Budaya Religius di Sekolah/Madrasah Wahyudin Noor1 Abstrak Budaya religius di sekolah/madrasah merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan, keyakinan, kredo dan norma-norma keberagamaan yang diterima secara menyeluruh, mulai dari kepala sekolah/ madrasah, pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan penerimaan serta konsistensi sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh miliu yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah/madrasah, dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah/madrasah. Kata Kunci : Budaya Religius, Sekolah/Madrasah
A. Pendahuluan Membicarakan budaya religius atau keberagamaan di sekolah/ madrasah, maka persepsi yang muncul adalah upaya tentang bagaimana menciptakan budaya yang agamis, budaya yang penuh dengan nuansa Islami –bagi kita umat Islam– demikian juga dengan umat-umat yang beragama lain. Budaya religius sendiri merupakan salah satu metode pendidikan nilai yang komprehensif. Karena dalam perwujudannya terdapat inkulnasi nilai, pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan-pembuatan keputusan moral secara bertanggung jawab dan keterampilan hidup yang lain (Darmiyati Zuchdi, 2008: 36). Hal ini setidaknya dimaklumi, karena dunia pendidikan yang selama ini mengemban peran sebagai pusat pengembangan ilmu dan SDM, pusat sumber daya penelitian dan sekaligus pusat kebudayaan kurang berhasil dalam mengemban misinya. Sistem pendidikan nasional kita selama ini diyakini lebih banyak mengarah pada sisi kognitif an sich, sedangkan aspek afeksi dan psikomotor menjadi terabaikan begitu saja. Maka dari itu, 1
Dosen STAIN Bangka Belitung
87
dapat dikatakan mewujudkan budaya religius di sekolah/madrasah merupakan salah satu upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai keberagamaan yang syarat dengan moralitas ke dalam diri peserta didik. Di samping itu, hal itu juga menunjukkan fungsi sekolah/ madrasah, sebagaimana dijelaskan Abdul Latif, “merupakan lembaga yang berfungsi mentransmisikan budaya” (Abdul Latif, 2005: 30). Budaya religius merupakan upaya pengembangan pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Secara terperinci tujuan pendidikan nasional dijelaskan dalam pasal 3 UUSPN No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UUSPN No. 20 Tahun 2003). Untuk membentuk peserta didik menjadi yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia tidaklah semudah yang dibayangkan serta tidak bisa hanya mengandalkan pada mata pelajaran pendidikan agama yang hanya 2 jam pelajaran, tetapi perlu internalisasi nilai religiusitas, pemberian keteladanan, pembinaan secara terus menerus serta berkelanjutan di luar jam pelajaran pendidikan agama, baik dalam kelas maupun di luar kelas, atau di luar sekolah/madrasah melalui penciptaan budaya religius. Berdasarkan permasalah di atas, maka yang hendak dikaji dalam makalah ini adalah penciptaan budaya religius di sekolah/madrasah. Adapun sistematika makalah diawali dengan konsep budaya religius, landasan penciptaan budaya religius dan penciptaan budaya religius di sekolah/madrasah.
