MAKALAH ANALISIS KASUS KOROSI PADA PIPA MINYAK SOLAR Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Korosi dengan Dosen Pengampu Dr. Rahmat Doni, ST.,MT. dan Agus Nugroho, S.Pd.,M.T.
oleh : Hariman Rilo Pambudi NIM. 5212412021
JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
i
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Fakta yang Mendasar
4
1.3. Permasalahan
5
1.4. Tujuan
5
1.5. Metode
5
BAB 2 LANDASAN TEORI
6
2.1. Korosi
6
2.1.1.
Korosi Merata
7
2.1.2.
Korosi Atmosfer
7
2.1.3.
Korosi Galvanis
8
2.1.4.
Korosi Regangan
8
2.1.5.
Korosi Celah
9
2.1.6.
Korosi Sumuran
9
2.1.7.
Kosori Erosi
10
2.1.8.
Korosi Arus Liar
10
2.1.9.
Korosi Pelarutan Selektif
10
2.1.10.
Hydrogen Attack
11
2.1.11.
Korosi Mikrobiologi
11
2.1.12.
Korosi Titik Embun
11
2.1.13.
Korosi Antar Batas Butir
11
2.2. Korosi Pada Pipa Minyak Solar 1.2.1.
Minyak Solar
13 13
ii
1.2.2.
Jenis-jenis Bahan Bakar Diesel
13
1.2.3.
Laju Korosi
14
1.2.4.
Baja Karbon
15
1.2.5.
Creep
15
1.2.6.
Inhibitor
16
2.3. Studi Pustaka
18
BAB 3 METODOLOGI
19
3.1. Metode yang Diterapkan
19
1.1.1.
Studi Pustaka
19
1.1.2.
Artikel
19
1.1.3.
Journal
19
3.2. Diagram Alir Penulisan
20
BAB 4 PEMBAHASAN
21
4.1. Pengujian Creep
21
4.2. Laju Korosi
23
4.3. Cara Mengendalikan Korosi
24
BAB 5 PENUTUP
25
5.1. Kesimpulan
25
5.2. Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
27
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Beberapa jenis korosi yang menyerang pipa
6
Gambar 2.2 Korosi Merata
7
Gambar 2.3 Korosi Galvanis
8
Gambar 2.4 Korosi Regangan
8
Gambar 2.5 Crevice corrotion
9
Gambar 2.6 Korosi Sumuran
10
Gambar 2.7 Korosi Erosi
10
Gambar 2.8 Korosi Mikrobiologi
11
Gambar 2.9 Bahan baja korosi
15
Gambar 2.10 Kurva creep
16
Gambar 4.1 Kurva umur sisa terhadap temperatur
22
Gambar 4.2 Laju korosi pada pipa lurus dan pipa elbow
23
Gambar 4.3 Struktur mikro pipa lurus
23
Gambar 4.4 Struktur mikro pipa elbow
24
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil uji creep
21
Tabel 2. Desain dan Operasional
21
Tabel 3. Perhitungan umur sisa dalam aspek korosi
22
iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia, namun sampai saat ini masih mengimpor bahan bakar minyak (BBM) untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar minyak di sektor transportasi dan industri. Dalam jangka panjang, impor BBM ini akan semakin mendominasi penyediaan energi nasional apabila tidak ada kebijakan pemerintahan untuk melaksanakan penganekaragaman energi dengan energi terbarukan (Risnoyatiningsih, 2010). Salah satu jenis energi terbarukan tersebut adalah biodiesel. Sebagai bagian dari salah satu paket kebijakan ekonomi, pemerintah akan berusaha meningkatkan porsi biodiesel dalam penjualan biosolar. Pemerintah akan merevisi peraturan Menteri ESDM No.32 Tahun 2008 tentang pemanfaatan, penyediaan, dan tata niaga bahan bakar nabati, dengan tujuan untuk meningkatkan kadar campuran biodiesel di dalam biosolar sebesar 10% dari yang sebelumnya 5% (Gunawan, 2013). Lube oil complex adalah fasilitas yang berada di pengilangan minyak yang beroperasi untuk menghasilkan bahan pelumas. Salah satu unitnya adalah heat exchangger yang digunakan untuk memanaskan pelumas dari suhu 250ºC menjadi 390ºC. Bahan bakar yang digunakan dapat berupa solar ataupun gas. Pada bulan Desember 2012 pipa pemanas ditemukan dalam keadaan pecah, pipa bocor pelumas menyembur keluar, terbakar, terlihat kepulan asap hitam yang berakibat kilang berhenti beroperasi. Peristiwa terjadi saat shootdown unit 22F-1. Diperoleh informasi umur pakai pipa
telah mencapai 39 tahun.
sebelumnya diketahui bahwa penyebab kegagalan adalah karena terjadinya overheating lokal. Dari hasil inspeksi visual menunjukan bahwa salah satu dari pipa pada baris ke dua nomor 4 dengan yang berdiameter luar 6 inci ditemukan dalam keadaan pecah seperti terlihat pada Gambar 1. Segmen yang pecah tersebut kemudian diganti dengan pipa yang baru, dilakukan hydrotest selanjutnya
1
dioperasikan kembali. Enam buah pipa yang berdekatan dipotong, selanjutnya diretubing. Ke enam pipa tersebut diperiksa. Dari hasil pemeriksaan awal ditemukan karat baik di bagian dalam maupun di bagian luar pipa. Selain itu tampak adanya penipisan terutama dari bagian dalam pipa. Hal yang menarik untuk dikaji adalah ternyata di sekeliling pipa yang pecah tersebut kondisi pipa lainnya masih dalam keadaan utuh. Adapun pemotongan ke-enam pipa dilakukan untuk mempelajari kemungkinan dampak negatif yang terjadi akibat pemanasan lokal pada pipa yang rusak. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam menjalankan roda kehidupan manusia sehari-hari. Dari bahan baku yang didapat dari alam dan melalui beberapa tahapan yang sangat panjang sebelum sampai di tangan konsumen. Upaya yang dilakukan untuk menyalurkan bahan bakar tersebut haruslah efisien dan ekonomis baik dari segi waktu maupun biaya. Kendala yang biasa dihadapi dalam penyaluran bahan bakar dari tempat satu ke tempat lainnya yakni letak geografis yang cukup jauh. Balongan merupakan sebuah wilayah di Propinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu wilayah penghasil minyak terbesar di Indonesia dan mengolahnya menjadi bahan bakar dengan kapasitas yang cukup besar. Kapasitas tersebut didistribusikan ke kota Jakarta sebagai pusat aktivitas di Indonesia. Dengan jarak yang cukup jauh antara Balongan dan Jakarta yakni ±172 km, maka digunakanlah sistem pipeline untuk lebih mengefisiensikan waktu dan biaya transportasi. Sistem pipeline merupakan salah satu cara untuk menyalurkan bahan bakar dari suatu tempat pengilangan ke tempat pendistribusian sebelum sampai ke tangan konsumen.
