Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 2010 PENGARUH KONSENTRASI BA DAN NAA PADA TAHAP MULTIPLIKASI SECARA IN VITRO TERHADAP KEBERHASILAN AKLIMATISASI NENAS (Ananas comosus (L) Merr) KULTIVAR SMOOTH CAYENNE The Effect of Cytokinin and Auxin Treatment in the Multiplication Through in vitro Phase to Acclimatization of Pineapple (Ananas comosus (L) Merr.) cv. Smooth Cayenne Esto Bayu Suhentaka1 dan Sobir2 Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura 2 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura 1
Abstract The mass propagation of pineapple are hampered by low multiplication rate in natural way, therefore in vitro propagation is an alternative to overcome mass production. To support mass propagation then we need the best acclimatization way, to support multiplication phase to achieved the highest mass propagation rate. The objective of this research was to elucidate the effect of Cytokinin (BA) and Auxin (NAA) that had been applied during multiplication of subculture 1 and subculture 2 through in vitro phase to acclimatization of pineapple (Ananas comosus L. Merr). This research was conducted in greenhouse laboratory at Center for Tropical Fruits Studies, IPB Baranangsiang, Bogor, since July until November 2006. This research used 20 combination of treatment from two factors. The first factor was 0,00μM, 4,40μM, 8,80μM, 13,32μM, and 17,76μM of BA, and the second factor was 0,00μM, 0,50μM, 1,00μM, 2,00μM of NAA. The result showed that treatment of 17,76μM BA and 2,00μM NAA, and its interactions have the highest score for subculture 1. The result of 2,00μM NAA showed the highest performance for subculture 2. Overall performance showed that subculture 1 has better growth rate than subculture 2. Key word: acclimatization, pineapple,
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan nanas di Indonesia belum dilakukan secara serius, tercermin dari luas panen dan produksi yang berfluktuasi (Gambar 1). Meningkatnya luas panen dari tahun ke tahun menunjukkan nanas semakin diminati oleh petani. Luas panen yang semakin meningkat ternyata tidak diimbangi dengan produksi yang meningkat pula.
Gambar 1.
Grafik Produksi dan Luas Panen Nanas Tahun 2000 - 2008. (Sumber: FAO 2009)
Meningkatnya luas panen menunjukkan bahwa nanas memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Nilai ekonomi yang tinggi ini tidak terlepas dari manfaat nanas yang cukup beragam. Bagi kesehatan tubuh, nanas dapat digunakan dalam penyembuhan penyakit seperti sembelit dan gangguan saluran kencing. Penyakit kulit seperti gatal-gatal dan kudis pun dapat diobati dengan diolesi sari buah nanas. Selain itu setiap 100 gram nanas dapat memenuhi 24% kebutuhan vitamin C sehari. Vitamin A yang terkandung dalam 100 gram nanas juga cukup tinggi yaitu sekitar 10 – 39% kebutuhan vitamin A sehari (Prahasta 2009).
Sebagai produsen nanas terbesar ketiga setelah Thailand dan Brazil, produksi nanas nasional tentu menjadi komoditi ekspor yang sangat menjanjikan (FAO 2009). Data Departemen Pertanian pada tahun 2009 disebutkan bahwa nanas menempati urutan pertama ekspor komoditas buah di Indonesia dengan volume ekspor sebesar ±148,000 ton dengan nilai hampir $90 juta pada 2003. Volume ekspor meningkat menjadi ±269,000 ton pada 2008 dengan nilai tidak kurang dari $200 juta. Potensi ekonomi yang begitu besar membutuhkan bibit bermutu dalam jumlah besar. Teknik perbanyakan yang dilakukan saat ini masih banyak bersifat tradisional yaitu dengan perbanyakan secara vegetatif. Perbanyakan dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman yang tumbuh secara alami membutuhkan waktu lama, jumlah bibit yang dihasilkan sedikit dan tidak seragam. Perbanyakan vegetatif nanas menghasilkan