B. Pembahasan 1. Konsep Budaya Religius Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu yang berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah (Departemen Pendidikan 88
Budaya Religius di Sekolah/ Madrasah
Volume VI Nomor 1, Maret 2015 dan Kebudayaan, 1991: 149). Istilah budaya, menurut Kotter dan Heskett, dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama (J.P. Kotter & J.L. Heskett, 1992: 4). Tylor, seperti dikutip Budiningsih, mengartikan budaya merupakan suatu kesatuan yang uni dan bukan jumlah dari bagian-bagian keseluruhannya, suatu kemampuan kreasi manusia yang immaterial, berbentuk kemampuan psikologis seperti ilmu pengetahuan, teknologi, kepercayaan, keyakinan, seni dan sebagainya (Asri Budiningsih, 2004: 18). Kontjaraningrat mengelompokkan aspek-aspek budaya berdasarkan dimensi wujudnya, meliputi: 1). Kompleks gugusan atau ide seperti pikiran, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma dan sikap; 2). Kompleks aktivitas seperti pola komunikasi, tari-tarian, upacara adat; 3). Material hasil benda seperti seni, peralatan, dan sebagainya.2 (Koentjaraningrat, 1969: 17) Wujud pertama adalah wujud ide yang sifatnya abstrak, tak dapat diraba dan difoto. Kemudian, wujud kedua dari aspek budaya, sering disebut sebagai sistem sosial yang menunjuk pada perilaku yang berpola pada manusia. Sistem sosial berupa aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul dari waktu ke waktu. Sedangkan wujud ketiga disebut dengan budaya fisik, yaitu keseluruhan hasil aktivitas fisik, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat yang sifatnya konkrit berupa benda-benda. Selanjutnya, religius biasa diartikan dengan kata agama atau bersifat religi. Agama menurut Frazer, seperti dikutip Nuruddin, merupakan sistem kepercayaan yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan tingkat kognisi seseorang (Nuruddin, dkk., 2003: 126) 3 Sementara menurut Clifford Geertz, sebagaimana dikutip Roibin, agama bukan hanya masalah spirit, melainkan telah terjadi hubungan intens antara agama sebagai sumber nilai dan agama sebagai sumber kognitif. Pertama, agama merupakan pola bagi tindakan manusia (pattern for behaviour). 2 Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Riset Kebudayaan Nasional, 1969), h. 17 3 Nuruddin, dkk., Agama Tradisional; Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 126
Wahyudin Noor
89
Dalam hal ini agama menjadi pedoman yang mengarahkan tindakan manusia. Kedua, agama merupakan pola dari tindakan manusia (pattern of behaviour). Dalam hal ini agama dianggap sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalaman manusia yang tidak jarang telah melembaga menjadi kekuatan mistis (Roibin, 2009: 75). Menurut Nurcholish Madjid, agama bukan hanya kepercayaan kepada yang ghaib dan melaksanakan ritual-ritual tertentu. Agama adalah keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridho Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (ber-akhlaq karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian(Ibid.). Kata religius seperti dikutip Muhaimin, sejatinya tidak identik dengan agama, namun lebih kepada keberagamaan. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya serta keseluruhan organisasi-organisasi keagamaan dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Muhaimin, dkk., 2008: 187288). Keberagamaan lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, menafaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas ke dalam pribadi manusia (Ibid.). Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat penulis, budaya religius di sekolah/madrasah adalah totalitas pola kehidupan civitas sekolah/madrasah yang lahir dan ditansmisikan bersama, mulai dari kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, stakeholders dan sebagainya, yang dilandasi oleh keimanan kepada Tuhan, sehingga pemikiran, perbuatan dan pembiasaan civitas sekolah/madrasah akan selalu berlandaskan pada keimanan dan terpancar pada pribadi dan perilaku sehari-hari. 2. Landasan Penciptaan Budaya Religius di Sekolah/Madrasah a. Landasan Religius Penciptaan budaya religius yang dilakukan di sekolah/ madrasah semata-mata karena merupakan pengembangan dari potensi manusia yang ada sejak lahir atau fitrah. Ajaran Islam 90
Budaya Religius di Sekolah/ Madrasah
