LAPORAN PENELITIAN KERJASAMA INSTITUTE OF PEACE AND DEMOCRACY Dengan PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA
Making Women’s Political Engagement Effective
Peneliti : Tedi Erviantono Ni Nyoman Dewi Pascarani Putu Eka Mirayani Made Leita FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA
Sektor Lokasi
:Birokrasi :- Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali - Badan Pemberdaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Denpasar - Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Keluarga Berencana dan Pemerintahan Desa Kabupaten Klungkung Narasumber : - Sekretaris Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali, Terry Yuliandra - Kepala Bagian Pengembangan Program dan Kebijakan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali Dra. L. Putu Margarini, M.Si. - Sekretaris Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Denpasar, Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati - Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) Provinsi Bali, Ni Wayan Marini. Narasi : Ragam persoalan perempuan yang beraktifitas di sektor publik (birokrasi pemerintahan) masih terpinggirkan, baik terkait akses, partisipasi, kesejahteraan maupun kesadaran. Pengakuan Negara terhadap persoalan PNS perempuan masih sebatas presence (kehadiran) formal belaka, -seperti standar penerimaan pegawai atau pembentukan badan pemberdayaan perempuan yang fungsinya masih sekedar “kosmetikal”. Kondisi ini justru kontraproduktif mengingat substansi pengelolaan isu perempuan di internal birokrasi sendiri belum tertangani secara optimal. Timpangnya Komposisi PNS Perempuan dan Pria Hasil wawancara penelitian Women in Political Effectiveness sektor perempuan birokrasi di Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Kabupaten Klungkung menunjukkan fakta bahwa keberadaan perempuan di birokrasi (PNS Perempuan di Pemda) belum sepenuhnya berdaya, baik akses maupun substantif. Bahkan beberapa kasus, perhatian pemerintah daerah terhadap keberadaan PNS perempuan sifatnya masih parsial. Persoalan awal terkait akses adalah komposisi perbandingan pegawai negeri berjenis kelamin perempuan dengan laki-laki yang masih timpang. Pintu masuk PNS yang berawal proses rekruitmen CPNS, memang menjadi alasan kuat mengapa kaum laki-laki banyak berpeluang masuk menjadi PNS ketimbang perempuan. Mengikuti mekanisme Badan Kepegawaian Daerah –berdasarkan proses : dari penghitungan rasio kebutuhan CPNS, penentuan jumlah, jenis formasi, kualifikasi dan latar belakang pendidikan yang kemudian mendapatkan persetujuan kepala daerah hingga penentuan formasi tetap lowongan CPNS oleh Badan Kepegawaian Nasional --, justru resisten menyertakan ruang keputusan yang berpeluang tidak pro gender. Saat formasi teknis membutuhkan kualifikasi pendidikan tertentu yang notabene cenderung stereotiping hanya diikuti kalangan laki-laki, maka peluang lowongan tersebut juga lebih besar diperebutkan pelamar laki-laki dibandingkan perempuan. Pada masa sebelum reformasi, formasi-formasi teknis (seperti : tenaga penyuluh lapangan, mekanik, teknologi informasi) lebih berpeluang dibuka dibandingkan formasi terkait kualifikasi pendidikan yang sifatnya fokus pada detail, administratif dan cenderung berjangka pendek. Pilihan atas jenis pendidikan seperti inilah yang banyak diikuti perempuan seperti, administrasi, tenaga pendidik, akuntansi dll. Bahkan sampai saat ini, kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan pada formasi tertentu masih dominan peruntukannya bagi kalangan laki-laki (Sumber : Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali dalam Statistik Gender Provinsi Bali 2010).
Hal ini belum pula hambatan sosial budaya patriarkhi yang dihadapi kalangan perempuan Bali dalam menempuh jenjang pendidikan tinggi, dimana secara umum kualifikasi pendidikan PNS mempersyaratkan sarjana dan atau bahkan S2. Kondisi ini terjadi pada hampir semua proses rekruitmen yang diadakan pemerintahan daerah di level manapun. Kondisi tidak pro gender ini makin menguat apabila saat penentuan kelulusan penerimaan CPNS, berlangsung tidak transparan dan menjadi penentuan sepihak elit pimpinan daerah setempat (gubernur/walikota/bupati). Berdasarkan wawancara peneliti, kondisi tersebut diakui secara sadar oleh narasumber sebagai ketetapan yang telah melembaga (tersistem) dan harus diterima begitu saja oleh kalangan PNS perempuan. “Pengaturan komposisi antara pria dan perempuan dalam formasi PNS menjadi kewenangan penuh dari Badan Kepegawaian Daerah dan kepala daerah. Kami harus menerima itu dan tidak memiliki kewenangan apapun disini”, ungkap Terry Yuliandra, selaku Sekretaris Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali. Dari hasil pengumpulan data sekunder, diperoleh data komposisi PNS perempuan dan pria masih tidak imbang /timpang, dimana hal ini ditunjukkan fakta sebagai berikut : Tabel Jumlah Pegawai Negeri Sipil menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Provinsi Bali 2008-2009
Sumber : Statistik Gender Provinsi Bali (2010) Tabel diatas menyiratkan makna kurun 2008 hingga 2009, terjadi peningkatan jumlah PNS Perempuan di Provinsi Bali. Jumlah PNS perempuan mengalami peningkatan yaitu 2008 sebanyak 27.161 orang dan 2009 sebanyak 31.573 orang atau mengalami persentase kenaikan sebesar 13,97 persen. Meski menunjukkan trend peningkatan penerimaan PNS perempuan,
namun tetap saja komposisi keberadaan jumlah PNS perempuan masih tidak imbang dengan PNS laki-laki. Ketimpangan tersebut salah satunya akibat minimnya jumlah pelamar perempuan daripada pelamar laki-laki. Hal atas minimnya pelamar ini akibat stereotype yang terbangun di masyarakat Bali masih menganggap perempuan lebih tepat bekerja di ranah non formal seperti menyelesaikan pekerjaan rumah tangga berikut aktifitas yang ada di dalamnya. Sebaliknya, lakilaki menganggap dan menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga maka pekerjaan yang cocok adalah pekerjaan di sektor formal , termasuk di lingkungan birokrasi (Sumber : Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali dalam Statistik Gender Provinsi Bali 2010). Dikotomi peran tersebut menimbulkan ketidakadilan gender yang termanifestasi dalam kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang belum memberikan porsi optimal bagi perempuan, baik segi akses, partisipasi, kontrol, maupun manfaat dalam beragam aktifitas pembangunan, termasuk di bidang pemerintahan. Posisi Perempuan dalam Jabatan (Eselon) Strategis Birokrasi Situasi ketidakberimbangan ini berpengaruh secara siginifikan pula pada kesempatan masing-masing jenis kelamin untuk menempati posisi jabatan-jabatan strategis birokrasi pemerintahan, sebagai berikut : Tabel Jumlah Sebaran PNS dan Pejabat Eselon di Lingkungan Pemerintah Daerah Menurut Kabupaten / Kota dan Jenis Kelamin Provinsi Bali 2008-2009
Sumber : Statistik Gender Provinsi Bali (2010) Tabel diatas menunjukkan pejabat pada eselon-eselon strategis (terutama eselon III dan eselon IV) yang diduduki kalangan perempuan di Provinsi Bali jumlahnya masih minim. Dua narausmber yang ditemui peneliti memberikan jawaban normatif, bahwa baik pihak Provinsi Bali
(baca : kepala daerah/gubernur) maupun Pemerintah Kota Denpasar menganggap telah melakukan sebaran proporsional antara perempuan dan laki-laki, baik eselon III dan IV . “Jumlah sebaran pejabat perempuan yang menduduki eselon III maupun IV sudah lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Beberapa hal terkait persoalan perempuan sudah dijabat dan ditangani PNS perempuan, meski Pak Gubernur tetap mempertimbangkan kompetensi dan kualifikasi dalam penempatan tersebut”, ungkap Terry Yuliandra, selaku Sekretaris Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali. Hal senada diungkapkan narasumber kedua, Sekretaris Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Denpasar, Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati : “Meski tidak ada jaminan regulasi khusus, namun walikota menunjukkan komitemannya dengan memberikan porsi perempuan pasa eselon strategis. Sudah ada kesetaraan antara PNS pria dan PNS Perempuan yang disandarkan pada merit system. Pada urusan yang membutuhkan peran perempuan lebih besar, maka Pak Wali lebih mempertimbangkan ada/banyak perempuan yang duduk pada dinas/badan tersebut. Misalnya, selain badan KB dan Pemberdayaan Perempuan, juga pada Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Kota Denpasar. Selain kepala dinas perempuan, dari staf berjumlah 10 adalah perempuan. Kondisi ini dikaitkan pendekatan program penguatan bidang koperasi, permodalan dan pengembangan industri kecil menengah yang difokuskan dalam pemberdayaan partisipasi perempuan. Hal ini sesuai misi dinas tersebut yaitu menyelenggarakan lingkungan usaha yang sehat dalam persaingan non dikrisminatif. Jadi semuanya diarahkan pada visi misi yang diemban dalam prioritas pembangunan yang dibuat kepala daerah. Hanya saja hal ini tidak mengesampingkan PNS laki-laki karena mereka juga mendapatkan porsi masing-masing”, ungkapnya. Berdasarkan pengamatan peneliti, masih belum ada jabatan yang “benar-benar” strategis, baik di level birokrasi Pemerintah Daerah Provinsi Bali maupun Kota Denpasar diduduki PNS perempuan, misalnya Sekretaris Daerah, BAPPEDA, Dinas Perhubungan, Dinas Informasi dan Komunikasi, Dinas PU dan Cipta Karya, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Pendidikan atau Dinas Kesehatan. Kalimat yang terlontar dari kedua narasumber misalnya, “….Beberapa hal terkait persoalan perempuan sudah dijabat dan ditangani PNS perempuan….” dan “…..Pada urusan yang membutuhkan peran perempuan lebih besar, maka Pak Wali lebih mempertimbangkan ada/banyak perempuan yang duduk pada dinas atau badan tersebut…”, seolah menguatkan bahwa PNS perempuan masih di dudukan pada posisi secondary sector yang tidak terlalu dekat dengan pengambilan kebijakan strategis. Kondisi ini apabila ditinjau dari pendapat Grant dan Tancred (1992) maka posisi PNS Perempuan di Bali yang duduk dalam eselon strategis di birokrasi sifatnya semu karena masih mengalami dual structure unequal representation yaitu representasi timpang PNS perempuan dalam struktur birokrasi, dimana sebagian besar perempuan ditempatkan pada tempat yang tidak mempunyai kekuasaan (powerless position). Kondisi ini diperkuat pernyataan Dra. L. Putu Margarini, M.Si, narasumber Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali. Ia mengemukakan pemberdayaan perempuan di sektor birokrasi belum sepenuhnya mendapatkan jaminan, khususnya jenjang karier dan penempatan porsi perempuan pada unit/badan/dinas yang ada di lingkungan pemerintahan. “Pemerintah Provinsi Bali masih cenderung berpikir mengkonsentrasikan kalangan PNS perempuan hanya mengisi di badan pemberdayaan perempuan saja, karena dianggap urusan yang ditangani badan ini adalah persoalan perempuan. Padahal kalau berpikiran berprespektif gender, yang mengurus perempuan atau laki-laki kan sama saja. Badan ini nyata-nyata sebagian besar telah diisi kalangan perempuan termasuk pada
jenjang karir yang paling atas. Padahal di unit-unit atau badan strategis lainnya seharusnya ditempatkan perempuan di posisi karier teratas, seperti Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dll. Ini yang belum dilakukan”, ungkapnya. Kebijakan penempatan ini menyiratkan masih lemahnya pemahaman para pemangku kepentingan di tingkat birokrasi mengenai konsep gender termasuk ketiadaan akses PNS perempuan di Bali dalam badan-badan penentu kebijakan strategis di pemerintahan. Hambatan Karier PNS Perempuan Selain penempatan perempuan pada eselon strategis masih belum menyentuh substansi, posisi perempuan yang bekerja di sektor pemerintahan juga rentan terhadap peningkatan jenjang karier dibanding PNS laki-laki. Penelitian Setiawati (2008) pernah memetakan hambatan yang diindikasikan terletak pada beberapa tahap yaitu (lajang/awal karier, orientasi karier/menikah tanpa anak, pertumbuhan karier – masa reproduksi / menikah ; pengembangan karier, pemantapan karier). Terdapat masa stagnasi bagi PNS perempuan dalam pengembangan karir, yaitu pada saat fungsi reproduksi dalam keluarga dimulai, khususnya sejak berkeluarga, hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh mendidik dan menyekolahkan anak mereka sampai sekolah dasar. Bagi kalangan PNS perempuan di Provinsi Bali, khususnya kedua narasumber yang ditemui peneliti, menganggap bahwa saat PNS perempuan mengalami fase reproduksinya, pengaturannya tetap dikembalikan pada regulasi yang mengatur perihal tersebut, yaitu melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1976 tentang Aturan Cuti PNS. Terlepas apakah mereka pernah mengalami hambatan akibat regulasi tersebut , yang jelas jawabannya para PNS perempuan ini tetap menerimanya sebagai konsekuensi saat bekerja di sektor birokrasi pemerintahan sehingga “harus senantiasa taat dan tunduk pada aturan”. Padahal implementasi PP ini sendiri sejak lama menyimpan resistensi. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 mengatur bahwa persalinan anak pertama, kedua, dan ketiga, PNS perempuan berhak cuti bersalin 1 bulan sebelum dan 2 bulan sesudah persalinan, sedangkan persalinan anak keempat dan seterusnya diberikan cuti di luar tanggungan Negara. Hanya saja di lapangan, PP ini kerap mendapat beragam persoalan, antara lain ; proses pengajuan ijin cuti yang cukup panjang, atasan yang menerapkan cuti hanya berdasarkan kebijakan bukan berdasarkan pada regulasi/peraturan yang ada, ibu yang tidak dapat mendampingi tumbuh-kembang secara optimal pada usia emas anak; serta persoalan pemberian ASI eksklusif yang notabene jangka waktunya 6 bulan, padahal di aturan batasan cuti hanya 2 bulan. Khusus mengenai kondisi ini, narasumber Pemerintah Kota Denpasar, Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati, menyatakan Pemkot Denpasar memberikan ruang gerak bagi PNS perempuan untuk tetap menjalankan fungsinya memberikan ASI eksklusif pada bayinya. “Tidak ada problematik atau hambatan dalam perkembangan bagi karir PNS perempuan karena menjalan fungsi reproduksi sebab aturannya sudah ada dalam ketentuan cuti PNS. Kami semua tunduk dengan aturan itu. Bahkan pihak PNS perempuan tetap diberikan hak memberikan ASI ekslusif. Pemkot Denpasar melalui komitmen kepala daerah memberikan kemudahan bagi PNS perempuan tetap bisa berperan dalam aktifitas domestiknya dengan menyusui anaknya meski saat menjalankan aktifitas. Pemkot “berencana” menyediakan tempat khusus pemberian ASI eksklusif di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya dan di sebelah Kantor Badan KB dan Pemberdayaan Kota Denpasar. Kalaupun cuti hamil dan melahirkan, masing-masing Atasan tetap memberikan ruang untuk cuti sesuai PP yang ada dan memberikan pelimpahan tugas sementara kepada pegawai lain. PNS perempuan yang cuti hamil dan melahirkan juga masih tetap diberikan waktu absen dan lain sebagainya. Begitupun pada saat upacara/kewajiban