bibit dari mahkota bunga, tunas batang dan tunas akar. Bibit ini apabila ditanam di lapang akan dapat dipanen pada saat berumur 12 – 24 bulan. Bibit yang berasal dari mahkota buah dapat dipanen setelah 24 bulan, bibit yang berasal dari tunas batang dapat dipanen setelah 18 bulan, dan bibit yang berasal dari tunas akar dapat dipanen setelah berumur 12 bulan (Prahasta 2009). Kualitas bibit yang baik ditentukan dari keseragaman tanaman, daya tumbuh yang baik, serta bebas dari hama dan penyakit. Untuk mencapai hasil produksi yang optimal, dibutuhkan sekitar setidaknya 40,000 bibit per hektar (Chanda et al. 1974). Sebuah studi di India menunjukkan bahwa penanaman 63,758 bibit dalam satu hektar yang didukung oleh pengelolaan lahan yang baik dapat meningkatkan produktivitas dari 15 – 20 ton per hektar hingga 70 – 80 ton per hektar (Saxena dan Dhawan 2004). Kebutuhan bibit nanas yang cukup tinggi membutuhkan upaya perbanyakan yang mampu menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat. Keseragaman bibit juga sangat penting karena dapat menentukan hasil produksi. Perbanyakan
melalui kultur jaringan merupakan salah satu solusi yang dilakukan. Kultur jaringan tanaman merupakan teknik untuk menumbuhkan atau memperbanyak sel, jaringan, dan organ dalam media padat atau cair di bawah kondisi aseptik dan terkontrol. Kultur jaringan yang baik ditentukan oleh tiga tahap yaitu perkembangan dalam kondisi aseptik yang baik, multiplikasi propagula dengan cepat, dan pemindahan planlet ke lapang (Murashige 1974). Teknik ini dapat digunakan untuk mendapatkan bibit yang banyak dalam waktu yang lebih singkat. Kondisi aseptik yang baik dapat dicapai dengan sterilisasi alat dan media kultur yang baik. Multiplikasi propagula dengan cepat dapat diinisiasi oleh penambahan zat pengatur tumbuh seperti auksin dan sitokinin. Pemindahan planlet ke lapang dapat disebut juga tahap aklimatisasi (Hartmann dan Kester 1978). Auksin terlibat dalam banyak proses fisiologi dalam tumbuhan antara lain perpanjangan sel, fototropisme, geotropisme, dominasi apikal. Perpanjangan sel merupakan proses perkembangan perkembangan sel. Fototropisme merupakan respon tanaman terhadap sinar, yang menyebabkan tanaman cenderung membengkok ke arah datangnya sinar. Geotropisme merupakan respon tanaman terhadap gaya gravitasi, biasanya berkaitan dengan pertumbuhan akar. Dominasi apikal merupakan pertumbuhan tunas lateral (Abidin 1993). Sitokinin digunakan dalam kultur jaringan untuk mendapatkan tingkat multiplikasi yang tinggi, karena sitokinin mempunyai peranan dalam pembelahan sel dan perkembangbiakan tunas aksilar. Kombinasi auksin dan sitokinin biasa digunakan karena dapat meningkatkan laju multiplikasi (Kyte 1990). Aklimatisasi merupakan langkah akhir dari teknik kultur jaringan. Aklimatisasi adalah suatu upaya mengondisikan planlet hasil perbanyakan in vitro dengan kelembaban tinggi dan heterotrof, untuk dapat tumbuh di lingkungan ex vitro dengan kelembaban rendah dan autotrof (Zulkarnain 2009). Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam kultur jaringan, sehingga pengaruh penggunaan zat pengatur tumbuh pada tahap in vitro masih perlu dipelajari. Keberhasilan proses ini dapat mendukung pengembangan pertanian. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan BA dan NAA pada tahap multiplikasi nanas pada sub kultur I dan sub kultur II secara in vitro terhadap pertumbuhan planlet pada tahap aklimatisasi. Hipotesis Pengaruh BA, NAA, dan interaksinya pada tahap multiplikasi secara in vitro sub kultur I dan sub kultur II berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet nanas pada tahap aklimatisasi. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai bulan Juli hingga November 2006.
Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman nenas hasil multiplikasi secara in vitro, yang telah diberi perlakuan ZPT. Untuk media tanam aklimatisasi digunakan pasir dan kompos dengan perbandingan 1:3. Peralatan yang digunakan adalah pinset, kertas label, spidol, pensil, gunting, paku, penggaris, dan gelas aqua. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah BA dengan 5 taraf yang meliputi 0.00 M, adalah NAA dengan 4 taraf yang meliputi
0,50
perlakuan dengan 6 kelompok yang diulang sebanyak 3 kali pada aklimatisasi hasil subkultur pertama dan subkultur kedua, sehingga keseluruhan terdapat 720 unit percobaan. Model statistika yang digunakan dalam rancangan tersebut adalah: Yijk i j k ij + Eijk Keterangan: -i Yijk -j pada kelompok ke-k. : Nilai tengah pengamatan. : Pengaruh perlakuan sitokinin ke-i. i : Pengaruh perlakuan auksin ke-j. j : Pengaruh kelompok ke-k k ij : Pengaruh interaksi antara perlakuan sitokinin ke-i dan auksin ke-j. : Galat dari pengaruh perlakuan. Eijk i : 1, 2, 3, 4, 5 j: 1, 2, 3, 4 k : 1, 2, 3, 4, 5, 6 Data yang diperoleh akan dianalisa dengan uji F. Jika berbeda nyata maka akan dilakukan uji lanjut dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%. Pelaksanaan Pelaksanaan percobaan ini dimulai dengan tahap persiapan media tanam, yaitu dengan mencampur pasir dengan kompos dengan perbandingan komposisi pasir dengan kompos adalah 1:3. Selanjutnya, bahan tanaman diambil dari botol kultur dengan menggunakan pinset. Akar tanaman dibersihkan dari sisa agar-agar yang menempel dengan cara mencucinya dengan air mengalir. Bahan tanaman ini kemudian diletakkan dalam gelas aqua masih dalam keadaan basah. Kemudian gelas-gelas aqua ini dibawa ke rumah kaca. Di rumah kaca, bahan tanaman dikeluarkan sebentar untuk mengisi gelas aqua dengan media tanam yang telah dipersiapkan hingga ¾ gelas. Selanjutnya dibuat lubang tanam dengan kedalaman hingga 2 cm dan plantlet nenas ditanam dengan hati-hati agar tidak merusak akar maupun daun dari plantlet nenas. Tahap berikutnya adalah tahap pemeliharaan, yang meliputi penyiraman yang dilakukan tiga kali seminggu. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap kondisi tanaman. Pada tahap ini dilakukan pembersihan seperlunya pada daun-daun yang mengering. Pengamatan dilakukan seminggu sekali sejak 0 minggu setelah tanam (MST) hingga 13 MST. Peubah yang diamati antara lain adalah tinggi tanaman serta jumlah daun. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga ujung terpanjang daun sempurna. Sedangkan jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah daun sempurna tanpa daun terkecil.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap konsentrasi NAA menunjukkan Kondisi Umum Kondisi iklim makro di awal aklimatisasi menunjukkan suhu rata-rata 30oC dengan suhu minimum hingga 20oC dan suhu maksimum mencapai 37oC. Aklimatisasi dilakukan pada greenhouse dengan naungan paranet 75% dengan bagian terbuka di sebelah timur sehingga pada pagi hari tanaman terkena sinar matahari langsung. Kondisi lingkungan yang cukup kondusif menyebabkan daya tumbuh plantlet relatif besar, dari 100% yang ditanam, hanya sekitar 10% yang mati pada sub kultur 1 dan tak lebih dari 40% pada sub kultur 2, sehingga daya tumbuh masih di atas 60% (Grafik 1). Tidak ditemukan adanya variasi morfologi yang mencolok pada populasi yang diteliti baik pada subkultur 1 maupun subkultur 2.
NAA untuk peubah jumlah daun (grafik 3). Walaupun tidak menunjukkan respon yang terbaik pada awal pengamatan, namun konsentrasi ini menunjukkan respon yang positif dan stabil hingga masa pengamatan berakhir.
Gambar 4.
Grafik Pengaruh Konsentrasi NAA Terhadap Jumlah Daun Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I..
Pengaruh perlakuan NAA sangat nyata terhadap jumlah daun, pengaruhnya dapat lebih jelas terlihat pada Gambar 4. Perkembangan planlet dari awal aklimatisasi menunjukkan pertumbuhan paling baik pada perlakuan Gambar 2.
Grafik Persentase Daya Tumbuh Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Pada Sub kultur I dan Sub kultur II.
