MAKALAH SEMINAR UMUM
PENGGUNAAN MANDUL JANTAN (MALE STERILITY) DALAM PERAKITAN PADI HIBRIDA
Disusun Oleh: DINDA DEWANTI NIM: 10/300651/PN/12076
Dosen Pembimbing: Ir. Supriyanta, M.P.
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2014
SEMINAR UMUM SEMESTER 2 TAHUN AKADEMIK 2013/2014
PENGGUNAAN MANDUL JANTAN (MALE STERILITY) DALAM PERAKITAN PADI HIBRIDA
Disusun oleh: Nama : Dinda Dewanti NIM : 10/300651/PN/12076 Makalah seminar umum ini telah disahkan dan diterima sebagai kelengkapan mata kuliah Seminar Umum (PNB 4085).
Menyetujui:
Tanda Tangan
Tanggal
Dosen Pembimbing
Ir. Supriyanta, M.P.
………………..
……………
………………..
……………
………………..
……………
Mengetahui : Komisi Seminar Jurusan Budidaya Pertanian
Dr. Rudi Hari Murti, S.P., M.P.
Mengetahui : Ketua Jurusan Budidaya Pertanian
Dr. Ir. Taryono, M.Sc.
PENGGUNAAN MANDUL JANTAN (MALE STERILITY) DALAM PERAKITAN PADI HIBRIDA INTISARI Tanaman mandul jantan dapat dimanfaatkan untuk produksi hibrida dalam bidang pemuliaan tanaman. Mandul jantan merupakan suatu kondisi dimana tanaman tidak mampu memroduksi polen fungsional. Sistem mandul jantan berfungsi mempermudah produksi benih hibrida dari sejumlah tanaman penyerbuk sendiri seperti padi, kapas, dan beberapa tanaman sayuran dalam skala komersial. Mandul jantan sejati dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan pengendali sifat, yaitu mandul jantan genetik (genetik male sterility), mandul jantan sitoplasmik-genetik (cytoplasmic-genetic male sterility), dan mandul jantan sensitif faktor lingkungan (environment sensitive genic male sterility). Umumnya dalam produksi benih hibrida masih bertumpu pada sistem tiga galur utama, yaitu galur mandul jantan (GMJ) atau cytoplasmic male sterile line (CMS = A), galur pelestari (maintainer line = B), dan galur pemulih kesuburan (restorer = R). Galur B adalah galur yang digunakan untuk memelihara karakter kemandulan bagi galur A, sehingga persilangan antara galur A dengan galur B akan menghasilkan galur A kembali. Galur F1 hibrida diperoleh dari hasil persilangan galur A dengan galur R. Penemuan sistem mandul jantan merupakan tonggak atau titik balik dalam sejarah teknologi hibrida khususnya padi hibrida. Sistem mandul jantan tersebut sangat berperan dalam memudahkan produksi benih F1 hibrida skala luas terutama untuk tanaman yang dalam sekali pembuahan hanya menghasilkan satu benih.
Kata kunci: Mandul jantan, Produksi hibrida
I. PENDAHULUAN Teknologi hibrida ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan semakin maraknya konversi lahan yang terus terjadi. Varietas hibrida adalah kultivar yang merupakan keturunan pertama (generasi F1) dari persilangan sepasang atau lebih tetua (galur murni) yang memiliki karakter unggul. Pengembangan teknologi hibrida dilandasi oleh fenomena genetik yang disebut heterosis, yaitu kecenderungan penampilan tanaman F1 yang lebih baik daripada rata-rata penampilan kedua tetuanya. Gejala heterosis telah dimanfaatkan oleh para pemulia tanaman dalam membentuk varietas hibrid atau lebih populer disebut varietas hibrida. Pemanfaatan gejala heterosis pada awalnya digunakan dalam pengembangan jagung hibrida kemudian pada masa berikutnya digunakan pula pada kapas, padi, sorgum. Selain tanaman pangan, varietas hibrida juga telah banyak dihasilkan dari tanaman hortikultura (sayuran, tanaman hias, dan buah). Pemanfaatan gejala heterosis pada tanaman hortikultura bukan hanya karena produktivitas lebih tinggi, tetapi juga keseragaman, baik dari segi hasil, kualitas, maupun sifat lainnya (Satoto dan Suprihatno, 2008).
