai dari infrastruktur hingga superstruktur. Artinya, karya seni tidak bisa terlepas dari ideologi dan konsep-konsep pembangunan yang tengah dijalankan. Dalam pendekatan ini, dapat diamati misalnya bagaimana negara-negara Eropa, seperti Perancis, Belanda, Romawi dan sebagainya lebih unggul di bidang persenilukisan dibandingkan negara-negara di Timur Tengah pada umumnya. Begitu juga di kawasan Asia, China, Jepang, Korea lebih maju di banding Malaysia dan Indonesia. Untuk mengamati hal itu, dapat dilakukan dengan model strategi yang menekankan ekonomi dan pembangunan melalui karya-karya desain yang di dalamnya terdapat pula nilai estetis yang diangkat dari sebuah karya seni lukis. Model kajian estetis dapat dilakukan dengan dua sisi, yaitu (1) pendekatan melalui filsafat seni dan (2) pendekatan melalui kritik seni. Dalam kajian filsafat seni, objek seni lukis dapat diamati sebagai sesuatu yang mengandung makna simbolis, makna sosial, makna budaya, makna keindahan, makna ekonomi, makna penyadaran, ataupun makna religius. Sedangkan dalam kajian kritik seni, objek seni lukis cenderung diamati sebagai sebuah objek yang mengandung dimensi kritis, seperti dinamika gaya, teknik pengungkapan, tema berkarya, ideologi estetis, pengaruh terhadap gaya hidup, hubungan dengan perilaku dan berbagai hal yang sementara ini memiliki dampak terhadap lingkungannya. commit to user
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Upaya model kajian sosial, dilandasi oleh perkembangan sosiologi sebagai ilmu telah tumbuh lebih dari dua abad yang dirintis oleh Auguste Comte (18781953). Perkembangan sosiologi itu sejalan dengan pemikiran dan dinamika masyarakat yang semakin kompleks, sehingga melahirkan lebih dari sepuluh cabang keilmuan dan lingkup studi yang semakin bervariasi. Kemudian dari sepuluh cabang memunculkan beberapa spesialisasi kajian sosiologi, salah satunya adalah sosiologi seni. Dengan sosiologi seni ini, maka kajian seni rupa dapat menempatkan seni lukis sebagai objek kajian yang dianalisis berdasarkan latar belakang sosio-budaya masyarakat. Kajian sosial di bidang seni lukis terbagi atas dua kelompok besar, yaitu: (1) kajian-kajian sosiologi „murni‟ yang didekati secara kuantitatif dan kualitatif, dan (2) kajian sosiologi terapan, yang bertujuan untuk menyusun strategi pemecahan suatu persoalan seni lukis atau bisa juga penyusunan kebijakan sosial yang berkaitan dengan pembangunan yang hendak dijalankan. Secara singkat, dapat dikemukakan, bahwa kajian sosial di bidang seni lukis baik sosiologi murni maupun terapan, merupakan penelitian telaah mengenai perilaku individu, sekelompok orang atau masyarakat yang dipengaruhi oleh karya seni lukis tertentu atau sebaliknya, yaitu karya-karya seni lukis yang menciptakan situasi sosial tertentu dengan pendekatanpendekatan komprehensip. Akhirnya, dengan mencairnya sekat-sekat antara keilmuan dan metode dalam berbagai kajian seni, maka memunculkan suatu bentuk model kajian seni yang disebut model kajian multidisiplin. Model kajian multidisiplin lahir karena banyaknya tuntutan permasalahan dari berbagai fenomena budaya yang tidak mampu commit to user
101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan menggunakan satu model kajian saja. Kondisi-kondisi seperti itulah yang menuntut adanya upaya menggabungkan berbagai model atau metode, baik yang kuantitatif, kualitatif maupun artitstik. Jadi, pengkajian seni lukis tidak sebatas kajian historis saja, semiotis saja atau estetis saja, melainkan pengkajian seni lukis dapat dilakukan dengan pendekatan multidisiplin umtuk mendapatkan hasil kajian yang komprehensip, lebih luas dan bermakna. Model kajian multidisiplin dalam seni lukis umumnya telah lazim dipergunakan. Konsekuensinya juga menuntut penggunaan interdisiplin, multiteori, dan penggunaan multimetode. Meskipun beresiko cenderung tidak fokus pada topik bahasan dan bersifat generik, namun model ini banyak kalangan menilai paling bermakna, karena dapat memaparkan fenomena seni lukis atas beberapa fenomena yang lebih dinamis dan kaya.
2.4.3.2 Pemaknaan Seni Lukis dan Faktor Pengaruhnya Memaknai sebuah karya seni lukis tidak bisa dipisahkan dengan pelukisnya. Pelukis sebagai seorang makhluk individu juga merupakan makhluk sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sosial-budaya. Dengan demikian, maka faktor lingkungan
sosial-budaya
merupakan
salah
satu
faktor
yang
banyak
mempengaruhi berjalannya proses kreatif seninya. Dharmawan (1988: 130) mengatakan, bahwa keadaan lingkungan sosial-budaya itu dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, yakni lingkungan luar (ekstrenal), lingkungan dalam (internal) dan lingkungan dalam-hakiki commit(intrinsic to user internal environment).
102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lingkungan luar, adalah sesuatu yang berada di luar lingkungan sosial budaya seniman atau pelukis, dan merupakan jangkauan sehari-hari baginya. Pengaruh lingkungan luar ini sangat dit ent ukan o leh pr ibad i seniman at au pelukis it u sendir i serta cara kerja dan bagaimana mobilitas dari pekerjaannya. Berkaitan dengan pengaruh lingkungan luar tersebut, maka dapat dianalogikan, bahwa seorang pilot pesawat terbang yang sehari-hari biasa bepergian jauh dan melihat beraneka ragam suku bangsa dan akt ivit as sosial-budayanya, namun belum tentu dia menerima pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan
seorang pengajar
geografi atau antropologi budaya. Pengajar geografi atau antropologi budaya bisa jadi dia menekuni lingkungan-lingkungan luar itu hanya dar i tulisan-tulisan at au alat
audio -visual saja.
Berbeda
lagi seorang
pengajar seni. Mungkin saja penghayat an sang pengajar seni terhadap apa yang ditekuninya itu lebih mendalam dan hidup. Berdasarkan an alogi itu, maka seorang seniman atau pelukis memiliki keterkaitan lebih mendalam dengan lingkungan sosial-budaya masyarakatnya, karena seorang pelukis disamping dia secara langsung bersentuhan dengan lingkungan sosial-budaya masyarakatnya, dia juga menghayatinya sebagai inspirasi untuk kemudian diekspresikannya sebagai objek lukisannya. Lingkungan dalam, adalah lingkungan sosial-budaya sekitar yang di dalamnya seorang seniman atau pelukis hidup sehari-hari, bahkan sebenarnya dia itu lahir dari padanya, dibesarkan dan dikembangkan. Dia mengambil berbagai manfaat dari lingkungan sosial-budayanya, sehingga bagi lingkungan tersebut commit to user
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dia merupakan satu mata rantai dalam untaian ekologis dan sistem kebudayaan yang sebagai individu kreat if dapat sangat ber arti baginya (Dharmawan, 1988: 131). Besar kecilnya pengaruh lingkungan dalam pun sangat di tentukan oleh sifat dan sikap batin seorang seniman atau pelukis. Bilamana bat in t idak setuju dengan satu aspek atau bagian dari lingkungan dalam yang terdekat sekalipun, maka pengaruhnya akan lebih kecil dibandingkan dengan pengaruh yang datang dari lingkungan luar walaupun secara fisik jaraknya sangat jauh, tetapi batin senant iasa tetap menghayatinya. Namun, pada umumnya seorang seniman atau pelukis akan merupakan pencerm inan dari lingkungan sosial-budaya dan semangat waktu untuk menggelutinya. Lingkungan dalam- hakiki, ialah lingkungan bat in yang paling dalam yang berada di dalam pikiran dan diri seorang seniman. Lingkungan batin ini merupakan tempat lahimya berbagai ungkapan yang semurni-murninya dan akhir dari semua alternat if hasil pencerapan dari pengaruh lingkunag luar dan dalam. Pada lingkungan batin ini, seorang seniman atau pelukis bisa mencapai setinggi-tingginya prestasi pendalaman terhadap pengalamannya. Setinggi-tingginya prestasi seorang seniman atau pelukis adalah ketika dia memiliki kemampuan untuk beriman pada Tuhan dan ber ada dalam wawasan religius dalam aktivitas kehidupannya. Dengan demikian, suatu usaha peninjauan tentang karya-karya seorang seniman atau pelukis tidaklah dapat dilepaskan dari tinjauan tentang pribadinya, latar belakang seninya, serta lingkungan sosial-budayanya, karena dengan commit to user
104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sendirinya hasil karya seni itu merupakan suatu pernyataan yang utuh dan menyeluruh dari seniman atau pelukis yang bersangkutan. Apalagi dengan corak dan gaya yang menjadi aliran dalam lukisannya senantiasa dipengaruhi pengalaman dan penghayatan batin seorang seniman atau pelukis terhadap lingkungan sosial-budayanya begitu erat bertautan dengan karya seninya. Pertautan antara lingkungan sosial-budaya dengan karya seorang pelukis tersebut akan melahirkan identitas individu. Identitas dapat digambarkan sebagai gejala yang timbul karena adanya interaksi antara pribadi seorang pelukis dengan lingkungannya. Identitas akan lahir setelah karyanya selesai diciptakan dan karya-karya itulah yang dapat dideteksi gejala-gejalanya setelah waktu panjang tetap bertahan dan akan kembali lahir secara alami, sehingga akhimya diyakini sebagai karya memilki ciri khas atau identitas. Pada akhirnya identitas ini secara akumulatif akan menjadi “penanda” atau simbol bagi pelukisnya yang ingin dikirimkan agar menarik untuk dimaknai oleh pengamatnya. Artinya, di samping pengetahuan mengenai teori-teori seni yang dimiliki oleh pengamat seni, dengan memperhatikan faktor-faktor pengaruh di atas akan sangat membantu dalam memaknai tanda atau simbol yang terdapat pada sebuah karya seni lukis.
commit to user
105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian dan Pendekatan 3.1.1 Jenis Penelitian Sesuai dengan hakikatnya, penelitian kajian budaya bersifat terbuka. Artinya, cara-cara pemecahannya sebagaimana terkandung dalam rancangan
penelitian,
seperti bab, subbab, teori, metode, dan teknik, termasuk judul, dimungkinkan bisa berubah setiap saat, sesuai dengan pengungkapan data di lapangan. Namun, komponennya seperti tujuan dan permasalahannya tetap relatif stabil (Ratna, 2010: 23). Perubahan itu, justru menunjukkan kualitas penelitian, karena menunjukkan, bahwa
peneliti
benar-benar
melakukan
penelitian
di
lapangan,
sehingga
pengungkapan datalah yang menentukan proses penyelesaian suatu penelitian bukan sebaliknya. Oleh karena itu, penelitian tentang makna simbolis diferensiasi karya seni lukis “Pasren” ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Denzim dan Lincoln menyatakan, bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai
metode
yang
ada.
Sedangkan Bogdan dan
Taylor
menambahkan, bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (Moleong, 2007: 4-5). Dengan demikian, penelitian kualitatif bukanlah penelitian yang menggunakan prosedur analisis statistik atau cara commit to user
106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kuantiatif berupa angka-angka, tetapi penelitian bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa.
3.1.2 Pendekatan Pendekatan (approach) adalah cara „mendekati‟ objek, sehingga karya budaya sebagai struktur makna dapat diungkpakan dengan jelas. Istilah lain yang dapat disejajarkan dengan pendekatan di antaranya: penghampiran, perspektif, titik pijak, dan dimensi atau dalam istilah populer „kaca mata‟ (Ratna, 2010: 45). Dengan demikian, pendekatan adalah penggunaan salah satu sudut pandang yang dianggap paling relevan sesuai dengan tujuan penelitian. Pendekatan
yang
baik
dengan
sendirinya
didasarkan
atas
berbagai
pertimbangan, misalnya atas dasar sifat-sifat objek, tujuan dan kemungkinan perolehan data. Berdasarkan pertimbangan itu dan sesuai dengan hakikat metode analisis penelitian kualitatif, maka penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika. Pendekatan ini memungkinkan seseorang bebas menafsirkan karya seni lukis menurut pemahamannya sendiri secara kritis. Dalam hal ini, apabila karya seni lukis dianggap sebagai teks, maka hubungan antara teks dan penonton bersifat interaktif yakni pembaca mendekati teks dengan harapan dan antisipasi tertentu yang dimodifikasi dalam pembacaan yang digantikan oleh „proyeksi baru‟. Pemahaman selalu berasal dari posisi dan sudut pandang orang yang memahami, tidak sekedar melibatkan reproduksi makna tekstual, namun juga produksi makna baru oleh commit to user
107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembacanya, demikian menurut Gadamer dan Iser (Barker, 2000: 288). Dengan demikian, kebudayaan sebagai basis produktivitas karya seni merupakan medan ekspresi lewat simbol-simbol yang dalam dari agama, kesenian dan harapan manusia. Artinya, tema-tema filsafati hermeneutika memberi makna praktis langsung untuk kembali menyadari keniscayaan dan perlunya menafsirkan simbol-simbol budaya, ekspresi dari hidup sehari-hari, dalam rangka merawat perspektif yang luas dari tanggung jawab kemanusiaan (Poespoprodjo, 2004: 6). Dalam hal ini, hermeneutika dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menafsirkan makna simbolis diferensiasi karya seni lukis “Pasren” secara filosofis dan mendalam.
3.2 Metode Penelitian Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Sebagai jenis penelitian kualitatif, maka penelitian kajian budaya didasarkan atas paradigma yang relevan dengan metode dan pendekatan. Paradigma merupakan sistem anggapan dasar yang mengarahkan peneliti dalam menentukan metode penelitian. Artinya, paradigma adalah seperangkat keyakinan mendasar, semacam pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun tidakan-tindakan manusia, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun karya ilmiah. Paradigma membatasi sekaligus memperluas objek dan mengarahkan pada perumusan masalah dengan cara pemecahannya (Ratna, 2010: 38-39). Oleh karena itu, penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma Tafsir Kebudayaan. Sesuai hakikat keilmuan, Tafsir Kebudayaan sebagai teori yang dianut oleh Clifford Geertz, bahwa kebudayaan adalah sistem simbol, maka dalam prosesnya harus dipahami, commit to user
108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diterjemahkan dan ditafsir. Dengan pemahaman itu, maka teori tafsir dapat menemukan makna. Rekonstruksi makna dibuat dibuat oleh penafsir, karena karya seni lukis sebagai produk kebudayaan dipandang sebagai fenomena teks dan bersifat hermeneutis. Penelitian bersifat terbuka, perubahan dianggap sebagai nilai tambah, bukan kegagalan. Oleh karena itulah penelitian tidak menggunakan hipotesis dan variabel yang dirinci secara eksplisit, maka teori tafsir di samping sebagai teori utama (grand theory), perlu menggunakan teori pendukung yang lain. Teori pendukung yang digunakan adalah teori estetika dan teori semiotika. Kedua teori pendukung ini sama-sama membantu dalam menganalisis bentuk luar karya seni lukis. Teori estetika adalah teori keindahan berfungsi untuk menganalisis struktur luar atau komposisi suatu lukisan terdiri dari unsur kesatuan (unity), unsur keseimbanagan (balance) dan unsure irama (ritme). Sementara teori semiotika merupakan suatu teori formal yang disesuaikan dengan hakikat objek, yakni seni lukis yang dianalogikan sebagai teks bahasa (baca: bahasa rupa) dan sebagai sistem tanda dan simbol yang perlu dimaknai secara bebas atau arbitrair (semena-mena). Tanda adalah kesatuan signifie (petanda) dan signifiant (penanda) yang merupakan citra akustis dari sistem tanda bahasa bersifat abstrak yang tersimpan dalam otak (Zoest, 1992: 59). Dengan demikian, semiotika adalah suatu aksi, suatu pengaruh yang merupakan atau melibatkan kerja bersama antara tiga subjek, yaitu tanda, objeknya dan interpretannya (Eco, 2009: 20). Dengan demikian, estetika dan semiotika sebagai teori pendukung adalah sangat tepat digunakan dalam penelitian dengan metode kualitatif, karena metode kualitatif sangat memberikan perhatian pada kedalaman informasi dan menggali commit to user
109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
makna di balik gejala atau fenomena budaya. Oleh karena itu, baik teori utama maupun teori pendukung akan berfungsi menjadi alat membedah makna simbolis karya seni lukis “Pasren” sebagai suatu fenomena karya budaya.
3.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Klaten. Klaten merupakan wilayah kabupaten termasuk eks. Karesidenan Surakarta, Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Klaten terletak di lintasan antara dua „kota budaya‟ Yogyakarta dan Solo (Surakarta). Berdasarkan data monografi tahun 2011, Kabupaten Klaten luas wilayahnya 65.556 Ha dan penduduknya berjumlah 1.307.562 jiwa. Penduduk Kabupaten Klaten merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beberapa kelompok suku (etnis), antara lain: suku Jawa, yang merupakan mayoritas penduduk asli dan suku etnis pendatang, yaitu suku Cina, suku Arab, suku Sunda, suku Irian, dan kelompok suku yang lain yang telah memiliki kewarganegaraan Indonesia.
3.2.2 Bentuk dan Strategi Penelitian Bentuk penelitian adalah deskriptif kualitatif dan strategi penelitian menganut grounded theory, yaitu dengan menggunakan data lapangan sebagai teori dari bawah kemudian dianalisis dan teori disesuaikan dengan objek penelitian. Tegasnya grounded theory terpisah dengan teori utama (grand theory) dan teori pendukung lainnya pada saat pengambilan data di lapangan. Artinya, ketika terjun di lapangan, peneliti menanggalkan terlebih dahulu semua perangkat teori, setelah mendapatkan cukup banyak data yang dibutuhkan, kemudian dilakukan proses analisis data untuk commit to user
110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendapat data yang benar-benar sesuai dengan objek penelitian dan teori-teori yang digunakan dalam penelitian . Berdasarkan strategi penelitian seperti itu, dapat dibuat sebuah model berupa alur penelitian, sehingga tampak jelas hubungan antara unsur-unsur yang terkait dengan metodologi penelitian. Alur penelitian tentang makna simbolis diferensiasi karya seni lukis “Pasren” di Kabupaten Klaten, diawali dari adanya fenomena budaya berupa perbedaan corak dan gaya karya seni lukis “Pasren”. Dengan melalui wawancara mendalam dengan pelukisnya. Berdasarkan hasil wawancara mendalam itu, dimungkinkan ada latar belakang sosial-budaya yang mempengaruhinya. Latar belakang itu disinyalir dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan internal dan pengaruh eksternal. Pengaruh internal berasal dari dalam diri pelukisnya yang berupa pengetahuan atau wawasan seni, ideologi, kekuatan talenta dan ketrampilan berkarya. Di samping itu, pengalaman dan keterlibatan pelukis “Pasren” dalam memahami
gejala-gejala
sosial-budaya
masyarakat
sekitarnya
juga
ikut
mempengaruhi secara internal. Sedangkan pengaruh eksternal berasal dari luar diri pelukisnya yang berupa latar belakang kehidupan sosial-budaya yang berada di luar diri pelukis, namun dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung dalam proses terbentuknya corak dan gaya pelukis “Pasren”. Berangkat dari pengaruh-pengaruh itu pula dapat melahirkan diferensiasi karya seni lukis “Pasren”. Sesuai rumusan masalah, dalam penelitian ini akan mendeskripsikan latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofis, perwujudan keperbedaan dalam keragaman dan makna keperbedaan karya seni lukis “Pasren” Untuk lebih jelasnya, gambaran alur penelitian ini dapat disajikan dengan model penelitian sebagai berikut. commit to user
111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengaruh Internal
Pengaruh Eksternal
Karya Seni Lukis
Diferensiasi Karya Seni Lukis “Pasren”
Perwujudan Keperbedaan dalam keragaman
Pemikiran, Ideologi, dan Filosofis
Makna Keperbedaan
Keterangan : Hubungan langsung satu arah : Hubungan langsung dua arah
Gambar III.1 Diagram Model Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi pemaknaan nilai simbolis karya seni lukis dari sebagian anggota “Pasren”. Namun untuk memberikan gambaran keragaman corak dan gaya lukisan, maka sesuai dengan metodenya akan diambil sampel beberapa lukisan yang teridentifikasi berdasarkan kriteria keragaman corak dan gaya karya latar belakang sosial-budaya dari pelukis anggota “Pasren”. Selanjutnya, untuk memperjelas alur metodologis dan tahapan-tahapan penelitian tentang diferensiasi karya seni lukis ”Pasren” di Kabupaten Klaten dapat ditampilkan dalam bentuk bagan proses analisis data secara interaktif dapat dibuat bagan sebagai berikut.
commit to user
112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengumpulan Data Reduksi Data
Sajian Data
Verifikasi/ Penyimpulan Gambar III.2 Bagan Metode Interatif (Milles dan Haberman, 1993: 18)
Berdasarkan bagan di atas, alur tahapan-tahapan penelitian diawali dengan pengumpulan data secara umum mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keragaman karya seni lukis ”Pasren”. Kemudian dari data umum tersebut disajikan untuk diverifikasi atau disimpulkan. Namun, sebelum diverifikasi, untuk mendapatkan sajian data yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka sajian data perlu disunting atau direduksi sesuai dengan topik dan permasalahan yang diteliti. Reduksi data dilakukan secara terus-menerus dan bertahap menggunakan teknik interaktif (interactive model of analysis) untuk mendapatkan data-data yang lebih akurat mengenai keragaman karya seni lukis ”Pasren”. Dari hasil reduksi yang berkesinambungan itu, maka pada akhirnya dari sajian data dapat ditarik kesimpulan.
3.2.3. Sumber Data 3.2.3.1 Informan Untuk mendapatkan informasi tentang data-data di lapangan, maka ditentukan beberapa wakil kelompok yang disebut informan atau narasumber. Informan yang commit to user
113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baik adalah mereka yang telah cukup lama berada dalam kebudayaannya, sehingga menguasai situasi dan kondisi lokasi yang dijadikan objek penelitian. Untuk mendapatkan data-data yang akurat, maka ditentukan dua jenis informan yakni informan pangkal dan informan kunci. Informan pangkal pada umumnya satu orang, yang namanya sudah diketahui oleh peneliti terlebih dahulu. Melalui informan pangkal ini, akan ditentukan narasumber lain. Dengan demikian, informan pangkal merupakan petunjuk teknik bola salju untuk menjadi petunjuk bagi informan-informan yang lain secara berantai. Sementara, informan kunci adalah narasumber utama (bisa lebih dari satu orang) dengan nama-nama dan keahliannya masing-masing yang diperkirakan dapat memberikan informasi yang memadai terhadap objek penelitian. Informan pangkal dalam penelitian ini, peneliti menentukan seorang ketua bidang humas “Pasren”, karena dianggap yang bersangkutan termasuk tipe orang yang suka bergaul dan sangat mengenal dengan narasumber yang lain. Sementara informan kunci ditentukan beberapa pelukis “Pasren” yang sudah banyak memproduksi lukisan dan mengikuti pejalanan waktu yang relatif lama.
3.2.3.2 Arsip/ Dokumen Arsip/ dokumen berupa beberapa jenis dokumen yang berkaitan dengan dokumen yang ada di lapangan baik formal dan informal. Dokumen formal berupa surat-surat resmi, misalnya surat keputusan yang berkaitan dengan sejarah dan ijin pendirian organisasi “Pasren”. Dokumen informal berupa notulen rapat, kumpulan commit to user
114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
katalog pameran, foto-foto dokumen kegiatan, dan catatan-catatan lainnya yang mendukung. 3.2.3.3 Tempat Kegiatan Tempat kegiatan para pelukis anggota “Pasren” sebagai tempat untuk mengambil data dilakukan di dalam dan di luar Kabupaten Klaten. Hal ini, karena para anggota „Pasren” ada yang berdomisili di luar tempat lokasi penelitian. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan peneliti perlu kunjungan di luar daerah Kabupaten Klaten. Untuk yang berada di dalam daerah kabupaten, penelitian dilakukan di beberapa tempat, antara lain di Sekretariat “Pasren”, Jalan Cemara No.14 Klaten, di rumah-rumah para pelukis “Pasren” di Klaten, di Skretariat Dewan Kesenian Klaten dan Kantor Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Klaten. Sedangkan yang di luar daerah Klaten dilakukan di rumah-rumah pelukis yang ditunjuk sebagai koordinator luar daerah.
3.2.4 Teknik Pengumpulan Data 3.2.4.1 Wawancara Mendalam (In-Depth Interviewing) Wawancara mendalam dengan dilakukan terlebih dahulu menentukan sejumlah informan berdasarkan kriteria tertentu dalam rangka memperoleh data mengenai objek penelitian. Dengan pengklasifikasian informan tersebut akan mempermudah memperoleh data yang diharapkan. Penentuan kriteria informan dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, ketua dan sekretaris organisasi untuk mengambil data berkaitan dengan aktivitas kegiatan organisasi; commit to user
115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kedua, sesepuh dan pembina organisasi, diperlukan untuk menggali data sejarah dan latar belakang pendirian “Pasren”; dan ketiga, menentukan pelukis anggota “Pasren” berdasarkan corak dan gaya lukisannya bertujuan untuk menggali makna.
3.2.4.2 Observasi Langsung Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran umum idioantropologis berdasarkan hasil karya lukis dan pelukisnya. Observasi formal dilakukan di sekretariat “Pasren”, lembaga-lembaga resmi pemerintah kabupaten seperti di Dewan Kesenian Klaten dan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga. Observasi informal dilakukan di rumah-rumah anggota “Pasren” yang memiliki datadata pendukung. Diskusi kelompok dilakukan dengan mengumpulkan jumlah informan. Informasi diperoleh melalui hasil diskusi tersebut. Teknik di atas ditunjang dengan sejumlah instrumen yang relevan, seperti pedoman wawancara, alat rekam, kamera foto, scanner, alat-alat untuk mencatat, dan sebagainya. Instrumen penting penelitian adalah peneliti sendiri dengan peralatan utama yang disebut sebagai pemahaman. Pengumpulan data dianggap selesai apabila data yang diperoleh sudah memadai.
3.2.4.3 Analisis Dokumen (Content Analysis) Teknik analisis dokumen dilakukan dengan cara mengkaitkan antara satu jenis dokumen satu dengan dokumen yang lain yang ada di lapangan baik dokumen formal dan informal. Untuk memanfaatkan dokumen yang padat isi biasanya digunakan teknik content analysis atau disebut juga kajian isi. commit to user
116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kajian isi adalah proses sistematis, maka peneliti terlebih dahulu menetapkan aturan yang akan dipakai sebagai pedoman dalam menganalisis dokumen. Dengan demikian, proses harus mengikuti aturan. Setiap langkah analisis yang dilakukan atas dasar aturan dan prosedur yang disusun secara eksplisit. Aturan itu harus berasal dari kriteria yang ditentukan dan prosedur yang ditetapkan. Oleh karena itu, langkah yang ditempuh adalah pengkategorian dokumen. Pengkategorian ini merupakan langkah penting sekali dan harus mengikuti aturan-aturan tertentu. Setidaknya ada lima aturan yang harus diikuti dalam pengkategorian, antara lain: (1) kategori harus berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian, (2) kategori itu harus tuntas. Artinya, setiap data dapat ditempatkan pada salah satu kategorinya, (3) kategori harus tidak saling tergantung. Artinya, tidak boleh ada satu pun isi data yang bisa masuk ke dalam lebih dari satu kategori, (4) kategori harus bebas. Pemasukan data dengan cara apa pun tidak boleh mempengaruhi klasifikasi data lainnya, dan (5) kategori harus diperoleh atas dasar prinsip klasifikasi tunggal, Jika ada derajat analisis tingkatannya berbeda, hendaknya dipisahkan. Analisis berikutnya yang akan mengadakan pengkajian harus menggunakan aturan yang sama, prosedur yang sama, dan kriteria yang juga sama, sehingga dapat menarik kesimpulan yang sama pula. Penarikan kesimpulan harus berdasarkan isi suatu dokumen yang termanifestasikan.
3.2.4.4 Teknik Cuplikan Berdasarkan objek penelitian berupa karya-karya seni lukis dan bukan karya sastra yang berupa tulisan, maka dalam penelitian tidak menggunakan teknik commit to user
117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cuplikan berupa teks, tetapi menggunakan sampel purposif. Penggunaan sampel purposif dimaksudkan untuk menentukan karya seni lukis dan subjek (informan) yang relevan dengan masalah penelitian. Dalam menentukan sampel tidak diarahkan pada jumlah yang besar (populasi) seperti halnya penelitian kuantitatif, melainkan didasarkan pada kekhususan (kasus). Dengan demikian teknik purposif ini dapat disebut juga teknik judgment (Kerlinger dalam Ratna, 2010: 215), karena untuk menguji berbagai pertimbangan dari populasi dengan tujuan untuk memperoleh informasi secara selektif. Mengingat banyaknya jumlah objek karya seni lukis “Pasren”, maka dalam penelitian ini akan ditentukan jumlah sampel sebanyak 23 karya seni lukis yang teridentifikasi berdasarkan corak dan gaya yang berada dalam organisasi “Pasren”.
3.2.4.5 Validasi Data Validasi data dilakukan untuk menetapkan dan mendapatkan keabsahan data. Dalam penelitian ini, validasi data akan dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan pemeriksan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dengan cara membandingkan (Moleong, 2007: 330). Oleh karena itu, berdasarkan sumber data dalam penelitian ini, maka untuk mendapatkan keabsahan data dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat keterpercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Cara membandingkan itu dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, (2) commit to user
118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, (3) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu, (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan, dan lain-lain, dan (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dengan cara ini, maka akan didapatkan persamaan dan perbedaan pandangan, pendapat atau pemikiran sehingga bisa mendukung keabsahan data. Kalau pun terjadi perbedaan-perbedaan, yang penting adalah bisa mengetahui adanya alasan-alasan bisa diterima menambah keabsahan data.
3.2.4.6 Teknik Analisis Menurut Moleong (2007: 288), secara umum proses analisis data mencakup tiga langkah, yakni reduksi, kategorisasi, sintesisasi, dan menyusun „hipotesis kerja‟. Sesuai dengan permasalan dalam penelitian ini, lebih jelasnya langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Reduksi Data a.
Identifikasi satuan (unit). Pada mulanya diidentifikasikan adanya satuan karya seni lukis yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam data pada berbagai corak dan gaya seni lukis “Pasren” yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian. commit to user
119
perpustakaan.uns.ac.id
b.
digilib.uns.ac.id
Sesudah satuan diperoleh, langkah berikutnya adalah membuat koding. Membuat koding berarti memberikan kode pada setiap „satuan‟ karya seni lukis “Pasren”, agar supaya tetap dapat ditelusuri data/satuannnya, berasal dari sumber yang mana.
2) Kategorisasi a.
Menyususun kategori, adalah upaya memilah-milah setiap satuan karya seni lukis “Pasren” ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan corak dan gayanya.
b.
Setiap kategori diberi nama yang disebut „label‟ lukisan.
3) Sintesisasi a.
Mencari kaitan antara satu kategori lukisan dengan kategori lukisan lainnya.
b.
Kaitan satu kategori lukisan dengan kategori lukisan lainnya tersebut diberi nama/ label lagi.
4) Menyusun „Hipotesis Kerja‟ Setelah ketiga langkah sudah selesai, langkah terakhir yaitu merumuskan suatu pernyataan mengenai keperbedaan dalam keberagaman karya seni lukis “Pasren” yang proporsional. Hipotesis kerja ini sudah merupakan substantif, yaitu teori yang berasal dan masih terkait dengan data. Perlu diperhatikan, bahwa „hipotesis kerja‟ itu hendaknya terkait dan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian.
commit to user
120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.2.5. Teknik Penyajian Hasil Analisis Hasil analisis disajikan secara informal dan secara deskriptif yaitu melalui kata-kata, kalimat, dan bentuk-bentuk narasi yang lain. Penyajian secara formal baik melalui diagram maupun tabel hanya bersifat sebagai pelengkap. Secara keseluruhan hasil penelitian disajikan dalam bab-perbab dilengkapi dengan indeks dan lampiranlampiran lain yang diperlukan.
commit to user
121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV KEBERAGAMAN DAN PEMAKNAAN KARYA SENI LUKIS “PASREN” DI KABUPATEN KLATEN
4.1 Gambaran Umum Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Klaten 4.1.1 Profil Kabupaten Klaten Asal mula kata “klaten” berasal dari kata “melati” kemudian berubah menjadi “mlati” dan berubah lagi menjadi kata “lati” yang akhirnya banyak orang memakai istilah “klati” sehingga untuk memudahkan ucapan, kata “klati” dilafalkan menjadi “klaten” (Priyambodo, 1992:6). Menurut beberapa sumber tidak tertulis, bahwa Melati adalah nama seorang Kyai yang datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara kurang lebih 550 tahun yang lalu dan setelah meninggal dunia jasadnya dimakamkan di tempat itu. Menurut Ibu Sudarti Karyosentono (70 tahun) seorang juru kunci makam kuno tersebut, mengisahkan, bahwa Kyai Melati memiliki nama lengkap Kyai Melati Sekolekan menetap di tempat itu, sehingga akhirnya banyaklah pula orang yang bertempat tinggal di sekitarnya. Orang yang bertempat di sekitarnya amat hormat terhadap Kyai Melati, karena Kyai Melati termasuk seorang yang berbudi luhur dan sangat sakti. Berkat kesaktiannya, maka dukuh baru ini aman dari gangguan orang jahat. Pada waktu Kyai Melati meninggal dunia, jasadnya dikuburkan di dekat tempat tinggalnya. Sebagai bentuk penghormatan penduduk commit to user
122
perpustakaan.uns.ac.id
setempat
digilib.uns.ac.id
terhadap Kyai Melati, maka dukuh yang mula-mula Kyai Melati
bertempat tinggal diberi nama Klaten. Dari tahun ke tahun Klaten semakin menjadi padat penduduknya. Daerahnya pun makin luas, sehingga berubah menjadi sebuah kota yang ramai. Dengan terbentuknya kota Klaten ini, daerah sekitarnya pun tumbuh dukuhdukuh baru, seperti dukuh Jonggrangan yang dahulu hanya berupa suatu pohonpohon besar dan kini terkenal dengan nama dukuh Gempur, dukuh Dayekan yang didirikan oleh Kyai Kaji, yang kini terletak di desa Pandes Kecamatan Wedi dan lain-lain. Beberapa tahun setelah Kyai Melati meninggal dunia, dan seiring desa Klaten berkembang menjadi kota, oleh penduduk yang bertempat tinggal disekitar makam Kyai Melati, desanya diberi nama Sekolekan, sesuai dengan nama Kyai Melati Sekolekan. Kata Sekolekan kemudian berubah menjadi Sekalekan. Sampai saat ini desa Sekalekan masih ada, yaitu desa tempat Kyai Melati dimakamkan. Makam ini dikeramatkan dan sampai sekarang masih diziarahi
oleh
orang-orang
dari
dalam
maupun
luar
Klaten,
sebagai
penghormatan terhadap orang yang pertama kali bertempat tinggal di tempat itu dan sekaligus sebagai cikal bakal orang yang mendirikan daerah Klaten. Di samping sebagai wujud penghormatan, tidak jarang para peziarah juga mempunyai maksud lain, dalam istilah Jawa mempunyai pinuwun terhadap arwah Kyai Melati tersebut setelah melaui ijin juru kunci makam (Sudarti Karyosentono, Wawancara: Jum‟at, 13 Januari 2012).
commit to user
123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.1 Makam Kyai Melati, cikal bakal Klaten (Sumber: Foto Waluya, 13 Januari 2012)
Sudah sejak dahulu daerah Klaten termasuk salah satu kadipaten (kabupaten) daerah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Kadipaten itu terdiri dari beberapa distrik yang dipimpin oleh seorang adipati (bupati) yang dibantu beberapa pejabat bawahannnya, seperti: kliwon, mantri jeksa, mantri kabupaten, mantri pembantu, mantri distrik, pengulu, dua carik kabupaten, lurah langsir dan langsir. Selanjutnya di setiap distrik dipimpin oleh lima pejabat yang tersusun sebagai berikut: 1 orang pamong distrik, 5 orang mantri distrik, 2 orang carik kepanawon, 5 carik kemantren dan 15 kajineman. Pada jaman penjajahan Belanda susunan kepemimpinan di dalam kabupaten maupun distrik agak berubah. Apalagi setelah tanggal 11 Desember 1749 dengan Akte van Afstand en overgave van het Mataramscherijk (Akte pelepasan dan penyerahan kerajaan Mataram) dari Paku Buwono II kepada pihak Belanda, maka Belanda menjadi Sauvareing atas daerah Mataram.
Dengan
commit to(I.S.) user oleh pemerintah Belanda, maka dikeluarkannya Indische Staatsregeling
124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berdasakan pasal 16 I.S untuk Jawa dan Madura, semua propinsi dibagi atas kabupaten-kabupaten, sedangkan tiap-tiap kabupaten dibagi atas distrik-distrik (pasal 127 I.S.). Tiap-tiap distrik dikepalai oleh seorang wedono (pasal 127 ayat 2 I.S.) yang langsung diangkat oleh gubernur, dan sekaligus berfungsi sebagai pembantu bupati. Wedono langsung di bawah perintah bupati, tetapi kadangkadang wedono dengan perantaraan bupati menerima pula perintah-perintah dari residen, asisten residen atau Jaksa (pasal 36 I.S.40 H.I.R.). Kemudian pada tahun 1918, oleh pemerintah Belanda, untuk memudahkan pekerjaannya di dalam bidang agraria, terutama di dalam hal persewaan areal tanah, mencari tenaga
kerja
dan
lain
sebagainya
untuk
kepentingan-kepentingan
ondernemingnya, maka dibentuklah daerah-daerah onderdistrik yang masingmasing dikepalai oleh asisten wedono. Asisten wedono ini berfungsi sebagai pembantu kepala distrik. Dengan adanya kabupaten itu, yang semula adalah berfungsi sebagai peran:tara di dalam soal pemerintahan antara daerah-daerah bagian dari wilayah Surakarta, tetapi dengan adanya perkembangan dalam bidang ketataprajaan, ,
maka diadakan penyederhanaan pada tahun 1847 mengenai bentuk kabupaten
yang kemudian diubah menjadi kabupaten pulisi.. Maksud pembentukan kabupaten
pulisi
ialah
disamping
kabupaten
itu
menjalankan
fungsi
pemerintahan, ditugaskan pula agar kabupaten dapat menjaga ketertiban dan keamanan dengan ditentukan batas-.batas kekuasaan wilayahnya yang meliputi tanah kabupaten dan daerah perbatasan. commit to user
125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pembentukan daerah pulisi ini dapat diketahui melalui Nawala Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senopati Ing Alogo Abdul Rahman Sayidin Panata Gama VII pada hari Senin Legi tanggal 23 bulan Djumadilakir tahun Dal 1775 atau tanggal 5 Juni 1847 M, yang tercantum dalam bab 13, berbunyi: (1) "… Kraton Dalem Surakarta Adiningrat nganakake kabupaten cacah enem”, (2) “… Kabupaten cacah enem iku Nagara Surakarta, Kartasura, K1aten, Boyolali, Ampel lan Sragen” dan (3) “…Para tumenggung berkewajiban rumeksa asih tata tentreme bawahe dewe-dewe serta pada ke bawah marang raden adipati.”. Semenjak terbentuknya Kabupaten Klaten hingga sekarang, luas daerah Klaten selalu berubah-ubah. Perubahan-perubahan itu terjadi masih dalam lingkungan daerah Surakarta sendiri. Dengan demikian adanya perubahan luas daerah itu sifatnya hanya beralihnya sebagian daerah dari satah satu kabupaten kepada kabupaten lainnya. Daerah Kabupaten Klaten sebelum tahun 1893 adalah tanpa Kecamatan Jatinom dan Kecamatan Polanharjo. Sesudah tahun 1893 Kabupaten Klaten mendapat penambahan dua daerah dari daerah Kabupaten Boyolali, yaitu daerah Kapanewon distrik Jatinom dan Koripan. Hal ini terjadi di dalam pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.75 tanggal 28 Maulud 1825 atau tanggal 11 Oktober 1895 M, maka untuk Kabupaten Boyolali diadakan pengurangan luas daerahnya dan sebagian diantranya dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Klaten. Hingga sampai saat ini, Kabupaten Klaten terdiri dari 5 kawedanan, 23 kecamatan dan 401 desa.
commit to user
126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten sebagai wilayah daerah otonom dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1950. Struktur pemerintahan otonom Kabupaten Klaten didasarkan atas Undang-undang No. 22 tahun 1948, yakni bupati adalah seorang kepala daerah kabupaten yang dalam menjalankan tugas sehari-hari didampingi oleh Dewan Pemerintah Daerah Tingkat II. Sementara itu, karena adanya perkembangan dalam bidang pemerintahan, terutama pemerintah daerah, maka dianggaplah Undang-undang No. 22 tahun 1948 sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan baru, sehingga lahirlah Undang-undang No.1 tahun 1957 untuk mengakomodir kedaan dan perkembangan pemerintahan daerah. Sebagai bagian dari kawasan wilayah kebudayaan, Kabupaten Klaten terletak di lintasan antara dua „kota budaya‟ Yogyakarta dan Solo (Surakarta) Popinsi Jawa Tengah seperti tampak pada gambar IV.2 berikut ini.
Gambar IV.2 Peta Letak Kabupaten commit to Klaten user di Propinsi Jawa Tengah (Sumber: BPS Kab. Klaten, 2011)
127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan data monografi tahun 2010, Kabupaten Klaten luas wilayahnya 65.556 Ha, terdiri dari lahan pertanian sawah 36.781 Ha, bukan sawah 6.383 Ha dan selebihnya untuk pemukiman penduduk, pertokoan, dan tempat industri. Secara geografis, kondisi iklim kabupaten Klaten sub tropis, terletak antara 110.30˚- 110.45 ̊ bujur timur dan antara 7.30 ̊- 7.45 ̊ lintang selatan. Wilayah Kabupaten Klaten terbagi atas tiga dataran, yakni sebelah utara merupakan dataran lereng gunung Merapi, sebelah timur membujur ke barat termasuk dataran rendah dan sebelah selatan merupakan dataran gunung kapur. Kondisi geografis itu memberikan karakter tanah di setiap wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, seperti tampak pada gambar IV.3 berikut ini.
Gambar IV.3 Peta Geografis Wilayah Kabupaten Klaten (Sumber: BPS Kab. Klaten, 2011)
Daerah sekitar gunung Merapi yaitu di sebelah barat laut yang meliputi daerah Kecamatan Manisrenggo, Kecamatan Kemalang, sebagian daerah commit to user
128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kecamatan Prambanan, dan Kecamatan Jogonalan, tanahnya terdiri dari pasir yang tercampur dengan tanah ladu. Jenis tanah semacam ini hanya cocok ditanami dengan kacang tanah, kedelai, kacang panjang, jagung, ketela rambat dan sebagainya. Sementara tanah yang 100% merupakan tanah pasir dengan tidak tercarnpur tanah ladu ialah daerah-daerah yang kerap kali kebanjiran lahar dingin dari kali Woro dan sungai-sungai lainnya yang dilewati air bercampur pasir. Daerah-daerah ini sangat cocok ditanami waluh dan buah semangka. Daerah sebelah selatan, ialah daerah-daerah yang termasuk kecamatan Bayat, Kecamatan Cawas, Kecamatnn Karangdowo, Kecamatan Pedan, Kecamatan Trucuk dan Kecamatan Wedi bagian selatan, daerah ini bertanah lincat. Tanah lincat ini pada musim kemarau hanya cocok ditanami jagung dan ca.ntel, tetapi pada musim penghujan tanah-tanah seperti ini baik sekali ditanami padi. Jenis ketiga dari tanah-tanah di daerah Kabupaten Klaten ialah tanah yang meliputi Kecamatan Bayat dan Kecamatan Cawas yang berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul, tanah di sini berjenis tanah kapur (kalkgrond). Daerah ini baik sekali untuk ditanami jagung, cantel dan koro. Di samping itu, masih terdapat bagian daerah lainnya selain daerah yang tersebut diatas adalah terhitung tanah subur yang dapat ditanami dengan berbagai macam tanaman baik untuk bahan makanan maupun bahan ekspor, seperti tembakau, tebu, rosella dan kopi. Berdasarkan data di Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Klaten tahun 2011, penduduknya berjumlah 1.307.562 jiwa, terdiri dari laki-laki 640.187 jiwa dan commit to user
129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perempuan berjumlah 667.375 jiwa. Mata pencahariannya sebagian besar sebagai petani, selebihnya adalah Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, wiraswasta, pedagang, pertukangan, usaha jasa, buruh, dan pensiunan. Penduduk Kabupaten Klaten merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beberapa kelompok suku (etnis), antara lain: suku Jawa, yang merupakan mayoritas penduduk asli dan suku etnis pendatang, yaitu suku Cina, suku Arab, suku Sunda, suku Irian, dan kelompok suku yang lain yang telah memiliki kewarganegaraan Indonesia. Data statistik menunjukkan jumlah pemeluk agama Islam 93,19%, Katholik 3,17%, Kristen 2,83%. Hindu 0,75% dan Budha 0,05%. Namun demikian dalam kehidupan sosial agama masyarakat Klaten terjadi hubungan yang harmonis; saling bertoleransi. Kondisi sosial-budaya seperti itu memungkinkan terbentuknya kreativitas dan aktivitas masyarakat kabupaten Klaten.
4.1.2 Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Klaten Sesuai dengan kondisi geografisnya, kehidupan sosial-budaya penduduk Kabupaten
Klaten
diwarnai
dengan
system
kehidupan
agragris
yang
bermatapencaharian pertanian dan perkebunan. Di samping itu, Kabupaten Klaten memiliki sentra-sentra industri kerajinan rakyat sebagai basis budaya masyarakat, seperti kerajianan kain tenun, kerajinan payung kertas, kerajinan kayu, kerajinan bambu, kerajinan tanduk, kerajinan batik, lurik, kerajinan gerabah, pengecoran logam dan pande besi. Bidang kehidupan lain yang tidak kalah pentingnya di Kabupaten Klaten adalah bidang pendidikan, perdagangan, adat-istiadat, ritual keagamaan dan pengelolaan peninggalan kebudayaan. Untuk memberikan gambaran commit to user
130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
umum tentang kehidupan sosial-budaya Kabupaten Klaten tersebut, maka dapat diuraikan sebagai berikut.
4.1.2.1 Kehidupan Pertanian Petani di daerah Klaten tidaklah semuanya merupakan petani murni dalam arti, bahwa mereka mempunyai sawah dan alat pertanian yang modern. Petani di daerah Klaten bermacam-macam, sesuai dengan keadaan subur atau kurang subur (minus) daerahnya masing-masing. Hal ini perlu dikemukakan sebagai bahan pemikiran pula, karena sudah menjadi kenyataan, bahwa di kecamatan-kecamatan yang merupakan daerah subur, para petani tampak lebih maju jika dibandingkan dengan temantemannya dari daerah yang kurang subur tampak memprihatinkan. Para buruh tani didaerah-daerah subur, pada akhir panen selalu dapat menabung dari sebagian pendapatannya selama memburuh. Bahkan, banyak buruh tani ini yang dapat sedikit demi sedikit dari tabungannya membeli sebidang sawah. Berbeda dengan temanteman petani di daerah minus tidak dapat berbuat demikian, karena kebanyakan dari hasil panennya berupa palawija. Ketika dijual dan kemudian dibelikan beras, maka terdapatlah perbedaan yang menyolok. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka petani didaerah Klaten dibagi dalam beberapa macam golongan petani, berikut ini. (1) Petani Kenceng (kuli kenceng), yaitu petani yang mempunyai pekarangan untuk perumahannya serta memiliki sawah. Jenis petani ini adalah termasuk golongan petani sempurna, karena mereka selain memiliki pekarangan untuk tempat tinggal dan sawah, mereka juga termasuk petani yang memiliki beberapa alat pertanian pula seperti luku dengan sapi/kerbaunya, cangkul, dan commit to user
131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lain-lain. Apabila mereka tidak mempunyai ala-alat pertanian tersebut, biasanya mereka memburuhkan kepada orang lain atau dapat pula mereka menempuh jalan menyewakan sawahnya kepada orang lain, tetapi sawahnya itu tetap dikerjakan oleh sipemilik sendiri atau orang lain dan nanti hasilnya dibagi menurut perjanjian yang layak. Petani kenceng di Klaten banyak terdapat didaerah yang tanahnya subur, yang sampai saat ini semuanya hampir mencapai kurang lebih 70.000 orang; (2) Petani Setengah Kenceng (kuli separo), yaitu petani yang hanya memiliki pekarangan saja. Baik pekarangan itu untuk rnendirikan rumahnya maupun pekarangan untuk bercocok tanam palawija. Mereka tidak mempunyai sawah, tetapi mereka mempunyai alat-alat pertanian. Pekerjaan mereka adalah memburuh pada petani pemilik sawah. Petani semacam ini di daerah Klaten kirakira berjumlah kurang lebih 80.000 orang; (3) Petani Gundul, yaitu petani yang tidak mempunyai pekarangan, tetapi mereka memiliki sebidang sawah. Sehingga untuk tempat tinggalnya, sering petani dari golongan ini menumpang dipeka rangan orang lain atau menyewa tanah untuk mendirikan rumahnya. Petani gundul didaerah Klaten kurang lebih berjumlah 10.000 orang; (4) Petani Ngindung, yaitu seorang petani yang tidak mempunyai pekarangan dan tidak mempunyai sawah. Petani ini mempunyai rumah yang didirikan di atas pekarangan orang lain. Petani ini pekerjaannya berburuh kepada petani pemilik tanah, karena petani ngindung juga memiliki alit-alat pertanian. Di daerah Klaten, petani ngindung dapat dikatakan. banyak jumlahnya, yaitu commit to user
132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hampir mencapai 50.000 orang; (5) Petani Templek, yaitu petani yang tidak punya apa-apa, baik pekarangan, sawah maupun rumah. Mereka menumpang atau mondhok di rumah orang lain. Mereka sudah mempunyai alat-alat ru mah tangga dan alat-alat pertanian. Di Klaten, jumlah petani semacam ini tidak begitu banyak, hanya lebih kurang 10.000 orang; (6)
Petani Tlosor, yaitu petani dari golongan yang sama sekali tidak
mempunyai apa-apa. Mereka kebanyakan petani yang sudah berkeluarga dan mondok ditempat orang lain. Petani tlosor ini biasanya hidup merantau ketika daerahnya sudah selesai tandur atau panen. Mereka pergi ke daerah lain untuk mencari pekerjaan. Bahkan banyak yang berjual-beli di kota-kota. Apabila di daerahnya memasuki masa panen, mereka baru pulang. Petani macam ini di daerah Klaten tidak banyak, hanya sekitar 700 orang.