Volume VI Nomor 1, Maret 2015 yang diturunkan Allah melalui rasul-Nya merupakan agama yang memperhatikan fitrah manusia, maka dari itu pendidikan Islam juga harus sesuai dengan fitrah manusia dan bertugas mengembangkan fitrah tersebut. Secara etimologis, kata fitrah berarti sebagai “sifat dasar atau pembawaan”, berarti pula potensi dasar yang alami atau natural disposition (Louis Makhluf, 1977: 192). Kata fitrah telah diisyaratkan dalam firman Allah SWT: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. al-Rum 30 : 30) Fitrah menurut Mujahid, seperti dikutip al-Thabari adalah Islam (Ibn Jarir al-Thabari, 2005: 97). Sehingga dapat dipahami bahwa fitrah manusia dalam ayat di atas dikaitkan dengan agama. Selain itu, Hadits Nabi SAW pun menjelaskan, “Tidak seorang anak dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi” (Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, 2005: 144). Hadits ini memberikan isyarat bahwa pengembangan potensi dasar manusia itu dilakukan melalui pendidikan, karena potensi tersebut tidak dapat berkembang dengan sendirinya, melainkan membutuhkan lingkungan yang kondusif dan edukatif. Dengan demikian, fitrah manusia atau pun peserta didik akan dapat dikembangkan melalui proses bimbingan, pendidikan, pembiasaan dan pemberian teladan melalui budaya religius yang diciptakan dan dikembangkan di sekolah/madrasah. Dan penciptaan budaya religius sesungguhnya sesuai dengan upaya pengembangan fitrah manusia yang diharapkan dapat menjangkau tiga aspek secara terpadu, yakni 1) knowing, yakni agar peserta didik dapat mengetahui dan memahami nilai-nilai religius; 2) doing, yakni agar peserta didik dapat mempraktikkan nilai-nilai religius; dan 3) being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai religius (Muhaimin, 2009: 305-306). b. Landasan Filosofis Wahyudin Noor
91
Jika dilihat dari aspek tujuan, al-Ghazali seperti dikutip Arief, mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah (Armai Arief, 2002:22). Di samping itu, al-Ghazali pun menyatakan, tujuan pendidikan bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan (Nuryani, Ta’allum; Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 28 No. 1, h. 37-38) atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan materi (uang). Karena, jika tujuan pendidikan diarahkan selain mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan (Ahmad Tanzeh, 2003: 117). Berpijak dari pemikiran bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mensucikan jiwa, membentuk akhlak, menyiapkan seseorang dari segi keberagamaan, bahkan membentuk insan yang kamil, maka diperlukan pengembangan lebih lanjut dalam pembelajaran holistik dan komprehensif sampai menyentuh pada aspek afektif dan psikomotorik melalui penciptaan budaya religius di sekolah/madrasah, karena hampir rata-rata model pembelajaran di sekolah/madrasah hanya bersifat parsial dan terpaku pada aspek kognitif an sich, termasuk pembelajaran pendidikan agama Islam yang cenderung kurang banyak memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik. c. Landasan Yuridis Landasan yuridis penciptaan budaya religius tercantum pada Pancasila, sila pertama, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagi core yang menjiwai dan mewarnai sila-sila selanjutnya, yaitu 1) kemanusiaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3) kerakyatan yang yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 4) keadilan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mengandung makna bahwa inti Pancasila adalah ketuhanan/ keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menjadi inti pendidikan (Muhaimin, 2006: 133-134). Selain itu, penciptaan budaya religius senyatanya include pada landasan eksistensi Pendidikan Agama Islam dalalm kurikulum sekolah/madrasah, yaitu Undang-undang Sistem 92
Budaya Religius di Sekolah/ Madrasah
Volume VI Nomor 1, Maret 2015 Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 Bab V pasal 12 ayat 1 point a, bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama (UUSPN No. 20 Tahun 2003). Selain itu, di Bab X UUSPN pasal 36 ayat 3 juga disebutkan, bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa dan peningkatan akhlak mulia (Ibid.). Sedangkan pada pasal 37 ayat 1 dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama (Ibid.). Dari landasan yuridis tersebut, tampak jelas bahwa pendidikan agama (Islam) merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib ada di semua jenjang dan jalur pendidikan. Artinya, eksistensi pendidikan agama, perannya sangat