Varietas hibrida dapat diproduksi dengan dua cara, yaitu secara konvensional dan dengan memanfaatkan sifat mandul jantan (male sterility). Penggunaan mandul jantan (male sterility) dalam memroduksi benih hibrida lebih menguntungkan dibandingkan dengan cara konvensional, yaitu lebih menghemat tenaga kerja sehingga biaya produksi lebih murah dan kegagalan hasil persilangan akibat kerusakan mekanis dapat ditekan (Singh et al., 2002). Pemanfaatan fenomena mandul jantan dimaksudkan untuk menghindari tindakan emaskulasi atau pengebirian, sehingga persarian lebih efektif dan pembentukan hibrida secara komersial menjadi lebih ekonomis. Mandul jantan (male sterility) merupakan suatu kondisi dimana tanaman tidak mampu menyerbuki dirinya sendiri atau tanaman lain dikarenakan ketidaksuburan polen walaupun memiliki ovari yang subur. Mandul jantan dalam program pemuliaan tanaman dipakai sebagai metode pembuatan benih hibrida dengan harapan mencapai kemurnian 100% (pure hybrid) dan dapat mengurangi biaya tenaga kerja dan menghemat waktu karena tidak perlu melakukan emaskulasi/kastrasi bunga jantan. Sistem ini memudahkan dalam produksi benih hibrida dari sejumlah tanaman penyerbuk sendiri seperti padi, kapas, dan beberapa tanaman sayuran dalam skala komersial. Berikut beberapa hal yang menyebabkan terjadinya mandul jantan (Syukur et al., 2012). a. Benang sari tidak ada atau tidak tumbuh. b. Kegagalan memroduksi polen disebabkan oleh terganggunya beberapa fase pertumbuhan. c. Polen terbentuk namun gagal dalam proses pematangan karena adanya penyimpangan susunan kepala sari. Galur mandul jantan dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan pengendali sifat, yaitu galur mandul jantan genetik (genetic male sterility), mandul jantan sitoplasmik-genetik (cytoplasmic-genetic male sterility), dan mandul jantan sensitif faktor lingkungan (environment sensitive genic male sterility). Galur mandul jantan yang paling banyak digunakan dalam perakitan kultivar hibrida adalah mandul jantan sitoplasmik-genetik (CMS). Di Indonesia, CMS banyak dimanfaatkan dalam perakitan kultivar hibrida, salah satunya yaitu padi hibrida.
II. PENGGUNAAN MANDUL JANTAN (MALE STERILITY) DALAM PERAKITAN PADI HIBRIDA A. Mandul Jantan dan Mekanisme Pengendalian Sterilitas Kemandulan atau sterilitas dapat diartikan sebagai ketidakmampuan tanaman untuk membentuk biji karena kegagalan polen atau sel telur berfungsi secara normal. Hanson dan Bentolila (2004) menyatakan bahwa mandul jantan merupakan karakter yang diturunkan secara maternal atau dengan kata lain dapat diwariskan. Mandul jantan yang diwariskan dapat disebabkan oleh pengaruh genetik atau sitoplasma. Pada mandul jantan fungsional (functional male sterility), tepung sari dalam keadaan normal tetapi kepala sari gagal untuk membuka. Pada mandul jantan sejati (true male sterility), anther menjadi layu atau mengalami degenerasi sehingga tepung sari gugur. Mandul jantan sejati dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan pengendali sifat, yaitu (Satoto dan Rumanti, 2011): 1. Mandul jantan genetik (genetic male sterility) Mandul jantan genetik disebut juga nuclear male sterility
karena
dikendalikan oleh gen yang ada pada inti (nucleus). Ekspresi mandul jantan genetik tidak dipengaruhi oleh sitoplasma maupun lingkungan. Karena itu pola ekspresi dan pewarisannya stabil, dapat dipercaya, dan dapat diulang. Mandul jantan genetik sulit dilestarikan karena tidak mempunyai galur pelestari (maintainer line). Gugurnya tepung sari pada mandul jantan genetik dikendalikan oleh gen resesif. Mandul jantan genetik umumnya dikendalikan oleh lokus tunggal dengan dua alel (Ms, ms). Genotipe ms/ms umumnya mandul, sedangkan Ms/ms dan Ms/Ms fertil (Roy, 2000). Pemeliharaan gen mandul jantan genetik dalam sebuah populasi dapat menjadi masalah. Sebuah populasi tanaman mandul jantan genetik tidak dapat dihasilkan, tetapi gen-gen mandul jantan genetik dapat dibawa dalam frekuensi yang cukup tinggi pada tanaman menyerbuk sendiri jika benih dari tanaman mandul jantan genetik digunakan untuk menanam generasi selanjutnya.