4.1.2.2 Kehidupan Perkebunan Di samping pertanian, daerah Klaten banyak terdapat perusahaan perkebunan, baik perkebunan itu milik swasta, perseorangan, maupun milik pemerintah. Dengan adanya perusahaan-perusahaan perkebunan itu, dapatlah perusahaan-perusahaan tersebut menampung tenaga kerja atau setidaknya dapat mengurangi adanya pengangguran. Namun, setelah poklamasi, perusahaanperkebunan makin berkurang di daerah Klaten. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya masa peperangan yang lama. Pada jaman penjajahan Jepang, banyak diadakan perubahan-perubahan terhadap perusahaan perkebunan. Perusahaan commit to user
133
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perkebunan banyak yang diubah menjadi perusahaan yang hasilnya dibutuhkan oleh Jepang. Sebenarnya
ketika
jaman
terdapat 32 perusahaan dengan
Hindia
Belanda di daerah Klaten sudah
perincian 15 pabrik gula, 13 perusahaan
tembakau, 1 perusahaan karung dan 3 berg-cultuur-ondernemingan. Namun, pada masa penjajahan Jepang dari 32 perusahaan parkebunan itu berubah menjadi hanya 8 perusahaan perkebunan, yaitu 4 pabrik gula, 1 perusahaan tembakau, 2 pabrik makanan dan 1 pabrik karung. Bahkan, sebetulnya di daerah Klaten sebelum Jepang datang menjajah, telah banyak terdapat perusahaan tom dan kopi, seperti dapat dilihat di Kecamatan Manisrenggo, bahwa pabrik tom berulang kali diubah menjadi pabrik penggilingan beras dan akhirnya pada tahun 1937 di Kelurahan Prambanan ditanami rossella dan kapas. Demikian juga di kecamatan lainnya, balatentara Jepang banyak menebangi tanaman-tanaman perusahaan yang dahulu ditanam oleh Belanda. Hal ini dimaksudkan supaya kelak bila Belanda datang lagi mereka tidak akan menemui perusahaanperusahaannya yang dahulu. Sementara yang paling banyak mengalami akibat penebangan-punebangan terhadap tanaman perkebunan adalah Kecamatan Jatinom. Di daerah Jatinom dahulu banyak terdapat tanaman kopi, coklat, randu, lada dan lain-lain. Bahkan ada beberapa desa yang menanam cengkeh dan pales. Setelah pohon-pohon tersebut banyak ditebang, mengakibatkan beberapa mata air menjadi mati, sehingga daerah Jatinom menjadi kesulitan air. Pada saat kini telah dilakukan tindakan penghijauan dengan menanam tanaman turi, sisal untuk commit to user
134
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tali, dan di beberapa tempat di Jatinom sudah banyak orang yang menanam kentang yang bibitnya berasal dari Jerman. Setelah Indonesia merdeka, perusahaan-perusahaan perkebunan makin bertambah sedikit. Hal ini disebabkan karena pada waktu Jepang akan meninggalkan tanah air kita, mereka melakukan beberapa pembumihangusan terhadap pabrik-pabrik. Sehingga tahun 1957 di daerah Klaten hanya memiliki beberapa perusahaan parkebunan saja, seperti pabrik gula Gondangwinangun, perusahaan karung goni di Delanggu, perusahaan tembakau "Wedi-Birit" (Kebonarum, Gayamprit) dan "Jongandan" (Ketandan, Trucuk). Di samping perusahaan-perusahaan tersebut, banyak pula terdapat perusahaan perkebunan milik swasta. Kurang lebih tahun 1960 daerah Klaten bertambah dengan satu pabrik gula lagi, yang bernama “Pabrik Gula Ceper” tetapi saat ini sudah tidak beroperasi lagi. Dengan adanya perusahaan perkebunan yang sudah berpuluh-puluh tahun berada didaerah Klaten, maka keuntungan dari rakyat Klaten ialah bahwa mereka dapat mengenal tanaman perkebunan baru, kemudian mereka mencoba untuk menanamnya. Sehingga hampir dua puluh tahun yang lalu rakyat Klaten sudah menanam tembakau. Jenis tembakau yang ditanam rakyat ini kenal dengan nama “tembakau rakyat” yang meliputi jenis tembakau Virginia dan tembakau Jawa. Di Klaten, bagi pengusaha tembakau Virginia diberlakukan “Peraturan Virginia Daerah Surakarta”. Peraturan daerah ini mulai berlaku kurang lebih tahun 1956. Sementara untuk pengusaha tembakau Jawa, baru beberapa tahun kemudian diatur dengan peraturan daerah. Pada masa kejayaan perkebunan commit to user
135
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tembakau Virginia di daerah Klaten, terdapat beberapa macam golongan pengusaha tembakau Virginia, diantaranya: (1) Pengusaha Nasional (bangsa Indonesia asli) dan (2) Pengusaha warga negara baru (Tionghoa). Perusahaan yang bersifat perseorangan berbentuk Persekutuan Hukum, seperti Firma, N.V. P.T. dan ada pula yang berbentuk koperasi. Para pengusaha tembakau ini mengeringkan tembakau sendiri, sebab kebanyakan mereka memiliki pula tempat open sendiri. Bagi pengusaha yang tidak memiliki open biasanya mereka menyewa open kepada para pengusaha lainnya . Setelah itu, mereka baru menjual kepada para pembeli. Pada saat itu ada dua pembeli yang termasuk pembeli besar, yakni pabrik rokok "Faroka" dari Malang dan pabrik rokok "B.A.T." dari Surabaya, Semarang dan Cirebon. Kedua pembeli besar itu merupakan usaha bangsa Asing yang dalam pelaksanaan
jual-belinya antara
kedua pembeli itu diadakan
suatu
perjanjian. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa dalam hal pembelian ini hanya ada satu pembeli yang disebut a single buyer. Pada masa kini karena di daerah Klaten sudah banyak terdapat Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) Tembakau, maka rakyat menjual tembakaunya kepada PNP tersebut. Dengan demikian, PNP Tembakau pada saat ini belum mempergunakan sistem sewa untuk areal tembakau. Hal ini dapat menggoncangkan para petani, sebab sering petani merasa rugi dengan adanya harga tembakau yang ditetapkan PNP sangat murah. Petani merasa lebih beruntung kalau tanahnya ditanami dengan padi. Tetapi Pemerintah Daerah Klaten tidak tinggal diam dalam hal ini. Agar tidak merugikan para petani tembakau, maka Pemerintah Daerah Klaten setiap tanggal commit to user
136
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20 Desember, bersama-sama dengan PNP Tembakau dan wakil dari golongan tani selalu menentukan harga tembakau yang akan dibeli oleh PNP dari petani biasanya harga tembakau adalah dua kali harga beras untuk per kilogramnya. Sampai saat ini di daerah Klaten terdapat PNP Tembakau Wedi-Birit, Kebonarum, Gayamprit dan Sorogedug. Sementara perusahaan tembakau yang dikelola oleh swasta, yaitu Perusahaan Tembakau Kemudo, Rumpun milik Rumpun Diponegoro, Saribumi dan lain-lain. Semua peraturan tentang areal dan harga tembakau yang berlaku bagi P.N.P. berlaku pula bagi perusahaan tembakau Swasta. Masyarakat petani di Klaten, selain menanam tembakau, mereka juga menanam tebu. Hal ini terutama disebabkan pada tahun 1953 pemerintah mengadakan anjuran untuk menanam tebu guna menambah hasil produksi gula sebagai bahan ekspor ke luar negeri. Penyelenggaraan penanaman tebu ini oleh pemerintah diserahknn kepada Yayasan Tebu Rakyat atau disingkat YATRA yang berkedudukan di Solo. Petani tebu menggabungkan diri dalam bentuk panitia-panitia yang menjadi penghubung antara petani-petani tersebut dengan YATRA.
4.1.2.3 Kehidupan Industri Kerajianan Rakyat Di Kabupaten Klaten, industri kerajianan rakyat tampak maju, karena perindustrian rakyat di sini menghasilkan barang jadi yang sederhana tetapi bernilai guna bagi masyarakat.
Industri kecil yang bersifat home industry
tumbuh dan berkembang. Hal ini disebabkan karena penduduk Klaten sebagian commit to user
137
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
besar adalah petani, maka sambil menunggu masa panen tiba, mereka mengisi waktu luang dengan bekerja dalam bidang perindustrian. Inilah yang menjadikan rakyat Klaten menjadi manusia Indonesia yang tekun untuk mengejar hidup layak. Perindustrian di Klaten pada umumnya dapat menampung tenaga kerja. Persoalan pengangguran memang sulit sekali dipecahkan. Lagi pula perindustrian membawa dampak di bidang lain. Sehingga dengan adannya perindustrian, maka untuk membuang hasil produksi ini timbul pula lapangan kerja baru bagi masyarakat, yakni bidang
perdagangan. Berdasarkan
penelusuran peridustrian di daerah Klaten terdapat beberapa usaha industri.
1) Industri Kerajinan Tenun Lurik Sejak dahulu daerah Klaten terkenal dengan hasil tenun luriknya terutama di Kecamatan Pedan dan sekitarnya. Pada masa lampau dikenal adanya alat tenun gendhong yang menghasilkan kain lurik yang dinamakan "Lurik Masaran". Masaran adalah nama tempat yang sekarang umumnya disebut Cawas. Tenun gendhong bentuknya sederhana dan dikerjakan sebagai pekerjaan sampingan (samben). Biasanya yang mengerjakan adalah para wanita dalam waktu senggang, setelah mereka selesai mengurusi pekerjaan rumah tangga atau setelah mereka pulang dari sawah-ladangnya. Tenun gendhong hasilnya tidak banyak. Untuk satu potong baju lurik yang
panjangnya dua meter, baru dapat
diselesaikan selama tiga sampai lima hari.
Dengan demikian, proses tenun
gendhong ini dapat dimasukkan dalam kerajinan rumah tangga (home industry). commit to user
138
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi, maka pada tahun 1933 oleh Textiel Inrichting Bandung telah dapat diciptakan alat tenun setengah otomatis, yang biasa disebut alat tenun bukan mesin (ATBN). Sejak dipergunakannya ATBM, untuk mengoperasikan alat-alat tersebut dalam hal tehnik maupun perbaikan mutu, mulai dirasakan perlunya tenaga-tenaga yang terdidik. Berangsur-angsur dikirimkan pemuda-pemuda untuk mengikuti sekolah tekstil yang diselenggarakan oleh Institut Tehnologi Tekstil di Bandung. Pada tahun 1953 didirikan suatu koperasi tenun yang diberi nama koperasi “Persatuan Perusahaan Tenun“ (PPT) yang berkedudukan di Pedan. Beberapa tahun kemudian disusul dengan koperasi yang lain, yaitu koperasi tenun "Esti Tunggal", yang berkedudukan di Ceper dan koperasi tenun "Karya Busana" yang berkedudukan di Bayat. Untuk tenaga kerjanya, sebetulnya daerah Klaten kekurangan tenaga buruh di perusahaan-perusahaan tekstil, sehingga untuk mencukupinya harus mendatangkan tenaga buruh dari luar daerah, misalnya dari Gunung Kidul, Sukoharjo, Wonogiri dan Boyolali. Guna meningkatkan teknik dan mutu produksi, di samping mengirimkan pemuda-pemuda untuk dididik sebagai kader-kader tekstil di Bandung tersebut di atas, maka sejak tahun 1955 dirasakan perlu mengupayakan adanya mesin-mesin penyempurnaan (finishing), untuk lebih memperhalus produksi ATBM. Usaha ini dapat berhasil dan sejak tahun 1957 dapat berdiri dan berjalan hingga sekarang, dikenal dengan nama "Infitex" (Industry Finishing Textile) yang berkedudukan di Ceper.
Sementara untuk mengikuti perubahan dan
perkembangan jaman, maka pada tahun 1961, dirasa perlu untuk meningkatkan commit to user
139
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
alat-alat ATBM menjadi ATM (Alat Tenun Mesin). Untuk menggerakkan mesinmesin tersebut diperlukan adanya energi penggerak, maka terlebih dahulu harus diusahakan adanya energi penggerak itu yang berwujud tenaga listrik. Usaha ini dapat berhasil, khususnya di daerah Pedan, Ceper dan Batur. Hal ini juga disebabkan karena adanya gotong-royong yang baik antara Pemerintah (dalam hal ini Perusahaan Listrik Negara) dengan para pengusaha tenun. Pemerintah memberikan aliran listriknya, sedangkan semua kebutuhan berupa tiang-tiang listrik, jaringan-jaringan kawat, gardu dan lain-lain harus diusahakan dan dibiayai oleh masyarakat sendiri. Akhirnya usaha perlistrikan (elektrifikasi) ini dapat berhasil dan pada tanggal 17 Agustus 1963 dibuka dengan resmi. Perlu dikemukakan bahwa. Elektrifiknsi ini rencana semula meliputi jumlah sepuluh gardu. Tetapi hingga kini baru dapat dilaksanakan pemasangan gardu-gardu sebahyak lima buah, sehingga baru 50 % terselesaikan. Pada saat ini terdapat 2.300 perusahaan dengan jumlah alat tenun sebanyak 27.300 di seluruh Kecamatan dalam bentuk ATBM yang tersebar hampir daerah Kabupaten Klaten. Tetapi sayang, dari jumlah peralatan tersebut sekarang yang aktif bekerja kurang lebih 10%. Hal ini disebabkan oleh (a) lemahnya daya beli di pasaran bebas, (b) kurangnya modal, sehingga banyak perusahaan tenun yang tutup dan (c) adanya saingan produk tekstil dari luar negeri seperti Jepang. Hasil produksi perusahaan tenun terdiri dari kain hem kotak-kotak, baju lurik, jarik selendang, sarung, kain celana, selimut, blaco dan lain-lainnya. Hasil produk tersebut dipasarkan ke luar daerah Klaten, misalnya Sala, Jogya dan kota-kota lain di Jawa, bahkan sampai ke luar Jawa pula. commit to user
140
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Industri Kerajinan Payung Kertas Industri kerajinan payung kertas di daerah Kabupaten Klaten dapat dikatakan hanya terdapat di daerah Kecamatan Juwiring. Hal ini memang unik sekali, karena oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten telah dicoba mendidik kader-kadernya untuk belajar atau mempelajari dan membuat payung, bahkan banyak yang datang dari luar daerah, misalnya dari daerah Sala, Jogya, Pekalongan, Tegal dan masih banyak lagi daerah-daerah lain yang mengirimkan wakilnya untuk mengikuti kursus pembuatan payung. Namun anehnya, kaderkader yang telah selesai menempuh kursus membuat payung, ketika kemba1i ke daerahnya mereka tidak lapat membuat payung dengan baik. Hal dilematis yang menjadi persoalan, apabila mereka telah dapat membuat payung, tetapi diperdagangan kurang laku. Pokoknya mereka semua itu tidak dapat seluruhnya mewarisi keahlian penduduk Juwiring di dalam memproduksi payung maupun di dalam hal penjualannya. Untuk lebih mengetahui tentang payung Juwiring, berikut disampaikan perkembangan industri payung kertas produksi Juwiring.
Pada tahun 1935,
orang telah banyak mendengar nama "Juwiring" dengan industri payungnya. Tetapi tidak dapat diketahui dengan pasti berapa tahun umur kerajinan payung itu. Dari riwayat-riwayat dan keterangan orang-orang tua penduduk setempat, dapat memperkirakan, bahwa kerajinan payung itu sudah sangat tua umurnya. Dengan demikian, kerajinan payung itu telah meresap secara mendalam dalam kehidupan rakyat sehari-harinya sehingga hal itu mengakibatkan, bahwa orangorang di dukuh Gemantar Kelurahan Kuwarasan di Kecamatan Juwiring tidak commit to user
141
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat mengetahui dengan pasti tentang asal-usul kerajinan payung itu. Hanya dinyatakan, bahwa adanya kerajinan payung didukuhnya tersebut sudah turuntemurun beberapa abad lamanya. Kemudian dikatakannya, bahwa pada jaman dahulu dukuh Gumantar termasuk wilayah Kerajaan Mataram, sebelum kerajaan ini pindah ke Kartasura. Hasil kerajinan payung pada jaman itu mendapat pasaran yang baik di Mataram. Apalagi kerajinan ini tampak lebih pesat lagi sesudah pecahnya kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Surakarta dan Jogyakarta. Pada saat itu orang-orang di daerah itu sudah menjual hasil kerajinan payungnya sampai ke Ponorogo, Madiun, Kendal dan Kaliwungu. Penduduk di Juwiring itu mencari penghasilan untuk penghidupannya ke daerah lain dengan menjual payung, sehingga dengan demikian kerajinan payung telah meluas ke luar daerah Klaten. Dahulu kala orang hanya mengenal satu macam bentuk payung saja yang terkenal dengan nama "Payung Kuwungan". Payung jenis ini di sebelah tepinya melengkung. Atapnya dari kertas asli yang disebut kertas "gondong". Kertas gondong ini dibuat dari bahan bambu yang ditumbuk halus dipulas dengan minyak buah jarak atau kacang, kemudian dicat dengan angus yang dicampur dengan getah Kleco. Lambat-laun berkembanglah kemajuan dan terdapat evolusi dalam bentuk payung. Evolusi ini melahirkan suatu bentuk payung baru yang terkenal dengan nama “Payung Padang Bulan” Jenis payng ini ruji-rujinya lurus dan dicat dengan nila yang dicampur dengan minyak kacang dan buah jarak. Perdagangan dan perhubungan kerajinan ini makin lama makin bertambah maju. Dengan adanya kemajuan di dalam dua hal tadi, maka kerajinan rakyat commit to user
142
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
makin berkembang pula. Akan tetapi keadaan yang sedemikian itu tidak stabil seterusnya dan kerap kali mengalami pasang-surut. Semenjak datangnya pasaran payung dari luar negeri di Indonesia, yaitu yang sering orang menamakan dengan payung siyem, kerajinan payung buatan dalam negeri agak mundur. Payung siyem tersebut dapat mengalahkan maupun menyaingi payung dalam negeri, terutama kerajinan payung Juwiring. Hal ini disebabkan karena memang payung dari luar negeri itu lebih indah coraknya, sedangkan kualitas dan harganya pun bersaing. Keadaan yang menyedihkan ini berjalan antara tahun 1905 sampai dengan tahun 1915. Namun demikian, persaingan tadi justru membawa dampak kemajuan di dalam usaha rakyat memperbaiki hasil produksjnya. Bentuk, corak dan kualitas dari pada payung siyem ditiru. Dengan jalan demikian, kerajinan payung di Juwiring dapat tertolong karenanya. Dalam beberapa tahun kernudian datang pula pesaing dari produksi payung dalam negeri. Payung yang dimakud ialah pnyung hasil produksi Tasikmalaya. Karena corak dari payung Tasikmalaya ini bentuk dan kualitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan payung Juwiring. Salah satu faktor yang menyebabkan hal itu ialah karena keadaan rakyat terutama dalam bidang perekonomian amat buruk. Modal kurang dan daya beli rendah, sehingga pada waktu itu dapat dikatakan bahwa kerajinan payung di Juwiring amat
merosot dalam hal
produksinya. Tetapi semenjak tahun 1935 mulai ada titik-titik terang kembali, karena pada tahun itu dengan bantuan serta bimbingan aktif dari Kornite Pengangguran Klaten dan pihak Pamong Praja tampak kegiatannya kembali. Bahan-bahan
yang
diperlukan
tersedia lebih commit to user
banyak
dari
tahun-tahun
143
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebelumnya. Hal ini berarti pula kesempatan bagi penduduk Juwiring untuk memperbaiki kualitas produksinya Usaha itu berhasil, karena pada tahun itu juga Juwiring sudah mulai lagi mengekspor payung sebanyak 4.000 buah ke daerah lain. Keuletan rakyat Juwiring amat teruji, karena mereka selalu menggunakan kesempatan baik yang ada padanya untuk setiap waktu. Hasil produksi payung menjadi 130.000 buah. Namun, sayangnya permintaan payung membanjir terus membludak di luar kemampuan produksi. Untuk mengatasi permasalahan itu, maka pada tahun 1938 dibentuklah suatu badan persatuan yang tugasnya melayani pesanan-pesanan yang diberi nama Nyverhrids Centraal Payung (P.N.C) Juwiring. Badan ini tampaknya juga kurang memadai dan mencapai tujuannya setelah baberapa saat berjalan, karena ternyata banyak masyarakat penghasil payung memandang, bahwa mereka lebih untung jika mereka menjual payungnya di luar badan tersebut dan akhirnya menyebabkan badan PNC itu mati. Dengan matinya PNC itu, kemudian dibentuk suatu badan induk perusahaan payung di Juwiring. Induk perusahaan payung tersebut didirikan dan dipimpin oleh R.M. Soetomo pada tahun 1940. Nama yang dipakai adalah "Perusahaan Payung Juwiring" (Perpad). Induk perusahaan ini ini tugasnya adalah memberi penyuluhan aktif ke arah perbaikan corak, bentuk dan kualitas dan mengusahakan bahan-bahan dasar dan sagala sesuatu untuk keperlunn produksi payung. Namun, kemajuan Perpad ini hanya berlangsung dua tahun, karena pada tahun 1943 situasi internasional pada waktu itu kurang mendukung, commit to user
144
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maka keaktifan Perpad menjadi mundur. Keadaan seperti ini terus berlangsur sampai tahun 1945. Produksi makin merosot, ketika pada masa penjajahan Jepang bahan-bahan yang diperluknn untuk memproduksi payung sukar sekali dicari dan rakyat kehabisan modal. Keadaan ini bertambah parah ketika Pemerintah mengeluarkan uang baru “Oeang Repoeblik Indonesia” (ORI), maka selanjutnya produksi payung banyak dibuat di kota-kota oleh orang-orang yang masih rnenyirnpan modal. Dengan demikian, daerah Juwiring hanya menyediakan ruji-ruji dan lainnya, sebaliknya perusahaan payung yang berada di kota sebagai perusahaan finishing saja. Mulai tahun 1950, yaitu semenjak keadaan daerah Surakarta telah normal kembali tampak lagi kegiatan usaha kerajinan payung ini. Perkembangannya berjalan dengan pesat dengan tidak melupakan sejarah pahit tahun-tahun sebelumnya. Walaupun pada saat itu muncul pula saingan berat dari perusahaanperusahaan payung yang dibuat oleh orang-orang Tionghoa yang berada di Sala. Tetapi perusahaan payung ini tidak ada yang berumur panjang dan hasilnyapun tidak ada yang menyaingi produksi rakyat Juwiring. Saat ini kerajinan payung sudah meliputi di berbagai daerah Juwiring dan sekitarnya, antara lain: Kwarasan, Tanjung, Ketitang, Jetis, Belo pleret dan Bulurejo yang termasuk kecamatan Juwiring. Di samping itu ada yang berkembang di Kupang dan Tegalampel kecamatan Karangdowo. Akhirnya, rakyat pengusaha payung Juwiring saat ini sudah dapat mengikuti keinginan konsumen dan berusaha ke arah modernisasi atau perkembangan jaman. commit to user
145
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Kerajinan Batik Daerah produser batik yang terkenal Kabupaten Klaten ialah Kecamatan Bayat dan Kadirejo. Pada umumnya untuk pengusaha-pengusaha batik di Kadirejo telah tergabung dalam koperasi "Batari" yang berkedudukan di Sala, sedangkan untuk daerah Bayat tergabung dalam koperasi PPBT (Persatuan Perusahaan Batik Tembayat) yang berkedudukan di Bayat, Kawedanan Pedan. Di daerah Bayat, telah dapat didirikan sebuah pusat pembabaran oleh organisasinya. Pusat tersebut dapat menerima pekerjaan permodelan maupun pembabaran dari pada anggota, juga mengusahakan pembelian bahan-bahan mentah untuk para anggotanya secara kolektif. Sebetulnya pembatikan di daerah Klaten mempunyai saingan yang berat sekali dengan hasil produksi batik dari Jogya dan Sala dengan hasil batiknya yang lebih halus. Dengan adanya saingan ini, maka perusahan batik perseorangan yang mengusahakan kain batik cap secara kecil-kecilan banyak yang gulung tikar. Kemudian dengan lumpuhnya teberapa perusahaan batik cap, perusahaan batik Bayat memproduksi batik tulis dan campuran antara batik tulis dan cap. Sehingga kesulitan dengan adanya batik halus dari daerah Jogya dan Sala dapat diatasi, sebab produksi batik Bayat bertambah baik kualitasya.
4) Industri Pengecoran Besi. Di desa Batur Kecamatan Ceper penduduknya banyak yang pekerjaannya menekuni usaha pengecoran besi. Jumlah perusahaan semua dapat dikatakan to user banyak, yaitu meliputi lebih daricommit 50 pengusaha, yang sebagian berada dalam
146
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keadaan tidak beroperasi. Perusahaan pengecoran besi ini, sebagian besar telah menggunakan alat-alat modern semenjak tahun 1956. Hal ini dilakukan, karena open model lama dipandang kurang produktif, karena banyak memiliki kekuatan kerja 1,5 kwintal seharinya, sedangkan open yang modern dapat mencapai ratarata 5 ton sehari. Guna kepentingan kemajuan perusahaan, maka oleh Jawatan Perindustrian telah mendirikan Induk Perusahaan Pengecoran Besi yang mempunyai
tugas
membimbing
dan
mempelopori
dalam
usaha-usaha
pengecoran, finishing beserta komersialisasinya. Produksi yang dihasilkan olen perusahaan pengecoran besi antara lain berupa seterika, wajan, kejen dan bermacam-macam alat untuk pabrik gula dan PJKA.
5) Kerajinan Pande Besi Daerah yang rakyatnya hidup dari usaha menempa besi antara lain: Desa Koripan (Kecamatan Delanggu), Desa Karangkepoh (Kecamatan Karanganom) dan Bawangan (Kecamatan Manisrengo) dan beberapa tempat lagi di daerah Kecamatan Kota Klaten dan Kecamntan Wedi. Jumlah seluruhnya hampir mencapai 200 perusahaan pandai besi. Sementara produksi yang dihasilkan berupa alat-alat pertanian dan rumah tangga. Bahan yang dipergunakan ialah besi tua, sedang untuk keperluan pembuatan pisau banyak dipergunakan bahan-bahan besi janur. 6) Kerajinan Tanduk. Kerajinan Tanduk di Kabupaten Klaten, boleh dikatakan dimonopoli oleh Kelurahan Kuwel di Kecamatan Polanharjo. Sampai saat ini kerajinan tanduk commit to user
147
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masih merupakan suatu usaha dari perseorangan yang dikerjakan di rumah tangga masing-masing. Dengnn demikian, kerajinan tanduk ini masih merupakan usaha home industry, yang belum disentralisir melalui suatu usaha bersama maupun suatu koperasi. Hasil dari kerajinan tanduk tersebut berupa sisir, hiasan berbentuk burung, tusuk konde dan yang
paling
populer adalah
tangkai
kacamata. Bahkan, menurut pengakuan pemilik usaha itu Gubernur Jawa Tengah, Munadi pada saat itu sendiri pernah memesannya.
7) Kerajinan Bambu Bambu adalah tumbuhan sebangsa dengan rumput, tetapi bukan rumput sembarang rumput (Margono, 1997: 1). Bambu-bambu ini amat banyak jenisnya dan mudah tumbuh di daerah Klaten. Di desa, tanaman bambu memegang peranan penting. Harganya cukup murah, tetapi berdayaguna dalam kehidupan masyarakat. Ketika masih tumbuh, bambu dapat memberikan suasana sejuk sekaligus sebagai batas tanah dan penahan erosi. Bila tiba saatnya ditebang, bambu bisa digunakan sebagai bahan bangunan rumah, peralatan dapur, jembatan dan sebagainya. Di samping itu, bambu juga bisa digunakan untuk bahan-bahan kerajinan tangan, misalnya kerajinan anyaman, meja-kursi, kentongan, dan lain-lain. Sentra kerajinan bambu di daerah Klaten banyak sekali. Hampir di setiap desa tidak terhitung jumlahnya, tetapi yang paling tampak sekarang ini adalah di pinggir jalan Jogya dan Solo termasuk wilayah kecamatan Ceper. Hasil produksi commit to user kerajinan bambu di kawasan ini sangat mempertimbangkan nilai seni dan
148
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keindahan, misalnya meja-kursi didesain dengan menggunakan bahan bambu yang justru berbentuk lengkung atau bengkok-bengkok, kentongan dibuat menyerupai bebek atau ayam, dengan menggunakan dongklak atau bongkot bagian bawah bambu. Ada pula produk anyaman bermotif untuk plafon atau sekat ruangan, miniatur rumah-rumah gubuk yang biasanya dipesan untuk kafekafe rumah makan atau tempat rekreasi dan sebagainya. Di kawasan ini telah terbentuk suatu perkumpulan pengrajin bambu yang bertujuan untuk menyamakan harga jual, sehingga tidak terlalu terjadi persaingan yang sangat menyolok. Di samping itu, juga untuk saling menopang baik dari segi permodalan maupun ketersediaan hasil produksi secara merata, misalnya ada salah satu pengrajin kehabisan stok atau tidak ada sama sekali pun, maka dapat disalurkan pada pengrajin yang lainnya dengan harga sama. Dengan demikian, semua pengrajin akan kebagian order dengan cara memberikan prosentase keuntungan pada paengrajin yang memberikan order tersebut.
8) Kerajinan Gerabah Perkenalan bangsa Indonesia dengan gerabah telah terentang dalam masa yang sangat panjang. Hal ini terlihat dari banyak ditemukannya artefak peninggalan sejarah berupa gerabah dari masa lalu. Perkenalan awal dengan gerabah dimulai sejak bangsa kita mengenal tradisi bercocok tanam. Pengenalan dan keakraban mereka dengan tanah membuat mereka mulai berkreasi untuk membuat peralatan yang mereka butuhkan dari tanah. Pada awalnya mereka membuat peralatan dari tanah liat ini sebatas untuk keperluan pertanian dan rumah tangga. commit to user
149
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada masa perundagian, kerajinan gerabah mulai berkembang tidak hanya berupa alat-alat rumah tangga melainkan mencakup berbagai alat perangkat sosial, ritual keagamaan, hingga ekspresi seni hiasan. Dari artefak yang ditemukan di Trowulan,
di
masa
Kerajaan
Majapahit
dahulu
berada,
diketahui telah
mengembangkan jenis-jenis gerabah untuk keperluan ritual keagamaan, seperti pedupaan, tempat sesaji dan benda hiasan seni dan status sosial. Seniman-seniman gerabah pada masa inilah yang diyakini telah mengembangkan teknik dasar cungkil, tusuk, gores, tempel, dan tekan sebagai pengembangan dari teknik meja putar yang telah ditemukan sebelumnya. Kerajinan gerabah tidak hanya terpusat di salah satu wilayah Indonesia, melainkan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal ini terjadi karena munculnya kerajinan gerabah tentu saja berada di sekitar pusat-pusat kerajaan yang juga tersebar di seluruh wilayah Nusantara saat itu (Kusnan, 2007: 1). Sentra-sentra industri gerabah dapat ditemukan di berbagai wilayah, misalnya: Banten; Panjunan, Cirebon; Plered, Purwakarta; Klampok, Banjarnegara; Slawi, Tegal; Mayong, Jepara; Pagerjurang, Klaten; Kasongan dan Jetis, Pundong, Yogyakarta; Malo, Bojonegoro; dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di luar namanama tersebut masih banyak lagi sentra-sentra industri gerabah yang hingga saat ini menekuni pembuatan gerabah baik tradisional maupun kontemporer. Kerajinan gerabah sempat mengalami masa kejayaan dengan berkembangnya berbagai kerajaan. Akan tetapi, seiring mundurnya era kerajaan, maka mundur pula kerajinan gerabah di Indonesia. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu, hasil produksi gerabah di banyak sentra gerabah Indonesia masih sangat commit to user
150
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sederhana. Biasanya produk yang dihasilkan hanya terbatas pada alat-alat rumah tangga. Akan tetapi, keadaan mulai berubah sejak para seniman dan akademis i sert a pemer int ah ikut sert a mengembangkan kerajinan gerabah ini. Hal ini terjadi di banyak sentra kerajinan gerabah Nusantara, seperti Kasongan, Jetis dan Pagerjurang. Kehadiran seorang akademisi dari Jepang yang ikut memajukan gerabah dirasakan oleh para perajin gerabah di Pagerjurang, Melikan, Wedi, Klaten. Dialah Profesor Chitaru Kawasaki dari Kyoto Seika University yang telah melakukan riset bersama lembaga seni rupa seperti ITB dan UNS, serta The Japan Foundation, membawa revitalisasi pada pengembangan desain dan teknik pembakaran. Profesor Chitaru, memberikan warna baru terutama dalam teknik glasir atau pewarnaan dan teknik pembakaran tinggi. Desain gerabah Pagerjurang yang sederhana dipertahankan dan diperkuat sehingga bisa tahan lama dan higienis saat digunakan. Gerabah Pagerjurang menggunakan teknik putaran miring yang konon telah dikenal sejak tiga ratus tahun lalu. Teknik ini muncul untuk memudahkan pengerjaan gerabah yang sering kali dikerjakan oleh kaum ibu dan remaja putri yang selalu memakai kain jarit. Teknik ini menarik Profesor Chitaru karena teknik yang sama telah dikenal di Jepang sejak ratusan tahun lalu dan sekarang hampir punah. Pada tanggal 9 hingga 16 Maret 2007 para pengrajin gerabah Pagerjurang mengadakan pameran gerabah di Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini merupakan kelanjutan dari pameran serupa yang telah diadakan tujuh tahun silam. Pameran kali ini diselenggarakan untuk memperkenalkan hasil gerabah Pagerjurang. Selain itu, commit to user
151
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga dimaksudkan sebagai wahana evaluasi hasil perkembangan desain dan kualitas gerabah Pagerjurang, terutama setelah penggunaan tungku pembakaran baru sumbangan dari pemerintah Jepang atas upaya Profesor Chitaru tersebut. Perhatian dan keikutsertaan banyak pihak dalam pengembangan gerabah sangat
membantu
industri
gerabah
di
Kabupaten
Klaten.
Seiring
perkembangan waktu, penggunaan gerabah semakin meluas pada penggunaan yang bersifat aksesoris. Gerabah saat ini telah dikenal sebagai benda hias yang banyak dicari orang untuk koleksi seni. Demikian halnya dengan teknik pengerjaan gerabah yang semakin berkembang. Penambahan hiasan dari kaca dan kain perca, serta tumbuhan kering semakin menambah menarik produk gerabah yang dihasilkan masyarakat Klaten.
4.1.2.4 Kehidupan Keagamaan/ Aliran Kepercayaan Di daerah Klaten terdapat beberapa agama, yaitu: Islam, Room-Katholik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha. Begitu juga Khong Hu Chu dan Aliran Kepercayaan pada Tuhan yang
Mahaesa hidup dalam masyarakat
Klaten.
Hubungan toleransi untuk menjalankan ibadah antara agama yang satu dengan agama/ aliran kepercayaan yang lain sangat baik. Dengan demikian, pergaulan antar umat beragama dalam kehidupan tampak rukun sekali. Kondisi kerukunan kehidupan keagamaan ini makin kelihatan sekali sejak tertumpasnya pemberontakan G 30 S/ PKI, karena oknum-oknum PKI pada masa jaya-jayanya yang suka mengaclu domba antara agama yang satu dengan agama commit to user berdasarkan pengalaman yang yang lain. Dengan keinsyafan yang mendalam
152
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pahit menjelang terjadinya pemberontakan G 30 S/PKI itu, maka kaum .penganut agama bersatu. Dengan demikian, keinsyafan yang sudah terlepas dari belengsu adu domba itu, maka toleransi antar umat beragama/kepercayaan menjadi sesuatu hal yang positif dan dapat menghasilkan karya-karya budaya yang positif pula. Hal ini dapat dilihat di beberapa daerah di Klaten, misalnya di desa Kadilajo Kecamatan Karangnongko, apabila penduduk akan membangun sebuah masjid, maka panitianya tidak hanya terdiri dari orang-orang yang beragama Islam saja, tetapi juga terdapat orang-orang yang beragama Katholik, Protestan dan lain-lainnya, begitu juga sebaliknya. Dengan adanya kebebasan beragama ini, maka di Klaten memiliki tempat peribadatan ratusan jumlahnya. Bahkan, setiap desa/ kelurahan ada masjidnya. Berdasarkan data di Kantor Pemda Klaten, bangunan Masjid di Klaten semua berjumlah 540 buah , langgar 956 buah, Musholla 37 buah, Gereja Katholik 13 buah dan Gereja Kristen Protestan 34 buah. Perkembangan kepercayaan pada suatu zat tertinggi dan ghoib, merupakan terwujudnya aliran kepercayaan pada Tuhan. Sebelum manusia bertitik pangkal pada kepercayan yang maha tinggi itu, masyarakat
Klaten seperti juga
masyarakat lainnya di seluruh tanah air masih percaya akan adanya suatu kekuatan gaib di luar menusia yang dapat menentukan segala-galanya. Di samping itu, juga kepercayaan sebagian masyarakat yang berpendapat, bahwa semua benda mempunyai nyawa. Kepercayaan yang dimaksud tersebut adalah kepercayaan aninisme dan dinamisme. Dengan adanya kedua kepercayan itu, maka banyaklah tempat-tempat di daerah Klaten yang dianggap sebagai tempat keramat oleh commit to user
153
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat yang mempercayainya. Banyak masyarakat pada hari-hari tertentu berziarah ke makam pujangga Jawa terkenal, Ronggowarsito di desa Palar, kecamtan Trucuk, makam Kyai Melati cikal-bakal Klaten, makam Kyai Pandanaran di kecamatan Bayat, makam Ki Ageng Gribig di kecamatan Jatinom, makam Juru Kuncen di kecamatan Karangnongko dan lain-lain tempat yang dianggap keramat. Di tempat-tempat ini mereka biasanya menyediakan sajisajian bagi roh yang dianggap memiliki kekuatan gaib tersebut. Lama-kelamaan karena pekerjaan tersebut dianggap sebagai suatu kewajihan, maka akhirnya hal itu pun menjadi adat kebiasaan masyarakat penganutnya. Mengenai makam Juru Kuncen di Karangnongko ini dipercayai merupakan hasil karya Pakubuwana X. Diriwayatkan, bahwa Pakubuwana X di samping sebagai seorang Sunan, beliau juga seorang seniman. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bahwa makam Juru Kuncen ini adalah makam buyut dari Pakubuwana II. Ceritera Juru Kuncen diawali dari seorang tua bernama Kyai Cucut Pratiwi Macut Ragaswara. Beliau menginginkan sekali agar anak keturunannya dapat menjadi seorang pemimpin yang mampu memegang tampuk pemerintahan di Kasunanan Surakarta. Untuk mencapai cita-citanya itu, beliau lalu bertapa, dengan membawa sebuah tongkat. Beliau bertapa di tempat itu sampai meninggal dunia, dan kemudian dimakamkan di tempat itu juga. Beberapa orang di sekitar makam menceriterakan, bahwa tongkatnya kemudian tumbuh sebagai pohon bunga kenanga. Namun aneh, bunga kenanga yang tumbuh dari pohon tersebut, setiap musim bunga, warnanya selalu berganti warna. Misalnya, musim bunga kemarin berwarna merah, musim bunga saat ini commit to user
154
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berwarna putih dan untuk musim bunga yang akan datang berwarna merah, demikian seterusnya. Kyai Cucut Pratiwi Macut Ragaswara mempunyai seorang anak bernama Jogoswara yang sebetulnya nama aslinya ialah Wirorejo dan bertempat tinggal di kampung Gajahan. Pada suatu hari Pakubuwana II menerima wahyu yang dilihatnya seberkas sinar jatuh di desa Gajahan tersebut. Kemudian Pakubuwana II pergi ke kampung Gajahan tempat tiggal Wirorejo. Kepada pak Wirorejo ditanyakan, apakah di desa Gajahan ada wanita yang sedang mengandung. Pak Wirorejo menjawab tidak ada, selain isterinya sendiri. Kemudian oleh Pakubuwana II diperintahkan agar kelak bila anaknya lahir seorang wanita, supaya dibawa ke Kasunanan Surakarta. Ternyata benar, anak pak Wirorejo adalah seorang wanita. Setelah dewasa, anak itu dibawa ke Kraton Surakarta, dan akhirnya diambil permaisuri oleh Pakubuwana II sebagai isteri kedua. Makam leluhur yang
lain
adalah
makam
pujangga
Jawa terkenal
bernama Ronggowarsito, yang terletak di desa Palar Kecamatan Trucuk. Raden Ngabei Ron.ggowarsito dimakamkan di Palar atas permintaan sendiri, agar makamnya kelak dapat berdampingan dengan neneknya. Silsilah Raden Ngabei Rongowarsito berasal dari garis keturunan ke sembilan dari Raden Trenggono (Sultan Syam Alam Akbar III) mempunyai enam orang putera. Salah satu di antaranya adalah Raden Haryo Mangkuprojo. Ketika masa kerajaan Pajang, beliau dijadikan Carik Wedono di Sungging dengan gelar Raden Tumenggung Sujonoputro. Kemudian pindah ke Karanggayam, maka dikenal dengan nama Pangeran Karanggayam I. Beliau menurunkan empat putra dan satu di antaranya commit to user
155
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ialah Raden Boworogo yang bergelar Pangeran Karanggayam II termasuk putera pertama. Raden Boworogo menurunkan Tumenggung Wonoboyo, anak ketiga dari enam bersaudara. Berikutnya, Tumenggung Wonoboyo menurunkan Raden Tejo, sebagai anak ke dua dari enam bersaudara. Setelah pindah ke Karanggayam, Raden Tejo berganti nama Kyai Wonoboyo dan menurunkan dua orang anak, yakni Nyai Ageng Bero dan Kyai Wongsotruno yang bergelar Kyai Amad Dalem. Ketika beliau meninggal dunia dimakamkan di desa Daleman. Kyai Amad Dalem menurunkan tujuh orang anak dan anak nomer satu di antaranya bernama Kyai Noyomenggolo yang kemudian bertempat tinggal di desa Palar. Kyai Noyomenggolo menurunkan anak
keenam dari delapan
bersaudara, seorang perempuan bernama Nyai Ngabei Noyotruno yang kemudian melahirkan Ngabei Sudirodirjo. Setelah dewasa, Ngabei Sudirodirjo menjabat mantri Kabupaten I. Kemudian, Ngabei Sudirodirjo menurunkan delapan anak. Dari delapan bersaudara, adalah anak nomer tiga bernama Raden Nganten Ronggowarsito. Akhirnya, dari Raden Nganten Ronggowarsito lahirlah seorang pujangga besar dari Kraton Surakarta bernama Raden Ngabei Ronggowarsito. Namun, Raden Ngabei Ronggowarsito dalam kehidupannya banyak tinggal di desa Palar bersama neneknya, terutama dalam waktu menyusun buku-bukunya. Banyak buku karyanya, dan lima di antaranya yang terkenal adalah berjudul Joko Lodang, Wedotomo Piningit, Wedotomo Kawedar, Camporet dan HidayatJati. Bahkan, pada masa-masa tujuh hari menjelang wafatnya masih sempat mengahasilkan sebuah buku lagi yang berjudul Kalatido. Akhirnya setelah wafat, dimakamkan di samping neneknya, atas permintaannya sendiri. Makamnya commit to user
156
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibangun oleh Pakubuwono X dan kemudian pada tahun 1952-1955 dipugar oleh Pemerintah RI yang diresmikan oleh Presiden Soekarno.
4.1.2.5 Kehidupan Pendidikan Pendidikan adalah masalah yang urgent bagi masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Klaten pada khususnya. Selama penjajahan yang kurang lebih berlangsung 350 tahun, segala macam penderitaan telah membebani kehidupan bangsa Indonesia. Setelah merdeka, masyarakat semua berusaha untuk mengobati luka-luka yang diakibatkan adanya penjajahan itu. Sedang luka yang paling berat sebagai akibat penjajahan ialah bahaya buta huruf dan bahaya kebodohan. Kedua hal ini saling berkaitan, sebab adanya kebodohan disebabkan karena buta huruf. Oleh karena itu, ada dua bahaya yang saling menjalin itu menjadi beban pemerintah, yakni pemberantasan buta huruf dan upaya untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia. Sarana untuk mewujudkan kecerdasan masyarakat adalah pendidikan. Dalam upaya ikut mencerdaskan masyarakat, maka pemerintah Kabupaten Klaten membuka peluang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan dan kursus-kursus bagi masyarakat. Tahap pertama tahun 1952 di dalam bidang pendidikan, pemerintah daerah Kabupaten Klaten membuka beberapa kursus, seperti Kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH), Kursus Rumah Tangga (KRT) dan lain-lain. Untuk sementara pelaksanaan kegiatan pendidikan dan kursus itu diselenggarakan di gedung-gedung peninggalan yang sudah ada. Namun, lamakelamaan pelaksanaan di gedung-gedung itu dirasakan kurang memadai, commit to user
157
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemudian pemerintah daerah kabupaten Klaten berusaha mendirikan beberapa gedung khusus untuk kepentingan pendidikan itu. Oleh karena itu, pada tahun 1953 didirikan SMP Negeri di kota Klaten. Kemudian daerah-daerah kecamatam berlomba-lomba untuk mendirikan Sekolah Menengah yang bersifat bersubsidi maupun swasta. Akhirnya, pada tahun 1 Nopember 1957 dibukalah dengan resmi Sekolah Menengah Atas Negeri yang pertama kali di daerah Klaten dan perkembangan selanjutnya diikuti berdirinya
sekolah–sekolah
menengah
swasta. Dengan adanya perkembangan dalam bidang pendidikan ini, maka pada tahun 1957 itu pula Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) memberi kesempatan kepada daerah Klaten untuk dijadikan “daerah percobaan belajar”. Namun, sayang sekali, walaupun telah diadakan persiapanpersiapan untuk itu dengan jalan mengadakan penerangan- penerangan yang meluas sampai kedesa–desa, karena kekurangan sarana prasaran dan alat-alat perlengkapan, seperti gedung , mebeler
siswa dan guru dam lain-lain, maka
tawaran baik itu terpaksa ditolak. Pada tahur 1959, datanglah lagi penawaran untuk yang kedua kalinya mengenni hal yang sama dari PP dan K. Setelah dipertimbangkan dengan masak, karena pekerjaan itu masih dirasakan sangat berat,
maka kesanggupan itu ditolak kembali, karena pemerintah daerah
kabupaten Klaten masih memandang perlu untuk dimusyawarahkan lagi dalam sidang DPR. Dengan adanya kemajuan di bidang pendidikan tinggi, maka pemerintah daerah Klaten mempunyai problem lagi yang harus dipecahkan, yakni commit to user
158
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bagaimannkah caranya untuk menahan kepindahan pelajar atau mahasiswa Klaten ke luar daerah. Hal ini sangat penting untuk meringankan beban masyarakat yang tidak mampu membiayai anaknya menuntut ilmu kelain daerah. Maka, sejak tahun 1963 pemerintah daerah kabupaten Klaten berusaha untuk membuka Cabang Universitas Gajah Mada di kota Klaten. Namun, karena kesulitan teknis, hal ini belum dapat terselenggara. Untuk mengatasinya, maka proyek Universitas pun dapat didirikan, baik itu Universitas Negeri maupun Universitas Swasta. Dengan demikian, diharapkan para pelajar di Klaten untuk mencapai gelar sarjana muda atau sarjana tidak perlu harus pergi ke luar daerah Klaten. Di Kabupaten Klaten, pada saat ini memiliki beberapa Perguruan tinggi, antara lain: Universitas Widyadharma (UNWIDA), STIKES Muhammadiyah, STIKES Duta Gama, Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM), Sekolah Tinggi Agama Hindu Cabang Denpasar, Bali, STIA, AMM Muhammadiyah, Universitas Cokroaminoto Cabang Jogyakarta, dan lain-lain. Sementara untuk menunjang keberhasilan belajar siswa, baik SD, SMP, maupun SMA/ SMK, banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah, misalnya bimbingan belajar Primagama, Neutron, Ganesha Operation (GO), BBC, dan lain-lain. Di samping itu masih banyak lagi kursus-kursus pendidikan ketrampilan, seperti kursus komputer, kursus bahasa Inggris, kursus bahasa Korea, Mandarin dan sebagainya. Berdasarkan data dari Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten yang dihimpun Kantor Badan Statistik Kabupaten Klaten, sampai tahun 2010 jumlah commit to user
159
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
murid Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 30.036 siswa yang dididik oleh 2.812 orang guru TK. Untuk Tingkat Sekolah Dasar (SD) muridnya berjumlah 120.342 siswa dengan jumlah guru SD 8.783 orang. Sementara jumlah siswa SMP mencapai 51.490 orang dengan jumlah pengajar sejumlah 4.107 orang guru. Demikian juga jumlah murid SMA atau yang sederajat berjumlah 41.496 orang siswa dan jumlah pengajarya 3.547 orang guru.
4.1.2.6 Kehidupan Perdagangan Klaten adalah daerah yang letaknya amat strategis. Klaten tepat di tengahtengah antara Jogya dan Sala, sehingga dengan demikian semua kendaraan yang akan menuju ke Semarang dan Surabaya mesti melalui Klaten. Hal ini mengakibatkan masyarakat Klaten suka bardagang. Barang- barang dagangannya yang berupa produk industri kerajinan lokal sampai bisa diekspor ke luar negeri. Sementara, barang-barang yang dibutuhkan oleh
masyarakat Klaten dengan
mudah diimpor, karena jarak antara kota-kota besar amat berdekatan. Hubungan tranportasi sangat mudah, karena kendaraan angkutan amat banyak. Dengan adanya komunikasi dan transportasi yang sangat mudah ini, maka barang dagangan yang berasal dari Klaten mendapat pasaran di beberapa tempat. Di sisi lain, dengan mudahnya komunikasi dalam perdagangan di Klaten, maka membawa dampak pesentuhan budaya dengan berbagai daerah. Dari persentuhan budaya ini, juga dapat mempengaruhi perilaku kehidupan adatistiadat sehari-hari. commit to user
160
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.1.2.7 Kehidupan Adat-Istiadat Adati-istiadat di daerah Klaten boleh dikatakan hampir sama dengan adatistiadat di daerah lainnya di Jawa Tengah. Namun, karena Klaten merupakan daerah yang dekat dengan kraton Surakarta dan Jogyakarta, maka adat kraton tadi terlihat dalam beberapa segi. Seiring perkembangan jaman yang ditandai dengan berbaurnya kedua pengaruh kraton itu, saat ini sukar dibedakan lagi mana yang lebih dahulu mempengaruhinya. Untuk melihat gambaran umum adat-istiadat di daerah Klaten, dapat dicontohkan berikut ini. Seperti di daerah lainnya di Jawa Tengah, adat-istiadat perkawinan di Klaten misalnya, adanya bentuk pertunangan sebelum dilangsungkan pernikahan. Sebelum pertunangan diawali dengan acara peminangan. Peminangan biasanya dilakukan oleh orang tua pemuda, ataupun wali lainnya. Didalam peminangan ini biasanya disaksikan oleh keluarga pihak perempuan dan beberapa sesepuh lainnya sebagai pihak yang
menerima rembug.
Sering pula di dalam
peminangan itu oleh pihak keluarga pemuda menentukan saat petunangan maupun hari perkawinannya. Namun, apabila saat itu tidak ditentukan, maka barang tentu akan ditentukan di kemudian hari. Dampak dari peminangan adalah menciptakan kewajiban bagi kedua belah pihak; si gadis dan pemuda untuk mentaati suatu kewajiban positif di dalam persoalan sehari-harinya. Si gadis dan pemuda sudah mulai membatasi dirinya sendiri di dalam pergaulan bebas. Apabila hari perkawinan sudah dekat, keluarga atau orang tua pemuda menyerahkan baik uang atau pun barang-barang kepada keluarga perempuan. Uang yang diserahkan itu dimaksudkan sebagai biaya atau commit to user
161
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tambahan biaya keperluan perkawinan. Sementara barang-barang yang khusus untuk calon penagantin putri adalah merupakan bnrang maskawin. Penyerahan uang dan barang-barang maskawin itu biasa disebut asok limah, walimah, srono, maskawin, atau asok tukon. Sesuai dengan perkawinan menurut hukum Islam, maka akad nikah terjadi antara pengantin laki-laki dan pengantin wanita. Setelah dilaksanakan akad nikah, maka barulah dilaksanakan pesta perkawinan. Pada waktu pesta perkawinan ini, upacara dimulai dengan saat “temu” (bertemu) antara pengantin
pria dan wanita. Pengantin pria datang dari tempat
kediamannya atau pemondokannya dengan diiringi oleh sanak keluarga dan handai taulannya. Pada saat itu juga kedua pengantin saling lempar-melempar daun sirih. Kemudian pengantin puteri membasuh kaki pengantin pria yang habis untuk menginjak telur. Akhirnya, kedua pengantin duduk bersanding di pelaminan agar dapat disaksikan seluruh tamu dan undangan yang hadir. Contoh adat-istiadat yang berhubungan dengan keluarga baru sepasang pengantin adalah adat waris. Adat waris di Klaten menganut hukum warisan masyarakat bilateral Jawa. Berdasarkan hukum waris adat Jawa tradisional, maka pada dasarnya semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama. Hak sama itu mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan harta bendanya. Perbedaan agama tidak menjadi persoalan dan begitu pula siapa yang lahir lebih dahulu. Artinya, semua anak dengan haknya sama; tidak memandang laki-laki atau perempuan, lahir dahulu atau kemudian serta tak memandang agamanya mempunyai hak yang sama. atas harta peninggalan kedua orang tuanya. commit to user
162
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seperti kita ketahui, hukum pewarisan adat Jawa merupakan proses meneruskan dan memidahkan hak atas barang-barang harta keluarganya kepada anak-anaknya selagi masih hidup. Biasanya ketika seorang anak telah dewasa dan cakap bekerja, maka ayahnya memberi atau memindahkan hak sebidang tanah atau barang-barang lainnya yang merupakan milik pribadinya untuk menjadi dasar material bagi penghidupannya. Cara pemberian mutlak tersebut di atas bersifat suatu pewarisan atau pengalihan harta benda di dalam lingkungan keluarga, bukan suatu perjanjian jual-beli. Baik anak laki-laki maupun perempuan yang telah berkeluarga dan meninggalkan kedua orang tuanya, tidak akan mampengaruhi harta peninggalan yang belum dibagi-bagi itu, karena pada masa hidup orang tuanya telah mendapat bagian. Begitu juga harta peninggalan harta itu masih dipengunakan sebagai dasar nafkah ibu dan ndik-adiknya. Dengan adanya dasar pembagian harta warisan yang seimbang antara anak laki-laki den anak perempunn, maka hukum waris di daerah Klaten telah merintis tujuan dari Lumbaga Pembinaan Hukum Nasional dalam usaha-usaha ke arah homoginitas hukum -dalam kewarisan dan kekeluargaan menurut sistem parental.. Namun, pada kenyataannya masih banyak juga di daerah Klaten yang mem pergunakan sistem kekeluargaan yang patriakat, baik didalam hukum perkawinan maupun hukum warisnya. Hal ini mengakibatkan, bahwa kekuasaan orang laki-laki lebih besar daripada kekuasaan seorang wanita. Oleh karena itu, dapat digambarkan ,bahwa setelah perkawinan, isteri selalu mengikuti suami. Dalam hal ini mempunyai suatu akibat bahwa suami adalah kepala rumah tangga. Demikian juga hukum warisnya sering didengar istilah sepikul commit to user
163
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
segendongan. Maksudnya, bahwa anak laki-laki mewarisi
barang-barang
warisan sebesar dua bagian, sedang anak-anak perempuan mewaris satu bagian.