perempuan Bali untuk membanten dll, masih ada toleransi bagi PNS perempuan untuk menjalankan hal-hal tersebut, misalnya dengan memberikan toleransi waktu keterlambatan 30 menit”, ungkap Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati. Peraturan kepegawaian, termasuk PP mengenai Cuti PNS, memang berlaku umum dan netral. Kondisi pemberlakuannya ini dianggap tidak deskriminatif, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Hanya saja karena ciri birokrasi adalah adanya hirarki dan kewenangan yang jelas, maka hal inilah yang justru banyak menjadi penghambat karir perempuan. Ketika perempuan dianggap repot dengan urusan domestiknya, maka dirinya dianggap tidak mampu menjalankan tugas kantor. Padahal hal yang dianggap sebagai kodrat perempuan, seperti memberikan ASI kepada anak, harus dijalani oleh perempuan sendiri. Pendapat tersebut menggambarkan betapa PNS perempuan menjalankan beban ganda, yaitu pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga dan pekerjaan publik di sektor pemerintahan yang diambilnya. Keduanya sulit berjalan bersamaan, terutama saat PNS perempuan dihadapkan pada realitas masa reproduksi melahirkan dan menyusui. Simone de Beauvoir (1990) menyatakan bahwa perempuan bekerja merupakan salah satu cara untuk tetap eksis dan menjadi subyek. Hanya saja kenyataannya pembagian peran yang terpisah semakin memberatkan perempuan, karena cenderung berperan ganda (double burden). Ketika PNS perempuan melaksanakan perannya di sektor publik maka ia menjalankan peran domestiknya sekaligus, sehingga dirinya akan berjuang keras meniti kariernya. Pernyataan narasumber Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati, bahwa ada toleransi waktu bagi PNS perempuan untuk membanten (upacara) menyiratkan makna bahwa double burden bagi kalangan PNS perempuan di Bali sangat tinggi. Hal ini sesuai pendapat Moore dan Sawhill (1978) yang menyatakan hambatan kerja rumah tangga memang menjadi konsekuensi bagi perempuan bekerja, termasuk pada perempuan di sektor birokrasi pemerintahan di Bali. Bekerja bisa berarti kurangnya alokasi waktu untuk memperhatikan kewajiban maupun tugas rumah tangga, sehingga khusus di Kota Denpasar terdapat kebijakan memberikan toleransi atas alokasi waktu untuk hal tersebut. Atas kondisi inilah, maka urusan domestik seringkali menjadi kendala yang “mau tidak mau” harus dihadapi PNS perempuan. Peran domestik inilah yang seringkali dijadikan alasan pemberat saat PNS perempuan menghadapi promosi jabatan dengan pesaing PNS laki-laki. Perempuan menanggung beban lebih berat dengan dengan bekerja di luar rumah, sehingga urusan domestik tetap menjadi beban bagi perempuan (double burden). Pola Pengambilan Keputusan PNS Perempuan Pola pengambilan keputusan oleh PNS Perempuan yang berada pada posisi eselon strategis, dinyatakan kedua narasumber, sudah mandiri. Hal ini seperti dikatakan narasumber Terry Yuliandra dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali, yang menyebutkan bahwa “Pada pola pengambilan keputusan tidak ada dominasi dari pihak pria, namun secara normatif kami masih tetap tunduk pada atasan/pimpinan langsung”. Pada sisi yang sama, narasumber Pemerintah Kota Denpasar Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati menyatakan apabila seorang perempuan duduk sebagai pimpinan di lembaga birokrasi keputusannya tetap profesional sesuai tupoksi yang dijalankan. “Kalau secara pribadi saya memutuskan apa yang menjadi bidang tugas saya dan tidak terpengaruh pihak manapun termasuk dominasi pria atau suami saya sekalipun, kecuali memang itu kehendak dari pimpinan. Jadi semuanya sudah imbang dan sesuai porsinya, bukan lagi siapa yang didominasi atau mendominasi siapa. Hanya saja diakui, khususnya di Bali, sudah tradisi apabila ada rapat banjar maupun sangkep partisipasi perempuan setempat dalam berpendapat
masih minim sekali. Diakui atau tidak, dominasi laki-laki masih banyak disitu. Ini yang mungkin pada saat mereka dilibatkan dalam musrenbang mereka (baca : kalangan perempuan) banyak berpendapat di forum tersebut”. Pernyataan normatif kedua narasumber yang mengatakan “tunduk dan patuh” pada kehendak pimpinan merupakan salah satu bukti posisi PNS perempuan di Bali masih sebatas kehadiran secara fisik namun belum menyentuh substansi hak untuk “bersuara”. Lemahnya Penganggaran Publik Pro-Perempuan Ketidakberdayaan lainnya adalah masih rendahnya pengakomodasian suara PNS perempuan di eselon strategis dalam proses pengambilan kebijakan terkait penganggaran publik. Hal ini seperti dikemukakan narasumber Terry Yuliandra dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali, yang menyatakan : “Hambatan kami di birokrasi terutama dalam proses penganggaran (baca : APBD) yang pro gender baik saat proses perencanaan maupun implementasinya. Masih ditemui ketidakoptimalan alokasi APBD untuk persoalan perempuan. Pos anggaran APBD kebanyakan untuk pos-pos lain di luar kepentingan perempuan, apalagi alokasi dana Pengarus Utamaan Gender masih banyak belum berpihak pada kepentingan kesetaraan gender seratus persen. Kami tidak bisa mengatakan ini karena tiadanya dukungan sistem, sebab terkadang yang dihadapi adalah personal-personal di dinas / badan pemerintahan sendiri. Salah satunya BAPPEDA, lembaga yang dominan dalam proses perancangan anggaran. Meski didukung gubernur maupun komisi IV DPRD, namun kami senantiasa menemui situasi ketidak berdayaan. Ini yang diperjuangkan, meski kami harus sendirian”, ungkapnya. Dari kondisi ini terlihat kehadiran PNS perempuan pada eselon strategis birokrasi masih sebatas presence (fisik). Secara umum, birokrat memandang urusan menyangkut perempuan adalah persoalan yang bisa di-nomor duakan, termasuk dengan sandaran alasan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan SOTK (Satuan Organisasi Tata Kerja) yang masih relatif baru dibentuk yaitu melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali tertanggal 8 Juli 2008, sehingga tidak perlu anggaran yang besar. Padahal menurut narasumber Terry Yuliandra, semenjak program/kegiatan yang dilaksanakan merupakan kelanjutan atas pergeseran Biro Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan (BKPP) di Sekretariat Daerah Provinsi Bali, urusan-urusan terkait persoalan perempuan volumenya cukup tinggi, sehingga membutuhkan dukungan anggaran yang mencukupi. Pada tingkatan penyusunan maupun implementasi, karena proses pengusulan anggaran yang bersangkutan tidak mendapatkan pengawalan (musrenbang, jaring asmara, dll), --selain terdapat pula dana sharing (dekonsentrasi) dari pemerintah pusat--, maka anggaran yang teralokasi untuk persoalan perempuan masih minim. Di Bali, “masih minim” regulasi (perda/pergub/perbup/perwali) mengenai pemberdayaan atau penuntasan persoalan yang mengarah pada pengarusutamaan gender, meski aturan holistik mengenai kesetaraan gender terdapat pada Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 yang menetapkan isu gender sebagai salah satu isu lintas bidang yang terintegrasi dalam semua bidang pembangunan. Pemerintah Kota Denpasar memiliki kondisi penganggaran yang sedikit berbeda dengan Provinsi Bali. Dikemukakan narasumber Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati, bahwa : “ Anggaran yang ada di APBD sudah mencukupi. Anggaran yang terkomitmen untuk pengarasutamaan gender tersebar di dinas atau badan yang lain. Seperti dinas kesehatan,
lingkungan hidup, pendidikan. Untuk kami sudah mencukupi meski share untuk badan kami juga untuk urusan keluarga berencana. Khusus pengarasutamaan gender kami sebenarnya melakukan advokasi ke tingkat yang lebih atas dengan dibantu oleh kalangan perguruan tinggi (PSW Unud). Kami menginginkan agar segala bentuk penganggaran yang menyangkut pengarusutamaan gender benar-benar sesuai komitmen pemberdayaan. Memang kami gerakannya hanya advokasi terlebih dahulu yang sifatnya gerakan moral. Untuk melembagakannya dalam bentuk regulasi seperti Perda misalnya, kami masih belum bergerak ke arah sana karena selain biayanya cukup tinggi sebab butuh kajian akademis, dll, juga butuh pertimbangan yang cukup matang khususnya mengenai mekanisme sanksi atau ketentuan-ketentuan mengenai pelanggaran, dll”. Kondisi-kondisi yang diatas sebenarnya menyiratkan sebenarnya PNS perempuan di Bali secara tidak sadar hanya menjadi pelengkap atas tuntutan fisik kehadiran mereka belaka. Persoalan ketidakimbangan komposisi PNS perempuan dan PNS laki-laki karena proses rekruitmen CPNS, penganggaran publik yang kurang berkomitmen pro-gender maupun kepatuhan pengambilan keputusan pada atasan (yang notabene bisa laki-laki) merupakan gambaran betapa PNS perempuan telah termodifikasi pada keputusan-keputusan yang serba maskulin. Seperti dikemukakan Hester dan Einstein (2000) bahwa mekanisme yang memihak laki-laki telah menyatu dalam birokrasi, seperti pada proses rekruitmen pegawai, definisi pekerjaan dan prosedur yang lengkap, semuanya di institusionalkan dengan akses yang identik dengan kekuasaan laki-laki. Lebih lanjut, Robbins (1990) menyatakan bahwa birokrasi memang memiliki kecenderungan dalam beberapa hal, seperti pengambilan keputusan terkosentrasi pada beberapa orang saja. Akibatnya, keputusan yang diambil bisa saja bukan mencerminkan kepentingan semua pegawai, apalagi kalangan perempuan hanya sebagai minoritas. Relasi Akses dengan Anggota Dewan Perempuan Terkait dengan persoalan akses, penjaringan aspirasi terhadap persoalan perempuan seharusnya menjadi tugas anggota legislatif. Hanya saja, dari hasil wawancara terhadap dua narasumber, menunjukkan informasi yang sama bahwa komunikasi antara pihak eksekutif dengan legislatif, termasuk legislatif perempuan dari DPRD Provinsi maupun Kota sifatnya parsial dan personal. Narasumber Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali, Terry Yuliandra berpendapat : “Forum yang menggali suara persoaan perempuan dari badan legislatif sebagai pembuat kebijakan hanya dilakukan secara personal anggota legislatif yang memang sempat datang berkunjung ke badan pemberdayaan perempuan beberapa kali. Mereka sekedar bertanya tentang persoalan-persoalan perempuan yang terakomodasi di badan ini. Namun setelah itu tidak ada lagi. Sampai saat ini memang tidak ada forum komunikasi khusus antara eksekutif maupun legislatif yang langsung mewadahi pemetaan persoalan perempuan apa saja yang tertampung di eksekutif yang kemudian bisa ditindaklanjuti sebagai kebijakan di legislatif. Harapan digantungkan pada fasilitasi keberadaan kaukus perempuan perempuan, dimana diharapkan nantinya pihak legislatif bisa bersinergi dengan eksekutif akan bisa merumuskan agenda publik terkait pemberdayaan perempuan dan persoalan perempuan yang ada di Bali.” Hal senada diungkapkan narasumber Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati dari Badan KB dan Pemberdayaan Perempuan Kota Denpasar: “Penjaringan aspirasi mengenai persoalan perempuan oleh kalangan DPRD, termasuk dari kalangan anggota dewan perempuan jarang dilakukan. Hanya pada saat mereka awal di lantik mereka sempat ke badan ini untuk hearing dan memetakan persoalan perempuan. Setelah itu tidak kelihatan lagi. Penjaringan hanya banyak berdiskusi dengan pimpinan saja (kepala badan
pemberdayaan perempuan), itupun pendekatan secara personal. Karena selain belum ada lembaga yang mewadahi aspirasi tersebut juga tidak ada forum dari kami yang mengkoneksikan dengan lembaga dewan. Ini yang akan dirintis ke depan dan memang harapannya juga ada pada kaukus perempuan parlemen”. Dari pernyataan yang ada diatas terlihat bahwa sampai saat ini tidak ada forum yang menjembatani pemecahan persoalan perempuan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Forum seperti Dharma Wanita juga diakui belum banyak berperanan dalam mereduksi persoalan perempuan karena posisinya yang sama sekali berbeda, yaitu sebagai organisasi istri para pegawai negeri sipil. Sehingga penanganan persoalan perempuan termasuk di lingkup birokrasi pemerintahan belum ada sama sekali, meski harapannya Dharma Wanita bisa berperan banyak pada persoalan pemberdayaan kedudukan maupun pembelaan hak asasi perempuan. Harapan dari pewadahan persoalan-persoalan ini adalah pada kaukus perempuan parlemen yang masih baru dibentuk di Provinsi Bali. Inisiasi Partisipasi Perempuan melalui Musrenbang Mengenai partisipasi perempuan di forum publik, Kota Denpasar melalui Badan KB dan Pemberdayaan Perempuan telah memulai melakukan pengawalan di tingkat grass root, yaitu melalui forum musrenbang. Hal ini seperti dinyatakan narasumber kedua, Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati, bahwa pelembagaan partisipasi masyarakat perempuan sudah dilibatkan pada forum di tingkatan paling bawah, seperti musrenbang. “Kami sudah memulai dengan mengirimkan surat ke setiap kecamatan saat mereka akan menggelar musrenbang di tingkat kecamatan harus menghadirkan 30% peserta perempuan warga kecamatan setempat. Kami akui seperti yang terjadi di kecamatan Denpasar Selatan, kehadiran perempuan hanya sebatas hadir secara fisik belaka. Namun di kecamatan lain, justru dari kalangan perempuan-lah yang banyak memberikan pendapat, meski pendapatnya tidak sebatas kepentingan domestik perempuan. Ruang gerak mereka berpendapat tidak sebatas hanya di PKK, namun juga terlembagakan dalam musrenbang ini. Ini yang senantiasa kami dampingi saat musrenbang di setiap kecamatan, meski kondisi ini belum terlembagakan dalam mekanisme aturan/ketentuan regulasi lainnya seperti perwali, dll. Ini menunjukkan perempuan masih butuh banyak space / ruang untuk berpendapat khususnya yang terkait dengan kebijakan publik”. Diharapkan dengan pengawalan ini, perempuan mendapatkan porsi dalam partisipasi penganggaran publik. Tupoksi yang dijalankan Badan KB dan Pemberdayaan Perempuan Kota Denpasar terkait dua hal yakni keluarga berencana dan pemberdayaan perempuan. “Khusus mengenai pemberdayaan perempuan kami memang belum menangani soal aduan kasus terkait persoalan perempaun. Kami sifatnya masih hanya menjalankan kegiatan sosialisasi dan pendampingan pemberdayaan. Hal ini karena kami masih belum punya Kantor Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak yang saat ini letaknya masih ada di propinsi. Mengingat denpasar sebagai kota besar tentunya ragam problematika terkait perempuan dan anak juga tinggi. Oleh karena itu ke depan kami akan merintis pembentukan kantor yang menangani aduan maupun layanan, terutama terkait perlindungan anak yang kasusnya setiap waktu makin meningkat tajam, termasuk trafficking atau kasus-kasus terkait jual beli anak.”
Relasi dengan CSO Sinergitas dalam menjalankan tupoksinya, pihak eksekutif juga menggandeng LSM. Kami senantiasa menggandeng / bermitra dengan LSM perempuan dalam menjalankan programprogram pemberdayaan perempuan. LSM ini pun kami sangat sadar sekali memiliki arah
perjuangan yang berbeda karena sesuai visi misi mereka. Seperti Bali Sruti yang arahannya sifatnya membuat / merancang bahan kajian, advokasi melalui tulisan media, dll. Untuk langsung advokasi ke lapangan biasanya LBH Apik, serta LSM lain. Ini senantiasa kami libatkan dalam rapat-rapat program kami maupun action di lapangan. Jadi kami tidak pernah menggandeng LSM yang platformnya tidak jelas. Secara umum, komitmen atas kebijakan pro genderdi Bali masih belum melembaga dengan baik. Keputusan-keputusan yang memudahkan perempuan dalam mengakses ruang domestiknya lebih banyak dinisiasi secara personal pimpinan / kepala daerah setempat. Seperti Kota Denpasar, bentuk kebijakan yang diambil dimungkinkan adalah gagasan atau ide dominan dari istri walikota sendiri. Dari kondisi di atas terlihat bahwa perempuan di sektor birokrasi masih sebatas presence. Meminjam terminologi yang diungkapkan narasumber yang ditemui peneliti, yaitu Dra. I Gusti Agung Sri Wetrawati dan Dra. L. Putu Margarini, M.Si. Pernyataan yang menguatkan kondisi ini adalah tentang komposisi penerimaan CPNS , dimana kenyataan bahwa PNS perempuan hanya bisa menerima kondisi tersebut sebagai aturan system yang ada (aturan BKD, BKN, dll) sehingga mereka hanya bisa menerima pasrah / tunduk tanpa ada action / tindakan lebih lanjut. Pola pengambilan keputusan meski dinyatakan mandiri tapi ada statement lain yang menyatakan “tetap tunduk pada atasan terlepas apakah kemudian sang pimpinan itu laki-laki”. Saat kondisi ini terjadi maka yang berlangsung adalah pembenaran para PNS perempuan terhadap mekansime system yang serba maskulin dan tidak pro gender, termasuk sistem penganggarannya akibat tiadanya daya dukung regulasi daerah yang pro gender. PNS Perempuan dalam kapasitas pekerjaannya sifatnya masih memiliki beban ganda, menjalankan peran domestik sekaligus publik , sehingga posisinya yang secara idealnya seharusnya bisa memperjuangkan aspirasi atau hak perempuan, terabaikan. Kondisinya, kalangan perempuan ini masih dibebani pekerjaan rumah tangga disamping menjalankan kariernya, dimana menurut Beauvoir posisi perempuan sector publik mengalami double burden. Hal inilah yang mau tidak mau mempengaruhi jenjang karier mereka. Meski pendapat yang dilontarkan sangat normatif, namun ada satu statement mengenai daya dukung “tempat agar PNS perempuan bisa memberikan ASI eksklusif”, diberikan alokasi waktu / dispensasi untuk ijin membanten/upacara merupakan pernyataan penguat bahwa perempuan di sektor publik pemerintahan masih menanggung beban berat dibandingkan PNS laki-laki. Kebijakan-kebijakan populis yang mengarah pada kesetaraan gender akhirnya cenderung tergantung, apakah dalam faktor pengaruh perancangan / pengambilan keputusannya, terdapat orang-orang yang benar-benar memperjuangkan kesetaraan gender atau tidak. Komitmen Pembentukan Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Pada penanganan persoalan perempuan dan anak, Pemerintah Provinsi Bali telah berkomitmen membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2). Kasuskasus kekerasan yang menimpa kalangan perempuan trendnya cukup meningkat. Penanganan kasus yang dikedepankan oleh Pusat Pelayanan ini adalah advokasi, pendampingan visum hingga konseling. Meski pembentukan lembaga di bawah Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini merupakan instruksi dari Pusat (Kementerian Pemberdayaan Perempuan) namun pendiriannya di Bali sempat dinisiasi oleh kalangan LSM perempuan. Beberapa kasus yang terhimpun dari yang semula ditangani Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Bali sampai menjadi unit layanan khusus, senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hingga awal 2012 sudah tercatat 380 pengaduan dari proses yang terselesaikan hingga yang belum terselesaikan.