2. Mandul jantan sitoplasmik-genetik (cytoplasmic-genetic male sterility) Mandul jantan sitoplasmik-genetik adalah sifat mandul jantan yang dikendalikan oleh interaksi gen pada inti dan sitoplasma (mitokondria) secara
bersamaan. Kebanyakan sterilitas di alam merupakan mandul jantan sitoplasmikgenetik. Sifat mandul jantan tersebut paling banyak digunakan untuk mengembangkan hibrida komersial pada banyak tanaman karena mudah dan efisien (Raj dan Virmani, 1988). Keberadaan gen inti resesif homosigot yang berperan sebagai pemulih kesuburan dalam kaitannya dengan kemandulan yang diinduksi oleh faktor inti pada sitoplasma menyebabkan tanaman menjadi mandul. Faktor inti pada sitoplasma merupakan bagian dari DNA mitokondria (Kadowaki et al., 1986). Pada banyak kasus ditemukan bahwa fertilitas dapat dipulihkan oleh gen-gen dalam inti yang disebut gen pemulih kesuburan (restorer). Pada kasus mandul jantan sitoplasmik-genetik, terdapat dua tipe sitoplasma, yaitu fertil normal (N) dan jantan steril (S), dan di inti terdapat gen Ms yang dominan terhadap ms. Sitoplasma diwariskan kepada keturunannya hanya dari tetua betina. Gen Ms dominan terhadap sitoplasma steril (S). Di satu sisi, sterilitas terjadi akibat aktivitas gen-gen mitokondria yang menyebabkan disfungsi sitoplasmik. Di sisi lain, pemulihan kesuburan (fertilitas) merupakan akibat dari gen-gen dalam inti yang menekan kejadian disfungsi sitoplasmik. Jika faktor genetik yang menginduksi kemandulan tersebut tidak ada dalam sitoplasma maka tanaman menjadi normal (male fertil). Jika pada sitoplasma semacam ini gen inti yang memulihkan kesuburan resesif, maka tanaman akan dapat mempertahankan sifat mandul tersebut. Tanaman atau galur tersebut disebut galur pelestari (maintainer line). Galur pelestari atau maintainer line adalah galur yang mempunyai sitoplasma normal tetapi gen inti yang berkaitan dengan pemulihan kesuburan resesif. Galur ini berfungsi untuk melestarikan galur mandul jantan pasangannya. Pada sistem sitoplasmik-genetik, masing-masing galur mandul jantan mempunyai pasangan galur pelestari. Jika gen inti yang berkaitan dengan pemulihan kesuburan pada sitoplasma dengan atau tanpa gen sterilitas dalam sitoplasma bersifat dominan maka tanaman akan mampu memulihkan kesuburan pada hibrida turunan persilangan antara galur mandul jantan dengan tanaman tersebut, yang dikenal dengan nama restorer. Konstitusi sitoplasmik-genetik dari masing-masing galur ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Konstitusi sitoplasmik-genetik dari masing-masing galur.
Inti
Ms Ms
Ms ms
ms ms
Sitoplasma N
Fertil (restorer)
S
Fertil (restorer)
Fertil (normal, hibrida) Fertil (normal, hibrida)
Fertil (maintainer)
Steril (mandul)
Sumber: Satoto dan Rumanti (2011).
3. Mandul jantan sensitif faktor lingkungan (environment sensitive genic male sterility) Mandul jantan sensitif faktor lingkungan merupakan sifat mandul jantan yang diakibatkan oleh interaksi genetik dan lingkungan. Gen inti menyebabkan mandul jantan yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan dan akan kembali subur apabila lingkungannya dalam kondisi yang diinginkan oleh tanaman (Virmani, 1994). Pada mandul jantan sensitif faktor lingkungan, kemandulan tepungsari dipengaruhi oleh dua faktor lingkungan, yaitu panjang hari dan atau temperatur. Genotipe yang kemandulannya dipengaruhi oleh panjang hari disebut PGMS (Photoperiod-Sensitive Genetic Male Sterility) (Lu et al., 1994), jika perubahan dari subur menjadi mandul tersebut dipengaruhi oleh temperatur disebut TGMS (Thermo-Sensitive Genetic Male Sterility) (Maruyama et al., 1991). EGMS dapat terjadi karena mutasi alami atau mutasi buatan. Di negara tropik seperti Indonesia, beda panjang hari tidak terlalu banyak sehingga penggunaan sistem PGMS tidak efektif. Penggunaan sistem TGMS akan lebih efektif dan mudah diterapkan karena perbedaan temperatur yang konsisten dapat dijumpai di daerah-daerah tertentu yang mempunyai ketinggian berbeda. Keuntungan dari penggunaan galur mandul jantan sensitif lingkungan, yaitu (Satoto dan Rumanti, 2011): a. TGMS tidak memerlukan galur pelestari (maintainer) untuk perbanyakan benihnya sehingga lebih mudah diperbanyak dibandingkan dengan CMS. b. untuk memroduksi benih hibrida F1 tidak perlu galur-galur yang mempunyai gen pemulih kesuburan (restorer), hanya diperlukan galur TGMS dan tetua jantannya, sehingga sistem ini juga dikenal dengan nama sistem dua galur.