4.1.3 Peninggalan-peninggalan Kebudayaan Di daerah Klaten banyak peninggalan dari kebudayaan jaman purbakala. Peninggalan-peninggalan tersebut kebanyakan berupa candi. Bangunan candicandi itu terletak dan tersebar hampir di seluruh daerah di Kabupaten Klaten. Selain candi, banyak juga peninggalan-peninggalan yang berupa petilasanpetilasan, misalnya bangunan-bangunan makam, situs-situs, museum, monumen dan lain-lain. Klaten sebagai salah satu wilayah kebudayaan di Jawa Tengah, peninggalan-peninggalan kebudayaan kuno berada dalam pengawasan Dinas Purbakala berkedudukan di dekat candi Prambanan. Semula Dinas Purbakala itu hanyalah terdiri dari beberapa orang saja dan mereka merasa bersatu, karena mempunyai k gemaran yang sama yaitu mengumpulkan benda-benda kuno. Karena perkembangan sejarah, maka makin banyak dibutuhkan adanya bendabenda dari jaman lampau, sehingga akhirnya kelompok orang-orang ini berusaha untuk lebih banyak mangumpulkan clan mencari peninggalan-peninggalan kuno tersebut. Di samping pokerjaannya itu, mereka juga bertugas untuk menjaga kelestarian dari benda-benda kuno tersebut, baik dari kerusakan akibat bencana alam maupun dari pencurian-pencurian oleh orang yang jawab. Oleh karena itu,
pada
tidak bertanggung
tahun 1901 para. ahli purbakala mendirikan
Tergeologist Vereneging dengan tugas-tugas seperti tersebut di atas. Hal ini commit to user
164
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berlangsung sampai tahun 1914. Tergeologist Vereneging kemudian berganti nama
menjadi Dinas Purbakala. Pada tahun 1964 nama Dinas Purbakala
berganti nama lagi menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional. Nama Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional pun akhirnya diganti lagi dengan nama Direktorat Purbakala pada tahun 1969. Sebagai bentuk kegiatan kepurbakalaan, pada tahun 1940 Tergeologist Vereneging memulai pekerjaannya. Dimulai dengan menggali batu-batu yang tertimbun dengan tanah. Tahun 1941, pekerjaannya ditingkatkan dengan mengadakan pengelompokan-pengelompokan atau pengumpulan-pengump1an batu-batu yang sejenis. Pengelompokan ini dilakukan selama tujuh tahun dengan ketelitian dan ketekunan. Setelah pengelompokan batu-batu yang sajenis selesai, barulah pada tahun 1948 diadakan merekonstruksi terhadap candi-candi. Untuk membangun kembali candi-candi yang kebanyakan sudah tidak utuh lagi itu, maka pemerintah membebankan tugas yang berat itu kepada Van Ronda dan Ir.. Samingan. Tugas ini selesai dengan denah aslinya baru pada tahun 1961 dan mulai saat itu candi Plaosan dan candi Sewu dapat berbentuk seperti apa yang terwujud seperti yang terlihat sekarang ini. Bangunan candi-candi di Klaten pada umumnya adalah candi-candi peninggalan masa abad ke-8 pada masa kerajaan Mataram lama. Gambaran candi adalah identik dengan gambaran pemerintahan
pada
jaman itu.
Jelas
digambarkan, bahwa adanya bangunan candi induk dimaksudkan sebagai pelukisan pemerintahan kerajaan pusat. Sementara candi-candi kecil di sekitar candi induk menggambarkan pemerintah daerah yang berada dalam lingkungan commit to user
165
perpustakaan.uns.ac.id
pemerintah pusat.
digilib.uns.ac.id
Sebagai tanda patuh kepada pemerintah pusat, maka
pemerintah daerah mengirimkan batu yang bertuliskan nama raja muda yang memerintah pemer intah daerah masing-masing. Setelah batu-batu itu terkumpul banyak, maka dibangunlah candi tersebut. Dengan demikian, dapat menepis anggapan sarjana-sarjana asing yang menggambarkan, bahwa bangunan candi dibangun secara kerja paksa atau kerja rodi. Adanya candi-candi dan barangbarang peninggalan kuno di Indonesia sangatlah menarik hati orang asing, terutama orang-orang asing yang mempunyai kegemaran mengumpulkan bendabenda kuno. Kegiatan-kegiatan orang-orang asing kadang kala mempunyai efek yang kurang baik terhadap peninggalan-peninggalnn kuno, karena akhir-akhir ini banyak terdapat pencurian-pencurian terhadap benda-benda kuno tersebut. Pemerintah dan Dinas Purbakala khususnya sangat prihatin terhadap kejadian pencurian itu. Untuk mengurangi adanya pencurian-pencurian terhadap patung-patung di dalam candi, Dinas Purbakala berusaha membuat salinan dari patung-patung dengan bahan gips dan semen, yang kemudm dijual secara bebas. Dapat dimengerti, bahwa orang-orang yang tidak memiliki kesadara rasa kebangsaan mudah untuk dibujuk dengan keuntungan sesaat dan tidak berpikir kelestarian candi untuk pendidikan anak cucunya nanti. Dengan penadahpenadah benda antik tertentu, rakyat mudah yang melakukan pencurianpencurian patung-patung yang merupakan kekayaan nasional yang tak ternilai itu. Padahal perbuatannya itu dari segi hukum merupakan perbuatan tindak pidana yang dapat dipenjara sesuai dengan Monumenten Ordonnantie nomor 238 tahun 1931.
commit to user
166
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bangunan candi-candi di daerah Klaten kebanyakan adalah peninggalan candi sebagai tempat pemujaan agama Hindu-Budha. Tempat ini sekarang banyak dipergunakan oleh pemeluk agama Hindu untuk tempat merayakan hari raya Galungan. Candi-candi yang dimaksud adalah candi Plaosan, candi Sewu, candi Prambanan, candi Bubrah yang terletak di Kecamatan Prambanan dan candi Merak di Kecamatan Karangnongko dan lain-lain. Dengan adanya kepercayan roh leluhur, maka banyak peninggalan tempattempat di daerah Klaten yang dianggap sebagai tempat keramat oleh masyarakat. Makam keramat itu misalnya, makam pujangga Jawa terkenal, Ronggowarsito di desa Palar, kecamtan Trucuk, makam Kyai Melati cikal-bakal Klaten, makam Sunan Pandanaran di kecamatan Bayat, makam Ki Ageng Gribig di kecamatan Jatinom, makam Juru Kuncen di kecamatan Karangnongko dan lain-lain tempat yang dianggap keramat. Untuk memberikan gambaran peninggalan-peninggalan kebudayaan purbakala dapat ditampilkan tabel IV.1 berikut ini.
Tabel IV.1 Peninggalan Kebudayaan Purbakala di Kabupaten Klaten
No 1
2
Jenis Peninggalan Museum a. Pabrik Gula Gondang Winangoen b.Pabrik Gula Ceper Baru c. Pabrik Karung Bangunan Candi a. Candi Sewu b.Candi Plaosan Lor c. Candi Paosan Kidul d.Candi Lumbung e. Candi Bubrah
Lokasi
Jl.Raya Jogya-Solo, Ds.Plawikan, Kec. Jogonalan Ds. Ceper, Kec. Ceper Delanggu, Kec. Wonosari
Dk.Bener, Ds. Bugisan, Kec. Prambanan Dk. Plaosan, Ds. Bugisan. Kec. Prambanan Ds. Bugisan, Kec. Prambanan Ds. Tlogo, Kec. Prambanan commit user Kec. Prambanan Ds.toTlogo,
167
perpustakaan.uns.ac.id
f. Candi Asu/ Gana g.Candi Sojiwan h.Candi Lor (Candirejo) i. Candi Merak j. Candi Karangnongko 3
4
5
Situs a. Ngemplak Seneng b.Situs Wonoboyo c. Situs Padas d.Situs Kaliworo e. Situs Kunden
Monument a. Monumen Joeang „45 b.Monument Nartosabdo Bangunan Makam a. Makam Syeh Kewel b.Makam P. Wuragil c. Makam Ki Ageng Purwito d.Makam Ki Ageng Pamecutan e. Makam Syeh Joko f. Makam Jayeng Resi g.Makam Panembahan Menang Lasih h.Makam Ki Ageng Mintorogo i. Makam Ki Ageng Gribig j. Makam Kanjeng Ratu Tejowati k.Makam Sunan Pandanaran l. Makam Syeh Domba m. Makam Panembahan Romo n. Makam Ronggowarsito o. Makam Panembahan Agung Kajoran
digilib.uns.ac.id
Dk. Bener, Ds. Bugisan, Kec. Prambanan Dk. Sojiwan, Ds. Kebondalem, Kec. Prambanan Dk. Candirejo, Ds. Bugisan, Kec. Prambanan Dk. Candi, Ds./Kec. Karangnongko
Ds. Ngemplak Seneng, Kec, Manisrenggo Dk. Plosokuning, Ds. Wonoboyo, Kec. Jogonalan Ds. Padas, Kec. Karanganom Ds. Sukorini, Kec. Manisrenggo Dk. Kunden, Ds. Sumberrejo, Kec. Klaten Selatan Sangkalputung, Kec. Klaten Utara Damaran, Kec. Klaten Selatan Kec. Bayat, Klaten Kec. Bayat, Klaten Delanggu, Kec. Wonosari Dk. Sentono, Ds. Ngawonggo, Kec. Ceper Lemahireng, Kaligawe, Pedan Jeto, Gaden, Trucuk Konang, Kebon, Kec. Bayat Ds. Sememen, Kec. Jatinom Dk. Kauman, Kec. Jatinom Dk. Kauman, Ds. Sidoharjo, Kec. Polanharjo Ds. Paseban, Kec. Bayat Ds. Paseban, Kec. Bayat Dk. Kriyan, Ds. Jimbung, Kec. Kalikotes Dk. Kedon, Ds. Palar, Kec. Trucuk Dk. Kauman, Ds. Jimbung, Kec. Kalikotes
(Sumber: Disbudparpora Kab. Klaten, 2011)
Berdasarkan tabel peninggalan hasil kebudayaan purbakala di atas memberikan gambaran umum, bahwa Klaten merupakan daerah kabupaten yang telah memiliki sejarah panjang dalam perkembang an kebudayaan. Peninggalam museum pabrik commit gula dan karung menunjukkan, bahwa di to user
168
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Klaten dahulu telah memiliki sistem perekonomian yang sangat kuat yang dapat menopang kehidupan budaya. Dalam kehidupan pabrik telah terjadi tata hubungan menejerial antara buru h dengan atasannya. Namun, di sis i lain juga terjadi hubungan sosial-budaya di luar pekerjaan sebagai bentuk hubungan kekeluargaan. Peninggalan bangunan candi dan situs purbakala menandakan, bahwa pada waktu itu di Klaten telah terjalin hubungan harmonis antara rakyat dengan pemerintah (raja). Kerjasama it u diwujudkan dalam bentuk kegotongroyongan di antara masyarakat, baik yang berprofesi sebagai pendeta, pujangga, seniman, ahli teknik, tenaga kerja dan sebagainya, semua satu tujuan untuk mempersembahkan sesuatu yang berharga, berupa candi kepada rajanya. Di samping itu, pembangunan candi dapat memberdayakan lingkungan, sepert i pemanfaatan tanah, air, batu kali dan bajralepa yang diolah untuk menghadirkan sebuah karya besar tersebut. Di sisi lain, peningga lan-peninggalan monumen dan makam tokoh-tokoh bersejarah, menunjukkan adanya pejuang -pejuang di Klaten pada waktu itu yang bersentuhan dengan masyarakat. Berkat tokoh -tokoh pendahulu itu sedikit-banyak telah memberikan kontribusi kemajuan di Klaten sampai pada saat sekarang ini.
4.1.4 Keberadaan “Pasren” Sebagai Organisasi Kesenian Berdasarkan data organisasi kesenian yang berada di Dinas Kebudayaan, Paiwisata, Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kabupaten Klaten, secara commit to user
169
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keseluruhan di Klaten sampai saat ini terdapat banyak sekali organisasi kesenian. Hasil penelitian, sedikitnya mencatat 409 organisasi kesenian di kabupaten Klaten. Organisasi kesenian itu terbagi atas kelompok seni musik tradisional (kerawitan, musik klasik, cokean dan gejug lesung) sebanyak 135 buah, seni musik religi (laras madyo, musik islami, rebana, hadrah, sholawatan dan qosidahan) sebanyak 94 buah, musik nasional (organ tunggal, band, campur sari, orkes melayu, congdut, keroncong dan gadon) sebanyak 91 buah, seni teater tradisional (kethoprak, sandiwara, ludruk, dan wayang orang) sejumlah 39 buah, pertunjukan rakyat (jatilan, reog, kuda lumping dan srandul) sejumlah 38 buah, seni tari tradisional (tari topeng, tari Ramayana) sejumlah 6 buah, seni wayang (wayang kulit, wayang babad dan wayang tauhid) hanya tercatat 4 buah dan seni rupa juga hanya tercatat tiga buah organisasi. Data di atas menunjukkan, bahwa keberadaan “Pasren” sebagai salah satu organisasi kesenian di kabupaten Klaten tidak dapat terlepas dari organisasi kesenian yang lain. Secara kuantitas, keberadaan “Pasren” relatif sangat kecil, tetapi berdasarkan data yang berada di sekretariat “Pasren”, organisasi kesenian ini memiliki sisi kualitas organisasi, terutama dibuktikan dengan banyaknya aktivitas yang telah dilakukan sejak berdiri hingga sekarang. Dengan demikian, memahami keberadaan suatu oraganisasi kesenian tidak hanya sekedar jumlah yang terdaftar di lembaga pemerintah saja, namun tetap harus mempertimbangkan sisi yang lain, yakni aktivitas dan kontribusi yang bisa disumbangkan di dalam masyarakat, khususnya di bidang kebudayaan. Apa artinya jumlah yang banyak, jika organisasi itu tidak ada aktivitasnya. commit to user
170
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut berbagai sumber, kecilnya jumlah organisasi seni rupa di Klaten dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain: (1) seni rupa itu sendiri dalam penciptaannya bersifat individualistis. Artinya, dalam berkarya seni rupa, misalnya seni lukis dapat dikerjakan oleh seorang diri tanpa bantuan orang lain. Pengaruh ini dapat
berdampak
pada
sifat
pelukis
yang
individualistis
pula,
maka
kecenderungannya para pelukis itu sukar diajak atau diundang berorganisasi. Seperti yang disampaikan oleh Ibnu Wibowo, mantan ketua “Pasren” pertama, dikatakan: “…saya susah mengumpulkan kawan-kawan (baca: anggota “Pasren”) untuk mengadakan rapat,
tetapi
mereka
lebih
senang
kalau
langsung
disuruh
mengumpulkan lukisannya untuk dipamerkan” (Wawancara: Kamis, 19 Januari 2012), (2) Sifat pelukis itu lebih senang melihat daripada berbicara. Artinya, konsentrasi indera mata seorang pelukis lebih dominan dalam pengamati atau memaknai objek daripada indera mulutnya. Oleh karena itu, seorang pelukis lebih banyak berkarya daripada diskusi, rapat-rapat dan sebagainya. Berbeda dengan penyanyi atau pemain teater/ sandiwara yang lebih dominan bicaranya dan (3) Pelukis cenderung tidak menyukai kumpul-kumpul yang sifatnya formal. Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan organisasi seni rupa di Klaten tidak sebanyak organisasi kesenian yang lain. Walaupun secara kuantitas organisasi seni rupa di Klaten tidak banyak jumlahnya, namun di sisi yang lain “Pasren” dapat menunjukkan keberadaannya melalui olah karya lukisnya. Sebagai organisasi kesenian, “Pasren” telah diakui keberadaannya oleh Dewan Kesenian Klaten (Wankesten). Sebagaimana Ketua Wankesten (Harsono, Wawancara: Kamis, 26 Januari 2012), mengatakan: “…malah commit to user
171
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
justru “Pasren itu telah menjasai (baca: berjasa) pada Dewan Kesenian, karena telah menghidupkan kegiatan pada komite VII; seni rupa”. Di bawah perlindungan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kabupaten Klaten, setidaknya “Pasren” telah memberikan kontribusi dalam perkembangan dan pembangunan di bidang kebudayaan. Sebagai contoh, memprakarsai pendirian monumen dan patung Ki Nartosabdo (dalang kondang
sekaligus
budayawan
asli
Klaten).
Selain
itu
“Pasren”
juga
menyelenggarakan berbagai lomba melukis dalam event kedaerahan maupun nasional, seperti peringatan HUT Kabupaten Klaten, peringatan Hari Pendidikan Nasional, peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia dan sebagainya. Bahkan, atas inisiatif salah seorang anggota “Pasren” yang berprofesi sebagai anggota TNI Kodim 0723 Klaten, bernama Suwarto mengatakan, bahwa para anggota “Pasren” pernah mengadakan kegiatan melukis dinding (mural) bersama dalam rangka HUT Angkatan Perang 5 Oktober 2005 (Kapten Suwarto, Wawancara: Selasa, 24 Januari 2012). Namun, sayangnya lukisan dinding itu saat ini sudah ditutup dengan cat tembok dan tidak ada didapatkan foto dokumen secara utuh lagi. Di mata para pejabat dan tokoh pelukis senior, keberadaan “Pasren” mendapat sambutan baik dan apresiasi dengan baik. Hal ini dapat dibaca pada kata sambutan yang dituliskan di dalam katalog pameran yang diselenggarakan oleh “Pasren” dan beberapa dokumen di sekretariat “Pasren”. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui tabel IV.2 berikut ini.
commit to user
172
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel IV.2 Daftar Nama Tokoh Apresiator Karya Lukis “Pasren”
No 1 2 3 4
Nama Tokoh Suhardjono Putut H. Pramono H. Kasidi Drs.H.Soemardjo, MM
Jabatan/ Profesi Bupati KDH II Klaten Pelukis Senior Bupati KDH II Klaten Ka.Kandepdikbud Klaten
Asal Klaten Solo Klaten Klaten
Tahun 1991 1994 1996 1996
5 6 7 8 9
Pelukis Senior Pelukis Senior Pelukis Senior Pelukis Senior Pelukis dan Dosen Seni Rupa STSI Surakarta Pelukis Senior Dosen Seni Rupa UNS Anggota MPR RI Pengamat Seni
Jakarta Jakarta Surakarta Jogyakarta Surakarta
1996 1996 1996 1996 1996
10 11 12 13
Mustika Putut H. Pramono Bonyong Munny Ardhi Mahyar Drs.I Gusti Nengah Nurata Ahmad Supono, PR Narsen Alfatara Arief Nurdiyanto Ipong Purnama Sidhi
Jogyakarta Surakarta Jakarta Jogyakarta
14 15
Yahya Yunanta, SH Egro Djarod S, SE
Direktur TB. Jendela Direktur Exsekutif Yayasan Ash-Shomad International
Klaten Jakarta
1996 2003 2003 2004 2005 2010 2012
(Sumber: Dokumen dan Katalog Pameran “Pasren”, 1991-2012)
Dari hasil pameran, tidak sedikit karya yang dikoleksi oleh orang-orang penting dan pecinta seni lukis. Dengan demikian, secara tidak langsung keberadaan “Pasren” dikenal di kalangan kolektor. Untuk mengetahui lebih jelas keberadaan hasil karya pelukis “Pasren” di tangan para kolektor, maka dapat dilihat tabel IV.3 berikut ini.
commit to user
173
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel IV.3 Daftar Kolektor Karya Seni Lukis “Pasren”
No.
Nama Pelukis dan Karyanya
1 2 3
Kensudi Kus Indra Jaya Adi
4
Ansori, Mural Mosaik
5
Jaka SP, Pemandangan Alam, 2005 Pemandangan Alam di kaki Merapi, 2006 Pohon, 2006 Pemandangan Alam Tanah Toraja, 2006
Nama Kolektor dan Asalnya Tamalia Alisjahbana, Jakarta Pratiwi, Surakarta Rano Karno, Jakarta Herman Felani, Jakarta Sudwikatmono, Jakarta Ibrahim Rissyad, Jakarta Grafika Hotel, Gombong Brigjend. Kurdi Mustofa, Jakarta Ibu Ani Susilo Bambang Yudoyono, Jakarta Sunarno, Bupati Klaten H. Sujono, Bupati Pacitan Wardana, Dubes Indonesia Untuk Singapura Stanley Liew, Malaysia
(Sumber: Katalog Pameran “Pasren”, Januari 2008)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui keberadaan “Pasren” khususnya hasil karya lukisnya telah memasuki kalangan selebriti, rumah Bupati, istana Presiden RI, rumah Kedutaan RI dan bahkan sampai ke negeri Jiran Malaysia. Di sisi lain, keberadaan “Pasren” secara tidak langsung juga telah dikenal masyarakat luas, berkat kemauannya untuk menggelar pameran di luar Klaten. Berdasarkan studi katalog pameran, dapat diketahui, bahwa “Pasren” pernah menyelenggarakan pameran di luar daerah Klaten, misalnya pameran di Galeri Cipta Taman Ismail Marjuki (TIM) Jakarta tahun 1994, di Taman Budaya Jateng di Surakarta tahun 2004, di Benteng Vredeburg Jogyakarta tahun 2005 dan lain-lain. commit to user
174
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.1.5 Sejarah Singkat dan Aktivitas Organisasi “Pasren” Jauh sebelum berdirinya organisasi “Pasren”, di Kabupaten Klaten telah berdiri organisasi seni rupa, walaupun masih diragukan apakah ada keterkaitannya secara langsung atau tidak dengan proses kelanjutan dengan pendirian “Pasren”. Menurut Karang Sasongko (39 tahun); putra dari pelukis nasional asal Klaten; Rustamadji (alm.) dikatakan, bahwa pada tahun 1961 telah berdiri sebuah Asosiasi Pelukis Indonesia Klaten (APIK) yang diprakarsai oleh tokoh kartunis Indonesia; GM.Sudarta (Karang Sasongko, Wawancara: Minggu, 23 Januari 2012). Bahkan, GM. Sudarta pun mengaku bergabung dengan APIK yang dipimpin oleh Sri Suharto (alm.) itu sudah sejak masih duduk di bangku SMP. Bersama-sama dengan Mas Sudjio (pelukis asal Klaten), dalam keseharian setelah pulang sekolah pergi membawa map berisi kertas buram, berjalan ke mana saja, termasuk ke pasar membuat untuk sketsa (GM. Sudarta, 2007: 261 dan Wawancara: Minggu, 23 Januari 2012).
Gambar IV.4 GM.Sudarta commit to user Kartunis/ Pelukis Indonesia Asal Klaten/ Anggota “Pasren” (Sumber: Foto Penulis, 23 Januari 2012) 175
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Namun, karena pada orde lama itu terjadi pergolakan politik, seperti halnya Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) yang terekrut sebagai anderbow untuk agitasi PKI, maka sebagian anggota APIK ada yang terekrut juga di dalamnya. Oleh karena itu, pasca G.30 S/PKI setelah memasuki jaman orde baru organisasi APIK ini tidak bisa berkembang, karena pengaruh tekanan politik orde baru yang sangat antipati pada organisasi yang sedikit bersinggungan dengan organisasi PKI. Dengan demikian, APIK ini pun bubar dengan sendirinya, tidak diketahui lagi kapan dan bagaimana proses pembubarannya. Setelah mengalami kefakuman puluhan tahun keorganisasian seni rupa di Klaten, maka pada tahun 1981 berdiri kelompok seni rupa yang diberi nama “Suwung” yang didirikan oleh Ibnu Wibowo (57 tahun) sekaligus sebagai ketuanya (Karang Sasongko, Wawancara: Minggu, 23 Januari 2012). Di tempat berbeda, Ibnu Wibowo (Wawancara: Kamis, 19 Januari 2012) mengakui kelompok “Suwung” yang diketuainya sebagai bentuk angkatan seni rupa Indonesia di Klaten, sebagaimana di kota-kota lain juga berdiri organisasi itu. Tujuan didirikan kelompok “Suwung” adalah untuk mengisi kekosongan aktivitas pelukis Klaten saat itu untuk berkumpul dan berpameran bersama. Diakuinya pula, bahwa dia pun ikut mendirikan “Pasren”, namun tidak mau mengaitkannya dengan kelompok “Suwung” yang didirikan sebelumnya. Dengan demikian, terlepas ada kaitanya atau tidak dengan organisasi-organisasi seni rupa sebelumnya, yang jelas organisasi “Pasren” sebagai organisasi kesenian di Klaten telah diawali oleh keberadaan organisasi seni rupa pendahulunya. Hal ini tentunya juga akan membawa commit to user
176
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengaruh terhadap perkembangan “Pasren” selanjutnya, karena sebagian besar pendiri “Pasren” juga pendiri organisasi seni rupa sebelumnya. Diawali dari sebuah perbincangan santai pada akhir bulan April 1991, antara Almarhum Rustamadji, Yanto KS, dan Karang Sasangka, tercetuslah sebuah gagasan untuk mengumpulkan pelukis-pelukis di Klaten dengan tujuan mengadakan sebuah pameran bersama. Mereka merasakan jarang ada pameran lukisan di kabupaten Klaten saat itu, padahal di kota ini terdapat cukup banyak pelukis-pelukis yang potensial. Beberapa hari setelah perbincangan tersebut, maka mulailah Karang Sasangka yang tak lain adalah putra dari pelukis Rustamadji ini menghubungi rekan-rekannya, baik yang masih aktif berkarya maupun tidak. Ternyata ide tersebut mendapat tanggapan yang positif. Pertemuan pertama dilangsungkan pada tanggal 9 Mei 1991 di rumah Almarhum Rustamadji yang sekarang menjadi “Griya Seni Rustamadji”. Hadir pada waktu itu antara lain: Rustamadji, Yanto KS, Ismu Suryo Wibowo, Basuki Sastroatmojo, Karang Sasangka, Ibnu Wibowo, Basuki Kisworo, Bambang DP, Bodas Erlangga dan Andoyo Wardoyo. Pada pertemuan tersebut pada intinya setuju mengadakan sebuah pameran seni rupa di Klaten, bukan pameran lukisan seperti gagasan semula. Belum perlu membentuk sebuah kelompok atau organisasi seniman seni rupa, yang hanya sekali saja mengadakan pameran langsung bubar. Maka, hanya hanya terbentuklah berupa Panitia Pameran saja. Setelah pertemuan pertama berjalan dengan lancar, maka dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. Pada setiap pertemuan jumlah seniman yang commit to user
177
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendaftarkan diri terus bertambah hingga mencapai lebih dari 50 orang. Dari pertemuan-pertemuan tersebut, berhasil membuat keputusan untuk mengadakan sebuah pameran seni rupa yang diberi tema "Pameran Seni Rupa Klaten 91", yang akan diadakan pada bulan Agustus 1991 sekaligus merayakan Hari Kemerdekaan RI ke46. Pameran ini akhirnya dapat digelar tanggal 20-25 Agustus 1991 di Gedung DPRD Kabupaten Klaten dan dibuka oleh Suhardjono selaku Bupati Kepala Daerah Tingkat II Klaten Dalam acara ramah-tamah antara Bupati dengan para seniman peserta pameran, setelah acara pembukaan, disarankan untuk membentuk suatu wadah bagi para seniman seni rupa di Kabupaten Klaten. Pameran tersebut mendapat sambutan yang positif dari Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten, masyarakat dan pelajar. Tidak kurang dari 3000 pengunjung yang menikmati hasil karya seni dari sekitar 40 peserta pameran, baik yang tinggal di Klaten maupun yang berdomisili di luar Klaten seperti Jogyakarta, Bandung, Jakarta dan lain-lain. Pada hari terakhir pameran, diadakan sebuah acara saresehan yang membahas masalah pameran tersebut atau evaluasi serta langkah-langkah selanjutnya. Di dalam saresehan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan untuk mendirikan sebuah kelompok seniman seni rupa di Kabupaten Klaten, tetapi namanya belum ditentukan. Tujuan dari pembentukan tersebut adalah untuk mengakrabkan para seniman seni rupa, meningkatkan kualitas karya dan mendorong untuk lebih kreatif. Pada tanggal 5 September 1991 bertempat di JI. Pramuka No 58 Klaten, diadakan acara syukuran atas suksesnya Pameran Seni Rupa '91 dan pembubaran panitia, serla menentukan nama kelompok seniman seni rupa. commit to user
178
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah diadakan pemilihan dari beberapa nama yang diusulkan, ternyata nama "Pasren" (Paguyuban Senirupawan Klaten). Akronim “Pasren” yang diusulkan oleh pelukis Hardjija inilah yang paling banyak mendapat respon dan sisetujui. Menurut Hardjijo (Wawancara: Rabu, 29 Februari 2012), istilah “Pasren” sebagai suatu kata yang diartikan “hiasan”. Secara bahasa, istilah pasren berasal dari kata Sri, sebuah nama Dewi Sri (Dewi Padi) yang sangat dihormati para petani Jawa pada umumnya. Dari kata Sri ini memperoleh awalan pa dan akhiran an, yang menunjuk adanya suatu tempat. Pada sisi lain, kata pasren berasal dari kata asri, yang berarti paasrian, atau berarti tempat yang indah. Masyarakat petani Jawa meyakini, bahwa panen dan tidaknya, amat tergantung pada kemurahan hati Dewi Sri. Untuk memanggil Dewi Sri, petani Jawa harus menyediakan tempat khusus, yang dinamakan pasren. Tempat ini harus ditata yang indah dan bersih untuk memohon berkah darinya (Subiyantoro, 2010: 147-148). Dengan demikian, terminologi istilah “Pasren” dapat diartikan suatu tempat indah yang dihias atau diberi “hiasan” untuk keperluan khusus. “Pasren” muda itu pun antusias sekali untuk mengadakan pameran-pameran seni rupa dari tahun ke tahun, baik di dalam maupun di luar Klaten hingga tahun 1996. Namun, sejak tahun 1996 itu “Pasren” tampaknya mengalami kemandegan dalam aktifitas pameran. Hal ini mengetuk hati seorang Kartunis sekaligus sebagai salah satu anggota “Pasren” bernama GM. Sudarta, untuk mempertahankan nama besar “Pasren” agar tidak surut dimakan jaman. Maka, timbulah niat untuk mengumpulkan komunitas perupa Klaten ini di kediaman GM. Sudharta, JI. Palem Putri 55-57 Perumahan Klaten Kencana, Klaten Utara yang dijadikan sebagai commit to user
179
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekretariat “Pasren” Titik awal dari kebangkitan “Pasren”
ini adalah digelarnya
sebuah pameran dengan tajuk "Gelar Seni Rupa Klaten 2003", yang mengambil tempat di “Griya Seni Rustamadji”, Jalan Pramuka No. 58 Klaten. Kemudian berlanjut berkegiatan hingga dengan menggelar pameran "Gelar Seni Rupa Pasren 2008" di Gedung RSPD Klaten. Pada acara saresehan evaluasi pameran saat itu, diinventarisasikan jumlah anggota dan diadakan pergantian ketua. “Pasren” hingga kini beranggotakan tidak kurang dari 120 orang seniman yang terdaftar, namun yang aktif sekitar 60 orang yang terdiri dari berbagai macam latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Sejak berdirinya “Pasren” hingga sekarang telah mengalami perubahan kepengurusan, yakni sejak tahun 1991 hingga 2003 ketuanya dijabat oleh Drs. Djoko Basuki. Mulai tanggal 19 Januari 2003 jabatan ketua digantikan oleh Drs. Sigit Giri Purwono dan pasca penyelenggaraan pameran 13-19 Januari 2008 hingga sekarang tahun 2012 jabatan ketua dipegang oleh Ansori (Ansori, Wawancara: Kamis tanggal 12 Januari 2012). Ketika Ansori terpilih menjadi ketua, maka sekretariat “Pasren” telah dipindahkan di kediamannya, di Jalan Cemara No.14 Klaten.
Gambar IV.5 Ansori, Ketua “Pasren” di Galerinya commit to user (Sumber: Foto Penulis, 12 Januari 2012)
180
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sejak berdiri hingga sekarang, “Pasren” tercatat telah menyelenggarakan tidak kurang dari 18 kali pameran dan beberapa kegiatan kesenirupaan lainnya. Adapun kegiatan yang telah dilaksanakan PASREN antara lain: (1). Kegiatan Pameran a. Pameran Seni Rupa Klaten tahun 1991 di Klaten b. Pameran Seni Rupa “Pasren” tahun 1992 di Klaten c. Pameran Coret tahun 1992 di Sanggar Pramuka Klaten d. Pameran Seni Rupa “Pasren” tahun 1993 di Klaten e. Pameran Lukisan dan Patung tahun 1994 di Gallery Cipta TIM Jakarta f. Pameran Lukisan dan Patung tahun 1994 di Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta g. Pameran Seni Rupa “Pasren” tahun 1994 di Klaten h. Pameran Seni Rupa “Pasren” 1995 di Pendopo Kabupaten Klaten i. Pameran Seni Rupa “Pasren” tahun 1996 di Gedung RSPD Klaten j. Gelar Seni Rupa “Pasren” 2003 di Griya Seni Rustamadji Klaten k. Bursa Lukisan tahun 2003 di Plaza Matahari Klaten l. Pameran Pasren 2004 di Balai Sudjatmoko Surakarta m. Gelar Seni Lukis “Pasren” tanggal 4-11 Juli 2004 di SMPN 2 Klaten n. Gelar Luiisan “Pasren” tanggal 28 Juli-2 Agustus 2005 di Benteng Vredeburg Yogyakarta o. Gelar Seni Rupa “Pasren” tanggal 13-19 Januari 2008 di Gedung RSPD Klaten
commit to user
181
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
p. Pameran Seni Lukis Anak “Pasren” tanggal 14-21 Februari 2010 di J-Sport Hall Toko Buku Jendela Klaten q. Pajang Karya Seni Lukis “Pasren” tanggal 9-14 Januari 2012 di Padepokan Ash-Shomad International Jatinom, Klaten r. Pameran Seni Lukis “Pasren” kutho seni, ndadani kutho tanggal 1924 Februari 2012 di Aula Kecamatan Klaten Tengah. (2). Menjadi Juri untuk berbagai lomba melukis baik tingkat TK, SD, SLTP dan SLTA. (3) Menjadi Perancang dan pelaksana pembangunan monumen dalang kondang asal Klaten, Ki Nartosabdo. (4) Melukis dinding (Murral) bersama pelukis “Pasren” di sepanjang dinding Kodim 0723 Jalan Tentara Pelajar Klaten. (5) Mengadakan pertemuan rutin dan melukis bersama. Dengan demikian, terbentuknya organisasi “Pasren” tersebut dilandasi atas adanya gagasan untuk mengumpulkan seniman seni rupa Klaten, mengadakan pameran bersama dan kepentingan bersama untuk mewujudkan tujuan tertentu. Paguyuban kesenian ini merupakan bentuk organisasi dan simbol profesi manusia untuk berinteraksi sosial melalui hasil karya seni rupa. Artinya, “Pasren” merupakan organisasi kesenian yang beranggotakan para seniman seni rupa yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, agama, pekerjaan, dan asal daerah di Kabupaten Klaten. Kegiatan yang diwadahi oleh organisasi “Pasren” adalah pameran bersama dan saresehan untuk membahas dan mengevaluasi setiap hasil kegiatan. Secara internal, commit to user
182
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
organisasi ini berupaya menjalin silaturohim dan membantu permasalahan yang dihadapi anggota organisasi. Secara eksternal, organisasi ini memberikan sumbangan pemikiran, bertindak sebagai pemrakarsa, dan pelaksana berbagai aktivitas berkesenian di Kabupaten Klaten.
Gambar IV.6 Patung Ki Nartosabdo (Alm.) Dalang Kondang Sebagai Simbol Figur Budaya Klaten (Sumber: BPS Kab. Klaten, 2011)
4.1.6 Sekitar Organisasi “Pasren” Beberapa temuan umum sekitar “Pasren” merupakan organisasi-organisasi seni rupa. Berdasarkan data-data yang didapatkan di lapangan, ada sebagian organisasi yang terkait dengan “Pasren”dan ada pula yang tidak terkait. Adapun organisasi seni rupa yang dimaksud antara lain: (1)commit Ketikatomendatangi sekretariat “Pasren” di Jalan user
183
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Cemara No. 14 Klaten, di depan atas pintu terpampang tulisan komisariat wilayah “Sanggar Bambu” Jogyakarta. Menurut Ansori (Ketua “Pasren”), bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara Sanggar Bambu dengan “Pasren”, namun sebagian pengurus Sanggar Bambu tidak jarang datang ke sekretariat
“Pasren”
untuk
berdialog membicarakan perkembangan seni rupa atau senu lukis. Begitu juga, sebagian anggota “Pasren” ada yang ikut tergabung dalam keanggotaan Sanggar Bambu. Hal itu sesuai pengakuan Ansori, bahwa di samping menjabat ketua “Pasren”, sekaligus ditunjuk sebagai koodinator Sanggar Bambu untuk wilayah Klaten dalam menyampaikan segala informasi kegiatan, termasuk keikutsertaan anggota “Pasren” atau pelukis Klaten yang lain mengikuti pameran yang diselenggarakan Sanggar Bambu. (2) Berdasarkan temuan di Kantor Disbuparpora Kabupaten Klaten tahun 2011, ditemukan dua organisasi seni rupa. Pertama, yakni satu tahun sebelum berdirinya “Pasren”, tepatnya tahun 1990 telah berdiri organisasi seni lukis bernama “Nusa Barong” yang beralamat di Desa Jambu Kulon, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Setelah diadakan pendalaman data, ternyata organisasi seni lukis itu diketuai oleh Yanto KS yang tidak lain adalah salah satu tokoh pendiri “Pasren”. Kedua, adalah Kelompok “Alim” (Atas limapuluh) yang beralamat di Kelurahan Tonggalan, Kecamatan Klaten Tengah. Organisasi ini beranggotakan para pelukis yang memiliki umur di atas 50 tahun yang sampai saat ini masih diketuai oleh M. Ismail. Secara organisatoris antara “Pasren” dengan “Alim” tidak ada hubungan langsung, hanya anggota “Alim” sekaligus sebagai anggota “Pasren” di kalangan pelukis tua. Kerjasama kedua organisasi ini adalah dalam bentuk kegiatan pameran maupun commit to user
184
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyelenggaraan lomba-lomba lukis, misalnya terutama dalam kepanitiaan sangat erat sekali. Hal ini terlihat pada katalog-katalog pameran, yang diselenggarakan oleh “Pasren” selalu tercantum nama-nama anggota “Alim” sebagai penasihat atau sesepuh. Temuan berikutnya adalah (3) “Pasermanis” (Paguyuban Seni Rupawan Manisrenggo). Menurut Ansori, “Pasermanis” adalah organisasi seni rupa yang merupakan anak cabang dari “Pasren” dan dikelola oleh Umarsidi dan Sutrasno. Tujuan didirikan organisasi ini adalah untuk menghimpun perupa atau pelukis yang berdomisili di Kecamatan Manisrenggo Klaten. Kegiatannya adalah berupaya mengembangkan kesenirupaan dan sekaligus sebagai penghubung informasi kegiatan yang di selenggarakan “Pasren”. (4) Di tempat yang lain, tepatnya di Kampung Belang Wetan, Kecamatan Klaten Utara terdapat sebuah galeri seni Wayang Beber yang didirikan dan diketuai oleh M.Ng. Musyafik Prasetya. Beliau adalah seorang pelukis dan dalang wayang beber kontemporer. Organisasi ini tidak ada hubungan langsung dengan “Pasren”, namun ketuanya termasuk sebagai anggota “Pasren” di kalangan senior. Kegiatannya adalah membuat dan menyelenggarakan pergelaran wayang beber, baik bersamaan dengan pameran seni lukis “Pasren” maupun diundang secara khusus. Dengan demikian galeri seni wayang beber ini dapat memperkaya kegiatan “Pasren” dan secara tidak langsung sekaligus untuk menambah tersebarnya keberadaan “Pasren” di kalangan luas. Temuan ke (5) adalah “Pasren Junior”. Secara organisatoris, “Pasren Junior” ini mendapat pembinaan langsung dari “Pasren” demi meningkatkan kreativitas lukis anak dan pelajar di kabupaten Klaten. Di samping itu, “Pasren Junior” didirikan commit to user
185
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bertujuan untuk menggali potensi dan minat anak untuk meggemari seni lukis sebagai bentuk ungkapan gagasan anak. Artinya, seni lukis dapat dijadikan bentuk kompensasi positif agar anak dan pelajar tidak tergelincir pada perbuatan-perbuatan tercela.
Penjaringan
anggota
yang
dilakukan
“Pasren”
adalah
dengan
menyelenggarakan lomba lukis anak dan pelajar. Dari banyak karya hasil lomba itu kemudian dipamerkan dan ditentukan pemenangnya. Setelah diadakan presentasi tentang pentingnya anak berkarya seni lukis kepada orang tua anak, maka pada saat itu juga para peserta lomba disodori blanko pendaftaran bagi yang berminat. Menurut Ansori, sampai saat ini anak-anak yang tergabung dalam “Pasren Junior” tercatat lebih dari 30 anak yang terdiri dari anak pelukis anggota “Pasren” dan anak-anak pelajar pada umumnya. Di samping mendapat bimbingan dari pihak “Pasren”, ada sebagian anak anggota “Pasren Junior” sebenarnya juga mendapatkan bimbingan dari pihak-pihak lain. Sebagaimana yang diakui oleh salah satu anggota “Pasren Junior” bernama Miftakhul Jannah (16 tahun), mengatakan: “Saya sebenarnya sebelum ikut bergabung ke dalam “Pasren”, saya telah mengikuti les seni lukis di Global Art satu kali dalam seminggu dan di Suket Art di bawah asuhan pak Andi” (Miftakhul Jannah, Wawancara: Sabtu, 28 Januari 2012). Terlepas siapa yang memberikan bimbingan pada anak-anak anggota “Pasren Junior” tersebut, setidaknya organisasi kecil ini dapat dijadikan upaya penggenerasian keberadaan “Pasren” di masa yang akan datang. (6) Merupakan temuan yang paling unik, yaitu Ibnu Wibowo yang pada uraian sebelumnya disebut sebagai salah satu tokoh pendiri “Pasren”, ternyata dia juga commit to user
186
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mnekuni sebagai kolektor benda-benda antik (kuno) disamping juga masih aktif melukis. Benda-benda antik yang dikoleksinya cukup banyak dan beragam. Saking banyaknya, untuk masuk rumah kediamannya di jalan Veteran depan SPBU Pertamina, cukup susah dengan merunduk-runduk, karena mulai dari depan rumah sampai ke bagian belakang tertutup oleh benda-benda koleksinya. Kebanyakan benda koleksinya berupa perangkat instalasi rumah tradisional dan funiture, misalnya gebyog, rono (penyekat ruangan), meja, kursi, almari, buffet dan lain-lain. Di samping itu, terdapat pula benda-benda antik lainnya, seperti lampu tradisioal, lampu kuno hias, keramik kuno, alat-alat rumah tangga kuno, dan sebagainya. Benda-benda koleksinya itu, diperolehnya dengan cara mendatangi ke pelosokpelosok desa apabila ada informasi ada di desa itu. Di samping itu, tidak jarang ada yang diantarkan oleh pemiliknya sendiri. Berdasarkan pengakuan pemiliknya; Ibnu Wibowo (Wawancara: Kamis, 19 Januari 2012) mengatakan, bahwa tujuan mengoleksi benda-benda antik itu sudah menjadi hobby sejak masih di sekolah dasar, kemudian berlanjut sampai sekarang ini. Tidak menutup kemungkinan benda-benda koleksinya itu dapat dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Dari hasil penjualan itu, sebagian untuk menghidupi keluarganya dan sebagian lagi untuk membeli peralatan lukis. Diakuinya pula, bahwa ketika mendatangi pelosok-pelosok desa untuk berburu benda-benda antik tersebut, di balik itu dia dapat sekaligus mengamati suasana kehidupan sosial-budaya pedesaan yang nantinya dapat dijadikan sebagian dari objek lukisannya.
commit to user
187
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.2 Aspek Keberagaman Karya Seni Lukis “Pasren” Seperti telah diuraikan di atas, diferensiasi sosial-budaya yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat Klaten ternyata sangat mempengaruhi konsep penciptaan karya seni lukis “Pasren”. Berdasarkan pemilihan objek, warna, dan teknik yang ditampilkannya menunjukkan penampakan latar belakang ideologi, pemikiran dan filosofis pelukisnya. Dengan demikian, latar belakang keberagaman sosial-budaya yang didukung oleh ideologi, pemikiran dan filosofis pelukisnya sangat mewarnai keberagaman corak dan gaya seni lukis “Pasren”. Tampaknya corak dan gaya membentuk keberagaman simbol yang termanifestasikan melalui objek-objek karya seni lukis “Pasren”. Berdasarkan pengamatan dan penelitian terhadap karya-karya seni lukis “Pasren” ditemukan keunikan-keunikan yang melekat pada setiap karya pelukis “Pasren”.
4.2.1 Keberagaman Objek Lukisan Karya Pelukis “Pasren” Dengan mengamati karya-karya seni lukis yang diciptakan para pelukis anggota “Pasren” menunjukkan bentuk objek yang beranekaragam. Keberagaman bentuk objek itu terdapat unsur kesamaan, kemiripan, dan perbedaan yang menjadi tanda atau simbol ungkapan perasaan para pelukis “Pasren” masing-masing. Sebagian besar kesamaan bentuk adalah objek pemandangan alam. Misalnya, lukisan naturalisme hasil karya Joko SP (47 th) yang berjudul “Pemadangan Alam di Kaki Merbabu” (2005) memberikan tanda keindahan alam dan sebagai simbol kecintaannya terhadap alam semesta ciptaan Allah. Lukisan karya Umarsidi (39 th) commit to user
188
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berjudul “Sudut Desa” (2006) dan karya Choirun Sholeh (47 th) berjudul “Diantara Pepohonan” (2005), walaupun tidak seindah karya Joko SP, namun juga memberikan tanda keindahan dan simbol kecintannya terhadap alam desa dan kerindangan pepohonan. Demikian juga, bentuk simbol kecintaan terhadap alam adalah karya Suwarto (55 th) berjudul “Pesona Merapi” (2007) dan karya Kus Indra (43 th) berjudul “Lembah Merapi” (2007), keduanya mengangkat objek gunung sebagai tanda-tanda keindahan alam tesendiri. Dari beberapa pelukis yang memilih karya lukisan yang berobjek pemandangan alam tersebut yang terbanyak adalah Joko SP, bahkan pelukis ini dengan konsisten memproklamasikan dirinya sebagai pelukis dengan objek pemandangan alam (Wawancara: Senin, 20 Februari 2012). Hal ini seperti yang terpampang pada art gallery dan studio naturalism painting miliknya. Sepenggal dari objek keindahan alam adalah bentuk tumbuhan, binatang dan manusia sebagai tanda kehidupan hayati dan simbol hubungan ekosistem dan makrokosmos, dalam hubungannya dengan kodrat alam. Beberapa pelukis “Pasren” yang mengangkat objek tumbuh-tumbuhan antara lain: Karang Sasongko (49 th) dengan lukisannya yang berjudul “Hutan” (2005), Kensudi (57 th) berjudul “Kelapa Bergelantungan” (2005), Rustamaji (alm) berjudul “Sepotong Hutan”, Mbah Mardi (79 th) berjudul “Tanamannya Simbah” (2004) dan Darto berjudul “Pohon Jambu” (2009). Memperhatikan objek-objek lukisan hasil karya para pelukis “Pasren” tersebut menunjukkan suatu simbol wujud syukur atas karunia Allah telah memberikan rejeki melalui buah hasil dari tumbuhan-tumbuhan tersebut. Sebagaimana dikatakan Mbah Mardi (Wawancara: Rabu, 15 Februari 2012) sebagai berikut.
commit to user
189
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Kito puniko namung titah sawantah, mas mboten saged damel menopo-menopo menawi boten karenaning panguwaosanipun Gusti Allah. Kito sedoyo sampun pinaringan rejeki hasil alam arupi panenan saking taneman-taneman kados puniko. Awit saking puniko, kito kedah muji syukur ingkang paring rejeki, mas…” (“Kita itu hanya manusia biasa, mas tidak bisa berbuat apa-apa jika bukan karena kekuasaan Allah SWT. Kita semua sudah diberikan rejeki hasil alam berupa hasil panen dari tanaman-tanaman seperti itu [sambil tangannya menunjuk lukisannya]. Oleh karena itu, kita seharusnya bersyukur terhadap yang memberikan rejeki, mas …”). Selain itu, terdapat pula jenis objek tumbuhan yang berbentuk bunga yang merupakan suatu penggalan tanda-tanda keindahan alam juga. Tanda-tanda keindahan yang terdapat pada objek bunga paelukis “Pasren” itu bisajadi menyiratkan simbol kepribadian seseorang yang sedang mengalami perkembangan jiwa dan idealismenya. Misalnya, lukisan hasil karya Wulandari (36 th) berjudul “Bunga Kamboja” (2003) diakuinya, bahwa bunga kamboja sebagai simbol kecintaannya terhadap indahnya kehidupan apabila dijalani dengan senang hati dan jika dijalani dengan meggerutu; tidak pernah bersyukur, maka keindahan itu akan segera mati (Wulandari, Wawancara: Rabu, 21 Maret 2012). Dengan demikian, bunga Kamboja menjadi simbol keindahan hidup dan sekaligus simbol kematian. Sedikit berbeda dengan lukisan karya Mutmainah (45 th) berjudul “Bunga Tulip” (2003) dan Agung Istanta (36 th) berjudul ”Bunga Gerbera” (2005), keduanya menyiratkan simbol keidahan dalam kehidupan saja. Sebagaimana dua pelukis ini menyampaikan konsep berkaryanya. Baginya, bahwa hidup ini penuh keindahan, maka dia melukis bunga. Demikian juga, Agung Istanto membarikan kesaksian dalam berkarya dia selalu tertarik pada keindahan yang diwujudkan dengan objek bunga (Katalog Pameran, 28 Juli - 2 Agustus 2005). commit to user
190
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sementara objek yang berbentuk binatang antara lain lukisan karya Efi Suraningsih (29 th) dengan objek Buaya berjudul “Mampukah Bertahan” (2005) yang menyimbolkan, bahwa tidak ada kehidupan yang langgeng pada sesuatu yang kuat sekali pun, jika tidak diikuti suatu dukungan keadan alam yang memadai. Buaya sebagai symbol kekuatan namun kekuatan itu akan sirna, ketika buaya itu untuk bertahan di daratan yang panas terik. Berbeda dengan karya Hendra Murdwi (43 th) dengan objek sekumpulan kerbau yang berjudul “Kungkum” (2005) simbol kebodohan yang digambarkan binatang kerbau, namun karena dukungan alamya memadai, maka mampu bertahan hidup dan menikmati kehidupannya. Dua lukisan hasil karya Baswendra (52 th) dengan objek kuda berjudul “Berlari di Awan” (2005) dan karya Kus Indra (43 th) juga dengan objek kuda yang berjudul “Di Kejar Badai” (2004) menyiratkan simbol kedinamisan dalam kehidupan. Sebagaimana kebanyakan orang mengakui, bahwa kuda diidolakan penggemarnya, karena dianggap memiliki kejantanan, kekuatan dan ketahanan baik dalam berlari maupun tenaganya.