Tabel Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Puast Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Provinsi Bali Kategori Kasus 2009 2010 2011 Februari 2012 Kekerasan Terhadap 27 38 33 3 Istri Kekerasan dalam 0 7 8 1 Pacaran Kekerasan Terhadap 5 4 10 5 Anak Perkosaan 1 1 5 0 Pencabulan/Pelecehan 0 2 1 0 Seksual Kekerasan dalam 5 19 20 0 Keluarga Traficking 0 0 0 1 Sumber : P2TP2 Provinsi Bali sampai 13 Februari 2012 Beberapa data kasus yang tergambar diatas diantaranya adalah kekerasan terhadap istri, kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual, kekerasan terhadap anak hingga kekerasan dalam keluarga. Hal ini seperti dikemukakan narasumber Ni Wayan Marini, dari P2TP2 Provinsi Bali. “Pendampingan yang kami lakukan masih sebatas advokasi, pendampingan visum hingga konseling. Kalau kasus kemudian mengarah pada kasus hukum perdata, kami tidak bisa ikut campur lebih dalam. Namun kami masih tetap bisa mendampingi ataupun membantu mencarikan pengacara”, ungkap Marini. Pendampingan kasus juga dilakukan dalam ranah birokrasi, misalnya terkait perselingkuhan pegawai negeri sipil dengan perempuan lain sesama PNS di salah satu instansi di suatu pemerintah kabupaten. “Kami pertama kali menampung keluhan dan menasihati kedua belah pihak. Apabila masih tidak dihiraukan maka kami menyurati pimpinan masing-masing instansi tersebut agar membina anak buahnya. Kasus inipun akhirnya bisa terselesaikan dengan baik antara kedua belah pihak”, ungkap Marini. Kasus lain yang sekarang masih menjadi konsentrasi pihak pusat layanan ini adalah kasus traficing penjualan perempuan yang ternyata pelakunya masih dibawah umur yang tak lain adalah pacar korban sendiri. “Kami melakukan pendampingan pada si korban untuk mencarikan alternative sekolah karena merasa malu dengan teman-temannya. Selebihnya untuk pelaku kami serahkan pada pihak kepolisian, meski jerat hukum agak sulit mengingat pelaku masih juga rekannya yang masih bersekolah dan dibawah umur”, ungkapnya. Kasus ini paling tidak membuat pusat layanan ini berfokus juga pada upaya traficing yang akhir-akhir ini sangat marak terjadi. Hanya saja, kondisi berbeda terjadi di Kabupaten Klungkung. Pengakuan pemerintah atas pentingnya pengelolaan persoalan perempuan di Kabupaten Klungkung masih rendah. Setidaknya hal ini terlihat dari konsentrasi penanganan permasalahan perempuan di Kabupaten ini secara kelembagaan masih dicampur dengan urusan-urusan lain, yaitu Pemberdayaan Masyarakat, Keluarga Berencana dan Pemerintahan Desa yang seharusnya menjadi unit terpisah. Keadaan ini juga diakui oleh seorang staf dari Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Keluarga Berencana dan Pemerintahan Desa Kabupaten Klungkung. “Kami tidak selengkap Kabupaten Badung atau Pemerintah Kota Denpasar. Penanganan kami masih sektoral sifatnya
dan urusan perempuan tidak menjadi dominasi yang ada di badan ini. Tapi kami masih tetap mengacu pada tupoksi badan yang ada”, ungkapnya. Pada penganggaran khusus persoalan perempuan maupun gender yang terimplementasikan dalam APBD juga masih lemah. Masih banyak dana-dana yang tersebar untuk kepentingan non perempuan, bahkan beberapa diantaranya tersubstitusikan pada kepentingan program Keluarga Berencana, padahal urgensi dan sasaran programnya tidak memiliki relevan dengan kepentingan perempuan. Rujukan Pustaka -
-
Setiawati, Trias, Pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Perempuan untuk Perkembagan Karir, dalam buku Women in Public Sector, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 2010 Perempuan dan Hukum, Yayasan Obor : Jakarta, 2004 Tim Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali, Statistik Gender 2010, Denpasar Arsip Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2)
Partisipasi perempuan Bali pada sektor pekerjaan in-formal tercatat cukup tinggi. Menurut data statistik gender Provinsi Bali, persentasenya mencapai 33,60% (BP3A Provinsi Bali, 2011:82). Definisi sektor in-formal menurut Karafi (dalam Ali, 2012:129) adalah usaha berskala kecil yang tidak teroganisir dengan permodalan relatif kecil. Sektor ini bercirikan ; penghasilan tak menentu, tak membutuhkan pendidikan formal tertentu, serta banyak dijalankan kalangan migran guna memperoleh akses ekonomi lebih baik dari daerah asal. Ada beragam jenis kategori sektor in-formal, salah satunya profesi penjual jasa. Seputar Pengamplung Emas : Profesi Rentan Tindak Kriminal Salah satu profesi penjual jasa yang tumbuh subur di Bali, khususnya kota Denpasar adalah penjual emas asong. Profesi ini dalam bahasa setempat disebut pengamplung. Pengamplung emas sebagian besar banyak dijalani oleh perempuan. Alasannya beragam, dari anggapan kalau yang menjual perempuan dianggap jujur dan tidak menipu, menopang ekonomi keluarga, hingga alasan kemampuan tawar menawar harga dengan pembeli (Mariani, wawancara, 6 Juni 2013). Profesi pengamplung emas mudah dikenali. Para perempuan duduk berderet di kursi plastik dan menyapa dengan lambaian tangan ke para pengguna jalan. Berbekal tas pinggang, batu gosok, timbangan kecil, dan air keras, mereka betah duduk berjam-jam di bawah terik mentari demi menunggu calon penjual emas. Perempuan berusia 19 - 50 tahunan ini membuka jasa dari jam 10.00 hingga 18.00 WITA. Waktu senggang menunggu pelanggan diisi para pengamplung dengan kegiatan membuat canang atau merangkai hiasan janur guna kepentingan upacara di rumah atau desa mereka.
Mariani : Sabar menunggu pelanggan
Keberadaan pengamplung di kawasan jalan Diponegoro ditengarai sudah ada sekitar 15 tahun. Profesi ini makin banyak dijumpai semenjak bermunculannya toko emas di seputar kawasan Jalan Diponegoro dan Jalan Hasanuddin (Mariani, wawancara, 1 Juni 2013). Para pengamplung rata-rata ber modal Rp. 1 juta tiap hari. Modal di peroleh melalui pinjaman teman dan jarang diakses melalui bank karena khawatir terkena bunga tinggi. Jasa yang dijalankan pengamplung sederhana. Pengamplung menunggu calon penjual emas, terima emas, ditimbang berat, diuji kemurniannya, ditaksir lewat timbangan kecil dan langsung bayar pada penjual.
Saat bertransaksi : Menimbang taksiran gram emas Transaksi jasa pengamplung emas mirip di toko emas. Hanya saja perbedaannya terletak pada harga jual yang miring sebab kebanyakan emas yang dijual kondisinya rusak, hilang sebelah, atau tidak disertai surat resmi. Pada situasi ini pengamplung punya peluang menekan harga seminim mungkin. Jasa pengamplung dianggap solusi bagi orang yang butuh uang cepat sebab tanpa prosedur berbelit seperti penyertaan surat pembelian. Saat pelanggan butuh uang mendadak, sewaktu-waktu mereka menelpon jasa pengamplung. Kondisi ini menciptakan relasi transaksi yang erat diantara keduanya (Mariani, wawancara, 6 Juni 2013). Kisaran harga perhiasan kondisi patah Rp 300.000/gram, sedangkan kondisi bagus laku Rp 380.000/gram. Kondisi ini bisa berubah tergantung kondisi, kadar karat dan fluktuasi harga emas. Pengamplung tidak mau menerima emas batangan karena tidak punya alat cek khusus dan biasanya menyarankan berhubungan dengan pengepul. Setelah bertransaksi, pengamplung ada yang langsung menyetor hasilnya ke pengepul atau menunggu beberapa hari. Hal ini karena pengamplung menanti perubahan harga emas agar keuntungannya lebih banyak. Apabila terdapat perubahan harga emas,-- terkadang sehari bisa berfluktuasi hingga tiga kali--, informasi cepat menyebar ke sesama pengamplung serta pengepul. Setelah terkumpul,
pengepul melebur menjadi bentuk emas batangan 24 karat dan dua minggu sekali dijual ke toko emas dengan harga satu gram mencapai Rp. 400.000 (Mariani, wawancara, 6 Juni 2013). Pengamplung membatasi aktifitasnya hingga 18.00 WITA. Mereka tidak berani beraktifitas hingga malam hari sebab sebelumnya ada pengamplung tertipu akibat cahaya lampu sepanjang ruas Jalan Diponegoro kurang terang. Pengamplung terkecoh tembaga yang dilapisi emas. Saat perhiasan digosok tetap terlihat kuning menyala. Hanya saja saat dipotong, ternyata di dalam hanya tembaga. Akibatnya pengamplung merugi hingga enggan bertransaksi malam hari (Mariani, wawancara, 1 Juni 2013). Pengamplung resisten terhadap tindak kriminal, apalagi yang menjalankan jasa ini adalah perempuan. Pengamanan dan pembinaan dari pemerintah maupun aparat keamanan setempat masih belum optimal. Tercatat hanya di 2008, Poltabes Denpasar mengadakan himbauan pada pengamplung agar waspada terhadap emas curian yang biasanya dijual harga miring. Saat itu aparat keamanan memberi himbauan agar pengamplung dilarang membeli emas tanpa dilengkapi surat serta menelusuri apakah emas tersebut adalah milik sah atau hasil curian. Larangan ini makin jadi perhatian terlebih saat mencuat kasus perampokan dan penadahan hasil curian emas yang melibatkan pengamplung emas di awal Mei 2013 silam (Bali Post, diakses 13 Mei 2013). Pihak Poltabes sempat memberikan jaminan perlindungan apabila ada pengamplung yang berani menjadi saksi kasus jual emas curian (Bali Post, diakses 22 Oktober 2008). Sosialisasi ini memang dianggap pengamplung terlalu mengada-ada karena tak pernah ada realisasi (Mariani, wawancara, 6 Juni 2013). Pengamplung tak menghiraukan himbauan tersebut sebab justru dari emas tanpa surat itulah mereka bisa mendapatkan nafkah.
Perempuan Penanggung Beban Ganda Salah satu sosok pengamplung yang menjalankan jasanya di trotoar Jalan Diponegoro bernama Ketut Mariani. Ketut Mariani adalah narasumber penelitian ini. Mengikuti pemetaan gender sebagai perempuan asal Banjar Lekok, Desa Sampalan, Kabupaten Klungkung ini adalah penanggung beban ganda (double burden) dalam keluarga. Mariani menanggung nafkah utama keluarga disamping menjalankan rutinitas pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga. Suami perempuan berusia 44 tahun ini bernama Wayan Suirta. Wayan Suirta menentu sebagai pengerja hotel kawasan Kuta.
berpendapatan tak
Beban ganda partisipasi perempuan dalam dunia kerja, termasuk sektor in-formal lebih menyangkut pada keterbatasan pilihan akibat persepsi definisi kerja yang berbenturan dengan peran domestik perempuan. Pilihan atas jenis profesi pengamplung karena selain dianggap cepat menghasilkan uang, juga akibat ketiadaan akses pendidikan mencukupi (Mariani, wawancara, 27 Mei 2013). Migrasi pekerjaan yang dimungkinkan dijalani Mariani adalah sektor yang tak mempersyaratkan kualifikasi pendidikan khusus melainkan lebih pada pengalaman atau skill tertentu, salah satunya profesi pengamplung emas ini. Mariani menjalankan peran gandanya, baik di ranah publik maupun domestik secara bersamaan. Meski tidak memperoleh imbalan materiil yang imbang dengan beban pekerjaannya, Mariani tetap menerima sebagai ujud kewajiban (dharma) yaitu membantu beban ekonomi keluarga. Realitas beban ganda ini dipertegas dengan kondisi ketidakadilan gender yang melekat pada kultur masyarakat dimana Mariani berada. Aktualisasi kondisi ini tercermin dari tutur Mariani atas pemaknaan gender, baik pada ranah aktifitas profesi maupun relasi keseharian dengan institusi masyarakat adat maupun keluarga besarnya. Pada konteks pengalamannya secara individual, Mariani mengakui gender preference mereka lebih condong ke anak laki-laki. Alasan mengemuka bahwa anak laki-laki merupakan pelanjut keturunan sekaligus pewaris kepemilikan warisan keluarga (Mariani, wawancara, 16 Mei 2013). Penuturan Mariani di dominasi sistem nilai yang dianut mayoritas warga, yaitu merepresentasikan kekuatan hegemoni patriarki. Pengalaman masa kecil hingga saat memegang peran sebagai ibu di ranah domestik, dominasi nilai patriarki dipahami sebagai kelumrahan, konsekuensi yang harus diterima tanpa perlawanan atau upaya resistensi lainnya. Hal ini karena sistem nilai yang dianut publik mendominasi alam pikir Mariani sehingga tidak membawa pada kondisi kesadaran guna mengubah atau melakukan praktek baru diluar aturan nilai tersebut. Beberapa sistem nilai ini teraplikasi pada pengalaman Mariani atas perlakuan orangtua berikut keluarga besarnya di masa lalu, seperti tentang prioritas pendidikan, konsep reinkarnasi, relasi masa kecil, hak waris hingga pilihan gender yang menempatkan anak perempuan tetap bernasib sebagai sub-ordinasi anak laki-laki. Akibatnya, pada ranah domestik kondisinya juga tak beranjak jauh. Pengalaman yang diterima, Mariani tak mendapatkan prioritas pendidikan dengan putus sekolah dasar dibandingkan saudaranya laki-laki yang menamatkan pendidikan
menengah. Hal lain, kebiasaan Mariani di masa kecil, kebanyakan diisi dengan melakukan aktifitas perempuan yang dekat dengan figur ibu (Mariani, wawancara, 19 Mei 2013). Pemahaman ketaksetaraan gender hanya dipahami sebagai realitas yang harus diterima dan bukan untuk ditolak. Cerminan atas hal ini, Mariani berada dalam situasi ketidaksadaran atau ketidakpahamannya tentang kesetaraan gender bahwa semenjak kecil, prosesi menuju dewasa hingga memiliki institusi keluarga mandiri, dirinya berada dalam lingkungan konservatisme keluarga patriarki. Meski ada upaya praktek baru dalam keluarga untuk menyeimbangkan peran anak perempuan dan anak laki-laki, namun pilihannya cenderung terabaikan oleh sistem nilai berlaku umum di Bali (baca : hegemoni budaya patriarki). Kondisi ini tercermin pada tindakan Mariani memberikan kesempatan sama bagi kedua anak perempuan dan satu anak laki-lakinya mengakses jejang pendidikan tinggi. Memberikan peluang menempuh studi kepada kedua anak perempuan merupakan hal dipandang lumrah pada konteks sekarang. Kesempatan pendidikan yang abai pada pendikotomian antara anak berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Hanya saja, betapapun tinggi ketiga anaknya menempuh pendidikan, Mariani mengakui bahwa kondisinya tak akan mengubah konsepsi sistem nilai yang berlaku umum. Seperti hak waris akan jatuh kepada anak laki-laki karena bagaimanapun pemahamannya anak laki-laki memiliki tanggungjawab besar dalam keluarga, beberapa diantaranya tanggung jawab mengasuh kedua orangtua di masa tua serta pengabenan (Mariani, wawancara, 19 Mei 2013). “Menurut saya peran perempuan dan laki-laki sama saja. Bahkan dalam keluarga, anak perempuan sebenarnya bisa diandalkan mengerjakan tugas-tugas rumah. Tapi bagaimanapun, untuk hak berupa materi, kami tetap memberikan pada anak lakilaki. Hal ini karena nanti dia (anak laki-laki, pen) akan tetap tinggal di rumah. Konsep ini turun temurun. Kalau hari tua nanti anak laki-laki akan mengurus. Atau saat kami meninggal, anak laki-laki saya akan berperan memikul tanggung jawab saat pengabenan. Tak heran kalau warisan dari turun-temurun atau “penglingsir”, yang berhak diberi hanya anak laki-laki. Kalau harta dari kerja keras keluarga (baca : hasil bekerja selama menikah di luar warisan diterima dari keluarga suami), maka harta itu bisa diwariskan pada anak laki-laki atau perempuan….” Pendapat Mariani di atas mengandung kontradiksi. Secara realitas, dirinya sebenarnya tak membedakan antara anak laki-laki atau perempuan. Hanya saja sistem nilai umum yang menganut hegemoni dominasi patriarki menjadi pembenaran yang “mengesampingkan” ragam
pandangan baru tentang kesetaraan gender, termasuk praktek tata nilai baru dalam keluarga guna menyeimbangkan peran anak perempuan dan anak laki-laki. Kepatuhan pada Sistem Nilai Patriarkhi Pada posisi di ranah publik, partisipasi Mariani lebih terepresentasi pada posisi ekonomi dan kultur ketimbang politik. Merujuk pada analogi Rachbini dan Hamid (dalam Ali 2012:121 ), partisipasi pelaku sektor ekonomi in-formal perkotaan pada organisasi sosial politik cenderung rendah. Kondisi ini akibat karakter hidup kelompok yang berpandangan bahwa faktor nasib lebih berperan; sempitnya ruang gerak politik yang tak memberi peluang bagi kalangan sektor ini menyalurkan kepentingannya; persoalan keawaman mereka terhadap representasi yang seharusnya dapat membantu kepentingannya; serta desakan pemenuhan kebutuhan hidup mendasar yang menyita seluruh waktu pelaku sektor ini sehingga partisipasi politik menjadi dianggap tidak terlalu esensial. Pada sisi ekonomi, profesi pengamplung yang dijalankan Mariani menunjukkan makna dharma atau kewajiban yang harus dilakukan sebagai perempuan Bali.