Tanaman PGMS pertama kali ditemukan oleh Shi Ming Song pada tahun 1973 diantara pertanaman padi japonika varietas Nongken 58 di provinsi Hubei, Cina (Virmani, 1994). Penelitian Shi (1981) mengenai PGMS Hubei tersebut kemudian membantu para pemulia mendapatkan galur dengan perubahan kesuburan tepungsari. Perubahan tersebut dapat terjadi karena mutasi spontan, mutasi dengan induksi penyinaran, atau dari hasil seleksi pada populasi bersegregasi persilangan-persilangan tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa TGMS dan PGMS adalah suatu fenomena alam yang terjadi secara luas dan dapat diperoleh melalui beberapa cara. Beberapa galur PGMS dan TGMS yang berhasil dikembangkan di Cina, Jepang, Amerika, dan IRRI dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Galur-galur PGMS dan TGMS yang dikembangkan di Cina, Jepang, Amerika, dan IRRI.
Galur
Golongan
Teknik
Asal
Kondisi perubahan kesuburan
Nongken 58S
Japonika
Mutasi spontan
Hubei, Cina
Hari panjang 14 jam
Annong S
Indika
Mutasi spontan
Hunan, Cina
Suhu tinggi 27°C
Hennong S
Indika
Persilangan
Hunan, Cina
Suhu tinggi
5460 S
Indika
Iradiasi
Fujian, Cina
Suhu tinggi 28-29°C
R59T S
Indika
Iradiasi
Fujian, Cina
Suhu tinggi
IR32364-20-1-3-2B
Indika
Iradiasi
IRRI
Suhu tinggi 27°C
PoNorin PL 12
Japonika
Iradiasi
Jepang
Suhu tinggi 28°C
IVA
Indika
Persilangan
Yunnan, Cina Suhu rendah 24°C
Dianxin 1A
Japonika
Yunnan, Cina Suhu rendah 22°C
EGMS
Japonika
USA
X88
Japonika
Persilangan
Jepang
Hari panjang Hari panjang, 13,75 jam
Nongken 58S, EGMS, dan X88 adalah galur PGMS, galur lainnya TGMS Sumber: Lu et al. (1994).
Mandul jantan (male sterility) penting artinya dalam memroduksi benih hibrida terutama untuk tanaman yang sekali persilangan hanya menghasilkan satu atau sedikit biji. Upaya yang dilakukan supaya dalam memroduksi benih hibrida menguntungkan diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebagai berikut (Crowder, 1981): a. mandul jantan harus sempurna,
b. diperlukan adanya gen pemulih kesuburan yang stabil untuk tanaman yang dipungut bijinya, c. pembentukan biji yang baik yang kadang-kadang untuk tanaman penyerbuk sendiri merupakan suatu masalah, dan d. mampu menunjukkan sifat heterosis untuk sifat yang diinginkan. B. Aplikasi Mandul Jantan dalam Pemuliaan Tanaman Sterilitas tepung sari terutama digunakan untuk menghasilkan tanaman hibrida bagi spesies tanaman yang sulit disilangkan secara besar-besaran. Sterilitas tersebut akan dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis karena dapat mengefisienkan waktu, tenaga, dan biaya. Aplikasi mandul jantan dalam pemuliaan tanaman digunakan sebagai penghasil sterilitas genetik dan sterilitas sitoplasma, selain itu juga dimanfaatkan untuk meningkatkan penyerbukan silang alami dan sebagai penghasil benih hibrida (Syukur et al., 2012). Pemanfaatan fenomena mandul jantan dimaksudkan untuk menghindari tindakan emaskulasi atau pengebirian sehingga persarian lebih efektif dan pembentukan hibrida secara komersial menjadi lebih ekonomis. Umumnya dalam produksi benih hibrida masih bertumpu pada sistem tiga galur utama, yaitu galur mandul jantan (GMJ) atau cytoplasmic male sterile line (CMS = A), galur pelestari (maintainer line = B), dan galur pemulih kesuburan (restorer = R) (Yuan, 1994). Galur B adalah galur yang digunakan untuk memelihara karakter kemandulan bagi galur A, sehingga persilangan antara galur A dengan galur B akan menghasilkan galur A kembali. Galur F1 hibrida diperoleh dari hasil persilangan galur A dengan galur R. Galur mandul jantan (GMJ) atau yang biasa disebut galur ‘A’ dalam pembuatan hibrida digunakan sebagai tetua