Lain halnya dengan karya Thomas Handoko
berjudul “Kucing” (2009) dan karya Hartono (41 th) berjudul “Masih Buas” (2000) melukiskan objek spesies carnivora yang hanya menampilkan wajah atau kepalanya dengan sorotan mata yang tajam. Tampaknya kedua lukisan ini lebih mementingkan simbol kebuasan sekaligus kewibawaan. Sementara
lukisan karya Wulandari (36 th) dengan objek ikan berjudul
“Louhan” (2003) dan karya Maryanto (30 th) berjudul “Ikan Koi” (2008) menandakan, bahwa ikan itu untuk sebagian orang tidak lagi merupakan kebutuhan commit to user
191
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
primer sebagai lauk makan, melainkan sebagai kebutuhan tersier setara dengan piaraan burung, yakni sebagai klangenan. Adapula objek yang berupa manusia baik laki-laki atau perempuan pada karya seni lukis “Pasren” paling banyak mendominasi setiap penyelenggaraan pameran. Beberapa contoh lukisan yang memuat objek orang laki-laki tersebut antara lain: karya Hardjijo (73 th) berjudul “Senja Penggali-penggali Tanah” (1981) sebagai simbol kerasnya kehidupan di kota besar yang dialami masyarakat kecil untuk menghidupi keluarganya. Senada dengan karya Hardjijo adalah karya Warsito Subroto (42 th) berjudul “Tekun” (2004) juga menyimbolkan perjuangan hidup demi keluarga seorang tua pengrajin tong sampah atau tong air. Di sisi lain, lukisan hasil karya Santosa (35 th) berjudul “Kumpul Bocah” (2005), dan karya Sigit GP berjudul “Lamunan Bocah” (2005) keduanya memberikan simbol kehidupan anak-anak yang selalu menampilkan keceriaan dan sekali waktu anak-anak tersebut memiliki lamunan atau cita-cita. Berbeda dengan karya Ibnu Wibowo (57 th) yang menciptakan lukisan berjudul “Anak dan Burung” (1990) menandakan adanya sebuah kontradiksi antara sebuah keakraban dan pemasungan antara seorang bocah dan burung piaraan orang tuanya. Seperti yang dikemukakan, bahwa seorang bocah itu memilki sifat bermain dan sejuta harapan, baik bagi dirinya maupun orang lain (Ibnu Wibowo, Wawancara: Kamis, 19 Januari 2012). Simbol sejarah dan politik tampak pada lukisan hasil karya Jaya Adi (51 th) dengan objek Presiden Suharto berjudul “Kubuka Kacamataku” (2003), yang memberikan simbol, bahwa di balik kacamata pak Suharto tercermin sebuah sejarah commit to user
192
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
panjang mulai dari beliau berjuang di medan perang, menjadi presiden selama kurang lebih 32 tahun sampai dilengserkan pada tahun 1998. Demikian pula dengan karya Ansori (51 th) berjudul “Panglima Sudirman” (2007) yang juga menyiratkan simbol sejarah. Dalam hal simbol sejarah itu, Ansori mengatakan: “Di balik profil tokoh lukisanku itu menyiratkan cerita perjuangan seorang Jendral Sudirman sebagai panglima perang untuk mempertahankan tanah air. Walaupun beliau dalam kondisi sakit parah, tetapi beliau tetap berjuang bersama anak buahnya bergerilya keluarmasuk hutan melawan penjajah Belanda” (Ansori, Wawancara: Kamis, 12 Januari 2012). Objek orang wanita diangkat pada lukis “Pasren” lebih banyak dibandingkan dengan objek orang laki-laki. Bahkan, satu anggota “Pasren” saja seperti GM. Sudarta (66 th) mengangkat objek wanita ke atas kanvasnya tidak kurang dari sepuluh objek yang digambarkan dengan berbagai pose. Menurutnya, bahwa di balik aura kecantikan wanita itu memiliki bermacam-macam kelebihan yang menakjubkan bagi lawan jenisnya. Ada yang bersifat positif, ketika wanita mampu menjaga kehormatannya untuk menempatkan diri dan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Namun, sebaliknya apabila wanita tidak bisa menjaga kehormatannya, misalnya masuk ke „dunia hitam‟, maka dia tidak memiliki nilai sama sekali bagi kehidupan (GM. Sudarta, Wawancara: Minggu, 23 Januari 2012). Hal ini sesuai dengan hadist Rosulullah, Muhammad SAW yang berbunyi: “seindah-indah perhiasan dunia adalah wanita sholehah”. Dengan demikian, menunjukkan, bahwa wanita itu baik di mata Allah maupun manusia merupakan makhluk yang mulia, jika dapat menjaga nilainilai kewanitaannya dengan baik. Misalnya seperti pada karya Joko SP (47 th) commit to user
193
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berjudul “Megawati” (2004) merupakan simbol peranan wanita yang paling tinggi di pemerintahan, yakni pernah menjabat presiden Republik Indonesia. Pelukis-pelukis “Pasren” lain yang mengangkat objek wanita antara lain Ismu Suryo Wibowo (67 th) berjudul “Seorang Wanita Pita Biru” (1982), memberikan simbol kecantikan di balik keluguan seorang wanita. Dalam kecantikan dan keluguan seorang wanita itu terdapat pula simbol perjuangan wanita, seperti tampak pada lukisan karya Isnu Murdewa (44 th) berjudul “Wanita Jualan” (2004), Karya Cak Min (38 th) yang melukiskan kesibukan ibu-ibu pedagang di pasar bejudul Wayah Rolasan (2005) dan karya Sutrasno (35 th) melukiskan dua orang wanita berjudul “Penjual Bunga” (2003). Ketiga karya itu menyiratkan simbol perjuangan hidup seorang wanita pedagang dalam berjualan. Sementara simbol wanita buruh terdapat pada karya Rosana (37 th) melukiskan seorang wanita tua berjudul “Menganyam Rotan” (2003) sebagai simbol ketekunan seorang wanita. Senada dengan karya Rosana, adalah karya Kensudi (57 th) yang melukiskan seorang ibu desa berjudul “Mencuci” (2003), karya CB.Martanto (53 th) melukis seorang tua sedang membuat gerabah berjudul “Buruh” (2007) dan hasil karya Cak Min (38 th) yang melukiskan sekumpulan wanita buruh di pabrik tembakau berjudul “Milihi Mbako” (2005). Lukisan hasil karya keempat pelukis di atas menyiratkan simbol kesabaran dan ketekunan kerja bagi para wanita. Masih mengenai objek wanita, Cak Min (39 th) melukiskan sosok seorang wanita tua renta berjudul “Surup” (2004). Guratan-guratan keriput pada pipi objek wanita tua itu menyiratkan simbol pengalaman hidup yang sangat banyak dan waktu panjang. Namun demikian wanita tua kadangkala mengalami kesulitan untuk commit to user
194
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengerjakan sesuatu, misalnya lukisan yang berjudul “Ndodomi” (2004) hasil karya Agung Istanta. Simbol yang bisa diambil dalam lukisan itu adalah menujukkan ketekunan dan semangat bekerja sambil istirahat di hari tua. Berbeda dengan karya sebelumnya, para pelukis sering mengeksploitasi wanita sebagai objek lukisan dalam karya-karyanya sebagai simbol kecantikan dan keindahan tubuh dan gerakannya, misalnya dua lukisan hasil karya Winarno GN (63 th) berjudul “Joget” (2004) yang melukiskan seorang wanita penari(2004) dan “Wajah Penari Biru” (1999) yang melukiskan dua orang penari. Begitu juga Sumakir (67 th) melukiskan keindahan tubuh seorang wanita yang berjudul “Gadis Bali” (2003) dan Hery Murtedjo (56 th) yang melukis dua orang penari wanita berjudul “Ronggeng Bergincu” (2000). Objek-objek manusia di atas melukiskan objek laki-laki dan wanita secara terpisah, maka berikut ini disampaikan bentuk objek secara bersamaan, misalnya karya Rustamaji (Alm) berjudul Tukang patri (tanpa tahun) yang menyimbolkan hubungan timbal balik perjuangan seorang tukang patri dengan ibu-ibu rumah tangga di pedesaan. Di satu sisi tukang patri bangga bisa membantu menolong ibu-ibu rumah tangga yang sedikit kekurangan untuk membeli panci baru, di sisi lain upah yang diberikan ibu-ibu rumah tangga yang tidak seberapa dapat dikumpulkan oleh tukang patri untuk menafkahi keluarganya. Karya yang lain yang berhubungan kehidupan rakyat kecil adalah hasil karya Muryono (70 th) yang berjudul “Kehidupan di Gunung” (2005) melukiskan kesibukan beberapa masyarakat desa di sebuah pegunungan demi mempertahankan kehidupan mereka. commit to user
195
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berbeda bentuk dengan perjuangan kehidupan rakyat kecil seperti di atas, adalah lukisan hasil karya Mbah Mardi (79 th) yang melukiskan suasana demonstrasi massa berjudul “Demo Ya Demo” (2005). Lukisan itu menasihatkan pada orangorang yang sedang melaksanakan demonstrasi untuk memperjuangkan nasib kepada DPR, pemerintah atau manajer sebuah perusahaan agar tetap menjaga ketertiban dan tidak merusak fasilitas umum. Sementara karya GM. Sudarta (66 th) melukiskan Kehangatan keluarga dalam lukisannya yang berjudul “Bapa, Ibu, lan Putra Kinasih” (2002). Lukisan itu meyiratkan simbol kebahagiaan sebuah keluarga, apabila kehidupan sebuah keluarga mensyukuri atas segala pemberian Tuhan. Disamping itu, lukisan itu tampaknya sebuah kenangan GM. Sudarta ketika masih memeluk agama Katholik, sehingga penggambaran objeknya menyerupai lukisan gaya romantisme klasik Eropa yang mengangkat cerita dogma trinitas. Tampaknya gaya romantisme sepaerti itu juga diikuti oleh Jaya Adi (51 th) yang berjudul “Operasi Semar” (2007) yang melukiskan tokoh-tokoh presiden di Indonesia. Dalam lukisan ini menyiratkan simbol “ruwatan” yang mengangkat tokoh Semar sebagai tumbal dalam menyelesaikan persoalanpersolan bangsa yang tak pernah selesai. Seni lukis sebagai salah satu karya budaya bangsa Indonesia, para pelukis “Pasren” juga mengangkat objek pewayangan untuk dijadikan tema atau judul dalam lukisannya. Pelukis-pelukis yang megangkat objek pewayangan ini antara lain: Karang Sasongko (49 th) melukiskan kisah Ramayana dalam lukisannya yang berjudul “Relief” (1992). Judul “Relief” (2003) yang melukiskan cerita pewayangan tampaknya juga dilukiskan oleh Kus Indratna (43 th). Lukisan karya Sugito Slamet commit to user
196
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(50 th) mengangkat judul “Bima Melawan Naga Nemburnawa” (-tahun) yang menyiratkan symbol kekuatan sebuah ilmu ketika seorang murid patuh pada perintah gurunya, seperti dilukiskan dengan seorang Bima yang berhasil menemukan kesempurnaan hidup. Ansori (51 th) bahkan lebih banyak di antara pelukis “Pasren” yang menekuni objek pewayangan, misalnya lukisannya yang berjudul “Cakil Ngilo” (2010) yang menyiratkan simbol setiap orang, harus tahu diri dan tidak sombong, “Petruk nDPR” (2011) sebagai simbol politik praktis yang tidak memperhitungkan derajat kebangsawanan. Artinya, seorang DPR itu tidak harus dari kalangan bangsawan, namun orang kecilpun jika rakyat memilihnya, maka jadilah seorang DPR. Masih karya lukis pewayangan Ansori berjudul “ Kecil Tapi Besar” (2012) dan “Barong” (2005). Kedua lukisan itu secara terpadu menyimbolkan sebuah kekuatan buruk, besar atau kecil jika tidak segera ditangani adalah tetap mempengaruhi jalannya pemerintahan. Tidak kalah konsistennya untuk mengangkat pewayangan sebagai objek lukisannya, ialah pelukis “Pasren” yang lain adalah Musafiq (65 th). Salah satu karyanya berjudul “Rayahan Apem” (2009) yang menyiratkan akulturasi antara agama Islam dan adat Jawa dalam perayaan saparan (setiap 10 Syapar setiap tahun) sebagai mengenang Ki Ageng Gribig dalam perjuangan dakwah Islam di daerah Kecamatan Jatinom Klaten.
dan berbagai judul Wayang Beber dia buat dan
pergelarkan secara tersendiri. Di sisi lain, objek non alam dan makhluk hidup juga diangkat oleh pelukis “Pasren” misalnya karya Agus Muzakir (43 th) berjudul “Kaligrafi” (1992). Objek kaligrafi ini juga diangkat oleh Suwardi Haris (57 th) berjudul “Pengorbanan” 2006) commit to user
197
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan “Mitos Gerobak Sapi” (2005), M. Ismail (65 th) “…” (tanpa judul, 2003), dan Hery Cahyono (34 th) berjudul “Gerbang Kemuliaan” (2004). Semua lukisan itu sebagai simbol seni Islam yang secara tidak langsung bisa digunakan dalam berdakwah atau setidaknya membawa pengamatnya ke arah suasana keagamaan. Lukisan lain yang mengangkat objek non makhluk hidup yang cenderung asbtrak antara lain: Basuki Kisworo (53 th) berjudul “Senjang” (1993), karya Burhauddin Latif (42 th) berjudul “Ngepit” (1993), karya Kelik Parwanto berjudul “Obsesi” (1994), Hery Setyanto (41 th) berjudul “Orok 2‟ (tanpa tahun), Basuki Kisworo (53 th) berjudul “Planet Kresek” (2003), Pitut Saputra (33 th) berjudul “Cerita Senja” dan “Potret Nagari” (2005), Fajar Setya Kurniaji (33 th) berjudul “Ensambel” (2005), Satya Budi Santosa berjudul “Dini” ( 2005), Adi Prawito berjudul “Pencarian” (2010), Karya abstrak dengan objek sedikit terlihat nyata, misalnya hasil karya Nanang W (37 th) berjudul “Dua Kekuatan” (tanpa tahun), yang melukiskan bidang dinamis dengan beacground sebuah tangga. Hasil karya Budi Budek‟s (38 th) berjudul “Ular Tangga” (2001), lebih kaya symbol. Hal ini terlihat pada objek-objek yang terdapat pada seluruh bidang lukis. Hery Cahyono (34 th) berjudul “Tak Ada Gading yang Tak Retak” (2005) menyiratkan simbol ketidaksempurnan pada diri seseorang, maka orang bijak adalah orang yang mau menerima kritikan. Dua karya terakhir dalam bahasan ini adalah lukisan hasil karya Garu Setyono (37 th) berjudul “Ikan” (2009) dan E Budi W (37 th) berjudul “Aku, Gunung, dan Merapi” (2001). Kedua karya ini merupakan simbol kepedulian terhadap lingkungannya, karena kedua pelukis ini tampak member pesan pada pengamatnya commit to user
198
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk menjaga kelestarian alam. Objek ikan memberikan makna kehidupan atau habitat air untuk dijaga kelestariannya, karena air dan ikan dapat senantiasa memberikan nilai kemanfaatan bagi manusia. Begitu juga Merapi sebuah gunung di wilayah Klaten dapat memberikan kemanfaatan bagi kehidupan pertanian dan material infrastruktur berupa luapan pasirnya.
4.2.2 Konsep Penciptaan Karya Seni Lukis “Pasren” Mengapresiasi karya-karya seni lukis “Pasren” menunjukkan adanya konsep penciptaan yang diakui pelukisnya sebagai dasar untuk menghadirkan ide melalui berbagai media lukis. Sedikitnya ditemukan sepuluh kelompok konsep penciptaan karya seni lukis “Pasren” tersebut. Konsep penciptaan yang dilatar belakangi pengalaman dan lingkungan merupakan konsep penciptaan yang paling banyak diangkat oleh para pelukis “Pasren” antara lain: Agus Muszakir (43 th) dalam berkarya melalui renungan-renungan pengalaman batin, sebagaimana dikatakan, “Lewat
renungan-renungan
aku
bisa
mengungkapkan
pengalaman
batin.
Pengalaman-pengalaman yang tak lepas dari lingkungan alam yang ada.” (Katalog Pameran, 1994). Ungkapan senada adalah seperti yang disampaikan oleh Burhanudin Latif yakni, “Sesuatu yang aku lihat, rasakan, alami, menyentuh gerak batin saya untuk mempelajari, mengkaji, dan memahami makna yang ada. Berangkat dari itu dan lewat perenungan aku mencoba bicara.” (Katalog Pameran, 1994). Dengan perenungan-perenungan tersebut Budi Santoso atau biasa disebut Budek‟s (38 th) mengangkat konsep “Hidup, Sepi, Sendiri, Aku kadang terobsesi ingin berkaribkarib dengan apa yang ada disekitarku.” (Katalog Pameran, 1996). Dengan demikian commit to user
199
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“alam lingkungan dan isinya sebagai titik tolak penciptaan karya seni.” (Haryanto, katalog 1996). Lingkungan alam yang ada ini sebagian orang menganggapnya sebagai simbolsimbol kesemestaan alam ciptaan Tuhan. Seperti yang diangkat oleh Bambang Pujiono (52 th) sebagai konsep ciptaan lukisnya yang berjudul “Irama Jaya” sebagai titik tolak perwujudan komunikasi visual. Dengan bentuk-bentuknya yang terlahir secara simbolis memberikan pendekatan arti dan maksud dalam hal-hal tertentu tentang apapun yang berkisar tentang masalah kehidupan semesta, serta penciptaanNya. “Ia adalah tema, ide sekaligus judul lukisan saya“ demikian ditulisnya pada katalog pameran 1994. Kesemestaan alam ini juga diangkat dan bahkan dianggapnya misteri ciptaan Tuhan diangkat oleh Karang Sasaongko (49 th) ke atas karya-karya lukisnya, seperti yang disampaikan melalui konsep penciptaannya: “Jagat raya beserta isinya merupakn sebuah misteri disamping sebuah mahakarya seni hasil ciptaan-Nya. Dan salah satu cara untuk mengagumi dan memahaminya adalah dengan mencoba meniru, menggali, memahami, dan menghayati walau baru hanya seberapa” (Karang Sasongko, Wawancara: Minggu, 23 Januari 2012). Di sisi lain, Warno Raharjo memaknai alam semesta sebagai panggung sandiwara, seperti yang diungkapkan dalam konsep karyanya “Alam yang luas berserta isinya adalah panggung sandiwara yang maha luas penuh misteri dan tekateki, akan tetapi siapa sang sutradara?. Pernah kami sebagai tukang lukis akan kami jalani apapun jadinya, bagaimanapun hasilnya, terserah kepada sang sutradara, Allah yang mahakuasa.” (Katalog pameran, 1996). Hal ini menunjukkan, bahwa keberadaan karya-karya manusia itu tidak dapat sepenuhnya mampu untuk commit to user
200
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengungkap misteri alam ciptaan Allah. Sejauhmana seseorang mengembara ke alam bebas namun tidak seberapa disisi Allah. Konsep inilah yang diakui oleh pelukis bernama Yoyok W. Daeng Bsur (40 th), dikatakannya : “Mengembara dan berpetualang ke alam bebas adalah bagian dari hidup saya. Apa yang saya dapat, apa yang saya lihat, hanyalah sebagian kecil dari mahakarya Allah SWT Yang Maha Sempurna. Berangkat dari situlah ide karya saya mengalir.” (Katalog Pameran, 1996). Dengan demikian wajarlah jika Surono Adi Wijaya (Katalog Pameran, 1996) dalam konsep berkaryanya, menjadikan pengalaman adalah sebagai guru yang utama dalam menggali seni. Baginya melukis adalah wujud anugrah, cita-cita yang telah diberikan Tuhan. Sementara ada pandangan lain mengenai pengalaman dalam kehidupan merupakan perwujudan karya seni yang dilukis dan didemokratisasi. Pandangan ini disampaikan oleh M. Samsoe (Katalog Pameran, 1996) yang mengatakan dalam konsep berkaryanya, bahwa “apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita rasakan, apabila dihadirkan dalam wujud karya seni, ia akan terlihat dalam situasi dialektik yang benar-benar demokratis, jauh dari bentuk otoritas yang menindas dan ia juga merupakan bahasa estetis dalam dialog yang sangat rumit dan kompleks”. Pandangan ini tampaknya diamini oleh Joko SP (Katalog Pameran, 1996), bahwa apa yang dilihat, didengar, dan rasakan itulah wujud lukisan-lukisannya. Dengan demikian segala kehidupan di dunia sebagai sumber seni, seperti yang dikatakan Mulyoto (Katalog Pameran, 1996) dalam konsep berkaryanya, “the world is the art (dunia adalah seni), bersenilah melalui dunia, karena dunia merupakan sumber dari segala seni”.
commit to user
201
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Oleh karena itu, Basuki Kisworo (53 th) menegaskan, bahwa dalam berkarya seni sebaiknya ditunjukkan untuk sebuah upaya untuk mengenal, mengakrabi, membedah dan juga memesrai hidup agar lebih hidup (Katalog Pameran, 1994). Artinya melukis apa saja tidak masalah yang penting untuk memaknai hidup dan kehidupan. Seperti dikatan Bambang Pujiono (52 th), “Melukis apa saja sesuka hati dengan gaya corak penyampaian seperti itu (abstrak) saya suka karenanya dan hidup karenanya.” Dengan demikian, keindahan suatu karya seni lukis tidak hanya ditampakkan dari keindahan warna, kontras, komposisi, simbol-simbol yang unik dan tingkat kepersisan saja, tetapi lebih dari itu adalah suatu yang hidup dan bicara dari karya tersebut (Kus Indratna, Wawancara: Selasa, 13 Maret 2012). Namun demikian, keindahan tetap mempengaruhi konsep berkarya sebagian besar pelukis “Pasren” seperti Joko SP (47 th), Cak min (39 th), E.Rosana (37 th) dan lain-lain. Sebagai contoh konsep penciptaan yang mendasari lukisan Joko SP mengatakan : “Atas nama keindahan, kesejukan, dan kedamaian saya berkarya. Semoga inspirasi yang saya dapat senantiasa memberikan semangat bagi saya untuk terus berkarya sebagai bahan renungan dalam mengisi kehidupan saya dan mudahmudahan bagi orang lain” (Katalog Pameran, 2008). Artinya, konsep keindahan senantiasa memperngaruhi jiwa seseorang pelukis, seperti yang diakui oleh Cak Min (39 th), bahwa dunia penuh keindahan segala yang tampak kasat mata indra mempengaruhi jiwa. Keinginan untuk melampiaskan ke dalam suatau karya rupa (Katalog Pameran, 1996). Bahkan E.Rosana (37 th) menyatakan dalam konsep berkaryanya, “keindahan mimik wajah seseorang menjadi tantangan untuk dituangkan dalam kanvas” (Wawancara: Minggu, 4 Maret 2012). commit to user
202
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk mewujudkan suatu keinginan berkarya dan memahami tantangan estetis, seorang pelukism sebaiknya harus didasari oleh niat, percaya diri, dapat berimajinasi dan tetap belajar terus menerus. Dengan demikian seorang pelukis secara langsung atau tidak langsung dapat menggali keunikan eksistensi seni sebagai bagian dari budaya bangsa. “Niat ingsun berkarya” demikian konsep paling sederhana yang dikemukakan oleh Ken Sudi (57 th) dalam lukisannya tahun 1996.
Masalah baik atau tidak
hasilnya terserah pada pengamatnya. Oleh karena itu dibutuhkan rasa percaya diri bagi pelukisnya seperti yang dikemukakan oleh pelukis “Pasren” bernama Hasan Muhammad, bahwa dalam berkarya itu no problem dan percaya diri. Sementara Ismu Suryo Wibowo (67 th) menyarankan seorang pelukis sebaiknya agar selalu mencoba dan hasilnya dipasrahkan pada Tuhan sebagaimana dikemukakan dalam konsep berkaryanya, bahwa “eksperimental serta terserah Tuhan yang Mahaesa. Dalam hal ini dibutuhkan kekokohan jiwa dalam berkaya, yakni keperpaduan antara jiwa dan rasa melahirkan gagasan atau ide untuk mengungkapkan segala apa yang terjangkau melalui sebuah karya seni rupa (Yulianto, Katalog Pameran, 1996). Gagasan atau ide seorang pelukis dapat muncul dengan cemerlang, ketika pelukis tersebut memiliki fantasi atau imajinasi untuk “menghidupkan” objek lukisannya. Aziz Samsuri (42 th) memiliki konsep berkarya bahwa suatu bentuk fantasi dalam dirinya sebagai unsur dalam mencipta suatu suasana (Katalog Pameran, 1994). Fantasi itu dapat merupakan bentuk olahan dari pengamatan sebuah objek, seperti yang disampaikan Probo Daryanto dalam konsep berkaryanya. “melihat dan meresapi sesuatu objek kemudian diolah dalam sebuah karya seni yang berjudul commit to user
203
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lukisan. Menambah dan mengurangi suatu objek itu merupakan imajinasi sang seniman.” (Katalog Pameran, 1996). Oleh karena itu, realitas terkadang sangat lain dengan angan-angan, tapi tidak jarang pula, bahwa angan-angan sering menjadi kenyataan. Itulah kebesaran yang sulit untuk diramalkan. “Melukis bagai saya adalah tumpahan ekspresi dalam usaha untuk memesrakan angan-angan dan realitas. Sangat boleh jadi, bahwa tumpahan ekspresi itu tidak sesuai dengan realitas, karena memang benar-benar merupakan angan-angan atau khayalan.” (Bambang DP, Katalog Pameran, 1996). Senada dengan konsep ini adalah Sigit GP (49 th) yang beranggapan, bahwa integritas dari berbagai proses yang terjadi dalam dirinya baik yang rasional maupun yang irasional dan kemudian mengkristal menjadi suatu imajinasi. Imajinasi-imajinasi itulah yang menjadi dasar dari ide-ide yang kemudian dilahirkan melalui jalur ekspresi dalam bidang dua dimensi oval.” (Katalog Pameran, 1996). Untuk dapat berolah jiwa dan rasa melalui imajinasi-imajinasi itu untuk melahirkan sebuah karya lukis memerlukan proses belajar dan berlatih yang berkelanjutan tanpa henti. Seperti diakui oleh Hardjijo (69 th), bahwa selama hampir separuh umur dalam hidupnya ingin melukis namun sampai saat ini masih belajar menggambar (Kalatog Pameran, 1994). Konsep ini diamini oleh Indra Sutapa, baginya ”berkesenian adalah proses belajar tanpa batas waktu”. Begitu juga Sudjijo DM (73 th) pelukis tua di “Pasren”, menyatakan dengan kerendahan hati disisi Allah, bahwa beliau ingin belajar menggambar dengan memvisualisasikan pengalaman batin dan pengindraan mata, karena semua itu adalah ciptaan Allah. Berbuat sesuatu itu sebenarnya hanya mengolah ciptaan Allah (Katalog pameran, 1996). commit to user
204
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan demikian, mengolah ciptaan Allah itu berarti sesuatu aktivitas seorang pelukis “menggali seni” (Rustamaji (alm): Katalog Pameran, 1996). Untuk “meraih” keutamaan seni (Setyo Sudiarto, Katalog Pameran, 1996), karena itu adalah bahasa pengantar kreasi yang perlu dinikmati dan dirasa oleh makhluk Tuhan (Tri Warsono: Katalog Pameran, 1996). Oleh karena itu, Sri Sadono merasakan, bahwa menggeluti seni lukis tak akan habis-habisnya selama masih bernafas (Katalog Pameran, 1996). Dengan cara menggali dan menggeluti karya seni lukis tersebut secara tidak langsung para pelukis “Pasren” telah ikut melestarikan budaya bangsa seperti yang dikemukakan pelukis spesialis wayang beber Musafiq (65 th) dalam konsep berkaryanya, bahwa merupakan kebutuhan batiniah, pelestarian budaya dan sebagai media dakwah. Dengan demikian, kebudayaan negeri sendiri dapat kita jadikan seni yang menarik (Ari Nugroho: Katalog Pameran, 1996). Contohnya adalah dunia pewayangan dapat diekspresikan melalui simbol. Dalam hal ini Urip Widyatmoko (Katalog Pameran, 1996) menganut konsep penciptaan, bahwa simbol baginya sebuah sarana untuk mengkomunikasikan ide-ide. Melalui pengalaman dan pengolahan estetis dunia pewayangan saya ekspresikan dengan simbol-simbol.
4.2.3 Jenis Corak dan Gaya Karya Seni Lukis “Pasren” Sebagaimana telah disinggung pada bab 2, bahwa sedikitnya ada 19 aliran dalam corak dan gaya seni lukis modern. Namun, berdasarkan temuan khusus dalam keberagaman corak dan gaya karya seni lukis “Pasren” hanya terdapat 8 aliran antara lain:
Naturalisme,
Realisme,
Impresionisme,
Romantisme,
Ekspresionisme,
Surealisme, Kubisme dan Abstrakisme yang dianut oleh para pelukis “Pasren”. commit to user
205
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Corak dan gaya karya lukis ini memiliki keunikannya masing-masing baik dari segi teknik atau cara berkarya maupun komposisi bentuk-bentuk elementer seperti garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain. Para pelukis “Pasren” dalam berkarya, disadari atau tidak telah menganut corak dan gaya tertentu. Ada sebagian besar pelukis yang konsisten menganut salah satu dan corak gaya saja, tetapi sebaliknya ada pula sebagian kecil yang tidak konsisten. Artinya, mereka dalam berkarya menganut lebih dari satu corak dan gaya karena untuk memenuhi tuntutan ekspresinya. Beberapa pelukis “Pasren” yang menganut lebih dari satu corak dan gaya tersebut misalnya, Agung Istanto (36 th) yakni menganut naturalisme dan realisme, Joko SP (47 th) menganut naturalisme dan surealisme, Ken Sudi (57 th) menganut Naturalisme dan Realisme, Sugito Slamet (50 th) menganut Impresionisme dan Romantisme, demikian juga dengan Hery Cahyono (34 th) menganut Surealisme dan Abstrakisme. Sesuai dengan karakter Naturalisme untuk melukiskan keindahan alam, kecantikan dan kemewahan, maka demikian juga halnya dengan para pelukis “Pasren” menganutnya untuk mengekspresikan karya-karyanya. Misalnya, Ismu Suryo Wibowo (67 th) menggunakan Naturalisme untuk melukiskan kecantikan seorang wanita yang diberi judul “Pita Biru” (1994), Hadi Sumakir (67 th) juga melukiskan kecantikan seorang wanita berjudul “Gadis Bali” (2003) dan Winarno GN (63 th) berjudul “Joget” (2004) yang melukiskan seorang penari wanita. Naturalisme yang melukiskan keindahan pemandangan alam adalah Joko SP (47 th) yang melukiskan “Keindahan Pemandangan Alam Toraja” (2006), Karang sasongko (49 th) melukiskan “Hutan” (2003), Mbah Mardi (79 th) melukiskan commit to user
206
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Tanamannya Simbah” dan Ken Sudi (57 th) melukiskan “Kelapa Bergelantungan” (2005). Tidak kalah indahnya lukisan “Pasren” adalah melukiskan keindahan bunga, seperti yang ditampilkan oleh pelukis wanita bernama Mutmainah (45 th) yang berjudul melukiskan keindahan “Bunga Tulip” (2003) dan “Bunga Gerbera” (2005) yang dilukis oleh Agung Istanto (36 th). Masih
ada pendekatan dengan aliran
naturalisme
adalah
Realisme.
Perbedaannya, Realisme untuk melukiskan kesengsaraan, kemiskinan, dan kondisi masyarakat kecil pada umumnya. Para pelukis “Pasren” yang menganut faham ini antara lain Soerdjono (66 th) yang melukiskan seorang Pencuri Gamelan (1999), Ken Sudi (57 th) melukiskan kegiatan rutin seorang ibu rumah tangga yang dibeli judul “Mencuci”
(2003),
Antox (-th)
melukiskan dua orang
laki-laki pemain
Pangarebongan (2003) yakni semacam permainan debus dari Banten. Di sisi lain realisme juga dapat untuk melukiskan suatu perjuangan hidup bagi masyarakat bawah misalnya, Joko Temin (33 th) dengan karyanya yang berjudul “Pekundi” (2004) yang melukiskan kehidupan seorang pria pengrajin gerabah atau keramiknya menggunakan
meja
pelarit
(pekundi).
Dalam
lukisan
tersebut
tampak
menggambarkan sebuah pertentangan jiwa pelukisnya, yakni satu sisi pengrajin untuk berekspresi seni, namun di sisi lain juga untuk melangsungkan kehidupannya. Senada dengan lukisan ini, karya Warsito Subroto (42 th) berjudul “Tekun” (2004) yang melukiskan seorang pria desa yang tua dan kurus sedang membuat sebuah tong kayu dengan tekun. Ketekunan kerja yang lain dilukiskan oleh Agung Istanto (36 th) yang berjudul “Ndondomi” (2004) yang melukiskan seorang perempuan tua sedang tekun menjahit atau menambal pakaian. commit to user
207
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Disamping itu pekerjaan masyarakat kecil seperti karya Rustamaji (alm) “Tukang Patri” yang melukiskan seorang pria tua tukang patri sedang memukulmukul lempengan seng plat untuk tambal patri alat rumah tangga di sebuah suasana desa. Suasana kesibukan yang lain terlihat pada karya Cak Min (39 th) yang berjudul “Wayah Rolasan” (2005) dan “Milihi Mbako” (2005). Karya pertama melukiskan suasana pasar dengan objek ibu-ibu dan dagangannya sedang menunggu pembeli. Karya yang kedua melukiskan suasana kesibukan buruh perempuan yang sedang bekerja di halaman pabrik tembakau di Klaten.
Melengkapi suasana pedesaan
walaupun tanpa objek manusia adalah karya Hendra Murdwi (43 th) yang berjudul “Kungkum” (2005) yang melukiskan lima sekawanan kerbau yang sedang asyik berendam di sebuah sungai. Corak dan gaya lain yang masih melukiskan keindahan alam, kecantikan dan lain-lain adalah Impresionisme. Sesuai hakikat Impresionisme, dapat membedakan dengan Naturalisme, yakni Impresionisme hanya menampilkan kesan seperti kesan cahaya yang memantulkan pada sebuah objek, sehingga yang tampil cenderung hanya berupa sosok-sosoknya objek yang tidak begitu jelas. Pelukis “Pasren” yang menganut paham ini antara lain Sugito Slamet (50 th) berjudul “Berburu Babi Hutan” (2005) yang melukiskan perburuan babi hutan di kegelapan malam sehingga suasananya tidak begitu jelas. Karya berikutnya adalah “Di antara Pepohonan” (2005) hasil karya Choirun Sholeh (47 th). Karya ini melukiskan suasana hutan dengan latar belakang sebuah gunung yang dilukiskan secara simetris dengan didominasi warna hijau. Karya senada dengan lukisan ini adalah dua karya Kapten Suwarto (55 th); seorang anggota TNI yang lukisannya berjudul “Bukit” (2005) dan commit to user
208
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Pesona Merapi” (2007).
Demikian juga, masih senada dengan lukisan
pemandangan alam adalah karya Kus Indra (43 th) berjudul “Lembah Merapi” (2007) dan karya Umar Sidi (39 th) berjudul “Sudut Desa” (2006). Bedanya karya Kus Indra lebih kaya warna dibandingkan karya Umar sidi yang hanya menampilkan warna hitam dan coklat. Berbeda dengan Naturalisme, Realisme dan Impresionisme; aliran Romantisme walaupun menampilkan objek-objek nyata tetapi lebih melukiskan sebuah cerita atau kisah kehidupan manusia baik yang bernuansa perdamaian maupun tragedi. Dua karya Jaya Adi (51 th) yang berjudul “Kubuka Kacamataku” (2003) dan “Operasi Semar” (2007). Karya pertama melukiskan profil Soeharto (mantan presiden RI) sedang membuka kacamatanya yang tentu saja ada cerita dibalik kacamata Soeharto tersebut. Karya Jaya Adi yang kedua, masih terkait dengan cerita pak Soeharto yang melukiskan beberapa kumpulan profil presiden yang pernah memimpin Negara Republik Indonesia, seperti Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati, Gus Dur, dan SBY. Para tokoh dalam lukisan itu menceritakan mereka sedang melakukan operasi terhadap sosok semar.
Operasi dalam lukisan tersebut dilalukan oleh Soeharto,
sementara yang lain menyaksikan dengan berbagai ekspresinya. D isisi lain, GM Sudharta (66 th) seorang pelukis “Pasren” yang disamping sebagai kartunis harian Kompas mengangkat karya lukisan romantisme dengan judul “Bapak, Ibu, dan Anak” (2007). Lukisan ini meceritakan kisah hidup spiritualnya sewaktu masih memeluk katholik Roma, yang menampakkan suasana kedamaian dan keharmonisan. Lukisan Romantisme yang menceritakan kedinamisan dan perjuangan mempertahankan adalah karya Sugito Slamet (50 th) berjudul “Bima Melawan Naga commit to user
209
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nemburnawa”. Lukisan ini menceritakan seorang tokoh pewayangan bernama Sang Bima sedang bertarung dengan seekor ular raksasa di tengah lautan. karya Baswendra (52 th) berjudul “Berlari di Awan” (2005) melukiskan sekawanan kuda berlarian cepat bagaikan cepatnya awan diterpa angin kencang. Sedikit berbeda dengan karyanya Hery Murtidjo (56 th) berjudul “Ronggeng Bergincu” (2000) yang melukiskan dua orang penari ronggeng sedang bercermin dan bersolek untuk persiapan pada sebuah pertunjukkan. Corak dan gaya dalam seni lukis “Pasren” berikutnya adalah ekspresionisme. Dalam melukiskan objeknya para pelukis “Pasren” tidak sekedar memaknai sebuah benda, tetapi sudah didestorsikan dengan emosi kejiwaannya. Maka, Ekpresionisme tidak memepersoalkan bentuk objek dan teknik melukis lagi, tetapi lebih mementingkan kepuasan batin dalam mengeskspresikan objek-objeknya. Sebagai contoh, lukisan karya Hardjijo (69 th) berjudul ”Senja Penggali-penggali Kubur“ (1981) yang melukiskan sekelompok orang sedang beristirahat setelah bekerja menggali kubur.
Tekstur lukisan ini sangat kentara karena dikerjakan dengan
pendekatan teknik wood cut (teknik cungkil). Senada, tetapi lebih karya warna adalah karya Samino (40 th) walk together (2003) dan karya Isnu Murdewa berjudul “Lembah” (2005). Karya lukis “Pasren” yang lain yang berteskstur kasar adalah karya Yoyok WD Besur (40 th) berjudul “Ndonga” (2003) yang melukiskan tiga orang bisksu dalam agama budha sedang melakukan laku ritual; karya Santosa (37 th) berjudul “Kumpul Bocah” (2005) yang melukiskan tiga orang bocah (anak) dengan ekspresi tertawa riang; karya Musyafiq (65 th) berjudul “Jembatan Ampera” (2004) yang melukiskan dua pasukan yang saling berhadapan dan yang terakhir commit to user
210
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karya seorang pelukis “Pasren” wanita bernama Rosana (37 th) berjudul “Nganyam Rotan” (2003) yang melukiskan seorang perempuan tua berbaju hijau sedang menganyam rotan untuk perabotan dengan tekun. Tidak kalah penganut corak dan budaya dalam seni lukis “Pasren” adalah Surealisme, karena dengan aliran ini pelukisnya dapat mengekspresikan imajinasiimajinasinya dengan bebas untuk melepaskandiri dari kontrol kesadaran. Ada dua jenis paham surealisme di dalam karya seni lukis “Pasren”, yakni pertama paham surealisme fotografis yang objeknya masih dikenali, misalnya dua karya Sigit GP (49 th) yang berjudul “Sebuah Harapan” (2003) yang melukiskan lintas pikiran untuk sebuah pengharapan, perdamaian dunia dan “Lamunan” (2006) yang melukiskan seorang bocah sedang melamunkan suatu masa depan atau cita-cita tertentu. Dua karya surealisme berikutnya lagi adalah karya Joko SP (47 th) berjudul “Greeting Peace” (2004) dan ”Megawati” (2004). Kedua karya ini terdapat kesamaan gaya melukisnya, yakni komposisinya berkeseimbangan simetris, latar depannya sebuah aquarium dengan ikan-ikan hias dengan latar belakangnya sebuah jendela. Perbedaannya adalah pada karya Greeting Peace melukiskan seorang gadis kecil dilukis dari arah belakang, sedangkan Megawati dilukiskan menghadap ke depan yang tampak seperti lukisan potret diri. Karya Surealisme fotografis yang lain adalah karya Phepen Parjimin (-th) berjudul “Menyatu” (2004) yang melukiskan kebersatuan makhluk manusia dengan alam semesta dan karya Daniel CK (31 th) berjudul "Dereng Kepanggih” yang melukiskan dua makhluk yang diwujudkan dalam bentuk topeng dengan rambutrambutnya yang menjalar secara liar. commit to user
211
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gaya Surealisme yang kedua yaitu Surealisme-Amorphic yang melukiskan objek imajinasi tanpa bentuk realis, bahkan mendekati bentuk abstrak dan cara pewarnaannya pun cenderung tidak jelas. Pelukis “Pasren” yang menganut paham ini, antara lain Aziz Syamsuri (42 th) berjudul “Fantasi” (1996) hampir tidak bisa lagi dikenali bentuk-bentuknya yang hanya terlihat semacam lelehan-lelehan pasta cat dan lembaran-lembaran kain yang bertebangan saja. Karya Sudiro Subroto (- th) berjudul “Kehidupan dalam Laut” (1994) melukiskan sekumpulan ikan dan terumbu karang yang dilukiskan dengan garis-garis liar tanpa bentuk yang jelas juga. Dua karya berikutnya dilukiskan dengan tampilan objek yang agak jelas dan sedikit abstrak, yakni karya Hery Cahyono (34 th) berjudul “Tak Ada Gading yang Tak Retak” (2005) dan “Dua Kekuatan” (2005) hasil karya Nanang W (37 th). Hery Cahyono tampaknya terinspirasi oleh pepatah dalam bahasa Indonesia yang dilukiskan sepotong gading gajah yang menguasai bidang lukis dengan teknik pengecatan bertekstur semu yang diberikan pusat perhatian tulisan kaligrafi Arab berbunyi Allah. Sementara Nanang W melukiskan sebuah bidang segi empat bidang berengsel yang dilukiskan secara tiga dimensi terhadap background sebuah tangga. Tampak kebebasan berekspresi para pelukis “Pasren” belum puas dengan beberapa corak dan gaya yang sudah diuraikan didepan. Oleh karena itu, untuk melengkapi dan mengakomoditir paham pelukis “Pasren”, berikut ini masih diuraikan dua corak dan gaya seni lukis yang lain, yakni kubisme dan abstrakisme. Corak dan gaya Kubisme memberikan kebebasan untuk melukiskan objek dengan garis-garis dan bidang-bidang geometris. Menurut teori Cessane ada dua tingkatan kubisme seperti telah disebutkan pada bab II di depan, yaitu kubisme commit to user
212
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
analitik yang merupakan susunan kubus-kubus tiga dimensi dan kubisme sintetik yakni teridiri dari susunan bidang-bidang geometris yang kemudian diperjelas dengan bentuk-bentuk realnya.
Ketika diamati, karya-karya seni lukis “Pasren”
hanya terdapat gaya kubisme sintetik saja, sebagai contoh karya Bambang Pujiono (52 th) berjudul “Lelapuk Dua Figur” (1994), karya Budi bude‟ (38 th) berjudul “Ular Tangga” (2001) dan “Panglima Sudirman” (2007) hasil karya Ansori (51 th). “Lelapuk dua Figur” melukiskan dua figur manusia setengah badan dibawah suatu atap bangunan. Pada karya “Ular Tangga” melukiskan simbol-simbol yang terdapat pada bidang permainan ular tangga dan sedikit divariasikan dengan berbagai bentuk oleh pelukisnya. Sementara “Panglima Sudirman” melukiskan dengan potret diri Jenderal Sudirman yang dibuat dengan teknik Mozaik yang terbuat dari pecahan keramik sehingga bidang-bidang kubistisnya sangat kentara. Disamping ketiga karya tersebut, di dalam “Pasren” ditemukan lagi dua karya Kubisme dengan pendekatan gambar Vignet seperti yang biasa terdapat pada lembarlembar teks suatu buku wacana. Dua karya yang dimaksud ini adalah hasil karya Hery Setyanto (41 th) yang berjudul “Orok”. Lukisan ini melukiskan sosok seorang ibu sedang ngeloni banyinya. Keunikan karya ini adalah berupa bidang-bidang kubistisnya yang kentara sekali dan penyembunyian objeknya sampai-sampai tidak kelihatan. Demikian juga karya Yuni Lestari (2009) berjudul “Kehidupan” yang melukiskan seorang wanita. Perbedaannya adalah pada karya Yuni ini objek wanitanya berpose sedang berdiri mengindit sebuah guci dan sebuah bayangan gunungan wayang. commit to user
213
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dua temuan lukisan Kubisme berikut ini adalah Kubisme-Sintetik bervariasi atau dipadukan dengan kaligrafi Arab. Dua karya lukis yang di maksud adalah karya Hery Cahyono (34 th) berjudul “Gerbang Kemuliaan” (2004) yang berbentuk susunan partisi-partisi pada arcade masjid bertuliskan huruf Arab dan karya Suwardi Haris berjudul “Pengorbanan” (2006) terdiri dari susunan bentuk-bentuk bidang geometris yang disatukan dengan kaligrafi Arab pada bagian tengah susunan bidangbidang tersebut. Temuan terakhir mengenai corak dan gaya karya seni lukis “Pasren” adalah Abstrakisme. Tidak sedikit pelukis “Pasren” yang menganut aliran ini, bahkan hampir menyamai jumlahnya dari aliran seni lukis modern sebelumnya seperti telah disebutkan di depan. Ditinjau dari wujudnya, abstrakisme yang ditemukan dua bentuk bentuk abstrak, yakni Abstrak-Kubistisme dan Abstrak-Non objektivisme. Empat lukisan “Pasren” berikut merupakan contoh dari Abstrak- Kubisme yakni karya Basuki Kisworo (53 th) berjudul “Senjang” (1993) dan “Planet Kresek” (2003). Karya Bambang Pujiono (52 th) berjudul “Power” (2007) dan Adi Prawito (th) berjudul “Pencarian”. Dua lukisan karya Basuki Kisworo tersebut dikerjakan dengan media kebendaan (bukan cat) yang disusun dengan teknik olase (menempel) pada bidang lukis, misalnya lukisan berjudul “Senjang” (1993) dibuat dengan menggunakan media benda pipih dan objeknya berstruktur simetris sekaligus asimetris terhadap bidang lukisnya. Begitu juga karyanya yang berjudul “Planet Kresek” (2003) dibuat dengan tas plastik kresek bekas yang dikomposisikan dengan benda-benda lain seperti ranting-ranting pohon dan sedikit sapuan cat. Keunikan karya ini adalah motif garis-garis besar hitam putih yang terdapat pada tas kresek commit to user
214
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut. Berbeda dengan karya Bambang Pujiono (52 th) yang berjudul “Power” dilukis dengan cat minyak saja yang membentuk spiral diurai dengan garis-garis bebas berwarna hitam dengan background berwarna coklat. Abstrak-Kubisme yang lain adalah karya Adi Prawito (- th) berjudul “Pencarian” (2010) dibuat dengan cat minyak. Karya ini cukup sederhana dan bentuk kubistisnya tampak jelas, karena hanya berbentuk segitiga sama sisi yang pada setiap sudutnya terdapat huruf Arab di sudut atas dan huruf jawa dibagian sudut kanan dan kiri. Sedangakn backgroundnya berupa bidang yang terdiri dari empat buah bidang empat persegi panjang dengan diagonal ditengah. Di sisi lain, Abstrak-Non objektivisme yang dianut oleh pelukis “Pasren” dibedakan menjadi tiga bentuk yakni, abstrak bentuk cahaya, abstrak bebas bentuk dan abstrak bervariasi bentuk. Dua contoh karya lukis berikut ini termasuk abstrak bentuk cahaya yakni karya Kelik Parwanto (45 th) berjudul “Obsesi” (1994) dan karya Satya Budi Santosa (35 th) berjudul “Dini” (2005). Keduanya sulit untuk mejelaskan maksud dari pelukisnya. Namun, pada karya “Obsesi”. berdasarkan konsep penciptaan dari pelukisnya bisa diduga melukiskan bentuk keharmonisan dan keterpautan antara manusia dan alam yang selalu berproses. Abstrak non objektivisme bebas bentuk terlihat pada tiga karya lukis berikut yang berjudul “Cerita Senja” (2003), “Potret Nagari” (2005) hasil karya Pitut Saputra (33 th) dan “Ensambel” (2005) hasil karya Fajar Setya Kurniaji (33 th). Dua karya Pitut Saputra kentara sekali kebebasan bentuknya untuk menuangkan gagasannya. Keduanya memiliki perbedaan tampilan, yakni pada lukisan “Cerita Senja” merupakan bentuk goresan-goresan garis yang miskin warna dan pada “Potret commit to user
215
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nagari” merupakan bentuk luapan atau cipratan cat yang kaya warna. Sementara pada karya ketiga berjudul “Ensambel” (2005) merupakan bentuk bebas yang karya warna dan dikerjakan dengan teknik cat minyak dengan bentuk lentur dan tekstur halus. Terakhir adalah karya abstrak objektivisme bervariasi bentuk tampak padahasil karya M. Ismail (65 th) “Tanpa Judul” (2003) berupa sapuan kuas bahan akrylik secara bebas, seirama dengan sapuan kuasnya divariasikan dengan kaligrafi Arab juga secara bebas. Dengan demikian karya ini lebih cenderung sebagai karya seni lukis kaligrafi bebas.
4.3 Keberagaman Karya Seni Lukis dan Penafsirannya Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini dan didukung dengan seperangkat teori yang telah diuraikan pada bab II, serta data-data hasil temuan di lapangan, maka analisis hasil penelitian akan dibahas tiga permasalahan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni (1) latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofis, (2) perwujudan keperbedaan dalam keragaman dan (3) makna keperbedaannya.
4.3.1 Latar Belakang Pemikiran, Ideologi dan Filosofis Keperbedaan dalam Keberagama Karya Seni Lukis “Pasren” Dengan mengacu pada konsep penciptaan karya seni lukis “Pasren” seperti telah diuraikan sebelumnya, menunjukkan adanya latar belakang pemikiran, ideologi dan
filosofis
para
pelukis
“Pasren”
dalam
menciptakan
karya-karyanya.
Sebagaimana kebanyakan para pelukis dalam berkarya tentunya tidak bisa terlepas dengan
to user pengalaman-pengalaman commit kehidupannya.