Kondisi ini tetap
dilakukan meski tingkat upah yang di dapat rendah. Sesuai tipologi Bayat (2010:13), pilihan Mariani menjalani profesi ini adalah pijakan guna memperoleh taraf hidup lebih baik dari sebelumnya. Pola profesi yang banyak dijalankan perempuan ini cenderung mengidentikan diri pada ikatan kolektif berdasarkan kesamaan tempat tinggal karena dianggap aman buat dirinya. Aman pada konteks ini mengarah pada kepentingan untuk menghindar atau mengatasi hambatan yang akan ditemuinya (Bayat, 2010:15). Meski pilihan atas profesi ini masih kerap terdeskriminasi oleh perlakuan tak imbang dari pihak laki-laki sehingga digambarkan sebagai kondisi subyek yang tertekan (terpinggirkan) mayoritas kekuatan patriarki, namun Mariani, sebagai perempuan Bali, menerimanya sebagai konsekuensi untuk tetap menjalani peran domestik. Tutur yang disampaikan Mariani lebih mengarah pada sekedar berbicara tentang pengalaman diri dan tidak merujuk pada tindakan kesadaran kolektif tertentu. Beban ganda nampak saat Mariani melakukan aktifitas ekonomi, dirinya juga masih mengerjakan peran domestik. Kondisi ini teraplikasi pada stereotipe (anggapan) pihak laki-laki, dalam hal ini suami Mariani, terhadap profesi yang dijalankannya untuk tetap mengurus persoalan domestik, seperti pengambilan raport anak (Mariani, wawancara, 27 Mei 2013). “…Kebanyakan saya yang sering ambil raport anak-anak. Saya dianggap Bapak (baca : suami Mariani) punya jam kerja fleksibel. Padahal sebenarnya Bapak juga punya cukup waktu…..”.
Jarak antara sekolah anak-anak dengan tempat Mariani bekerja sekitar 43 kilo meter. Setiap hari Mariani harus pulang pergi dengan motor untuk menjalankan usahanya sebagai pengamplung. Beban domestik yang dijalankan Mariani tak hanya itu. Rangkaian ritual harian juga dilaksanakan sebelum berangkat kerja, seperti mebanten, dan aktifitas lainnya. Bahkan pada waktu tertentu, Mariani dan rekan seprofesinya memilih datang bergiliran saat terdapat rangkaian upacara di desa. Perlu diketahui, profesi pengamplung di kawasan Jalan Diponegoro sebagian besar dijalankan oleh perempuan yang berlatar belakang tempat tinggal sama, yaitu desa Sampalan.Masuknya perempuan pada profesi pengamplung lebih banyak karena ajakan teman yang berhasil dan dilakukan getok tular dari mulut ke mulut (Mariani, wawancara, 1 Juni 2013). Kondisi inilah yang akhirnya memperkuat ikatan jaringan kolektif antara mereka, termasuk pembagian kerja saat mengikuti upacara di desa serta ketiadaan persaingan usaha diantara mereka. Secara kultural, Mariani sebagai bagian anggota komunitas desa adat memiliki kepatuhan tinggi atas nilai yang sebagian besar mengarah pada hegemoni budaya patriarki. Salah satunya seperti pengalaman saat pernikahan. Seperti nasib perempuan yang menikah pada kultur masyarakat Bali umumnya, Mariani menjalani prosesi pernikahan diawali prosesi ngidih, atau permintaan ijin kepada orang tua perempuan oleh pihak keluarga laki-laki yang masih kerabat di satu banjar. Lamaran pihak laki-laki berupa pangkonan berupa satu kilogram beras dan telur, menginisiasi masuknya Mariani pada keluarga laki-laki dengan didahului prosesi berpamitan pada pelinggih Batara Hyang Guru pihak perempuan. Sejak prosesi inilah, Mariani masuk pada keluarga suami (Mariani, wawancara, 16 Mei 2013). Konsekuensinya, Mariani tunduk pada seluruh aturan dan tata nilai umum sang suami yang merujuk pada nilai budaya patriarki, termasuk menanggung beban pekerjaan domestik dan publik sebagai suatu bentuk dharma (kewajiban) yang harus dijalankannya. Konsepsi yang dibangun Mariani pada anak-anaknya juga sama. Hal ini karena sistem nilai umum yang dianut adalah turun temurun tanpa melakukan perubahan. Meski pada konteks kekinian melalui keluarga inti Mariani mencoba praktek nilai baru berdasarkan kesetaraan antara anak laki maupun perempuan, tetapi semua itu sekedar refleksi ideal perbaikan atas pengalaman
hidup yang pernah diterimanya. Refleksi ini tak punya kekuatan pengubah saat harus dihadapkan pada sistem nilai patriarki yang berlaku umum. Pendapat Mariani,-- begitu pula sebagian besar perempuan seperti dirinya--, pada konteks kultur, menerima kondisi ini sebagai nasib perempuan Bali yang “harus” diterima apa adanya. Penuturan pendapat Mariani bahwa harapan terbesar dirinya adalah peran anak laki-lakinya terkait tanggungjawab atas kehidupannya,---baik saat masa tua maupun pengabenannya nanti--, adalah cerminan betapa kultur membentuk sedemikian rupa pemahaman Mariani tunduk pada sistem nilai ini, tanpa harus menolak ataupun merubahnya (Mariani, wawancara, 16 Mei 2013). Analog pendapat Giddens (1984:7) mengenai elemen teori strukturasi, ketidaksadaran Mariani bermakna pembenaran atas legitimasi kuasa hegemoni patriarkhi yang berlangsung pada saat dirinya berperan sebagai individu, domestik maupun publik. Beban ganda Mariani adalah refleksi ketidaksadarannya
untuk menerima sistem nilai patriarkhi yang telah masuk pada
struktur peran yang dijalani. Struktur tersebut meliputi pilihan gender, hak waris, konsep pernikahan, prioritas pendidikan, termasuk pengelolaan keuangan keluarga yang masih mendasarkan pendapat laki-laki (baca : suami Mariani). Ego Mariani sebagai subyek individu harus
direlakan
ter-subordinasi
sistem
nilai
patriarkhi,
--berikut
agen-agen
yang
menjalankannya--, serta kesemuanya diterima sebagai kebenaran umum. Struktur masyarakat dimana Mariani berada, menganut sistem nilai hegemoni patriarkhi yang cenderung memperlambat proses terciptanya ruang kesadaran bebas dominasi. Lycette (1994:10) menengarai konsekuensi perempuan seperti Mariani yang menjalankan dua peran sekaligus, domestik maupun publik, banyak terbatasi waktunya untuk berpartisipasi pada aktifitas lain yang sebenarnya bisa memberdayakan dirinya. Kondisi ini diperparah minimnya akses pendidikan yang mempersempit pilihan jenis kerja; hambatan kultural terkait pembagian kerja secara seksual; serta pola interaksi perempuan dengan laki-laki mengenai waris dan pernikahan yang serba membatasi ruang gerak perempuan. Kesimpulan dan Rekomendasi Pekerja perempuan Bali di sektor in-formal, khususnya jasa pengamplung emas adalah penanggung beban ganda (double burden). Mereka menjalankan rutinitas pekerjaan publik sekaligus domestik (rumah tangga). Pada masing-masing ranah pekerjaan ini memiliki kecenderungan yang abai terhadap kondisi kesetaraan gender. Pemetaannya adalah sebagai berikut :
Hambatan Pekerjaan Domestik Hambatan Pekerjaan Publik Internal : Internal : - Kepatuhan pada sistem nilai - Stereotip sektor in-formal punya patriarkhi menyangkut fleksibilitas waktu, sehingga tanggungjawab anak laki-laki atas dijadikan alasan pihak laki-laki masa depan orang tua, --termasuk (suami) tetap menugaskan pihak ibu--, seperti pemeliharaan di masa perempuan (istri) melaksanakan tua atau pengabenan. Nilai ini pekerjaan domestik; mengandung makna pengharapan - Terbatasnya akses migrasi pilihan yang baik, sehingga tak perlu ditolak pekerjaan akibat minimnya atau dirubah. pendidikan. Eksternal : Eksternal : - Penerimaan sistem nilai patriarki - Prioritas pada pemenuhan kebutuhan sebagai dharma (kewajiban) yang hidup mendasar menyita seluruh harus dijalani, tanpa memunculkan waktu pelaku sektor ini sehingga kesadaran kolektif untuk persoalan akses partisipasi tidak memberontak. menjadi prioritas yang perlu diperhatikan; - Ketiadaan perlindungan jaminan keselamatan kerja dari pihak Negara (baca : pemerintah)
Meski pada konteks sekarang melalui keluarga inti para pekerja perempuan sektor informal mencoba mempraktekkan sistem nilai baru yang didasarkan kesetaraan laki-laki atau perempuan, namun hal tersebut masih sebatas sekedar refleksi ideal perbaikan atas pengalaman hidup yang pernah diterima. Refleksi ini tak punya kekuatan pengubah apapun saat dihadapkan pada sistem nilai patriarki yang berlaku umum. Ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan. Pertama, perlu sinergi berbagai pihak, antara lain aktifis gerakan perempuan, pemerintah, akademisi, serta perempuan di setiap lapis jenis pekerjaan, baik sektor formal maupun in-formal guna mewujudkan gerakan sosial yang menumbuhkan kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif ini tentu tak bisa secara instan mengubah sistem nilai patriarkhi yang berlaku di Bali. Hal terpenting adalah menanamkan pemahaman di kalangan perempuan pelaku sektor informal terhadap usaha keberdayaan di balik pemaknaan fungsi beban domestik dan publik yang mereka jalani. Kedua, perlu pewadahan aspirasi mereka yang secara pro-aktif dilakukan institusi negara. Definisi institusi ini merujuk pada birokrasi maupun pejabat politik yang ada di dewan perwakilan rakyat. Pada kondisi ini, yang perlu ditekankan hegemoni negara yang terkesan
mempertahankan budaya patriarkhi harus membuka perhatian pada penyampaian aspirasi hak perempuan termasuk pelaku sektor ekonomi in-formal.
DAFTAR RUJUKAN PUSTAKA
-
Ali, Faried, 2012, Studi Analisa Kebijakan, Bandung : Refika Aditama;
-
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali, 2011, Statistik Gender Provinsi Bali, Bali : Pemerintah Provinsi Bali;
-
Bali Post, 22 Oktober 2008;
-
Bali Post, 13 Mei 2013;
-
Bayat, Asef, 2010. Life as Politics : How Ordinary People Change the Middle East, Amsterdam : ISIM/Amsterdam University Press;
-
Giddens, Anthony, 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration, Cambridge : Polity Press;
-
Lycette, Margaret. 1994. Adjusting Projects to Overcome Constraints on Women Forum (No 7). Participation and Gender : USAID;
-
Mariani, Wawancara tanggal 15 Mei, 16 Mei, 19 Mei, 20 Mei, 22 Mei, 27 Mei, 1 Juni, dan 6 Juni 2013.
Laporan Penelitian Women in Political Effectivenes Peneliti :Tedi Erviantono Sektor :Pekerja Non-Formal Lokasi : - Pedagang Makanan Minuman Malam Hari Jl. Gatot Subroto Barat, Kerobokan, Badung - Pedagang Makanan Minuman Malam Hari Jl. Ida Bagus Mantra Gianyar - Café Bintang, Jl By Pass Denpasar-Gianyar , Kabupaten Gianyar - Panti Pijat Dewi Kasih, Jl Tukad Alas Arum No.12 Denpasar - Manika Sari Massage, Jl Sidakarya Pendidikan No. 99 Denpasar - Pedagang Emas Asong (Jasa Pengamplung), Jl. Diponegoro Denpasar Narasumber :
Kadek Darmi Dianti, Wayan Numi, Nyoman Yani, Ni Luh Ayu, Putu Ari, Made Eva, Ni Kadek Nia, Wayan Sukerti, dan Ni Nyoman Artini
Narasi : Problematika yang dihadapi kalangan perempuan pekerja sektor non formal secara umum adalah ketiadaan akses melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Posisi perempuan sebagai sub ordinat laki-laki dalam keluarga dinyatakan beberapa narasumber. Mereka memberikan peluang saudaranya laki-laki untuk menuntut ilmu ke jenjang pendidikan lebih tinggi, meski terdapat keinginan dari pihak anak perempuan, tapi dihalangi orangtua. Alasan lain mengemuka di sektor ini adalah aspek ketiadaan biaya atau keterbatasan ekonomi. Beberapa narasumber menyatakan perempuan sebagai penyangga utama ekonomi keluarga. Kondisi ini dilatarbelakangi ketidakpastian pendapatan dari bidang usaha suami, seperti kerajinan, serta komitmen perempuan menafkahi keluarga meski kondisinya sudah berpisah (bercerai) dan harus merantau ke wilayah lain. Kadek Darmi Dianti : Prioritas Pendidikan bagi Saudara Laki-Laki Narasumber pertama, Kadek Darmi Dianti asal Kabupaten Karangasem. Narasumber berusia 17 tahun ini merupakan pekerja sektor non formal, penjual makanan nasi jingo dan minuman malam hari yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto Barat, Kerobokan, Badung. Kadek Darmi mengaku berjualan sejak usia 15 tahun. Kadek Darmi merupakan bungsu dua bersaudara. Kedua orang tua Kadek Darmi Dianti merupakan buruh petani. Saat usia Kadek Darmi menginjak usia 11, ibunya memilih berpisah . Alasan keterpisahan tidak terjelaskan secara pasti, namun setelah perceraian ayahnya memilih menikahi perempuan lain. Kadek Darmi dan kakaknya laki-laki ikut pihak ayah. Kakak laki-laki Kadek Darmi duduk di kelas XI Sekolah Menengah Teknik di Karang Asem. Kadek Darmi memilih bekerja, karena pilihan tersebut merupakan keputusannya sekaligus kehendak orangtua. “Sebenarnya sih ingin lanjut sekolah, tapi biar kakak saya lah yang lulus sekolah. Saya memilih bekerja saja, cepat dapat uang, toh orangtua saya inginnya juga begitu”, ungkap Kadek Darmi. Kadek Darmi memilih tidak menamatkan SMP dan memberikan kesempatan/ peluang kepada kakak laki-lakinya melanjutkan sekolah. Sadar keterbatasan pendidikan formal yang dimiliki, selepas kelas VII SMP, Kadek Darmi merantau. Itupun atas dorongan orang tuanya agar mencari nafkah di rantau. “Ayah bilang saya sebaiknya kerja. Saya gak punya apa, apalagi ijasah, yang penting bisa dapetin duit”, ucap Kadek Darmi. Ayah Kadek Darmi menginginkan agar di kota dirinya bisa memperoleh bekerja dan memperoleh uang . “Itu kemauan ayah, ya saya harus menuruti. Pulang saat ada upacara di rumah dan itu butuh duit banyak. Maka saya harus bekerja, biar dapet duit banyak”, ungkapnya.