betina, memiliki sitoplasma mandul, dan gen inti untuk pemulihan kesuburan yang resesif sehingga galur ini akan tetap mandul jantan. Galur pelestari (maintainer) atau yang biasa disebut galur ‘B’ mempunyai gen inti resesif tetapi sitoplasmanya normal (male fertile) sehingga dapat membentuk biji. Kedua galur tersebut (galur A dan B) pada prinsipnya merupakan galur yang sama, kecuali pada sitoplasmanya. Galur restorer mempunyai gen inti untuk pemulihan kesuburan dominan dan sitoplasma yang pada umumnya normal. Persilangan antara galur A dengan galur B disebut perbanyakan galur GMJ (CMS seed multiplication). Galur B disebut galur pelestari karena fungsinya melestarikan
sifat mandul dari tetua betina (galur A). Jika galur A disilangkan dengan galur R maka turunannya (F1) mewarisi sitoplasma dari tetua betina (GMJ) tetapi gen intinya menjadi heterozigot, dan karena gen dominan mengendalikan sifat pemulihan kesuburan maka tanaman F1 tersebut menjadi normal walaupun mempunyai sitoplasma yang mandul. Tanaman F1 tersebut dikenal sebagai tanaman hibrida (Satoto dan Rumanti, 2011). Hubungan antara tiga galur komponen utama dalam pembentukan hibrida diilustrasikan pada Gambar 1 (Satoto dan Rumanti, 2011).
Gambar 1. Bagan produksi benih hibrida menggunakan galur A, R, dan B Salah satu contoh aplikasi mandul jantan dalam perakitan kultivar hibrida yaitu dalam pembuatan padi hibrida. Pada padi, produksi benih hibrida komersial sulit dilakukan secara manual karena setiap pembuahannya hanya menghasilkan satu butir benih. Karena itu penggunaan mandul jantan menjadi pilihan yang tepat dalam produksi padi hibrida. Pada mulanya penelitian tentang padi hibrida dilakukan oleh peneliti Cina yang bernama Prof. Yuan Longping pada tahun 1930. Dialah yang pertama kali mengemukakan tentang ide penggunaan heterosis pada padi. Keberhasilan pemanfaatan heterosis pada padi di Cina tersebut merupakan titik awal dalam sejarah padi hibrida. Pada awalnya ada anggapan bahwa teknologi padi hibrida kurang layak dikembangkan di daerah tropis, sehingga penelitian di Indonesia hanya ditekankan pada pengujian GMJ dan hibrida introduksi. Ternyata, pengembangan padi hibrida terbukti dapat meningkatkan produksi di daerah tropis, sehingga mulai tahun 1998 penelitian pemuliaan padi hibrida diintensifkan. Tujuan utamanya adalah mendapatkan kultivar padi hibrida yang lebih adaptif pada kondisi lingkungan di Indonesia dan mempunyai daya hasil 15-20% lebih tinggi daripada varietas padi inbrida. Sejak tahun 2001 penelitian padi hibrida lebih ditingkatkan lagi (Satoto dan Suprihatno, 2008). Pada perakitan padi hibrida digunakan sistem tiga galur. Perakitan dilakukan secara bertahap sebagai berikut (Satoto dan Suprihatno, 2008).
Mengevaluasi dan menyeleksi hibrida introduksi. Mengidentifkiasi galur restorer yang sesuai untuk GMJ introduksi dalam perakitan kulrtivar padi hibrida. Membuat GMJ dan restorer untuk membentuk kultivar padi hibrida yang diinginkan. Membuat kultivar padi hibrida dengan materi pemuliaan padi tipe baru. Menerapkan bioteknologi untuk mempercepat dan meningkatkan efisiensi proses pemuliaan. Padi hibrida mempunyai potensi hasil lebih tinggi dibandingkan dengan padi inbrida. Perbaikan teknik budidaya ternyata juga berpengaruh pada tingkat hasil yang dicapai. Berikut rata-rata hasil beberapa kultivar padi hibrida dan inbrida pada demonstrasi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di 28 lokasi (Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata hasil beberapa kultivar padi hibrida dan inbrida pada demonstrasi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di 28 lokasi.