Pengalaman-pengalaman
itu
216
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berpengaruh juga terhadap pemikiran fenomena budaya yang terjadi baik yang bersangkut paut dengan kisah hidupnya sendiri maupun yang mengenai orang lain. Kecenderungan dari pemikiran-pemikiran itu membentuk rasa kepekaan terhadap nilai-nilai sosial dan lingkungannya. Sementara kepekaan sosial dipengaruhi pula oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang akan berakumulasi bersama dengan pemikiran manusia dapat menumbuhkan sebuah ideologi pada diri seorang pelukis. Pertumbuhan ideologi pada setiap diri seorang pelukis apabila dihubungkan dengan fenomena budaya, maka ideologi memiliki karakter dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Artinya, keberadaan ideologi itu didukung oleh individu atau kelompok. Sebagai contoh, ideologi Islam didukung oleh golongan santri, komunisme didukung kelompok abangan dan nasionalisme sekuler didukung oleh kepompok priyayi (Yatim, 1999: 261). Dengan demikian, sebagaimana dikatakan Althusser (dalam Barker, 2009:60), bahwa idelogi memiliki dua ujung. Di satu sisi dunia adalah kondisi nyata kehidupan manusia dan disisi lain ideologi juga dipahami sebagai perangkat makna rumit yang menjelaskan dunia. Oleh karena itu, ideologi dapat dilihat sebagai sebuah gagasan pemikiran atau ide-ide yang berada pada wilayah kebudayaan yang melahirkan karya seni. Demikian pula ketika ideologi seseorang bersentuhan dengan suatu kepercayaan terhadap yang menjadi ideologi baik bersifat individualistis maupun kolektif, maka akan menjadi sebuah filosofi. Filosofi ini akan menjadi suatu kebenaran logika, estetika, metafisika, dan epismetologi, maka akan berubah menjadi pengetahuan yang didasarkan pada akal budi mengenai hakikat yang ada, sebab, asal dan hukumnya. Dengan demikian hubungan antara pemikiran, ideologi dan filosofi commit to user
217
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena ketiganya merupakan kesatuan proses yang utuh didalam alam pikir seorang pelukis. Oleh karena itu, dalam analisis berikut ini akan dibahas menurut bentuk peristiwa atau fenomena budaya yang melatar belakangi para pelukis “Pasren” dalam berkarya. Berhubung dengan banyaknya keragaman hasil karya seni lukis yang ditemukan dalam organisasi “Pasren”, maka akan diambil beberapa sampel yang relevan dan disesuaikan dengan bentuk peristiwa atau fenomena tersebut. Sebgaai contoh, Karya Joko SP (47 th) berjudul “Pemandangan Tanah Alam Toraja” (2006) seperti tampak pada gambar IV.7 di bawah ini memperlihatkan dengan jelas kepada kita, bahwa pelukisnya memiliki latar belakang pemikiran tentang
keindahan dalam
proses
berkarya.
Bahkan,
dalam
kehidupannya
menempatkan nilai-nilai keindahan sebagai impian dan etos kerja dalam berkarya lukis. Sebagaimana dalam wawancara dengannya (Sabtu, 24 Maret 2012), Joko SP mengungkapkan konsep berkaryanya sebagai berikut. “Impian indah adalah harapan setiap manusia, yang muncul atas dasar pengalaman di masa silam atau bahkan karena keberanian menghadapi realitas dihari ini, untuk menggapai cita-cita di masa yang akan datang. Dengan mendengar, melihat dan merasakan manusia berkarya menggunakan bahasa seni masing-masing sebagai ungkapan rasa. Sambil berharap dapat bersapa dan berbagi dengan orang lain sebagai penikmat seni. Atas nama keindahan, kesejukan dan kedamaian saya berkarya. Semoga inspirasi yang saya dapat senantiasa memberikan semangat bagi saya untuk terus berkaya sebagai bahan renungan dalam mengisi kehidupan saya dan mudah-mudahan bagi orang lain.” Setidaknya ada tiga pemikiran yang ingin disampaikan Joko SP melalui konsep berkaryanya itu, yakni (1) Menempatkan keindahan sebagai impian yang diharapkan setiap manusia atas dasar pengalaman masa lalu atau akan datang. (2) Bahasa seni dapat untuk berkomunikasi dengan orang lain dan (3) Menempatkan keindahan commit to user
218
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai inspirasi merupakan semangat hidup dan berkarya seni. Ketiga pemikiran itu patut diduga dan disimpulkan, bahwa ideologi yang ingin disampaikannya adalah agar setiap manusia didunia ini menjaga keharmonisan hubungan antara sesamanya dan alam lingkungan agar keindahan tetap terjaga untuk kebaikan dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat. Dengan melihat hasil karya-karya lukis di studionya hampir semuanya bergaya Naturalisme yang mengeksplorasi objek keindahan alam. Hal ini membuktikan, bahwa Joko SP sangat konsisten dengan keindahan sebagai etos kerjanya dalam berkarya seni lukis. Pada akhirnya Joko SP mengakuinya keindahan menjadi sebuah pembenaran baginya untuk mewujudkan cita-citanya sebagaimana filosofi yang dia sampaikan, “keindahan adalah tujuan hidup saya.” Hal ini, juga terbukti ketika dia menunjukkan foto-foto karyanya yang dikoleksi oleh sejumlah pejabat dan orang penting. Seperti Sunarno, S.E (Bupati Klaten), H. Sujono (Bupati Pacitan), Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono (Ibu Presiden RI), Brigjen. Kurdi Mustofa (Sekretaris pribadi Presiden RI), Wardana (Dubes Indonesia untuk Singapura), dan Mr. Stanlay Liew (Pejabat dari Malaysia). Latar belakang keindahan yang menempatkan kecantikan wanita sebagai objek adalah lukisan hasil karya Winarno GN (63 th) berjudul “Joget” (2004). Mengamati hasil karya lukis tersebut, pelukisnya tampak berantusias ingin menampilakn simbolsimbol budaya dan alam lingkungan yang dijadikan background yang memenuhi bidang lukisnya. Berdasarkan simbol-silmbol tersebut dapat diketahui sebuah pemikiran pentingnya melestarikan kebudayaan yang menjadi kebanggan bangsa Indonesia. Lukisan ini tentunya bisa mewakili sebuah ideologi budaya bangsa commit to user
219
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berperan sebagai pengikat keberadaan Indonesia di mata dunia. Hal ini juga bisa dikaitkan dengan simbol-simbol di atas, misalnya umbul-umbul berupa kain berwarna merah putih menunjukkan dengan jelas penciptaan di dalam lukisan tersebut dipengaruhi oleh ideologi negara. Objek-objek berupa flora dan fauna sebagai tanda-tanda dan sekaligus simbol yang mengakomoditasi pemikrian untuk mengajak pengamatnya ikut menjaga kelestarian lingkungan alam sebagai bagian dari kesemestaan alam ciptaan Allah. Gayung bersambut dari ajakan mejaga kelestarian lingkungan alam itu adalah lukisan itu adalah lukisan naturalisme berjudul “Hutan” (2005) hasil karya Karang Sasongko (49 th). Dalam lukisan ini terlihat pelukisnya sengaja tidak melukiskan objek hutan secara utuh, tetapi hanya sepenggal dari keberagaman tanaman hutan. Bahkan, dalam tampilannya difokuskan pada bunga anggrek hitam yang menempel pada sebuah pohon. Rupanya Karang Sasongko ingin menyampaikan sebuah pemikiran, bahwa kesemestaan alam ciptaan Tuhan itu misteri. Menurutnya penggalan hutan itu menandakan, bahwa manusia itu hanya mengerti sedikit tentang ciptaan Allah. Anggapan ini seperti yang dikatakan pada konsep ciptaannya yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan konsep penciptaan tersebut dapat dipahami, bahwa Karang Sasongko memiliki suatu ideologi ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk kecintaannya kepada alam semesta. Dia juga menyarankan, jika ingin tahu lebih banyak tentang misteri alam ciptaan Tuhan, maka harus dapat mengamati, menggali, memahami, dan menghayatinya. Dengan demikian muncullah sebuah filosofi: Jika commit to user
220
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ingin dicintai Tuhan maka cintailah ciptaan-Nya (Karang Sasongko, wawancara: Minggu 15 Januari 2012). Pemikiran tentang penderitaan kehidupan masyarakat kecil seperti tampak karya realisme hasil karya Joko Temin (33 th) berjudul “Pekundi” (2004) dan karya Cak Min (39 th) berjudul “Milihi Mbako”. Kedua karya ini memiliki persamaan pemikiran, bahwa hidup harus bekerja dan bekerja dan bekerja itu untuk hidup. Sementara perbedaan pemikiran kedua pelukis ini adalah jika pada lukisan “pekundi” bekerja dengan kemandirian yang cenderung berkreasi sedangkan pada lukisan “Milihi Mbako” itu bekerja untuk orang lain atau sebuah pabrik tembakau. Dengan demikian, kedua karya itu memiliki ideologi dua ujung. Seperti yang dikatakan Althusser (2010 : 60), bahwa ideologi di satu sisi adalah kehidupan nyata manusia yang meliputi pandangan dunia yang menjadi landasan orang untuk hidup dan menyelami dunia ini. Ideologi ini tampak pada karya Joko Temin yang dianggapnya di balik kesederhanaan seorang pengrajin gerabah memiliki pandangan hidup yang cukup luas untuk menunjukkan keberadaan hasil karyanya. Gerabah merupakan salah satu upaya untuk menunjukkan atau merefleksikan hasil karya budaya tradisional yang memiliki ciri khas bagi penikmatnya bisa jadi juga orang asing. Di sisi lain, ideologi mengajarkan bekerja untuk menerima dan tunduk kepada eksploitasi mereka. Pernyataan itu dapat untuk menyoroti kandungan ideologi pelukis Cak Min yang membidik objek para buruh wanita yang bekerja pada sebuah pabrik tembakau di Klaten seperti tersebut diatas. Tampaknya sebuah pemikiran yang mengkhususkan, bahwa gunung Merapi memiliki pesona dan misteri tersendiri bagi masyarakat Klaten. Oleh karena itu, dua commit to user
221
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelukis “Pasren” beraliran impressionisme berikut ini mengangkat gunung Merapi sebagai objek lukisannya. Dua pelukis yang dimaksud adalah Kus Indra (43 th) yang melukiskan lukisannya berjudul Lembah Merapi (2007) dan Kapten Sowarto (55 th) berjudul “Pesona Merapi” (2007). Pemikiran kedua, pelukis ini dilandasi oleh keindahan dan keunikan gunung Merapi. Keindahan gunung dapat dianalogikan dengan filosofi Jawa yang berbunyi Sri Gunung artinya gunung itu keindahannya akan tampak bagus jika dilihat dari kejauhan, tapi ketika didekati sama sekali tidak ada bentuk seperti yang dilihat dari jarak jauh itu. Ketika pemikiran tersebut berubah menjadi sebuah ideologi, maka gunung Merapi menjadi simbol yang perlu ditempatkan dari sisi fungsi atau kemanfaatannya bagi manusia. Maka, ketika gunung itu dirusak kemanfaatan itu juga akan berubah menjadi bencana alam. Dengan demikian,
lukian objek gunung Merapi itu
mempunyai misi ideologi berupa sebuah ajakan pada orang lain untuk memulihkan keseimbangan alam. Oleh karena itu, Kus Indra dalam konsep berkaryanya keindahan suatu karya lukis itu tidak sekedar yang tampak oleh mata, tetapi lebih dari itu karya seni tersebut harus “hidup” dan “bicara” (Kus Indra, Wawancara: Sabtu, 10 Maret 2012). Berdasarkan konsep penciptaan itu, Kus Indra beranggapan, bahwa gunung itu tidak saja dilihat sebagai objek kasat mata saja tetapi gunung juga harus dipandangan sebagai sesuatu yang memiliki nilai dibalik itu. Simbol keharmonisan keluarga yang tampak pada karya GM. Sudarta (66 th) berjudul “Bapa, Ibu lan Putra Kinasih” (2007) memiliki latar belakang pemikiran dan ideologi tersendiri. Di dalam keluarga yang harmonis hubungan antara bapak, ibu dan anak memiliki fungsinya masing-masing. Seorang bapak bertanggung jawab commit to user
222
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mencari nafkah untuk keluarganya dan seorang ibu bertugas mengurus keluarga termasuk mendidik anak. Sementara anak, jika sudah waktunya bisa membantu kerepotan bapak ibunya. Pesan yang disampaikan dalam lukisan karya GM. Sudarta merupakan sebuah pemikiran mengajak penikmatnya untuk mencintai keluarganya sebagai simbol kecintaannya kepada Allah. Mengamati lukisan GM. Sudarta tersebut diciptakan dengan latar belakang kisah kehidupan pribadinya. Kedekatan dan kecintaan GM. Sudarta dengan kedua orang tuanya tampak mengilhami dalam berkarya. Disamping itu, latar belakang kehidupan beragama yang dipengaruhi oleh dogma “trinitas” katholik yang sebelum dia mualaf beragama islam. Objek bapa dianalogikan sebagai simbol Allah, ibu sebagai simbol Bunda Maria , dan putra itu sebagai simbol anak yaitu Yesus Kristus yang tersatukan secara harmonis melalui rohul kudus. Dengan demikian, karya GM. Sudarta yang berjudul “Bapa, Ibu, dan Putra” merupakan bentuk transformasi dari sebuah ideologi keagamaan. Nilai keharmonisan dalam keluarga merupakan refleksi dari keharmonisan dalam beribadah. Selanjutnya adalah pemikiran Jaya Adi (51 th) dalam karya lukisnya yang berjudul “Oprasi Semar” (2007) menujukkan kepekaannya terhadap kondisi negara yang carut marut yang disebabkan oleh ketidak tuntasan pemerintah dalam mengelola
pemerintahan
dan
mensejahterakan
rakyat.
Menurutnya,
dari
ketidaktuntasan itu menyebabkan terkoyaknya ideologi politik di Indonesia muncul berbagai kerusuhan diberbagai daerah, bahkan tidak sedikit yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan negara itu perlu commit to user
223
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diadakan “ruwatan” dengan mengoprasi semar sebagai simbol bersatunya antara rakyat dan pemimpinnya (Jaya Adi, Wawancara: Kamis, 22 Maret 2012). Dalam pemerintahan sistem demokrasi menganut sebuah filosofi “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Maka, ketika suara rakyat itu dikhianati oleh pemimpinnya Tuhan pun tidak ridho dan menurunkan adzab-Nya berupa bencana alam dan pemerintahan yang tidak berkah. Namun sayangnya dalam hal ini yang menjadi korban politik itu justru terjadi pada rakyat kecil juga. Dengan demikian, pemikiran Jaya Adi tersebut tampaknya sengaja diarahkan pada fenomena sosial politik sehingga membentuk ideologi. Pada akhirnya ideologi melahirkan karya lukis yang memiliki nilai-nilai yang berhubungan dengan kepemerintahan. Di sisi lain, pemikiran Sugito Slamet (50 th) dalam lukisannya yang berjudul “Bima Melawan Nemburnawa” (2004) merupakan perwujudan dari ideologi perjuangan seorang satria dalam tokoh pewayangan bernama Bima. Dalam cerita pewayangan, Bima yang mempunyai nama lain Werkudara adalah salah seorang satria dari pandawa lima yang menjadi murid guru Durna. Tampaknya filosofi dalam dunia pendidikan dan keprofesian guru yang berbunyi “guru kuwi kudu bisa digugu lan ditiru” (guru itu harus bisa menjadi panutan dan contoh) baik perbuatan, sikap dan tingkah lakunya bagi setiap siswa didiknya. Bima memiliki sifat jujur, lugu, dan tegas serta patuh pada perintah guru tidak peduli itu perintah baik atau buruk. Oleh karena itu, Bima pun tidak membantah ketika diutus oleh guru Durna untuk mencari tirta perwitasari (air suci kehidupan). Setelah sekian lama mencari sampailah Bima di tengah lautan luas dan bertemu rintangan, yakni diserang oleh seekor naga yang sangat besar bernama Naga commit to user
224
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nemburnawa. Kemudian keduanya bertarung sampai titik darah penghabisan dan akhir dari pertarungan itu dimenangkan oleh Sang Bima.
Di saat itulah Bima
mendapat ilmu yang paling tinggi, dia bertemu dengan Dewa Ruci yang berbentuk bayangan miniatur wajah dirinya sendiri. Dalam dialog dengan Dewa Ruci itulah sang bima mendapat jawaban atas perintah gurunya tersebut. Kemudian Sang Bima menghadap guru Durna untuk menyampaikan hasil pencarian tirta perwitasari tersebut. Pada akhirnya Bima disambut guru Durna dengan penuh keheranan dalam hatinya dan dinyatakan lulus ujian dalam mencapai kesempurnaan hidup sejati sebagai seorang satria yang kuat mandraguna tiada tanding. Berdasarkan cerita itu dapat diketahui bahwa lukisan hasil karya Sugito Slamet sangat menyiratkan sebuah pemikiran tentang ajakan kepada setiap orang dalam menuntut ilmu tidak bosan dan cepat menyerah agar mendapatkan hasil yang diharapkan. Pemikiran selanjutnya adalah mengenai kepolosan seorang bocah seperti tampak pada lukisan ekspresionisme hasil karya Samina (40 th) yang berjudul “Walk Together” (2003). Walaupun antara judul dan objek lukisannya terasa tidak ada kesatuan, namun tampak pelukisnya ingin memberikan sebuah opini pemikiran pada pengamatnya. Sesuai judulnya, kata walk together jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “jalan bersama”. Sementara objek yang ditampilkan hanya seorang bocah, maka pemikiran yang kebersamaan itu hanya menjadi sebuah ideologi harapan saja terhadap pentingnya hidup bersama akan melahirkan kebaikan bagi semua orang. Harapan inilah yang menjadi lamunan seorang bocah yang memperlihatkan tatapan matanya penuh harapan tersebut.
Kepiawaian
Samina
dalam karya commit to user
seperti tampak pada objek lukis lukisnya
ini
adalah
dapat
225
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendiskonstruksikan antara objek dan situasi kebersamaan yang tidak tampak pada lukisan itu, namun bisa jadi bentuk objek kebersamaan terlihat oleh objek anak di kejauhan sana. Dengan demikian ideologi kebersamaan sengaja tidak ditampilkan bertujuan untuk memberikan kesempatan pada pengamatnyas untuk ikut berangan-angan seperti apa wujud kebersamaan itu sebagai bentuk filosofi gotong royong atau “bersama kita bisa” dalam kehidupan bermasyarakat. Berbeda dengan karya Yoyok WB Besur (40 th) yang berjudul “Ndonga” (2003). Tampak jelas ideologi yang ditampilkan pelukisnya, yakni ideologi keagamaan. Hal ini didukung oleh bentuk objek biksu dan biksuni yang dilukiskan dengan penuh ekspresi dan suasana ritual dalam agama budha dengan sangat jelas. Di samping itu, lukisan ini memberikan kesan, bahwa suasana ritual itu membutuhkan waktu yang tenang tanpa gangguan. Oleh karena itu pelukisnya tidak tertarik untuk mengisi objek lain yang dikhawatirkan mengganggu kekhidmatan dalam menjalani ritual keagamaan tersebut. Apalagi dengan cara melukiskannya hitam putih saja bisa memberikan kesan ketenangan suasana malam hari untuk mencapai kesempurnaan doa. Sebagaimana filosofi dalam agama Budha yang dituliskan dalam kitab lalitavistara, bahwa manusia hidup perlu kesucian hati, manusia hidup perlu kedamaian hati, dan manusia hidup perlu ketenangan hati (Santosa, Wawancara: Minggu, 8 April 2012). Dengan demikian lukisan ini sangat tepat untuk mengangkat objek ketenangan hati seorang penganut agama Budha. Ketenangan hati sebagaimana diajarkan oleh agama budha tampaknya berpengaruh juga pada lukisan Ekspresionisme berikutnya yakni karya Rosana (37 commit to user
226
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
th) yang berjudul “Ngayam Rotan” (2003). Dalam karya ini tampak suatu ketenangan atau kesabaran hati seorang tua di ambang akhir kehidupannya masih bekerja dengan tekun. Dalam lukisan tersebut menyiratkan sebuah pemikiran, bahwa manusia itu harus bekerja untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pemikiran itu jelas sekali tercermin pada seorang wanita tua yang bisa jadi untuk menunjukkan kesabaran hati, kepasrahan dan rasa syukur kepada Tuhan. Oleh karena itu, berdasarkan pemikiran tersebut terdapat hubungan ideologi budaya dan ideologi agama. Ideologi budaya tampak pada pakaian asli Jawa dan produksi kerajinan rotan merupakan bentuk pelestarian budaya lokal. Sedangkan ideologi agama tercermin pada mimik wajah objek wanita tua yang terlukis bekerja sambil berdoa atau berdzikir, seperti dalam pepatah Yunani yang berbunyi: “ora et labora” seperti dikatakan sendiri oleh Rosana dalam konsep melukisnya, “keindahan mimik wajah seseorang menjadi tantangan untuk dituangkan dalam kanvas” (Rosana, Wawancara: Jumat, 2 Mei 2012). Dengan demikian, Rosana ingin menyampaikan, kalau di balik mimik wajah seseorang itu terdapat nilai simbolis yang tersembunyi. Lukisan surialisme hasil karya Sigit GP (49 th) berjudul “Sebuah Harapan” (2003) menunjukkan adanya pemikiran tentang harapan kedamaian dunia. Pemikiran ini memungkinkan adanya ideologi kemanusiaan, bahwa setiap orang membutuhkan kedamaian hati maupun kedamaian antar manusia. Artinya manusia tidak bisa terlepas dari hubungan dengan manusia lain maupun hubungannya dengan alam semesta. Pada lukisan itu menampilkan berbagai ikon kemanusiaan dan kealaman seperti tanah retak yang dilukiskan pada alam, burung terbang, dan langit luas commit to user
227
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membiru. Diharapkan oleh pelukisnya untuk mendapatkan pemaknaan bagi pengamatnya.
Pendiskonstruksian
antar
ikon
objek
tersebut
sengaja
direpresentasikan pada penikmatnya agar dapat dipahami sebagai hukum sebab dan akibat. Dengan demikian, filsafat manusia yang diserukan oleh Husserl (dalam Abidin, 2003: 153), bahwa pada prinsipnya bercorak idealistis, yaitu harus kembali kepada sumber yang semula terdapat pada objek kemudian diarahkan kepada sumber subjek dan pada akhirnya kepada kesadaran. Kesadaran inilah yang sebenarnya diharapkan oleh pelukisnya. Masih mengenai persentuhan ikon objek-objek dalam lukisan Surealisme, Phepen Parjimin mengangkatnya ke atas kanvas dengan judul “Menyatu” (2004). Dalam lukisan ini tampak pelukisnya ingin mengajarkan pemikiran tentang kebersatuan yang menyatu, maka terwujudlah suatu kesatuan ikon-ikon objek yang backgroundnya sampai tidak jelas. Dengan ketidakjelasan ini justru melahirkan suatu produk lukisan yang unik dan menarik. Keunikan dari hasil karya Phepen ini dapat mengundang pertanyaan mengenai latar belakang ideologi dalam penciptaannya. Mengamati bentuk-bentuk objeknya, Phepen cenderung tidak ingin menampilkan ideologi secara jelas, tetapi lebih menekankan pada pendiskonstruksian alam khayal yang tiada batas ruang dan waktu. Sebagaimana dikatakan Phepen (Wawancara: Minggu, 8 April 2012) berikut ini: “kanggoku mimpi kuwi ora mung kembange wong turu pak, nanging luwih soko kuwi biso dadi inspirasi olehku nglukis, mbuh wong lio ngerti karepe opo ora kanggoku orang penting”. (“bagiku mimpi itu bukanlah sekedar sebagai bunga tidur pak, tetapi lebih dari itu dapat menjadi inspirasi di dalam aku melukis, biarlah orang lain tahu maksudnya apa tidak bagiku tidak penting”). commit to user
228
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan pernyataan itu, Phepen menganggap kalau mimpi itu penting dalam hidupnya untuk mendapatkan inspirasi dalam berkarya. Dengan demikian, mimpi di samping sebagai inspirasi baginya sekaligus sebagai ideologi, yakni ideologi mimpi bisa jadi mimpi baik atau mimpi buruk, mimpi suka atau duka, mimpi menyenangkan atau menakutkan dan sebagainya. Visualisasi dari peristiwa mimpi bisa juga dilihat pada karya Heri Cahyono (34 th) berjudul “Tak Ada Gading yang Tak Retak” (2005) yang berbentuk sepotog gading gajah. Objek itu merupakan buah pemikiran Heri Cahyono yang dipengaruhi oleh bunyi pribahasa dalam bahasa Indonesia. Namun, untuk meperlihatkan kesurealismenya, objek gading itu digambarkan dengan guratan-guratan tekstur yang sanagt kentara sekali yang mungkin bertujuan untuk menyembunyikan bentuknya. Lukisan hasil karya Heri Cahyono menunjukkan ideologi, bahwa orang itu tidak boleh sombong karena manusia itu tidak sempurna, sedikit atau banyak pasti memiliki kekurangan. Kesempurnaan sejati hanya dimiliki oleh Tuhan seperti yang dituliskan pada huruf Arab berbunyi “Allah” secara samar-samar dibagian atas bidang lukisan tersebut. Dengan demikian yang ingin disampaikan pelukis ini adalah nilai-nilai ideologis agama yang mengagungkan kekuasaan Tuhan. Bentuk pengangungan kekuasaan Tuhan merupakan wujud rasa syukur atas karunia-Nya, karena telah diberikan kekuatan untuk berkarya dengan berbagai media. Sebagai contoh lukisan kubisme yang berjudul Panglima Sudirman (2007) hasil karya Ansori (51 th). Lukisan ini digarap dengan tekhnik berbahan pecahanpecahan keramik. Dalam lukisan itu terdapat dua latar belakang pemikiran, yakni latar belakang sejarah dan latar belakang pemberdayaan limbah lingkungan. Objek commit to user
229
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jenderal Sudirman menunjukkan adanya latar belakang sejarah, karena sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa Jenderal Sudirman merupakan tokoh nasional yang memiliki kesejarahan sebagai seorang tokoh perang gerilya dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Sementara teknik mozaik dengan menggunakan pecahan-pecahan keramik menunjukkan kepedulian terhadap pemanfaatan limbah lingkungan. Dengan kepedulian ini, maka dapat menepis image kalau karya seni lukis itu harus menggunakan bahan-bahan yang mahal. Latar belakang pemikiran sejarah ternyata dapat membawa penikmatnya pada sebuah ideologi negara dalam menghadapi ancaman dari lua,r yaitu penjajah yang ingin menguasai bumi Indonesia kembali. Seperti tersirat dalam filosofi Jawa “rawe-rawe rantas malang-malang putung” yang artinya segala sesuatu yang menjadi hambatan atau gangguan harus diberantas dan segala sesuatu yang akan menghalangi perjuangan harus dipatahkan atau dituntaskan sampai akar-akarnya. Oleh karena itu, negara dalam situasi kondisi apapun maka harus dibela oleh semua warga negaranya. Ideologi negara pada kenyataannya tidak bisa terlepas dari ranah politik kenegaraan. Ketika permainan politik memperngaruhi jalannya pemerintahan negara, maka di situlah akan berlangsung sebuah permainan dari para pemimpin negara untuk membuat suatu pencitraan agar diterima dan mendapat dukungan rakyatnya. Dari dukungan rakyat ini akan bisa melanggengkan atau menggantikan pemimpin negara. Permainan politik negara tersebut rupanya bisa memberikan inspirasi dan pemikiran sebuah analogi permainan pula, seperti tampak pada lukisan kubisme hasil commit to user
230
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karya Budi Budek‟s (38 th) berdujul “Ular Tangga” (2001). Oleh pelukisnya karya itu diakuinya sebagai sindiran terhadap jalannya pemerintahan suatu negara itu tidak ubahnya sebuah permainan ular tangga yang di dalamnya syarat saling menggulingkan untuk mencapai kekuasaan. Sebagaimana Budek‟s mengungkapkan: “ kita ini hanya menjadi korban permainan para penguasa di atas; di ibukota negara sana. Nasib kita tidak pernah berubah dengan berganti-ganti presiden” (Wawancara: Rabu, 29 Maret 2012). Dari ungkapan itu, dapat dipahami terdapat hubungan timbalbalik antara pemimpin negara dan rakyatnya yang notabene sebagai tanda terimakasih atas dukungan rakyat dalam pemilu. Oleh karena itu, seorang pemimpin lebih mengedepankan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan golongan atau partainya. Untuk itu diperlukan sebuah pengorbanan seorang pemimpin. Ketika seseorang sudah terpilih menjadi presiden misalnya, maka dia harus siap berkorban dan menyadari kalau dirinya bukan lagi milik satu partai atau golongan tertentu, tetapi milik seluruh rakyat baik yang memilih ataupun yang tidak memilih. Pendek kata, setiap sikap perbuatan maupun kebijakan-kebijakan pemerintah seharusnya bersifat mengayomi semua golongan. Lukisan kaligrafi berjudul “Pengorbanan” (2006) hasil karya Suwardi Harris” (57 th) tampaknya merupakan hasil refleksi pemikiran seperti diuraikan di atas. Karya ini dipesankan oleh pelukisnya, bahwa sekecil apapun setiap orang apalagi seorang pemimpin harus memiliki nilai pengorbanan untuk kepentingan umum. Mengutip sebuah hadis shahih Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain” (Suwardi Harris, commit to user
231
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wawancara: Minggu, 26 Februari 2012). Disisi lain pengorbanan bisa menjadi sebuah filosofi Jawa, “jer basuki mawa beya” artinya untuk mencapai sebuah citacita itu membutuhkan pengorbanan bisa berupa harta, tenaga, atau setidaknya pengorbanan perasaan hati. Dengan demikian pengorbanan itu ada yang bersifat material dan spiritual. Apabila bersifat material, maka bisa langsung dikeluarkan bentuk pengorbanan itu misalnya berbentuk sedekah uang atau bahan makan. Namun apabila bersifat spirituall dapat memberikan motivasi pada seseorang yang hampir putus asa. Oleh karena
itu,
dibutuhkan
pemikiran
cerdas
dalam
mencari
sasaran
yang
membutuhkannya. Dengan pencarian sasaran ini sebenarnya pencarian yang paling agung adalah pencarian atas ridho Allah SWT sebagai makhluk ciptaannya-Nya. Latar belakang pemikiran filosifis seperti itu telah diangkat oleh Adi Prawito kedalam karya lukisnya yang berjudul “Pencarian” (2010). Lukisan abstrak sederhana yang hanya berobjek segitiga itu menawarkan bermacam pemikiran yang harus dicari bagi pengamatnya. Secara tersirat sebuah ideologi pelukisnya yang memberikan alternatif pilihan untuk mengambil sikap hidup baik itu di jalan hidup yang benar maupun yang salah. Untuk dapat menentukan pilihan, seseorang menyiapkan diri memiliki mental dan kekuatan batin agar tidak keliru mengambil jalan yang salah dan tersesat. Bagi seorang pelukis kekuatan batin itu dapat menjadi dasar utama untuk melahirkan sebuah hasil karya yang merupakan refleksi dari sebuah pilihan antara baik dan buruk seperti telah disebutkan di atas. commit to user
232
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seorang pelukis abstrakisme Bambang Pujiono (52 th) yang meletakkan kekuatan batin dalam berkarya seperti tampak pada lukisannya berjudul “Power” (2007). Kata power diartikan sebagai kekuatan batin untuk menyikapi terhadap fenomena kehidupan dan kesemestaan ciptaan-Nya. Hal ini tersirat dalam konsep berkaryanya, bahwa “irama jaya sebagai titik tolak perwujudan komunikasi visual dengan bentuk-bentuknya yang terlahir secara simbolis memberikan pendekatan arti, maksud dalam hal-hal tertentu tentang apapun yang berkisar masalah kehidupan semesta serta penciptaannya-Nya. Ia adalah tema, ide, sekaligus judul lukisan saya” (Katalog Pameran, 1994). Berdasarkan konsep penciptaan ini, Bambang Pujiono dalam melukis dilatar belakangi oleh pemikirannya tentang persoalan dan makna kehidupan semesta. Unsur-unsur seni rupa yang dituangkan ke atas kanvasnya dianggapnya sebagai symbol untuk berkomunikasi pada pengamatnya. Dengan demikian, karya seni lukis seabstrak apapun dalam konsep penciptaan tetap menjadi representasi pemikiran dan ideologi penciptanya. Bahkan, lukisan bergaya abstrak yang cenderung liar, ruwet, dan eksperimental oleh seorang pelukis dapat dijadikan sebagai media untuk menyindir sesuatu kondisi tertentu, misalnya kondisi jalannya pemerintahan yang berlangsung pada saat ini. Sebagai contoh, lukisan abstrak non-objektivisme berjudul “Potret Nagari” (2005) hasil karya Pitut Saputra (33 th). Karya ini oleh pelukisnya diakui sebagai cerminan kondisi negara yang carut marut tidak ada kunjung selesai. Hal ini ditandai dengan teknik melukisnya yang berupa tumpahan-tumpahan dan cipratan-cipratan minyak secara bebas, spontan, dan liar yang pada akhirnya menghasilkan sebuah lukisan tanpa objek. Dengan demikian, wujud lukisan abstrak hasil karya Pitut Saputra yang commit to user
233
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terlihat ruwet dan liar itu dapat dianalogikan sebagai sistem pemerintahan yang mengalami krisis multidimensi. Dalam kondisi seperti itu, pada akhirnya rakyat Indonesia seperti saat ini sebenarnya tidak butuh apa-apa lagi kecuali suasana damai dan tenang yang didukung oleh kepastian hukum. Dengan begitu rakyat merasa terayomi, merasa tentram dalam mencari nafkah tanpa gangguan dari pihak manapun. Di samping itu, rakyat juga mendambakan kehalusan budi pekerti dalam menyikapi setiap persoalan yang terjadi saat ini. Kehalusan budi pekerti itu oleh Satya Budi Santosa dianalogikan dengan teknik melukisnya yang halus untuk menampilkan kesan cahaya, seperti pada luksiannya yang berjudul “Dini” (2005). Kehalusan teknik melukis itu tampaknya salah satu tujuannya adalah untuk mencapai kesan cahaya. Oleh karena itu, ketika melihat karya yang abstrak non-objektivisme tersebut terasa damai dan tenang. Apabila dikaitkan dengan kondisi negara saat ini yang carut marut itu, maka suasana damai dan tenang itulah yang menjadi harapan pelukisnya atau mungkin lebih luas seluruh bangsa Indonesia.
4.3.2 Perwujudan Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” Sebagaimana telah diuraikan pada bab II di depan, bahwa sebuah karya seni lukis baik yang bercorak Naturalis, Realis dan bahkan Abstrak sekali pun pasti memiliki struktur atau komposisi seni. Keberadaan struktur seni itu merupakan bagian yang melekat pada karya seni lukis sebagai tolok ukur nilai estetis sebuah karya seni lukis tersebut. Demikian juga halnya dengan seni lukis hasil karya para commit user yang didasarkan pada analisis pelukis anggota “Pasren” memiliki nilaitoestetis
234
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
struktur atau komposisi seni yang dimiliki oleh setiap hasil karya seni lukis “Pasren” tersebut. Dengan demikian, setiap karya seni lukis “Pasren” tentu memiliki struktur atau komposisi yang berbeda-beda yang menjadi cirikhas atau corak dan gaya masing-masing pelukisnya. Berdasarkan temuan-temuan keberagaman karya seni lukis “Pasren” seperti telah disebutkan diatas, baik objek lukisan, konsep penciptaan, maupun corak dan gaya seni lukis “Pasren”, maka perwujudannya dapat dianalisis melakui tata susun atau komposisi dan nilai estetisnya. Dengan mempertimbangkan banyaknya corak dan gaya dalam karya seni lukis “Pasren”, maka akan diambil beberapa contoh karya lukisan yang dijadikan bahan analisis struktur dan penafsiran maknanya yang didasarkan pada latar belakang ideologi, pemikiran dan filosofis pelukis “Pasren”. Perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” yang dimaksud adalah berupa corak dan gaya, antara lain: Naturalisme; misalnya seni lukis hasil karya Joko SP dipilih untuk dianalisis, karena memiliki struktur nilai estetis tersendiri diantara karya seni lukis “Pasren” yang lainnya. Di samping itu, pelukis ini mengakui konsisten pada aliran Naturalismenya dan bahkan rumah kediamannya disulap sekaligus sebagai galeri dan studio lukis Naturalisme seperti yang tertulis pada papan nama didepan rumahnya berbunyi “Art Gallery and Studio Naturalism Painting” di Puri Mojayan Asri B 18 Klaten Tengah. Diakuinya juga, bahwa karya-karya telah menjadi koleksi para pejabat-pejabat penting misalnya Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono (istri presiden RI), Wardana (Duta Besar Indonesia untuk Singapura), Soenarno, S.E (Bupati Klaten), H. Sujono (Bupati Pacitan) dan Mr.Stanley (pejabat dari Malaysia). Mereka para pejabat tersebut sangat tertarik pada commit to user
235
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
objek-objek lukisan karya pelukis kelahiran Boyolali 17 Maret 1965 (wawancara : 28 Maret 2012). Untuk lebih jelas dapat diperhatikan karya-karya seni lukis “Pasren” berikut ini.
Gambar IV.7 “Pemandangan Alam Tanah Toraja” (2006) karya: Joko SP (47 th), Naturalisme, Akrilik di Atas Kanvas, 150 x 200 cm (Sumber: Foto Joko SP, 28 Maret 2012)
Lukisan Pemandangan Alam Toraja seperti tampak pada gambar IV.7 di atas memiliki tata susun atau komposisi kesatuan unsur-unsur bidang dan warna, yakni berupa susunan persawahan dan rerimbunan pepohonan yang didominasi warna hijau, sehingga tampak keseimbangan antara bagian kiri dan kanan bidang lukis secara simetris. Irama rupa dalam lukisan ini tampak pada lukisan terasiring pematang sawah yang membentuk susunan garis-garis lengkung. Sesuai dengan hakikat aliran Naturalisme, maka nilai estetis karya Joko SP ini, terletak pada pemilihan objek pemandangan alam di tanah Toraja yang memang sudah dikenal banyak orang tentang keindahan alamnya. Nilai estetisnya juga tampak pada gaya menggoreskan kuas cat minyaknya yang terasa halus, detail, dan persis seperti apa commit user Dengan demikian gaya melukis adanya sehingga tampak seperti hasil karyatofotografi.
236
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seperti itu menjadi corak tersendiri pula bagi pelukis yang bergaya dan corak Naturalisme. Karya seni lukis gaya dan corak Naturalisme yang lain adalah hasil karya Winarno GN (63 th) seperti tampak pada gambar IV.8 berikut.
Gambar IV.8 “Joget” (2004), Karya: Winarno GN (63 th) Naturalisme, Cat Minyak di Atas Kanvas, 100 x 90 cm (Sumber: Foto Waluya, April 2012)
Sesuai judulnya, karya Naturalisme ini melukiskan kecantikan wanita seorang penari sedang menunjukkan keindahan irama gerak tubuhnya. Objek penari dan background lukisan yang terdiri dari beranekaragam objek pendukung seperti kain umbul-umbul merah putih atau warna warni, bentuk-bentuk payung, tumbuhan, hewan (anjing, tikus, ular dan lain-lain) terasa sangat menyatu; membaur menjadi satu tampilan objek karya lukis. Nilai estetis dalam lukisan karya pelukis senior asal Klaten yang terlahir 3 Mei 1945 dan beralamat di Semalen, Ngering, Jogonalan commit to user Klaten ini tampak pada susunan kebersamaan tampilan antara objek inti (penari) dan 237
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
objek-objek pendukung lainnya sebagai backgroundnya yang membaur, menyatu kedalam keseimbangan dan irama bidang dan warna. Berbeda dengan kedua karya lukis diatas, karya Karang Sasongko (49 th) yang berjudul Hutan (2005) yang melukiskan rumpun anggrek hutan yang menempel pada pepohonan di suatu hutan seperti tampak pada gambar IV.9 berikut ini.
Gambar IV.9 “Hutan” (2005), Karya: Karang Sasongko (49 th) Naturalisme, Krayon di Atas Kanvas, 125 x 80 cm (Sumber: Foto Waluya, 15 Januari 2012)
Lukisan hutan karya putra dari seorang tokoh lukis realisme nasional legendaris asal Klaten (Rustamaji alm) ini digarap dengan gaya yang cukup unik, yakni dengan menggunakan teknik kering krayon diatas kanvas. Teknik ini kurang lazim dikerjakan oleh pelukis lain, karena biasanya media kanvas itu dilukis dengan menggunakan cat minyak. Tata susun lukisan Naturalisme hasil karya pria kelahiran Jakarta 13 Maret 1963 yang saat ini bertempat tinggal di Perumahan Klaten Kencana, Jalan kelapa gading II D no 5-11 Klaten ini menunjukkan keseimbangan asimetris dengan commit to user penguatan objek anggrek hutan disebelah kiri diantara dengan pepohonan hutan 238
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disebelah kanannya. Guratan-guratan tekstur vertikal yang digoreskan dengan detail pada sebagian besar objek membentuk irama garis-garis ritmis. Penyatuan warna coklat pada kelopak anggrek hutan dengan dominasi warna hijau tua terasa mebawa suasana keridangan hutan. Di sinilah letak nilai estetis Karang Sasongko yang cenderung memamerkan teknik melukis dan detail-detail objeknya disamping juga menghadirkan suasana harmoni alam. Ada perbedaan, tetapi masih berdekatan Naturalisme adalah corak dan gaya Realisme. Perbedaannya terletak pada pemilihan objeknya. Kalau Naturalisme dilatarbelakangi oleh kecintaan pada keindahan alam dan kecatikan atau bahkan kemewahan. Berbeda dengan Realisme yang cenderung mengambil objek yang dilator belakangi oleh kehidupan rakyat jelata, kesederhanaan, penderitaan dan sebagainya. Misalnya dua karya bergaya dan corak realisme berikut mewaliki kehidupan masyarakat kecil khususnya di Kabupaten Klaten seperti tampak pada gambar IV.10 berikut.
Gambar IV.10 “Pekundi” (2004), Karya: Joko Temin (33th) commit user Realisme, Cat Minyak di to Atas Kanvas, 80 x 80 cm (Sumber: Katalog Pameran, 4-11 Juli 2004) 239
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lukisan bergaya Realisme berjudul “Pekundi” hasil karya Joko Temin, pria kelahiran Klaten, 29 Oktober 1979 yang berdomisili di Ngukiran, Jomboran, Klaten ini dapat dikatakan refleksi kehidupan masyarakat kecil pengrajin gerabah di Kecamatan Bayat, Klaten. Keseimbangan dalam komposisi lukisan ini tersusun secara diagonal dan dipadukan dengan didominasi warna coklat baik untuk objek pengrajin maupun latar belakang rumah. Unsur teksturnya terlihat pada sisa-sisa tanah liat yang berceceran dengan objek tembok teras rumah. Sementara irama dalam lukisan ini tidak begitu kentara, karena lukisan karya Joko Temin ini tidak menampilakan garis atau bidang yang kuat tetapi lebih menekankan pada suasana ketekunan kerja objek pengrajin, sehingga aksen-aksen pendukung yang lain tidak terlalu menjadi perhatian. Pelukisan suasana ketekunan kerja inilah yang menjadi nilai estetis tersendiri untuk sebuah karya Realisme. Hal senada seperti terdapat pada lukisan Realisme hasil karya Cak Min (39 th) berikut ini.
Gambar IV.11 “Milihi Mbako” (2005), Karya: Cak Min (39 th) commit user Realisme, Cat Minyak di to Atas Kanvas, 60 x 70 cm (Sumber: Foto Waluya, Juni 2012) 240
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kepiawaian Cak Min arek Jawa Timur kelahiran Sidoarjo, 18 juli 1973 yang kini bertempat tinggal di jalan Bayangkara 1 gang Pace no. 8, Todangan Klaten adalah dapat melukiskan objek-objeknya dengan detail dan membawa suasana seperti kenyataan yang sebenarnya. Sebagai contoh karya diatas yang berjudul “Milihi Mbako” (2005) yang melukiskan suasana beberapa perempuan buruh yang sibuk memilah-milih tembakau di halaman pabrik tembakau di wilayah Klaten. Cak Min ini menampilkan komposisi secara asimetris diagonal. Pembentukan diagonal dibentuk oleh jajaran objek wanita buruh itu sendiri, sedangkan untuk penyeimbang lukisan pelukis ini meyusun onggokan tembakau secara merata diseluruh bidang lukis. Dengan demikian onggokan-onggokan tembakau itu sekaligus membentuk irama-irama tersendiri. Penyusunan warna-warna dalam lukisan itu cenderung kontras, karena antara latar bawah tanah halaman pabrik, dinding-dinding pabrik dan motif baju para buruh berbasis warna merah kecoklatan dipadukan dengan warnawarna hijau tumpukan-tumpukan tembakau. Namun, Cak Min masih menampilkan satu kesatuan dalam lukisan itu dengan cara menebarkan warna-warnanya ke seluruh bidang lukis secara merata. Disamping susunan unsur-unsur tersebut, nilai-nilai estetis karya lukis realis Cak Min ini ditunjang oleh tekstur yang terlihat pada lembaran-lembaran tembakau dan tatanan bata pada dinding pabrik. Demikian juga pelukisan perspektif sangat jelas sekali terlihat pada objek-objek buruh perempuan antara yang di depan (dekat dengan mata) dengan yang dikejauhan, sehingga lukisan ini tampak luas walaupun ukuran lukisan ini sangatlah relatif kecil yang hanya berukuran 60 x 70 cm. commit to user
241
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masih juga berdekatan dengan corak Naturalisme adalah lukisan bercorak gaya Impresionisme. Sesuai dengan hakikatnya, Impresionisme cenderung melukiskan kesan keindahan saja. Misalnya, dua karya “Pasren” berikut ini sengaja disajikan dengan tema lukisan yang sama, yakni tentang gunung merapi untuk dianalisis dengan tata susun dan nilai estetisnya apakah ada persamaan atau perbedaan di dalam kedua lukisan berikut ini.
Gambar IV.12 “Lembah Merapi” (2007), Karya: Kus Indratna (43th) Impresionisme, Akrilik di Atas Kanvas, 70 x 90 cm (Sumber: Foto Waluya, 10 Maret 2012)
Lukisan Impresionisme yang berjudul “Lembah Merapi” (2007) hasil karya Kus Indratna (43 th) di atas digarap dengan menggunakan akrilik di atas kanvas. Sesuai dengan karakteristik lukisan paham impresionisme, hasil karya pelukis yang juga seorang guru SMP kelahiran Klaten, 21 Maret 1969 yang beralamat di Metuk Lor, Tegalyoso, Klaten ini hanya menampilkan kesan-kesan objek dan cahaya saja tidak begitu jelas. Nilai estetis yang tampak pada lukisan ini adalah keseimbangan asimetris secara horizontal. Sebagai contoh adalah objek gunung merapi yang commit to user dilukiskan samar-samar tertutup awan. Sementara lembahnya dilukiskan dengan 242
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menampilkan kesan cahaya begitu kuat yang berwarna oranye yang mengenai tanaman padi. Goresan-goresan khas impresionisme yang memiliki tekstur guratan kuas sangat kentara sekali. Irama dalam lukisan ini sedikit tampak objek-objek petani dan jajaran tumbuhtumbuhan dikejauhan sama. Sementara kesatuan dalam lukisan ini tidak tampak, karena bidang atas sekitar objek gunung atau langit yang berbasis warna biru dan bagian bawahnya di dominasi warna oranye dan coklat. Sehingga, karya ini terasa terpisah antara bagian atas dan bagian bawah. Namun demikian, secara keseluruhan karya lukis Kus Indratna ini bisa menjadi contoh, bahwa paham Impresionisme dalam seni lukis modern tidak terlalu mementingkan sebuah kesatuan tetapi kesan yang asalah bisa menunjukkan bahwa itu sebuah bentuk objek secara sekilas. Senada dengan karya lukisan Kus Indratna ialah hasil karya Kapten Suwarto seperti tampak pada gambar IV.13 berikut ini.
Gambar IV.13 “Pesona Merapi” (2007), Karya Kapten Suwarto (55 th) Impresionisme, Cat Minyak di Atas Kanvas, 70 x 90 cm commit to user (Sumber: Foto Waluya, 14 Maret 2012)
243
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Pesona Merapi” (2007) hasil karya seorang anggota TNI kodim 0723 Klaten yang beralamat di Asrama Gayamprit Klaten selatan ini sangat menonjolkan objek gunung merapi di wilayah Kabupaten Klaten. Kesan yang dihadirkan dalam lukisan ini adalah suasana petang hari, sehingga lukisan objek-objek pendukung yang lain seperti tumbuh-tumbuhan yang mengelilingi gunung tidak begitu tampak. Dengan demikian, kesan cahaya hampir tidak tampak sama sekali, karena pada setiap sisi bidang dan objek dalam lukisan ini diolah menggunakan warna hitam. Sementara keseimbangan asimetris ditampilkan dalam lukisan ini cenderung berat sebelah, karena bagian kiri terdapat banyak unsur tumbuh-tumbuhan yang menunjukkan irama tersendiri, sedangkan bagian kanan hanya menampilkan gundukan-gundukan dan pematang sawah. Oleh karena itu, nilai estetis dalam lukisan ini justru pada suasana kegelapannya dan pengolahan bentuk gunung merapi yang mengeluarkan awan panas dengan latar belakang gumpalan-gumpalan awan yang sangat ekspresif. Corak dan gaya lukisan berikutnya adalah Romantisme. Sesuai dengan paham Romatisme, tiga karya berikut ini masing-masing memiliki cerita di balik objek lukisan yang dibuat para pelukis “Pasren”, misalnya bercerita tentang kisah kehidupan, kehidupan politik, dan cerita budaya wayang. Pertama, lukisan karya GM Sudharta (66 th) berjudul “Bapa, Ibu, lan Putra Kinasih” (2007) menceritakan kisah kehidupan pribadinya sendiri seperti tampak pada gambar IV.14 berikut ini.
commit to user
244
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.14 “Bapa, Ibu lan Putra Kinasih” (2007), Karya: GM Sudharta (66 th), Klasik-Romantisme, Cat Minyak di Atas Kanvas, 80 x 80 cm (Sumber: Foto Waluya, 23 Januari 2012)
Menurut pengakuan pelukis, sekaligus kartunis Harian “Kompas” yang sekarang bertempat tinggal di Perumahan Klaten Kencana ini merupakan kisah perjalanan kehidupan ritual dalam memeluk agama yang dulunya Katholik kemudian mendapat hidayah dan akhirnya mualaf (beralih memeluk agama Islam) sampai sekarang. Diceritakannya juga inspirasi lukisan tersebut merupakan gambaran dalam dogma Katholik “trinitas” (tiga dalam satu) yakni Bapa (Allah), Ibu (Bunda maria), Putra (Yesus Kristus) yang tersatukan melalui Rahul Kudus. Nilai estetisnya apabila dihubungkan dengan komposisi dalam lukisan itu dengan “trinitas” juga merupakan kesatuan dalam prinsip seni, yaitu kesatuan dari objek-objek, bidang-bidang, warna-warna dan tekstur. Bentuk lengkung menyerupai archade gereja; di samping menyatukan unsur-unsur seni tetapi sekaligus commit to user memberikan kesan keseimbangan simetris. Background lukisan yang juga dilukiskan 245
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam lengkungan tersebut menunjukkan adanya irama ritmis dan kubistis menyatu dengan objeknya. Karya Romantisme kedua adalah lukisan yang berjudul “Operasi Semar” (2007) hasil karya Jaya Adi (51 th), pelukis yang juga seorang guru SMA ini menceritakan perjalanann politik pemerintahan di Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gamba IV.15 berikut ini
Gambar IV.15 “Operasi Semar” (2007), Karya: Jaya Adi (51th) Romantisme, Cat Minyak di Atas Kanvas, 145 x 145 cm (Sumber: Foto Waluya, 22 Maret 2012)
Lukisan Romantisme hasil karya pelukis kelahiran Klaten, 3 Maret 1961 yang saat bertempat tinggal di Perumahan Griya Tiara Ardi blok B.11 Pandean, Ngadirejo, Kartosura ini cenderung menggunakan tata susun irama unsur seni secara merata dalam satu bidang lukis, yakni hampir semua dipenuhi oleh potongan lukisan wajah tokoh-tokoh presiden RI mulai dari Soekarno sampai SBY. Dengan demikian, commit user acara di beberapa TV Swasta ini lukisan karya pelukis yang mengaku pernahtotayang
246
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara tidak langsung, prinsip kesatuan dan keseimbangan sangat kentara sekali. Di samping itu pendominasian unsur coklat yang dipadukan dengan hitam dan putih; begitu juga ekspresi wajah-wajah para presiden semakin menambah nilai estetis dalam lukisan ini. Berbeda dengan karya Jaya Adi adalah lukisan hasil karya Sugito Slamet (50 th) yang berjudul “Bima Melawan Naga Nemburnawa” (2004) seperti tampak pada gambar IV.16 di bawah ini
Gambar IV.16 “Bima Melawan Naga Nemburnawa” (2004) Karya: Sugito Slamet (50 th), Romantisme, Cat Minyak di Atas Kanvas (Sumber: Foto Waluya, 25 Maret 2012)
Lukisan yang meceritakan sepenggal kisah pewayangan ini digarap dengan penuh ekspresi dan bersemangat oleh pelukis kelahiran Klaten, 10 Januari 1962 yang beralamat di Bendan, Jetis, RT 01/X, Klaten. Hal ini dapat diperhatikan cara mengolah bahan cat minyak menjadi tekstur-tekstur sisik ular cipratan air dan awan commit toapabila user diperhatikan tampak membentuk mega. Objek Bima dan ular yang melilitnya
247
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keseimbangan diagonal. Sementara unsur warna diolah dengan basis warna gelap, namun tampilan objek tetap memperlihatkan kesan gelap terang, tegas, semangat dan wibawa. Dengan demikian, tampilan warna itu malahan memperlihatkan adanya kesatuan yang harmonis secara keseluruhan objek dalam bidang lukis tersebut. Berbeda dengan lukisan sebelumnya, adalah lukisan bergaya Ekspresionisme. Lukisan gaya ini tidak berorientasi pada keindahan dan ketepatan meniru objek semata, tetapi lebih mementingkan ungkapan perasaan pelukisnya. Sebagai contoh, lukisan hasil karya Samina (40 th) berjudul “Walk Together” (2003) mengawali analisis tata susun dan nilai estetis karya seni lukis “Pasren” yang bergaya dan corak Ekspresionisme seperti gambar IV.17 berikut ini.