Sistem ini merupakan rangkaian pipa yang
menyalurkan suatu fluida dari tempat satu ke tempat yang lainnya yang jaraknya cukup jauh. Sistem yang digunakan pada analisa perancangan ini yakni sistem pipa yang ditanam di bawah tanah (buried pipe). Pada sistem pipa bawah tanah memiliki spesifikasi tersendiri dalam hal teknis penanaman maupun teknis instalasi yang nantinya berpengaruh terhadap tekanan pada pipa. Dan untuk fluida yang dialirkan adalah bahan bakar berjenis solar. Keadaan geografis yang dilewati pipa cukup beragam, mulai dari sungai atau danau, jalan raya dengan variasi beban tertentu, tanah resapan, pemukiman
2
penduduk dan keadaan geografis lainnya yang itu semua sangat mempengaruhi parameter- parameter perhitungan dan asumsi yang digunakan dalam analisis perancangan sistem pipeline ini. Dari keadaan geografis yang ditemui di lapangan, akan timbul suatu perbedaan elevasi ketinggian yang memegang peranan penting terhadap hilangnya tekanan dan timbul kerugian-kerugian yang diakibatkan naik turunnya medan yang ditempuh. Oleh karena itu digunakanlah metode analisa gradien hidrolik dengan mengasumsikan aliran minyak dalam kondisi steady state dan variasi temperatur dalam keadaan konstan sepanjang pipa (isothermal). Metode ini mengkonversi parameter tekanan ke parameter head yang memiliki satuan serupa dengan elevasi. Karakteristik fisik dan kimia dari fluida yang dialirkan yakni solar, secara umum akan didapatkan dari pengkondisian aliran yang melewati pipa. Dari kondisi aliran tersebut, nantinya untuk menentukan spesifikasi geometri pipa yang dibutuhkan seperti diameter dan luas penampang dari pipa, jenis pompa dan booster yang dibutuhkan per satuan jarak dan pertimbangan-pertimbangan lain yang diperlukan dalam perancangan ini. Beberapa kondisi lainnya saat instalasi pun berpengaruh terhadap analisa perancangan ini seperti perlindungan pipa terhadap korosi yang nantinya akan mempengaruhi umur dari pipa dan beberapa permasalahan teknis dalam sistem pipeline ini juga diperhitungkan, agar mendapat analisa perancangan yang efisien serta dapat meminimalisir biaya tinggi yang dikeluarkan untuk perancangan pipa itu sendiri. Fleksibilitas sistem perpipaan serta penumpu pipa yang baik dan aman sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan dari proses, serta menjamin umur pemakaian dari sistem perpipaan sesuai dengan siklus rancangan. Namun pada kenyataannya di lapangan masih ditemukan kegagalan-kegagalan yang terjadi pada sistem perpipaan, baik pada saat instalasi maupun operasi. Hal ini jelas merugikan karena sistem tidak dapat beroperasi secara maksimum. Agar sistem perpipaan terjamin dan aman dari kerusakan baik akibat tekanan internal operasi, berat pipa, pemuaian pipa, angin, maupun gempa bumi, diperlukan suatu perancangan dan analisis tegangan. Perancangan sistem perpipaan meliputi perancangan pipa yang bertujuan menentukan ukuran pipa
3
yang aman dalam menahan tekanan internal operasi maksimum dan perancangan lokasi penempatan penumpu pipa yang bertujuan menentukan lokasi-lokasi dari sistem perpipaan yang perlu diberikan penumpu jenis tertentu agar sistem perpipaan aman dalam menahan berat pipa, ekspansi pipa akibat perubahan temperatur, angin, dan gempa. Penumpu pipa merupakan suatu perlengkapan dari sistem perpipaan yang tidak dapat dipisahkan, karena tanpa penumpu pipa sistem perpipaan tidak dapat dipasang dengan sempurna. Agar penumpu pipa pada sistem perpipaan dapat berfungsi sempurna, maka sebelum menempatkan penumpu pipa diperlukan perhitungan perencanaan yang baik terhadap tempat pemasangannya agar sistem perpipaan tidak rusak dan tahan lama.
1.2. Fakta yang Mendasar Dari uraian diatas maka fakta yang mendasar pada makalah ini adalah : Permasalahan pada perancangan pipa yang dapat mengakibatkan pipa menjadi bocor serta pemilihan material. Perancangan sistem perpipaan meliputi perancangan pipa yang bertujuan menentukan ukuran pipa yang aman dalam menahan tekanan internal operasi maksimum dan perancangan lokasi penempatan penumpu pipa yang bertujuan menentukan lokasi-lokasi dari sistem perpipaan yang perlu diberikan penumpu jenis tertentu agar sistem perpipaan aman dalam menahan berat pipa, ekspansi pipa akibat perubahan temperatur, angin, dan gempa. Dari bahan baku yang didapat dari alam dan melalui beberapa tahapan yang sangat panjang sebelum sampai di tangan konsumen. Upaya yang dilakukan untuk menyalurkan bahan bakar tersebut haruslah efisien dan ekonomis baik dari segi waktu maupun biaya. Kendala yang biasa dihadapi dalam penyaluran bahan bakar dari tempat satu ke tempat lainnya yakni letak geografis yang cukup jauh. Balongan merupakan sebuah wilayah di Propinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu wilayah penghasil minyak terbesar di Indonesia dan mengolahnya menjadi bahan bakar dengan kapasitas yang cukup besar. Kapasitas tersebut didistribusikan ke kota Jakarta sebagai pusat aktivitas di Indonesia. Dengan jarak yang cukup jauh antara Balongan dan Jakarta yakni
4
±172 km, maka digunakanlah sistem pipeline untuk lebih mengefisiensikan waktu dan biaya transportasi. Oleh sebab itu, perancangan sangat perlu guna menghindari terjadinya korosi pada pipa minyak.