Kadek Darmi merantau di kota Denpasar. Awalnya bekerja sebagai pelayan di toko snack kawasan WR Supratman. Pekerjaan tersebut dilakukan pagi hari, jam 08.00-17.00 WITA. Mengingat upahnya 400.000/bulan, Kadek Darmi merasa tidak mencukupi kebutuhan kesehariannya seperti kost, membeli kosmetik, apalagi menabung. “Kerja di toko nggak cukup untuk rumah (kebutuhan keluarganya di Karangasem). Apalagi butuh beli pulsa, bedak, dll. Saya mesti cari kerja sampingan nyukupin itu semua”, ungkapnya. Karena ajakan teman, maka dirinya memilih berjualan makanan minuman sepanjang Jalan Gatot Subroto Barat, Kerobokan, Badung. Aktifitas pekerjaan dijalankan sepulang Kadek bekerja di toko kue. Kadek berjualan makanan minuman malam hari, dari jam 19.00-02.00 WITA. Menariknya, sebagian penjual makanan minuman kawasan Jalan Gatot Subroto ini memiliki image layanan seks plus-plus dan punya riwayat tersendiri (lihat boks). Pendapatan Kadek Darmi dari penjualan antara Rp. 20.000-Rp. 30.000 semalam. Itupun tergantung dari pembagian hasil majikan dan sepi ramainya pembeli. Apabila tamu mengajak kencan, Kadek Darmi meraup untung dari aktifitasnya tersebut sebab majikan tidak menuntut setoran apa-apa (diluar kesepakatan kerja). Kadek Darmi mengakui menjalankan aktifitas ini karena makin sempitnya peluang kerja, apalagi tak punya latar belakang pendidikan mencukupi. “Cepat dapet duit, makanya saya jalani. Nyantai aja lah, yang penting barang dagangan diborong habis, saya cocok, ya jalan deh. Yang penting duit, sayapun pilih-pilih. Gak semua orang saya mau jalan”, ungkapnya. Menerima ajakan berkencan adalah alternatif yang dipilih Kadek menambah penghasilannya. Posisi tawar yang rendah dalam bagi hasil penjualan dengan majikan serta kondisi keluarganya yang broken home, adalah faktor Kadek Darmi memilih jalan ini. Menjalani pekerjaan sebagai penjual makanan minuman sepanjang jalan Gatot Subroto yang berimage negatif telah dipahami Kadek sebelumnya, termasuk kerap menerima perlakuan kasar dari pihak laki-laki, seperti perkataan melecehkan hingga memaksa berhubungan badan. Hanya saja, kadek memahami ini sebagai hal lumrah yang ia terima dan bukan sebagai tindak pelecehan seksual. “Saya tahu kalau jualan disini, memang sering digoda-goda. Saya sih senang kalau digoda (dirayu) apalagi yang masih seumuran. Kalau pengen duit banyak, maka saya bisa betah jualan di Sabtu dan Minggu sampai jam 4 pagi. Yang penting setelah punya duit banyak saya pulang ke kampung karena butuhnya juga banyak”, ungkap Kadek yang mengaku juga punya pacar yang sebaya dengan dirinya. Saat ditanya mengenai akses mengenai penyaluran aspirasi pada pemangku kepentingan (Pemerintah, DPRD), Kadek Darmi tidak mengetahui apa-apa. Tidak tahu politik itu apa, tidak mengenal siapa wakil rakyatnya, maupun ketiadaan upaya pemerintah dalam mengelola persoalan para penjual sector non formal adalah jawaban Kadek Darmi. “ Saya tidak tahu politik. Yang penting cari duit. Kalaupun ada, saya tiap hari bayar ke pecalang banjar Rp. 3.000. Gak ada pemerintah atau penertiban mendekati kami disini”, ungkap Kadek Darmi. Penjaja Makanan dan Minuman Malam Hari Kawasan Gatot Subroto Barat, Kerobokan – Badung dan Ida Bagus Mantra, Gianyar Penjaja makanan minuman kawasan Gatot Subroto Barat dan Ida Bagus Mantra memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan, lokasinya berada di jalan arteri utama yang ramai dilewati kendaran besar, seperti truk, angkot dan bus pariwisata. Penjaja makanan di kedua tempat ini dimulai 19.00 hingga 04.00 WITA. Kecuali Sabtu malam, karena ramai oleh grup/gank remaja atau pemuda bersepeda motor, mereka berjualan hingga 05.00 WITA. Jenis makanan dan
minuman yang dijual antara lain nasi jinggo, kopi beragam merk (ABC, Kapal Api), minuman suplemen dan softdrink (Kratingdaeng, Coca Cola, Pocari Sweat, Sprite), limun merk lokal, bir bintang botol besar dan kecil, kacang kulit, selain itu dijual pula rokok beragam merk yang diletakkan pada toples plastik. Nasi jingo dibandrol harga Rp. 4.500, sedangkan segelas kopi seharga Rp. 5000,-.
Penjaja Jalan Ida Bagus Mantra : Menunggu Pembeli di Senja Hari
Sebagian penjaja makanan minuman di kedua tempat ini dikenal sebagai pemberi layanan plus atau penyedia jasa layanan prostitusi terselubung. Tak heran, lakilaki yang minum kopi atau membeli makanan, sebagian besar berkeinginan mengajak kencan penjual. Modusnya, dari dua orang penjaja makanan, satu orang menunggui jualan, satu orang lagi diajak kencan pembeli. Kalaupun seorang diri, maka pembeli memborong habis makanan yang dijajakan karena penjual bisa dapat jaminan setor hasil ke majikan dan bisa diajak berkencan dengan didahului kode bahasa “borong nasi jinggo daging”. Tempat kencan pun variatif, di tempat remang-remang / semak dimana mereka berjualan (seperti di Gianyar), atau check in di hotel melati dekat kawasan Terminal Ubung Denpasar. Aktifitas kencan pun dibandrol harga berbeda, kisarannya Rp. 50.000-400.000 untuk oral seks (ditempat) hingga berhubungan badan (di hotel). Pengunjung variatif dari remaja, anak muda hingga orang tua yang berprofesi pelajar, mahasiswa, buruh bangunan sampai sopir truk. Perbedaannya, penjaja makanan minuman Gatot Subroto Barat sudah ada sekitar 13 tahun lalu, sedangkan di Jalan Ida Magus Mantra sekitar 7 tahunan dan kebanyakan pindahan dari Kesiman. Sebelum bom Bali, perempuan penjaja banyak berasal dari Jawa. Saat itu seringkali ada patroli Satuan Polisi Pamong Praja Pemkab Badung atau Kota Denpasar. Tapi setelah kejadian bom Bali, perempuan penjaja makanan minuman di Gatot Subroto Barat yang dari Jawa menyingkir dan berkurang. Kebanyakan penjual berasal dari Bali, seperti Karangasem dan Buleleng. Pada saat itulah, praktis tidak ada kontrol Satpol PP dan sepenuhnya penjual membayar keamanan / ketertiban pada pecalang banjar setempat sebesar Rp. 3000,-/ hari. Perbedaan lain, penjual Kawasan Gatot Subroto Barat wajib setor hasil penjualan makanan minuman pada majikan pemilik, sedangkan Kawasan Ida Bagus Mantra tidak ada kewajiban setor karena makanan (nasi jingo) berasal dari pemasok lepas dan minuman adalah milik penjaja sendiri. Jumlah penjaja makanan dan minuman di Jalan Gatot Subroto Barat sekitar 14 penjual, sedangkan di Jalan Ida Bagus Mantra sekitar 11 penjual. Itupun bisa berkurang atau bertambah karena ketiadaan kontrol pemerintah daerah maupun lembaga lokal setempat.
Wayan Numi : Istri Kedua dan Larangan Me-banjar Narasumber kedua, Wayan Numi berusia 30 tahun. Wayan Numi merupakan perempuan berdarah Jembrana - Banyuwangi dan memiliki kisah berbeda dengan Kadek Darmi. Meski sama-sama berjualan makanan minuman kawasan Jalan Gatot Subroto Barat, Numi terlebih dahulu berjualan di kawasan ini, kurang lebih 5 tahun. Perempuan kelahiran Jembrana tahun 1983 ini pernah dijadikan istri kedua dan memiliki anak laki-laki. Akses Numi bekerja di sektor non formal ini akibat ketiadaan pilihan bekerja di sektor formal. Pendidikan rendah serta kemiskinan yang membelit keluarganya merupakan pendorong Numi mencari pekerjaan dan sektor non formal karena dianggap lebih cepat menghasilkan uang dan tak mempersyaratkan keahlian atau pendidikan khusus. “Lebih cepat mendapatkan uang dan hasilnya bisa untuk hidup anak saya”, ungkapnya. Pengalaman bekerja sebagai penjual makanan minuman wilayah Jalan Gatot Subroto diakuinya berpredikat miring. Di tempat ini, Numi mendapatkan keuntungan perhari Rp. 20.000. Kalau hari ramai pembeli bisa naik dua kali lipat, seminggu pendapatannya bersih bisa mencapai Rp. 250.000. Hal tersebut diluar tips pembeli yang mengajaknya berkencan di luar. Numi menerima ajakan kencan apabila cocok dan pembeli mau memborong habis nasi jinggo yang ia jual. Numi mengaku kerap mendapat perlakukan tidak senonoh dari pembeli, hanya saja tetap menerimanya sebagai konsekwensi sebagai penjual makanan minuman sepanjang Jalan Gatot Subroto Barat. “Tidak semua penjual disini bisa diajak kencan. Hanya saja bagaimanapun orangnya, kalau sudah jualan disini, harus tetap mau menerima perlakukan tersebut karena anggapannya jalan ini sudah demikian (tempat transaksi prostitusi terselubung)”, ungkapnya. Di tempatnya berjualan, Numi pernah berkenalan dan dinikahi pria asal Badung. Hanya saja pria ini sudah berkeluarga dan memiliki satu orang anak. Atas seijin istri pertama, Numi dinikahi pria tersebut dan diajak tinggal bersama istri pertama. Pernikahan Numi dan pria tersebut dianugerahi anak laki-laki. Mulanya kehidupan rumah tangga Numi berjalan lancar. Hanya saja, karena perlakuan kasar keluarga suami dan masyarakat sekitar, maka Numi menghendaki berpisah dan membawa hak pengasuhan anak pada dirinya. “Istri suami saya sih baik. Kami bisa rukun. Namun keluarganya (keluarga suami) yang memperlakukan saya tidak layak. Bahkan karena saya hanya istri kedua, saya dinyatakan tidak ada kewajiban me-banjar. Saya kadang jadi gunjingan. Saya pikir kalau jadi omongan, kasihan anak saya nanti, maka saya milih berpisah dan anak saya biar ikut saya”, ungkap Numi yang mengaku sebenarnya suaminya dulu masih perhatian kepada dirinya. Numi akhirnya menjadi kepala rumah tangga perempuan yang harus menghidupi anaknya seorang diri. Ia menggelar dagangannya jam 19.00 – 02.00 WITA. Numi memilih membesarkan anak seorang diri dan tidak berani pulang kampung karena keluarga tidak menganggap dirinya lagi. Menurut pengakuan Numi, keluarganya broken home, ayah ibunya bercerai saat dirinya masih remaja. Oleh karena itu, pilihan pekerjaan di sektor non formal di Jalan Gatsu Barat ia jalani tanpa beban. Bagi Numi, yang terpenting mendapatkan penghasilan secara instan, demi masa depan anaknya. Nyoman Yani : Kerap Dilecehkan Pembeli Laki-Laki Usia ibu dua anak ini memang paruh baya, 38 tahun. Memilih berdagang, karena upah suami yang bekerja sebagai buruh Proyek Pecatu tidak menentu. Nyoman Yani mengaku tidak memiliki pendidikan atau keahlian mencukupi, sehingga satu-satunya akses yang dimungkinkan
bekerja sebagai penjual makanan minuman malam hari sepanjang jalan Ida Bagus Mantra By Pass Gianyar. Yani berjualan sudah tiga tahun dan sebelumnya ia berjualan di daerah Kesiman. Karena sepi pembeli, Yani pindah tempat ke Jalan Ida Bagus Mantra yang dianggapnya lebih ramai. Pertimbangan cepat menghasilkan uang dan kebebasan dalam mengatur waktu menjadi tujuan Yani berjualan di sektor non formal ini. Apalagi ia harus berbagi peran dengan suami menjaga anaknya yang berusia 8 tahun dan 5 tahun. Berbeda dengan penjualan di Jalan Gatot Subroto yang harus setor pada majikan, sistem penjualan Yani dikelola sendiri . Apabila kondisi ramai pembeli, semalam bisa mengumpulkan uang Rp. 125.000. Hanya saja, pendapatannya tak menentu, tergantung pembeli. Nyoman Yani mengakui dirinya tidak melayani permintaan pembeli untuk berkencan. Kalaupun ada yang menganggap Yani bisa diajak kencan, ia memilih mendiamkan atau menolak halus. “Saya milih nolak atau didiamkan saja. Kalau diladeni, mereka sering nglunjak minta macem-macem. Kalau saya niatnya jualan tanpa gituan, ya dijalani saja. Banyak yang minta, tapi saya sadar tempat ini memang banyak yang ngladenin gituan, tapi saya nggak”, ungkapnya. Yani menyatakan banyak pembeli bersikap kasar kalau menolak berkencan bahkan ada pembeli yang mengancam keselamatan dirinya. “Macam-macam mintanya. Ada yang tiba-tiba ngajak berhubungan badan di kolong meja, belakang bangunan tempat saya berjualan, sampai ada yang nekat membuka celana dalam dan memperlihatkan alat kelaminnya pada saya. Akibat nolak, pernah suatu malam saya diserbu empat orang pria naik mobil Panther. Mereka paksa saya naik mobil dan mengancam dibawa ke hotel. Setelah saya bertengkar dan mengaku punya kenalan polisi di Polres Gianyar, mereka lantas mengurungkan niatnya dan pergi begitu saja”, ungkapnya. Meski kerap mendapatkan perlakuan yang mengarah pada tindak pelecehan seksual namun suami Yani cenderung mendiamkan. “Suami saya ndak masalah. Yang penting dapat duit dan saya masih bisa jaga diri”, jawab Yani. Saat ditanya mengenai akses aspirasi pada peran pemerintah maupun lembaga dewan, Yani hanya menjawab apatis. “Saya ndak ngurus begitubegitu lah (urusan politik). Kami hanya cari duit. Mereka juga ndak pedulikan kami kok”, ungkapnya datar. Bagi Yani, meski kasus-kasus yang terjadi di hadapannya bertendensi kekerasan dan pelecehan pada kaum perempuan, namun sama sekali tak ada upaya dari pemerintah dalam mengatasi ini. Upaya perlindunganpun tidak ada, baik dari pihak Negara (pemerintah) maupun lembaga lokal setempat, meski Yani sudah membayar keamanan atau jasa ketertiban pada pecalang banjar setempat sebesar Rp. 2.500/hari. Ni Luh Ayu : Bercerai agar Mendapat Pengasuhan Anak Ni Luh Ayu,--akrab disapa Ayu, masih berusia 20 tahun dan berasal dari Kabupaten Buleleng. Luh Ayu bekerja 8 bulan di Café Bintang, By Pass Gianyar. Ia mengakui pekerjaannya di sektor ini sebagai pelayan café atau dikenal sebagai cewek café merupakan pilihannya sendiri. Keluarga besar Luh Ayu di Buleleng tidak mengetahui pekerjaan yang digelutinya, kecuali kakak perempuan Luh Ayu yang tinggal di Kota Gianyar. Latar belakang kehidupan Luh Ayu cukup kompleks. Ia pernah menikah saat usianya 19 tahun dan bercerai dengan suami saat kandungannya menginjak 3 bulan. Pernikahan Luh Ayu dilakukan atas dasar cinta, namun pihak suami seringkali melakukan kekerasan fisik terhadap dirinya. Ayu tak bisa berbuat apa-apa kecuali menceraikan suami. Akibat tindakannya, Ayu menjadi terbuang dari keluarga maupun wilayahnya mengingat ia dan keluarga mantan suami bertetangga. “Dulu saya nikahnya sederhana hanya upacara kecil karena keterbatasan biaya di keluarga kami. Setelah nikah, kok suami sering judi, mabuk dan saya dibentak maupun dipukuli.