Varietas1 Fatmawati (PTB) Rokan (PH) Maro (PH) Sintanur Code Batang Gadis Towuti Cirata
Hasil (t/ha) Non-PTT 6,83 7,98 7,77 5,83 6,92 7,02 5,92 5,7
PTT 8,35 9,05 8,87 7,55 7,65 7,97 7,12 6,98
1
PTB = padi tipe baru, PH = padi hibrida Sumber: Satoto dan Suprihatno (2008). Selain Maro dan Rokan, pada tahun 2004 telah dilepas pula padi hibrida Hipa 3 dan Hipa 4 (Satoto et al., 2004). Kedua hibrida tersebut membawa sifat ketahanan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan hawar daun bakteri. Evaluasi dan seleksi galur-galur introduksi tersebut menghasilkan enam GMJ yang ternyata mempunyai sterilitas stabil (Tabel 4). Selain digunakan untuk mengidentifikasi galur restorer untuk membuat hibrida, GMJ juga digunakan sebagai sumber sifat mandul dalam pembentukan GMJ baru.
Tabel 4. Beberapa galur CMS introduksi yang berpenampilan cukup baik di Indonesia.
Galur IR58025A IR62829A IR68885A IR68886A IR68888A IR68895A IR68897A IR68899A
Umur berbunga 50% (hari) 83 84 85 83 83 85 84 84
Tinggi tanaman (cm) 92 88 89 87 88 87 89 89
Anakan (batang)
Sterilitas polen (%)
17 20 17 16 17 15 16 18
100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Satoto dan Suprihatno (2008). Beberapa hibrida harapan lainnya yang merupakan kombinasi antara GMJ introduksi dan restorer hasil pemuliaan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. Dalam pembentukan GMJ selain diperhatikan karakter-karakter utama yang diperlukan seperti sterilitas jantan yang stabil, eksersi malai dan stigma yang sempurna, serta tanaman yang pendek, juga ditekankan pada ketahanan terhadap hama dan penyakit, mutu beras, dan penyediaan GMJ dari PTB (padi tipe baru). Dengan pendekatan tersebut diharapkan dapat dibentuk GMJ unggul yang mampu menjadi komponen pembentuk padi hibrida yang lebih adaptif, dan memiliki karakteristik yang sesuai dengan preferensi pengguna. Tabel 5. Beberapa hibrida harapan dengan galur CMS introduksi dan restorer hasil pemuliaan di Indonesia, 2004.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Hibrida IR58025A/B10373E-1-3 IR58025A/BP1024 IR58025A/B82396-KN-13 IR58025A/S4325D-1-2-3-1 IR58025A/ B9775 IR58025A/B10214F-1 IR58025A/Bio-12-2 IR62829A/S4325D IR62829A/BIO-9 IR68885A/B2791 IR68885A/S4325D IR68885A/Bio-9 IR68888A/Bio-9 IR68888A/B10214F-1
Ketahanan terhadap* BPH RTV BLB S MR R R S MR MR S MR MR S R R MR R R S MR R MR R R MR MR R MR R S RTV R R MR MR R MR R R RTV R R S MR
*BPH: wereng coklat; RTV: virus tungro; BLB: hawar daun bakteri; R: tahan; MR: cukup tahan; S: rentan Sumber: Satoto dan Suprihatno (2008).