Hasil pengamatan menunjukkan kematian tanaman lebih banyak terjadi karena fase multiplikasi yang kurang sempurna. Kontaminasi penyakit relatif tidak ada serta kondisi lingkungan yang optimum menyebabkan kemungkinan kematian lebih banyak disebabkan karena perlakuan yang diberikan.
menunjukkan daya adaptasi yang baik dari planlet terhadap lingkungan. walaupun respon yang ditunjukkan planlet rendah namun hingga akhir pengamatan terlihat pergerakan yang positif. Pada Gambar 4 ditunjukkan bahwa kon NAA memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap jumlah daun yang terbentuk. Respon negatif justru terjadi
Sub Kultur 1 Pada Gambar 3 ditunjukkan respon yang paling baik
Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa masih ada keterkaitan antara masing-masing kombinasi perlakuan. Hasil yang didapat menjadi tidak signifikan apabila setelah uji DMRT, hasil interaksi tersebut diikuti oleh dua huruf
terlihat mendominasi. Bahkan pada 2 hingga 4 MST tidak terlihat adanya penurunan. Hal ini diduga karena sudah berkembangnya sel-sel daun sehingga mampu beradaptasi terhadap cekaman sinar matahari dengan baik.
NAA merupakan kombinasi perlakuan yang dapat diduga menjadi kombinasi perlakuan yang terbaik. Tabel 1.
Interaksi BA dan NAA Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I Terhadap Jumlah Daun.
Jumlah daun (helai) 0,00 3.289d 3.553cd 3.826a-d 4.009a-c 4.242ab
Konsentrasi NAA (µM) 0,50 1,00 2,00 3.417cd 3.892a-d 3.891a-d 3.570cd 3.338d 4.209ab a-c cd 4.083 3.446 3.673a-d cd b-d 3.395 3.632 3.856a-d cd a-d 3.496 3.654 4.285a
Kons BA (µM)
0,00 4,40 8,80 13,32 17,76
Keterangan:
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
terlihat cukup baikterlihat pada Gambar 5 hingga pada 8 Gambar 3.
Grafik Pengaruh Konsentrasi BA Terhadap Jumlah Daun Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I.
po
memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pertumbuhan tinggi tanaman.
Gambar 7.
Gambar 5.
Grafik Pengaruh Konsentrasi NAA Terhadap Tinggi Tanaman Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I.
Sub Kultur 2 Pengaruh perlakuan BA berdasarkan hasil pengamatan tidak menunjukkan hasil yang lebih baik daripada tanpa perlakuan. Pada gambar 9 ditunjukkan bahwa jumlah daun yang seimbang dari 1 hingga 13 MST. Dapat di pertumbuhan jumlah daun yang hampir setara dengan jumlah daun yang mengering atau mati, didasarkan pada metode pengamatan yang dilakukan adalah dengan menghitung jumlah daun sempurna tanpa daun terkecil.
Grafik Pengaruh Konsentrasi NAA Terhadap Jumlah Daun Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur II.
Interaksi perlakuan BA dan NAA yang mempengaruhi pertumbuhan jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 2. Melalui uji DMRT diketahui bahwa ada keterkaitan antar perlakuan, namun perlakuan yang paling baik adalah
Tabel 2.
Interaksi BA dan NAA Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur II Terhadap Jumlah Daun.
Jumlah daun (helai) Kons BA (µM)
Keterangan:
0,00 4,40 8,80 13,32 17,76
0,00 3.440a-c 2.927bc 2.648c 4.359a 2.985bc
Konsentrasi NAA (µM) 0,50 1,00 2,00 2.735bc 3.749ab 3.241bc 3.395a-c 2.799bc 3.096bc 3.254bc 3.404a-c 3.622a-c 2.831bc 3.009bc 3.518a-c 3.113bc 3.768ab 3.741ab
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
Perlakuan NAA berpengaruh nyata terhadap tinggi respon yang lebih tinggi pada peubah tinggi tanaman, sama memberikan pengaruh yang baik terhadap tinggi tanaman pada sub kultur II.
Gambar 6.
Grafik Pengaruh Konsentrasi BA Terhadap Jumlah Daun Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur II.
jumlah daun, dapat dilihat pada Gambar 10 bahwa perlakuan penurunan jumlah daun yang paling sedikit dengan jumlah daun yang paling tinggi di antara perlakuan NAA lainnya.
Gambar 8.
Grafik Pengaruh Konsentrasi NAA Terhadap Tinggi Tanaman Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur II.
Interaksi antar perlakuan dapat mempengaruhi tinggi tanaman, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruhnya sangat nyata. Pada Tabel 12 dapat terlihat
keterkaitan antar perlakuan. Dari Tabel 12 juga dapat dilihat pengaruh yang paling baik adalah pengaruh dari interaksi
Tabel 3.