Saya nggak kuat dan langsung minta cerai. Meski suami nolak, tapi perceraian terjadi juga meski kandungan saya waktu itu menginjak tiga bulan. Saya nggak mau kalau pas anak saya lahir, anak saya diambil suami saya, makanya mending saat saya hamil dan belum diketahui siapa-siapa. Setelah anak saya lahir dan bercerai, suami saya malah masih ngejar-ngejar menuntut agar anak saya diserahkan pada dia (suami)”, ungkapnya. Berangkat dari kondisi itu, Ayu memilih hijrah ke Gianyar dan berdiam di rumah kakaknya. Bersama kakaknya, Ayu menjalankan jasa pekerjaan mencuci pakaian / laundry. Mengingat penghasilannya tidak seberapa, Luh Ayu mencoba mecari pekerjaan tambahan. Dari informasi rekan di Gianyar, Ayu mengadu nasib sebagai perempuan Cafe. Kakak Ayu mengetahui pekerjaan sambilan Ayu, namun keluarga besarnya di Buleleng tidak mengetahuinya. “Kalau pas pulang upacara di Buleleng, ya saya dan kakak cuman diam. Orang tua yang pasti tahunya saya kerja bantu kakak bukannya di Café”, ungkap Ayu. Penghasilan Ayu sebagai pelayan Café dikatakan lumayan untuk beli susu kaleng untuk anaknya. Meski tidak terdapat perjanjian kerja tertulis, Ayu mengerti betul bahwa pekerjaannya adalah merayu tamu agar membeli minuman bir dalam porsi cukup banyak. Apabila bir terjual maka keuntungan bagi café tersebut. Ayu menerima bagi hasil sebesar Rp. 5.000 setiap botol bir yang terjual seharga Rp. 40.000,-/botol. Belum tips dari tamu yang besarannya variatif (lihat boks). “Lumayanlah, hasil dari café ini bisa nabung untuk anak. Lebih cepat dan nggak perlu capek-capek keluar tenaga”, ungkap Ayu. Hanya saja, diakui Ayu, apabila kondisi Café sepi ia hanya menerima uang lauk sebesar Rp. 2.500,- per hari dari pemilik Café. Ayu tidak menampik kalau tamu mengajak berkencan. Tarif kencan tidak dibandrol terbuka oleh pihak Café termasuk berapa sistem pembagiannya antara pemilik dan pelayan cafenya. Hanya saja menjadi hak Ayu apabila kencan di luar jam kerja ayu, dari pukul 20.00 02.00 WITA. “Itu otomatis kalau kerja di Café lah mas. Tapi kalau ngajak nikah atau jadi simpanan, ntar dulu. Saya masih pikir-pikir, lebih baik tukar-tukaran nomor hp aja dulu”, ungkapnya. Ayu mengaku bekerja di sektor ini karena kondisi harus menghidupi anaknya seorang diri dan kualifikasi pendidikan yang hanya jebolan SMA kelas X. Keluarga tidak tergolong miskin, tapi karena khawatir aib yang ditanggungnya (bercerai), maka Ayu memilih merantau di luar Buleleng. Saat ditanyakan mengenai persoalan akses dalam penyampaian aspirasi, Ayu mengaku tahu sedikit banyak mengenai lembaga perwakilan. Hanya saja, sama dengan pendapat beberapa narasumber lainnya, Ayu apatis dengan kinerja lembaga eksekutif maupun legislatif. Bagi Ayu yang dibutuhkan adalah kepentingan untuk mencari uang demi membiayai anak dan hidupnya sendiri. Putu Ari : Tak Punya Skill “Merayu” Pria Perempuan berusia 27 tahun ini berasal dari Tabanan. Bekerja di Café Bintang sejak Agustus 2011. Berbekal pendidikannya SMA, ia melamar pekerjaan di Café ini namun bukan sebagai pelayan. Meski awalnya pemilik kebingungan penempatan Ari, akhirnya diposisikan sebagai kasir. “Saya tidak bisa kalau suruh merayu laki-laki. Maka saya ingin ditempatkan di bagian lain. Akhirnya ya di kasir seperti ini”, ungkap Ari. Suami Ari bekerja serabutan dan terkadang menerima order sebagai buruh penjahit konveksi di tempat temannya. Ari dituntut suami untuk bekerja demi hidup kedua anaknya yang masih berusia 10 tahun dan 14 tahun. Karena masih sekolah, Ari bekerja ekstra guna menopang ekonomi keluarga. Dalam sebulan ia mendapatkan gaji kurang lebih Rp. 500.000, - dari pemilik Café. Terkadang, Ari iri dengan rekan-rekannya yang seringkali mendapatkan tips berjumlah
besar dari tamu. Namun karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, ia memilih diam dan berencana pindah pekerjaan dalam waktu dekat. Melalui narasumber Ari ini, peneliti banyak mendapatkan informasi mengenai keberadaan café termasuk pola interaksi antara pemilik, pelayan dengan para tamu café. Pelayan Café Bintang Jalan By Pass Denpasar-Gianyar Sepanjang Jalan By Pass Denpasar-Gianyar, Jalan Ida Bagus Mantra bertebaran banyak Café. Keberadaan Café-Café tersebut sudah cukup lama, kurang lebih 12 tahunan. Khusus Café Bintang, arealnya memang tak begitu luas tapi cukup ramai pengunjung di hari-hari tertentu, seperti Jumat dan Sabtu malam.
Café Bintang, By Pass Gianyar Sore Hari : Lengang di hari biasa
Area parkir dijaga beberapa pria berbadan tegap atletis. Masuk ke dalam, sofa dan meja berjejer menghadap layar lebar yang fungsinya sebagai TV karaoke. Setiap pengunjung begitu masuk ruangan ditawari pemilik nama-nama pelayan Café perempuan sebagai teman sekedar ngobrol ataupun berkencan. Setelah menentukan pelayan, maka pengunjung akan ditawari pemesanan bir merk Bintang yang harganya Rp. 40.000 untuk botol besar dan Rp. 35.000 untuk bir hitam botol kecil. Disinilah kepiawaian pelayan Café perempuan untuk merayu tamu dibutuhkan, sebab semakin banyak botol bir dipesan maka makin banyak komisi yang ia terima, yaitu Rp. 5000/botol. Setelah bir dipesan dan perempuan pelayan Café menemani mengobrol tamu, maka suasana berubah temaram dan hanya lampu disko yang menyala. Di situ pulalah transaksi berkencan dimungkinkan terjadi antara tamu dan perempuan pelayan cafe. Apabila kencan dilakukan di luar jam kerja maka hanya cukup bertukar nomor HP dan tidak perlu sharing komisi ke pihak pemilik. Namun apabila tamu langsung ingin kencan di Café tersebut, pihak pelayan café membandrol Rp. 350.000,- sekali kencan di kamar-kamar yang disediakan khusus di samping bangunan utama cafe. Tidak jelas berapa sharing yang diterima pemilik, namun kabarnya Rp. 275.000,- untuk pemilik, selebihnya untuk pelayan café yang diajak berkencan. Disitu ia akan menerima tambahan uang tips dari tamu. Apabila hanya mengobrol tanpa mengajak berkencan, maka tamu cukup member tips sebesar Rp. 10.000-Rp. 20.000 tergantung kesukarelaan tamu yang bersangkutan. Meski pihak café tidak terbuka memberikan informasi ini mengingat khawatir dianggap sebagai tempat prostitusi, namun café-café ini lepas dari operasi aparat keamanan setempat atau pemerintah. Pemerintah daerah setempat hanya sesekali berkepentingan datang ke café ini, yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar dalam rangka pemeriksaan kesehatan berkala terhadap para pelayan café perempuan. Pemeriksaan tersebut terkait kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit menular seksual, termasuk pencegahan penyebaran HIV AIDS.
Made Eva : Bercerai Tetapi Masih Menanggung Biaya Anak Perempuan berusia 33 tahun ini berasal dari Karangasem. Sehari-hari ia menjadi tenaga pemijat di Panti Pijat Dewi Kasih, yang berlokasi di Tukad Alas Arum 12, Denpasar. Made Eva mengakui dirinya seorang janda, dan pernah dikaruniai satu anak namun ikut mantan suami. Ia bekerja di Panti Pijat Dewi Kasih sekitar 10 tahun dan menganggap rekan maupun pemilik seperti keluarganya sendiri. Made Eva mengakui dulunya ia bekerja di salon kecantikan dan office girl jasa ekspedisi pengiriman kecil-kecilan. Saat usianya bertambah maka Made Eva memutuskan bekerja di jasa pijat milik seorang temannya. “Uangnya lebih cepat dapetnya kalau disini (jasa pijat). Pembagian tips dan gaji juga adil. Saya kerja karena saya juga masih tanggungjawab mengirimkan uang ke anak saya di Karangasem”, ungkap perempuan lulusan SMA ini. Alasan perpisahan Eva dengan suaminya memang tidak begitu jelas, hanya terungkap kalau dirinya (Eva) dianggap berselingkuh oleh sang suami. Karena diceraikan suami, Eva terkucilkan di wilayahnya, apalagi si anak ikut mantan suami sehingga kemudian ia memilih merantau di Denpasar. Eva masih memiliki tanggungjawab mengirimkan uang yang ia peroleh untuk anaknya di Karangasem. Sebulan Eva bisa mendapatkan bersih gaji Rp. 600.000/bulan, hanya saja uang tersebut masih ia harus bagi untuk biaya sewa kost. Untuk mendapatkan tambahan, Eva kerap menerima tawaran kencan dengan para tamunya yang mana ia mendapatkan tips cukup lumayan. Apabila kencan tersebut dilakukan di bilik ia melakukan pijat maka Eva harus sharing dengan pemilik (selengkapnya lihat boks). Guna menopang penghasilannya pula, Eva mengikuti arisan yang diadakan oleh rekan-rekannya. Narasumber Made Eva ini memberikan informasi penting mengenai keberadaan panti pijat di Kota Denpasar serta relasi pembagian hasil antara pelayan jasa, pemilik dan tamu. Pelayan Panti Pijat Dewi Kasih dan Body Massage Manika Sari, Denpasar Saat tamu datang ke dua panti pijat ini, pertama kali akan disodori foto-foto pemijat perempuan beserta nama-namanya. Foto-foto tersebut merupakan hasil jepretan foto studio yang terkesan sopan tetapi tetap menonjolkan kecantikan dan keindahan tubuh. Setelah memilih, maka tamu akan langsung diantar oleh pemijat perempuan yang telah dipilih. Bilik-bilik kamar hanya berukuran 1 x 2 meter dengan dipisah oleh dinding tripleks dan tirai kain warna putih. Di dalam 5-7 bilik terdapat cermin, asbak, sisir dan tulisan “Dilarang Melanggar Asusila”.
Suasana di salah satu bilik kamar Body Massage Manika Sari
Toilet terletak di luar bilik. Menariknya, di Body Massage Manika Sari saat datang mengantar tamu , pemijat perempuan masih mengenakan seragam batik seperti rekanrekannya yang lain. Namun setelah berada di dalam bilik, seragam tersebut dilepas berganti pakaian yang serba minim. Baju tamu yang hendak dipijat dilepas dan hanya dikenakan handuk kecil sebagai penutup. Pada saat memijat itulah maka terjadi transaksi berkencan antara tamu dan pemijat. Apabila pijat saja, tarif dikenakan Rp. 50.000- Rp. 60.000. Apabila disertai dengan oral atau hand seks, dikenakan biaya tambahan Rp. 70.000-80.000. Sedangkan untuk berhubungan badan dikenakan biaya tambahan Rp. 150.000-Rp. 170.000. Termasuk tambahan uang tips tergantung dari tamu bersangkutan. Biaya tarif tersebut masih harus disetor pada pemilik dan pemijat hanya menerima 20% nya saja. Dalam keseharian sepi atau ramainya pengunjung, pemijat mendapatkan uang lauk antara Rp. 2.500 – Rp. 5.000 rupiah/hari. Pihak pemilik panti pijat dalam sebulan mengakui harus mengeluarkan uang setor pada lembaga lokal, instansi pemerintah sampai ke aparat keamanan sebesar Rp. 1.500.000,- Itu termasuk uang perjinan, keamanan, dll. Praktek-praktek transaksi seks terselubung di panti pijat ini juga relatif aman dari pantauan aparat keamanan. Pantauan hanya dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar yang berkepentingan dalam pemeriksaan PMS dan pencegahan HIV AIDS. Antar pemilik Panti Pijat di Kota Denpasar sebagian ada yang berhimpun dalam Paguyuban Hasta Karya. Anggota terdiri sekitar 11 panti pijat dengan 3 anggota perempuan (perempuan pemilik panti pijat). Kegiatan asosiasi ini antara lain kumpulan arisan, standar layanan, lobby pihak keamanan sampai peringatan ulangtahun yang dirayakan setiap 3 tahun sekali. Di kalangan pemijat sendiri juga mengadakan arisan antar sesama rekan yang diharapkan bisa membantu tingkat pendapatan mereka. Ni Kadek Nia : Menopang Ekonomi Keluarga Perempuan berusia 26 tahun ini sudah selama hampir setahun bergabung di panti pijat ini. Sebelumnya Kadek Nia merupakan pegawai di salon Spa kawasan Seminyak Badung. Karena penghasilan yang minim dan jam kerja yang terlampau mengikat ruang geraknya, Kadek Nia memilih berhenti dan bergabung di Panti Pijat kawasan Sidakarya ini. Suami Kadek Nia tinggal di Karangasem dan bekerja sebagai pengrajin kotak sesembahan. Karena penghasilannya sebagai pengrajin tidak menentu, maka suaminya menyuruh Kadek Nia merantau di Denpasar untuk bekerja dan menopang ekonomi keluarga. Kadek Nia telah memiliki tiga anak dan ikut suaminya . Pendapatan yang Kadek Nia terima dikumpulkan dan diserahkan pada keluarganya Karangasem saat dirinya pulang mengikuti upacara. Suami Kadek Nia tidak mengetahui kalau Kadek Nia telah pindah pekerjaan. Suami Kadek Nia hanya tahu kalau istrinya bekerja di Spa kawasan Seminyak. “Kalau suami saya tahu dip anti pijat seperti ini, bisa marah. Padahal saya dituntut bisa dapat uang banyak, ya jalannya kalau pengin banyak ya seperti ini (bekerja di panti pijat)”, ungkapnya. Selama sebulan, penghasilan bersih Kadek Nia sebesar Rp. 400.000,. Jumlah ini belum termasuk tips kalau Kadek Nia menerima ajakan berkencan dengan para tamunya. Pernah ia mendapatkan penghasilan kurang lebih sampai Rp. 1.500.000. Hanya saja kalau kencan dilakukan di bilik panti pijat, ia hanya menerima 20%, sebagian besar masuk ke pemilik panti pijat, sehingga Kadek Nia hanya mengandalkan kebaikan dari para tamu yang memberikan tips ala kadarnya. “Saya terpaksa menjalani ini semua, meski kalau ingat suami terutama anak-anak ya jadi sedih. Batin ini gak karuan. Saya masih tetap jalani karena kalau dengan jalan seperti ini, saya cepat
dapat uang. Karena pekerjaan lain susah carinya. Apalagi dengan pendidikan saya yang cuman sampai SMP”, ungkap Kadek Nia yang masih menerapkan pemijatan ala Thailand yang sempat dipelajarinya semasa tempat bekerjanya dulu. Dalam menjalankan profesinya ini, Kadek Nia mengakui cukup aman. Tidak pernah ada kecurigaan dari aparat keamanan setempat apalagi sidak dari pihak kepolisian. “Kalau misalnya tamu ada yang memberi kode mau dilayani lebih dan mengarah pada kencan, maka saya langsung oke. Saya sebutkan harganya, dan langsung dibayar saat kencan usai dilakukan”, ungkapnya. Mengenai tarif sangat variatif dan biasanya dibayarkan di luar jasa pijat (lihat boks). Karena panti pijat ini juga menerima layanan plus-plus, maka tindak kekerasan pada perempuan, termasuk pelecehan seksual tidak pernah disadari ataupun dipersoalkan oleh para pelayan panti pijat setempat. “Kalau sampai saya digoda atau pegang ini itu (bagian vital pemijat), maka tamu tersebut minta layanan lebih. Itu berarti uang bagi saya, karena pasti tamu mintanya adalah hubungan badan”, ungkapnya. Ni Nyoman Artini : Prioritas Pendidikan bagi Anak Laki-Laki Perempuan 49 tahun ini berasal dari Desa Sampalan, Kabupaten Klungkung. Nyoman Artini berjualan emas asongan sekitar lima tahun. Tidak ada pilihan selain berjualan emas karena merasa tidak memiliki keahlian maupun pendidikan khusus. “Setiap hari saya harus bolak balik Klungkung Denpasar. Ada tiga anak yang harus saya sekolahkan. Kalau mengandalkan hasil kerja suami tidak mencukupi”, ungkap Nyoman Artini. Suami Nyoman Artini hanya sebagai berprofesi sebagai pengrajin patung batu yang ada di Gianyar dan bukan milik sendiri. Upah suami berdasarkan borongan dirasakan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari maupun sekolah anak-anaknya. Kondisi ini akhirnya harus ditopang pendapatan istri. Anak-anak Nyoman Artini duduk di bangku SMP dan SMA, sedangkan anak perempuannya bekerja di mini market kawasan Klungkung. “Memang, anak yang paling besar kami perempuan. Sedangkan yang kecil-kecil laki. Bagaimanapun mereka harus sekolah tinggi daripada kakaknya (perempuan)”, kata Nyoman Artini. Setiap hari Nyoman Artini menggelar jasa menjual emas jam 10.00 sampai 18.00 WITA. Melalui emas yang didapatkan, Nyoman Artini menyerahkan pada pengepul emas. Pendapatan Nyoman Artini tidak menentu. “Kalaupun ramai paling untung Rp. 800.000. Biasanya pas jelang Galungan atau Idul Fitri. Tapi lebih banyak tidak dapatnya, sehari dapat Rp. 50.000 ya sudah disyukuri”, ungkap Nyoman Artini. Nyoman Artini tidak mengerti sama sekali persoalan akses penyampaian aspirasi kepentingan sebagai pedagang emas asong kepada pemerintah maupun dewan. “Saya ndak tahu siapa siapa saja itu (dewan atau kepala daerah). Yang penting saya dapat rejeki”, ungkapnya. Nyoman Artini mengakui selama dirinya berjualan sama sekali tidak ada perhatian pemerintah daerah kepada dirinya. Perlindungan pihak aparat keamanan juga tidak ada, padahal profesi pedagang emas asong sangat rawan tindak kejahatan misalnya penipuan, perampokan, dan lainlain. Hal ini termasuk ketiadaan pembinaan PKL yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar. “Yang sering terjadi dan saya alami adalah penjualan emas palsu. Apa boleh buat, peralatan terbatas. Terpaksa saya harus menanggung kerugian itu. Kalau peran pemerintah sih tidak ada mengatasi persoalan-persoalan ini, terlebih pengamanan. Ini kami butuhkan yang berjualan disini rata-rata perempuan”, jelas Nyoman Artini yang mengaku hanya jebolan Sekolah Dasar ini.