C. Peran Mandul Jantan dalam Produksi Padi Hibrida Mandul jantan dapat meningkatkan terjadinya persilangan secara alami sehingga mengakibatkan perubahan gen secara cepat, meningkatkan keragaman, dan vigor hibrida. Mekanisme tersebut memiliki manfaat yang sangat besar pada pemuliaan heterosis sejumlah tanaman, terutama pada tanaman penyerbuk sendiri seperti padi, tomat, dan kapas. Pada tanaman tomat dan kapas, benih hibrida komersial dapat dengan mudah diproduksi secara manual karena setiap pembuahan (fertilisasi) dapat menghasilkan benih yang banyak. Pada padi, produksi benih hibrida komersial hampir tidak mungkin dilakukan secara manual karena setiap pembuahan hanya menghasilkan satu butir benih. Karena itu adanya sistem mandul jantan sangat berperan dalam produksi padi hibrida secara komersial. Terjadinya mandul jantan yang dikendalikan secara genetik oleh mutasi spontan atau mutasi terinduksi sangat lazim dan telah terjadi pada sekitar 620 spesies (Satoto dan Rumanti, 2011). Peran mandul jantan dalam produksi benih F1 hibrida adalah memberikan kemudahan dalam produksi F1 skala luas. D. Persoalan di Balik Pengembangan Padi Hibrida Tidak dapat dipungkiri bahwa benih hibrida memberikan keuntungan yang luar biasa. Nilai jual yang tinggi dan benih yang tidak bisa ditanam lagi mendorong para pengusaha benih untuk berlomba-lomba membuat benih padi hibrida sendiri. Harga benih padi hibrida per kilonya bisa mencapai 6-8 kali lipat daripada benih padi inbrida. Teknologi hibrida memanfaatkan fenomena heterosis, yaitu gejala pertumbuhan dan kapasitas produksi yang lebih tinggi dibanding dengan non hibrida yang diakibatkan oleh adanya gen-gen heterozigot. Fenomena ini diketahui pertama kali pada tahun 1920 pada tanaman jagung di Amerika Serikat. Gejala depresi inbreding merupakan kebalikan dari heterosis, yaitu pertumbuhan yang lemah, mengerdil, hasil sangat rendah. Depresi inbreding terjadi akibat dari gen-gen homozigot pada tanaman. Gejala heterosis dan depresi inbreding secara nyata terjadi pada tanaman penyerbuk silang seperti jagung dan kurang nyata terjadi pada tanaman penyerbuk sendiri seperti padi. Berdasarkan bukti empiris menunjukkan bahwa tanaman menyerbuk silang mengalami depresi inbreding bila diserbukkan sendiri, tetapi akan memperoleh heterosis yang tinggi. Sebaliknya pada tanaman
penyerbuk sendiri, inbreding tidak mengakibatkan depresi atau kemunduran pertumbuhan dan pembentukan hibrida tidak mengakibatkan heterosis yang nyata (Sumarno, 2006). Hal itulah nampaknya yang mengakibatkan hibrida padi tidak menunjukkan heterosis yang tinggi, melebihi produktivitas varietas murni non hibrida, seperti Ciherang, IR-64, Membrano, dan lain-lain. Namun bukan berarti pula hasil padi hibrida lebih rendah dibandingkan varietas-varietas murni homozigot tersebut. Berikut gambaran daya hasil padi hibrida yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian pada Tabel 3 dan 4. Di sentra produksi padi Sumatera, padi hibrida hanya menghasilkan 5-6,8 ton/ha. Daya hasil hibrida tersebut hanya setara dengan hasil varietas murni biasa. Tabel 3.
Daya hasil padi hibrida dari data percobaan tahun 2002 di beberapa sentra produksi padi di Sumatera.
Tabel 4. Daya hasil padi hibrida dari data percobaan tahun 2002/2003 di beberapa sentra produksi padi di Jawa.
Uji daya hasil padi hibrida di sentra produksi padi di Jawa menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi, yaitu antara 6-11 ton/ha gabah kering. Daya hasil padi hibrida di Jawa itu pun bukan hal yang spektakuler, karena padi varietas murni pun pada kondisi optimal dapat menghasilkan 7-8 ton/ha. Selain daya hasil yang tidak begitu sangat tinggi, padi hibrida yang tersedia juga masih memiliki beberapa kelemahan, seperti rasa nasinya yang kurang enak dan peka terhadap serangan hama dan penyakit. Produksi yang maksimal pada padi hibrida dapat dicapai apabila ditanam pada tanah yang subur, hara cukup tersedia, dosis pupuk optimal, pengairan cukup, pengendalian OPT, dan pengelolaan tanaman secara keseluruhan dilakukan dengan baik. Dari ulasan tersebut ternyata masih banyak persoalan dibalik pengembangan padi hibrida. Ada beberapa hal yang ternyata perlu untuk dikaji ulang mengenai pertanaman padi hibrida di Indonesia, yakni: 1. Harga benih hibrida yang masih terlalu mahal untuk ukuran petani Indonesia. Harga benih padi hibrida hanya cocok untuk sistem perusahaan besar, dengan lahan yang sangat luas. Memang benar saat ini benih padi hibrida digratiskan untuk petani lewat subsidi benih, namun seandainya subsidi dicabut petani akan kesulitan untuk membelinya. 2. Benih F1 hybrid tidak bisa disimpan untuk ditanam pada generasi berikutnya, sehingga petani tidak akan bisa mandiri. Ketergantungan benih akan semakin menyulitkan petani ketika akan menanam padi. Apabila petani berniat menanam