Interaksi BA dan NAA Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur II Terhadap Tinggi Tanaman.
Tinggi tanaman (cm) Kons BA 0,00 (µM) 4,40 8,80 13,32 17,76 Keterangan:
0,00 3.454a-d 2.929c-e 2.915c-e 4.151a 2.865c-e
Konsentrasi NAA (µM) 0,50 1,00 2,00 2.729de 3.402a-d 3.117b-e 3.274b-d 2.993c-e 3.042c-e 3.066b-e 3.259b-d 3.309b-d 2.431e 2.849c-e 3.524a-d 2.999c-e 3.524a-d 3.849ab
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
Perbandingan Antar Sub Kultur Pengaruh konsentrasi BA terhadap jumlah daun pada sub kultur I berpengaruh positif yaitu semakin tinggi konsentrasi BA memberikan pengaruh yang makin baik. Pengaruh konsentrasi BA terhadap jumlah daun pada sub kultur II memberikan pengaruh negatif yaitu semakin tinggi konsentrasi BA maka akan semakin menghambat pertumbuhan planlet seperti bisa dilihat pada Gambar 12.
Gambar 10. Diagram Perbandingan Pengaruh Konsentrasi NAA Pada 13 MST Terhadap Jumlah Daun Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I dan Sub kultur II.
Pengaruh konsentrasi BA terhadap tinggi tanaman pada sub kultur I terlihat lebih tinggi dari sub kultur II. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan BA yang tidak berbeda nyata pada peubah tinggi tanaman pada sub kultur I, namun Gambar 14 menunjukkan bahwa respon terbai Pergerakan pengaruh konsentrasi BA pada sub kultur I terhadap tinggi tanaman masih cenderung positif, dapat terlihat dari respon minimal didapat kare pengaruh yang sedikit lebih rendah, dan respon tertinggi
Gambar 9.
Diagram Perbandingan Pengaruh Konsentrasi BA Pada 13 MST Terhadap Jumlah Daun Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I dan Sub kultur II.
terhadap jumlah daun memberikan pengaruh tertinggi dari semua perlakuan (Gambar 10). Pengaruh perlakuan NAA pada sub kultur II terhadap jumlah daun berpengaruh sangat nyata berdasarkan hasil analisis ragam, hasil pengamatan
Gambar 11. Diagram Perbandingan Pengaruh Konsentrasi BA Pada 13 MST Terhadap Tinggi Tanaman Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I dan Sub kultur II.
pengaruh tertinggi. Pengaruh perlakuan NAA pada sub kultur I terhadap jumlah daun adalah sangat nyata berdasarkan hasil analisis data. Pengaruh konsentrasi NAA pada sub kultur I tidak menunjukan pengaruh yang positif untuk semua perlakuan, karena titik puncak teramati karena pengaruh konsentrasi
tanaman pada sub kultur I menunjukkan pengaruh tertinggi. Pola respon atas pengaruh perlakuan NAA pada sub kultur I terhadap tinggi tanaman hampir sama dengan pola yang terjadi pada pengaruh perlakuan NAA terhadap jumlah daun. Pengaruh paling baik didapat pada konsentrasi NAA terhadap tinggi tanaman pada sub kultur II berbeda sangat nyata berdasarkan hasil analisis data, pada Gambar pengaruh yang paling baik pada sub kultur II (Gambar 12).
tahap aklimatisasi, respon terbaik dicapai dari pengaruh Pengaruh perlakuan BA dan NAA pada tahap multiplikasi pada sub kultur II yang menunjukkan hasil terbaik untuk peubah jumlah daun dan tinggi tanaman pada tahap aklimatisasi adalah konsentrasi 2.0 µM NAA. memberikan pengaruh terbaik terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman pada tahap aklimatisasi. Pertumbuhan planlet sub kultur I menunjukkan laju pertumbuhan lebih baik dari sub kultur II. DAFTAR PUSTAKA Gambar 12. Diagram Perbandingan Pengaruh Konsentrasi NAA Pada 13 MST Terhadap Tinggi Tanaman Pada Aklimatisasi Nanas cv. Smooth Cayenne Sub kultur I dan Sub kultur II.