Personal asa Tuan tanah Belajar dari mana, ketiadaan akses Struktur Kemsikinan Wayan Sukerti : Ketiadaan Modal, Skill dan Akses Pendidikan Narasumber ini berasal dari desa yang sama dengan Nyoman Artini yaitu Desa Sampalan, Klungkung. “Kami semua teman satu desa, jadi tidak ada persaingan atau iri hati saat berjualan. Kalau laku yang untung, kalau tidak, ya sudah tidak apa-apa”, ungkap narasumber berusia 43 tahun ini. Pilihan Wayan Sukerti bekerja menjadi penjual emas asong karena ketiadaan keahlian, modal maupun pendidikan mencukupi. “Saya kerja jadi seperti ini karena awalnya diajak teman. Hasilnya lumayan kalau untung, maka saya jalani. Untuk pekerjaan lain, sulit. Saya tidak punya kemampuan apa-apa selain jual emas seperti ini”, ungkap Wayan Sukerti yang sudah menjalani profesi ini selama tiga tahun. Wayan Sukerti bekerja dari 10.00 sampai 18.00 WITA. Ia harus menghidupi kelima anaknya yang masih Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. “Suami saya petani buah. Itupun sebagai penggarap sebab kebunnya milik tetangga. Penghasilannya tidak seberapa makanya saya harus kerja biar anak dan suami bisa makan”, ungkap Wayan Sukerti. Penghasilan Wayan Sukerti sama dengan rekan lain seprofesinya yang tidak menentu. Sehari Wayan Sukerti memperkirakan keuntungannya Rp. 25.000-Rp. 50.000. “Kalaupun untung sebulan paling banyak Rp. 2 Juta. Itu kalau ramai-ramainya di hari besar”, ungkapnya. Sama narasumber sebelumnya, Wayan Sukerti juga tidak mengerti mengenai persoalan akses penyampaian aspirasi kepada pemerintah maupun lembaga perwakilan yang ada. “Kami tahunya cuma cari uang. Kalaupun bayar keamanan, ya tahunya ke pecalang 30 ribu rupiah sebulan. Itu saja”, ungkapnya.
Jasa Pengamplung (Pedagang Emas Asong) Perempuan di Jalan Diponegoro Kota Denpasar “Mau jual emas?”. Itulah sapaan perempuan penjual emas asong sembari melambaikan tangan kepada pengemudi kendaraan yang melintas di sepanjang Jalan Diponegoro Kota Denpasar. Penjual emas asong dalam bahasa setempat sering disebut “jasa pengamplung”. Berbekal tas pinggang, batu gosok, timbangan kecil, air keras dan kursi plastik yang dibawa sendiri, mereka betah duduk berjam-jam di bawah terik mentari demi menunggu calon penjual emas. Perempuan-perempuan perkasa berusia 19-50 tahunan ini membuka jasa dari 10.00-18.00 WITA. Pada waktu senggang terlihat para pengamplung membuat canang atau merangkai hiasan janur lainnya.
Menunggu konsumen dan menimbang taksiran gram emas
Tidak terdeteksi sejak kapan pengamplung ada di trotoar jalan Diponegoro. Narasumber penelitian memperkirakan sudah ada 15 tahunan bahkan keberadaannya makin ramai semenjak ada toko emas di jalan Hasanuddin. Menariknya, sebagian besar pengamplung adalah perempuan. Alasannya beragam, dari anggapan kalau yang menjual perempuan dianggap jujur dan tidak menipu, membantu pekerjaan suami menopang ekonomi keluarga, kemampuan tawar menawar harga dengan calon penjual, sampai alasan fisik perempuan. Para pengamplung rata-rata membawa modal Rp. 1 juta tiap hari. Apabila memerlukan modal besar, pengepul siap membantu. Dengan mengontak lewat ponsel, pengepul segera datang. Jalan lain, pengamplung meminjam modal teman, jarang meminjam ke bank karena khawatir terkena bunga. Jasa yang dijalankan sederhana. Pengamplung menunggu calon penjual emas, terima barang (emas), ditimbang berat, diuji kemurniannya, ditaksir lewat timbangan kecil dan langsung bayar pada penjual. Mirip toko emas, namun perbedaannya harga jual yang miring dan kebanyakan tidak disertai surat resmi. Dari cara ini, jasa pengamplung dianggap solusi bagi orang yang butuh uang cepat sebab tanpa prosedur berbelit-belit. Karena kemudahan ini pula ada pengamplung yang punya pelanggan bahkan dianggap keluarga sendiri. Saat pelanggan butuh uang mendadak, sewaktu-waktu menelpon jasa pengamplung. Kondisi ini menciptakan relasi transaksi yang erat diantara keduanya. Kisaran harga perhiasan kondisi patah Rp 300.000/gram, sedangkan kondisi bagus laku Rp 380.000/gram. Namun bisa berubah tergantung kondisi, kadar karat dan fluktuasi harga emas. Para pengamplung tidak mau menerima emas batangan karena jarang punya alat khusus untuk mengecek dan biasanya disarankan berhubungan dengan pengepul. Setelah bertransaksi dengan penjual (konsumen), pengamplung ada yang langsung menyetor hasilnya ke pengepul atau menunggu beberapa hari. Hal ini karena pengamplung menanti harga emas berubah agar keuntungan yang diraupnya lebih banyak. Apabila terdapat perubahan harga emas,-- yang sehari bisa berubah sampai tiga kali--, informasinya akan
cepat menyebar ke sesama pengamplung serta pengepul. Setelah terkumpul, pengepul biasanya melebur menjadi bentuk emas batangan 24 karat dan dua minggu sekali dijual ke toko emas dengan harga satu gram mencapai Rp. 400.000. Pengamplung membatasi jam jasanya hingga 18.00 WITA. Hal ini karena ada pengamplung yang sebelumnya tertipu akibat cahaya lampu sepanjang ruas Jalan Diponegoro kurang terang. Pengamplung terkecoh tembaga yang dilapisi emas. Saat perhiasan digosok tetap terlihat kuning menyala. Hanya saja saat dipotong, ternyata didalamnya tembaga. Akibatnya pengamplung bersangkutan merugi dan banyak pengamplung tidak berani berjualan malam hari. Ada pula pengamplung tertipu, sudah menyerahkan uang namun emas tidak diserahkan. Pengamplung resisten terhadap tindak kriminal, apalagi mereka rata-rata kalangan perempuan . Pengamanan dan pembinaan dari pemerintah maupun aparat keamanan setempat masih belum optimal. Tercatat hanya di 2008, Poltabes Denpasar mengadakan himbauan pada pengamplung agar waspada terhadap emas curian yang biasanya dijual harga miring. Para pegamplung dilarang membeli emas tanpa dilengkapi surat serta menelusuri apakah emas tersebut adalah milik sah atau hasil curian. Pihak Poltabes juga memberikan jaminan perlindungan apabila ada pengamplung yang berani menjadi saksi kasus jual emas curian termasuk pengamanan empat brimob di lokasi pedagang shift pagi dan sore (Bali Post, 22 Oktober 2008). Sosialisasi ini dianggap para pengamplung terlalu mengada-ada karena tak pernah ada realisasi. Pengamplung banyak tak menghiraukan himbauan tersebut sebab dari emas yang tanpa surat itulah mereka justru bisa mendapatkan nafkah.
Rekasi dengan langganan, trust,
Sektoral dan Kepentingan Ekonomi Parsial Berdasarkan hasil wawancara beberapa narasumber diatas jelas bahwa persoalan yang dihadapi kalangan pekerja perempuan di sektor non formal rata-rata diakibatkan oleh ketiadaan akses mereka mendapatkan skill serta pendidikan lebih tinggi, --dan lebih memprioritaskan pihak saudara laki-laki untuk mendapatkan peluang pendidikan lebih tinggi. Keterbatasan ekonomi (kemiskinan) juga menjadi alasan utama meski kondisinya menempatkan perempuan sebagai penopang utama penghasilan rumah tangga akibat minimnya pendapatan suami ataupun tuntutan keluarga agar bekerja di luar rumah. Pada bidang-bidang tertentu, akses para pekerja perempuan di sektor non formal khususnya pekerja hiburan, resisten tindak pelecehan seksual, meski di beberapa kasus kondisi tersebut dianggap bukan masalah karena justru bisa mendatangkan pendapatan bagi kaum pekerja perempuan itu sendiri (baca : perempuan pekerja di panti pijat). Para pekerja perempuan di sektor non formal menyadari sepenuhnya beban yang harus ditanggung oleh dirinya merupakan kodrat atau fungsi sosial yang harus dijalaninya. Keberadaan akses saluran aspirasi kalangan pekerja perempuan di sektor non formal di Bali masih belum menampakkan fungsinya secara nyata. Pemerintah, --baik di tingkat Provinsi, Kabupaten ataupun Kota--, belum mengadakan pemetaan, pengamanan (pedagang emas asongan) ataupun penataan sektor non formal termasuk sisi regulasinya. Pemerintah daerah
cenderung mendekati sektor non formal dengan logika sektoral maupun kepentingan ekonomi parsial, seperti pencegahan penularan Penyakit Menular Seksual / HIV-AIDS oleh Dinas Kesehatan atau pengenaan pajak tempat hiburan, --dalam hal ini layanan jasa panti pijat. Beberapa narasumber menyatakan upaya pemberdayaan atau penjaringan aspirasi komprehensif oleh Pemerintah Daerah atau lembaga dewan kepada kalangan pekerja perempuan di sektor non formal masih dinilai tiada.
Rujukan Pustaka : Bali Post, 22 Oktober 2008, Sosialisasi Kamtibmas Pedagang Asong Emas Berdasarkan Hasil Wawancara Narasumber Penelitian.
“Menjalani Sistem Nilai Patriarkhi sebagai Dharma” Partisipasi perempuan Bali pada sektor pekerjaan in-formal tercatat cukup tinggi. Menurut data statistik gender Provinsi Bali, persentasenya mencapai 33,60% (BP3A Provinsi Bali, 2011:82). Definisi sektor in-formal menurut Karafi (dalam Ali, 2012:129) adalah usaha berskala kecil yang tidak teroganisir dengan permodalan relatif kecil. Sektor ini bercirikan ; penghasilan tak menentu, tak membutuhkan pendidikan formal tertentu, serta banyak dijalankan kalangan migran guna memperoleh akses ekonomi lebih baik dari daerah asal. Ada beragam jenis kategori sektor in-formal, salah satunya profesi penjual jasa. Seputar Pengamplung Emas : Profesi Rentan Tindak Kriminal Salah satu profesi penjual jasa yang tumbuh subur di Bali, khususnya kota Denpasar adalah penjual emas asong. Profesi ini dalam bahasa setempat disebut pengamplung. Pengamplung emas sebagian besar banyak dijalani oleh perempuan. Alasannya beragam, dari anggapan kalau yang menjual perempuan dianggap jujur dan tidak menipu, menopang ekonomi keluarga, hingga alasan kemampuan tawar menawar harga dengan pembeli (Mariani, wawancara, 6 Juni 2013). Profesi pengamplung emas mudah dikenali. Para perempuan duduk berderet di kursi plastik dan menyapa dengan lambaian tangan ke para pengguna jalan. Berbekal tas pinggang, batu gosok, timbangan kecil, dan air keras, mereka betah duduk berjam-jam di bawah terik mentari demi menunggu calon penjual emas. Perempuan berusia 19 - 50 tahunan ini membuka jasa dari jam 10.00 hingga 18.00 WITA. Waktu senggang menunggu pelanggan diisi para pengamplung dengan kegiatan membuat canang atau merangkai hiasan janur guna kepentingan upacara di rumah atau desa mereka.
Mariani : Sabar menunggu pelanggan Keberadaan pengamplung di kawasan jalan Diponegoro ditengarai sudah ada sekitar 15 tahun. Profesi ini makin banyak dijumpai semenjak bermunculannya toko emas di seputar kawasan Jalan Diponegoro dan Jalan Hasanuddin (Mariani, wawancara, 1 Juni 2013). Para pengamplung rata-rata ber modal Rp. 1 juta tiap hari. Modal di peroleh melalui pinjaman teman dan jarang diakses melalui bank karena khawatir terkena bunga tinggi. Jasa yang dijalankan pengamplung sederhana. Pengamplung menunggu calon penjual emas, terima emas, ditimbang berat, diuji kemurniannya, ditaksir lewat timbangan kecil dan langsung bayar pada penjual.
Saat bertransaksi : Menimbang taksiran gram emas Transaksi jasa pengamplung emas mirip di toko emas. Hanya saja perbedaannya terletak pada harga jual yang miring sebab kebanyakan emas yang dijual kondisinya rusak, hilang sebelah, atau tidak disertai surat resmi. Pada situasi ini pengamplung punya peluang menekan harga seminim mungkin. Jasa pengamplung dianggap solusi bagi orang yang butuh uang cepat sebab tanpa prosedur berbelit seperti penyertaan surat pembelian. Saat pelanggan butuh uang mendadak, sewaktu-waktu mereka menelpon jasa pengamplung. Kondisi ini menciptakan relasi transaksi yang erat diantara keduanya (Mariani, wawancara, 6 Juni 2013).
Kisaran harga perhiasan kondisi patah Rp 300.000/gram, sedangkan kondisi bagus laku Rp 380.000/gram. Kondisi ini bisa berubah tergantung kondisi, kadar karat dan fluktuasi harga emas. Pengamplung tidak mau menerima emas batangan karena tidak punya alat cek khusus dan biasanya menyarankan berhubungan dengan pengepul. Setelah bertransaksi, pengamplung ada yang langsung menyetor hasilnya ke pengepul atau menunggu beberapa hari. Hal ini karena pengamplung menanti perubahan harga emas agar keuntungannya lebih banyak. Apabila terdapat perubahan harga emas,-- terkadang sehari bisa berfluktuasi hingga tiga kali--, informasi cepat menyebar ke sesama pengamplung serta pengepul. Setelah terkumpul, pengepul melebur menjadi bentuk emas batangan 24 karat dan dua minggu sekali dijual ke toko emas dengan harga satu gram mencapai Rp. 400.000 (Mariani, wawancara, 6 Juni 2013). Pengamplung membatasi aktifitasnya hingga 18.00 WITA. Mereka tidak berani beraktifitas hingga malam hari sebab sebelumnya ada pengamplung tertipu akibat cahaya lampu sepanjang ruas Jalan Diponegoro kurang terang. Pengamplung terkecoh tembaga yang dilapisi emas. Saat perhiasan digosok tetap terlihat kuning menyala. Hanya saja saat dipotong, ternyata di dalam hanya tembaga. Akibatnya pengamplung merugi hingga enggan bertransaksi malam hari (Mariani, wawancara, 1 Juni 2013). Pengamplung resisten terhadap tindak kriminal, apalagi yang menjalankan jasa ini adalah perempuan. Pengamanan dan pembinaan dari pemerintah maupun aparat keamanan setempat masih belum optimal. Tercatat hanya di 2008, Poltabes Denpasar mengadakan himbauan pada pengamplung agar waspada terhadap emas curian yang biasanya dijual harga miring. Saat itu aparat keamanan memberi himbauan agar pengamplung dilarang membeli emas tanpa dilengkapi surat serta menelusuri apakah emas tersebut adalah milik sah atau hasil curian. Larangan ini makin jadi perhatian terlebih saat mencuat kasus perampokan dan penadahan hasil curian emas yang melibatkan pengamplung emas di awal Mei 2013 silam (Bali Post, diakses 13 Mei 2013). Pihak Poltabes sempat memberikan jaminan perlindungan apabila ada pengamplung yang berani menjadi saksi kasus jual emas curian (Bali Post, diakses 22 Oktober 2008). Sosialisasi ini memang dianggap pengamplung terlalu mengada-ada karena tak pernah ada realisasi (Mariani, wawancara, 6 Juni 2013). Pengamplung tak menghiraukan himbauan tersebut sebab justru dari emas tanpa surat itulah mereka bisa mendapatkan nafkah.