benih inbreed dia akan kesulitan mencarinya karena saprodi akan lebih suka menjual benih padi hibrida karena keuntungan yang lebih besar. Kepunahan benih-benih padi inbreed bisa saja terjadi seandainya 100% lahan padi Indonesia ditanami padi hibrida. 3. Berdasarkan pengujian lapang, tidak semua tempat bisa menghasilkan produksi tinggi sesuai yang dijanjikan/dipromosikan. Sama seperti padi inbreed memang tidak semua tempat memiliki persyaratan optimal untuk pertumbuhan. Oleh karena itulah diperlukan kajian lebih mendalam mengenai padi hibrida agar dapat direkomendasikan di daerah mana saja cocok untuk padi hibrida, agar pengharapan petani tidak terlampau tinggi. 4. Tanaman F1 hybrid umumnya adalah tanaman yang manja dan memerlukan input (pestisida dan pupuk) lebih banyak dibandingkan dengan tanaman inbreed. Analisis ekonomi perlu diperhitungkan juga apakah petani untung atau rugi ketika menanam padi hibrida. Melihat masih pro kontranya tanaman padi hibrida di kalangan petani, sebaiknya petani dibebaskan untuk memilih apakah dia akan menanam padi hibrida atau tidak karena petani biasanya sudah memiliki perhitungan akan untung dan rugi tersendiri.
III. KESIMPULAN 1. Penggunaan mandul jantan (male sterility) dalam memroduksi benih hibrida lebih menguntungkan dibandingkan dengan cara konvensional, yaitu lebih menghemat tenaga kerja sehingga biaya produksi lebih murah dan kegagalan hasil persilangan akibat kerusakan mekanis dapat ditekan. 2. Mandul jantan (male sterility) penting artinya dalam memroduksi benih hibrida terutama untuk tanaman yang sekali persilangan hanya menghasilkan satu atau sedikit biji.
DAFTAR PUSTAKA Crowder, L. V. 1981. Mandul Jantan dan Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian UGM. Tidak dipublikasikan. Hanson, M. R. and Bentolila S. 2004. Interaction of mitochondrial and nuclear genes that affect male gametophyte development. The Plant Cell 16: 154169. Kadowaki, K., T. Ishige, S. Suzuki, K. Harada, and C. Shinjyo. 1986. Differences in the characteristics of mitochondrial DNA below a normal and male sterile cytoplasms of japonica rice. Jpn. J. Breed 36: 333-339. Lu, X. G., Z. G. Zhang, K. Maruyama, and S. S. Virmani. 1994. Current status of two line method of hybrid rice breeding. In: Hybrid Rice Technology-New Development and Future Prospects. Selected Papers from The Intl. Rice Res. Conf. IRRI Los banos Phil. 37-49. Maruyama, K., H. Araki, and H. Kato. 1991. Thermosensitive genetic male sterility induced by irradiation. In: Rice genetic II. IRRI, Philippines 227-232. Raj, G. and S. S. Virmani. 1988. Genetic of fertility restoration of WA type cytoplasmic male sterility in rice. Crop Sci. 28: 787-792. Roy, D. 2000. Plant Breeding, Analysis, and Exploitation of Variation. Narosa Publishing House, Delhi, Chennai, Mumbai, Calcutta. Satoto dan B. Suprihatno. 2008. Pengembangan padi hibrida di Indonesia. Jurnal Iptek Tanaman Pangan (3) 1: 27-40. Satoto dan Indrastuti A. Rumanti. 2011. Galur mandul jantan untuk perakitan padi hibrida. Jurnal Iptek Tanaman Pangan (6) 1: 14-29. Shi, M. S. 1981. Preliminary report of later japonica natural 2-lines and applications. Hubei Agric Sci. 7. Singh, S. B., Singh P., and Mayee C. D. 2002. Male sterility in cotton. CICR Technical Bulletin No. 24, CICR Nagpur, India. Sumarno. 2006. Mengapa Hibrida Padi Tidak Sesukses Hibrida Jagung?. Puslitbangtan, Bogor. Syukur, Muhammad, S. Sujiprihati, dan R. Yunianti. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta. Virmani, S. S. 1994. Heterosis and hybrid rice breeding. Spinger-Verlag Vol. 22, Berlin Heidelberg, New York.