Gambar IV.17 “Walk Together” (2003), Karya: Samina (40 th) Ekspresionisme, cat minyak di atas kanvas (Sumber: Katalog Pameran, 4 - 11 Juli 2004)
“Walk Together” merupakan judul lukisan yang sangat unik. Keunikan karya pria kelahiran Klaten, 7 Juli 1972 adalah antara judul dengan objek lukisan terkesan commit to user tidak ada hubungan keduanya. Walk together apabila diterjemahkan kedalam bahasa 248
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Indonesia artinya “berjalan bersama”. Kata “bersama” dalam bahasa Indonesia menunjukkan artii jamak, banyak atau lebih dari satu, tetapi pada lukisan itu objeknya hanya seorang bocah saja. Dengan demikian menunjukkan, bahwa makna ekspresionisme tidak mementingkan bentuk saja, tetapi lebih mementingkan ekspresi atau ungkapan perasaan pelukisnya. Kepiawaian Samino dalam menggarap karya lukisnya adalah keberanian meletakkan objek utama yang berupa potret seorang bocah memenuhi ruang sisi bagian kanan bidang lukis. Namun demikian, bukan berarti lukisan hasil karya pelukis yang bertempat tinggal di dukuh Birin RT 02/04 Mlese, Gantiwarno, Klaten ini berat sebelah atau tidak memiliki keseimbangan, karena penyeimbang bagian sisi kiri diperbanyak dengan bentuk-bentuk objek kecil beraneka ragam sekaligus sebagai background lukisan. Keunikan yang lain dalam lukisan ini tampak pada tekstur dan irama yang diwujudkan melalui teknik goresan-goresan cat yang terasa kuat sekali. Kesatuannya terlihat pada tampilan warna yang berbasis warna merah diolah dan dipadukan dengan hijau, coklat dan hitam secara merata keseluruh bidang lukis. Dengan demikian nilai estetis dalam lukisan ini justru terletak pada pemahaman terhadap perpaduan antara teknik goresan dan ekspresinya. Karya Ekpresionisme berikutnya adalah lukisan yang menggambarkan kehidupan ritual keagamaan hasil karya pelukis asal Kraguman RT. 16/08 Jogonalan, Klaten yang bernama Yoyok WD Besur (40 th)
commit to user
249
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.18 “Ndonga” (2003) Karya: Yoyok WD Besur (40 th) Ekspresionisme, Cat Minyak di Atas Kanvas (Sumber: Foto Waluya, 27 Maret 2012)
Walaupun karya di atas dilukiskan dengan teknik hitam putih saja, namun karya lukis itu justru menambah keberagaman karya seni lukis “Pasren”. Senada dengan karya Ekpsresionisme sebelumnya, lukisan hasil karya pria kelahiran Klaten, 20 Mei 1972 ini juga memiliki keunikan tersendiri. Keunikan yang dimaksud adalah di samping keberanian pelukis tampil beda untuk meniadakan warna-warni seperti layaknya karya lukis pada umumnya, pelukisnya juga bisa mengolah bahan dengan baik sehingga betu-betul bisa membawa suasana para biksu agama budha dalam melakukan ritual keagamaan pada kegelapan malam. Demikian juga keberanian menampilkan keseimbangan yang tidak simetris sehingga menambah
keunikan
karya lukis tersebut. Oleh karena itu nilai estetis karya seni lukis ini terletak pada pengolahan bahan hitam putih menjadi tekstur semu ditambah unsur perspektif objek biksu yang sangat kuat.
commit to user
250
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ekpresi kesabaran wong cilik (orang kecil) terdapat pada karya Rosana (37 th) berjudul “Nganyam Rotan” (2003) yang dilukiskan dengan teknik cat minyak di atas kanvas, seperti terlihat pada gambar IV.19 berikut ini
Gambar IV.19 “Nganyam Rotan” (2003), Rosana (37 th) Ekspresionisme, Cat Minyak di Atas Kanvas (Sumber: Foto Waluya, 18 Maret 2012)
Mengamati lukisan Ekspresionisme hasil karya pelukis wanita kelahiran Klaten, 5 oktober 1975 ini yang menarik adalah ekspresi objek orang perempuan tua yang sedang menganyam sebuah produk kerajinan rotan dengan tekun. Di samping itu goresan cat minyaknya yang digunakan untuk melukiskan guratan-guratan wajah dan draveri (lipatan-lipatan baju) menambah keunikan daya tarik pula. Bahkan, menurut wanita yang bertempat tinggal di Jalan Cempaka No.21 Klaten ini, bahwa keindahan mimik wajah seseorang menjadi tantangan dalam melukis. Nilai estetis lukisan ini terletak pada tekstur background dan bentuk anyam-anyamannya. Namun ditinjau dari segi tata susunnya mengambil keseimbangan asimetris karena objekcommit to user objek dalam lukisan itu. 251
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Corak dan gaya lukisan berikutnya adalah merupakan penggabungan dua dunia nyata dan dunia mimpi atau imajinasi berwujud gaya Surealisme. Mengawali analisis lukisan Surealisme para pelukis “Pasren” adalah hasil karya Sigit GP (49 th) yang berjudul “Sebuah Harapan” (2003). Karya ini melukiskan sosok seorang manusia yang sedang menengadahkan tangannya ke atas seperti sedang memohon atau mengharap kedamaian dunia
yang ditandai
dengan objek
bumi dengan
pemadangannya dan dua ekor burung terbang. Background lukisan terasa sangat luas. Secara aereal perspektif, berobjek tanah retak menyatu dengan langit mengharu biru nan luas sehingga terasa terkesan tiga dimensinya.
Gambar IV.20 “Sebuah Harapan” (2003) Karya: Sigit GP (49 th) Surealisme, Cat Minyak di Atas Kanvas (Sumber: Foto Waluya)
Sebagaimana gambar IV.20 diatas, lukisan Surealisme hasil karya pelukis kelahiran Wonogiri, 10 Juni 1963 yang beramalat di Klampokan, Granting, user teknik pengolahan cat minya yang Jogonalan, Klaten ini keindahannyacommit terletaktopada
252
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terasa begitu halus dan keharmonisan perpaduan warna yang berbasis warna biru dan hijau. Tekstur lukisan terletak pada objek latar belakang tanah yang retak-retak dan draferi pada bagian paling atas bidang lukis. Demikian juga keindahan yang terletak pada keseimbangan dalam lukisan ini diawali dengan keseimbangan simetris kemudian secara dinamis mengarah keatas menjadi tidak simetris. Sesuai dengan paham lukisan Surealisme karya lukisan ini sangat erat sekali persentuhan objek-objek realis dan non realis (imajinatif) menjadi satu kesatuan bentuk suasana kesemestaan ciptaan Tuhan. Kesatuan kesemestaan semacam ini juga terlihat pada karya Phepen Parjimin yang bertempat tinggal di Karanganom, Klaten seperti terlihat pada gambar IV.21 berikut ini.
Gambar IV.21 “Menyatu” (2004), Karya: Phepen Parjimin Surealisme, Cat Minyak di Atas Kanvas (Sumber: Katalog Pameran, 28 Juli – 2 Agustus 2005)
commit to user
253
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mengamati dan mengapresiasi lukisan diatas, tampak kepiawaian pelukisnya mengolah bahan cat minyak dapat membawa pengamatnya ke alam cerita khayal yang sedikit menakutkan sehingga karakter surealismenya sangat terasa sekali. Sesuai dengan judulnya, maka dalam lukisan itu sampai tidak terlihat lagi antara batas objek dan backgroundnya walaupun unsur warnanya terjadi kekontrasan antara unsur warna merah dan coklat dengan unsur warna biru. Keindahan lukisan itu terlihat pada tekstur yang digoreskan secara detail terlihat pada semua objek dan seluruh bidang lukis. Di samping itu, struktur dalam lukisan ini juga hampir tidak terlihat, namun kalau di perhatikan dengan seksama, lukisan ini memiliki keseimbangan simetris dengan sentral ditengah berupa kepala manusia khayal tanpa badan seperti jenglot di Kalimantan atau glundung pringis kalau di Jawa. Karya lukis Surealisme berikut ini juga senada dengan karya Phepen di atas, khususnya mengenai tekstur yaitu karya Hery Cahyono (34 th) berjudul “Tak Ada Gading yang Tak Retak” (2005). Lukisan Surealisme karya pelukis “Pasren” kelahiran Ngawi, 22 Februari 1978 yang dulu pernah tinggal di Klaten dan kini pindah ke kampung Kuningan Jalan Asti, Blok F.17 Jogyakarta ini boleh dikatakan lukisannya full tekstur, karena seluruh bidang lukis baik objek dan backgroundnya digoreskan dengan cat minyak yang membentuk unsur-unsur tekstur semua. Untuk melihat keunikan–keunikan dari lukisan yang dimaksud, maka dapat diperhatikan pada gambar IV.22 berikut ini.
commit to user
254
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.22 “Tak Ada Gading yang Tak Retak” (2005) Karya: Hery Cahyono (34 th), Surealisme, Cat Minyak di Atas Kanvas, 70 x 97 cm (Sumber: Foto Waluya)
Bentuk objek potongan gading gajah dilukiskan menguasai hampir seluruh bidang lukis yang membentang secara horizontal dari kanan ke kiri. Sementara penyeimbang dalam lukisan ini diberikan bentuk objek matahari di atasnya yang bertuliskan “Allah” secara samar-samar. Tampaknya pelukis ini tertarik pada goresan tekstur ingin menunjukkan kesan “retak” dengan analogi kata retak dalam sebuah peribahasa “tiada gading yang tak retak”. Nilai estetis tidak hanya terdapat bentuk tekstur semata, tetapi pemilihan warna-warna haromonis secara analogus dari unsure coklat, ungu, hijau dan kuning, sehingga lukisan ini tampak menyatu dalam pewarnaan. Berbeda lagi dengan lukisan berikut yang bercorak gaya Kubisme. Lukisan gaya ini menapilkan bentuk bidang-bidang geometris untuk menghasilkan sebuah objek lukisannya. Sebagai contoh lukisan yang berjudul “Panglima Sudirman” (2007) hasil karya Ansori (51 th). Karya lukiss ini memiliki ciri kubistis yang sangat commit to user jelas seperti tampak pada gambar IV.23 berikut ini.
255
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.23 “Panglima Sudirman” (2007), Karya: Ansori (51 th) Kubisme, Mozaik, Pecahan Keramik 70 x 45 cm (Sumber: Foto Waluya, 12 Januari 2012)
Lukisan Kubisme hasil karya pria kelahiran Gombong, 17 Desember 1961 yang kini menjabat ketua “Pasren” ini dikerjakan dengan teknik mozaik menggunakan bahan potongan-potongan keramik ini sangat detail dalam mengolah bahan dan bentuk-bentuk kubistisnya dan garis-garisnya sangat kuat. Dengan demikian karya ini termasuk unik karena kreativitas pelukisnya untuk memanfaatkan barang bekas sebagai media melukisnya tetapi ternyata dapat menangkap sosok tokoh Panglima Sudirman secara persis ke atas bidang lukis. Walaupun dari sisi struktur keseimbangan dan kesatuan warna kurang begitu tampak namun karena karya lukis ini didukung oleh susunan garis-garis dan bentukbentuk kubistis yang ritmis, maka lukisan ini terkesan utuh secara keseluruhan. Oleh karena itu, lukisan hasil karya pelukis yang rumah kediamannya di Jalan Cemara No.14 Klaten dijadikan sekretariat “Pasren” ini semakin menambah kekayaan keragaman corak dan gaya seni lukis di organisasi “Pasren”. commit to user
256
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keunikan karya seni lukis kubisme yang lain adalah lukisan berjudul “Ular Tangga” (2005) hasil karya Budi Budex‟ (38 th) yang melukiskan papan permainan ular tangga, seperti tampak pada gambar IV.24 berikut ini.
Gambar IV.24 “Ular Tangga” (2001), Karya: Budi Budek‟s (38 th) Kubisme, Akrilik di Atas Kanvas, 100 x 100 cm (Sumber: Katalog Pameran, 28 Juli – 2 Agustus 2005)
Keunikan lukisan diatas terletak pada susunan bidang-bidang ritmis sebagai background dan berbagai unsur bentuk simbol-simbol petunjuk permainan. Keseimbangan lukisan karya pria kelahiran Semarang, 12 November 1974 yang bertempat tinggal di Cungkrungan (belakang kantor negeri pengadilan Klaten ini) hampir tidak tampak, karena keseluruhan bidang lukis memuat berbagai bentuk bidang dan simbol-simbol permainan seperti telah disebutkan di atas secara merata. Hal ini justru berbalikan dengan kesatuannya yang sangat jelas. Kesatuan dalam lukisan ini tampak pada persamaan bentuk bidang-bidang atau bentuk-bentuk unsur simbol dan pewarnaan yang tertata secara merata dan berimbang di seluruh bidang commit to user
257
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lukis. Bahkan, warna-warna yang dipakai pun hampir semua jenis warna dilukiskan dalam karya ini. Berbeda dengan lukisan hasil karya Suwardi Harris (57 th) berjudul “Pengorbanan” (2006) yang menampilkan keseimbangan dan kesatuan secara jelas seperti tampak pada gambarIV.25 berikut ini.
Gambar IV.25 “Pengorbanan” (2006), Karya: Suwardi Haris (57 th) Kubisme, Cat Minyak di Atas Kanvas, 70 x 70 cm (Sumber: Foto Waluya, 15 September 2011)
Lukisan karya kaligrafi yang bergaya Kubisme hasil karya pria kelahiran Klaten, 14 Juli 1955 di atas memperlihatkan garis-garis dan bidang-bidang yang sangat kuat dan ekspresif. Penguatan ini tampak pada goresan dan tulisan kaligrafi yang berwarna putih dan bentuk-bentuk bidang sebagai backgroundnya. Bidangbidang itu disusun secara ritmis dengan menerapkan teori keseimbangan simetris dan untuk mengurangi kebosanan sedikit divariasikan dengan asimetris secara keliling commit user seorang guru SMA yang kini merata. Dengan demikian, lukisan hasiltokarya
258
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bertempat tinggal di Ngingas Kidul RT. 03/05 Bareng Lor, Klaten Utara ini memiliki nilai estetis tersendiri, karena kepiawaiannya memadukan antara bentuk kaligrafi dengan bentuk-bentuk kubistis secara apik walaupun tidak jelas hubungannya kedua itu, tetapi setidaknya karya itu dapat memperkaya keragaman hasil karya seni lukis di dalam organisasi “Pasren”. Perbedaan corak dan gaya yang terakhir dalam pembahasan keragaman karya seni lukis “Pasren” adalah Abstrakisme. Di dalam organisasi “Pasren” ditemukan dua jenis karya seni lukis bercorak gaya abstrakisme yakni Abstrak-Kubisme dan Abstrak Non-objektivisme. Karya lukis abstrak kubisme paling jelas tampak pada lukisan sederhana hasil karya Adi Prawito yang berjudul “Pencarian” (2010), karena bentuk abstraknya hanya berupa bidang segitiga yang meguasai bidang lukisnya. Abstrak-Kubisme yang dilukiskan dengan sangat sederhana itu tentu saja mudah dipahami nilai estetisnya dari segi struktur, karena berkecenderungan menyerupai karya komposisi dalam teori desain. Dengan demikian lukisan hasil karya pelukis “Pasren” yang bertempat tinggal di Sleman, Bonyokan, Jatinom, Klaten ini memiliki prinsip-prinsip desain secara jelas pula. Berdasarkan teori desain dan prinsip desain tersebut memiliki keseimbangan simetris sentral dan diagonal. Kejelasan keseimbangan lukisan ini karena terdapat bentuk segitiga sama sisi yang dilukiskan dengan besar menguasai hampir seluruh bidang lukisnya dan didukung atau dipadukan dengan bentuk backgroundnya yang membelah empat bidang lukisnya juga. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat gambar IV. 26 berikut ini.
commit to user
259
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.26 “Pencarian” (2010), Karya: Adi Prawito Abstrak-Kubisme, Cat Minyak di Atas Kanvas, 100 x 150 cm (Sumber: Foto Waluya, 10 Januari 2012)
Kesederhanaan karya Adi Prawito di atas memudahkan pula dalam memahami irama dan kesatuannya. Irama pada lukisan ini tampak pada susunan satu bentuk segitiga dan empat bentuk persegi pajang saja. Sementara kesatuan dalam lukisan ini bukan terdapat pada susunan unsur warna, tetapi terdapat pada bidang segitiga yang ketiga sudutnya menyentuh keempat bidang yang menjadi backgroundnya. Berbeda dengan lukisan karya Bambang Pujiono (52 th) berjudul “Power” (2007) keabstrakannya kental sekali, namun bentuk kubismenya tetap terlihat secara samar-samar. Untuk lebih jelasnya karya tersebut dapat dilihat pada gambar IV. 27 berikut ini.
commit to user
260
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.27 “Power” (2007), Karya: Bambang Pujiono (52 th) Abstrak Non-Objektivisme, Cat Minyak di Atas Kanvas, 100 x 100 cm (Sumber: Katalog Pameran, 13 – 19 Januari 2008)
Bagi orang awam seni, kemungkinan lukisan abstrak seperti pada gambar diatas tidak menarik karena hanya terlihat goresan kuas secara bebas dan kasar. Namun sebenarnya justru nilai estetis lukisan ini terletak pada goresan yang tampak seperti asal-asalan itu. Secara keseluruhan lukisan Asbtrak-Non objektivisme hasil karya pelukis “Pasren” kelahiran Surabaya, 13 April 1960 yang kini beralamat di Mayungan, Klaten ini hampir semua bernuansa abstrak baik dari segi unsur garis, bidang dan warna-warnanya. Demikian juga teknik pewarnaan, bahkan cenderung kasar sehingga menambah keabstrakannya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan nilai estetis pelukis lulusan ISI Jogjakarta ini memerlukan kepekaan seni yang memadai. Sebagai contoh, kesatuan dalam lukian ini tidak begitu terlihat karena susunan antara garis, bidang, dan warnanya hampir tidak mempertimbangkan teori-teori komposisi pada umumnya. Maka, kesatuan commit lukisan to iniuser justru terletak pada ketidakteraturan
261
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
susunan unsur-unsur visual itu sendiri. Begitu juga dalam prinsip keseimbangan dan irama dalam lukisan ini sama sekali tidak tampak jelas. Keseimbangan menunjukkan asimetris yang jelas iramanya lukisan ini terletak pada goresan garis-garis bebas dan unsur tekstur yang tersusun secara bebas di seluruh bidang lukis. Sementara unsur kubismenya tampak pada bidang hasil persilangan-persilangan antar garis yang digoreskan dengan bebas spontan dan liar. Disisi lain, jenis Abstrak-Non objektivisme memiliki karakteristik yang berbeda dengan Abstrak-Kubisme seperti telah diuraikan di atas. Sebagai contoh karya Pitut Saputra (33 th) berjudul “Potret Nagari” (2005) seperti tampak pada gambar IV. 28 dibawah ini.
Gambar IV.28 “Potret Nagari” (2005), Karya: Pitut Saputra (33 th) Abstrak Non-Objektivisme, Cat Minyak di Atas Kanvas (Sumber: Katalog Pameran, 28 Juli-2 Agustus 2005)
Lukisan Abstrak-Non objektivisme di atas sangat berbeda sekali dengan karya abstrak sebelumnya, terutama dari segi bentuk, teknik dan pewarnaannya yang commit to user dalam lukisan ini lebih tidak jelas cenderung eksperimental. Oleh karena itu, struktur
262
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lagi dibandingkan dengan karya-karya abstrak sebelumnya, tetapi bukan berarti tidak memiliki nilai estetis seni sama sekali. Nilai estetis lukisan hasil karya pelukis kelahiran Klaten, 26 Mei 1979 yang beralamat di Kuncen No. 75 Delanggu, Klaten ini terletak pada permainan tumpahan dan cipratan cat minyak secara eksperimental yang terkesan tak terkendali dan liar. Namun demikian keliaran tumpahan dan cipratan cat itu justru malah membentuk sesuatu komposisi secara bebas pula baik dari segi kesatuan, keseimbangan, dan iramanya. Mengamati lukisan karya Pitut Saputra itu secara keseluruhan juga harus memerlukan kecermatan dan kepekaan estetis pula. Berdasarkan hasil pengamatan mendalam lukisan ini menerapkan keseimbangan asimetris diagonal. Hal ini tampak pada penguatan lelehan cat hitam yang melintang antar sudut kiri atas sampai sudut kanan bawah. Sementara irama ritmis berupa garis-garis lembut hitam juga yang divariasikan dengan cipratan warna putih yang menguasai bidang lukis tampil sebagai center of interest (pusat perhatian). Dengan demikian, lukisan ini tampak menyatu, karena perpaduan semua unsur cat yang disatukan dengan background warna oranye dan kuning. Sebagai contoh karya Abstrak-Non objektivisme yang lain adalah lukisan berjudul “Dini” (2005) hasil karya Satya Budi Santosa yang beralamat di Karanganom, Klaten sebagaimana tampak pada gambar IV.29 berikut ini.
commit to user
263
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV.29 “Dini” (2005), Karya: Satya Budi Santosa Abstrak Non-Objektivisme, Cat Minyak di Atas Kanvas, 100 x 100 cm (Sumber: Katalog Pameran, 28 Juli – 2 Agustus 2005)
Dibandingkan dengan karya-karya lukis sebelumnya, karya di atas tampak berbeda dari segi teknik pengerjaannya yang sangat halus. Dengan kehalusannya tersebut terkesan menampilkan objek cahaya yang berbaur dengan objek-objek lain menyerupai kain atau plastik yang meliuk, melambai bagai ditiup angin. Kesan lain yang bisa ditangkap dari karya lukis ini tampak tiga dimensi, karena penguatan background warna biru diolah menyerupai cahaya langit yang sangat kuat. Lukisan ini memiliki keseimbangan diagonal dari sudut kiri atas meliuk-liuk ke kanan bawah. Irama yang diterapkan dalam lukisan ini hampir tidak jelas, karena tidak memiliki pengulangan unsur garis. Namun, apabila diamati dan diperhatikan dengan seksama irama dalam lukisan ini terletak pada bentuk liukan kain dan hiasan warna langit yang samar-samar. Dengan demikian, kesatuan dalam lukisan ini sangat kentara. Hal ini dapat di perhatikan pada komposisi warnanya antara biru dan hijau yang disusun merata keseluruh bidang lukis dan sedikit warna lain seperti coklat dan commit to user merah yang bisa dianggap sebagai pemecah suasana tenang dalam lukisan tersebut. 264
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.3 Makna-makna Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” Untuk mengkaji makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” harus menempatkan karya seni lukis sebagai tanda atau simbol sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan bab sebelumnya, bahwa sebuah komposisi seni lukis adalah susunan yang merupakan susunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur garis, shape (bidang), barik (tekstur), dan warna yang tersusun sebagai bentuk karya seni lukis. Lewat komposisi tersebut sebuah karya seni lukis akan memberikan informasi kesan dan makna. Maka, akan terjadi komunikasi antara pelukis dan pengamatnya melalui tanda-tanda atau simbol-simbol yang dihadirkan didalam bingkai lukisan tersebut. Karya seni lukis “Pasren” merupakan tanda atau simbol yang diciptakan pelukisnya, dalam hal ini berfungsi sebagai pengirim tanda atau simbol. Pada karya seni lukis, komposisi merupakan tanda pertama yang pokok dilihat pengamatnya, karena dapat mengkomunikasikan maksud seniman (dalam arti karya seni lukisnya kepada pengamat). Sebagai sebuah tanda atau simbol, komposisi dalam karya seni lukis “Pasren” merupakan penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur garis, bidang, warna, ruang, dan tekstur yang disusun dalam satu kesatuan. Demikian juga dengan unsur-unsur seni rupa itu sendiri merupakan tanda atau simbol yang memiliki maknanya masing-masing. Garis mendatar secara qualisign memberikan makna ketenangan, kedamaian dan bahkan kematian. Berbeda dengan garis tegak secara qualisign menunjukkan kekokohan, kemegahan, kestabilan dan kekuatan.
Sedangkan garis diagonal
commit to usermengesankan keadaan tidak stabil, menunjukkan keadaan tidak seimbang sehingga
265
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hidup, dan bergerak dan dinamis. Sementara garis bengkok atau agris lengkung mengesankan sesuatu yang indah, lemas, lincah dan meliuk. Berbeda dengan garis yang dibuat patah-patah atau zig zag yang menyiratkan semangat dan gairah. Warna memiliki sifat dan makna sebagai tanda bahaya atau larangan. Disamping itu, sifat warna merah dapat berarti panas dapat dipahami untuk menunjukkan gairah, semangat dan cinta. Warna biru secara qualisign menunjukkan kedalaman dan ketenangan; kuning memperlihatkan kehangatan dan keramahan; putih mengesankan sesuatu yang terang, ringan dan netral; hitam menandakan suatu kedalaman,
kekokohan
serta
keabadian.
Sementara
tekstur
atau
barik
memperlihatkan sifat keras, halus, lunak, kasar atau licin. Sifat keras bisa diasosiasikan dengan batu, barik halus disejajarkan dengan kapas, barik lunak berkaitan dengan helai daun, barik kasar mengasosiasikan pada kulit kayu atau kulit buaya dan barik licin seperti pada lumut. Uraian mengenai tata susun atau komposisi seni lukis di atas menunjukkan, bahwa keseluruhan temuan hasil karya seni lukis “Pasren” telah memiliki nilai estetis baik dari segi visual maupun segi ekspresi atau pengungkapannya. Dengan banyaknya objek yang diangkat oleh pelukis anggota “Pasren” ke dalam karyanya yang berupa komposisi dari unsur-unsur seni rupa didukung dengan kepiawaian teknik pengungkapannya masing-masing, ternyata menghasilkan keunikan karya seni lukis “Pasren”. Demikian juga kepiawaian teknik pengungkapan ide berpengaruh pada munculnya gaya atau paham dalam berseni lukis. Sementara keunikan-keunikan karya seni lukis dapat memunculkan keperbedaan dan keberagaman corak seni lukis “Pasren.” Dengan demiian, corak dan gaya seni lukis “Pasren” bukan sekedar commit to user
266
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bernilai estetis semata, secara intrinsik tanpa makna, namun lebih dari itu secara ekstrinsik yang memiliki nilai simbolis dan memberikan makna-makna tertentu. Sebagaimana dikatakan Kus Indratna: “ Keindahan suatu karya tidak hanyak ditampilkan dari keindahan warna, kontras, komposisi, simbol-simbol yang unik dan tingkat kepersisan tetapi lebih dari itu adalah suatu yang „hidup‟ dan „bicara‟ dari karya tersebut (Wawancara : Selasa, 13 Maret 2012). Tanda-tanda atau simbol-simbol yang dikirimkan para pelukis “Pasren” melalui karya lukisnya merupakna akumulasi dan cerminan idea atau gagasan dalam berkarya. Untuk mengetahui makna apa yang disampaikan seorang pelukis “Pasren” melalui karya-karyanya tersebut, maka perlu mengetahui juga latar belakang penciptaan karyanya itu sendiri. Dengan mengetahui latar belakang keperbedaan dan keberagaman sosial budaya, para pelukis “Pasren” akan membantu memudahkan memahami makna-makna simbolis yang terkandung pada setiap objek yang terdapat dalam bingkai lukisan “Pasren”. Berdasarkan tanda atau simbol-simbol yang dikirimkan melalui setiap hasil karya melukis “Pasren” seperti telah diuraikan di atas, maka dalam analisis makna simbolis keperbedaan dan keberagaman karya seni lukis “Pasren” dapat dikelompokkan dan dibahas menjadi tiga pokok pemaknaan simbolis. Tiga makna simbolis itu dimaksud antara lain: (1) makna ma‟riifat; yang akan menganalisis atau membahas keseluruhan bentuk alam semesta cipataan Tuhan baik dari sisi keindahan maupun makna di balik keindahan alam tersebut. (2) makna kehidupan; akan membahas tentang segala bentuk kehidupan di masyarakat, khususnya masyarakat bawah dalam upaya memperjuangkan dan mempertahankan kehidupannya di tengah commit to user
267
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
carut marutnya sistem pemerintahan.. (3) makna sosial- budaya; akan menganalisis dan membahas karya lukis “Pasren” yang mengangkat kehidupan sosial budaya yang berupa atraksi-atraksi seni budaya sebagai unsur kebudayaan. Untuk mengetahui makna simbolis tersebut lebih mendalam, maka dapat diuraikan dalam pembahasan berikut ini.
4.3.3.1 Makna Ma’rifat Istilah ma‟rifat berasal dari akar kata arif yang artinya tahu atau mengenal. Dari kata ma‟rifat itu kemudian muncul istilah ma‟rifatullah artinya mengenal Allah SWT. (Rummi, 2007: 23) dalam konteks agama Islam atau agama apapun, setiap fitrah manusia mulai yang masih primitif sampai yang beriman ingin mengenal Tuhannya dengan meyakini, bahwa jagat raya termasuk dirinya itu di bawah kekuasaan Tuhan yang Mahakuasa. Bahkan, manusia atheis sekalipun hati nuraninya tetap mengakui adanya kekuatan ghoib di alam ini. Hanya saja secara spesifik mereka tidak menemukan manakah yang disebut Tuhan itu. Buktinya dalam pencariannya ia menemukan sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan, misalnya batu, pohon, sungai, matahari atau apa saja yang dianggap lebih hebat dan dianggap sebagai tuhannya. Karena kaum atheis itu tidak tersentuh ilmu agama, maka dalam memilih Tuhan sering kali meleset. Oleh karena itu, agama menjadi penting untuk membimbing seseorang menemukan dan mengenal Tuhan sejati. Masih dalam konteks agama, seseorang dalam mengenal Tuhan yang sejati tidak boleh mempersamakan antara ciptaan dan penciptanya. Artinya, seluruh makhluk yang berada di jagat raya ini seperti matahari, bulan, bintang, gunung, commit to user
268
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pohon, sungai dan lain-lain tidak boleh dipersamakan dengan Tuhan yang menciptakan kesemuanya itu atau bahkan dijadikan tuhan. Dengan demikian, yang dimaksud mengenal Tuhan sejati dalam ilmu ma‟rifat adalah upaya seseorang untuk mengenal Tuhan sebatas mengenal sifat-sifat-Nya saja seperti melalui makhlukmakhluk ciptaaan-Nya. Dengan kata lain, setiap melihat keindahan alam raya ini selalu disandarkan pada kekagumannya atas yang Tuhan Yang Mahakuasa. Corak dan gaya Naturalime dapat menempatkan karya seni lukis “Pasren” sebagai tanda-tanda atau simbol ma‟rifat bagi pelukisnya dalam mengenal Tuhan pencipta alam. Hal ini karena pada umumnya lukisan naturalisme mengangkat objekobjek keindahan alam sebagai tanda kekagumannya pelukis pada makhluk ciptaanNya. Lukisan naturalisme yang melukiskan keindahan pemandangan alam dianut oleh beberapa pelukis “Pasren”. Joko SP (47 th) adalah salah satu pelukis anggota “Pasren” yang paling banyak mengangkat objek keindahan alam dalam bingkai lukisannya. Di antara karya-karyanya yang menarik untuk diambil sebagai sampel untuk dianalisis adalah karyanya yang berjudul “Pemandangan Alam di Kaki Merapi” (2006) seperti tampak pada gambar IV.7 di atas. Karya ini di samping memiliki nilai estetis yang mempesona, karya ini juga memiliki nilai-nilai simbolis yang mengundang untuk memaknainya. Tanda-tanda simbolis yang dikirimkan lewat karya ini berupa ikon gunung, awan, terasering, persawahan, rerimbunan pohon dan sebagainya. Pada
kenyataannya
para
pelukis
yang
berpaham
naturalisme
dan
impresionisme banyak mengeksploitasi objek gunung sebagai bagian dari lukisan pemandangan keindahan alam. Demikian juga di dalam organisasi “Pasren” tidak commit to user
269
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hanyak lukisan karya Joko SP saja, tetapi pelukis “Pasren” yang lain misalnya Kapten Suwarto (55 th) berjudul “Pesona Merapi”, Kus Indra (43 th) berjudul “Lembah Merapi” dan lain-lain. Dengan melihat fenomena semacam ini menunjukkan, bahwa gunung dianggap sebagian besar pelukis “Pasren” sebagai sebuah objek yang memiliki nilai simbolis tersendiri d iantara objek-objek yang lain. Secara geografis gunung merapi di wilayah Kabupaten Klaten memilik dua fungsi, yakni fungsi kesuburan dan bencana erupsi. Gunung melambangkan kesucian dan keagungan. Makna kesucian dan keagungan ini dapat dikaji melalui pandangan berbagai agama. Dalam perspektif agama hindu dan Buddha, gunung dipercayai sebagai tempat suci, tempat bersemayamnya para dewa. Sementara dewa, oleh penganut agama Hindu dan Buddha juga dianggap sebagai makhluk khayangan yang memiliki kekuasaan yang agung. Kekuasaan yang agung tersebut akan mengendalikan kehidupan di dunia agar terjadi hubungan ekosistem alam dan tata kosmos jagat raya ini menjadi harmonis. Bentuk transformasi dari simbol gunung oleh umat Hindu dan Buddha diabadikan dalam bentuk hiasan antevik pada setiap sudut bangunan candi, bentuk gunungan dalam dunia pewayangan, sesaji untuk para dewanya berbentuk tumpeng nasi dan lain-lain. Dalam filosofi kejawen rupanya hal ini mempengaruhi pemahaman untuk menghormati gunung merapi. Sementara umat Kristiani meyakini gunung sebagai tempat suci dan agung dikaitkan dengan cerita Yesus Kristus dalam memberikan khotbah-khotbahnya sering kali dilakukan di atas bukit (gunung), bahkan tempat penyalipan Yesus Kristus pun dilakukan di atas bukit pula. Maka untuk menghormati kesucian dan commit to user
270
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keagungan gunung umat Kristen Katholik membangun tempat-tempat ziarah yang mereka sebut sebagai “jalan salib”, misalnya sendang Sriningsih di Kecamatan Gantiwarna Klaten, sendang Sono di Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo dan lainlain. Bahkan, kecenderungan peninggalan berupa makam para pastur, misionaris dan tokoh-tokoh penyebar Katholik lainnya banyak terletak di atas perbukitan (pegunungan). Berbeda dengan perspektif agama Islam, untuk memaknai simbol gunung sebagai wujud keagungan sebagaimana tertulis dalam Al-Qur‟an ketika nabi Musa ingin melihat wujud Tuhan, maka disuruhlah menuju ke gunung Sinai. Pada saat itulah muncul sinar Tuhan yang sangat terang menyilaukan mata Musa, sehingga Musa pun tidak bisa melihat wujud Tuhan sama sekali, bahkan beliau pingsan tidak kuat menatap sinar tersebut. Dengan demikian, di balik nilai-nilai simbolis yang dimaknai dalam berbagai pespekstif agama di atas terdapat nilai hikmah yang tersirat visi ke masa depan agar manusia senantiasa menjaga kelestarian alam misalnya dengan menjaga tidak menebang hutan secara liar, tidak digunakan untuk perbuatan maksiat dan lain-lain. Dengan begitu secara tidak langsung telah menjaga kesucian gunung tersebut. Tidak terlepas dari kesatuan dalam lukisan yang bertema pemandangan alam pegunungan adalh objek awan . Objek awan atau angkasa raya menyiratkan simbol kekuasaan Tuhan. Dalam ilmu astronomi telah memberikan pemahaman tata surya, bahwa di dalam angkasa raya itu terdapat berjuta-juta planet dan bintang yang menempati garis orbitnya yang kesemuanya itu berpusat pada matahari. Oleh karena itu, ketika seseorang melihat awan atau angkasa raya di atas sana, maka yang commit to user
271
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terbayang adalah betapa luas kekuasaan Tuhan. Makna yang dapat diambil dari simbol awan atau angkasa raya ini adalah agar manusia tidak sombong dan tunduk pada kekuasaan-Nya, karena pada dasarnya manusia itu tidak ada apa-apanya dibanding kekuasaan Tuhan. Sebagaimana dikemukakan pelukis “Pasren”, Karang Sasongko (49 th): “Jagat raya beserta isinya merupakan sebuah misteri, di samping sebuah mahakarya seni hasil ciptaan-Nya dan salah satu cara untuk mengagumi dan memahaminya adalah dengan mencoba meniru dalam karya-karya setelah berusaha untuk mengamati, menggali, memahami dan mengahayati walau hanya tak seberapa” (Wawancara: Minggu, 15 Januari 2012). Dengan demikian, seniman yang selama ini dikatakan sebagai pencipta seni ternyata pada hakikatnya dia hanya sekedar meniru objekobjek alam yang merupakan mahakarya hasil ciptaan-Nya. Artinya, manusia itu sebagai pencipta kedua sedangkan pencipta yang sebenarnya, sejatinya adalah Tuhan yang Maha Pencipta. Objek sungai atau air yang terdapat dalam bingkai lukisan Joko SP di atas dapat memberikan tanda-tanda alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetapi sebaliknya jika manusia tidak bisa menjaga kelestarian alam, tidak menutup kemungkinan air akan menjadi sumber bencana. Pendek kata air bisa menjadi simbol kehidupan dan sekaligus air bisa menjadi simbol bencana. Sebagai simbol kehidupan, air bisa memberikan kemanfaatan pada seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan air. Manusia, binatang dan tumbuhan akan mati jika tidak ada air. Oleh karena itu, semua makhluk memerlukan air. Binatang memerlukan air untuk minum dan berendam, commit to user
272
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
begitu juga tumbuhan memerlukan air untuk keperluan proses fotosintesis. Berbeda dengan binatang dan tumbuhan, manusia membutuhkan air tidak sekedar untuk minum, memasak atau mandi tetapi lebih dari itu untuk keperluan pertanian maupun ritual keagamaan. Dalam ritual keagamaan air menjadi simbol kesucian, misalnya dalam ritual agama Hindu-Buddha air digunakan sebagai unsur utama dalam rangkaian upacara keagamaan dengan cara menyiprat-nyipratkan “air suci” yang dilakukan oleh pendetanya kepada peserta upacara ritual agama tersebut. Dalam ritual umat Kristiani atau Katholik, air digunakan untuk penyucian dosa dalam rangkaian pembabtisan. Demikian juga dalam agama Islam, air dimanfaatkan untuk bersuci (berwudlu) sebelum melaksanakan ibadah sholat. Bahkan, jenazah sebelum dikuburkan pun harus disucikan atau dimandikan dengan air terlebih dahulu. Namun demikian, air bisa juga menjadi simbol bencana, ketika manusia tidak mau menjaga kelestarian alam misalnya penebangan hutan secara liar, membuang sampah sebarangan di sungai, pabrik-pabrik yang tidak berbasis kepedulian lingkungan, seperti mengalirkan limbahnya ke sungai dan sebagainya. Maka, air yang sebelumnya bermanfaat bagi manusia, berubah menjadi sumber bencana bagi manusia. Penebangan hutan secara liar akan berakibat terjadi tanah longsor, banjir bandang, yang banyak menelan korban karena pohon-pohon di hutan tidak ada lagi untuk menahan air hujan. Membuang sampah sembarangan kedalam sungai akan mengakibatkan pendangkalan dan penyumbatan saluran-saluran air, maka ketika terjadi hujan lebat sungai tidak mampu menampung air dan meluap menjadi bencana banjir. Demikian juga dengan pabrik-pabrik yang tidak berwawasan lingkungan commit to user
273
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
misalnya mengalirkan limbahnya ke sungai jelas akan berdampak pada rusaknya ekosistem sungai, matinya kehidupan habitat air sungai dan dampak lebih luas lagi akan merusak tanaman ketika air sungai yang tercampur limbah sampai mengalir ke lahan pertanian yang akibatnya tanaman akan mati dan para petani akan mengalami puso atau gagal panen. Objek yang lain di dalam lukisan pemandangan alam adalah bentuk terasiring persawahan. Obje ini memberikan dua pemaknaan simbol sekaligus. Pertama, istilah terasiring menjadi simbol tingkatan struktur masyarakat petani. Pemahaman ini dikaitkan dengan pengertian terasiring itu sendiri yang berarti jenis lahan pertanian yang
bertingkat-tingkat,
maka
dengan
meminjam
kata
“tingkat”
dapat
ditransformasikan menjadi suatu tingkatan struktur masyarakat petani. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Priambodo (1992: 9-10) di awal,
secara sosiologis
masyarakat petani di daerah Klaten terjadi enam tingkatan. Mulai dari yang terendah yaitu petani tlosor (tidak memiliki apa-apa, dia buruh tani keluar daerah), petani templek (tidak ada lahan dan sawah), petani ngindung (memburuh pada yang mempunyai tanah), petani gundul (tidak punya pekerjaan tetapi mempunyai sebidang sawah), petani setengah kenceng (lahannya hanya berupa pekarangan saja untuk rumah), dan paling tinggi adalah petani kenceng (memiliki tanah pekarangan untuk rumah dan lahan pertanian serta memiliki semua peralatan petani seperti luku, garu, sapi atau kerbau). Dengan memperhatikan stratifikasi atau tingkatan masyarakat petani tersebut, secara ekonomis menunjukkan perbedaan kesejahteraan status sosial, perbedaan pada perilaku dan gaya hidup. Misalnya, pada masyarakat petani kenceng commit to user
274
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akan bergaya seperti majikan, sedangkan masyarakat petani tlosor, memiliki naluri sebagai abdi atau buruh yang siap disuruh-suruh. Pemaknaan kedua adalah simbol persawahan. Sesuai dengan fungsinya, sawah merupakan sebidang tanah pertanian untuk bercocok tanam seperti padi, palawija dan lain-lain. Dalam hal ini persawahan bisa dimaknai sebagai simbol kesejahteraan hidup. dengan memperhatikan hasil panen yang dihasilkan dari sebidang tanah pertanian tersebut bisa menjadi tolok ukur kesejahteraan hidup sebagian besar para petani. Di sisi lain, objek pepohonan pada lukisan karya Joko SP menyiratkan simbol pengayoman. Sebuah pohon yang rimbun dapat memberikan rasa teduh pada saat cuaca panas ketika duduk di bawahnya. Lebih dari itu, dalam perspektif budaya, pohon dianggap sebagai simbol kalpataru. Artinya, sebuah pohon merupakan bagian dari lingkungan hidup yang bisa memberikan kemanfaatan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, piala penghargaan kalpataru dilambangkan dengan bentuk stilirisasi sebuah pohon. Penghargaan kalpataru ini diberikan kepada seseorang yang memiliki prestasi terbaik di bidang pemberdayaan lingkungan hidup yang didalamnya mengangkat pelestarian pohon sebagai sumber kehidupan. Dalam agama HinduBudha dikenal istilah “pohon“ yang artinya pohon kehidupan atau dianggap sebagai lambang kemujuran seperti terdapat pada relief-relief bangunan candi. Dengan demikian, sudah sewajarnyalah sebagian besar pelukis naturalisme hampir dipastikan selalu memasukkan objek pohon sebagai dari kesatuan dengan objek-objek yang lain di dalam bingkai lukisannya. Begitu juga sebagian pelukis senior anggota “Pasren” seperti mbah Mardi (79 th) mengangkat objek dengan judul commit to user
275
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“Tanamannya Simbah” (2004) yang melukiskan pohon pisang dan nangka. Dua objek dalam lukisan itu menyiratkan nilai simbolis terhadap keberlangsungan kehidupan. Pohon pisang bisa dianalogikan sebagai sebuah rasa keikhlasan, karena pohon pisang akan mati ketika sudah memberikan buahnya kepada manusia. Sementara pohon nangka
memberikan kemanfaatan bagi
manusia
secara
keberlanjutan. Pelukis “Pasren” yang lain adalah Ken Sudi dengan karyanya berjudul “Kelapa Bergelayutan” (2005). Pohon kelapa secara filosofis menjadi simbol totalitas kemanfaatan, karena pohon kelapa bisa memberikan manfaat hampir seluruh kebutuhan manusia. Misalnya, air kelapa bisa diminum ketika haus, daging kelapa bisa untuk membuat minyak goreng dan santan masakan, batok kelapa dan sabutnya bisa untuk dibuat kerajinan, daunnya bisa untuk atap, alas tidur atau keperluan adat seperti untuk membuat ketupat, kembar mayang penganten, penjor dan lain-lain. Begitu juga lidinya pun bisa dibuat sapu dan batangnya juga bisa dibelah-belah dengan gergaji untuk konstruksi dengan bagunan.