Perempuan Penanggung Beban Ganda Salah satu sosok pengamplung yang menjalankan jasanya di trotoar Jalan Diponegoro bernama Ketut Mariani. Ketut Mariani adalah narasumber penelitian ini. Mengikuti pemetaan gender sebagai perempuan asal Banjar Lekok, Desa Sampalan, Kabupaten Klungkung ini adalah penanggung beban ganda (double burden) dalam keluarga. Mariani menanggung nafkah utama keluarga disamping menjalankan rutinitas pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga. Suami perempuan berusia 44 tahun ini bernama Wayan Suirta. Wayan Suirta
berpendapatan tak
menentu sebagai pengerja hotel kawasan Kuta. Beban ganda partisipasi perempuan dalam dunia kerja, termasuk sektor in-formal lebih menyangkut pada keterbatasan pilihan akibat persepsi definisi kerja yang berbenturan dengan peran domestik perempuan. Pilihan atas jenis profesi pengamplung karena selain dianggap cepat menghasilkan uang, juga akibat ketiadaan akses pendidikan mencukupi (Mariani, wawancara, 27 Mei 2013). Migrasi pekerjaan yang dimungkinkan dijalani Mariani adalah sektor yang tak mempersyaratkan kualifikasi pendidikan khusus melainkan lebih pada pengalaman atau skill tertentu, salah satunya profesi pengamplung emas ini. Mariani menjalankan peran gandanya, baik di ranah publik maupun domestik secara bersamaan. Meski tidak memperoleh imbalan materiil yang imbang dengan beban pekerjaannya, Mariani tetap menerima sebagai ujud kewajiban (dharma) yaitu membantu beban ekonomi keluarga. Realitas beban ganda ini dipertegas dengan kondisi ketidakadilan gender yang melekat pada kultur masyarakat dimana Mariani berada. Aktualisasi kondisi ini tercermin dari tutur Mariani atas pemaknaan gender, baik pada ranah aktifitas profesi maupun relasi keseharian dengan institusi masyarakat adat maupun keluarga besarnya. Pada konteks pengalamannya secara individual, Mariani mengakui gender preference mereka lebih condong ke anak laki-laki. Alasan mengemuka bahwa anak laki-laki merupakan pelanjut keturunan sekaligus pewaris kepemilikan warisan keluarga (Mariani, wawancara, 16 Mei 2013). Penuturan Mariani di dominasi sistem nilai yang dianut mayoritas warga, yaitu merepresentasikan kekuatan hegemoni patriarki. Pengalaman masa kecil hingga saat memegang peran sebagai ibu di ranah domestik, dominasi nilai patriarki dipahami sebagai kelumrahan, konsekuensi yang harus diterima tanpa perlawanan atau upaya resistensi lainnya. Hal ini karena
sistem nilai yang dianut publik mendominasi alam pikir Mariani sehingga tidak membawa pada kondisi kesadaran guna mengubah atau melakukan praktek baru diluar aturan nilai tersebut. Beberapa sistem nilai ini teraplikasi pada pengalaman Mariani atas perlakuan orangtua berikut keluarga besarnya di masa lalu, seperti tentang prioritas pendidikan, konsep reinkarnasi, relasi masa kecil, hak waris hingga pilihan gender yang menempatkan anak perempuan tetap bernasib sebagai sub-ordinasi anak laki-laki. Akibatnya, pada ranah domestik kondisinya juga tak beranjak jauh. Pengalaman yang diterima, Mariani tak mendapatkan prioritas pendidikan dengan putus sekolah dasar dibandingkan saudaranya laki-laki yang menamatkan pendidikan menengah. Hal lain, kebiasaan Mariani di masa kecil, kebanyakan diisi dengan melakukan aktifitas perempuan yang dekat dengan figur ibu (Mariani, wawancara, 19 Mei 2013). Pemahaman ketaksetaraan gender hanya dipahami sebagai realitas yang harus diterima dan bukan untuk ditolak. Cerminan atas hal ini, Mariani berada dalam situasi ketidaksadaran atau ketidakpahamannya tentang kesetaraan gender bahwa semenjak kecil, prosesi menuju dewasa hingga memiliki institusi keluarga mandiri, dirinya berada dalam lingkungan konservatisme keluarga patriarki. Meski ada upaya praktek baru dalam keluarga untuk menyeimbangkan peran anak perempuan dan anak laki-laki, namun pilihannya cenderung terabaikan oleh sistem nilai berlaku umum di Bali (baca : hegemoni budaya patriarki). Kondisi ini tercermin pada tindakan Mariani memberikan kesempatan sama bagi kedua anak perempuan dan satu anak laki-lakinya mengakses jejang pendidikan tinggi. Memberikan peluang menempuh studi kepada kedua anak perempuan merupakan hal dipandang lumrah pada konteks sekarang. Kesempatan pendidikan yang abai pada pendikotomian antara anak berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Hanya saja, betapapun tinggi ketiga anaknya menempuh pendidikan, Mariani mengakui bahwa kondisinya tak akan mengubah konsepsi sistem nilai yang berlaku umum. Seperti hak waris akan jatuh kepada anak laki-laki karena bagaimanapun pemahamannya anak laki-laki memiliki tanggungjawab besar dalam keluarga, beberapa diantaranya tanggung jawab mengasuh kedua orangtua di masa tua serta pengabenan (Mariani, wawancara, 19 Mei 2013). “Menurut saya peran perempuan dan laki-laki sama saja. Bahkan dalam keluarga, anak perempuan sebenarnya bisa diandalkan mengerjakan tugas-tugas rumah. Tapi bagaimanapun, untuk hak berupa materi, kami tetap memberikan pada anak lakilaki. Hal ini karena nanti dia (anak laki-laki, pen) akan tetap tinggal di rumah. Konsep ini turun temurun. Kalau hari tua nanti anak laki-laki akan mengurus. Atau saat kami meninggal, anak laki-laki saya akan berperan memikul tanggung jawab
saat pengabenan. Tak heran kalau warisan dari turun-temurun atau “penglingsir”, yang berhak diberi hanya anak laki-laki. Kalau harta dari kerja keras keluarga (baca : hasil bekerja selama menikah di luar warisan diterima dari keluarga suami), maka harta itu bisa diwariskan pada anak laki-laki atau perempuan….” Pendapat Mariani di atas mengandung kontradiksi. Secara realitas, dirinya sebenarnya tak membedakan antara anak laki-laki atau perempuan. Hanya saja sistem nilai umum yang menganut hegemoni dominasi patriarki menjadi pembenaran yang “mengesampingkan” ragam pandangan baru tentang kesetaraan gender, termasuk praktek tata nilai baru dalam keluarga guna menyeimbangkan peran anak perempuan dan anak laki-laki. Kepatuhan pada Sistem Nilai Patriarkhi Pada posisi di ranah publik, partisipasi Mariani lebih terepresentasi pada posisi ekonomi dan kultur ketimbang politik. Merujuk pada analogi Rachbini dan Hamid (dalam Ali 2012:121 ), partisipasi pelaku sektor ekonomi in-formal perkotaan pada organisasi sosial politik cenderung rendah. Kondisi ini akibat karakter hidup kelompok yang berpandangan bahwa faktor nasib lebih berperan; sempitnya ruang gerak politik yang tak memberi peluang bagi kalangan sektor ini menyalurkan kepentingannya; persoalan keawaman mereka terhadap representasi yang seharusnya dapat membantu kepentingannya; serta desakan pemenuhan kebutuhan hidup mendasar yang menyita seluruh waktu pelaku sektor ini sehingga partisipasi politik menjadi dianggap tidak terlalu esensial. Pada sisi ekonomi, profesi pengamplung yang dijalankan Mariani menunjukkan makna dharma atau kewajiban yang harus dilakukan sebagai perempuan Bali.
Kondisi ini tetap
dilakukan meski tingkat upah yang di dapat rendah. Sesuai tipologi Bayat (2010:13), pilihan Mariani menjalani profesi ini adalah pijakan guna memperoleh taraf hidup lebih baik dari sebelumnya. Pola profesi yang banyak dijalankan perempuan ini cenderung mengidentikan diri pada ikatan kolektif berdasarkan kesamaan tempat tinggal karena dianggap aman buat dirinya. Aman pada konteks ini mengarah pada kepentingan untuk menghindar atau mengatasi hambatan yang akan ditemuinya (Bayat, 2010:15). Meski pilihan atas profesi ini masih kerap terdeskriminasi oleh perlakuan tak imbang dari pihak laki-laki sehingga digambarkan sebagai kondisi subyek yang tertekan (terpinggirkan) mayoritas kekuatan patriarki, namun Mariani, sebagai perempuan Bali, menerimanya sebagai konsekuensi untuk tetap menjalani peran
domestik. Tutur yang disampaikan Mariani lebih mengarah pada sekedar berbicara tentang pengalaman diri dan tidak merujuk pada tindakan kesadaran kolektif tertentu. Beban ganda nampak saat Mariani melakukan aktifitas ekonomi, dirinya juga masih mengerjakan peran domestik. Kondisi ini teraplikasi pada stereotipe (anggapan) pihak laki-laki, dalam hal ini suami Mariani, terhadap profesi yang dijalankannya untuk tetap mengurus persoalan domestik, seperti pengambilan raport anak (Mariani, wawancara, 27 Mei 2013). “…Kebanyakan saya yang sering ambil raport anak-anak. Saya dianggap Bapak (baca : suami Mariani) punya jam kerja fleksibel. Padahal sebenarnya Bapak juga punya cukup waktu…..”. Jarak antara sekolah anak-anak dengan tempat Mariani bekerja sekitar 43 kilo meter. Setiap hari Mariani harus pulang pergi dengan motor untuk menjalankan usahanya sebagai pengamplung. Beban domestik yang dijalankan Mariani tak hanya itu. Rangkaian ritual harian juga dilaksanakan sebelum berangkat kerja, seperti mebanten, dan aktifitas lainnya. Bahkan pada waktu tertentu, Mariani dan rekan seprofesinya memilih datang bergiliran saat terdapat rangkaian upacara di desa. Perlu diketahui, profesi pengamplung di kawasan Jalan Diponegoro sebagian besar dijalankan oleh perempuan yang berlatar belakang tempat tinggal sama, yaitu desa Sampalan.Masuknya perempuan pada profesi pengamplung lebih banyak karena ajakan teman yang berhasil dan dilakukan getok tular dari mulut ke mulut (Mariani, wawancara, 1 Juni 2013). Kondisi inilah yang akhirnya memperkuat ikatan jaringan kolektif antara mereka, termasuk pembagian kerja saat mengikuti upacara di desa serta ketiadaan persaingan usaha diantara mereka. Secara kultural, Mariani sebagai bagian anggota komunitas desa adat memiliki kepatuhan tinggi atas nilai yang sebagian besar mengarah pada hegemoni budaya patriarki. Salah satunya seperti pengalaman saat pernikahan. Seperti nasib perempuan yang menikah pada kultur masyarakat Bali umumnya, Mariani menjalani prosesi pernikahan diawali prosesi ngidih, atau permintaan ijin kepada orang tua perempuan oleh pihak keluarga laki-laki yang masih kerabat di satu banjar. Lamaran pihak laki-laki berupa pangkonan berupa satu kilogram beras dan telur, menginisiasi masuknya Mariani pada keluarga laki-laki dengan didahului prosesi berpamitan pada pelinggih Batara Hyang Guru pihak perempuan. Sejak prosesi inilah, Mariani masuk pada keluarga suami (Mariani, wawancara, 16 Mei 2013). Konsekuensinya, Mariani tunduk pada
seluruh aturan dan tata nilai umum sang suami yang merujuk pada nilai budaya patriarki, termasuk menanggung beban pekerjaan domestik dan publik sebagai suatu bentuk dharma (kewajiban) yang harus dijalankannya. Konsepsi yang dibangun Mariani pada anak-anaknya juga sama. Hal ini karena sistem nilai umum yang dianut adalah turun temurun tanpa melakukan perubahan. Meski pada konteks kekinian melalui keluarga inti Mariani mencoba praktek nilai baru berdasarkan kesetaraan antara anak laki maupun perempuan, tetapi semua itu sekedar refleksi ideal perbaikan atas pengalaman hidup yang pernah diterimanya. Refleksi ini tak punya kekuatan pengubah saat harus dihadapkan pada sistem nilai patriarki yang berlaku umum. Pendapat Mariani,-- begitu pula sebagian besar perempuan seperti dirinya--, pada konteks kultur, menerima kondisi ini sebagai nasib perempuan Bali yang “harus” diterima apa adanya. Penuturan pendapat Mariani bahwa harapan terbesar dirinya adalah peran anak laki-lakinya terkait tanggungjawab atas kehidupannya,---baik saat masa tua maupun pengabenannya nanti--, adalah cerminan betapa kultur membentuk sedemikian rupa pemahaman Mariani tunduk pada sistem nilai ini, tanpa harus menolak ataupun merubahnya (Mariani, wawancara, 16 Mei 2013). Analog pendapat Giddens (1984:7) mengenai elemen teori strukturasi, ketidaksadaran Mariani bermakna pembenaran atas legitimasi kuasa hegemoni patriarkhi yang berlangsung pada saat dirinya berperan sebagai individu, domestik maupun publik. Beban ganda Mariani adalah refleksi ketidaksadarannya
untuk menerima sistem nilai patriarkhi yang telah masuk pada
struktur peran yang dijalani. Struktur tersebut meliputi pilihan gender, hak waris, konsep pernikahan, prioritas pendidikan, termasuk pengelolaan keuangan keluarga yang masih mendasarkan pendapat laki-laki (baca : suami Mariani). Ego Mariani sebagai subyek individu harus
direlakan
ter-subordinasi
sistem
nilai
patriarkhi,
--berikut
agen-agen
yang
menjalankannya--, serta kesemuanya diterima sebagai kebenaran umum. Struktur masyarakat dimana Mariani berada, menganut sistem nilai hegemoni patriarkhi yang cenderung memperlambat proses terciptanya ruang kesadaran bebas dominasi. Lycette (1994:10) menengarai konsekuensi perempuan seperti Mariani yang menjalankan dua peran sekaligus, domestik maupun publik, banyak terbatasi waktunya untuk berpartisipasi pada aktifitas lain yang sebenarnya bisa memberdayakan dirinya. Kondisi ini diperparah minimnya akses pendidikan yang mempersempit pilihan jenis kerja; hambatan kultural terkait pembagian
kerja secara seksual; serta pola interaksi perempuan dengan laki-laki mengenai waris dan pernikahan yang serba membatasi ruang gerak perempuan. Kesimpulan dan Rekomendasi Pekerja perempuan Bali di sektor in-formal, khususnya jasa pengamplung emas adalah penanggung beban ganda (double burden). Mereka menjalankan rutinitas pekerjaan publik sekaligus domestik (rumah tangga). Pada masing-masing ranah pekerjaan ini memiliki kecenderungan yang abai terhadap kondisi kesetaraan gender. Pemetaannya adalah sebagai berikut : Hambatan Pekerjaan Domestik Hambatan Pekerjaan Publik Internal : Internal : - Kepatuhan pada sistem nilai - Stereotip sektor in-formal punya patriarkhi menyangkut fleksibilitas waktu, sehingga tanggungjawab anak laki-laki atas dijadikan alasan pihak laki-laki masa depan orang tua, --termasuk (suami) tetap menugaskan pihak ibu--, seperti pemeliharaan di masa perempuan (istri) melaksanakan tua atau pengabenan. Nilai ini pekerjaan domestik; mengandung makna pengharapan - Terbatasnya akses migrasi pilihan yang baik, sehingga tak perlu ditolak pekerjaan akibat minimnya atau dirubah. pendidikan. Eksternal : Eksternal : - Penerimaan sistem nilai patriarki - Prioritas pada pemenuhan kebutuhan sebagai dharma (kewajiban) yang hidup mendasar menyita seluruh harus dijalani, tanpa memunculkan waktu pelaku sektor ini sehingga kesadaran kolektif untuk persoalan akses partisipasi tidak memberontak. menjadi prioritas yang perlu diperhatikan; - Ketiadaan perlindungan jaminan keselamatan kerja dari pihak Negara (baca : pemerintah)
Meski pada konteks sekarang melalui keluarga inti para pekerja perempuan sektor informal mencoba mempraktekkan sistem nilai baru yang didasarkan kesetaraan laki-laki atau perempuan, namun hal tersebut masih sebatas sekedar refleksi ideal perbaikan atas pengalaman hidup yang pernah diterima. Refleksi ini tak punya kekuatan pengubah apapun saat dihadapkan pada sistem nilai patriarki yang berlaku umum. Ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan. Pertama, perlu sinergi berbagai pihak, antara lain aktifis gerakan perempuan, pemerintah, akademisi, serta perempuan di setiap lapis
jenis pekerjaan, baik sektor formal maupun in-formal guna mewujudkan gerakan sosial yang menumbuhkan kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif ini tentu tak bisa secara instan mengubah sistem nilai patriarkhi yang berlaku di Bali. Hal terpenting adalah menanamkan pemahaman di kalangan perempuan pelaku sektor informal terhadap usaha keberdayaan di balik pemaknaan fungsi beban domestik dan publik yang mereka jalani. Kedua, perlu pewadahan aspirasi mereka yang secara pro-aktif dilakukan institusi negara. Definisi institusi ini merujuk pada birokrasi maupun pejabat politik yang ada di dewan perwakilan rakyat. Pada kondisi ini, yang perlu ditekankan hegemoni negara yang terkesan mempertahankan budaya patriarkhi harus membuka perhatian pada penyampaian aspirasi hak perempuan termasuk pelaku sektor ekonomi in-formal.
DAFTAR RUJUKAN PUSTAKA
-
Ali, Faried, 2012, Studi Analisa Kebijakan, Bandung : Refika Aditama;
-
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali, 2011, Statistik Gender Provinsi Bali, Bali : Pemerintah Provinsi Bali;
-
Bali Post, 22 Oktober 2008;
-
Bali Post, 13 Mei 2013;
-
Bayat, Asef, 2010. Life as Politics : How Ordinary People Change the Middle East, Amsterdam : ISIM/Amsterdam University Press;
-
Giddens, Anthony, 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration, Cambridge : Polity Press;
-
Lycette, Margaret. 1994. Adjusting Projects to Overcome Constraints on Women Forum (No 7). Participation and Gender : USAID;
-
Mariani, Wawancara tanggal 15 Mei, 16 Mei, 19 Mei, 20 Mei, 22 Mei, 27 Mei, 1 Juni, dan 6 Juni 2013.