1.3. Permasalahan Berdasarkan pada uraian diatas maka dapat diambil permasalahan, antara lain : 1. Bagaimana perhitungan umur sisa akibat creep pada pipa minyak solar? 2. Bagaimana analisis laju korosi pada pipa minyak solar? 3. Bagaimana cara mencegah pipa minyak solar dari korosi?
1.4. Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui cara menghitung umur sisa pada pipa minyak solar yang dikenai creep. 2. Mengetahui analisis laju korosi pada pipa minyak solar. 3. Mengetahui cara mencegah pipa minyak solar dari korosi.
1.5. Metode Dalam penyusunan makalah ini penulis mempergunakan beberapa metode antara lain : 1. Studi Literatur Studi literatur merupakan cara mempelajari teori-teori yang digunakan pada buku atau jurnal yang berhubungan dengan makalah ini.
5
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Korosi Korosi atau pengkaratan merupakan suatu peristiwa kerusakan atau penurunan kualitas suatu bahan logam yang disebabkan oleh terjadinya reaksi terhadap lingkungan. Beberapa pakar berpendapat definisi hanya berlaku pada logam saja, tetapi para insinyur korosi juga ada yang mendefinisikan istilah korosi berlaku juga untuk material non logam, seperti keramik, plastik, karet. Sebagai contoh rusaknya cat karet karena sinar matahari atau terkena bahan kimia, mencairnya lapisan tungku pembuatan baja, serangan logam yang solid oleh logam yang cair hida posisiali (Hakim, 2012).
Gambar 2.1 Beberapa jenis korosi yang menyerang pipa (Elanda, 2011) Korosi pada material logam dalam elektrolit merupakan proses elektrokimia yaitu suatu proses reaksi kimia yang diikuti dengan per- tukaran elektron atau arus listrik, dimana pada kasus pipa baja yang ditanam dalam tanah, elektrolitnya adalah tanah dengan kelembabannya. Proses korosi melibatkan dua macam reaksi elektrokimia yaitu reaksi oksidasi dan reaksi reduksi. Reaksi oksidasi melibatkan proses pelepasan sejumlah elektron dari suatu logam yang mengakibatkan lepasnya ion logam Mn+ ke lingkungan (proses korosi). Sedangkan reaksi reduksi merupakan proses reaksi yang melibatkan pengambilan sejumlah elektron yang merupakan kebalikan dari proses oksidasi. Proses korosi pada baja, oksidasi merupakan pelepasan ion besi (Fe++) ke lingkungan sedangkan proses reduksi pada lingkungan netral dapat berupa reduksi oksigen atau air, seperti persamaan reaksi berikut:
6
Fe -> Fe++ + 2e (Oksidasi/ korosi) O2 + 2H2O + 4e -> 4OH- (Reduksi oksigen), atau 2 H2O + 2e ->H2 + 2OH- (Reduksi Air) Berdasarkan bentuk kerusakan yang dihasilkan, penyebab korosi, lingkungan tempat terjadinya korosi, maupun jenis material yang diserang, korosi terbagi menjadi, diantaranya adalah : 2.1.1.
Korosi Merata Korosi merata adalah bentuk korosi yang pada umumnya sering terjadi.
Hal ini biasanya ditandai dengan adanya reaksi kimia atau elektrokimia yang terjadi pada permukaan yang bereaksi. Logam menjadi tipis dan akhirnya terjadi kegagalan pada logam tersebut. Sebagai contoh, potongan baja atau seng dicelupkan pada asam sulfat cair, biasanya akan terlarut secara seragam pada seluruh permukaannya. Contoh lain dari korosi merata adalah pada pelat baja atau profil, permukaannya bersih dan logamnya homogen, bila dibiarkan di udara biasa beberapa bulan maka akan terbentuk korosi merata pada seluruh permukaanya. Korosi merata merupakan keadaan kerusakan yang sangat besar terhadap material, namun korosi ini kurang diperhatikan karena umur dari peralatan dapat diperkirakan secara akurat dengan pengujian lain yang lebih sederhana. Korosi merata dapat dilakukan pencegahan dengan cara pelapisan, inhibitor dan proteksi katodik.
Gambar 2.2 Korosi Merata (Utomo, 2009) 2.1.2.
Korosi Atmosfer Korosi ini terjadi akibat proses elektrokimia antara dua bagian benda
padat khususnya metal besi yang berbeda potensial dan langsung berhubungan dengan udara terbuka.
7
2.1.3.
Korosi Galvanis Korosi galvanis adalah jenis korosi yang terjadi ketika dua macam logam
yang berbeda berkontak secara langsung dalam media korosif. Logam yang memiliki potensial korosi lebih tinggi akan terkorosi lebih hebat dari pada kalau ia sendirian dan tidak dihubungkan langsung dengan logam yang memiliki potensial korosi yang lebih rendah. Logam yang memiliki potensial korosi yang lebih rendah akan kurang terkorosi dari pada kalau ia sendirian dan tidak dihubungkan langsung dengan logam yang memiliki potensial korosi yang lebih tinggi. Pada kasus ini terbentuk sebuah sel galvanik, dengan logam yang berpotensial korosi lebih tinggi sebagai anoda dan logam yang berpotensial korosi lebih rendah sebagai katoda.
Gambar 2.3 Korosi Galvanis (Utomo, 2009) 2.1.4.
Korosi Regangan Korosi ini terjadi karena pemberian tarikan atau kompresi yang melebihi
batas ketentuannya. Kegagalan ini sering disebut retak karat regangan (RKR). Sifat retak jenis ini sangat spontan (tiba-tiba terjadinya), regangan biasanya bersifat internal atau merupakan sisa hasil pengerjaan (residual) seperti pengeringan, pengepresan dan lain-lain.