strategis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, upaya penciptaan budaya religius sebagai pengembangan pembelajaran pendidikan agama di sekolah/madrasah dengan sendirinya menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi, artinya penciptaan budaya religius menjadi sesuatu yang niscaya untuk diterapkan di sekolah/madrasah. d. Landasan Historis Budaya religius merupakan pengembangan pembelajaran pendidikan agama (Islam) di sekolah/madrasah, itu artinya sejarah awal mula masuknya atau diterimanya pendidikan agama (Islam) di sekolah menjadi peletak dasar atau landasan historis budaya religius. Dan sejarah menyatakan bahwa, ketika pemerintahan Sjahrir menyetujui pendirian Departemen Agama (red: Kementerian Agama) pada tanggal 3 Januari 1946, elit muslim menempatkan agenda pendidikan menjadi salah satu agenda utama Kementerian Agama. Elit muslim melaksanakan dua upaya utama, yakni: pertama, mengembangkan pendidikan agama (Islam) pada sekolah-sekolah umum yang sejak proklamasi berada di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, peningkatan kualitas atau modernisasi lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah memberi perhatian pada pendidikan agama Islam dan pengetahuan umum modern sekaligus (Muhaimin, dkk., Paradigma..Op.Cit., h. 287). Wahyudin Noor
93
Berdasarkan pemaparan sejarah di atas, bahwa salah satu perjuangan elit (muslim) Indonesia di awal-awal kemerdekaan adalah memperkokoh eksistensi dan posisi pendidikan agama (Islam) di sekolah hingga perguruan tinggi. Kemudian, seiring dengan semakin mantapnya posisi pendidikan agama (Islam) dewasa ini, maka satu yang menjadi penting untuk dilakukan adalah pengembangan pendidikan agama melalui penciptaan budaya religius di sekolah/madrasah. e. Landasan Sosiologis Pada dasarnya masyarakat dibagi menjadi dua macam tipe, yakni masyarakat orde moral dan kerabat sentris (Ibid.). Pada tipe masyarakat orde moral, komunitas kehidupan dan mekanismenya masih amat terikat oleh berbagai norma baik dan buruk yang bersumber dari tradisi, sehingga di sana banyak dijumpai pantangan yang dapat mengganggu penciptaan budaya religius. Selain itu juga, masih berlakunya penghormatan yang berlebihan terhadap individu-individu ahli adat, misalnya sebagai satu-satunya tempat meminta nasehat. Kondisi demikian dapat menghambat terciptanya budaya religius. Sedangkan pada tipe masyarakat kerabat sentris, titik tekannya pada kekerabatan. Adat istiadat memang diwarisi secara turun temurun, namun adakalanya adat istiadat diganti dengan yang lebih modernis. Berdasarkan penjelasan di atas, budaya religius di sekolah/ madrasah setidaknya dapat diciptakan dan dibentuk dengan menilik dari karakteristik civitas sekolah/madrasah yang cenderung termasuk kategori masyarakat tipe kerabat sentris, yakni masyarakat yang mampu mengganti budaya lama dengan budaya baru yang religius. f. Landasan Psikologis Budaya religius adalah budaya yang tercipta dari pembiasaan suasana religius yang berlangsung lama dan terus menerus, bahkan hingga muncul kesadaran dari semua anggota lembaga pendidikan untuk menjalankan nilai-nilai religius dalam kehidupan sehari-hari. Pijakan awal dari budaya religius adalah adanya religiusitas atau keberagamaan. Keberagamaan adalah menjalankan agama secara menyeluruh. Dengan melaksanakan agama secara menyeluruh, maka dipastikan seseorang telah 94
Budaya Religius di Sekolah/ Madrasah
Volume VI Nomor 1, Maret 2015 mampu menginternalisasikan nilai-nilai religius. Dan budaya religius merupakan sesuatu yang urgen dan harus diciptakan di sekolah/madrasah, ini karena sekolah/madrasah merupakan lembaga yang mentransformasikan nilai atau melakukan pendidikan nilai. Sedangkan budaya religius menjadi ‘media’ untuk mentransfer nilai kepada peserta didik. Tanpa tercipta budaya religius, maka dipastikan para pendidik mengalami kesulitan melakukan transfer nilai kepada peserta didik. Berdasarkan pemaparan di atas, maka sejatinya budaya religius dapat dijadikan sebagai model pembelajaran dan pembiasaan positif di sekolah/madrasah, yang prinsipnya langsung aplikatif atau dalam ranah afektif dan psikomotorik, karena dalam implementasinya terdapat upaya-upaya yang dilakukan dalam mentransfer dan menginternalisasikan nilainilai, sehingga peserta didik diharapkan akan terbiasa melakukan tindakan-tindakan positif dalam kehidupannya. g. Landasan Kultural Para ahli pendidikan dan antropologi sepakat bahwa budaya adalah dasar terbentuknya kepribadian dan identitas manusia, identitas masyarakat bahkan identitas lembaga pendidikan. Di lembaga pendidikan, budaya dapat berupa suatu kompleks ideide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, dapat juga berupa aktivitas kelakuan manusia dalam lembaga pendidikan tersebut dan juga dapat berupa benda-benda karya manusia di lembaga tersebut. Budaya religius yang terbentuk di sekolah/madrasah merupakan budaya organisasi yang mengejawantahkan nilai-nilai religius dan membentuk identitas organisasi sekolah/madrasah. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya religius di sekolah/madrasah merupakan budaya organisasi yang dapat membentuk identitas lembaga pendidikan, sekaligus budaya organisasi yang diciptakan di sekolah/madrasah akan mampu membedakan satu sekolah/madrasah dengan sekolah/madrasah lainnya yang sejenis. h. Landasan Ekonomi Jika dilihat dari sisi ekonomi, penciptaan budaya religius di Wahyudin Noor
95
sekolah/madrasah setidaknya dapat memberikan dampak dan kontribusi positif, terutama untuk lembaga pendidikan. Secara tidak langsung, budaya religius yang diciptakan di sekolah/ madrasah akan menjadi daya tarik tersendiri bagi lembaga. Sebab, sekolah/madrasah tersebut telah membentuk identitasnya sendiri yang unik dan notabene menjadi kebutuhan masyarakat dalam menyekolahkan anak-anak mereka, dan itu artinya semakin banyak anggota masyarakat yang akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah/madrasah tersebut, sebab di era globalisasi ini sekolah/madrasah yang bermutu dan memberi muatan agama menjadi pilihan pertama dan utama bagi orang tua di berbagai kota (Koran Jawa Pos tanggal 8 Mei 2000). Dengan demikian secara ekonomi, menciptakan budaya religius di sekolah/madrasah akan mampu meningkatkan aspek pendapatan lembaga pendidikan, selain itu, penciptaan budaya organisasi juga memiliki kontribusi yang cukup besar, terutama untuk peserta didik dalam memegang teguh agama dan keyakinannya serta memfilter gempuran modernisasi dan globalisasi yang cenderung mencederai moralitas anak bangsa. i. Penciptaan Budaya Religius 1) Proses Penciptaan Budaya Religius Secara umum budaya dapat terbentuk secara prescriptive dan dapat juga secara terprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu masalah. Pertama, terbentuknya budaya religius di sekolah/madrasah melalui penurutan, peniruan, penganutan dan penataan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan. Pola ini disebut dengan pola pelakonan. Gambar Pola Pelakonan
Kedua, pembentukan budaya secara terprogram melalui learning process. Pola ini bermula dari dalam diri pelaku budaya, meliputi suara kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau dasar 96
Budaya Religius di Sekolah/ Madrasah
Volume VI Nomor 1, Maret 2015 yang dipegang teguh sebagai pendirian dan diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku. Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atau pengkajian trial and error dan pembuktiannya adalah peragaan pendiriannya tersebut. Itulah sebabnya pola aktualisasi ini disebut pola peragaan (Talizhidu Ndaraha, 1997: 24). Gambar Pola Peragaan
Tradisi, Perintah Budaya religius yang telah terbentuk di sekolah/madrasah beraktualisasi ke dalam dan ke luar pelaku budaya menurut dua cara, yakni aktualisasi budaya yang berlangsung secara covert (samar/tersembunyi) dan overt (jelas/terang). Covert, yakni seseorang yang tidak berterus terang, berpura-pura, lain di mulut lain di hati, penuh kiasan, dalam bahasa lambang, diselimuti rahasia. Pelaku overt selalu berterus terang dan langsung pada pokok pembicaraan (Asmaun Sahlan, 2010: 83). 2) Kegiatan Penciptaan Budaya Religius Menciptakan budaya religius di sekolah/madrasah sejatinya sangat membantu dalam mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Dalam konteks pendidikan agama Islam, budaya religius yang perlu dikembangkan yaitu bersifat vertikal dan horizontal. Adapun yang bersifat verikal yaitu mewujudkan hubungan manusia atau civitas sekolah/ madrasah dengan Allah, seperti sholat berjama’ah, do’a bersama, puasa Senin dan Kamis, dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat horizontal yaitu mewujudkan hubungan manusia atau civitas sekolah/madrasah dengan sesamanya dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitar seperti saling mengucapkan salam, menjaga kebersihan, saling tolong-menolong, dan lainlain.