Pembahasan Penambahan sitokinin pada media kultur jaringan akan merangsang pembelahan sel, sedangkan auksin berperan dalam pembesaran sel, sehingga interaksi keduanya dapat meningkatkan pertumbuhan dan ukuran sel. Sitokinin digunakan untuk merangsang pembentukan tunas dan memecah dormansi sel (Hartman dan Kester 1983). Namun tanaman yang berbeda dapat merespon hormon (sitokinin dan auksin) dalam berbagai konsentrasi secara berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kandungan konsentrasi hormon endogen tumbuhan itu sendiri. (Hartmann et al 1983). Penambahan auksin pada media kultur jaringan akan merangsang pertumbuhan kalus, perpanjangan tunas dan pembentukan akar. NAA merupakan salah satu jenis auksin yang mempunyai sifat kimia lebih stabil dibanding IAA dan tidak mudah teroksidasi oleh enzin (Zaer dan Mapes 1985). BA termasuk golongan sitokinin merupakan ZPT yang banyak digunakan untuk memacu inisiasi dan poliferasi tunas. Terutama dalam mendorong pembelahan sel, menginduksi tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik 1987). Interaksi BA dan NAA yang sangat nyata menunjukkan bahwa perlakuan sitokinin (BA) tidak dapat dilepaskan dari pengaruh auksin (NAA), sehingga dalam penggunaan sitokinin, baik efek mendorong maupun menghambat proses pembelahan sel tergantung dari adanya fitohormon lainnya, terutama auksin (Wattimena 1988). Rendahnya pertumbuhan jumlah daun dan tinggi tanaman pada sub kultur II dapat dipicu oleh paparan auksin yang terlalu tinggi pada plantlet, sehingga pengaruh auksin tidak lagi mempercepat pertumbuhan justru dapat menghambat pertumbuhan. Pada Smith (1992) dikatakan auksin konsentrasi tinggi dapat merangsang pembentukan kalus namun dapat menekan morfogenesis. Hal ini menunjukkan bahwa pada sub kultur II, konsentrasi yang terlalu rendah maupun yang terlalu tinggi dapat diduga tidak akan memberikan hasil yang optimal, bahkan justru dapat menghambat pertumbuhan pada tahap aklimatisi. KESIMPULAN DAN SARAN Pengaruh perlakuan BA dan NAA pada tahap multiplikasi sub kultur I yang menghasilkan jumlah daun terbanyak pada tahap aklimatisasi adalah konsentrasi 17.76 µM BA dan 2.0 µM NAA. Pada peubah tinggi tanaman pada
Abidin, Z. 1993. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Cetakan ketiga. Percetakan Angkasa. Bandung. Arteca, R. N. 1996. Plant Growth Substances: Principles and Applications. Chapman & Hall. New York. Basra, A. S. 2000. Plant Growth Regulators in Agriculture and Horticulture: Their Role and Commercial Uses. Haworth Press. New York. Board, N. 2005. Tropical, Subtropical Fruits and Flowers Cultivation. National Institute of Industrial Research. New Delhi. Chan, Y. K., Coppens d’Eeckenbrugge, G., and Sanewski, G. M. 2003. Breeding and Variety Improvement. Eds Bartholomew, D. P., Paull, R. E., and Rohrbach, K. G. The Pineapple: Botany, Production, and Uses. CABI Publishing. New York. Chanda, K. L., Melanta, K. R., and Shikamany, S. D. 1974. High Density Planting Increases Pineapple Yields. Eds P. V. Ammiranto, Evans, Sharp and Yamada. Handbook of Plant Cell Culture. Volume 3. Crop Species. Macmillan Publishing Company. New York. Collins, J. L. 1960. The Pineapple. Leonard Hill, London. Coppens d’Eeckenbrugge, G. and F. Leal. 2003. Morphology, Anatomy, Taxonomy. P 13-32. Eds. Bartholomew, D. P., Paull, R. E., and Rohrbach, K. G. The Pineapple: Botany, Production, and Uses. CABI Publishing. New York. Departemen Pertanian. 2009. Statistik Ekspor 2003-2008. http://www.hortikultura.deptan.go.id/index.php?optio n=com_wrapper&Itmid=226 [4 Januari 2010]. Economic Research Service USDA. 2009. Pineapples: U.S. import-eligible countries; world production and exports. http://www.ers.usda.gov/data/fruitvegphyto/ Data/fr-pineapples.xls [6 Januari 2010]. FAO STAT. 2009. Statistic Data. http://faostat.fao.org/ site/339/default.aspx [8 Februari 2010] Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harjadi, S. S. 1996. Pengantar Agronomi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Harjadi, S. S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Cet 1. Jakarta: Penebar Swadaya. Hartmann, H. T. and D. E. Kester. 1978. Plant Propagation, Principles and Practice. Third Edition. Prentice Hall of India. New Delhi. Hartmann, H. T. and L. P. J. Kester. 1983. Plant Propagation, Principles and Practice. Fourth Edition. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Hartmann, H. T., D. E. Kester, and F. T. Davies, JR. 1990. Plant Propagation Principles and Practices. Fifth Edition. Prentice Hall International Inc. Phillipines.