Gambar 2.4 Korosi Regangan (Utomo, 2009)
8
2.1.5.
Korosi Celah Korosi celah ialah sel korosi yang diakibatkan oleh perbedaan
konsentrasi zat asam. Karat ini terjadi, karena celah sempit terisi dengan elektrolit (air yang pHnya rendah) maka terjadilah suatu sel korosi dengan katodanya permukaan sebelah luar celah yang basa dengan air yang lebih banyak mengadung zat asam dari pada bagian sebelah dalam celah yang sedikit mengandung zat asam sehingga bersifat anodic. Korosi celah termasuk jenis korosi lokal. Jenis korosi ini terjadi pada celah-celah konstruksi, seperti kakikaki konstruksi, drum maupun tabung gas. Korosi jenis ini juga dapat dilihat pada celah antara tube dari heat exchanger dengan tubesheet. Adanya korosi bisa ditandai dengan warna coklat di sekitar celah. Tipe korosi ini terjadi akibat terjebaknya elektrolit sebagai lingkungan korosif di celah-celah yang terbentuk diantara peralatan konstruksi.
Gambar 2.5 Crevice corrotion (Utomo, 2009) 2.1.6.
Korosi Sumuran Korosi sumuran juga termasuk korosi lokal. Jenis korosi ini mempunyai
bentuk khas yaitu seperti sumur, sehingga disebut korosi sumuran. Arah perkembangan korosi tidak menyebar ke seluruh permukaaan logam melainkan menusuk ke arah ketebalan logam dan mengakibatkan konstruksi mengalami kebocoran. Walaupun tidak sampai habis terkorosi, konstruksi tidak dapat beroperasi optimal, bahkan mungkin tidak dapat dipergunakan lagi karena kebocoran yang timbul. Korosi sumuran sering terjadi pada stainless-steel, terutama pada lingkungan yang tidak bergerak (stasioner) dan non-oksidator (tidak mengandung oksigen).
9
Gambar 2.6 Korosi Sumuran (Utomo, 2009) 2.1.7.
Korosi Erosi Korosi erosi adalah proses korosi yang bersamaan dengan erosi/abrasi.
Korosi jenis ini biasanya menyerang peralatan yang lingkungannya adalah fluida yang bergerak, seperti aliran dalam pipa ataupun hantaman dan gerusan ombak ke kaki-kaki jetty. Keganasan fluida korosif yang bergerak diperhebat oleh adanya dua fase atau lebih dalam fluida tersebut, misalnya adanya fase liquid dan gas secara bersamaan, adanya fase liquid, gas dan solid secara bersamaan. Kavitasi adalah contoh erosion corrosion pada peralatan yang berputar di lingkungan fluida yang bergerak, seperti impeller pompa dan sudusudu turbin. Erosion / abrassion corrosion juga terjadi di saluran gas-gas hasil pembakaran.
Gambar 2.7 Korosi Erosi (Utomo, 2009) 2.1.8.
Korosi Arus Liar Prinsip serangan karat arus liar ini adalah merasuknya arus searah secara
liar tidak sengaja pada suatu kosntruksi baja, kemudian meninggalkannya kembali menuju sumber arus. 2.1.9.
Korosi Pelarutan Selektif Korosi pelarutan selektif ini meyangkut larutnya suatu komponen dari
zat paduan yang biasa disebut pelarutan selektif. Zat komponen yang larut selalu bersifat anodik terhadap komponen yang lain. Walaupun secara visual
10
tampak perubahan warna pada permukaan paduan namun tidak tampak adanya kehilangan materi berupa takik, Perubahan dimensi, retak atau alur. 2.1.10.
Hydrogen Attack Hydrogen attack mengakibatkan logam menjadi rapuh akibat penetrasi
hidrogen ke kedalaman logam. Peristiwa perapuhan ini biasa disebut dengan “Hydrogen Embrittlement”. Logam juga bisa retak oleh invasi hidrogen. Belum diketahui bagaimana hidrogen bisa merusak logam secara kimiawi ataupun secara elektrokimia. 2.1.11.
Korosi Mikrobiologi Korosi
ini
disebabkan
oleh
mikroorganisme
yang
melakukan
metabolisme secara langsung dengan logam sehingga hasil akhir akan menimbulkan korosi, atau dapat pula hasil reaksinya membuat lingkungan yang korosif. Contohnya mikroba sulfat anaerobic atau Desulfofibrio desulfuricans.
Gambar 2.8 Korosi Mikrobiologi (Utomo, 2009) 2.1.12.
Korosi Titik Embun Karat titik embun ini disebabkan oleh faktor kelembaban yang
menyebabkan titik embun atau kondensasi, tanpa adanya unsur kelembaban relatif, segala macam kontaminan (zat pencemar) tidak akan atau sedikit sekali menyebabkan karat. Titik embun ini sangat korosif sekali terutama di daerah dekat pantai dimana banyak partikel air asin yang berhembus dan mengenai permukaan metal atau di daerah kawasan industri yang kaya akan pencemaran udara. 2.1.13.
Korosi Antar Batas Butir Di daerah batas butir memilki sifat yang lebih reaktif. Banyak-sedikitnya
batas butir akan sangat mempengaruhi kegunaan logam tersebut. Jika semakin sedikit batas butir pada suatu material maka akan menurunkan kekuatan material tersebut. Jika logam terkena karat, maka di daerah batas butir akan
11
terkena serangan terlebih dahulu dibandingkan daerah yang jauh dari batas butir. Serangan yang terjadi pada daerah batas butir dan daerah yang berdekatan dengan batas butir hal ini biasa disebut intergranular corrosion. Intergranular corrosion dapat terjadi karena adanya kotoran pada batas butir, penambahan pada salah satu unsur paduan, atau penurunan salah satu unsur di daerah batas butir. Sebagai contoh paduan besi dan alumunium, dimana kelarutan besi lambat maka akan terjadi serangan pada batas butir. Beberapa kegagalan pada 18-8 baja karbon telah terjadi karena intergranular corrosion. Ini terjadi dalam lingkungan dimana paduan harus memiliki ketahanan korosi yang sangat baik. Ketika baja dipanaskan pada suhu kira-kira antara 9500 F sampai 14500 F, baja tersebut akan peka atau rentan terhadap intergranular corrosion. Sebagai contoh untuk menghindari terjadinya intergranular corrosion, maka prosedur kepekaan di panaskan pada suhu 12000 F selama satu jam. Kebanyakan teori tentang terjadinya intergranular corrosion didasarkan pada kehilangan atau penipisan kromium di daerah batas butir. Penambahan kromium pada baja akan meningkatkan ketahanan korosi diberbagai kondisi lingkungan. Umumnya penambahan tersebut berkisar 10% kromium untuk pembuatan baja karbon tahan karat. Jika kromium secara efektif diturunkan ketahanan terhadap korosi akan berkurang. Berdasarkan lingkungannya, korosi dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu sebagai berikut : 1. Korosi Lingkungan Gas (Dry Corrosion). 2. Korosi Lingkungan Cairan (Wet Corrosion). Korosi lingkungan gas dapat terjadi pada lingkungan atmosfir maupun lingkungan gas yang lain. Korosi lingkungan cairan dapat terjadi pada lingkungan air maupun cairan yang lain. Korosi dapat dibedakan berdasarkan suhu korosif yang melingkungi konstruksi logam. Berdasarkan suhu korosif ini, korosi dibedakan menjadi dua kategori, yaitu : 1. Korosi Suhu Tinggi (High Temperature Corrosion). 2. Korosi Biasa/ Suhu Kamar (Normal Temperature Corrosion). High Temperature Corrosion terjadi pada burner, boiler, reformer, reaktor, dsb. Korosi jenis ini banyak terjadi dalam suasana lingkungan gas.
12
2.2. Korosi Pada Pipa Minyak Solar 2.2.1.
Minyak Solar Minyak solar adalah salah satu jenis bahan bakar yang dihasilkan dari
proses pengolahan minyak bumi, pada dasarnya minyak mentah dipisahkan fraksi-fraksinya pada proses destilasi sehingga dihasilkan fraksi solar dengan titik didih 2500C sampai 3000C. Kualitas solar dinyatakan dengan bilangan cetane (pada bensin disebut oktan), yaitu bilangan yang menunjukkan kemampuan solar mengalami pembakaran di dalam mesin serta kemampuan mengontrol jumlah ketukan (knocking), semakin tinggi bilangan cetane ada solar maka kualitas solar akan semakin bagus. Sebagai bahan bakar, tentunya solar memiliki karakteristik tertentu sama halnya dengan jenis bahan bakar lainnya. Berikut karakteristik yang dimiliki fraksi solar : 1. Tidak berwarna atau terkadang berwarna kekuning-kuningan dan berbau. 2. Tidak akan menguap pada temperature normal. 3. Memiliki kandungan sulfur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bensin dan kerosin. 4. Memiliki flash point (titik nyala) sekitar 400C sampai 1000C. 5. Terbakar spontan pada temperatur 3000C. 6. Menimbulkan panas yang tinggi sekitar 10.500 kcal/kg. 2.2.2.
Jenis – jenis Bahan Bakar Diesel Bahan bakar dapat digolongkan dalam berbagai macam jenis yang
dibedakan oleh kekentalan, jumlah cetane dan sebagainya. Berikut adalah jenis – jenisnya : 1. High Speed Diesel (HSD) HSD merupakan bahan bakar jenis solar yang digunakan untuk mesin diesel yang memiliki performa untuk jumlah cetane 45. Umumnya mesin yang menggunakan bahan bakar HSD merupakan mesin yang menggunakan sistem injeksi pompa dan elektronik injeksi. 2. Industrial Diesel Oil (IDO) IDO disebut juga solar hitam dihasilkan dari proses penyulingan minyak mentah pada temperatur rendah, biasanya jenis ini memiliki kandungan sulfur
13
yang tergolong rendah sehingga dapat diterima oleh Medium Speed Diesel Engine. 2.2.3.
Laju Korosi Kebanyakan logam ada secara alami sebagai bijih-bijih yang stabil dari
oksida-oksida, karbonat atau sulfida. Diperlukan energi untuk mengubah bijih logam menjadi sesuatu yang bermanfaat. Korosi hanyalah perjalanan sifat pembalikan satu proses yang tidak wajar, serta merubah suatu keadaan struktur yang lebih rendah. Mencegah korosi adalah hal penting di dalam setiap proses produksi minyak dan gas. Korosi yang terjadi pada bagian dalam pipa minyak solar disebut korosi internal, yang biasanya disebabkan adanya fluida yang mengalir atau diam pada bagian dalam pipa. Fluida yang mengalir dalam pipa yaitu minyak mentah akan mengandung CO2 dan, sehingga apabila terjadi kontak dengan air akan membentuk asam yang merupakan penyebab korosi. Pengujian laju korosi dilakukan dengan tiga sel elektroda didasarkan pada metode ekstrapolasi tafel. Sel tiga elektroda merupakan perangkat laboratorium baku untuk penelitian kuantitatif terhadap sifat-sifat korosi bahan. Pengujian laju korosi dilakukan dengan pengamatan intensitas arus korosi (Ikor) benda uji di dalam lingkungan air tanah. Ketepatan penentuan harga Ikor sangat penting karena Ikor berbanding langsung dengan besarnya laju korosi suatu logam di dalam lingkungannya. Penentuan harga rapat arus korosi secara tepat sangat diperlukan, karena rapat arus korosi sebanding dengan laju korosi suatu logam dalam lingkungannya. Hal ini sesuai dengan persamaan laju korosi (Jones, 1992) dalam mils (0,001 in) per year(mpy) seperti dibawah ini : 𝑎𝑖
r = 0,129𝑛𝐷 D = berat jenis sampel(gr/cm3)
dimana :r = laju korosi a = berat atom
n = valensi atom
i = rapat arus korosi(𝜇A/cm2) Perhitungan laju korosi untuk paduan, terlebih dahulu dihitung berat equivalennya (equivalen weight= EW) dengan persamaan (Jones, 1992):
14
2.2.4.
Baja Karbon Baja karbon merupakan logam yang banyak digunakan untuk material
keteknikan, dan diperkirakan 85% dari produksi baja dunia. Walupun terdapat keterbatasan ketahanan korosi, baja karbon banyak digunakan untuk aplikasi kelautan, nuklir, transportasi, proses kimia, industri perminyakan, refening, pipa saluran, konstruksi pertambangan dan peralatan proses logam. Baja karbon memiliki keterbatsan terhadap kandungan paduannya, biasanya di bawah 2% dari total penambahan. Baja merupakan material yang banyak digunakan untuk aplikasi pipa saluran air, khususnya low carbon steel. Dengan adanya karbon, kekerasan dan kekuatan akan meningkat sehingga low carbon steel digunakan karena memiliki sifat mekanis yang baik, mudah dibentuk atau difabrikasi dan harga yang relatif murah.
Gambar 2.9 Bahan baja karbon (Mulyana, 2015) 2.2.5.
Creep Creep merupakan suatu fenomena regangan inelastik permanen yang
terjadi ketika suatu material mengalami tekanan secara terus-menerus pada temperatur tinggi dalam jangka waktu yang lama. Pipa pada kilang minyak atau pembangkit listrik mengalami pembebanan mekanik berupa hoop stress akibat tekanan internal pipa, dan pembebanan termal akibat paparan panas dari tungku, atau heat exchanger. Prosesnya berlangsung dalam jangka waktu lama. Pada temperatur tinggi kekuatan suatu material akan menurun secara perlahan seiring bertambahnya waktu operasi. Creep pada temperatur tinggi terjadi saat temperatur pemanasan T mendekati 0,5 Tm dengan Tm adalah titik lebur material. Ketika creep terjadi struktur mikro berubah, material mengalami
15
regangan yang bergantung pada tegangan, temperatur dan waktu, seperti pada persamaan : Ɛ = f (t, σ, T) dengan Ɛ adalah regangan dalam satuan %, t : waktu (jam), σ: tegangan (N/m2), dan T : suhu (°C). Perilaku creep material ditunjukkan oleh Gambar 2.10 Ada tiga tahapan peregangan yang dialami material yaitu tahap pertama disebut tahap transient creep, terjadi saat beban mulai diberikan.
Gambar 2.10 Kurva creep (Mulyana, 2015) Material mengalami strain hardening ditandai dengan laju regangan yang menurun akibat tegangan yang diberikan. Regangan awalnya sebesar 𝜀 0. Selanjutnya tahap kedua disebut steady state creep. Dengan berjalannya waktu energi termal memulihkan efek pengerasan mengembalikan atom dan cacat pada material ke posisi semula. Terjadi kesetimbangan antara tegangan dan efek temperatur. Tahap ini ditandai oleh laju regangan yang konstan, terakhir pada tahap ketiga adalah material akan mengalami patah. Pada tahap ini efek termal mendominasi efek regangan, energi termal telah banyak diserap, terbentuk kekosongan (void) dalam jumlah besar diakhiri dengan adanya penyempitan lokal melalui kajian korosi, necking yang berujung pada patahnya material. Tahapan ini berlangsung dengan amat cepat. 2.2.6.
Inhibitor Dasar pengetahuan tentang elektrokimia proses korosi yang dapat
menjelaskan mekanisme dari korosi, dapat dilakukan usaha-usaha untuk pencegahan terbentuknya korosi. Banyak cara sudah ditemukan untuk pencegahan terjadinya korosi diantaranya adalah dengan cara penggunaan
16
chemical inhibitor. Secara umum inhibitor adalah suatu zat kimia yang dapat menghambat atau memperlambat suatu reaksi kimia. Sedangkan inhibitor korosi adalah suatu zat kimia, organik dan anorganik yang bila ditambahkan kedalam suatu lingkunganyang korosif, dapat menurunkan laju penyerangan korosi lingkungan itu terhadap suatu logam. Keuntungan menggunakan inhibitor antara lain : 1. Menaikan umur struktur atau bahan 2. Mencegah berhentinya suatu proses produksi 3. Mencegah kecelakaan akibat korosi 4. Menghindari kontaminasi produk Inhibitor korosi biasanya diukur melalui efesiensinya, yaitu dengan membandingkan laju korosi dari sistem yang ditinjau (widharto, 2001 ). Hal ini dirumuskan : E= Dimana :
𝐾𝑖−𝐾𝑜 𝐾𝑜
x 100%
E = Efisiensi Inhibitor Ko = Laju Korosi tanpa Inhibitor Ki = Laju Korosi dengan Inhibitor
Pada praktek penggunaan inhibitor, jumlah yang ditambahkan kedalam suatu sistem adalah sedikit, baik secara kontinyu maupun periodik menurut selang waktu tertentu (Dalimunthe, 2004). 1. Adapun mekanisme kerjanya dapat dibedakan sebagai berikut : Inhibitor teradsorpsi pada permukaan logam, membentuk suatu lapisan tipis dengan ketebalan beberapa molekul inhibitor. Lapisan ini sangat tipis tapi dapat menghambat penyerangan lingkungan terhadap logamnya. 2. Dengan melalui pengaruh lingkungan (semisal pH) menyebabkan inhibitor dapat mengendap dan selanjutnya teradsorpsi pada permukaan logam dan melindunginya dari serangan korosi. Endapan yang terjadi cukup tebal sehingga dapat terlihat. 3. Inhibitor terlebih dulu mengkorosi logamnya dan akan menghasilkan zat kimia yang akan teradsopsi kedalam permukaan logam dan akan membentuk lapisan pasif pada permukaan logam.
17
4. Inhibitor menghilangkan kontituen yang agresif dari lingkungannya.
2.3. Studi Pustaka Korosi adalah serangan yang terjadi pada bahan logam sebagai akibat dari lingkungan yang aktif, oleh karena itu hal yang menyebabkan kebocoran tangki penyimpanan pada tekanan atmosfer menyebabkan kerugian material, pencemaran lingkungan, kegagalan peralatan dan mempengaruhi usia peralatan, maka menyebabkan kerugian pengukuran terjadinya korosi merupakan bagian penting agar manajemen aset di pabrik untuk dapat beroperasi (Nugroho dkk, 2016). Salah satu penyebab terjadinya korosi adalah akibat perbedaan mikrostruktur. Area dengan perbedaan mikrostruktur akan menghasilkan daerah katoda-anoda dalam logam tersebut, dan jika dipaparkan dalam media elektrolit akan potensial untuk terjadi korosi. Dengan semakin banyak jumlah butir pada pipa lurus maka jumlah area katoda-anoda pada pipa tersebut juga akan semakin luas, sehingga laju korosinya juga akan lebih besar dibandingkan dengan pipa sambungan (Alfon, 2010).
18
BAB 3 METODOLOGI
3.1. Metode yang Diterapkan Metode yang diterapkan dalam makalah tentang analisis kasus korosi pada pipa minyak solar, yaitu mencangkup beberapa hal, antara lain : 3.1.1.
Studi Pustaka Segala sesuatu usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun
informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. 3.1.2.
Artikel Sebuah kumpulan informasi yang diperoleh dari berbagai peneliti,
sehingga diambil data-data serta dibuat sesuai dengan KTI yang dapat disusun dengan rapi guna mempermudah seseorang dalam mencari masalah.
3.1.3.
Journal Majalah publikasi yang memuat KTI (Karya Tulis Ilmiah) yang secara
nyata mengandung data dan informasi yang mengajukan IPTEK dan ditulis sesuai dengan kaidah-kaidah penulis ilmiah serta diterbitkan secara berkala.
19
3.2. Diagram Alir Penulisan mulai
Menggunakan pipa baja karbon sedang
Mempersiapkan Bahan dan Alat
Pengujian dengan Laju Korosi
Pengujian dengan Uji Creep
Analisis Hasil
Membahas Hasil Uji
Kesimpulan
selesai
20
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1. Pengujian Creep Berikut ini adalah data hasil uji creep yang di percepat yang dilakukan di B2TKS BPPT Serpong. Data hasil pengukuran adalah tegangan 𝜀, temperatur T dan waktu putus tf. Tabel 1. Hasil uji creep (Mulyana dkk, 2015) Sampel uji creep
T (0C)
𝜎(N/mm2)
Tr (Jam)
1
700
83,53
0,2
2
650
90,60
1,4
3
600
103,54
11,9
4
550
115,65
99,2
5
500
129,43
164,3
Dari hasil observasi lapangan dapat diperoleh data desain dan operasional seperti pada tabel 2. Tabel 2. Desain dan Operasional (Mulyana dkk, 2015) Elastic
Rupture
Design
Design
Diameter Luar (D0,mm)
168,3
168,3
Tekanan Desain (P0,Mpa)
1,12
1,12
Temperatur Maksimum (Tm,0C)
-
-
Temperatur yang diijinkan (TA,0C)
-
-
390
390
-
324120
Korosi yang diijinkan (CA,mm)
3,175
3,175
Tegangan yang diijinkan (S𝜀,Mpa)
51,688
51,688
Parameter
Temperatur Desain (Td,0C) Umur Desain (Ld,jam)
Selanjutnya
dilakukan
perhitungan
umur
sisa
untuk
berbagai
kemungkinan temperatur. Hasil yang di peroleh pada gambar 4.1 Maka 21
perkiraan umur sisa pipa menurun secara tajam setelah melewati temperatur 700 0C. Sedangkan pada temperatur 710 0C umur pipa hanya 0,8 jam, waktu hidup pipa yang sangat pendek. Jika dihubungkan dengan fenomena short term overheating
sebagai
penyebab
kegagalan,
berdasarkan
uji
creep
di
laboratorium dapat diprediksi temperatur kulit luar pipa pemanas pada saat pecah mencapai temperatur 700 0C.
Gambar 4.1 Kurva umur sisa terhadap temperatur (Mulyana dkk, 2015) Dari tabel 3. Perhitungan umur sisa dalam aspek korosi terlihat bahwa korosi merupakan mekanisme kerusakan yang lebih dominan dibandingkan dengan creep sehingga umur sisa akan dikendalikan oleh laju korosi bukan creep. Jika umur kriteria API 530 untuk elastik design digunakan, maka umur tube tersebut sudah habis (terhadap serangan korosi). Tabel 3. Perhitungan umur sisa dalam aspek korosi (Mulyana dkk, 2015) Parameter
Nilai
Tube Original Thickness (mm) Tube Thickness Minimum Rata-rata (mm) Corrosion Rate (mm/year) Required Thickness Based on API 530 (mm) Umur Pakai (Tahun) Umur Sisa (Tahun)
7,11 4,6 (row 6) 0,064 5 dan 3,14 39 (1974) 21 Tahun, untuk kriteria rupture design dan sudah habis untuk kriteria elastik design
22
4.2. Laju Korosi Data yang di dapat pada pengujian laju korosi, maka dapat dilihat pada grafik di bawah ini :
Gambar 4.2 Laju korosi pada pipa lurus dan pipa elbow (Elanda, 2011)
Dari grafik pada gambar 4.2 terlihat bahwa laju korosi pada pipa lurus lebih tinggi jika dibandingkan dengan pipa elbow untuk spesifikasi material dan lingkungan yang sama dan ditunjukkan dengan selapan titik dari data pipa lurus berada lebih tinggi dari data pipa elbow serta diperkuat dengan keberadan persamaan garis dari pipa lurus, y = -0.0158x + 24.2469, berada diatas persamaan garis dari pipa elbow , y = -0.0211x + 25.4441. untuk mengetahui penyebab perbedaan laju korosi kedua jenis pipa ini, maka dilakukanlah rangkaian analisis seperti analisis struktur mikro. Sedangkan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya Stress Corrosion Cracking (SCC), maka dilakukan analisis Iresidual stress, dan serta analisis stress concentration pada saat kondisi operasi pada pipa lurus dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Autodesk Inventor.
23
Gambar 4.3 Struktur mikro pipa lurus (Elanda, 2011)
Gambar 4.4 Struktur mikro pipa elbow (Elanda, 2011)
4.3. Cara Mengendalikan Korosi Beberapa metode yang digunakan untuk mengendalikan korosi, antara lain : 1. Mimasahkan logam dari lingkungan, metode ini sangat populer dan banyak digunakan, cara ini meliputi pelapisan dengan lapis lindung organik atau inorganik. Teknik ini dapat dengan pengecatan, coating dll. 2. Membuat logam dengan tahan korosi, permukaan logam dapat dihindarkan adanya daerah-daerah anodik dan katodik, atau menjadikan permukaan tertutup oleh lapisan protektif, seperti baja tahan karat, baja tahan cuaca dan sebagainya.
24
BAB 5 KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang sudah dilakukan, maka didapatkan beberapa kesimpulan, antara lain : 1. Dari hasil perhitungan umur sisa disekitar pipa yang pecah kegagalan pada akibat creep dalam kondisi operasi normal masih dapat bertahan diatas 100 tahun, sedangkan untuk umur sisa pipa berdasarkan kegagalan akibat korosi jika digunakan batas tegangan elastis umur sisa pipa sudah habis, sedangkan digunakan batas putus diprediksi umur sisa pipa masih berumur 21 tahun. Berdasarkan uji creep di laboratorium short term overheating terjadi pada temperatur 9750C. 2. Pada pipa lurus didapatkan butiran sebesar 10.84 𝜇m sedangkan pada pipa elbow ukuran butiran sebesar 16.5 𝜇m. Perbedaan butir ini mempengaruhi laju korosi pipa, dimana laju korosi pipa lurus lebih besar dibandingkan laju korosi pipa elbow. Pada pipa lurus tidak terindikasikan terjadinya Stress Crcking Corrosion (SCC) dengan besarnya nilai yield strength 122.2 Mpa atau sekitar 42.1% dari Specific Minimum Yield Strength (SMYS) pipa tersebut, yaitu 290 Mpa. Korosi yang terjadi akibat adanya CO2 dan H2S pada minyak, yang bila bereaksi dengan air akan membentuk asam. Hal ini terbukti dari uji pH elektrolit yang menunjukan larutan bersifat asam (pH 6,8). 3. Inhibitor dapat menghambat laju korosi dikarenakan adanya anion yang mengoksidasi seperti asetat sehingga dapat menghasilkan permukaan pasif pada permukaan logam. Hal ini dapat dilihat dari hasi foto SEM dan EDX yang memperlihatkan adanya lapisan pelindung pada permukaan logam.
25
5.2. Saran Berdasarkan pada pembahasan analisis kasus korosi pada pipa minyak solar, maka ada beberapa saran antara lain : 1. Perancangan pada pipa yang digunakan untuk minyak solar harus benar-benar baik dari segi material, konstruksi tanah dan jarak yang akan ditempuh dalam mengalirkan minyak solar. 2. Pemilihan material sangat penting guna menghambat terjadinya korosi dan perawatan secara berkala bagi pipa minyak solar. 3. Hasil data dari makalah ini belum lengkap, sehingga perlu adanya pengembangan yang berkelanjutan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Alfon S, Patuan. 2010. Penelitian I Disertasi : Pengembangan Metode Inspeksi Berbasis Resiko Pada Pipa Transmisi Gas Onshore. UI. Depok. Angga, Maheta Dewi. 2008. Skripsi : Analisis Pembebanan Statik Kasus Free Span Pada Offshore Pipeline. Bandung. ITB. ASM Handbook. 1992. “CORROSION”. Metal Handbook,vol. 13 Dalimunthe, I. S. 2004. “Kimia Dari Inhibitor Korosi”. Universitas Sumatra Utara. Denis, dkk. 1994. “Corrosion in The Oil Industry”. Oilfield Review. Folga, S.M. 2007. Natural Gas Pipeline Technology Overview. U.S Department of Energy. USA. Ihsan, dkk. 2002. Analisis Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Tegangan Permukaan Tanah. Yogyakarta. Jurnal Teknik Elektro Emitor. Jones, D.A. 1991.“Principle and Prevention of Corrosion”. Mc. Millan Publishing Company. New York Majid, Z. A., Mohsin, R., Yaacob, Z., Hassan, Z., 2009, “Failure analysis of natural gas pipes”, Engineering Failure Analysis Volume 17, Issue 4, Pages 818- 837. Nizamn, Mohd Saiful. 2009. Cathodic Protection of Underground Steel Pipelines By Using sacrificial Anodes. Pahang. Malaysia. Nugroho, A., Haryadi, G. D., Ismail, R., & Kim, S. J. (2016, April). Risk based inspection for atmospheric storage tank. In THE 3RD INTERNATIONAL CONFERENCE ON ADVANCED MATERIALS SCIENCE AND TECHNOLOGY (ICAMST 2015) (Vol. 1725, No. 1, p. 020055). AIP Publishing. Pratikno, H., 2006, “Pengaruh Inhibitor Terhadap Korosi Internal Pada Material Pipa Migas”, Jurnal Teknik Mesin Vol. 7 No. 1. Prayudi, Aji. 2014. Mengendalikan korosi pipa tertanam. Edisi 1. Vol. 11. Energia PEP. Salam, Chairully. 2011. Skripsi : Analisis Keandalan Pipa Elbow akibat Korosi Eksternal Pada Jalur Pipa Transmisi Gas Dengan Menggunakan Simulasi Monte Carlo. FTUI. Depok. Shidiq, Fajar. M. 2011. Analisa Pengendalian Laju Korosi Pada Pipa Minyak Bumi Lepas Pantai. Vol. X No.1, ISSN 1412-6826. Jurusan Sains dan Teknik Maritim. Widharto, S. 2001. “Karat dan Pencegahannya”. P.T. Pradnya Paramita, Jakarta.
27
Yuliarita, Emi. 2011. Pengaruh Kandungan Logam dalam Minyak Solar 48 terhadap Pembentukan Deposit pada Komponen Ruang Bakar Mesin Diesel Statis. Lembaran PublikasiMinyak dan Gas Bumi, Vol. 45. No. 3. Jakarta.
28