Wahyudin Noor
97
Adapun konsep pengembangan kegiatan dan lingkungan sekolah/madrasah berbudaya religius meliputi: a) Penciptaan suasana religius. Penciptaan suasana religius merupakan upaya untuk mengkondisikan suasana sekolah dengan nilai-nilai dan perilaku religius. Hal ini dapat dilakukan dengan: (a) kepemimpinan, (b) skenario penciptaan suasana religius, (c) tempat ibadah, (d) dukungan warga masyarakat (Ibid., h. 129). b) Internalisasi nilai. Internalisasi nilai dilakukan dengan memberikan pemahaman tentang nilai-nilai keberagamaan kepada para peserta didik, terutama tentang tanggung jawab manusia sebagai pemimpin (khalifah) yang harus arif dan bijaksana. Penanaman dan menumbuhkembangkan nilai tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dan pengajaran. Internalisasi nilai, dapat dirumuskan secara bersama terkait nilai-nilai keberagamaan yang disepakati dan perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah/madrasah, untuk salanjutnya dibangun komitmen bersama diantara semua civitas sekolah/madrasah khususnya peserta didik terhadap pengembangan nilai-nilai yang telah disepakati. Nilainilai tersebut ada yang bersifat vertikal dan horizontal (Muhaimin, Rekonstruksi Op.Cit, h. 325). c) Keteladanan. Anak dalam pertumbuhannya memerlukan contoh. Dalam Islam percontohan yang diperlukan itu disebut uswah hasanah, atau keteladanan. Secara ideal, untuk melacak keteladanan dapat mengacu kepada Nabi Muhammad SAW, karena beliaulah satu-satunya pendidik yang berhasil. d) Pembiasaan. Selain keteladanan, dalam mengembangkan lingkungan sekolah/madrasah berbudaya religius, juga dibutuhkan pembiasaan. Imam Suprayogo, (Imam Suprayogo, 2004: 6) lebih lanjut menjelaskan bahwa secara sosiologis, prilaku seseorang tidak lebih dari hasil pembiasaan saja. Oleh karena itu, anak harus dibiasakan, misalnya dibiasakan mengucapkan salam tatkala bertemu maupun berpisah dengan orang lain, membaca basmalah sebelum makan dan mengakhirinya dengan membaca hamdalah, dibiasakan shalat berjama’ah, serta 98
Budaya Religius di Sekolah/ Madrasah
Volume VI Nomor 1, Maret 2015 memperbanyak silaturrahim, dan sebagainya. e) Membentuk sikap dan perilaku. Pembentukan sikap dan perilaku peserta didik berarti proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self) orang yang bersangkutan, melalui proses pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan lain sebagainya (Asmaun Sahlan, Op.Cit, h. 134). Pembentukan sikap dan perilaku peserta didik dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan memberikan nasehat kepada peserta didik dan adab bertutur kata yang sopan dan bertata krama baik terhadap pendidik maupun orang tua. 3) Strategi Penciptaan Budaya Religius Untuk mewujudkan budaya religius di sekolah/madrasah, menurut teori yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan, seperti dikutip oleh Muahimin, bahwa perlu strategi yang meniscayakan adanya upaya pengembangan dalam tiga tataran, yakni tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian dan tataran simbol-simbol budaya (Muhaimin, Nuansa..Op.Cit, h. 157). Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama-sama nilai-nilai religius yang disepakati dan perlu diciptakan dan dikembangkan di sekolah/madrasah, untuk selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama di antara semua civitas sekolah/madrasah terhadap nilai yang disepakati. Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai religius yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua civitas sekolah/madrasah (Muhaimin, Rekonstruksi Op.Cit, h. 326). Adapun strategi untuk membudayakan nilai-nilai religius di sekolah/madrasah dapat dilakukan melalui: 1) power strategy, yakni strategi pembudayaan religius di sekolah/madrasah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power, dalam hal ini peran kepala sekolah/ madrasah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan; 2) persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau civitas sekolah/madrasah; 3) normative re-educative. Norma adalah aturan yang berlaku di masyarakat. Norma termasyarakatkan Wahyudin Noor
99
lewat education. Normative digandengkan dengan re-education (pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir civitas sekolah/madrasah yang lama dengan yang baru. Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward and punishment. Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga, dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada civitas sekolah/madrasah dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya bisa berupa aksi positif dan reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi, yakni membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar ikut memberi warna dan arah pada perkembangan. Bisa pula berupa antisipasi, yakni tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.
C. Penutup Budaya religius merupakan salah satu metode pendidikan nilai yang komprehensif. Karena dalam perwujudannya terdapat inkulnasi nilai, pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan-pembuatan keputusan moral secara bertanggung jawab dan keterampilan hidup yang lain. Budaya religius sekolah/madrasah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma keberagamaan yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan konsisten sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah/madrasah baik itu kepala sekolah/madrasah, pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah/ madrasah. Penciptaan budaya religius dalam komunitas sekolah/madrasah memiliki landasan yang kokoh, baik secara normatif religius, filosofis, yuridis, historis, sosiologis, psikologis, kultural maupun ekonomi sehingga tidak ada alasan bagi sekolah/madrasah untuk mengelak upaya tersebut, apalagi di saat bangsa dilanda krisis 100
Budaya Religius di Sekolah/ Madrasah
Volume VI Nomor 1, Maret 2015 multidimensional yang intinya terletak pada krisis akhlak/moral. Karena itu perlu diciptakan dan dikembangkan berbagai strategi yang kondusif dan kontekstual dalam pengembangannya dengan tetap mengantisipasi berbagai kendala yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari upaya penciptaan budaya religius dalam komunitas sekolah/madrasah.
Wahyudin Noor
101
DAFTAR PUSTAKA Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il, Shahih Bukhari, Juz 5, Mauqi’u al-Islam, CD Maktabah Syamilah, 2005 Al-Thabari, Ibn Jarir, Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 20, Mauqi’u Majma’ al-Mulk, CD Maktabah Syamilah, 2005 Budiningsih, Asri, Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa, Jakarta, Rineka Cipta, 2004 Darmani, Model-model Pembelajaran, disampaikan pada Workshop Inovasi Pemebelajaran di MAN Tulungagung 1 tanggal 20 Juli 2010 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, PT. Balai Pustaka, 1991 Katsoff, Louis O., Elements of Philosophy, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1989 Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, Jakarta, Lembaga Riset Kebudayaan Nasional, 1969 Koran Jawa Pos tanggal 8 Mei 2000 Kotter, J.P. & J.L. Heskett, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja, terj. Benyamin Molan, Jakarta, Prenhallindo, 1992 Latif, Abdul, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, Bandung, Refika Aditama, 2005 Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan, Jakarta, Dian Rakyat, 2010 Makhluf, Louis, Kamus al-Munjid fi al-Lughah, tp, 1977 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam; Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2009 Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2008 Muhammad, Kamal, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta, Fikahari Aneska, 1992 Ndaraha, Talizhidu, Budaya Organisasi, Jakarta, Rineka Cipta, 1997 Nuruddin, dkk., Agama Tradisional; Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta, LKiS, 2003 102
Budaya Religius di Sekolah/ Madrasah
Volume VI Nomor 1, Maret 2015 Nuryani, “Wawasan Keilmuan Islam al-Ghazali: Studi Analisis Pemikiran al-Ghazali dalam Kitab Bidayah al-Hidayah”, Ta’allum; Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 28 No. 1 Roibin, Relasi Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang, UIN Maliki Press, 2009 Sahlan, Asmaun, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah; Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, Malang, Maliki Press, 2010 Suprayogo, Imam, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an; Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, Malang, UIN Malang Press, 2004 UUSPN No. 20 Tahun 2003
Wahyudin Noor
103