4.3.3.2 Makna Kehidupan Makna kehidupan yang teerdapat pada sebagian besar karya pelukis “Pasren” seperti Cak Min (37 th), Jaya Adi (49 th), GM.Sudarta (64 th) dan lain-lain. Mengawali pembahasan makna kehidupan pelukis “Pasren” dapat dengan mengamati objek lukisan karya Cak Min yang berjudul “Milihi mBako” (menyeleksi tembakau), menunjukkan tanda-tanda kehidupan masyarakat petani. Hal ini sesuai gaya seni lukis realisme yang dicetuskan oleh Custavo Coubert, bahwa lukisan itu pada dasarnya seni yang konkrit, ada, dan terjadi di masyarakat (Rasjoyo, 1994: 48). commit to user
276
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tanda-tanda visual itu terlihat pada unsur beberapa wanita desa yang sedang sibuk menyeleksi tembakau yang berkualitas untuk dioven atau dikeringkan yang akan dijadikan bahan rokok. Penandaan ini merupakan aspek material yang bersifat sensorik atau dapat diinderai (Budiman, 2004: 46). Petanda bahwa pada lukisan itu menggambarkan masyarakat petani di kabupaten Klaten, karena dapat mengaitkan dengan para wanita petani cenderung berpakaian kebaya Jawa dan berdasarkan data geografis di wilayahKabupaten Klaten merupakan sebagian besar lahan pertanian, meskipun tembakau bukan merupakan tanaman pokok. Cak Min yang masih berusia muda (37 tahun) tampaknya cerdik membidik wanita-wanita petani itu dijadikan objek lukisannya untuk menunjukkan perjuangan wanita buruh demi keluarganya untuk keberlangsungan kehidupan. Simbol tembakau di Klaten, mengingatkan kehidupan masa lalu ketika Indonesia masih dijajah Belanda, ada semacam „pemaksaan‟ sewa lahan pertanian untuk ditanami tembakau atau tebu untuk kepentingan pabrik. Setelah merdeka, pabrik-pabrik itu diambil alih pemerintah Republik Indonesia dan pengelolaanya diserahkan pada PTP Nusantara sampai sekarang. Dalam hal ini telah terjadi komunikasi antar budaya, yaitu budaya kerja antara bekas penjajah Belanda ke negara yang dijajah, yakni Indonesia. Komunikasi antar budaya bisa menjajagi makna, pola-pola tindakan dan bagaimana makna serta pola-pola itu diartikulasikan dalam sebuah kelompok sosial, budaya, politik, pendidikan dan teknologi yang melibatkan antar manusia (Liliweri, 2002: 13). Pewarisan budaya kerja di pabrik tembakau itu sangat berpengaruh pada tatanan kehidupan di masyarakat, yakni adanya stratifikasi antara buruh dan mandor; commit to user
277
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atasan dan bawahan. Dalam hal ini telah terjadi pengkelasan ala feodal seperti yang terjadi pada paham Marxisme, yakni pembagian kelas yang mendasar dalam kapitalisme adalah kelas borjuis yang menguasai sarana produksi dan kelas proletar harus menjual tenaga untuk bertahan hidup. Bagi para buruh, pokoknya hidup itu adalah kerja dan kerja (Barker, 2009: 14). Simbol wanita dapat dimaknai, bahwa dia memiliki nilai ketekunan, ketelitian dan kehalusan dalam bekerja, dibandingkan pria yang mengandalkan otot. Disamping itu, pada dunia kerja UMR untuk wanita lebih murah dibandingkan pria. Hal ini sangat relevan ketika penulis mencoba mewawancarai pada seorang pegawai pabrik tembakau, mengapa buruh yang di dalam pabrik itu kebanyakan wanita dan yang mencangkul atau menanam tembakau di lahan sawah kebanyakan pria. Pemaknaan simbol wanita ini menyiratkan pada pendapat Sardar dan Loon yang diperjelas oleh Chris Barker, bahwa dari lima politik budaya feminisme, salah satunya adalah feminis sosialis dan Marxis yakni memberikan intensitas pada gender dan kelas (Ratna, 2010: 222). Dengan demikian, simbol wanita jelas merupakan bidikan yang sanagat cerdas, karena wanita memiliki nilai lebih. Pertama, untuk pekerjaan menyeleksi tembakau harus dibutuhkan ketekunan, ketelitian dan kehalusan, maka secara kodrati kecenderungannya hal ini hanya ada pada wanita; Kedua, ketika penulis tanyakan pada beberapa buruh tembakau, mereka menjawab ingin bekerja seperti suaminya. Artinya dia ingin menuntut persamaan gender dalam soal mencari pekerjaan atau nafkah. Ketiga, pihak pabrik sangat diuntungkan dengan memberikan upah yang rendah pada buruh wanita. commit to user
278
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan memperhatikan pemaknaan lukisan Cak Min di atas, juga menujukkan telah terjadi kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi di dalam masyarakat Indonesia. Secara historis, kesenjangan itu diakibatkan oleh pengaruh kebijakan politik yang tidak berpihak pada amanat dan kesejahteraan rakyat. Dari waktu ke waktu pergantian presiden, misalnya tidak pernah bias memperbaiki keadaan ekonomi rakyatnya menuju kea rah yang lebih baik. Dengan demikian, perjalanan sejarah politik di Indonesia telah berdampak pada keterpurukan kehidupan rakyat kecil. Dalam hal ini, rupanya pelukis “Pasren” yang lain bernama Jaya Adi (49 th) telah berhasil memotret serentetan peristiwa kehidupan perpolitikan di Indonesia melaui hasil karyanya yang berjudul “Operasi Semar” (2007). Jaya Adi yang berusia 49 tahun telah memiliki kematangan jiwa dalam memaknai tanda-tanda sejarah kehidupan perpolitikan di Indonesia, mulai dari pemerintahan presiden pertama Soekarno, yang diambil alih Soeharto melalui Supersemar. Soeharto dilengserkan dengan gerakan reformasi mahasiswa setelah 32 tahun memerintah, kemudian diserahkan pada B.J. Habibie. Pada Pemilu 1999 pasca reformasi, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden keempat yang dilengserkan juga melalui sidang istimewa MPR dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Dua periode terakhir ini, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) terpilih rakyat untuk memerintah negeri ini. Berdasarkan rentetan sejarah pemerintahan di Indonesia itu, Jaya Adi menjadikan inspirasi ide dan ideolgi dalam penggambaran objek lukisannya yang berjudul “Operasi Semar”tersebut. Namun, tidak semua ide itu adalah ideologis, tetapi hanya ide-ide yang digunakan untuk menyembunyikan kontradiksi sosial commit to user
279
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
politik (Lelland, 2005: 24). Maka, dalam memaknai suatu karya seni lukis hanya diawali terlebih dahulu dengan melihat tanda-tanda yang ada dalam bingkai lukisan. Tanda-tanda visual pada lukisan hasil karya Jaya Adi itu menggambarkan ekspresi atau mimik wajah para tokoh presiden Indonesia. Secara hermeneutis, mimik wajah-mimik wajah itu menyiratkan makna ideologi masing-masing presiden yang ketika sedang berkuasa. Dalam konteks kajian budaya, lukisan itu menunjukan telah terjadi diskontruksi ideologi kekuasaan antara pemerintahan presiden yang satu dengan presiden yang berikutnya, bahkan telah memunculkan pengertian ideologi baru di masyarakat. Hal ini mengingatkan pada definisi ideologi menurut Giddens, yang hanya mengacu kepada ide yang berkuasa dan ditolak ideologi versi Althusser yang dia pahami, bahwa ideologi sebagai sesuatu yang menjustifikasi tidakan semua kelompok masyarakat (Barker, 2009: 66-67). Ini berarti, kelompok masyarakat di luar pemerintahan pun juga memiliki ideologinya sendiri, termasuk pelukis dalam berkarya. Pancasila sebagai dasar negara dalam enam masa kepemimpinan presiden di Indonesia adalah sama. Perbedaanya adalah menempatkan Pancasila sendiri dijadikan dasar dari ideologi kekuasaannya juga. Sehingga rakyatnya mengalami kebingungan penafsiran tentang makna Pancasila itu sendiri, maka berujung pada perpecahan antar suku, ras dan agama pada dekade akhir-akhir ini. Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antara pemerintah dan rakyatnya mulai luntur. Para pemimpin negara Indonesia saat ini sudah mulai mengabaikan pesan Soekarno (Presiden RI pertama) yang tertuang dalam pidatonya yang berjudul “Jasmerah” artinya jangan sekali-kali melupakan sejarah. commit to user
280
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Memang sebaiknya jiwa perjuangan antara pemerintah dan rakyat harus senantiasa bedampingan, bersatu padu untuk mencapai kejayaan bangsa. Seperti telah dicontohkan oleh para pejuang-pejuang kemerdekaan sebelumnya. Simbol kebersamaan antara pemerintah dan rakyatnya itu tampaknya tersirat pada lukisan hasil karya Ansori (51 th) berjudul “Panglima Sudirman”. Dalam sejarah perjuanagan kemerdekaan Indonesia, sosok Sudirman dikenal sebagai panglima perang yang memiliki sifat kerakyatan dan pantang menyerah. Artinya, walaupun beliau seorang jendral, tetapi beliau tidak mau menyerahkan tanggung jawab komando perang pada anak buahnya, sementara beliau sendiri berada di kota. Beliau memilih bergabung bersama prajuritnya, bergerilya ke medan perang dengan maksud agar selalu dekat dengan rakyat. Begitu juga beliau tidak pernah mau berhenti berjuang, walaupun beliau terpaksa dipandu, karena sakit keras. Buah dari perjuangan adalah dapat mempertahankan kemerdekaan, sehingga Negara Republik Indonesia tetap berdiri tegak samapi saat ini. Namun, tampaknya pemimpin-pemimpin negara kita beberapa decade saat ini kelihatannya tidak bisa menyadari makna perjuangan pendahulunya dan cenderung tidak bisa membawa amanah penderitaan rakyat. Fenomena yang terjadi saat ini justru hanya sekedar permainan politik belaka dan rakyat hanya dijadikan tumbal oleh segelintir orang untuk mencapai tujuan sesaat. Seperti disindir dalam lukisan karya Budi Budek‟s (38 th) yang berjudul “Ular Tangga” (2001). Makna yang terdapat pada simbol-simbol dalam lukisan ini menganalogikan, bahwa setiap pemain politik ingin berkuasa (naik tangga kepresidenan, misalnya) dengan cara-cara yang tidak elegan atau dengan cara saling menjatuhkan. commit to user
281
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Oleh karena itu, sebagai akibatnya terjadilah degradasi moral, korupsi merajalela tidak bisa diberantas, terjadinya kesenjangan sosial dan lain-lain. Carutmarut sistem pemerintahan ini terjadi justru masa-masa pasca reformasi 1998 sampai sekarang dengan dalih menegakkan demokrasi. Akibatnya, pemerintah tidak lagi jelas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia ini mau dibawa ke mana arah dan tujuannya. Dalam kondisi ini, tampaknya menarik untuk diangkat sebagai objek lukisan para pelukis “Pasren”, misalnya hasil karya Bambang Pujiono (52 th) brjudul “Power” dan “Potert Nagari” hasil karya Putut Saputra (33 th). Kedua lukisan ini menyindir kondisi Negara pada saat ini yang disimbolkan sebagai benang ruwet dan tumpahan cat tak beraturan. Kembali dengan melihat objek karya Jaya Adi yang bergaya romantisme dengan pendekatan gaya Barok abad-16 ini, secara struktural yang menjadi pusat objeknya adalah tokoh Semar yang terlentang sedang dioperasi. Menurutnya, untuk mengatasi carut-marut kehidupan perpolitikan di Indonesia, perlu diselenggarakan ruwatan (Jaya Adi, Wawancara: Kamis, 22 Maret 2012). Adapun pemilihan objek Semar, karena tokoh dalam pewayangan ini memiliki makna simbolis kebersatuan jiwa bangsawan dan rakyat jelata. Dalam aliran seni lukis, romatisme-barok sangat memberikan kebebasan untuk mengekploitasikan ruang dan waktu dalam menggambarkan objek-objeknya. Hal ini sesuai dengan pengertian Barok yang berasal dari bahasa Romawi “Barque” yang berarti “tidak beraturan” (Sachari, 2004: 14). Lukisan gaya Barok memiliki ciri utama adanya kebebasan seniman untuk mengekspresikan diri melalui karyakaryanya agar lebih “hidup”. Dengan demikian, pemaknaan pada lukisan yang commit to user
282
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bergaya romantisme-barok memerlukan teori tafsir yang sangat kompleks dan arbitrer. Oleh karena itu, pemaknaannya dari simbol Semar dalam lukisan hasil karya Jaya Adi tidak bisa hanya menggunakan analisis struktur luarnya saja, tetapi harus diintegrasikan dengan struktur dalam di balik objek Semar itu sendiri. Hal ini seperti yang disarankan Levi-Strauss, bahwa analisis struktural ini dibedakan menjadi dua macam: struktur lahir, struktur luar atau surface structure dan struktur batin, struktur dalam atau deep structure (Ahimsa-Putra, 2006: 61). Jika ditilik dari pandangan estetikanya Dharsono yang mengutip pendapatnya De Witt H. Parker, lukisan karya Jaya Adi telah memenuhi standar nilai estetika, yakni setiap karya seni itu merupakan kreativitas, ungkapan dan memiliki prinsip (Dharsono, 2007: 65-67). Dengan memperhatikan beberapa pandangan di atas, maka tokoh Semar bukan sekedar tokoh fiksi dalam dunia pewayangan yang tidak memiliki makna apa-apa. Tokoh Semar mestinya bisa dimaknai sebagai tokoh yang menyimbolkan seorang rakyat kecil (batur) yang pada saatnya memiliki keilmuan dan kemampuan yang luar biasa melebihi dewa. Maka para Pandawa yang dimong (diasuh) selalu berhasil mencapai kemenangan dan kejayaan. Namun, setelah melihat prahara budaya politik; peristiwa demi peristiwa kerusuhan massa yang dipicu oleh tingkah-polah para pemimpin yang mengemban amanat rakyat di negeri ini sudah banyak yang keluar dari tatanan dan norma hukum kenegaraan, maka Semar pun „marah‟ dan lari dari tanggung jawab „kemomongannya‟. Maka, sepakat atau tidak, secara transendensi ruang dan waktu keenam pemimpin negeri ini meruwat atau mengoperasi Semar dengan harapan negeri ini bisa keluar dari malapetaka. commit to user
283
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pertanda ketidakjelasan „kesepakatan operasi Semar‟ telah dilukiskan oleh Jaya Adi dengan apik melalui lukisan ekspresi mimik wajah pada objek para tokoh presiden tersebut. Dari lukisan itu dapat kita tafsir, Soeharto lah yang melakukan operasi Semar walaupun sudah diingatkan oleh Soekarno. Sedangkan Habibie hanya terbelalak melihatnya dengan tidak tega. Gusdur menyaksikan dengan sebelah mata sambil menahan sedih. Sementara Megawati tampak menangis tidak mau melihat, apalagi SBY sama sekali tidak mau menyaksikan dengan cara menutup kedua matanya dengan kedua tangannya. . Dengan demikian, sepakat atau tidak, percaya atau tidak, upacara ruwatan oleh sebagian besar masyarakat Jawa memiliki makna harapan pada Tuhan yan Mahakuasa agar memberikan pertolongan agar bisa keluar dari malapetaka dan bisa hidup tenang dan damai. Harapan ini tampaknya juga mengilhami GM. Sudarta dalam karya lukisnya berjudul “Bapa, Ibu lan Putra Kinasih” Hampir semua pembaca harian Kompas mengenal GM. Sudarta. Dia adalah seorang kartunis kelahiran Klaten 64 tahun yang lalu. Karya-karya kartunnya dengan sosok maskot Oom Pasikom yang menghiasi harian Kompas sudah sejak tahun1960an sampai sekarang. Disamping berprofesi sebagai kartunis, dia juga bergabung di organisasi “Pasren”. Sekali waktu dia berkarya lukis dan ikut berpameran seni lukis yang diselenggarakan “Pasren” setiap waktu tertentu. Karya lukisnya cukup banyak terpampang di galleri kecil dalam lokasi kediamannya. Sebagai salah satu contoh hasil karya lukisnya yang dianggapnya paling berpengaruh dalam kehidupannya adalah yang berjudul “Bapa, Ibu lan Putra Kinasih” seperti tamapak pada gambar IV.13 di atas
commit to user
284
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan mengamati lukisan hasil karya GM. Sudarta yang berjudul “Bapak, Ibu lan Putra Kinasih” di atas, sekilas tampak biasa-biasa saja. Namun, jika kita perhatikan lebih mendalam lagi dapat menyiratkan nilai-nilai simbolis yang bermakna. Tanda-tanda yang ditampilkan dalam lukisan ini adalah objek kesatuan suatu keluarga. Penandaan ini dapat dimaknai, bahwa lukisan itu menunjukkan pentingnya hubungan yang harmonis dalam suatu keluarga sesuai peranannya masing-masing sebagai anggota keluarga. Teknik penggambaran objek lukisan tampak dipengaruhi gaya neo- klasisisme yang berkembang pada awal abad ke-19 di Perancis. Neo-klasisisme merupakan kelanjutan dari gaya klasisisme yang mengacu pada kebudayaan perguruan tinggi seni rupa pertama di Perancis bernama Royal Academy. Seni lukis gaya klasisisme memiliki ciri-ciri antara lain: terikat pada norma-norma intelektual akademis, bentuk seimbang dan harmonis, batasan-batasan warnanya bersih dan statis, raut muka objeknya tenang berkesan agung, berisi cerita istana dan mistis-ritual, dan cenderung berlebihan (Rasjoyo, 1994: 47-48). Ini artinya seperti yang diisyaratkan dalam analisisnya Ludwig Wittgenstein yang ditulis oleh Thomas Mc Carthy, bahwa imajinasi harus berasal dari pengalaman dan memorinya sendiri tentang bagaimana cara ekspresi digunakan secara aktual (Habermas, 2008: 221-222). Oleh karena itu, dengan dilatarbelakangi kecintaannya pada kedua orangtuanya, GM. Sudarta mengangkat objek bapak, ibu dan anak tersebut. Dengan lebih memperhatikan penggambaran objek ketenangan, tampaknya lukisan karya GM. Sudarta ini bisa jadi mentransformasikan kehidupan pribadi yang „katholik‟, sehingga terpengaruh pada lukisan-lukisan yang bercorak gerejawi. Hal commit to user
285
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu bisa disimak dari pengakuannya ketika diwawancarai penulis, saat ini dia sudah menjadi seorang mualaf dengan memeluk agama Islam. Dalam kaitannya dengan corak gerejawi, GM. Sudarta menyatakan dalam bahasa campuran Jawa dan Indonesia: “Bapak dalam bahasa Jawa kuwi Bopo, mas. Bopo kuwi kepala rumah tangga panutan istri dan anaknya. Bopo yang jadi wakilnya Allah. Dulu aku percaya bopo ya Allah. Kalau ibu itu suci berbeda dengan sekedar wanita. Bunda Maria itu wanita suci, maka dipilih oleh Allah untuk menitipkan putra-Nya di rahimnya (maaf ini nek Katholik lho, mas). Lha kalau putra yang lahir dari rahim yang suci ya dari dalam diri-Nya akan membawa kabar yang baik, tho” (Wawancara : Minggu, 23 januari 2012). Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan sebagai dogma trinitas, yakni bapa dianalogikan sebagai perwujudan Allah, ibu dianalogikan sebagai bunda Maria, dan putra dianalogikan sebagai Yesus Kristus. Dengan demikian, karya GM Sudarta tampaknya diilhami oleh ideologi Kristiani yang mempersekutukan antara Tuhan dengan manusia . Memaknai ketenangan hidup dalam lukisan “Pasren” dapat ditemukan juga pada karya Yoyok WD Besur (40 th) berjudul “Ndonga” (2003) yang
artinya
berdoa. Lukisan dengan teknik hitam putih ini beraliran ekspresionisme menunjukkan adanya kesan suasana tenang yang ditampilkan bentuk sosok biksu yang sedang melakukan serangkaian upacara ritual agama Buddha. Penanda ritual dalam lukisan ini adalah tiga orang biksu yang sedang berjalan berurutan sambil masing-masing membawa lilin dan dupa. Kata “tiga” dalam tiga orang biksu dalam agama Buddha dapat dimaknai sebagai tingkatan kedalaman ilmu batin dari masingmasing biksu tersebut untuk menuju kesempurnaan hidup seperti yang terdapat pada struktur candi Borobudur. Untuk mencapai kesempurnaan hidup tersebut Daud commit to user
286
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Yusuf (2004): 35) menyebutnya dengan istilah “dunia hasrat” (kamadhatu), “dunia rupa” (rupadhatu) dan “dunia tanpa rupa” (arupadhatu). Pada tataran kamadhatu yang disebut juga “alam bawah” manusia secara keilmuan batin masih rendah karena masih mementingkan kehidupan duniawi. “Alam tengah” (rupadhatu) manusia memiliki setengah kesempurnaan dari ilmu batin. Artinya, separuh hidupnya untuk dunia dan separuh lagi hidupnya untuk memperdalam ilmu batin. Tingkat paling atas adalah arupadhatu atau “dunia atas” adalah dalam kehidupan bagi orang yang telah mencapai kesempurnaan hidup. Biksu pada tingakatan ini sudah tidak tertarik sama sekali terhadap urusan keduniawian atau dengan kata lain seorang biksu yang telah mencapai kesempurnaan hidup. Sementara dalam buku Patmasana tulisan Cudamani (tanpa tahun: 8) ketiga tingkatan itu disejajarkan dengan simbol tribhuana yang terdiri alam bhur, alam bwah, dan alam swah. Lilin sebagai simbol penerang. Penerang artinya, walaupun lilin sumber cahayanya kecil, namun bisa memberikan penerangan dalam kegelapan. Dupa sebagai simbol pemujaan pada roh ghaib. Artinya, dupa yang mengeluakan asap berbau wangi dianggapnya sebagai media untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
4.3.3.3 Makna Sosial-Budaya Memperhatikan lukisan Romantisme berjudul “Bima Melawan Naga Nemburnawa” (2004) hasil karya Sugito Slamet (50 th) menyiratkan makna sosial budaya yang perlu diungkap. Pertama, dalam pewayangan tokoh Bima merupakan simbol kepatuhan dan keperkasaan. Dalam cerita pewayangan Bima adalah seorang ksatria di antara pandawa lima yang memiliki sifat patuh pada gurunya dan tidak commit to user
287
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suka membantah, jujur, lugu, dan tegas tidak mengenal kompromi. Sifat kepatuhannya itu, terbukti ketika mendapat perintah dari gurunya yang bernama guru Durna. Perintah tersebut berupa perintah untuk mencari tirta perwitasari atau “air suci” kehidupan sebagai syarat untuk mencapai ilmu tinggi. Sudah banyak diketahui umum, Durna adalah seorang guru yang mempunyai dua kelompok murid, yakni pandawa lima dari negeri Amarta yang memiliki sifat kebaikan dan seratus murid dari negeri Ngastina yang memiliki sifat keburukan. Namun, tampaknya guru Durna lebih berpihak pada muridnya yang dari Astina, maka Durna pun dalam hati berniat menjerumuskan Sang Bima ke arah marabahaya pada Sang Bima dengan dalih agar mencari air suci perwitasari seperti tersebut di atas dengan tujuan menyingkirkan Bima dari pandawa, sehingga kekuatan pandawa menjadi lemah. Karena merasa mendapat perintah sang guru, maka Bima yang memiliki nama lain Werkudara ini pergi melaksanakan tugas guru tanpa membantah sedikitpun. Simbol keperkasaan Sang Bima dilukiskan sebagai sosok satria yang sakti mandraguna, berbadan sangat besar dan gagah berwibawa. Bukti keperkasaan Sang Bima itu terlihat ketika sampai di tengah lautan dia bertemu dan bertarung melawan dengan Naga Nemburnawa. Dalam pertarungan itu pada akhirnya dimenangkan oleh Sang Bima. Di dalam buku serat Dewa Ruci karangan Pujangga Yasadipura (Musbikin, 2010: 163), pertarungan itu dimaknai sebagai ujian atau bagian dari perjuangan Bima yang memiliki nama lain Wrekudara dalam mencapai ilmu tinggi. Pada saat itu pula bangkai Naga menghilang dan kemudian munculah sosok kecil yang mengapung-apung diatas air menyerupai wajah Sang Bima sendiri. Dalam cerita tersebut, sosok kecil itu bernama Dewa Ruci. Dalam serat Dewa Ruci itu, juga commit to user
288
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikisahkan, bahwa Dewa Ruci itu adalah seorang dewa yang berambut panjang. Adapun kisah cerita itu sebagai berikut. “Sang Wrekudara masih di samudra, sudah bertemu dengan dewa berambut panjang, bernama Dewa Ruci, seperti anak kecil bermain-main di atas air laut. Berkata Sang Wrekudara, „apa kerjamu kerjamu di laut, semua serba tidak ada makanan dan tidak ada pakaian?. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku‟. „Itu yang yang saya makan, jika tidak ada, tentu tidak makan‟. Sang Wrekudara heran melihat dan mendengarnya. Dewa berambut panjang di laut tanpa kawan, kecil sekali, siapakah dia hanya sebesar bayi, dapat berjalan di atas air, sombong sekali, tanpa kawan hanya sendirian. Berkata lagi, „Wahai Wrekudara, segera dating ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tidak bisa sampai ketempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, di sini tidak mungkin ditemukan‟. Wrekudara bingung hatinya, jawabnya, karena tidak tahu maksudnya. Sehingga Wrekudara menjawab pelan, „terserah kepada guru‟. …genaplah sebagai Pandawa dengan kedatanganmu di sini. Juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari „air penghidupan‟, berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya. Jangan pergi bila belum jelas maksudnya dan jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya dabn dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi. Kertas kuning disangka emas mulia, demikian pula orang kuning disangka emas mulia, demikian pula orang berguru, bila belum paham akan tempat yang harus disembah. Wrekudara ketika mendengar itu, tertunduk merendahkan diri, sedang sang wiku cermat. Air menyibak menjadi tempat duduk bagi Wrekudara, berkata meminta kasih, mohon diyakini, siapakah tuanku sebenarnya, mengapa sendirian, Sang Marbudyenngrat?‟. Berkatalah, „Akulah Sang Dewa Ruci, ya Sang Hyang Wenang” (Musbikin, 2010: 303-305) Ketika berhadapan dengan Dewa Ruci itu, Bima pun menyembahnya. Peristiwa ini tidak seperti biasanya, karena selama ini Bima atau Wrekudara itu tidak pernah menyembah kepada siapapun kecuali pada Tuhannya. Pada pertemuan ini dijelaskan dalam teks yang lain, Dewa Ruci bersabda, bahwa “air suci” yang Bima cari itu merupakan satu simbol atau perlambang saja; bukan air biasa. Tirta perwitasari itu merupakan “air kehidupan” yang bisa memunculkan kehidupan baru. commit to user
289
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan penjelasan itu, Bima pun baru menyadari ternyata, bahwa yang dimaksud tirta perwitasari adalah air mani (dalam ilmu biologi disebut sperma). Artinya, dengan sperma seorang laki-laki itu ketika bertemu dengan sel telur seorang wanita, apabila Tuhan menghendaki, maka akan melahirkan kehidupan baru yaitu seorang bayi. Simbol kedua adalah “Naga Nemburnawa”. Dalam buku Patmasana karangan Cudamani (tanpa tahun: 21) dijelaskan, bahwa Naga Nemburnawa berasal dari kata naga, nembur dan nawa. Kata naga berarti ular besar dalam suatu cerita. Kata Nemburnawa berasal terdiri dari kata nembur berarti hawa nafsu nawa berarti Sembilan. Jadi Nemburnawa artinya sembilan jalan masuk dan keluarnya hawa nafsu yang ada pada diri manusia. Sembilan jalan masuk dan keluar hawa nafsu seseorang itu antara lain: dua mata, dua lubang telinga, satu lubang mulut, dua lubang hidung, satu alat kelamin dan satu lubang dubur. Dari kesembilan hawa nafsu itu akan membawa dampak pada manusia kearah lebih baik atau lebih buruk. Apabila manusia bisa memanfaatkan jalan hawa nafsu itu dengan baik, maka baiklah perbuatan manusia itu. Begitu sebaliknya, apabila manusia tidak bisa menggunakan jalan hawa nafsu itu dengan benar, maka buruklah perbuatan manusia itu. Misalnya, indra mata ketika manusia dapat emnggunakan matanya untuk melihat sesuatu yang baik seperti membaca buku pelajaran, membaca kitab suci, mengamati objek penelitian dan sebagainya. Telinga digunakan untuk mendegar suara-suara yang baik seperti mendengarkan nasihat guru, mendengarkan ceramah agama dan sebagainya. Demikian juga ketika pikiran kita untuk memikirkan hal-hal yang baik dan bermanfaat dan hati untuk merasakan kebahagiaan atau penderitaan orang lain, tidak commit to user
290
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
iri dengki, maka manusia ini pun akan mendapatkan suatu kebaikan dalam dirinya dan bisa membagi kebaikan pada orang lain. Namun, sebaliknya apa bila manusia tidak dapat memanfaatkan jalan hawa nafsunya itu dengan baik, maka manusia akan terjerumus ke jurang keburukan, penderitaan, dan kesesatan. Di sisi lain, masih dalam buku tersebut, Naga Nemburnawa dapat disejajarkan dengan Naga Anantaboga yang diyakinin oleh umat Hindu sebagai simbol kemakmuran. Seperti yang termaktub dalam buku Patmasana di atas sebagai berbunyi: “… setelah Sang Hyang trimurti sampai di angkasa, maka Bhatara Brahma mohon ijin kepada Bhatara Iswara untuk terjun ke pertiwi. Setelah Bhatara Brahma memasuki pertiwi, maka berubahlah wujud beliau menjadi naga yang bernama Naga Anantaboga. Bulu-bulu Sang Hyang Anantaboga menjadi tumbuh-tumbuhan. Sehingga makmurlah manusia tidak kekurangan pangan”. (Cundamani, tanpa tahun : 21). Berdasarakan penggalan cerita di atas dapat disimpulkan, bahwa naga dalam pengertian itu bukanlah makhluk yang menakutkan tetapi makhluk yang dapat memberikan kemakmuran pada umat manusia. Perlu juga diketahui, bahwa Anantaboga dalam bahasa Sanksekerta berasal dari dua kata, yakni “ananta” dan “boga”. Ananta artinya tidak habisa-habis dan boga artinya pangan. Jadi Anantaboga adalah pangan yang tidak habisa-habis yang diberikan oleh ibu pertiwi. Dalam alam konteks sosial-budaya, memiliki makna luas, bahwa kemenangan atas tokoh Bima itu dapat dimaknai sebagai suatu keberhasilan yang dapat memberikan kemanfaatan bagi orang lain, khususnya dalam rangka turut memakmurkan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara melalui usaha pengentasan kemiskinan. Simbol ketiga adalah air laut. Berbeda dengan tirta perwitasari yang menjadi commitsimbol to userkesucian dan luasnya ilmu. Ditinjau simbol air kehidupan, air laut merupakan
291
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari dzatnya, air laut merupakan simbol kesucian, karena air laut dalam kondisi apapun tetap suci. Walupun air laut kemasukan sampah-sampah atau limbah, air laut mampu mensucikan dirinya melalui deburan ombak yang mendorongnya ke pinggir pantai. Begitu juga dengan kedalaman air laut dan keluasannya, sampah-sampah itu tidak mampu menembus kedalamannya. Oleh karena itu, air laut tetap terjaga kesuciannya. Dalam pemaknaan agama Islam, air laut dapat digolongkan air suci yang mensucikan. Bahkan, semua jenis binatang yang hidup di dalamnya seperti bangkai ikan, kerang, udang, cacing laut dan sebagainya dapat digolongkan jenis makanan yang dihalalkan oleh agama Islam. Di sisi lain air laut sebagai simbol keluasan ilmu dapat dimaknai, bahwa air laut dapat diibaratkan sebagai cairan tinta dan sumber ilmu yang tak terbatas banyaknya dalam luasnya lautan. Apabila tinta itu dipergunakan untuk menulis sebuah ilmu di atas buku, maka tidak akan habis sampai akhir jaman. Dalam arti lain, apabila lautan itu diibaratkan bagai sumber ilmu, maka manusia hanya dapat mengambil atau memperoleh sedikit untuk menuliskan teori suatu ilmu tertentu dan air laut sebagai sumber ilmu tidak akan habis dipergunakan. Pemaknaan itu mengingatkan cerita dalam agama Katholik. Adalah seorang Agustinus berjalan di pinggir sebuah pantai tiba-tiba dia berhenti langkahnya, karena melihat seorang anak kecil yang bermain di pasir. Kemudian bertanya Agustinus pada si anak kecil itu: “Sedang apa kamu nak? “. “Aku sedang membuat sumur.” “Untuk apa sumur itu?”. “Untuk memasukkan air laut itu ke dalamnya”. Sesaat Agustinus berfikir, apa mungkin air laut yang seluas itu dimasukkan kedalam sumur. commit to user
292
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemaknaan dalam lukisan Sugito Slamet tersebut di atas dapat ditarik sebuah pemahaman, bahwa kemenangan Sang Bima bisa mengalahkan Naga Nemburnawa bukan sekedar bisa mengalahkan seekor ular besar, tetapi lebih dari itu, bernilai simbolis yang bisa dimaknai secara komprehensif dan mendalam. Makna simbolis dari kemenangan dalam pertempuran itu adalah Bima menjadi seorang satria yang sakti mandraguna berkat keberhasilan menguasai sumber ilmu dan sumber kehidupan. Dengan meguasai sumber ilmu, Bima dapat bertemu dengan Tuhannya yang bernama Dewa Ruci. Dalam serat Dewa Ruci karangan Pujangga Yasadipura (Musbikin, 2010: 76-77) dijelaskan, bahwa Dewa Ruci digambarkan dengan Bima Katik (Bima dalam wujud kecil) sebagai guru sejati. Pada saat itu, Dewa Ruci memberi wejangan kepada Bima berupa intisari ilmu yang telah diterima dari guru dan pengalaman hidupnya di dunia. Berdasarkan filsafat transendental Immanuel Khant, maka yang dilakukan Bima tersebut ialah meneliti persyaratan dan unsurunsur dasar ilmu; berupa keputusan yang bercorak sintesis a priori, yaitu putusanputusan yang sekalipun sintesia, tetapi tidak tergantung pada pengalaman. Dengan kata lain, Bima mencoba menggali ilmu berasal dari Tuhannya yang sudah sudah ada bersamaan dengan keberadaannya di dunia. Pada akhirnya, dengan kebersihan hati, Sang Bima bisa berhasil menangkap makna intisari ilmu tersebut. Dengan demikian, Bima bisa sekaligus menjawab ujian yang diberikan oleh guru Durna. Begitu juga dengan menguasai sumber kehidupan yang berasal dari pengalaman hidupnya, Bima mendapat kesempurnaan hidup dan kesejahteraan hidup yang bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain.
commit to user
293
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karya lukis “Pasren” berikutnya yang berkaitan dengan makna sosial-budaya adalah lukisan bergaya Realisme berjudul “Pekundi” (2004) hasil karya Joko Temin (33 th) seperti tampak pada gamba IV.10. Dalam karya itu setidaknya terdapat tiga simbol yang memperkaya perwujudannya, yakni pengrajin gerabah sebagai simbol manusia, meja pelarit sebagai simbol kedamaian, produk gerabah sebagai simbol ketekunan. Pengrajin gerabah sebagai simbol manusia menyiratkan dua pespektif kemanusiaan, yakni manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individual, seorang pengrajin gerabah bisa bekerja atau berkarya sendiri mengolah bahan tanah liat, membentuk dan mencetak sampai pada proses pembakaran tidak perlu bantuan orang lain. Sedangkan sebagai makhluk sosial, pengrajin gerabah adalah seorang yang secara tidak langsung senantiasa memikirkan hasil karyanya untuk kepentingan orang lain. Dalam hal ini, mulai dari perencanaan (desain)
produk sampai finishing
sudah diperhitungkan nilai guna
bagi
konsumennya. Dengan demikian, seorang pengrajin gerabah sebenarnya juga berkomunikasi pada orang lain melalui produk hasil karyanya. Sepintas orang awam memaknai meja putar atau pelarit atau pekundi sekedar alat untuk membentuk produk gerabah saja. Namun, jika diperhatikan lebih mendalam memiliki makna kedinamisan pemaknaan. Ini bisa diperhatikan, ketika alat ini diputar untuk membentuk produk gerabah harus mengintegrasikan antara pandangan mata dengan tangan dan gerakan kaki. Apabila pengkonsentrasian itu berjalan dengan lancar atau tidak tersendat-sendat, maka hasil gerabah yang dibuat menjadi baik, begitu juga sebaliknya. Dengan memperhatikan putaran meja pelarit commit to user
294
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
itu, dapat menyiratkan pula pada putaran tata surya yang berputar secara dinamis sesuai garis edarnya masing-masing. Jika ada satu planet saja yang berputar tidak sesuai dengan garis edarnya, terlampau lambat atau cepat, maka akan terjadi suatu peristiwa alam yang tidak dikehendaki. Oleh karena itu, gerakan dinamis yang penuh konsentrasi diperlukan untuk menghasilkan produk budaya kerajinan gerabah yang bermutu. Artinya, suatu produk budaya kerajinan gerabah itu dibutuhkan ketekunan tersendiri dalam pembuatannya. Suatu pekerjaan untuk menghasilkan karya-karya kerajinan seperti itu, dalam dunia kesenirupaan biasa disebut seni kriya. Maka, karya kerajinan gerabah itu dapat dikatakan sebagai simbol ketekunan budaya kerja, karena dalam seni kriya itu yang dipentingkan adalah ketekunan kerja. Naluri ketekunan kerja dalam rangka mengahsilkan produk kerajinan semacam gerabah cenderung dimiliki oleh masyarakat pengrajin yang notabene rakyat kecil. Masyarakat pengrajin gerabah memiliki filosofi, bahwa gerabah yang terbuat dari tanah tersebut memiliki makna kebersatuan antara manusia dengan tanah. Menurut keyakinan berbagai masyarakat, bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan terbuat dari tanah, sebagaimana dalam hadis Qutsi disebutkan, bahwa manusia diciptakan dari tanah dan nanti pada akhirnya akan kembali pada tanah. Oleh karena itu, sebagai akibatnya manusia dalam menjalani kehidupannya tidak bisa meninggalkan tanah, bahkan semua produk makanan bahannya atau zatnya berasal dari tanah. Maksudnya, bahwa setiap tumbuh-tumbuhan untuk menghasilkan buahnya menyerap sumber air tanah. Artinya, kalau seseorang makan suatu buah tertentu, sebenarnya juga berasal dari sari tanah. Demikian juga, ketika seseorang membangun rumah atau tempat tinggal semua bahannya seperti batu, bata, semen, commit to user
295
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kapur, kayu dan lain-lain secara geografis berasal dari sumber tanah. Maka, jika dikaitkan dengan gerabah sebagai peralatan rumah tangga menjadi jelas gerabah yang terbuat dari tanah terjadi hubungan habitat ketanahan. Artinya, antara manusia dengan gerabah tidak bisa dipisahkan sekalipun kebanyak orang sudah beralih memasak dengan bahan alumunium, tetapi pada kenyataannya sebagian masyarakat ada yang merindukan kembali kebahan-bahan tradisional. Buktinya, tidak sedikit jenis restoran yang menyajikan menu kuliner yang bahannya dimasak dari alat-alat gerabah, misalnya sego liwet timlo Solo, serabi Notokusuman dan sebagainya. Bahkan, sebagian masyarakat lagi masih ada yang menyediakan air putih dengan kendi walaupun sebagian masyarakat sudah beralih ke dispenser atau almari es. Contoh pengrajin produk budaya yang lain terdapat pada lukisan “Pasren” berjudul “Nganyam Rotan” (2003) hasil karya Rosana (37 th). Seperti karya sebelumnya lukisan Rosana inipun juga menyimbolkan ketekunan kerja. Hal ini seperti tampak pada unsur objek-objek yang terdapat dalam bingkai lukisan itu, seperti objek orang tua, baju kebaya yang melekat pada objek orang tua itu dan anyaman rotan. Simbol orang tua dalam lukisan itu menyiratkan serangkaian rekaman sejarah hidup manusia yang penuh cerita tetapi tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata belaka. Dalam ungkapan orang tua dianalogikan sebagai manusia sudah banyak “makan garam”. Artinya, dari jaman ke jaman sudah banyak pengalaman hidup, berbagai peristiwa, seperti sedih-gembira, suka-duka, senang-menderita, pejuangan dan sebagainya. Sementara baju kebaya yang dipakai dalam objek wanita tua itu menyimbolkan budaya berpakaian masyarakat di Jawa. commit to user
296
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam konteks lingkungan alam, rotan merupakan bagian dari hasil tanaman langka yang perlu di lindungi dan dikembangkan untuk pemanfaatan industri kecil, misalnya untuk mebel, alat rumah tangga, mainan anak-anak dan lain-lain. Ditinjau dari jenisnya rotan memiliki spesifik batang yang lentur, kuat, dan tidak mudah patah. Berdasarkan spesifikasi itu, rotan dapat dianalogikan seperti sesuatu untuk menunjukkan kekuatan tidak harus dengan kekerasan dan kaku, tetapi dengan metode yang luwes atau lunak tetapi tetap menunjukkan ketegasan. Dalam filosofi Jawa “perang tanpa bolo, menang tanpa ngasorke” artinya pergi perang tanpa pasukan perang tetapi menang tanpa harus mengalahkan musuh. Setelah kemenangan itu dicapai harus tetap menjaga persatuan untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini dapat disimbokan dengan objek anyaman rotan. Ketika rotan diserut bagian pinggirnya atau kulitnya kemudian dianyam menjadi sebuah produk industri, maka produk itu akan kuat dan elastis, tidak mudah patah. Dengan demikian, jalinan dalam anyaman rotan bisa menjadi simbol persatuan dan kesatuan umat. Lukisan surealis hasil karya Ibnu Wibawa berjudul “Gari Sakmegaring Payung” (2011) memiliki syarat makna simbolis yang terkandung di dalam karya lukis seperti tampak pada gambar IV. 30 berikut ini.
commit to user
297
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar IV. 30 “Gari Sakmegaring Payung” (2011) Karya Ibnu Wibawa 85 X 100 cm ,Cat Minyak di Atas Kanvas (Sumber: Foto Waluya, 19 Januari 2012)
Secara sosiogeografis menurut pelukisnya, Gari sakmegaring payung dalam bahasa Jawa, artinya hanya tinggal semekarnya payung. Ada dua simbol yang terkandung dalam lukisan itu yang oleh pelukisnya, payung dianggap sebagai simbol pengayoman dan lahan pertanian. Pengayoman yang dimaksud adalah pengayoman dari pemerintah terhadap rakyatnya hal ini merupakan analogi dari fungsi payung sebagai alat penahan panas dan hujan. Sementara payung sebagai lahan pertanian dianggapnya merupakan makna simbolis yang dapat diungkanpkan adalah menyempitnya lahan pertanian, karena sebagian besar lahan pertanian dewasa ini banyak dikeringkan untuk pembangunan intrastruktur, seperti pabrik, perumahan, dan lain-lain. Sebagaimana telah disinggung pada bab II sebelumnya, Klaten memiliki sentra industri payung kertas. Secara sosial budaya, commit to payung user telah mengilhami Ibnu Wibawa
298
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memilih payung sebagai objek karya lukisnya. Berdasarkan judul lukisan itu, gari sakmegaring payung digalinya dari filosofi kraton Kasunanan Surakarta. Dalam memaknai filosofi yang terdapat pada simbol paying, Ibnu Wibawa memetik dalam kitab Jayabaya yang berbunyi: “Ela- elo wong Jowo gari separo, Cino londo kari sak jodo” artinya sifat kejawaan tinggal setengah, Cina dan Belanda sudah banyak pergi dari Indonesia yang tertinggal hanya sepasang. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya dapat membuat aturan selalu dianut oleh rakyatnya (Wawancara: Kamis, 19 januari 2012). Dari filosofi Jawa seperti itu bisa dimaknai, bahwa pada masyarakat Jawa telah terjadi perubahan sifat kejawaannya yang bisa jadi diakibatkan dari pemberlakuan sebuah aturan pemerintah yang tidak membawa pengaruh pada kepentingan sosial-budaya masyarakat. Peraturan pemerintah akhir-akhir ini cenderung hanya untuk kepentingan partai atau kelompoknya saja. Di samping itu, ditambah perilaku-perilaku buruk sebagian politisi dan elite pemerintah yang dipertontonkan melalui media televisi cenderung ditiru oleh rakyatnya yang kurang cerdas yang pada akhirnya berpengaruh pula pada perilaku masyarakat Jawa. Misalnya, sifat prasaja (kesederhanaan) nyaris berubah menjadi matrialistis. Dahulu petani Jawa dalam memanen padinya dengan cara diderepkan (digotongroyongkan bagi kerabat dan tetangganya) kemudian berubah dengan cara ditebaskan atau dijual secara borongan kepada orang lain. Bahkan, hasilnya pun kadang tidak disimpan untuk cadangan sampai panen berikutnya. Berbeda dengan jaman dahulu, setiap petani memiliki lumbung padi untuk menyimpan hasil panen, tetapi pada saat sekaran kebanyankan masyarakat petani malahan mebelikan berbagai barang-barang konsumtif yang semestinya belum commit to user
299
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membutuhkannya. Oleh karena, masyarakat Jawa telah terjadi perubahan penampilan dari yang dulunya bergaya hidup sederhana, berubah ke arah gaya hidup glamour yang disebabkan oleh pengaruh teknologi.
Hal itu mengakibatkan etos kerja
masyarakat Jawa menjad rendah, setelah bisa menikmati hasil teknologi, maka mereka terlena dengan pekerjaan yang sebenarnya bertani yang mengolah lahan, menanam, memelihara dan memanen dengan rasa kegotong royongan bersama kerabat dan tentangganya dan bahkan petani saat ini tidak ada lagi rasa kepasrahan usahanya kepada Tuhan. Dengan perhitungan-perhitungan ekonomi yang menjanjikan, para petani tidak lagi mengolah lahan dengan kesabaran sesuai dengan aturan pertanian tradisional dengan memperhitungkan mangsa (musim alam atau cuaca), Kebersamaan berubah menjadi perhitungan waktu tanam yang frekuensinya ditingkatkan, semakin singkat dengan harapan panen semakin cepat. Dalam hal itu, manusia boleh saja berhitung keuntungan, namun kondisi alam atas kehendak Tuhan tidak bisa digege (waktu yang dipaksakan). Tuhan menciptakan alam semesta ini ada aturan sesuai kodrat-Nya. Manusia boleh saja melanggar kodrat alam, tetapi manusia pun harus siap menerima akibatnya. Fakta-fakta di dunia pertanian, akhir-akhir ini banyak fenomena alam yang tidak diduga-duga, misalnya pemberitaan berbagai media tentang puso atau gagal panen diberbagai wilayah pertanian di Indonesia akibat serangan hama wereng, patek dan lain-lain. Kalau sudah terjadi demikian, maka manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengembalikan pada Tuhan yang Mahakuasa dan mengambil sikap kembali kepada kodrat alam yang sebenarnya. Sikap ini merupakan kembalinya sikap berbudaya yang sejati, karena pada hakikat budaya adalah commit to user
300
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengolah tanah, merawat, dan mengembangkan tanaman (Simon, 2008:2). Kembalinya para petani pada sikap berbudaya seperti itu akan merasakan kenikmatan hidup bersosial dan berbudaya. Ketika manusia merasakan nikmatnya hidup berbudaya, maka baginya tidak bisa merasakan adanya batasan antara kehidupan sosial, mata pencaharian hidup dan tata cara budaya, karena ketiganya itu termasuk dalam unsur sistem kebudayaan (Koentjaraningrat, 1993:2) . Kebersatuan unsur kebudayaan tersebut dapat melahirkan produk karya teknologi karya seni budaya. Lukisan hasil karya pelukis pasren Winarna GN (63 th) berjudul “Joget” (2004) merupakan salah satu karya seni budaya seperti tampak pada gambar Gambar IV.8 di atas. Karya itu melukiskan seorang penari wanita dengan latar belakang unsur-unsur kebudayaan sebagaimana telah disebutkan diatas. Unsur-unsur budaya tersebut sekaligus merupakan bentuk simbol-simbol yang mengundang pengamatnya untu memaknainya. Ada delapan simbol yang terdapat pada lukisan karya Winarna GN itu antara lain: penari, kuda lumping, payung, umbul-umbul, anjing, tikus, ular dan monas. (1) Memaknai penari sebagai simbol subjek budaya tidak hanya ditempatkan sebagai pelaku seni semata yang ingin berekspresi, tetapi lebih dari itu penari adalah seorang pengabdi seni yang setiap unsur gerakan memiliki makna. Sebagai pengabdi seni, seorang penari memikul dua fungsi horizontal dan vertikal yang diwujudkan melalui gerakan-gerakan ritmis dan dinamis. Fungsi vertikal artinya setiap gerakan merpakan perwujudan pengabdian kepada yang memberi kekuatan untuk bergerak, yakni Tuhan. Sementara fungsi horizontal artinya setiap gerak-gerak tari merupakan commit to user
301
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perwujudan komunikasi kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan dua fungsi itu, Sedyawati (2006): 130-131) membedakan seni tari menjadi seni adiluhung dan seni hiburan. Seni adiluhung adalah ungkapan tari yang implikasinya untuk perenungan kepada kebesaran Tuhan. Sedangkan seni hiburan sifatnya langsung merangsang pancaindra atau mengikuti gerakan bagi yang melihatnya. (2) Kuda lumping atau kuda kepang adalah sebuah benda yang terbuat dari anyaman bambu yang terbentuk menyerupai kuda tanpa kaki. Kuda lumping sebagai simbol memiliki makna permainan dan keprajuritan. Makna permainan untuk kuda lumping, karena kuda lumping dapat dimainkan dengan “dinaiki” layaknya naik kuda benaran. Sementara makna keprajuritan untuk menunjukkan kekompakan antara penari yang satu dengan yang lainnya dalam memainkan kuda lumping itu. Kekompakan itu menyiratkan, bahwa tarian kuda lumping merupakan bentuk tiruan dari barisan pasukan prajurit tentara berkuda. (3) Umbul-umbul menjulang keatas sebagai simbol komunikasi dengan alam semesta. Ketika umbul-umbul ditiup angin, yang terlihat adalah kibaran-kibaran kain umbul-umbul itu. Semakin kencang ditiup angin akan semakin kencang pula kain umbul-umbul itu. Dengan demikian, umbul-umbul itu bisa memberikan tanda, bahwa dengan adanya umbul-umbul mennjukkan tempat itu terjadi sebuah pertunjukkan kuda lumping. (4) Demikian juga adanya simbol payung yang dimekarkan dan payung yang masih mingkup sebagaimana sudah dibahas di depan, payung yang dimekarkan dapat dimaknai sebagai pengayoman di kala panas dan hujan. Sementara payung yang masih mingkup melambangkan pemerintah yang belum terbuka hatinya untuk mengayomi atau melindungi rakyatnya. commit to user
302
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(5) Tikus, oleh kebanyakan orang dianggap sebagai binatang hama, perusak dan jorok. Namun tikus memiliki jenis intelegensi kehewanan yang cukup cerdik. Berkat kecerdikan inilah secara ideologis sering dijadikan simbol atau ikon pada suatu instansi. Ada yang menjadikan ikon bersifat baik seperti Mickey Mouse, tikustikusnya Cinderella dan lain-lain. Sementara di Indonesia, tikus menjadi simbol koruptor yang merongrong kekayaan Negara. Dengan demikian, tikus menjadi simbol atau ikon yang kontroversial untuk diperbincangkan dan dimaknai lebih mendalam. (6) Simbol kontroversial tentang binatang yang senada dengan tikus adalah anjing seperti yang terdapat pada lukisan Winarna GN tersebut di atas. Ada sebagian yang memaknai simbol anjing sebagai binatang yang harus diusir atau bahkan dibunuh, karena termasuk binatang kotor, najis, menyebarkan penyakit seperti penyakit anjing gila dan lain-lain. Sementara itu, ada pula sebagian masyarakat yang memaknai anjing termasuk binatang yang perlu dipelihara atau diperlakukan dengan baik, karena anjing memiliki sifat atau naluri sebagai penjaga dan patuh pada tuannya, tidak menyia-nyiakan makanan dan lain-lain. Berbeda dengan kucing yang memiliki sifat pemalas, malu-malu, tetapi suka mencuri, pilih-pilih makanan dan lain-lain. (7) Demikian juga dengan ular, sekilas binatang ini menjadi simbol binatang yang menakutkan hampir semua orang, karena kalau menggigit biasanya akan menyebabkan lumpuh atau mematikan korbannya. Namun jika dimaknai lebih mendalam dan luas ular, sebagai simbol binatang yang membantu bagi para petani atau manusia pada umumnya, misalnya hama tikus susah diberantas tetapi dengan commit to user
303
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adanya ular sawah akan menjadi predator bagi tikus. Sehingga hama tikus tidak akan terjadi, karena tikus yang belum sempat dimakan ular akan lari tunggang langgang meninggalkan lokasi persawahan. Di sisi lain, sebagian ular ada yang memiliki motif kulitnya yang bagus. Kulit ular yang bermotif bagus dapat dimanfaatkan kulitnya dan disamak untuk industri kerajinan kulit, misalnya untuk membuat dompet, ikat pinggang , tas dan sebagainya. (8) Sudah tidak asing lagi Monas (Monumen Nasional) merupakan simbol kebanggaan bangsa Indonesia yang ditempatkan di pusat ibu kota Negara Jakarta. Di dalam monas terdapat diorama yang berupa lukisan perjuangan seluruh rakyat Indonesia sejak jaman penjajahan sampai Indonesia merdeka. Dengan demikian, Monas di samping sebagai kebanggan nasional tetapi juga sebagai simbol pemersatu bangsa Indonesia. Hampir semua rakyat Indonesia merasa memiliki Monas sebagai bagian dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, Winarna GN menempatkan objek Monas sebagai background lukisnya memiliki makna pemersatu juga khususnya untuk pemersatu dari perbedaan seluruh wilayah nusantara Indonesia. Harapan ini tercermin dalam pernyataannya sebagai berikut. “Jaran kepang menika salah satunggaling kesenian rakyat ingkang kondang kaloka ing jejering seni kabudayan bangsa Indonesia. Perlu dipun lestarikaken supados saget turun-temurun lan taksih dipun kenal anak cucu kita. Ewondene kula nambahkaken gambar Monas ing lukisan kula ing pangangkah jaran kepang menika saged kangge ngraketaken paseduluran utawi persatuanipun bangsa” (Winarno GN., Wawancara : Minggu 8 april 2012). (“Kuda lumping itu salah satu kesenian rakyat yang sangat terkenal di jajaran seni budaya bangsa Indonesia. Perlu dilestarikan supaya bisa turun-menurun dan masih dikenal anak cucu kita. Sedangkan saya menambahkan gambar Monas di dalam lukisan saya dengan harapan kuda lumping itu bisa untuk merekatkan commit to user persaudaraan dan persatuan bangsa”).
304
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan, bahwa kuda lumping tidak hanya sekedar tontonan tarian atau kesenian rakyat saja tetapi lebih dari itu kuda lumping memiliki misi yang lebih luas agar dapat dilestarikan demi generasi muda agar tidak punah dan sekaligus sebagai media menjalin persaudaraan dan persatuan bangsa. Pernyataan itu memang tidak salah walaupun kuda lumping bersifat kesenian lokal dari suku Jawa, tetapi pada kenyataannya paguyuban kuda lumping itu terdapat pula di seluruh wilayah nusantara. Sebagai bukti atau contoh adalah ketika penulis dari tahun 1989-2002 atau selama 13 tahun bertugas sebagai guru di Provinsi Bengkulu, penulis melihat dengan mata kepala sendiri pada setiap perayaan hari ulang tahun Kabupaten Bengkulu Utara atau pada momen-momen tertentu, banyak sekali dipertunjukkan kuda lumping yang berasal dari berbagai kecamatan di daerah transmigrasi seperti Kurotidur, Kemumu, Unit D.4 Ketahun, SP.1 Air Manjunto, Muko-muko dan lain-lain masih banyak lagi. Begitu juga, ketika saya menanyakan pada beberapa kawan seangkatan IKIP Jogjakarta yang ditempatkan di provinsi lain di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, termasuk Timor Timur (sewaktu masih bergabung dengan Indonesia) dan lain-lain,
mereka juga
memberikan informasi yang sama. Dengan demikian, kuda lumping telah terbukti juga bisa mengikat atau dijadikan media persatuan bangsa seperti itu. Apalagi jika meghidupkan suatu kesenian-kesenian rakyat yang lainnya di Indonesia, maka akan membawa kejayaan Indonesia dalam perspektif kebudayaan, baik di dalam negeri sendiri atau di mata commit to user
305
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dunia. Hal inilah salah satu kontribusi nyata dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika artinya walaupun kita berbeda tetapi tetap satu juga.
4.3.4 Pemaknaan Keperbedaan dalam Keragaman Karya Seni Lukis “Pasren” Berdasarkan temuan-temuan umum dan khusus dalam penelitian keberagaman karya seni lukis “Pasren” ini yang kemudian diidentifikasi dan di analisis menurut keberagaman objek lukisan, konsep penciptaan jenis, corak dan gayanya, maka mendapatkan akumulasi hasil penelitian berupa bentuk keberagaman komposisi dan nilai estetis karya seni lukis “Pasren” yang di dasarkan pada latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofi terhadap para pelukisnya. Untuk melihat bentuk pemaknaan secara jelas dan komprehensip terhadap keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” dapat dilihat pada tabel IV.4 berikut ini.
commit to user
306
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel IV.4 Pemaknaan Keperbedaan dalam Keragaman Seni Lukis “Pasren”
Pemaknaan Karya Seni Lukis
Pemikiran, Ideologi dan Filosofis
Perwujudan Perbedaan
Makna Perbedaan
1.a
Sesuai teori Ideologi Althuser (Barker, 2009: 60) Joko SP. Menempatkan keindahan sebagai impian/ impian, bahasa seni untuk berkomunikasi dan etos kerja. Keindahan sebagai tuuan hidup
Corak/gaya: Naturalisme, Objeknya Sudah terkenal di Maluku. Menurut teori nilai (theory of value) cabang Axiologi, Nilai estetis lukisan ini terletak pada goresan kuas sangat halus, mirip fotografi
Makna ma‟rifat: ingin mengenal Tuhan lewat ciptaan alam. Dengan rasa kekaguman melihat keindahan objek alam berarti dapat mengenal sifat-sifat Tuhan. (Rummi, 2007: 23).
Filosofi secara politis, Kaplan dan Manners (2002: 154) menyoroti pemikiran Winarno dalam karyanya ini dipengaruhi ideologi negara, untuk ikut menjaga dan melestarikan budaya bangsa.
Corak/gaya: Narturalisme Objeknya kecantikan seorang penari dengan beackground simbol-simbol budaya dan lingkungan alam. Teori estetika Alexander Baumgarten telah menyempitkan nilai keindahan, sehingga nilai estetis lukisan ini terletak pada penampilan beackgroundnya.
Koentjaraningrat (1993: 2) mengimplikasikan karya Winarno sebagai bagian sistem kebudayaan, maka karya nya makna sosial-budaya ingin mengajak semua pihak untuk menjaga kelestarian ekosistem dan berbagai hasil karya budaya bangsa.
“Pemandangan Alam Tanah Toraja”(2006) Karya: Jaka SP 1.b.
“Joged” (2004) Karya: Winarno GN
1.c
“Hutan” (2005) Karya: Karang Sasongko
Penggalan objek hutan bertujuan untuk menunjukkan, bahwa alam semesta itu misteri. Manusia hanya mengerti sedikit tentang ciptaan Tuhan. Jika ingin dicintai Tuhan, maka cintailah ciptaan-Nya (Rummi, 2009: 34)
Corak/gaya: Naturalisme.Berobjek sepenggal hutan. Teori objektif Hegel (Dharmawan, 1998: 14) menyiratkan nilai estetis pada sepenggal objek. Di sisi lain Nilai estetisnya adalah teknik lukis dengan krayon di atas kanvas Guratan-guratan tekstur vertikal menunjukkan irama commit tosangat userritmis dan
Makna ma”rifat: karena keterbatasan manusia di hadapan Tuhan, maka untuk mengenal misteri alam harus dapat menggali, memahami dan menghayatinya. Makna sosial-budaya: ajakan untuk mencintai ciptaanNya dengan cara melestarikan hutan (Rummi, 2007: 23)
307
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
harmoni alam. 2.a.
“Pekundi” (2004) Karya: Joko Temin
Teori Marxis mengilhami ideologi materialisme, namun oleh Joko Temin dilukiskan unruk penolakan penolakan pada kaum berjuis (Barker, 2009: 58). Maka, hidup harus bekerja dan bekerja itu untuk hidup. Bekerja mandiri lepadari paksaan orang lain. Meja pelarit (pekundi) menjadi simbol putaran kehidupan.
Corak/gaya: Realisme. Objeknya seorang pengrajin gerabah di Bayat Klaten. Teori estetika Herbert Read dan Santo Agustinus dimanfaatkan Joko Temin untuk membuat komposisi lukisannya, maka nilai estetisnya: terletak pada keseimbangan diagonal. Teksturnya sekaligus sebagai unsur objek dan suasana ketekunan kerja.
Teori Kinloch (Sunarto, 1993: 134) menyiratkan, bahwa di balik kesederhanaan seorang pengrajin gerabah terkandung makna kehidupan dan sosial-budaya untuk masyarakat. Makna kehidupan: membuat gerabah untuk mempertahankan hidup. Makna sosialbudayanya: bisa menyumbangkan karyanya untuk orang lain dan pelestarian budaya bangsa.
Berbeda dengan lukisan Joko Temon, Lukisan Cak Min ini menujukkan kepatuhan terhadap teori Marxis (Barker, 2009: 58) untuk memotret kehidupan pabrik tembakau di Klaten. Hidup harus bekerja dan bekerja itu untuk hidup. Para buruh wanita ini berideologi bekerja untuk orang lain (pabrik) demi tuntutan kebutuhan keluarga yang kurang memadai.
Corak/gaya: Realisme. Objeknya para buruh wanita di pabrik tembakau di Klaten. Nilai estetis lukisan ini berangkat dari teori filsafat keindahan sebagai ragam nilai (type of value) dan keindahan metafisis (metaphysical of value), maka nilai estetisnya terletak pada penggambaran suasana perburuhan, onggokanonggokan tembakau membentuk irama tersendiri. Tekstur terlihat dengan jelas pada dinding pabrik dan lembaran daun tembakau. Motif baju kebayanya juga ikut mewarnai.
Teori Kelas dalam Marxisme (Barker, 2009: 13) memberikan makna kehidupan untuk mmpertahankan hidup, harus bekerja. Wanita menjadi simbol pekerja yang tekun dengan upah murah dan tidak banyak protes menuntut pada majikan. Makna sosial-budaya: Pabrik tembakau PTPN menunjukkan komunikasi antar budaya bekas penjajah Belanda pada bekas terjajah, Indonesia yang mewariskan pengkelasan ala feodal.
2.b
“Milihi Mbako” (2005) Karya: Cak Min
commit to user
308
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.a
“Lembah Merapi”(2007) Karya: Kus Indratna 3.b
“Pesona Merapi” (2007) Karya: Kapten Suwarto 4.a
“Bapa, Ibu lan Putra Kinasih” (2007) Karya: GM.Sudarta
Teori Semiotika Saussure (Barker, 2009: 71) telah memberikan tanda/ symbol tersendiri pada likisan kedua pelukis “Pasren”, Kus Indratna dan Kapten Suwarto, maka di balik keindahan objek gunung memiliki misteri. Gunung ditempatkan sebagai simbol kemanfaatan bagi kehidupan, tetapi jika gunung dirusak ekosistemnya akan menjadi sumber bencana.
Corak/gaya: Impresionisme. Objeknya berupa pemandangan alam di lembah gunung Merapi di Klaten. Kedua lukisan ini menunjukkan adanya pengaruh teori keindahan Herbert Read dan Santo Agustinus, maka nilai estetisnya terletak pada keseimbangan simetris horizontal. Irama dan kesatuan tersamar dengan teknik cahaya.
Makna ma‟rifat: Mengenal keagungan kekuasaan Tuhan bisa melalui objek gunung. Berdasarkan teori Simbol (Barker, 2009: 134) Gunung menjadi simbol kesucian dan sumber kehidupan, ketika manusia tidak merusaknya. Bencana gunung Merapi th.2010 diakibatkan oleh ulah manusia yang merusak. Maka, ajakan menjaga kelestarian ekosistem gunung sangat diperlukan.
Konsep atau teori tranformasi (AhimsaPutra, 2001: 62-64) berpengaruh pada kisah kehidupan pribadi dalam beragama (mualaf). Bentuk transformasi ideologi dalam dogma “trinitas” sebelum mualaf dapat menjalin keharmonisan dalam keluarga.
Corak/gaya: Romantis-Klasikisme. Objeknya: anggota keluarga:bapak, ibu dan anak. Teori estetika Herbert Read dan Santo Agustinus mempertegas, bahwa nilai estetis terdapat kesatuan komposisi antara objek, bidang , warna dan tekstur. Memiliki bentuk lengkung (arcade) gereja sebagai penyatuan unsur dan keseimbangan simetris
Teori Evolusionisme (Kontjaraningrat, 1999: 147) membawanya GM.Sudarta dalam Makna ma‟rifat: pencarian kebenaran Tuhan keyakinan dalam beragama. Hubungan antara anggota keluarga merupakan tujuan hidup berkeluarga. Makna kehidupan: ingin mengisahkan perjalanan hidup muali dari Katholik ke Islam.
4.b
“Operasi Semar” (2007) Karya: Jaya Adi
Teori Ideologi dan Corak/gaya: Hegemoni Gramci Romantisme. Dengan (Barker, 2009: 62) Objek: potongan wajah memberikan bukti, para tokoh presiden di bahwa kelas penguasa Indonesia. Axiologi menjalankan otoritas sebagai cabang filsafat sosial, sehingga seni membentuk teori membantu ide Jaya nilai (theory of value) Adi dalam mengolah yang menganalisis nilai kepekaan terhadap estetis karya seni lukis kondisi negara sat ini ini, maka, nilai estetis commit user pada tata susun yang carut-marut yang to terletak disebabkan objek yang merata
Teori politik Kehidupan Gidden (Barker 2009: 133) mengharuskan adanya etika keadilan. Oleh karena itu, makna kehidupan politik: supaya semua elemen bangsa ikut menjaga ideologi negara. Para pemimipin harus amanah, adil dan mensejahterakan
309
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terkoyaknya ideologi negara dan perilaku para pemimpin yang sudah keluar dari koridor hukum. Atau bisa jadi juga sebagai konsekwensi Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi yang berfilosofi”suara rakyat, suara Tuhan”. Untuk mengatasi hal itu, perlu “ruwatan” Semar harus dioperasi.
memenuhi bidang lukis yang menjadi irama harmonis. Keseimbangan asimetris tetapi tetap ada kesatuan
Teori Akulturasi F. Keesing (Kontjaraningrat, 1999: 157) menyiratkan konsep penciptaan karya Sugito Slamet ini. Maka, perwujudan ideologi perjuangan seorang satria perkasa dalam pewayangan, bernama Bima yang memiliki sifat jujur, patuh pada perintah guru, teguh dalam keyakinan dan tegar menghadapi segala rintangan. Tidak menyembah kepada semua makhluk, kecuali hanya kepada Tuhan sang pencipta.
Corak/gaya: Romantisme. Dengan Objek: Bima sedang bertempur melawan seekor Naga. Teori estetika Alexander Baumgarten memberikan nilai seni melalui pengalaman berkesenian sebagai sarana menyampaikan keindahan. Oleh karena itu, nilai etetis lukisan ini terletak pada penggambaran suasana heroik. Tata susunnya dengan keseimbangan simetris diagonal. Pewarnaan berbasis warna gelap, tetapi tetap menunjukkan gelapterang, tegas dan berwibawa.
4.c
“Bima Melawan Naga Nemburnawa” (2004) Karya: Sugito Slamet
5.a
“Walk Together” (2003) Karya: Samina
Corak/gaya: Teori Derrida tentang Ekspresionisme, Instabilitas bahasa / dengan objek: teks (Barker, 2009: 20) kepolosan seorang mendiskonstruksikan bocah sedang menatap antara objek dan sesuatu di kejauhan situasi kebersamaan sana. pada lukisan karya Teori estetika Socrates Samina ini. (Soedarso Sp,1975: 55) Ideologi/pemikiran memberikan ciri user dalam teknik kebersamaan commit to tersendiri
rakyatnya, sehingga tidak mudah terprovokasi untuk membrontak. Sebagai rakyat (yang dianggap “Tuhan”) dalam berdemokrasi jangan mudah tergiur sejumlah rupiah dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Teori stratifikasi usia Ransford (Sunarto, 1993: 140) berpengaruh dalam transfer ilmu antara guru dan murid. Oleh karena itu, makna kejujuran dan kepatuhan pada guru terlihat ketika menerima perintah mencari air perwitasari (air penghidupan). Ini memberikan makna orang yang jujur dan patuh pada guru akan membuahkan hasil kesempurnaan hidup. Makna ma‟rifat: dengan keteguhan keyakinan, Tuhan akan menolong , Bima bisa mengatasi rintangan mengalahkan Naga dan dapat bertemu seraya bersujud pada“Tuhannya”, Dewa Ruci. Teori gerakan sosial Kinloch (Sunarto, 1993: 134) menyiratkan makna sosial-budaya suatu kebersamaan menjadi angan-angan seorang bocah. Mengajak semua pihak untuk
310
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disembunyikan bertujuan untuk memberi kesempatan pada pengamatnya ikut berangan-angan. Filosofis yang dibangun untuk saling bergotong- royong.
melukis. Maka, nilai estetis lukisan ini terletak pada teknik kuas yang kasar dan kuat. Objek bocah sangat besar menguasai setengah bidang lukis, sehingga tampak tidak seimbang, namun dari segi pewarnaan tetap ada kesatuan
Teori filsafat agama (Rummi, 2007: 32) memberikan inspirasi Yoyok WD Besur untuk menampilkan ideologi keagamaan yang membutuhkan ketenangan dalam beritual. Filosofi dalam agama Budha, bahwa manusiahidup perlu kesucian hati, kedamaian dan ketenangan hati untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Corak/gaya: Ekspresionisme, dengan objek 3 orang biksu sedang melakukan upacara ritual agama Budha. Teori estetika Socrates (Soedarso Sp, 1975:55) menunjukkan nilai estetisnya tampak pada tekstur yang dibuat hitam-putih. Teknik hitam-putih ini kontradiksi dengan hakikat melukis (painting) yang berbasis warna
Teori perlawanan ideologi (Barker, 2009: 290) melatarbelakangi penciptaan karya lukis RosanaPemikiran tentang ketenangan hidup tercermin pada orang tua yang masih memiliki semangat hidup. Perilaku dan usahanya dilandasi dengan ideologi budaya dan agama. Filosofi rotan memiliki ciri kekuatan
Corak/gaya: Ekspresionisme, dengan objek seorang wanita tua sedang tekun menganyam rotan. Teori Axiologi atau teori nilai (theory of value) menganalisis lukisan ini, maka nilai estetisnya menampilkan tekstur pada objek anyaman dan beackground nya.
5.b
“Ndonga” (2003) Karya: Yoyok WD.Besur
bergotong-royong, yang saat ini mengalami kemunduran akibat dari kapitalisme. Akhirnya, kebersamaa di mata anak dirasa telah hilang baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sistem religi dan upacara keagamaan (Koetjaraningrat, 1993: 2) menunjukkan Makna ma‟rifat untuk mencapai kesempurnaa hidup umat Budha harus melakukan serangkaian ritual. Tiga orang biksu sedang membawa lilin atau dupadalam keheningan malam dapat dimaknai, sebagai tiga tingkatan hidup yang aplikasinya dapat memberikan penerangan/ manfaat bagi orang lain.
5.c
“Ngayam Rotan” (2003) Karya: Rosana
Makna ma‟rifat: terlihat mimik muka dan ketekunan menunjukkan rasa pasrah pada Tuhan atas usahanya, bekerja sambil berdzikir (Rummi, 2007: 32). Di sisi lain, teori Identitas (Barker, 2009: 207) dapat menujukkan makna kehidupan: manusia harus berusaha untuk mempertahankan kehidupan. Begitu juga makna sosial-budaya: terlihat pada bentuk jalinan rotan memiliki makna persatuan untuk melestarikan budaya.
commit to user
311
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6.a Teori Max Weber (Sunarto, 1993: 43) memberikan ramburambu perlunya tindakan sosial untuk kebutuhan antar individu. Pada lukisan Sigid GP ini tampaknya teori ini dapat menunjukkan “Sebuah Harapan” (2003) harapan pemikiran Karya: Sigit GP perdamaian dunia dan ideologi kemanusiaan, bahwa manusia tidak bisa lepas dari orang lain dan dengan alam semesta.
Corak/gaya: Surealisme dengan objek seorang manusia sedang menegadah ke atas seraya berdo‟a untuk menyampaikan harapan. Nilai estetis lukisan ini bersumber pada pendekatan teori interaksi simbolik George Herbert Mead (Sunarto, 1993: 46), bahwa Simbol burung mengesankan misi kedamaian dunia. Nilai estetis juga terletak pada suasana alam yang luas dan khidmad. Ditambah Keseimbangan simetris bervariasi. Didominasi warna hijau dan biru, maka terasa damai.
Teori kebudayaan sebagai sistem (Koentjaraningrat, 1993: 2) memberikan makna sosial- budaya: mengajak setiap manusia supaya selalu berdoa untuk perdamaian dunia, karena dengan perdamaian akan tercipta keharmonisan hidup antar manusia dan alam semesta. Aplikasinya, manusia harus mau berbuat kebajikan bagi sesama
Corak/gaya: Surealisme, dengan objek sepotong gading gajah dan tulisan huruf Arab berbunyi “Allah”. Nilai estetis berangkat dari teori filsafat mengenai ragam nilai (type of value) . Maka, nilai estetisnya terdapat pada tekstur objek dan beackground secara merata dan membentuk kesatuan.
Makna ma‟rifat: supaya kita selalu memuji kekuasaan Tuhan itu Mahasempurna. Mendidik untuk berintrospeksi diri, bahwa tidak ada yang manusia sempurna, oleh karena itu tidak boleh sombong dan merasa benar sendiri (Rummi, 2007: 43).
6.b
“Tak Ada Gading yang Tak Retak” (2005) Karya: Hery Cahyono
Teori agama (Rummi, 2007: 84) dan peribahasa menjadi latar belakang penciptaan karya lukis Hery Cahyono. Dalam hal ini, ideologi/pemikiran keagamaan, bahwa manusia tidak sempurna dan kesempurnaan hanya milik Allah.
7.a
“Panglima Sudirman” (2007) Karya: Ansori
Teori perlawanan Corak/gaya: Kubisme ideologi Althusser Objek: Potret tokoh (Barker, 2009: 66), pahlawan nasional hahwa ideologi Jendral Sudirman. masyarakat tertindas Teori Axiologi atau melawan kekuasaan teori nilai (theory of penjajah, maka value) memberikan pemikiran sejarah criteria nilai estetis perjuangan dan karya Ansori ini. ideologi politik negara Maka, nilai estetis dan nasionalisme tampak pada teknik user sehingga sebagai dasar commit to mosaik,
Teori Hegemoni Ideologis Gramsci (Barker, 2009: 62) dapat menunjukkan makna kehidupan: sosok Jend. Sudirman dapat menja simbol bersatunya antara pemerintah dan rakyatnya untuk mencapai tujuan perjuangan. Sebagai teladan bagi generasi
312
perpustakaan.uns.ac.id
7.b
“Ular Tangga” (2001) Karya: Budi Budek‟s
digilib.uns.ac.id
terciptanya lukisan ini. Filosofi Jawa: rawerawe rantas malangmalang putung dalam menghadapi segala rintangan.
kesan kubistisnya sangat jelas, sehingga dapat menyamarkan warna objek dan beackground yang tidak ada kesatuannya.
penerus untuk menghargai pahlawan. Perjuangan tidak mengenal menyerah walaupun banyak rintangan yang menghalangi.
Teori Ideologi Althusser (Barker, 2009: 66) telah melatarbelakangi karya lukis Budi Budek‟s ini. Ideologi politik dia gunakan untuk menyindir jalannya pemerintahan suatu negara tidak ubahnya sebuah permainan ular tangga yang berakibat pada penderitaan rakyat. Filosofi: ganti pemimpin ganti aturan. Sayangnya aturan tidak sesuai dengan janjijanji saat berkampanye minta dukungan rakyat.
Corak/gaya: Kubisme Objek: lembaran permainan ular tangga yang terdiri dari simbol-simbol untuk langkah-langkah bermain. Teori Semiotika Saussure (Barker, 2009: 71) memberikan nilai estetis tersendiri pada lukisan ini. Maka, nilai estetisnya tampak pada bentukbentuk simbol yang disusun secara merata, sehingga membentuk irama dan kesatuan.
Teori Hegemoni Gramsci (Barker, 2009: 62) pelukisnya berharap adanya kebersamaan antara pemerintah dan rakyatnya. Maka, dapat ditangkap makna kehidupan politik: agar para pemimpin negara tidak menjadikan politik sebagai arena permainan saja. Dalam memrintah harus amanah dan tidak hanya mengutamakan kepentingan diri atau golongannya saja, tetapi harus berpihak pada kepentingan rakyatnya agar damai dan sejahtera.
Ideologi keagamaan (Rummi, 2007: 23) tampaknya mengilhami karya lukis Suwardi Harris dalam merefleksikan pemikiran, bahwa setiap orang atau pemimpin harus memiliki nilai pengorbanan. Filosofi Jawa: jer basuki mawa beya artinya untuk mencapai cita-cita harus membutuhkan pengorbanan, berupa harta, tenaga atau korban perasaan.
Corak/gaya: Kubisme Objek: Kaligrafi Arab dengan dikomposisikan dengan bidang-bidang geometris (kubistis). Teori estetika objektif Herbert Read dan Santo Agustinus memberikan nilai estetis yang mengarahkan pada tata susun. Dengan demikian, Nilai estetis karya ini tampak pada tata susun menyerupai dasar desain dengan keseimbangan simetris. Irama bidangnya sangat kuat untuk membentuk kesatuan.
Makna ma‟rifat: agar setiap manusia dapat menjalankan perintah agama sesuai dengan Al- Qur‟an dan Sunah agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya (Rummi, 2007: 34). Begitu juga makna sosialbudaya: agar manusia sekecil apa pun harus bisa berkorban sesuai kemampuan jika dibutuhkan.
7.c
“Pengorbanan” (2006) Karya: Suwardi Harris
commit to user
313
perpustakaan.uns.ac.id
8.a
“Pencarian” (2010) Karya: Adi Prawito
digilib.uns.ac.id
Teori Homologi Brake (Barker, 2009: 343) telah memberikan solusi ajaib terhadap sebuah pemikiran untuk mencari solusi dalam memecahkan persoalan kehidupan yang pelik ini. Filosofi: hidup adalah sebuah pilihan.
Corak/gaya: AbstrakKubisme dengan objek sebuak segitiga yang setiap sudutnya terdapat tulisan huruf Arab dan Jawa. Teori estetik Monroe Breadsky (Dharmawan, 1988: 16) mengarahkan nilai estetis justru terletak pada penggambaran objek yang sangat sederhana yang menyerupai desain.
Teori Identitas (Kedirian) Gidden‟s (Barker, 2009: 175) tampak mengilhami karya Bambang Pujiono. Maka, sebuah pemikiran, bahwa power adalah kekuatan batin untuk menyikapi fenomena hidup dan kesemestaan ciptaan-Nya.
Corak/gaya:AbstrakKubisme bebas. Objeknya tidak begitu jelas. Teori estetika Monroe Breadsky (Dharmawan, 1988:16), maka nilai estetisnya terletak pada goresan bebas berupa persilangan garis yang membentuk bidang kubistis yang samar.
Teori Ideologi Giddens (Barker, 2009: 66) mengacu pada justifikasi kekuasaan terhadap makna-makna pada lukisan karya Pitut Saputra. Dengan demikian, pemikiran terhadap terkoyaknya ideologi negara untuk menyindir jalnnya pemerintah yang ruwet, mengakibatkan kehidupan berbangsa menjadi liar dan kacau
Corak/gaya: Abstrak Non-objektivisme. Teori estetika Monroe Breadsky (Dharmawan, 1998: 16) mengarahkan pada pemahaman kaidah secara subjektif. Oleh karena itu, nilai estetis karya ini terletak pada teknik ekperimental berupa cipratan dan tumpahan cat dibiarkan liar.
8.b
“Power” (2007) Karya: Bambang Pujiono
Makna ma‟rifat: agar manusia dapat mencari jalan hidup menuju kasih Tuhan Untuk mencari jalan hidup yang benar, manusia harus bersandarkan tuntunan agama agar tidak tersesat pada perbuatan tercela. (Rummi, 2007: 37)
Konsep/ teori Bricolage (Barker, 2009: 344) berperan penting dalam rekontekstralisasi objek untuk maknamakna. Sehingga makna ma‟rifat: agar setiap orang dapat mengerahkan kekuatan batinnya untuk menyikapi fenomena kehidupan dan semua ciptaanNya dengan bebas, tapi tetap pada koridor toleransi.
8.c
“Potret Nagari” (2005) Karya: Pitut Saputra
commit to user
Teori Misrecognition (ideologi dan kesalahan mengenali) adalah bentuk pencampuradukan relasi dalam politik dan kebenaran, maka bisa melahirkan politik praktis. Dengan demikian, makna sosial-budaya yang berbasis pada politik praktis. Tidak ada upaya pembenahan untuk kemajuan bangsa, yang ada hanya kepentingan sesaat. Tidak ada kedamaian dan penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, maka tidak jaminan hidup bagi rakyat kecil.
314
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan mengambil beberapa sampel karya seni lukis “Pasren” seperti pada tabel IV.4 di atas, kemudian diamati, diperbandingkan dan dianalisis kembali, maka setelah dilakukan penafsiran-penafsiran terhadap unsur-unsur perbedaannya, menunjukkan adanya hubungan konsep penciptaan antara karya lukis yang satu dengan yang lainnya. Hubungan konsep itu membentuk tiga titik yang saling berkaitan, baik secara horizontal maupun vertikal. Agar menjadi sebuah konsep temuan dalam penelitian ini, maka konsep hubungan titik itu dapat disebut dengan istilah trilogifiguratif.
4.3.4.1 Konsep Trilogifiguratif Istilah trilogifiguratif terbentuk dari dua kata, yakni trilogi dan figuratif. Dalam kamus besar bahasa Indonesia karangan Purwadarminta (2001: 1211) trilogi berarti tiga hal atau satuan yang bertaut dan saling bergantung. Kata „hal‟ berarti sesuatu yang terjadi, keadaan, peristiwa, perkara urusan sebab, tentang atau mengenai. Sementara kata figuratif (Purwadarminta, 2001: 316) merupakan kata yang bersifat perlambang atau kiasan. Dengan demikian trilogifiguratif adalah tiga hal atau satuan yang saling bertautan dan saling bergantung satu sama lain yang menjadi lambang, maka dapat disebut juga “tiga satuan lambang” untuk mengkiaskan tiga hal atau satuan tersebut. Dalam konteks penafsiran hasil analisis dalam penelitian ini, kata „hal‟ atau „satuan‟ bisa dimaknai sebagai konsep pemikiran, ideologi, dan filosofis yang termanisfestasikan ke dalam wujud keberagaman karya seni lukis “Pasren”. Dengan menggunakan konsep trilogifiguratif ini selalu dapat ditemukan tiga titik hubungan yang saling berkaitan pada setiap karya seni lukis, baik yang bergaya commit to user
315
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Realis, Naturalis, Kubistis maupun Abstrak sekalipun. Untuk menentukan di mana letak titik-titik itu berada, dibutuhkan kepekaan estetis pada setiap pengamatnya. Setelah dilakukan analisis terhadap beberapa karya seni lukis “Pasren” yang berbeda selalu ditemukan tiga titik hubungan tersebut yang terletak pada permukaan lukisan itu. Dari ketiga titik itu jika ditarik garis lurus tentu saja akan menghasilkan bentuk bidang segitiga tak beraturan dua dimensi yang di sebut konsep tiga titik (trimandala). Namun, bentuk segitiga pada setiap karya lukis yang satu dengan yang lain selalu berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan bentuk segitiga yang terdapat di dalam setiap lukisan “Pasren” tersebut didasarkan pencarian atau analisis bebas. Tidak menutup kemungkinan dalam menentukan tiga titik pada sebuah lukisan oleh setiap orang pengamat berbeda-beda sesuai dengan kepekaan estetisnya masingmasing. Dengan demikian, hal itu menunjukkan adanya keperbedaan di dalam keragaman pada setiap karya seni lukis “Pasren” memiliki makna dinamis, karena hampir setiap karya menganut komposisi diagonal. Untuk lebih jelasnya seperti tampak pada gambar berikut ini.
Gambar IV. Contoh Analisis Konsep Tiga Titik (Trimandala) commit userlukis “Pasren” pada Corak dan GayatoSeni
316
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Trimandala atau bentuk bidang segitiga horizontal di atas, apabila setiap titik ditarik garis ke tengah akan membentuk titik poros. Dari titik poros yang terletak di tengah bidang segitiga tersebut apabila ditarik garis poros tegak lurus (vertikal) ke atas, maka akan menghasilkan satu titik lagi di atas. Apabila dari ketiga titik di bagian alas bawah masing-masing ditarik ke satu titik di atas tadi, maka bisa menghasilkan susunan tiga buah bidang segitiga ke atas yang disebut triloka. Berdasarkan rangkaian bidang-bidang segitiga horizontal dan vertikal tersebut dapat membentuk bangun geometri tiga dimensi berupa limas segitiga tak beraturan, seperti tampak pada gambar berikut ini.
T• •B B• T A•
• C a) trimandala (horizontal)
•C A• b) Triloka (vertikal)
Keterangan : A, B, C T
: titik-titik “hal” (satuan) (pemikiran, ideologi dan filosofis) : titik puncak poros (Tuhan) : garis korelasi antar titik “hal” (tampak mata) : garis korelasi antar titik “hal” (tidak tampak mata) : garis poros korelasi antar titik “hal” (tidak tampak mata)
commit to user Gambar IV.32 Proses Pembentukan Konsep Triloka
317
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pembentukan limas segitiga di atas merupakan hasil penafsiran struktur luar (survace stucture) dan sutruktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasirelasi antar unsur yang dapat dibuat atau dibangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi titik tersebut. Sementara struktur dalam adalah suatu susunan yang dibangun berdasarkan atas struktur luar yang telah berhasil dibuat (Ahimsa-Putra, 2006: 60-61). Dengan demikian, limas segitiga itu terbentuk setelah menganalisis dan menafsirkan ciri-ciri luar, misalnya objek-objek atau unsur-unsur seni rupa yang terdapat pada setiap karya lukis “Pasren” kemudian mencari relasirelasinya sehingga dapat membentuk limas tiga. Namun demikian, sesuai hakikat struktur luar, limas segitiga yang dibentuk di atas tidak akan memiliki makna apa-apa atau hanya sekedar bangun tanpa makna (nirmana) kalau tidak dilakukan pemaknaan di balik struktur luar limas segitiga tersebut. Oleh karena itu, apabila struktur limas segitiga dianggap sebuah lambang atau simbol, maka untuk mengetahui makna struktur dalamnya dibutuhkan teori tafsir.
4.3.4.2 Penafsiran Makna Konsep Trilogifiguratif Sebelum menyampaikan makna trilogifiguratif lebih mendalam mengenai keberagaman karya seni lukis “Pasren” baik dari sisi makna ma‟rifat, makna kehidupan dan makna sosial budaya, terlebih dahulu menempatkan limas segitiga seperti pada gambar IV.32 di atas merupakan konsep trilogifiguratif yang berupa bidang segitiga dua dimensi horizontal dan tiga dimensi vertikal sebagai lambang atau simbol trihitakarana.
commit to user
318
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut I Wayan Pasek (46 th); seorang pemandu wisata budaya di Denpasar Bali, istilah trihitakarana berasal dari kata tri yang berarti tiga dan hita artinya hubungan dan karana berarti keselarasan atau keharmonisan. Jadi trihitakarana berarti tiga hubungan keselarasan atau keharmonisan. Dijelaskannya, bahwa yang dimaksud tiga hubungan keselarasan adalah hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Tuhan. Penerapan trihitakarana akan terwujud ketika manusia bisa menjalin hubungan dengan baik dengan sesamanya, baik dalam konteks agama maupun social-budaya. Dengan kata lain, dapat mewujudkan toleransi yang mencegah adanya konflik horizontal atau vertikal. Perwujudan hubungan keharmonisan dengan alam semesta ketika manusia dapat menjaga kelestarian alam, yakni tidak mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebih-lebihan misalnya menebang hutan secara liar yang bisa menyebabkan kekurangan kandungan air yang tersimpan. Sumber air tanah dan bahaya banjir. Melakukan penebangan liar yang berlebihan yang dapat menyebabkan bencana alam, tanah longsor, keluarnya gas beracun, lumpur Lapindo dan lain-lain. Demikian juga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan dapat terwujud melalui rasa kesadaran, bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan mempunyai kewajiban beribadah kepada-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (I Wayan Pasek, Wawancara: Kamis, 5 Juli 2012). Dengan demikian, secara garis besar bentuk bidang segitiga bagian alas limas merupakan simbol kehidupan masyarakat, yakni hubungan secara horizontal (mendatar) atau kesejajaran (habluminannas) dan hubungannya dengan alam atau makhluk lain (ma‟rifatullah). Sementara bidang-bidang segitiga vertikal (ke atas) commit to user
319
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang disatukan oleh garis poros merupakan simbol hubungan antara manusia dengan Tuhan (habluminallah). Berdasarkan uraian tersebut, untuk lebih memperjelas alur penafsiran makna konsep trilogifiguratif, maka dapat dibuat bagan berikut ini.
Konsep Trilogifiguratif (Tiga Satuan Lambang)
Trimandala (Dua Dimensi)
Triloka (Tiga Dimensi)
Trihitakarana (Tiga Hubungan Keselarasan)
Manusia Manusia (Habluminannas)
Manusia Alam (Ma‟rifatullah)
Manusia Tuhan (Habluminallah)
Gambar IV.33 Bagan Alur Penafsiran Makna Trilogifiguratif
Berdasarkan bagan penafsiran makna konsep trilogifiguratif itu, maka dapat ditafsirkan sebuah korelasi antara tiga makna terhadap keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni makna ma‟rifat, makna kehidupan, dan makna sosial-budaya dengan latar belakang konsep penciptaan seni lukis “Pasren” yang terdiri dari tiga hal, yakni latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofi yang berpusat pada dzat Ghoib (Allah). Untuk memperjelas pemahaman penafsiran itu, dapat ditampilkan melalui tabel berikut ini.
commit to user
320
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel IV.5 Korelasi Makna dalam Konsep Trilogifiguratif
Zat yang Ghoib (Allah SWT) Makna Perbedan
Ma’rifat
Kehidupan
Sosial-Budaya
Hal (Satuan)
Pemikiran
Ideologi
Filosofis
Ide / gagasan Seni Ilmu Ekonomi
Berkarya Ekspresi Belajar/ Penelitian, kerja keras Keagamaan/Religi Upacara ritual Budaya Adat-istiadat Ekonomi Sistem dagang Kekuasaan Sistem pemerintahan Lahir Hidup Penciptaan Pemeliharaan (Brahma) (Wisnu) Hakikat Syariat Pracoyo Mituhu Cipta Karsa
Kemanfaatan Apresiasi Manfaat ilmiah Kekayaan, strata sosialekonomi Toleransi/ kepedulian Kemasyarakatan/kearifan local (local genius) Kerakyatan Kesejahteraan rakyat Mati Perusak (siswa) Tareat Eling Rasa
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan, bahwa semua hal atau satuan mengenai latar belakang pemikiran, ideologi, dan filosofis dapat dimaknai menurut makna ma‟rifat, makna kehidupan dan makna sosial-budaya. Sebagai contoh, sebuah pemikiran manusia yang masih berbentuk ide, gagasan, seni, ilmu, maupun ekonomi senantiasa dapat dimakani secara ma‟rifat. Dengan ide atau gagasan yang didasarkan pada makna ma‟rifat, seorang manusia atau seniman ketika akan menciptakan sebuah karya seni senantiasa berkarya atau mengekspresikan perikehidupannya sebagai wujud rasa kekaguman atau kecintaannya terhadap keindahan alam semesta ciptaan Tuhan. Disamping itu, mulai dari proses penciptaan sampai menjadi sebuah lukisan commit to user
321
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga berorientasi pada kepentingan apresiasi pengamatnya agar mendapatkan kemanfaatan berupa nilai-nilai sosial budaya. Apabila dia seorang ilmuan, maka dalam hidupnya akan senantiasa melakukan pembelajaran atau penelitian sesuai dengan kaidah keilmuan dengan jujur dan tidak melakukan pencurian tulisan orang lain (plagiat) dan objek penelitian pun diorientasikan pada kepeduliannya terhadap pelestarian lingkungan alam dan hasil penelitiannya juga bernilai guna bagi kehidupan sosial-budaya di masyarakat. Demikian juga pemikiran seorang ahli ekonomi atau seorang pengusaha di dalam aktivitas perdagangan, dia akan bekerja keras juga didasarkan atas kepedulian terhadap sumber daya manusia (SDM) dan kelestarian sumber daya alam (SDA). Dari segi kepedulian terhadap SDM, seorang ekonom atau pengusaha pemodal besar dalam mendesain dan melakukan kegiatan ekonominya atau usahanya, dia akan berorientasi pada pemberdayaan tenaga kerja secara manusiawi, yakni tidak memonopoli ekonomi pengusaha kecil dan menempatkan buruh-buruhnya sebagai mitrakerja, bukan sekedar tenaga kerja yang dapat diperas tenaganya, tanpa memikirkan peningkatan kesejahteraan dan hal lain yang menjadi hak-haknya. Sementara dari segi kepedulian lingkungan, seorang pengusaha senantiasa turut serta ikut melestarikan SDA, misalnya tidak mengeksploitasi secara besar-besaran hasil tambang, hutan, lahan pertanian, yang dapat berdampak pada kerusakan alam. Dengan demikian akan terciptanya keselarasan hubungan sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat menekan munculnya strata ekonomi yang tidak seimbang atau kesenjangan ekonomi antara kelas atas yang dikuasai oleh commit to user
322
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
golongan kapitalis dan ekonomi kelas bawah yang mayoritas mendera golongan buruh atau rakyat kecil. Penafsiran selanjutnya adalah perihal ideologi. Sebagaimana sebuah pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka ideologi juga memiliki tiga makna simbolis. Berdasarkan tabel diatas, ideologi secara ma‟rifat dapat melahirkan beberapa pemaknaan simbolis, seperti ma‟rifat keagamaan (religi), budaya, ekonomi dan kekuasaan.
Ideologi keagamaan (religi)
secara
ma‟rifat
seseorang
dalam
kehidupannya akan senantiasa melakukan sistem keagamaan yang dianutnya, misalnya seorang penganut Hindu, mereka akan melakukan serangkaian acara ritual berupa seperangkat sesajen pada suatu tempat atau pura diringi membaca mantramantra sebagai wujud syukur dan penghormatan kepada para Dewa atas penciptaan atau pemeliharaan alam semesta dan terhindarnya dari mara bahaya (I Wayan Pasek, Wawancara: Kamis, 5 Juli 2012). Sementara bagi umat Katholik, untuk mensyukuri atas keselamatan manusia dan alam semesta mereka melakukan upacara misa yang dipimpin oleh seorang pastur sebagai wujud penghormatan dan pemujaannya kepada Yesus Krtistus yang dianggapnya sebagai juru selamat dunia (Lestariningsih, Wawancara: Sabtu, 16 Juni 2012). Berbeda dengan umat Hindu, Buddha, Katholik dan lain-lain, penganut Agama Islam dalam mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah SWT berupa kesejahteraan yang berasal dari alam semesta, senantiasa melakukan ibadah sesuai syariat seperti yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW yang berdasarkan kitab suci Al-Quran yakni berupa lima rukun Islam, yakni mengucapkan dua kalimat syahadat, ashadualaa illahaa illallah waashadu anna muhammadar rasulullah, commit to user
323
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melaksanakan sholat lima waktu sehari-semalam, menunaikan zakat, menahan lapar (puasa Ramadhan), dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Masing-masing rukun Islam itu diatur menurut syariat dan semuanya harus senantiasa terimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Terlepas dari perbedaan syariat atau cara dalam menjalankan peribadatan setiap umat beragama dalam pemaknaan ideologi keagamaan (religi), semua agama akan berpengaruh dalam kehidupan sosial-budaya di masyarakat, baik dari segi toleransi antar umat beragama dan kepeduliaan sosial untuk saling membantu dalam hal perikemanusiaan. Nilai-nilai keagamaan yang dijamin oleh adanya rasa iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas tercipta dan pemeliharaan semesta alam akan membentuk ideologi budaya, ekonomi dan kekuasaan yang berbasis makrifat agamanya pula. Ideologi budaya, secara ma‟rifat memiliki makna perwujudan dari perilaku manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan berupa adat istiadat suatu masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, setiap adat-istiadat suatu masyarakat tertentu akan bersentuhan antara agama dan budaya manusia, tinggal kadar persentuhannya yang berbeda tingkatannya. Adat-istiadat yang berbasis budaya sehingga nilai agama tidak begitu kentara atau melebur menjadi budaya seperti budaya kraton Solo dan Jogja. Ada pula ada istiadat yang berbasis agama, maka yang tampak adalah budaya bernuansa agama seperti budaya Melayu, Mingkabau (Sumatra Barat), budaya Betawi dan lain-lain. Namun demikian, baik adat-istiadat yang berbasis budaya mapun agama akan memberikan ciri khasnya masing-masing dan menjadi tata nilai kebaikan dan menjadi panutan masyarakat itu dalam melangsungkan kehidupannya. commit to user
324
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sehingga bisa menjadi kebanggaan masyarakat setempat dan tidak ditemukan di tempat lain. Kebaikan inilah yang biasa disebut dengan kearifan local (local genius). Berdasarkan nilai-nilai kebaikan dari kearifan lokal, tentunya dapat pula melahirkan sistem ekonomi atau perdagangan yang berbasis pada SDA ditempat tertentu. Misalnya perdangan kopra yang dimiliki oleh masyarakat di Sulawesi akan berdampak ketersediaan kebutuhan minyak kelapa pada masyarakat lain di Indonesia. Rumah makan Padang di Sumatra barat bisa memberikan pengaruh pada perkembangan perdagangan kuliner yang bercirikan kedaerahan di Indonesia dan sebagainya. Dengan demikian secara ma‟rifat dalam kehidupan ekonomi masyarakat akan mengikuti sistem perdagangan yang telah menjadi kesepakatan bersama antara pedagang karena secara tidak langsung para pedagang memiliki rasa keimanan berdasarkan agamanya masing-masing yang mengedepankan kejujuran. Artinya, sistem ekonomi yang berideologi ma‟rifat akan berlangsung dengan kebersamaan yang saling menguntungkan antara pemilik modal besar dengan pedagang kecil. Dengan kata lain, ekonomi sistem ma‟rifat merupakan basis ekonomi kerakyatan dengan kekuatan ekonomi kerakyatan semacam itu secara tidak langsung dapat menekan tumbuhnya sistem ekonomi kapitalis yang hanya menguntungkan pada segelintir pemilik modal besar saja. Oleh karena itu, untuk mewujudkan sistem ekonimi kerakyatan yang berideologi ma‟rifat dibutuhkan sistem pemerintahan yang dikelola oleh pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuasaan yang didasarkan pada ma‟rifat pula. Seorang pemimpin yang memiliki ideologi kema‟rifatan dalam sistem pemerintahannya akan menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyatnya. Artinya, commit to user
325
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seorang pemimpin yang berideologi ma‟rifat di dalam alam pikirannya senantiasa ingin mensejahterakan kehidupan seluruh rakyatnya secara merata dan berimbang. Untuk mensejahterakan rakyatnya tersebut, maka dalam mengimplementasikan perikehidupan bagi rakyatnya akan membuat suatu keputusan-keputusan yang diberlakukan senantiasa memberikan kesempatan pada rakyatnya untuk melakukan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya secara wajar dan menjamin keamanannya. Dengan jaminan keamanan tersebut, seorang pemimpin atau pemerintah justru akan menerima
dukungan
timbal-balik
dari
rakyatnya
untuk
memperkuat
kepemimpinannya. Dalam arti lain, rakyat akan merasa nyaman dengan keputusankeputusan pemerintah dalam menjalankan kehidupannya sendiri dan bersama dengan sesamanya yang dilandasi filosifi kegotong royongan. Secara filosofi ma‟rifat, manusia pada kodratnya memiliki proses kehidupan, yakni lahir, hidup dan mati. Ketiga proses kehidupan itu bisa dimaknai dengan dua pengertian, pertama sebagai proses kehadiran di dunia, yakni lahir sebagai bayi, tumbuh sehat sehingga dapat menjalani proses perjalanan hidup sampai akhirnya mati meninggalkan kehidupannya di dunia. Pengertian kedua adalah sebagai proses kehadiran sebuah karya manusia, misalnya sebuah karya lukis akan lahir dari pemikiran dan ideologi seorang seniman. Lukisan itu akan “hidup” ketika diamati dengan berbagai penafsiran setiap orang yang melihatnya. Pada akhirnya, lukisan itu menjadi tidak berarti apa-apa, “mati” seiring dengan ditinggalkannya oleh pengamatnya dan ditinggal mati oleh pelukisnya. Menurut keyakinan agama Hindu, dewa Brahma memiliki kekuasaan mencipta. Penciptaan yang dimaksud dapat berlangsung terus menerus selama kehidupan commit to user
326
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manusia masih berlangsung. Ketika seorang bayi diasuh dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya, pada saat itulah dewa Wisnu menitis kekuasaan-Nya pada kedua orang tua bayi itu menjadi “pemelihara”. Namun, ketika orang tua tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai “pemelihara” anak-anaknya, maka pada saat itulah dewa Siwa menguasai diri mereka yang cenderung mencelakakan atau bahkan ada yang membunuh anaknya sendiri. Contoh sifat “Kesiwaan” yang lain adalah berupa kasuskasus kejahatan yang dilakukan sebagian manusia seperti, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan dan lain-lain yang semua itu merupakan nafsu angkara murka. (Dwi Lestari, Wawancara: Kamis, 7 Juni 2012) dengan demikian agar kehidupan di dunia ini menjadi baik dan bermakna, maka perlu adanya hubungan harmonis antara cipta, rasa, dan karsa manusia dalam berkehendak dan berkarya. Sementara dalam keyakinan agama Islam memaknai filosofis lahir, hidup, dan mati sebagai tataran perjalanan hidup menuju pada sang pencipta Allah SWT melalui tiga jalan kema‟rifatan, yakni hakikat, syariat dan tariqat. Dalam bahasa Arab, hakikat artinya kebenaran atau kenyataan asal (Rummi , 2007: 57) dalam konteks makna ma‟rifat, seorang manusia lahir di dunia pada hakikatnya sebuah kenyataan asal yang sebenar-benarnya dari Allah SWT tidak diragukan lagi. Kemudian seorang manusia yang lahir tersebut akan senantiasa mencari sebuah kebenaran hakiki, sebagai konsekuensi lahirnya sebuah kebenaran-Nya. Maka, hakikat dapat dikatakan sebagai tujuan akhir dari dalam menempuh kehidupan setelah melalui proses kelahiran; apa itu hidup, untuk apa hidup dan bagaimana hidup. Dengan begitu manusia terlahir didunia akan senantiasa melakukan amalan kehidupan sesuai syariat agama Islam. Kata syariat secara leteral Arab berarti jalan ke mata air. Istilah itu commit to user
327
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
digunakan dalam al-Quran untuk menyebut keseluruhan ajaran agama Islam yang diwahyukan kepada rasulullah Muhammad SAW. Dalam istilah lain adalah fiqh yang berupa amalan kehidupan misalnya wudlu, mandi, sholat, puasa, zakat, hukum waris, perkawinan, muamalat dan sebagainya (Rummi, 2007: 48). Berdasarkan amalan kehidupan itu dapat menjadi jalan pada terjalinnya hubungan harmonis, baik secara vertikal kepada Tuhan sebagai penguasa alam semesta dan secara horizontal hubungannya dengan sesama manusia dan dengan alam. Jalan menuju keharmonisan hubungan tersebut dalam tafsir Islam disebut tariqat atau tareat. Istilah tariqat berasal dari kata thoriqoh yang artinya jalan, metode atau cara (Rummi. 2007: 53). Dalam lingkup tasawuf, tariqat artinya jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yakni tempat terdekat disisi Allah SWT. Sementara dalam kalangan muslim pada umumnya tariqat dimaknai sebagai suatu jalan menuju kema‟rifatan yang senantiasa mengaitkan setiap apa yang dilihatnya, setiap objek alam di jagat raya ini sebagai wujud Tuhan. Dengan demikian, filosofi kema‟rifatan sebagaimana telah diuraikan di awal tidak ada pemisahan antara syariat, tariat dan hakikat. Kebersatuan ketiganya ini akan membawa pada kesempurnaan hidup manusia. Sementara kesempurnaan hidup manusia dapat membawa dampak keharmonisan kehidupan beragama, berbudaya dan bermasyarakat. Dalam filosofi jawa disebut trisila seperti tercermin pada sikap hidup orang Jawa. Dalam serat Sasongko Jati tulisan R.T Hardjo Prakoso dan Tri Hardono Sumodihardjo, trisila merupakan pokok-pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh semua umat manusia dan merupakan tiga hal yang harus dituju oleh cipta, rasa dan karsa manusia di dalam menyembah Tuhan, commit to user
328
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yakni pracoyo (percaya) mituhu (setia) dan eling (sadar). Kata pracoyo atau percaya ialah percaya terhadap sukma sejati atau utusan-Nya yang disebut guru sejati. Mituhu ialah setia dan selalu melaksanakan segala perintah-Nya yang disamapaikan melalui utusan-Nya. Akhirnya eling atau sadar ialah selalu berbakti kepada Tuhan yang Mahatunggal. Menurut ajaran Sunarto ini, Tuhan Mahatunggal adalah kesatuan dari tiga sifat yaitu sukma kawelas atau Allah Ta‟ala, sukma sejati atau untusan-Nya, dan ruh suci atau jiwa manusia sejati, ketiganya disebut tripurusa.
commit to user
329
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian atau pembahasan pada bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan, bahwa perwujudan keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren” yang dilatarbelakangi oleh diferensiasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Kabupaten Klaten memiliki makna tertentu. Diferensiasi sosial-budaya yang melingkupi kehidupan para pelukis “Pasren” di Klaten tersebut dapat berpengaruh dalam konsep berkarya yang melahirkan keragaman corak dan gaya hasil karya seni lukis. Corak dan gaya karya seni lukis tersebut dapat menjadi simbol komunikasi budaya dan bahasa rupa antara pelukis dan pengamatnya. Terbukti eksistensi “Pasren” telah diakui oleh pemerintah daerah setempat sebagai organisasi kesenian yang memiliki karakter kesenirupaan yang potensial. Setelah dilakukan analisis terhadap sejumlah hasil karya seni lukis “Pasren” dapat diketahui adanya perbedaan-perbedaan proses dan teknik berkarya yang menyebabkan terjadinya keperbedaan corak dan gaya yang masing-masing memiliki nilai estetis, struktur dan makna yang berbeda pula. Walaupun terjadi keperbedaan corak dan gaya, namun berdasarkan hasil pemaknaan terhadap karya seni lukis “Pasren” menunjukkan terdapat keterkaitan dan kesamaan makna antara karya seni lukis yang satu dengan karya seni lukis yang lain. commit to user
330
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keperbedaan dan kesamaan makna dalam keragaman seni lukis “Pasren” itu terbentuk oleh adanya latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofis pelukis “Pasren” dalam berkarya seni lukis. Latar belakang “penciptaan” karya seni lukis “Pasren” membentuk perwujudan keperbedaan dalam keragaman corak dan gaya misalnya: Naturalisme, Realisme, Impresionisme, Romantisme, Ekspresionisme, Surealisme, Kubisme dan Kubisme yang masing-masing memiliki makna tertentu. Perwujudan makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni makna ma‟rifat, makna kehidupan dan makna sosial-budaya. Setelah dilakukan pemaknaan yang diteruskan dengan penafsiran terhadap keperbedaan dalam keragaman karya sen lukis “Pasren”, maka ditemukan bentuk konsep trilogifiguratif yang berupa struktur tiga titik. Ketiga titik ini jika dihubungkan dapat membentuk bidang dwimatra (horizontal) dalam wujud bidang segi tiga mendatar (trimandala) dan trimatra (vertikal) dalam wujud limas segitiga ke atas (triloka). Keduanya sebagai lambang atau simbol trihitakarana. Trihitakarana berarti tiga hubungan keselarasan atau keharmonisan, yakni tiga hubungan keselarasan adalah hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Tuhan. Berdasarkan konsep trilogifiguratif itu, maka dapat ditafsirkan sebuah korelasi antara tiga makna simbolis terhadap keragaman karya seni lukis “Pasren”, yakni makna ma‟rifat, makna kehidupan, dan makna sosial-budaya dengan latar belakang konsep penciptaan seni lukis “Pasren” yang terdiri dari tiga hal, yakni latar belakang pemikiran, ideologi dan filosofi yang berpusat pada dzat ghoib. commit to user
331
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5.2 Saran Hasil kajian ini iharapkan dapat membuka mata masyarakat, bahwa karya seni lukis itu tidak sekedar bentuk visual semata, tetapi lebih dari itu memilki makna tertentu dan dapat
menumbuhkan kesadaran bersama dalam memberikan
memberikan simpati, empati, atau pun penghargaan yang signifikan berupa pemaknaan terhadap nilai estetis, struktur dan makna yang terkandung di balik keperbedaan dalam keberagaman karya seni lukis sebagai salah satu unsur kebudayaan. Dengan demikian, dapat meningkatkan rasa apresiasi terhadap karya seni lukis dewasa ini demi membantu kemajuan dan perkembangan seni rupa pada umumnya. Diharapkan hasil kajian ini dapat menjadi salah satu alternatif komunikasi kebudayaan, yakni bahasa rupa sebagai media komunikasi antara pelukis dan pengamatnya dalam mengatasi kesulitan dalam cara menafsirkan makna keperbedaan dalam keragaman karya seni lukis. Hasilnya dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kajian budaya. Lebih khusus lagi mengenai analisis seni lukis sebagai bagian dari kajian budaya dan seni rupa. Di samping itu, dapat memberikan inspirasi dan menambah referensi penelitian-penelitian berikutnya atau sebagai pembanding dalam penelitian budaya yang lain. Akhirnya, bagi pihak yang terkait antara lain Pemerintah Kabupaten Klaten melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga serta Dewan Kesenian Klaten hasil kajian ini direkomendasikan dapat turut membantu dalam memberikan pembinaan dan fasilitasi pada organisasi-organisasi kebudayaan commit to user
332