Hendaryono, D. P. D., dan Wijayani, A. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Kadlecek, P., I. Ticha, D. Haisel, V. Capkova, and C. Schafer. 2001. Importance of in vitro pretreatment for ex vitro acclimatization and growth. Plant Science 161: 695-701. Kyte, L. and Kleyn, J. G. 1996. Plants From Test Tubes: An Introduction To Micropropagation. Third Edition. Timber Press. Oregon. Mii, M., M. Buiatti, and F. Gimelli. 1990. Carnation. Eds. P.V. Ammirati, D. A. Evans, W. R. Sharp and Y. P. S. Bajaj. Handbook of Plant Tissue Culture. Vol 5. Ornamental Species. McGraw-Hill. New York. P 284-318. Murashige, T. 1974. Plant Propagation Through Tissue Culture. Ann. Rev. Plant Physiol. 25: 135-166. Nakasone, H. Y. and R. E. Paull.1999. Tropical Fruit. CAB International. London. P.292-327. Nuswamarhaeni, S. 2001. Membuat Tanaman Cepat Berbuah. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. Okihiro, G. Y. 2009. Pineapple Culture: A History of the Tropical and Temperate Zones. University Of California Press. California. Pierik, R. M. L. 1987. In vitro Culture of Higher Plant. Marthinus Mijhoff Pub. Nedherland. 344 p. Prahasta, A. 2009. Agribisnis Nanas. Pustaka Grafika. Bandung. Radha, T. adn Mathew, L. 2007. Horticulture Science Series 3: Fruit Crops. New India Publishing Co. New Delhi. Rohrbach, K. G., F. Leal, and G. Coppens d’Eeckenbrugge. 2003. History, Distribution, and World Production. P 1-13. Eds. Bartholomew, D. P., Paull, R. E., Rohrbach, K. G. The Pineapple: Botany, Production, and Uses. CABI Publishing. New York. Rukmana, R. 1996. Nanas, Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius, Yogyakarta. Salvi, M. J. and Rajput, J. C. 1995. Pineapple. Eds Salunkhe, D. K. and S. S. Kadam. Handbook of Fruit Science and Technology: Production, Composition, Storage, and Processing. Marcel Dekker. New York. Saxena, S., and V. Dhawan. 2004. Changing Scenarios in Indian Horticulture. Eds. Srivastava, S., A. Narula, and S. S. Bhojwani. Plant Biotechnology and Molecular Markers. Kluwer Academic Publisher. New Delhi. Smith, R. H. 1992. Plant Tissue Culture: Techniques and Experiments. Academic Press. New York. Sriyanti, D. P. dan Wijayani, A. 1994. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern. Kanisius. Yogyakarta. Susanti, D. 2005. Pengujian Berbagai Media Aklimatisasi untuk Planlet Tebu (Saccharum officinarum) kultuvar PA 117 dan PA 198. Skripsi. Departemen Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 32 hal. Verheij, E. M. W. dan R. E. Coronel. 1997. Buah-buahan yang dapat dimakan. Prosea. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Warintek. 2000. Nanas. www.warintek.ristek.go.id/pertanian/ nanas.pdf [4 Januari 2010]. Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor. 247p. Wee, Y.C. and Thongtham, M.L.C., 1992. Ananas comosus (L.) Merr. Eds. Verheij, E. W. M. and Coronel, R. E..
Plant Resources of South-East Asia No. 2: Edible fruits and nuts. PROSEA Foundation, Bogor. Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In vitro. Avery Publishing, Inc. New Jersey. 110hal. Yusnita. 2003. Kultur Jaringan, Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta. 105 hal. Zaer, J. S. and M. O. Mapes. 1985. Action of growth regulators. P.231-255. In J. M. Bonga and P.J. Duczan. Tissue Culture in Forestry. Martinus Nijhoff. London. Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta.